Oleh
:
R.Z. Leirissa
R.Z. Leirissa
Sebuah sekolah di kota Ambon (sekitar tahun 1900) |
Perkembangan
di Abad Ke-20.
Untuk memperlihatkan kedudukan
kedua sistem pendidikan tersebut di atas, dalam perkembangan sistem pendidikan Hindia
Belanda, di sini perlu dikemukakan beberapa hal mengenai sistem pendidikan di
abad ke-20. Seperti disebut di atas, sudah sejak tahun 1817 pemerintah Hindia
Belanda membuka sekolah-sekolah untuk kepentingan golongan penduduk Belada
(Europeesche Lagers School. ELS). Sekalipun pada tahun 1818 dinyatakan bahwa
beberapa sekolah ELS terbuka untuk "Inlanders", namun tidak banyak
yang memanfaatkan kesempatan itu.. Baru pada tahun 1864 ada usaha untuk
mendidik "Inlanders" di ELS32.
Baru pada tahun 1848 pemerintah
Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk bumiputera. Sejak semula
sekolah - sekolah ini merupakan sekolah "sekuler" dan diasuh
pemerintah. Sebab itu tidak mengherankan bila Brugmans menganggapnya sebagai
awal dari "Inlandsch Onderwijs". Bahasa yang digunakan di
sekolah-sekolah itu adalah bahasa daerah, atau bila tidak ada maka bahasa
Melayu yang digunakan.
"Inlandsch Onderwijs"
yang dimulai di Jawa ini jelas bertujuan menghasilkan tenaga kerja yang baik di
bidang pangreh praja). Di tahun 1864 malah dikeluarkan peraturan, bahwa sekolah-sekolah
ini juga bisa mengadakan "klein ambtemaar exmamen" untuk jabatan-jabatan
klerk dan lain-lain33. Untuk
penyediaan guru-gurunya sejak tahun 1852 dibuka sebuah Kweekschool (sekolah guru) di Surakarta (inilah Kweekschool pemerintah pertama)34.
penyediaan guru-gurunya sejak tahun 1852 dibuka sebuah Kweekschool (sekolah guru) di Surakarta (inilah Kweekschool pemerintah pertama)34.
Perkembangan
"Inlandsen Onderwijs" tersebut terhalang sebentar pada tahun 1884 karena krisis
gula. Sejak itu dipikirkan reorganisasi sekolah-sekolah bumiputera tersebut.
Baru pada tahun
1892 muncul gagasan yang tepat. Diputuskan untuk membentuk dua macam sekolah.
Eerste School untuk golongan
aristoraksi yang akan menduduki jabatan-jabatan administrasi pemerintah dan
lain-lain. Dan Tweedeschool untuk rakyat
biasa. Keduanya masih menggunakan bahasa daerah Melayu sebagai bahasa pengantar. Hanya
yang pertama lima tahun dan
memakai guru-guru tamatan Kweekschool dan yang kedua hanya berlangsung tiga tahun dan
guru-gurunya tidak usah
tamatan Kweekschool.
Dalam rangka Etische
Politiek dalam tahun 1914, Eerste School
(yang sejak tahun 1907 memasukkan bahasa Belanda sebagai bahasa yang diajarkan) diubah
menjadi Hollandsen Inlandsche
School (HIS). Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda dan sekolah ini
disejajarkan dengan HIS. Sebelumnya, pada
tahun 1907 pihak Departemen Dalam Negeri telah menciptakan sistem pendidikannya
sendiri yaitu Desaschool (Volkschool) yang tetap menggunakan bahasa
Daerah/Melayu, tiga tahun,
dan dibiayai oleh penduduk. Tweedeschool tetap dipertahankan sebagai sekolah bagi
orang-orang desa yang merantau
ke kota. Baru pada Tahun 1929 (karena depresi) Tweedeschool pun diubah menjadi
Volkschool.
Yang perlu dicatat di
sini sebagai perbandingan adalah, bahwa
reorganisasi ini tidak diterapkan di Maluku Tengah. Sejak 1892 sekolah-sekolah desa (bekas
Zending) dinyatakan sebagai
termasuk jenis Tweedeschool. Jenis Eerstenschool untuk kaum aristokrasi tidak dibuka di
sana. Untuk itu ABS rupanya
dianggap sudah memadai.
Catatan
kedua adalah, bahwa HIS juga tidak dibuka di kepulauan Ambon, Saparua, Haruku, Nusalaut.
Rupanya ABS sudah
dianggap memadai pula, apalagi setelah pada tahun 1911 jenis sekolah ini dibuka pula di
Saparua (Saparoeasche School). Baru
pada tahun 1919 dibuka dua buah HIS, di Piru dan satu di Ternate (bukan di kepulauan
Ambon tersebut). Jenis sekolah lanjutan
MULO yang mulai dibuka pada tahun 1914 dibuka pula di Ambon pada tahun 1915. Namun
AMS (yaitu sekolah lanjutan untuk ke perguruan tinggi) yang mulai dibuka
pada tahun 1919, tidak pernah dibuka
di Ambon.
Dari data-data
statistik yang diterbitkan dalam Algemeen Onderwijs
Verslag, bisa kita simpulkan bahwa perkembangan pendidikan di Maluku Tengah sejak awal
abad ke-20 makin mundur
dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Faktor - faktor penyebabnya memang
masih perlu diteliti lebih lanjut. Apabila
kita ambil AOV, maka gambaran yang diperoleh adalah sebagai berikut.
Inlandsche School di Batu Gantung, Ambon |
Tabel II
(Sekolah-sekolah Melayu 1915)
Ambon
|
Menado
|
Tapanuli
|
Sumatera
Timur
|
|
Tweedeschool
Neutrale
School
Volks
School
Gereja/Zending
|
65
-
214
|
61
-
81
412 |
24
-
9
474 |
23
-
104
76 |
Jumlah
|
281
|
554
|
507
|
203
|
Tabel III
(sekolah-sekolah berbahasa Belanda 1915)
Ambon
|
Menado
|
Tapanuli
|
Sumatera
Timur
|
|
ELS
ELS Swasta HIS HIS Swasta |
4
-
-
-
|
3
-
2
2 |
1
-
1
1 |
4
-
3
-
|
Jumlah
|
4
|
7
|
3
|
7
|
Tabel
IV
(Sekolah-sekolah dasar, AOV 1938)
(Sekolah-sekolah dasar, AOV 1938)
Bahasa
Melayu
|
Bahasa
Belanda
|
|||
Umum
|
Swasta
|
Umum
|
Swasta
|
|
Maluku
Menado
Tapanuli
Aceh
|
217
342 160 367 |
370
457 436 3 |
10
12 8 12 |
4
9 3 1 |
Jelaslah dari
tabel-tabel II, III, IV, bahwa jumlah sekolah - sekolah di Ambon tidak
bertambah banyak dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Menado dipilih di
sini karena di sana pun
perkembangan awalnya (abad ke-19) adalah sekolah - sekolah Zending. Tapanuli
pun demikian, sedangkan Aceh dan
Sumatera Timur merupakan pembanding lain karena daerah-daerah itu mempunyai
perkembangan politik dan ekonomi yang menarik.
Apabila angka-angka
jumlah sekolah di Maluku dilihat persebaran geografiknya, maka nampaklah bahwa
sekolah-sekolah yang diasuh gereja
Zending untuk kepentingan umum (bukan sekolah
agama model abad ke-19) menyebar ke wilayah-wilayah yang secara politis dan
ekonomis tersisihkan dalam abad - abad sebelumnya, dan sebab itu dalam
abad-abad sebelumnya kurang/tidak
diperhatikan keperluan pendidikannya (baik oleh Zending maupun oleh pemerintah).
Tabel V
(persebaran sekolah-sekolah 1915)
Pemerintah
|
Gereja/Zending
|
|
Ambon
dan lain-lain
Seram Kei-Aru dan lain-lain Maluku utara |
49
13
-
-
|
34
61 (p) 123 (banka RK) 81 (p) |
p = gereja/zending
RK = gereja/misi
RK = gereja/misi
Sekolah MULO di Ambon (sekitar 1928) |
Dari tabel-tabel II, III dan IV
nampak bahwa pertumbuhan sekolah-sekolah di Ambon lebih sedikit jumlahnya
dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Pada hal perkembangan pendidikan di
Maluku dalam abad ke-17 sampai abad ke-19 dapat dikatakan paling pesat.
Namun apabila jumlah murid-murid
Indonesia yang memasuki sekolah dibandingkan dengan jumlah penduduk dari pelbagai
daerah, maka keadaan di Maluku sebenarnya tidak sangat menurun Sebab utamanya
adalah pertumbuhan penduduk di Maluku lebih kecil dibandingkan dengan daerah - daerah
lainnya dalam bagian pertama abad ke-20. Di bawah ini diajukan perbandingan
antara Maluku dan Minahasa yang dikutip dari Algemeen Onderwijs Verslag tahun
193835.
Tabel VI
(perbandingan murid Indonesia dan penduduk)
(perbandingan murid Indonesia dan penduduk)
Maluku
|
Minahasa
|
|||||
Murid
|
Penduduk
|
%
|
Murid
|
Penduduk
|
%
|
|
1929/1930
1936/1937 1937/1938 |
27
38 39 |
876
976 986 |
1.32
1.25 1.25 |
69
64 66 |
1.110
1.230 1.250 |
1.16
1.19 1.18 |
(jumlah penduduk dan murid dalam ribuan, angka-angka ratusan
dihilangkan di sini).
Tabel-tabel tersebut hanya
bermaksud menunjukkan perkembangan dalam abad ke-20. Terutama perkembangan
pendidikan dasar (inheems dan westers). Perbandingan dan angka-angka itu
menunjukkan, bahwa:
- sekalipun pertambahan jumlah sekolah di Maluku lebih rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya, namun dalam persentasi penduduk dan jumlah murid, keadaannya masih cukup baik:
- sekolah-sekolah pemerintah cenderung dikonsentrasikan pada daerah-daerah yang sudah "terbuka" (oleh pendidikan zending abad ke-19). sedangkan sekolah-sekolah gereja/zending/misi cenderung dikonsentrasikan pada daerah-daerah yang sebelumnya belum/kurang mendapat fasilitas pendidikan;
- pendidikan menengah cenderung berkurang dibandingkan dengan jumlah murid-murid sekolah dasar, perkembangan pendidikan menengah terhenti sampai Mulo saja (satu buah).
Kesimpulan
Setelah melihat statistik sistem
pendidikan di Maluku dalam abad ke-20 kini perlu disimpulkan perkembangan dan
pengaruh dari sistem pendidikan di abad ke-19 (sekolah midras dan ABS).
Seperti dikemukakan dalam bagian
pendahuluan, pendekatan yang dipakai dalam makalah ini adalah melihat (1)
hakekat/inti/tujuan masing-masing sistem pendidikan tersebut, (2) hubungan-hubungannya
dengan sistem-sistem sosial lainnya (pemerintah, gereja, desa, kota). Tujuannya
untuk memperlihatkan pengaruh timbal balik dari semua sistem sosial tersebut dengan
sistem sekolah yang berbeda itu. Dalam bagian ini akan dikemukakan pengaruh
sistem pendidikan abad ke-19 dalam masyarakat. Pengaruh itu sedikit banyaknya
masih nampak pula sampai abad ke-20, sekalipun sistem pendidikan dalam abad
ke-20 telah berubah sama sekali. Paling kurang keadaan di pulau-pulau Ambon,
Haruku, Saparua, Nusalaut dalam abad ke-19, masih nampak di pulau-pulau lainnya
di awal abad ke-20.
1.
Penyesuaian di pedesaan.
Sekolah-sekolah midras yang
diasuh pihak Zending terutama terdapat di pedesaan. Pengaruh yang jelas nampak,
dan yang masih nampak sampai awal abad ke-20, ada dua. Pertama, penyesuaian pandangan hidup masyarakat
pedesaan. Kedua, adalah menyebarkan bahasa Melayu. Mengenai yang kedua dapat
dikatakan, bahwa sekolah-sekolah midras cukup berhasil. Bahasa Melayu yang tadinya hanya dikenal
penduduk beberapa negeri pantai
yang dalam masa pra-VOC mempunyai hubungan-hubungan dagang ke luar Maluku,
sejak tersebarnya sekolah-sekolah tersebut,
dikenal pula oleh penduduk negeri-negeri lainnya.
Bagaimana bentuk bahasa Melayu mi belum
banyak diselidiki. Salah seorang yang mencoba menyelidikinya dengan terutama
melihat pengaruh bahasa Portugis ke dalamnya adalah Paramita Abdurrachman36.
Tetapi dalam abad ke-19 dikenal pula
"Kerk Maleisch"
(Melayu Gereja) yang sangat dipengaruhi oleh Kitab Suci versi Leydeker. Tugas dari
dialek-tologi memang masih banyak
di wilayah ini. Peneliti-peneliti kontemporer terutama menaruh perhatian pada bahasa-bahasa
asli di Maluku. Saya pribadi
berpendapat, bahwa bahasa "Melayu Ambon" tidak perlu dikembangkan. Lebih berguna bila bahasa Indonesia
dikembangkan, sekalipun sampai mendesak bahasa "Melayu Ambon" tersebut, sama seperti bahasa itu pernah pula mendesak sama sekali bahasa dialek-dialek asli. Namun sementara itu dapat dikatakan, bahwa pengaruh penyebaran bahasa "Melayu Ambon" banyak manfaatnya di masa lampau. Adanya lingua-franca itu menyebabkan penduduk dari pelbagai pulau yang berlainan dialek itu dapat berkomunikasi. Tulisan-tulisan (surat-surati para kepala desa, guru-guru dan lain-lain. Dalam bahasa mi yang tersimpan di Arsip Nasional (Arsip Residentie Amboina) menjadi buktmya. Selain itu bahasa ini juga pernah menjadi alat yang cukup baik untuk menyebarkan agama Kristen. Sekalipun banyak kekurangannya (seperti akan disinggung di bawah ini), dalam masa berlangsungnya sistem pendidikan midras tersebut, agama Kristen berhasil mendapat pengikut yang banyak di Maluku Tengah. Malah agama tersebut membaur menjadi satu dengan
unsur-unsur setempat sehingga menjadikannya suatu bentuk budaya yang dianggap sebagai milik sendiri oleh penduduk setempat37.
dikembangkan, sekalipun sampai mendesak bahasa "Melayu Ambon" tersebut, sama seperti bahasa itu pernah pula mendesak sama sekali bahasa dialek-dialek asli. Namun sementara itu dapat dikatakan, bahwa pengaruh penyebaran bahasa "Melayu Ambon" banyak manfaatnya di masa lampau. Adanya lingua-franca itu menyebabkan penduduk dari pelbagai pulau yang berlainan dialek itu dapat berkomunikasi. Tulisan-tulisan (surat-surati para kepala desa, guru-guru dan lain-lain. Dalam bahasa mi yang tersimpan di Arsip Nasional (Arsip Residentie Amboina) menjadi buktmya. Selain itu bahasa ini juga pernah menjadi alat yang cukup baik untuk menyebarkan agama Kristen. Sekalipun banyak kekurangannya (seperti akan disinggung di bawah ini), dalam masa berlangsungnya sistem pendidikan midras tersebut, agama Kristen berhasil mendapat pengikut yang banyak di Maluku Tengah. Malah agama tersebut membaur menjadi satu dengan
unsur-unsur setempat sehingga menjadikannya suatu bentuk budaya yang dianggap sebagai milik sendiri oleh penduduk setempat37.
Mengenai pengaruh timbal balik
nilai-nilai agama Kristen dengan nilai-nilai budaya setempat keadaannya sedikit
berlainan. Agama Kristen yang dibawa oleh para Zending mempunyai perbedaan yang
mencolok dengan agama yang dibawa di masa VOC. Pada masa Zending muncul teologi
baru yang di Eropa daratan dinamakan Pietisme dan di Inggris dan Amerika
dinamakan Revivalism. Teologi ini berbeda dengan teologi sebelumnya karena
menekankan aspek perasaan, emosi, bawah sadar. Yang terutama dipentingkan
bukanlah sekedar pengenalan agama yang bersifat ritualistik formal seperti
dibawakan
dalam gereja-gereja yang sudah mapan. Yang diinginkan oleh gerakan Revival (pihak Zending) adalah penghayatan batin, keterlibatan emosional, dan pihak umatnya. Sebab itu para Zending abad ke-19 bukanlah pendeta resmi dari suatu gereja, sekalipun mereka juga dibekali dengan pendidikan teologia.
Kebanyakan tidak mendapat pendidikan akademis (seperti para Zending abad ke-20). Yang dipilih adalah orang-orang biasa yang bisa dengan mudah berkomunikasi dengan orang - orang biasa pula38.
dalam gereja-gereja yang sudah mapan. Yang diinginkan oleh gerakan Revival (pihak Zending) adalah penghayatan batin, keterlibatan emosional, dan pihak umatnya. Sebab itu para Zending abad ke-19 bukanlah pendeta resmi dari suatu gereja, sekalipun mereka juga dibekali dengan pendidikan teologia.
Kebanyakan tidak mendapat pendidikan akademis (seperti para Zending abad ke-20). Yang dipilih adalah orang-orang biasa yang bisa dengan mudah berkomunikasi dengan orang - orang biasa pula38.
Guru-guru HIS Saparoea (1928) |
Penekanan pada aspek-aspek
emosional itu menjelaskan pula penggunaan bahasa Melayu Rendahan ("Melayu
Ambon"). Sekalipun secara resmi telah ditentukan bahwa Kitab Suci versi
Leydekker (bahasa Melayu Tinggi) yang harus digunakan, namun dalam berkhotbah
banyak Zendeling yang tetap
menggunakan bahasa Melayu Rendah39. Malah banyak tulisan-tulisan bersifat keagamaan diterbitkan oleh Reskott dalam bahasa ini40. Maksudnya jelas. Bahasa itu digunakan sehari hari, dekat di hati pemakainya. Sebab itu pula lebih efektif apabila digunakan untuk menyampaikan teologi revival dan pihak zendeling (perlu ditambahkan disini bahwa Leydekker bukan Zendeling tetapi pendeta yang mendapat pendidikan
formal dan ditahbiskan dalam suatu gereja tertentu).
menggunakan bahasa Melayu Rendah39. Malah banyak tulisan-tulisan bersifat keagamaan diterbitkan oleh Reskott dalam bahasa ini40. Maksudnya jelas. Bahasa itu digunakan sehari hari, dekat di hati pemakainya. Sebab itu pula lebih efektif apabila digunakan untuk menyampaikan teologi revival dan pihak zendeling (perlu ditambahkan disini bahwa Leydekker bukan Zendeling tetapi pendeta yang mendapat pendidikan
formal dan ditahbiskan dalam suatu gereja tertentu).
Sekalipun sulit ditentukan
melalui dokumen-dokumen sekunder, namun dari penilaian pelbagai Zendeling dan
pendeta di abad ke-19. jelas nampak bahwa ajaran-ajaran agamaProtestan diterima
oleh masyarakat pedesaan. Ajaran-ajaran agama Kristen terutama menyangkut
hubungan manusia dengan
Tuhan hidup di akhirat, jalan ke arah surga. Agama Kristen sama sekali tidak membawa pandangan dunia tertentu, tidak ada apa yang dinamakan Weltanschaung. Konsep mengenai masyarakat dan dunia sama sekali tidak diajarkan agama Kristen. Masalah itu dikesampingkan sama sekali. Pandangan mengenai dunia dan masyarakat justru muncul dari kebudayaan sekuler di Eropa, terutama setelah Aufklärung41.
Tuhan hidup di akhirat, jalan ke arah surga. Agama Kristen sama sekali tidak membawa pandangan dunia tertentu, tidak ada apa yang dinamakan Weltanschaung. Konsep mengenai masyarakat dan dunia sama sekali tidak diajarkan agama Kristen. Masalah itu dikesampingkan sama sekali. Pandangan mengenai dunia dan masyarakat justru muncul dari kebudayaan sekuler di Eropa, terutama setelah Aufklärung41.
Hal tersebut menyebabkan
terjadinya suatu percampuran yang menarik antara agama Kristen di pedesaan
Maluku dengan unsur-unsur "agama suku", sehingga muncul apa yang dijuluki
"Agama Ambon". Unsur-unsur yang tetap bertahan dalam masyarakat pedesaan
adalah pandangan dunianya (weltanshaung)42. Pada umumnya pandangan dunia itu adalah
sebagai berikut: alam semesta terbagi atas bagian atas dan bagian bawah, bagian
laut dan darat, bagian pria dan wanita. Pada umumnya salah satu bagian itu
diidentifikasikan dengan tenaga - tenaga supernatural (dewa, roh halus, nenek
moyang), sedangkan bagian satunya lagi diidentifikasikan dengan keadaan nyata (manusia,
dan lain-lain). Ini sebabnya nenek moyang dalam masyarakat, yang berdasarkan
susunan kekerabatan tertentu itu, dianggap sangat penting. Malah ada cara-cara
(ritus) yang berguna untuk menyatakan hubungan keluarga dengan nenek moyangnya.
Suatu kenyataan yang aneh adalah, walau
unsur - unsur supernatural lainnya (seperti dewa, roh halus, dan lainlain)
menghilangkan atau didegradir sebagai kekuatan-kekuatan negatif, namun nenek
moyang tetap mendapat tempat dalam sistem nilai manusia Maluku di abad-abad
yang lampau43.
Agama Ambon yang disebut pelbagai penulis dan sarjana44 merupakan suatu konsekuensi logis dari perkembangan tersebut diatas. Keadaan itu disebabkan sistem pendidikan keagamaan yang sama sekali tidak menganut pengertian-pengertian sekularisasi seperti yang diajarkan oleh sekolah-sekolah Zending.
Keadaannya berbeda sekali apabila kita bandingkan denganperkembangan sistem pendidikan pribumi yang dikembangkan di Jawa sejak 1848. Dalam sistem ini jelas terdapat pengertian sekularisasi, masalah agama tidak dimasukkan dalam sistem pendidikan itu (prinsip netralitas). Sistem pendidikan tersebut terakhir itu dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang telah dipengaruhi oleh rasionalisme dari Aufklarung.
Agama Ambon yang disebut pelbagai penulis dan sarjana44 merupakan suatu konsekuensi logis dari perkembangan tersebut diatas. Keadaan itu disebabkan sistem pendidikan keagamaan yang sama sekali tidak menganut pengertian-pengertian sekularisasi seperti yang diajarkan oleh sekolah-sekolah Zending.
Keadaannya berbeda sekali apabila kita bandingkan denganperkembangan sistem pendidikan pribumi yang dikembangkan di Jawa sejak 1848. Dalam sistem ini jelas terdapat pengertian sekularisasi, masalah agama tidak dimasukkan dalam sistem pendidikan itu (prinsip netralitas). Sistem pendidikan tersebut terakhir itu dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang telah dipengaruhi oleh rasionalisme dari Aufklarung.
Siswa - Siswa HIS Saparoea |
Akibat dari akulturasi tersebut
sesungguhnya tidak terjadi perubahan-perubahan nilai yang drastis dalam
masyarakat pedesaan. Sistem nilai tradisional masih tetap bertahan dalam abad
ke-19, dan agama Kristen dicocokkan dengannya. Dengan demikian jelas sistem
pendidikan Zending tidak membawa perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat
pedesaan. Sistem pendidikan itu menghasilkan petani cengkih dan nelayan yang beragama
Kristen. Tidak ada perubahan-perubahan yang drastis sebab sistem nilai tidak
merestui atau menganjurkannya.
Keadaan ini memang sangat baik
untuk kepentingan-kepentingan kolonial. Sejak pemberontakan Pattimura di tahun
1817, tidak pernah terjadi lagi pemberontakan lainnya45. Apakah hal
ini juga menyebabkan hal-hal lain seperti tidak terjadinya peningkatan
pendidikan secara drastis di Maluku dibandingkan dengan di Minahasa dalam awal
abad ke-20° Jawaban atas hal ini memerlukan penelitian yang lebih seksama. Sumber-sumber
sekunder yang ada hanya menyangkut keadaan abad ke-1946. Diperlukan penelitian sumber-sumber primer
yang masih tersimpan dalam arsip-arsip47.
2. Kesimpulan yang kedua menyangkut sistem pendidikan ABS.
Sekolah ini jelas berbeda dengan
midras. Letaknya di kota Ambon dan terutama untuk penduduk kota (burgers) dan
anak-anak kepala desa. Tujuannya jelas berbeda pula, yaitu untuk menciptakan tenaga-tenaga
klerk (administrasi rendahan) di kota-kota besar, serta memberi bekal
secukupnya bagi calon-calon kepala desa. Orientasinya jelas sekuler. Masyarakat
burger pun berlainan dengan masyarakat pede-saan
yang erat dengan nilai-nilai tradisional. Karena tujuan (dan nilai-nilai yang
dikandungnya) adalah untuk menjadikan anak-anak lebih mendekati Belanda dari
pada penduduk desa, maka
lulusannya banyak yang dipekerjakan dalam lingkungan pemerintahan Belanda.
Jabatan-jabatan seperti klerk sampai
komis sudah diduduki golongan 'Tnlandsche burgers" tersebut sejak awal abad ke-19.
Kemudian malah banyak yang
keluar dari batas geografis Maluku tanpa ada perasaan-perasaan yang menghalangi Ini berbeda dengan penduduk desa yang dalam abad ke-19 masih enggan meninggalkan desanya48. Dari sekolah ini pula banyak pemuda yang berhasil memasuki sekolah dokter Jawa49. Jabatan jaksa pada pelbagai Landraad di daerah-daerah di Maluku Tengah (suatu jabatan yang dicapai secara magang) juga terbuka bagi para pemuda yang
baik Sekalipun para pejabat tersebut tetap menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan serta bahasa resmi (“gouvernments Maleisch")50, namun penguasaan bahasa Belanda untuk berkomunikasi dengan atasan juga penting.
keluar dari batas geografis Maluku tanpa ada perasaan-perasaan yang menghalangi Ini berbeda dengan penduduk desa yang dalam abad ke-19 masih enggan meninggalkan desanya48. Dari sekolah ini pula banyak pemuda yang berhasil memasuki sekolah dokter Jawa49. Jabatan jaksa pada pelbagai Landraad di daerah-daerah di Maluku Tengah (suatu jabatan yang dicapai secara magang) juga terbuka bagi para pemuda yang
baik Sekalipun para pejabat tersebut tetap menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan serta bahasa resmi (“gouvernments Maleisch")50, namun penguasaan bahasa Belanda untuk berkomunikasi dengan atasan juga penting.
Makin meluasnya
nilai-nilai budaya Barat dalam masyarakat pedesaan abad ke-20. makin banyak
pula orang yang mendambakan
sekolah-sekolah sejenis ABS tersebut. Terutama di pulau Saparua nampak jelas
keinginan orang untuk mengambil
oper kebiasaan-kebiasaan Barat seperti nampak pada golongan Burgers atau
"Gelijkgestelden" Sebab itu pada tahun 1911 di Saparua pun dibuka
sekolah jenis ABS itu
dengan nama "Saparoeasche School". Melalui sekolah yang mengajarkan bahasa Belanda itu orang bisa mencapai pelbagai pekerjaan melalui "kleinambtenaars examnen". Mereka juga bisa melanjutkan sekolah ke Mulo. dan dengan demikian terus ke sekolah tinggi51. Malah Ambonsche Studiefonds yang didirikan di Batavia pada tahun 191152 itu akhirnya berhasil pula mendirikan sekolah serupa di Nusalaut, sekalipun sekolah itu tetap dikategorikan sebagai "wildeschool" oleh pemerintah53.
dengan nama "Saparoeasche School". Melalui sekolah yang mengajarkan bahasa Belanda itu orang bisa mencapai pelbagai pekerjaan melalui "kleinambtenaars examnen". Mereka juga bisa melanjutkan sekolah ke Mulo. dan dengan demikian terus ke sekolah tinggi51. Malah Ambonsche Studiefonds yang didirikan di Batavia pada tahun 191152 itu akhirnya berhasil pula mendirikan sekolah serupa di Nusalaut, sekalipun sekolah itu tetap dikategorikan sebagai "wildeschool" oleh pemerintah53.
Guru dan Murid-murid HIS Saparoea (1932) |
Sebagai rangkuman
dapat dikatakan, pertama, sekolah tipe
midras tidak menghasilkan perubahan-perubahan sosial diMaluku
Tengah abad ke-19, kedua, sekolah tipe ABS membawa perubahan-perubahan dalam
sistem nilai dan hasrat untuk memasuki lingkungan alam dan budaya Barat.
Ketiga, perlu penelitian mengenai keadaan sosial budaya Maluku Tengah di paroh
pertama abad ke-20 untuk menyatakan dengan
pasti sampai di mana situasi sosial-budaya abad ke-19 berbeda dengan keadaan di abad ke-20 itu. karena generalisasi-generalisasi berdasarkan sumber sekunder tidak memadai lagi54.
pasti sampai di mana situasi sosial-budaya abad ke-19 berbeda dengan keadaan di abad ke-20 itu. karena generalisasi-generalisasi berdasarkan sumber sekunder tidak memadai lagi54.
Berkaitan dengan tipologi sistem
pendidikan menurut Weber seperti disinggung dalam bagian pendahuluan makalah ini.
dapat dikatakan, bahwa sistem pendidikan midras tergolong sistem pendidikan
yang bertujuan menghasilkan "the cultivated man” dengan cara "'to
inculcate accepted bodies of information and set of believe". Sebaliknya
sistem pendidikan ABS termasuk "modern" karena tekanan pada rasionalismenya
serta tujuan praktisnya. Tetapi sistem ABS belum bisa dikategorikan sebagai
sistem pendidikan modern dalam arti penyampaian "basic tools to enhance
knowledge". Dengan demikian dalam
masyarakat kolonial yang tradisional seperti yang terdapat dalam abad ke-19 ada kemungkinan terdapatnya dua sistem pendidikan yang berbeda (tradisional dan modern) sekalipun sistem yang modern tersebut masih mengandung unsur-unsur tradisional juga. Kedua sistem itu sesungguhnya merupakan sistem-sistem transisi yang sesuai dengan perkembagan masyarakat kaluku Tengah di abad ke-19
masyarakat kolonial yang tradisional seperti yang terdapat dalam abad ke-19 ada kemungkinan terdapatnya dua sistem pendidikan yang berbeda (tradisional dan modern) sekalipun sistem yang modern tersebut masih mengandung unsur-unsur tradisional juga. Kedua sistem itu sesungguhnya merupakan sistem-sistem transisi yang sesuai dengan perkembagan masyarakat kaluku Tengah di abad ke-19
=====
selesai =====
Catatan Kaki
32. ELS
pertama kali dibuka tahun 1817 di Batavia kemudian di Surabaya, Semarang, Surakarta,
dan Gresik. Pada tahun 1833 sudah ada 33 buah. 1845 meningkat menjadi 45 buah,
dan tahun 1857 menjadi 57 buah. dan seterusnya. (Brugmans. op.cit. halaman
97).
33. Di Maluku
(Ambon) peraturan itu mulai dilaksanakan pada tahun 1867. Dari 21 calon yang
mengikuti ujian itu hanya 3 yang lulus. ABS memang sudah merupakan saluran
kearah jabatan-jabatan klerk di Ambon.
34. Dalam
bagian ke-2 abad ke-19 seluruhnya dibuka sembilan buah kweek-school. yaitu
Surakarta (1852, kemudian pada tahun 1875 dipindahkan ke Magelang), Fort de Koek
(1856), Tanah Batu (1864), Bandung (1866), Tondano (1873), Ambon (1874),
Probolinggo (1875), Banjarmasin (1875), Makasar (1876), dan Padan Sidempuan
(1879). Lihat Brugmans. op.cit. halaman 183
35. Untuk
wilayah Sumatera Timur dan Sumatera Barat prosentasenya masing-masing adalah:
1929/1930: 1.48; 1.24
1936/1937; 1.36;1.21
1937/1938; 1.36; 1.20
1929/1930: 1.48; 1.24
1936/1937; 1.36;1.21
1937/1938; 1.36; 1.20
36. Paramita
Abdurachman, "Peninggalan-peninggalan yang berciri Portugis di
Ambon", Bunga Rampai Sejarah Maluku (1). (Jakarta 1971) halaman
45-83.
37. Lihat
umpamanya keterangan-keterangan para zendeling seperti J.J. Verhoeff. "De
gemeenten op Leitimor (eiland Amboina) in 1871". MNZG, 16 (1872),
halaman 368- 378; R. Bossert, "Kerk en Christendom op Saparoea", MNZG,
19 (1875) halaman 234-266: F.G.W. Kemmen, "De Inlandsche christen gemeenten
op de Ambonsche eilanden", MNZG, 26 (1882). halaman 31-54, 243-266.
38. Dr. Th
van den End. Ragi carita. Sejarah Gereja di Indonesia (1500-1860), Jakarta
1980. halaman 150-157.
39. Lihat
keterangan para zendeling tersebut dalam catatan nomor 37.
40. Mengenai
karya-karya Roskott lihat Coolsma. loc. cit. Kemman, loc. cit. van
Rhijn. loc. cit.
41. Pandangan-pandangan
mengenai masyarakat dan dunia muncul dalam pelbagai ideologi yang nampak sejak
abad ke-19 seperti nasionalisme, sosialisme, komunisme, dan lain-lain.
42. H. R.
Jansen, "Inheemsche groeben-systernen in de Ambonsche Molukken
(1929",Adatrechtbundels, 36 (1933) halaman 444-459. FAE. van
Wouden. Sociale structuurtypen in de Groote Oost, (Leiden 1935), Z.J.
Manusama, Hikayat Tanah Hitu, Historie en sociale structuur van de Ambonsche
eilanden in het algemeen en van UU Hitu in het b$ ander tot het midden den
enertiende eeuw (Disretasi Leiden 1977)
43. Salah satu manifestasi modernnya adalah sistem
pela di Maluku Tengah. Lihat D. Bartels, Guarding the invisible mountain:
intervittage alliances, religious syncritisme and ethnic identity among Ambonese
Christians and Moslems in the Moluccas (Disertasi Universitas Cornell,
1977).
44. Mengenai
"Agama Ambon" lihat D. Bartles, loc. cit. Van den End, op.cit.
halaman 158-168, Van den End menyatakan bahwa walau zending bekerja juga di
Minahasa, disana tidak pernah muncul "Agama Minahasa". Sekalipun
demikian praktek-praktek yang sama nampak juga disana
45. Pemberontakan
ini terutama disebabkan karena para masa pendudukan Inggris sebelumnya yang
berlangsung sekitar 10 tahun, telah terjadi perubahan-perubahan yang besar dalam
kehidupan masyarakat Maluku Tengah.
46. Tulisan-tulisan
itu pada umumnya berfokus pada kecaman atas sistem tanam paksa dan pengendalian
ekonomi oleh negara pada umumnya seperti monopoli rempah-rempah di Maluku.
Perubahan pandangan politik ini terjadi dalam rangka penyebaran paham
liberalisme yang mulai mempengaruhi kehidupan politik di negeri Belanda sejak
pertengahan abad ke-19.
47. Sayangnya
saya tidak berhasil mendapatkan disertasi Richard Chauvel (dari Australia) yang
menitik beratkan perkembangan di Maluku dalam bagian pertama dari abad ke-19.
48. Pemberontakan
di Ambon pada tahun 1829 terutama disebabkan soldadu-soldadu. Saparua (bekas anggauta
pasukan Pattimura) berkeberatan dipindahkan ke Jawa sebagai soldadu.
49. Dokter
jawa yang pertama di Maluku Tengah adalah PS. Soumokil, J. Anakotta, dan AT.
Tanalipi (1860). Kemudian menyusul lagi beberapa orang sampai berjumlah
sembilan orang sesuai dengan sembilan distrik kesehatan di Maluku Tengah.
50. Hal-hal
seperti itu dapat dilihat dalam surat-menyurat para pejabat desa, jaksa, dokter
jawa, guru dan penduduk desa pada umumnya yang terdapat dalam arsip-arsip Belanda
di Residentie Archief, Arsip Nasional
Jakarta. Tulisan-tulisan itu dilakukan dengan menggunakan huruf latin dan
bahasa Melayu. Dari masyarakat Islam surat-surat itu berhuruf jawi.
51.
I.M. Putuhena adalah seorang anak nelayan dari Saparua yang
disekolahkan orang tuanya di Saparoeasche School, dan lulus dengan gemilang dan
mendapat 'Tondanobeurs" untuk belajar di Mulo Tondano. Kemudian ia
mendapat beasiswa lagi untuk meneruskan ke AMS Yogya dan melalui beasiswa
Ambonsche Studiefends ia berhasil menamatkan ITS di Bandung. Mr. Latuharhary
menamatkan pendidikannya di Leiden juga dengan beasiswa Ambonsche Studiefonds.
Masih banyak pemuda-pemuda Ambon lainnya yang berhasil maju karena AFS.
52. AFS
didirikan oleh dr. W.K. Tuehupeiory pada tahun 1909 di Batavia. Organisasi ini
baru dibubarkan pada tahun 1942 dengan masuknya Jepang ke Indonesia.
53. J.J.G.
Kruseman. "Eenige opmerkingen omtrend den eeredienst het inlandsen
onderwijs en het inlandsen bestuur". Kolonials Tijdschrift, 5
(1916). halaman 1425- 1449.
54. Makalah
ini tidak membicarakan Ambonsche School yang sejak awal abad ke-20 didirikan
pemerintah Hindia Belanda dipelbagai tempat di Jawa dimana terdapat
asrama-asrama muiter seperti di Cimahi. Magelang.E ogyakarta. Makasar, dan
Kutaraja, dan lain-lain. Sekolah-sekolah ini dimasuki pula oleh anak-anak
Menado dan Timor. Jenis sekolah-sekolah ini berbeda dengan Ambonsche Burger
School (satuSaparoeasche School) di Maluku Tengah. Selain itu terdapat pula
Delische School, Asahansche School, Langkatsche School (semuanya didirikan pada
tahun 1901). Pada tahun 1912 didirikan pula Tendaansche School, Langoansche
School, Armadidische School, Amurangsche School, dan sebelumnya sudah ada
Menadoseche School. Selain itu ada pula Depoksche School. Dalam sistem pendidikan
Hindia Belanda sekolah-sekolah ini dimasukkan sebagai "Speciale
Scholen", karena khusus untuk kelompok masyarakat tertentu saja. Namun
tingkatannya semua sama, yaitu sederajat dengan HIS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar