A.
Kata Pengantar
Leonard Yuzon Andaya,
profesor sejarah Asia Tenggara dari Universitas Manoa Hawaai yang berdarah
Filipina ini, menguraikan tentang jaring perdagangan lokal di Maluku pada awal
abad modern dalam artikel sepanjang 26 halaman ini. Artikel aslinya berjudul Local Trade Networks in Maluku in the
16th, 17th, and 18th Centuries, yang dimuat di Jurnal
Cakalele volume 2, nomor 2 (1991) pada halaman 71 – 96. Dalam artikel ini,
Andaya mengkaji jaringan perdagangan lokal di kepulauan Maluku, dengan
menjelaskan tentang pihak-pihak penting yang terlibat seperti orang-orang Bugis
dan Cina. Bahkan disebutkan bahwa orang Cina telah berlayar jauh hingga ke timur
sejak dahulu kala. Pemahaman ini memungkinkan kita untuk paling tidak mengerti
dan menerima, bahwa “orang-orang Cina” bisa dianggap sebagai “orang pribumi” dan
kehadiran mereka yang tersebar di Maluku dalam konteks masa sekarang, bukanlah
fenomena kemarin sore. Begitu juga dengan kehadiran orang “Bugis” yang salah
satunya adalah orang Buton di kepulauan Maluku.
Selain mengurai
tentang pihak-pihak yang terlibat, Andaya juga mengurai beberapa item utama
yang menjadi item viral perdagangan di masa itu, seperti cengkih, budak, kain
dan besi. Ada fenomena pertukaran barang-barang itu dalam dinamika sosial dan
perdagangan orang-orang Maluku.
Ada juga informasi
menarik, dalam skop yang lebih kecil, yaitu dalam konteks pulau Saparua. Andaya
dengan mengutip sumber-sumber dari Tiele dan Laporan Umum Gub Jend VOC,
menyebutkan bahwa minimal dalam periode tahun 1633, para pedagang pulau Saparua
telah berlayar hingga ke Onin, di pesisir Papua untuk membeli budak. Informasi
penting ini menjadi dasar untuk kita dapat memahami, mengapa di akhir abad
ke-18 dan awal abad ke-19 (1817), beberapa penduduk negeri Saparua memiliki
para budak dalam kehidupan sosial mereka.
Dengan memahami
pentingnya kajian ini, maka kami memberanikan diri untuk menerjemahkan artikel
ini. seperti disebutkan sebelumnya, artikel ini sepanjang 26 halaman, dengan 84
catatan kaki, namun sayangnya tidak ada gambar ilustrasi. Maka pada artikel
terjemahan ini, kami masukan beberapa gambar, untuk mempermanis saja isi
artikel. Kami juga membagi artikel ini menjadi 2 bagian, sehingga mudah diikuti
dan ringan untuk dibaca.
Akhir kata... selamat
membaca kajian-kajian bermutu... dan selamat bersejarah.....
B.
Terjemahan : Kutu
Busu
Dari
sudut pandang orang luar, keanekaragaman bahasa dan kelompok etnis yang tersebar
di banyak pulau dan sering tidak dapat diakses di Maluku, mungkin tampaknyya
menjadi pencegah utama kontak ekonomi antara masyarakat. Tetapi, justru karena
kelompok-kelompok ini hidup di pulau-pulau kecil atau di pulau-pulau besar yang
berhutan dengan lahan subur yang terbatas, perdagangan dengan tetangga mereka
merupakan kebutuhan ekonomi. Ketidakpercayaan terhadap orang asing seringkali
diatasi melalui pernikahan atau mitra dagang. Namun, pembenaran paling efektif
untuk kerjasama antara kelompok-kelompok di Maluku adalah kepatuhan terhadap
mitos asal usul yang membentuk hubungan keluarga dengan masyarakat sampai jauh
ke arah barat yaitu Butung dan sampai jauh ke timur, yaitu kepulauan Papua1.
Catatan-catatan
Perusahaan Belanda Hindia Timur (VOC) yang tersimpan di Kearsipan Negara di Den
Haag, menawarkan pandangan sekilas yang berguna tentang operasi jaringan
perdagangan lokal di Maluku. Meskipun pada dasarnya terkait dengan kegiatan
ekonomi mereka sendiri di daerah tersebut, VOC (Belanda) merasa perlu untuk
memahami sesuatu tentang sifat hubungan-hubungan pertukaran penduduk pribumi.
Namun, informasi tersebut tidak pernah membentuk dasar untuk suatu laporan
sistematis, tetapi tersebar dalam berbagai dokumen, dalam bentuk pengamatan
atau pengalaman pribadi para pejabat VOC (Belanda). Dari potongan-potongan
informasi ini, dimungkinkan untuk merekonstruksi beberapa kompleksitas
pertukaran di Maluku dalam 3 abad ini, dan untuk mengamati dinamika kelompok
lokal dalam beradaptasi dengan perkembangan ekonomi baru di wilayah tersebut.
Selain
orang-orang Maluku, ada 2 kelompok orang asing yang paling penting bagi
keberhasilan integrasi jaringan perdagangan lokal, yaitu : Orang Bugis dan
Orang Cina. Beberapa pengetahuan tentang peran yang mereka mainkan diperlukan
untuk memahami fungsi ekonomi wilayah tersebut. Tidak seperti orang Eropa,
orang Bugis dan Cina mengunjungi dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan terpencil
yang tersebar di seluruh Maluku. Mereka berhasil memantapkan diri mereka
sebagai perantara yang melayani jaringan pertukaran yang lebih lokal, serta
pedagang langsung dengan produsen atau pengumpul di daerah tertentu yang
biasanya dijauhi oleh kelompok-kelompok lain.
Produk-produk
yang dipilih untuk dikaji – cengkih, budak, kain dan besi – adalah
item-item utama pertukaran sepanjang periode ini. Mereka berfungsi
“menggembleng” kelompok-kelompok lokal untuk memperdagangkan barang-barang
khusus dalam jaringan perekonomian tertentu, untuk mendapatkan produk-produk
yang diinginkan ini. Sintesa terhadap berbagai materi data sepanjang abad-abad
ini, memberikan gambaran dinamis dari satu zona ekonomi yang terus menerus
menyesuaikan diri dengan perubahan situasi-situasi, meskipun ada upaya oleh
orang Eropa untuk mengendalikan dan mengembalikan (arah) perdagangan.
Peta pulau Nova Guinea (Papua) dan Maluku (sekitar tahun 1600) |
ORANG-ORANG “BUGIS”
Pada akhir abad ke-16 dan paruh pertama abad ke-17,
orang-orang Makasar dari kerajaan kembar, Gowa dan Tallo di Sulawesi Selatan,
telah menjadi salah satu kekuatan politik dan ekonomi paling kuat di kepulauan
ini. Mengambil manfaat dari pengalaman dan link-link ekonomi yang dibawa oleh
para “pelarian” dari Johor, Pahang, Lingga, Gresik, Bukit (dekat Surabaya), Jararatan, Sidayu dan Banda, orang-orang Makasar
menjadi kekuatan dagang utama di seluruh nusantara. Di antara para pelarian
yang paling berpengaruh adalah orang-orang Banda, dimana sekitar 1000 orang di
antaranya telah diberi perlindungan oleh Sultan Makasar pada tahun 1624,
setelah mereka diusir secara brutal dari pulau-pulau mereka oleh VOC (Belanda)2.
Mereka telah menjadi pedagang utama rempah-rempah pada abad ke-15 dan awal abad
ke-16, pergi dengan kapal-kapal mereka ke berbagai bagian timur untuk membeli
cengkih, pala, bunga pala, dan kemudian membawa rempah-rempah itu langsung ke
Malaka3. Kontak-kontak dan pengetahuan mereka tentang perdagangan,
memungkinkan (wilayah) Makasar untuk berkembang menjadi pasar utama
rempah-rempah di wilayah timur.
Untuk
mendapatkan cengkih, kapal-kapal orang Makasar biasanya mengikuti rute yang
menuju utara Halmahera dan menyusuri pantai timur ke Maba. Dari sini, mereka
“dipandu” oleh kora-kora Tidore di sekitar ujung selatan Halmahera, masuk
melalui selat Patinti, dan akhirnya ke utara menuju Tidore. Dalam pencarian
rempah-rempah, kapal-kapal orang Makasar juga sering mengunjungi Weda, Obi,
Akelamo, Makian, Mayu, dan berbagai tempat di timur laut Halmahera dan
Kepulauan Sula. Orang-orang Maluku lebih suka membawa rempah-rempah mereka ke
sejumlah tempat untuk dijual kepada para pedagang Makasar, yang menawarkan
harga yang lebih baik daripada orang-orang Eropa4. Di Luhu, di
semenanjung Hoamoal di Seram, orang-orang Ternate menolak menjual cengkih
mereka ke VOC, dan alih-alih mengangkutnya melewati pegunungan ke Lesidi dan
Erang, dimana barang itu dijual kepada orang Makasar yang ditukarkan dengan
beras dan para budak5.
Setelah
kekalahan kerajaan Gowa – Tallo oleh VOC pada tahun 1669, Makasar tetap menjadi
pusat perdagangan yang penting, namun sekarang dikuasai oleh para pedagang
Bugis. Orang Bugis dari Bones, Soppeng, dan Wajo sangat menonjol di Makasar dan
menjalin hubungan dengan rekan-rekan mereka yang telah melarikan diri atau
bermigrasi setelah perang Makasar tahun 1666 – 1669. Banyak dari orang-orang pelarian
asal Sulawesi Selatan ini dipimpin oleh pangeran-pangeran mereka sendiri, dan
kemudian menikah dengan keluarga kerajaan di Jawa, Sumatera, Semenanjung
Melayu, Sumbawa dan Kalimantan. Belakangan, permusuhan lama di wilayah mereka
dilupakan di tempat yang baru, karena kesamaan budaya dan bahasa sering mengalahkan
perbedaan politik, terutama dalam urusan konflik dengan kelompok lain. Di luar
Sulawesi, perbedaan antara kelompok Bugis, Makasar, dan Mandar diabaikan oleh
orang lain, sehingga siapapun dari Sulawesi Selatan disebut “ Bugis”. Pemukiman
“Bugis” yang tersebar di seluruh kepulauan menjadi titik-titik jaringan
perdagangan dengan ujung timur di Makasar dan ujung barat di Johor – Riau6.
Replika Padewakang, kapal Makasar (sumber gambar : Buku Adriaan Horidge ) |
Pada
abad ke-18, aktivitas orang-orang Bugis meningkat tajam. Dari pangkalan utama
mereka di Johor – Riau di barat dan Makasar di timur, mereka mengikuti 2 rute
ke pulau-pulau bagian timur. Mereka pergi lewat rute utara ke Palu dan melalui
darat ke Parigi di teluk Tomini; atau lewat rute timur melalui Teluk Bone atau
melalui darat ke Tobunku di Sulawesi Tenggara. Dengan berbekal kain India yang
dibeli dari kompeni dan kain Makasar, mereka pergi dengan perahu ke Butung,
Tobunku, Banggai, Sula, Seram Laut, dan sampai jauh ke timur, yaitu Onin di
pesisir Papua7. Di Keffing dan pelabuhan-pelabuhan lain di Seram
Timur, mereka dapat menukar pakaian mereka dengan rempah-rempah dan budak, yang
kemudian mereka bawa ke Banggai untuk dijual8. Yang sangat sukses
adalah para pedagang Bugis, yang pada tahun 1766, Sultan Ternate menyatakan
dengan marah bahwa wilayah-wilayah Ternate yaitu Sula dan Banggai “penuh dengan
orang Bugis”9. Mereka adalah pedagang utama rempah-rempah, pergi
dengan perahu ringan mereka, yang dikenal sebagai padewakang, dari Sulawesi ke Seram Timur dan Papua, suatu tempat
dimana mereka mendapatkan rempah-rempah dan membawanya ke Pasir, Sulu, dan
bahkan Manila, dimana mereka mendapatkan harga yang jauh lebih tinggi daripada
di tempat lain10.
Orang-orang
Bugis sama-sama menonjol dalam perdagangan melalui rute utara ke Teluk Tomini. Di
Gorontalo dan Limboto, mereka menukar kain India dengan cangkang kura-kura,
yang diam-diam dibawa oleh penduduk setempat, satu atau 2 kali pada malam hari11.
Para budak adalah barang (item) lain yang diperoleh orang Bugis di Teluk
Tomini. Dalam perjalanan pulang, mereka pergi ke Parigi, melalui darat ke Palu,
dan kemudian ke Berau, sebuah pusat baru yang berkembang pada abad ke-18, yang
berlokasi ideal di timur laut Kalimantan, antara perdagangan Bugis yang berpusat
di Sulawesi dan tempat penyaluran barang untuk kepulauan Sulu. Berau muncul
sebagai tempat penyaluran barang untuk melayani kebutuhan kepulauan Sulu dan
Bugis, dan populasinya yang sangat beragam mencerminkan keberhasilannya. Pada
pertengahan abad ke-18, Berau memiliki pedagang dari Jawa, Magindanao, Sulu,
Sulawesi Selatan, Kaili, Bantam (Banten), dan daerah-daerah lainnya. Produk-produk
dari timur yang dikumpulkan di pelabuhan ditujukan untuk Jawa, Batavia, dan
daerah-daerah lain di bagian barat, serta termasuk barang-barang seperti serbuk
emas, sarang burung, rotan, kulit penyu, lilin, lapis bezoar dan batu bezoar
monyet12. Banyak pedagang Bugis lebih suka membawa barang-barang
mereka ke Berau dan ke Pasir di pantai timur Kalimantan, daripada mengambil
resiko barangnya disita oleh VOC (Belanda) di Makasar.
Keberhasilan
pedagang-pedagang Bugis pada paruh kedua abad ke-18, terutama karena kemampuan
mereka untuk mengintegrasikan diri secara efektif dengan kekuatan baru di
wilayah tersebut, yaitu Inggris dan Sulu. Bumbu, budak, kulit penyu, dan
teripang sekarang bisa dibawa ke Sulu atau ke pedagang Inggris, yang muncul di
kepulaua itu dalam jumlah yang semakin meningkat. Orang Inggris dapat membawa
cengkih ke Kanton, terutama karena pasokan yang dapat diandalkan, yang mereka
terima dari orang Bugis. Mereka juga membawa kain ke Pair, tempat orang Bugis
membelinya dengan imbalan rempah-rempah. Beberapa kain dibawa oleh orang Bugis
ke daerah Papua dan ke daerah lain di Maluku untuk membeli rempah-rempah,
sementara sisanya dibawa lewat Palu, melalui darat ke Parigi, kemudian ke Teluk
Tomini untuk membeli kulit penyu dengan harga lebih tinggi, daripada yang
ditawarkan oleh orang-orang Belanda13. Selain pakaian, Inggris dan
kemudian juga Perancis menggunakan senjata sebagai barang pertukaran untuk
produk dari Indonesia Timur. Inggris menemukan Gebe menjadi lokasi yang ideal
untuk perdagangan ini, karena terletak dengan aman di wilayah yang disebut “Rute Pitt” yang melewati pulau-pulau Papua ke Cina14.
Pada akhir abad ke-18, orang-orang dari Gebe dan Patani menggunakan senjata
yang diperoleh dari Inggris dan Perancis untuk mendapatkan pakaian di seluruh
wilayah. Pemberontakan telah mengakibatkan sejumlah besar kematian, dan
orang-orang sangat membutuhkan pakaian untuk digunakan dalam proses pemakaman
yang layak bagi orang mati15. Meskipun orang-orang Eropa memainkan peran
penting dalam pertukaran ini, orang Bugislah yang sangat diperlukan dalam
menyediakan pasar untuk perdagangan barang-barang ini.
ORANG-ORANG
CINA
Orang-orang
Cina adalah kelompok lain yang memberikan kontribusi besar bagi perdagangan di
Maluku. Sejak abad-abad awal era kekristenan, para pedagang Cina datang ke Asia
Tenggara, membeli hasil laut dan hutan Asia Tenggara yang langka, dengan sutra,
porselin dan barang-barang Cina lainnya. Setelah pelayaran-pelayaran yang
dilakukan dinasti Ming yang spektakuler pada abad ke-15, perdagangan luar
negeri Tiongkok dilarang sampai tahun 1567, meskipun masing-masing pedagang
dari provinsi-provinsi bagian tenggara terus mengirim kapal dagang ke Asia
Tenggara. Periode yang dimulai sejak tahun 1567, menjadi saksi terhadap
peningkatan perdagangan antara kedua wilayah ini yang disertai dengan
kedatangan imigran Cina yang siap menetap di wilayah tersebut. Kecuali untuk
periode singkat antara tahun 1717 dan 1727, dinasti baru, yaitu Qing yang
berkuasa di Cina sejak tahun 1644, mendorong perdagangan ini dalam usaha untuk
menjaga keloyalan provinsi-provinsi bagian selatan yang selalu bermusuhan.
Antara tahun 1600 dan 1830, sekitar 1000 jung yang bermuatan 20.000 ton
berlayar setiap tahun dari Cina ke berbagai belahan dunia. Mereka membawa
migran Cina ke Asia Tenggara, yang sebagian besar menetap di Batavia, Manila
dan Ayudhya/Bangkok, dimana mereka memainkan berbagai peran, tidak hanya
sebagai pedagang, tetapi juga sebagai petani, pengecer, dan pengrajin terampil.
Sebagai subjek kompeni, orang-orang Tionghoa ini diizinkan berlayar ke berbagai
daerah di kepulauan ini dengan surat izin masuk dari kompeni. Orang Cina,
seperti banyak pedagang lainnya, cepat mengenali potensi-potensi ekonomi dari
pulau-pulau bagian timur, dengan rempah-rempah, budak, dan sekarang teripang,
yang telah menjadi makanan lezat di Tiongkok16.
Sumber Peta : Artikel dari Guanming Xu |
Pada tahun
1710, Belanda mengeluhkan meningkatknya perdagangan Cina di daerah itu, yang
merugikan perdagangan kompeni, tetapi jelas mengungtungkan para penguasa
Ternate dan Tidore17. Meskipun Sultan Ternate enggan memusuhi
kompeni yang kuat, ia bahkan lebih memperhatikan manfaat yang dibawa oleh orang
Cina. Karena itu, ia dengan cepat memperluas perlindungannya terhadap 30 orang
Cina yang tinggal di pemukiman kerajaan, dengan menempatkan mereka di luar
jangkauan VOC (Belanda)18. Sultan Tidore juga memprotes keputusan kompeni
(VOC) yang melarang perdagangan Cina di pantai Papua, karena ia menyadari bahwa
Cina sangat penting dalam melanjutkan keuntungan dari perdagangan ini19.
Belanda berusaha membatasi kehadiran orang-orang Cina di timur, karena apa yang
mereka anggap sebagai “hubungan yang merusak” yang dibangun antara orang Cina
dan penguasa-penguasa Maluku20. Yang sebenarnya ditakuti Belanda
adalah penguasa-penguasa Maluku menggunakan jaringan perdagangan Cina untuk
menjual rempah-rempah, budak, dan barang-barang lainnya yang sepenuhnya
bertentangan dengan pelarangan/pembatasan oleh kompeni.
Orang-orang Cina telah membangun ceruk yang
berkembang di jaringan perdagangan timur, menukar besi dan porselin di Ternate
dan Tidore untuk produk-produk Maluku. Orang Cina juga menonjol dalam
perdagangan kulit penyu. Mereka mendapatkannya dari Teluk Tomini atau dari
Gorontalo-Limboto, membawanya ke Bacan yang berpenduduk sedikit atau
pulau-pulau Obi yang tidak berpenghuni, dimana barang-barang itu dipindahkan ke
kapal-kapal jung Cina lainnya yang berasal dari Ambon, Banda dan Ternate21.
Untuk menghindari pembatasan/pelarangan Belanda (VOC), orang-orang Cina pergi
ke Bacan, menjadi penganut Muslim, dan hidup di bawah perlindungan Sultan. Pulau
Bacan dan Obi terus menjadi tempat yang ideal untuk berdagang, jauh dari
pantauan Belanda, dan wilayah-wilayah itu secara ideal ditempatkan di pusat
perdagangan yang bergerak ke timur dan barat22. Orang-orang Cina
termasuk yang paling menonjol dalam perdagangan ke Numfor dan daerah-daerah
lain di pesisir Papua, dimana mereka mendapatkan budak, massoi, dan kulit penyu dengan imbalan kain, koral, pisau dan
pedang23.
Di antara pedagang yang paling efektif adalah
peranakan Cina yang berlatar belakang campuran, menjadikan mereka sebagai “hak
masuk” khusus ke dalam masyarakat Cina dan masyarakat pribumi. Pedagang dari
zaman kuno selalu melihat keuntungan menikahi wanita lokal sebagai cara membangun
basis yang aman dan kepercayaan dengan penduduk lokal, yang meningkatkan
kegiatan perdagangan. Istri-istri pedagang asing ini, sering terbukti sangat
penting dalam pembelian barang-barang yang dibutuhkan24. Misalnya,
pedagang Cina di Menado memiliki beberapa istri di antara kelompok-kelompok “lingkaran
dalam” untuk memastikan pemeliharaan perdagangan beras25.
Kompeni akhirnya mengeluarkan dekrit pada
tahun 1712, yang melarang pelayaran orang-orang Cina di sebelah timur Makasar. Setiap
orang Tionghoa yang ditemukan di timur, yang bukan penduduk di daerah itu
segera dideportasi ke Batavia26. Para direktur kompeni
merekomendasikan agar orang Tionghoa didorong untuk terlibat dalam kegiatan
ekonomi lainnya, seperti pemrosesan nila seperti yang mereka lakukan di Ambon,
untuk mengalihkan mereka agar tidak berpartisipasi dalam perdagangan nusantara.
Meskipun pada tahun 1729, Belanda menarik perhatian pada fakta bahwa orang Cina
dan yang lainnya masih mengekspor rempah-rempah dari Maluku dan menjualnya di
Banjarmasin27, langkah-langkah itu memiliki beberapa dampak. Pada
tahun 1731, komunitas Cina di Ternate menyusut menjadi 2/3, dan mereka telah
beralih ke bentuk toko-toko dan perdagangan berskala kecil untuk mata
pencaharian mereka28. Pembatasan pelayaran Cina di timur, memaksa
beberapa orang Cina untuk mencari jalan lain untuk mengejar perdagangan mereka.
Beberapa masuk Islam dan menjadi subyek penguasa Muslim lokal, sementara yang
lain terus menerima barang secara diam-diam dari pedagang pribumi karena harga
yang mereka tawarkan lebih tinggi29.
Tetapi, pada waktunya, orang-orang Cina
belajar untuk menghindari pembatasan-pembatasan dengan keterlibatan para
penguasa Maluku. Belanda mulai khawatir dengan meningkatnya jumlah pedagang
Cina yang terlihat berdagang dengan desa-desa pesisir Tidore, dan memerintahkan
agar mereka dihentikan. Dalam pembelaannya, penguasa Tidore berpendapat bahwa
perdagangan seperti itu terus menggantikan pendapatan yang hilang, karena
tindakan Belanda yang membuat pedagang asing enggan datang ke pulau itu. Di
Ternate, pedagang Cina dari Ambon, Banda, dan Makasar datang dibekali dengan surat
izin, untuk menjual pakaian kepada penduduk dengan harga yang lebih baik
daripada yang dibayar oleh kompeni30. Sepertinya Belanda menjadi
kurang mampu mengawasi daerah yang luas di Indonesia Timur. Penguasa Maluku
melanggar arahan kompeni dan secara terbuka mendekati pedagang Cina dan asing
lainnya.
Menjelang kuartal terakhir abad ke-18, ada
peningkatan yang nyata dalam aktivitas perdagangan Tiongkok sebagai akibat dari
kebangkitan Sulu sebagai terminal penting dalam perdagangan Cina – Inggris.
Sulu dikunjungi setiap tahun oleh 1 hingga 3 jung Cina yang kaya muatan, yang
menjual barang-barang mereka untuk mutiara, kulit penyu, teripang, dan lilin31.
Keberadaan entrepot baru ini diluar kendali Belanda, mendorong pedagang Cina
untuk memasok jung-jung Cina itu dengan barang-barang yang mereka cari dan
memberikan dorongan lebih lanjut untuk kegiatan Cina di pulau-pulau sebelah
timur.
CENGKIH
Produk-produk yang
berfungsi sebagai rangsangan bagi pedagang Bugis dan Cina di Maluku adalah
cengkih dan budak, dimana cengkih jauh lebih penting. Permintaan terhadap
cengkih merupakan hasil dari sifat yang lebih besar yang dikaitkan dengan
rempah-rempah dan obat-obatan yang sederhana itu. Salah satu referensi paling
awal untuk penggunaannya adalah dari abad pertama SM, sepanjang permulaan dinasti Han, dimana
pejabat Cina diminta untuk mengunyah cengkih di mulut mereka saat berbicara
dengan kaisar32. Sifat aromatik cengkuh adalah alasan dibalik
praktik serupa di antara perempuan mestizo India dan Portugis di India dan Asia
Tenggara. Di Maluku sendiri, cengkih memiliki beragam kegunaan. Ketika buahnya
berwarna hijau, ia diberi gula dan diawetkan atau diasinkan dan diasamkan dalam
cuka. Dalam bentuk bubuk, cengkih digunakan untuk tujuan pengobatan. Tetapi cengkih
di Eropa-lah, ada beberapa klaim luar biasa tentang hal-hal yang dibuat dari
“obat ajaib” ini. Esensi berbau harum yang disuling dari cengkih dikatakan
menguatkan penglihatan seseorang jika digunakan di mata. Bubuk cengkih
dioleskan di dahi untuk meredakan demam/sakit kepala, sementara yang lainnya
cengkih dikatakan untuk merangsang nafsu makan dan membantu membersihkan
kandung kemih dan usus. Ketika diminum dengan susu, diketahui meningkatkan
kenikmatan saat berhubungan badan. Menurut orang Belanda, kegunaan cengkih itu
“terlalu banyak untuk diceritakan”33.
Sampai kedatangan
bangsa Eropa, pengaturan orang-orang lokal Maluku untuk pengiriman cengkih itu
sederhana tapi memuaskan. Setiap desa memiliki wilayah-wilayah pohon cengkih
sendiri, dan setiap rumah tangga menganggap pohon-pohon sebagai miliknya.
Dengan demikian, setiap individu akan memanen dan menyiapkan cengkih mereka
sendiri dan membawanya sampai ke kapal yang menunggu untuk ditukar dengan
barang-barang dari luar. Seiring meningkatnya permintaan akan pasokan cengkih
yang lebih besar dan lebih andal yang disiapkan dengan cara tertentu/khusus, pendekatan
individu terhadap perdagangan ditinggalkan. Pemukiman kerajaan menjadi fokus
perdagangan cengkih karena kecenderungan orang asing untuk mencari pengaturan
dengan penguasa. Oleh karena itu, masyarakat yang terpencil harus menjalin
hubungan dengan pusat untuk menjual cengkih mereka, dan untuk mendapatkan bagian
dari barang-barang luar.
Sumber gambar : Artikel Guanming Xu |
Perkembangan signifikan dalam perdagangan Maluku
terjadi bersamaan dengan upaya Portugis untuk mengendalikan penjualan cengkih.
Mereka berusaha memastikan sistem yang seragam dengan mengharuskan alat
pengukuran (timbangan) cengkih dihancurkan, dan hanya 2 yang pertahankan : satu
disimpan di pemukiman orang Portugis, dan yang lain di rumah Ratu kesultanan
Ternate, yang saat itu merupakan figur dengan otoritas terkuat di Ternate. Di
bawah kapten Goncalo Pereira (1530 – 1531), langkah-langkah ekonomi baru
diperkenalkan, yang mengenakan pajak 1/3 dari semua cengkih dikirim ke monopoli
Portugis34. Semua cengkih harus dijual terlebih dahulu kepada raja
Portugis melalui “factorijnya” dengan harga tetap, sampau kapal kerajaan
memiliki semua yang bisa diangkutnya. Sisa persediaan itu kemudian dijual
kepada pejabat berikut untuk keuntungan mereka sendiri dengan urutan prioritas
: Kapten Portugis, gudang, para pejabat dan tentara. Hanya ketika kebutuhan
mereka terpenuhi, sisanya dapat dijual kepada pedagang. Orang-orang Maluku
dengan cepat mengetahui bahwa Portugis mendapat untung besar dari penjualan
kembali cengkih, sehingga mereka mulai menuntut dengan harga yang lebih tinggi35.
Tidak yakin bahwa semua cengkih telah dikirim
ke factorij Portugal untuk kerajaan, Pereira memerintahkan agar rumah-rumah
para casado (mereka yang menikah
dengan wanita lokal atau wanita Asia lainnya) dicari cengkih. Pereira memaksa
orang-orang Ternate untuk menjual rempah-rempah mereka kepada orang-orang
Portugal dengan harga murah, harga yang ditentukan oleh pihak kerajaan Portugal36.
Tidore juga tunduk pada langkah-langkah Portugis ini, karena dipaksa untuk
menandatangani perjanjian untuk mengirimkan sejumlah cengkih setiap tahun
kepada Portugis37. Penegakan oleh Pereira atas kebijakan kerajaan
menimbulkan kebencian di antara penduduk setempat, dan akhirnya menyebabkan
perang dengan orang-orang Maluku.
Ketika Kapten Antonio Galvao (1536 – 1539) tiba
di Ternate, perang telah mendorong harga cengkih naik dari 2 cruzados yang
ditetapkan oleh factorij kerajaan Portugis menjadi 50 hingga 60 cruzados. Setelah
Galvao berhasil mengalahkan kekuatan gabungan orang-orang Maluku di Tidore, ia
berusaha memulihkan situasi ekonomi dengan mendekritkan, bahwa semua cengkih
diserahkan kepadanya. Seluruh wilayah itu kemudian digeledah dan semua cengkih
yang ditemukan, disita atas nama Raja Portugal. Takut kehilangan sumber
pendapatan penting melalui perdagangan dengan individu Portugis, Sultan Hairun
dari Ternate (1535 – 1570) melakukan campur tangan dengan mengklaim bahwa
cengkih itu miliknya dan harus tetap tidak tersentuh. Kebijakan Galvao
mengalami kemunduran lebih lanjut, ketika Gubernur Portugis India, Nuno da
Cunha, sekali lagi mengizinkan Portugis membeli cengkih, selama 1/3 dari apa
yang beli dan dijual di India, dijual kembali ke pihak kerajaan dengan harga 3
cruzados per bahar38.
Terlepas dari arahan baru ini, Galvao menolak
untuk patuh, dengan alasan bahwa perdagangan cengkih telah “menelan biaya
ribuan cruzados dan kematian begitu banyak orang”39. Keputusannya
untuk menegakan kebijakan yang sekarang sudah tidak berlaku lagi, menjadikannya
banyak musuh komunitas Portugis di negara itu.
Peta Seram Laut dari Artus Gijsels (sekitar 1630an) |
Setelah masa jabatan Galvao berakhir, para
kapten Portugis selanjutnya kurang berkomitmen pada perdagangan milik kerajaan,
dan ada perdagangan yang lebih besar antara orang Maluku dan para pejabat
Portugis, serdadu dan para casados. Selama panen cengkih yang dimulai pada
akhir Agustus dan berlanjut hingga November, orang Portugis dan Ternate akan
mengunjungi hutan Ternate dan pulau-pulau tetangga untuk mencari cengkih. Kerjasama
seperti itu terus berlanjut sampai pembunuhan Sultan Hairun pada tahun 1570
mengganggu hubungan kedua negara Portugis dan Maluku, akhirnya mengarah pada
takluknya benteng Portugis kepada Sultan Baabullah (1570 – 1583) pada tahun
1575, dan pengusiran semua kehadiran Portugis di pulau itu. Tapi, orang
Portugis terus mengejar perdagangan cengkih dari Tidore dan mampu
mempertahankan pasokan ke Eropa. Pasar Eropa untuk rempah-rempah Maluku pada
tahun 1490an adalah sekitar 250.000 pon, tetapi sekitar tahun 1620an, pasar
untuk itu sekitar 1,4 hingga 1,4 juta pon. Untuk sebagian besar abad ke-16,
Portugis menyumbang sekitar 75% atau lebih rempah-rempah yang dibawa ke Eropa. Pengusiran
dari Ternate pada tahun 1575, tidak banyak berdampak pada perdagangan
rempah-rempah, dan tahun 1570an serta 1580an menandai kebangkitan perdagangan
setelah satu dekade terjadi penurunan penjualan40.
Dengan pengusiran
Portugis dari Ternate, banyak kelompok asing yang telah dilarang oleh Portugis
untuk berdagang di sana, kembali dan memberikan kontribusi pada kebangkitan
Ternate sebagai entrepot. Sebuah dokumen Spanyol bertarikh 1584, melaporkan
vitalitas Ternate, dimana biasanya sekitar 1.000 orang Jawa, Sangley (Cina dari
Filipina), dan orang Aceh datang untuk berdagang. Orang-orang Sangley yang
sebelumnya telah menjadi pihak penting yang telah hadir, telah kembali untuk
melanjutkan hubungan ekonomi menguntungkan mereka setelah Portugis diusir41.
Menanggapi meningkatnya permintaan dari pedagang asing, orang-orang Ternate
sekali lagi melanjutkan perjalanan mereka ke “Seram Timur” (sebuah istilah yang digunakan untuk merujuk
pada ujung timur kepulauan Seram, Seram Laut dan Goram) untuk menjual
cengkih mereka. Di antara produk yang mereka beli dari pedagang Jawa, Melayu,
dan Turki adalah senjata dan amunisi sebagai perlindungan terhadap kembalinya
Portugis42.
Belanda mengejar
kebijakan serupa dengan Portugis dalam upaya memonopoli penjualan cengkih dari
Ternate. Tetapi, seperti orang Portugis, mereka mulai menyadari kesia-siaan
menegakan monopoli tanpa kerjasama orang lokal. Pada tahun 1652 – 1653, Belanda
memutuskan bahwa terlalu banyak rempah-rempah mencapai Eropa dan menekan harga
jual, sehingga kompeni memperkenalkan kebijakan yang membatasi pertumbuhan
pohon Pala di Banda dan pohon cengkih di Ambon. Semua daerah lain, termasuk
“mabes” cengkih di Maluku Utara semua pohon rempah-rempah akan dihancurkan dan
mencegah pertumbuhannnya di masa depan. Extirpasi atau “pemberantasan” ini akan
diawasi oleh Belanda dan akan dilaksanakan oleh penduduk setempat. Sebagai
kompensasi atas hilangnya pendapatan bagi para penguasa dan para bobato, mereka akan diberikan subsidi
tahunan. Pulau-pulau asal cengkih di Maluku Utara diperintahkan untuk memulai
upaya raksasa menghancurkan pohon cengkih liar dan pemeliharaannya. Langkah
drastis semacam ini, hanya mendorong produsen dan pedagang untuk mencari cara
alternatif untuk memperoleh cengkih, dan menyebabkan munculnya pusat-pusat
perdagangan sekunder baru di Maluku.
======
bersambung ======
Catatan Kaki
- See my forthcoming book, The World of Maluku: A History of Eastern Indonesia in the Early Modern Period (Honolulu: University of Hawaii Press)
- P.A. Tiele, Bouwstoffen voor de geschiedenis Nederlanders in den Malaischen Archipel ('s,Gravenhage, 1886) vol. 2, p. xvii.
- "Descricao sumeria das Molucas e da Banda," Dec. 1529 in A. B. de Sa Documentacao para a historia das Missoes do padrado portugues do Oriente. Insulinda 1955, vol 4, (Lisboa, 1956), hal 17; Armando Cortesao, ed and trans., The Suma Oriental of Tome Pires (London, 1944), vol 2, hal 265
- Tiele, Bouwstoffen..........volume 2, hal 260 – 261
- Tiele, Bouwstoffen..........volume 2, hal 15
- For a discussion of the circumstances which led to the exodus of "Bugis" from South Sulawesi and their fortunes in various lands in the archipelago, see L.Y. Andaya, The Kingdom of Johor, 1641-1728 (Kuala Lumpur, 1975), L.Y. Andaya, The Heritage of Arung Palakka (The Hague, 1981)
- VOC 3150, Ternate to Batavia, 31 July 1765, fols. 55-56, 75-77. (From the Dutch East India Company archives of the General State Archives in The Hague.)
- VOC 1675, Secret Missive Ternate to Batavia, 20 Sept. 1 fol. 174.
- VOC 3186, Secret Missive Ternate to Batavia, 3 1766, fol. 29.
- VOC 3628, Secret Missive Ternate to Batavia, 28 Sept 1782 fol. 71.
- VOC Ternatc to Batavia, 17 June 1704, fol. 37.
- VOC 2606, Ternate to Batavia, 13 Sept. 1743, fols. 42-45
- VOC 3209, Butung to Batavia, 15 August 1767, fol. 7; VOC 3331, Ternate to Batavia, 12 August 1771, fol. 17.
- VOC 3186, Ternate to Batavia, 31 July 1766, fol. 7.
- 15. VOC 3357, Diary of Hemmekans in the Papuan islands from a report dated 15 Oct. 1771. appendix 19, n.p
- Leonard B1usse, Strange Company C'hinese Settlers, Mestizo Women and the Dutch in VOC Batavia (Dordrecht, 1986), p. 99. For a general discussion of Chinese participation in Southeast Asian economic and social life between the late sixteenth and eighteenth centuries, see L. Y. Andaya, "Interactions with the Outside World and Adaptation in Southeast Asian Society, 1500 - 1800," in Cambridge History of Southeast Asia, vol 1, ed. N. Tarling (Cambridge, 1992).
- VOC 1794, Ternateto 25 Sept. 1710, fol. 352.
- VOC 1794, Ternate to Batavia, 11 Sept 1710 fols. 283-284.
- VOC Letter from Sultan Tidore to Batavia, 21 July 1700, fol. 80
- VOC 1794, Ternate to Batavia. 25 Sept. 1710, fol. 352.
- VOC 1690, Ternate to Batavia, l7 June 1704, fols. 37, 66; VOC Report from Hofman in Gamrange, 25 Aug. 1703, fol. 218.
- VOC 3470, Secret miSSIve Tematc to 20 Aug. 1776. fo1s. 196-198.
- VOC 2465, Report by Aardewyn on mission to Salawati, 30 April 1738, fol.489.
- Alexander Hamilton, A New Account of the East vol. 2 (London, 1930), hal 28; Jesus Merino, O. P. "The Chinese Mestizo: General Considerations," in The Chinese in tile Philippines, voL 2, ed. Alfonso Felix Jr. (Manila, 1968), pp. 64-66.
- VOC 3622, Ternate to Batavia, 28 Sept. 1782, fol. 245.
- VOC 1882, Ternate to Batavia, 30 June 1716, fols. 29-30.
- VOC 2191, Ternate to Batavia, 9 June 1731, foL 1358.
- VOC 2191, Memorie van Overgave, Pielat, 7 June 1731, fol. 1104; Voe 2191, Ternate to Batavia, 9 June 1731 fols. 22, 24.
- VOC 1840, Ternate to Batavia, 13 Sept. 1713, fol. VOC 2012, Ternate to Batavia, 13 Sept. 1724, fol. 456.
- VOC 2907, Ternate to Batavia, 31 Aug. I fols.251252.
- VOC 3418. Resolution from Ternate, dated 12 1773, foL 176.
- T. H. Burkill, A Dictionary or the Economic Product of the Malay Peninsula, vol 1 (London, 1935), hal 961
- I. Commelin, Begin ende voortgangh van de Vereenighde Nederlantsche Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie, vol 1. First Voyage. Neck. (Amsterdam, 1646) hal 30
- Hubert Jacobs, ed. and trans., A Treatise on the Molucas ......, of Antonio Galvao {Rome, 1970), p. 221.
- Fernao Lopes de Castanheda, Historia do descobrimento e conquista da India pelos Portugueses, vol. 2 (Porto, 1979), pp. 601-603
- Da Asia de Joao de Barros e de Diogo de Couto, nova edicao (Lisboa 1778) [limited edition reprint], Couto, vol. II pp. 216-217
- Sa, Documentacao vol. 3, pp. 196 - 197
- Joao de Barros, Da Asia vol. 7, p, 239; Couto, Da Asia vol. 11, p. 155.
- Jacobs, Treatise, pp. 319 - 321
- C. H. H. Wake, "The Changing Patterns of Europe's Pepper and Spice Imports, ca. 1400·-1700," Journal of European Economic History no. 2 {Fall 1979), pp. 393 - 395
- Francisco Colin and Pablo Pastells, Labor Evangelical. Ministerios apostolicos de los obreros de la Compania de Jesus, vol 3. New ed (Barcelona, 1900 – 1902), hal 41
- Colin – Pastells , Labor......vol 3, hal 41 – 42; Commelin, voortgangh.....vol 3. First voyage Neck, hal 39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar