VI
Menurut Suma Oriental, pulau Banda sendiri memproduksi sebagian besar bunga
pala, dan memiliki 4 pelabuhan, yang disebut yaitu Calamon, Olutatam, Bomtar
(Lontor) dan Comber. Neira juga penting karena sering dikunjungi oleh para
pedagang Jawa. Pulau-pulau lain tidak memiliki pelabuhan, jadi membawa produk
mereka ke Lontor, yang merupakan tempat berlabuh yang baik dan aman68.
Desa-desa tersebar di sepanjang teluk Banda berbentuk sabit, dan di sana juga
didapati pohon pala69.
Pires memperkirakan bahwa panen tahunan sekitar 6 atau
7 ribu bahar pala dan antara 500 hingga 600 bahar bunga pala. Perkiraan ini
dikonfirmasi oleh sebagian besar sumber Spanyol dan Portugis kontemporer70.
Namun, hasil panen ini mungkin lebih kurang dari ini. Antonio de Britoa
menulis pada bulan Februari 1525, bahwa di Banda dan Maluku, lebih dari 4000
bahar cengkih, pala dan bunga pala dipanen setiap tahun, dan pada tahun 1524, jelas
merupakan tahun yang luar biasa, di Maluku saja ada 5000 bahar cengkih yang
dipanen71. Descricao Sumaria
das Molucas e de Banda tahun 1529, memberitahu kita bahwa total panen di
kepulauan Banda hanya sekitar 1560 bahar setahun, dimana Leitatam (Olutatam,
Ortata), tempat Portugis menetapkan hak untuk berdagang dengan mendirikan pilar
peringatan atau padrao, hanya
menghasilkan 60 bahar, dibandingkan dengan 400 dari Lontor, 200 dari Ai, 150
dari Neira, 100 dari Run, dan sejumlah kecil dari tempat lain72.
Pala (sumber gambar Amboyna.org) |
Bunga pala selalu merupakan bumbu yang lebih mahal
daripada cengkih, dan jauh lebih banyak daripada pala. Di Inggris pada tahun
1350an, 2 aratel lama (28 ons) dianggap sama nilainya dengan seekor sapi. Pada
awal abad ke-16, 1 bahar bunga pala telah mencapai nilai antara 7 hingga 10
kali lipat dari 1 bahar pala, dan orang Banda berusaha untuk melawan nilai
penurunan relatif pala ini, dengan cara menegaskan bahwa bunga pala hanya bisa
dijual, jika berharga 7 kali lipat dari 1 bahar jumlah pala yang dijual pada
saat yang sama. Barbosa melaporkan bahwa mereka bahkan bertindak lebih jauh
dengan membakar pala untuk menjaga keseimbangan ini, dan bahwa pala “ hanya
akan ada jika diminta”73. Nilai cengkih sehubungan dengan pala juga
turun pada periode ini, dan pada tahun 1603, 7 bahar bunga pala harganya sama
dengan 10 bahar cengkih. Pires memberikan harga 1 bahar bunga pala dan 7 bahar
pala antara 3 hingga 4 cruzado sesuai dengan kualitas barang yang ditukar.
Peter Mundy memberikan daftar harga komparatif dari berbagai rempah-rempah dan
barang berharga di Patna pada tahun 1632. Pala dibeli dengan harga 4 rupee per
sere, cengkih 5 ½ rupee dan bunga pala 16 rupee74.
Urdaneta, dalam laporan yang ditulisnya di tahun 1537
di Valladolid untuk Kaisar Charles V, memberikan angka untuk panen
rempah-rempah di Maluku dan kepulauan Banda. Dia menceritakan bagaimana selama
7 tahun dia berada di kepulaun itu (1527 – 1535), nilai 1 bahar cengkih
meningkat dari 2 menjadi 10 dukat (dukat,
koin italia, umumnya digunakan oleh penulis Eropa untuk merujuk pada Cruzado
Portugis). Kenaikan ini dikaitkan dengan jumlah pedagang Portugis yang
berdagang di sana. Dia menunjukan bahwa, meskipun hanya 500 kuintal cengkih,
100 kuintal bunga pala dan 200 kuintal pala dikirim setiap tahun ke Portugis,
di Ormuz antara 6 hingga 10 ribu kuintal cengkih, lebih dari 6000 kuintal pala
dan 800 kuintal bunga pala, dijual setiap tahun ke pedagang Moor (Islam), yang
berdagang rempah-rempah ini di Persia, Arab dan seluruh Asia sejauh sampai ke
Turki. Dia mengatakan bahwa dalam sebagian besar tahun, orang-orang Banda
mengumpulkan 7500 kuintal pala dan 1000 kuintal bunga pala, dan dia
memperkirakan setidaknya 800 kuintal bunga pala dan hingga 6000 kuintal pala
dapat diperoleh oleh Spanyol di kepulauan Banda, bahkan dalam persaingan dengan
Portugis dan para pedagang Asia. Dia mengemukakan bahwa Spanyol mungkin membuat
perjanjian dengan Raja Demak, yang memusuhi Portugis, untuk pasokan lada, dan
bahwa perjanjian semacama itu mungkin termasuk dengan orang-orang Banda dan
Ambon “ yang memiliki banyak junk dan membawa lada ke Maluco”75.
Dari sumber-sumber Portugis abad
ke-16, kita dapat memperoleh beberapa gagasan tentang nilai relatif barang yang
ditukar dengan rempah-rempah dalam pola perdagangan yang rumit ini dengan cara
dibarter. Pada tahun 1532, misalnya, 1 bahar cengkih dianggap setara nilainya
dengan 1 pakaian Chaul, 3 sinafobas (kain
katun dari Benggala), atau 25 potong porselin merah besar76,
sementara, seperti yang telah kita ketahui, sebuah gong Jawa bernilai 20 bahar
bunga pala. Pada tahun sebelumnya, Antonio de Brito menyepakati perjanjian
dengan orang kaya Jawa dimana 1 bahar bunga pala harus diperhitungkan sama
nilainya dengan 28 “bertangis communs” (kain
katun dari Cambay), dan 1 bahar pala untuk 4 bertangis, yang pada
gilirannya dianggap bernilai 1 cruzado77.
VII
Seperti di Maluku, kepulauan
Banda hampir sepenuhnya bergantung pada impor untuk semua kebutuhan hidup,
karena, terlepas dari rempah-rempah, pohon kelapa dan buah-buahan, mereka
hampir tidak memiliki tanaman pertanian dan harus mengimpor sagu dari kepulauan
Aru dan Kei dan dari Seram, Sula dan Banggai untuk penukaran kain, yang mereka
peroleh saat membeli rempah dari para pedagang Jawa dan Malaka, dan beras yang
dibawa langsung oleh orang Jawa dan Malaka dari Jawa dan Bima yang ditukar
dengan rempah-rempah. Suma Oriental mencatat
bahwa sagu berperan sangat penting dalam perekonomian kepulauan Banda, sehingga
sering digunakan sebagai mata uang untuk pembayaran. Ini diekstraksi dari
empulur pohon sagu dan dikirim dalam bentuk roti kecil, berbentuk batu bata dan
dipanggang sangat keras. Dalam bentuk ini, dianggap bisa bertahan selama 20
tahun78. Forrest yang menulis di tahun 1770an, mengatakan bahwa
barang itu dikenal secara lokal sebagai roti
Papua (Papuan bread)79. Baik di Maluku dan kepulauan Banda,
karena permintaan untuk rempah-rempah meningkat dan harga yang mereka ambil
naik, jumlah tanah yang dikhususkan untuk tumbuhnya pohon yang mengandung
rempah-rempah diperluas, dengan berakibat berkurangnya penanaman padi, sagu,
dan tanaman lainnya, dan ketergantungan yang lebih besar pada impor bahan
makanan semakin penting.
Dari kepulauan Aru dan Kei, emas
juga datang ke Banda, “meskipun tidak banyak”80. Rebello
menggambarkan sebuah pulau yang jauhnya 30 ligab atau kurang di sebelah timur Banda
(Onin, di daratan Papua, dekat Fak-fak?), yang dihuni oleh orang-orang pagan yang
hanya 4 jengkal tingginya, dimana terdapat banyak emas yang orang Banda anggap
sebagai “harta yang bagus”81. Selain emas, pulau-pulau di sebelah
timur Banda itu menghasilkan burung beo (dikenal oleh Portugis sebagai noires, nures atau mires, dalam bahasa Melayu dikenal sebagai Nuri) dan burung
cendrawasih, yang seperti sagu, dibarter dengan pakaian dan akhirnya dijual
melalui perantara pedagang Bengali ke Turki dan Persia, yang menggunakannya
sebagai bulu untuk hiasan kepala mereka.
Ada banyak deskripsi abad ke-16 dan ke-17 tentang
burung nirwana (burung cendrawasih), aureas
aves of Camoes. Conquista espiritua dari
Frei Paulo da Trinidade mungkin berisikan (deskipsi) yang paling fantastis. “
Di pulau-pulau ini,” tulisnya, “ ada juga beberapa burung yang sangat indah,
yang oleh penduduk lokal disebut burung cendrawasih [passaros de Deus], dan dengan alasan yang bagus juga sangat cantik
dan dengan bulu-bulu emas, mereka tidak pernah turun ke tanah kecuali setelah
mati. Mereka tidak memiliki kaki tetapi semacam urat yang keluar dari paruhnya,
2 jengkal (palmos) panjangnya, yang
dengan beberapa putaran mereka memperbaiki cabang-cabang pohon dan menggantung
di sana untuk beristirahat atau tidur. Mereka memakan embun dan hanya 1 rentang
panjangnya. Mereka sangat berwarna dengan keindahan yang fantastis. Seluruh
burung dapat digunakan untuk bulu-bulu”82. Historia
da Ilhas de Maluco mengatakan bahwa burung-burung cendrawasih yang mati
diterbangkan angin ke Banda, mereka tidak mengetahui tentang tanah atau
kelahirannya (nao sabem a terra nem o
nascimento) dan bulu-bulunya lebih dihargai di Portugal sendiri maupun
India83. Orang Portugis percaya, bahwa burung-burung yang mati di
kepulauan Banda, sering menyebut mereka sebagai passaros de Banda.
Sumber gambar : Buku Alfred Russel Wallace |
Buku burung cendrawasih, tentu saja, digunakan untuk
perhiasan pribadi oleh penduduk kepulauan itu. Rebello memberikan laporan
tentang pesta di Maluku, dimana, saat para tamu makan, beberapa orang
berpakaian seperti untuk berperang, dengan pedang dan ikat pinggang, serta topi
dari nuansa merah (topi berbulu dari Levant?) yang dihiasi dengan bulu-bulu passaros de Banda, mulai melompat dan
menari, menggerakan kaki mereka, kepala, mulut dan mata mereka, serta
mengayunkan pedang mereka seperti pernyataan perang, mengikuti bunyi dari
genderang dan gong Jawa (sinos de Jaoa)84.
Maximilianus Transylvanus, yang menulis pada tahun 1522, menceritakan kisah
tentang bagaimana orang-orang Islam pertama yang datang ke kepulauan
rempah-rempah untuk berdagang, menyatakan bahwa burung-burung ini (burung kecil yang sangat indah yang tidak
pernah berdiam di bumi) berasal dari surga, dan bahwa ketika para penguasa
pulau-pulau itu mengadopsi Islam, begitu besar penghormatan mereka terhadap
burung-burung, yang mereka sebut sebagai mamuco
diata85, sehingga mereka percaya aman dibawah perlindungan
burung itu ketika mereka pergi, atau menurut kebiasan, untuk bertarung di garis
depan peperangan86.
Keyakinan bahwa burung cendrawasih tidak pernah
menyentuh tanah dan tidak memiliki kaki, muncul dari metode yang diadopsi oleh
penduduk pulau itu dalam hal proses pengeringan dan perawatan burung-burung
itu. Burung itu ditangkap dengan cara ditembak dengan panah tumpul, untuk
menghindari kerusakan atau noda pada bulu-bulu mereka dengan darah, atau dengan
cara menjerat. Sayap dan kaki dipotong, lalu tubuh dikuliti hingga paruh dan
tengkoraknya dibuang. Semuanya kemudian dibungkus dengan daun palem dan
dikeringkan di gubuk yang dipenuhi asap. Tidak ada spesimen sempurna yang terlihat
di Eropa dan hampir tidak diketahui tentang burung itu sampai akhir abad ke-18.
Bahkan Linnaeus, yang mengklasifikasi beberapa spesies pada tahun 1760, menyebut
yang terbesar diantaranya adalah Paradisea
apoda – burung nirwana tidak berkaki. Pedagang lokal mungkin tidak pernah
melihat burung-burung ini dalam keadaan hidup, dan jika mereka melakukannya,
jarang akan melihat ada yang diam, karena sebagian besar spesies burung,
ditandai oleh gerakan mereka yang hampir tanpa henti. Keyakinan bahwa
burung-burung ini dilahirkan secara ajaib di udara, diperkuat oleh
ketidaktahuan total tentang kebiasaan bersarang dan telur mereka, yang belum
pernah dilihat87.
Besar kemungkinan bahwa sudah pada awal abad ke-16,
orang-orang dari pulau Gorong/Gorom dan Seram Laut di sebelah tenggara pulau
Seram, berperan dalam perdagangan ini, seperti yang terus mereka lakukan hingga
abad berikutnya. Selain pergi ke Ternate, Tidore, dan kepulauan Banda, mereka
juga mengunjungi gugusan kepulauan Kei dan Aru, Waigeo, Misool dan pesisir
barat laut Papua, dan di sana mereka membeli teripang, kulit massoi, pala liar,
dan kulit penyu untuk dijual ke pedagang keliling asal Bugis. Perahu-perahu
mereka dibuat oleh penduduk kepulauan Kei, yang perahunya dianggap di seluruh
bagian timur Nusantara dalam hal keunggulan dan keindahan hasil pembuatannya88.
VIII
Survei pertama bangsa Portugis tentang kepulauan
rempah-rempah dilakukan segera setelah penaklukan Malaka pada tahun 1511. Pada
tahun yang sama, sebuah ekspedisi dikirim dibawah komando Antonio de Abreu
untuk menempatkan/meletakan “ Hindia yang sebenarnya dengan jelas – jika itu belum secara teratur- di peta
dunia89. Abreu diberi instruksi untuk menahan diri dari menggunakan
kekuatan atau terlibat dalam pembajakan terhadap penduduk kepulauan itu. Armadanya
meluncur di sepanjang pantai utara Jawa, melewati kepulauan Sunda Kecil hingga
Flores dan kemudian melaju ke utara menuju Ambon dan Banda. Antonio Galvao,
yang berlayar dalam suatu ekspedisi, menggambarkan gunung berapi di pulau
Gunuape (Gunung Api) yang kecil dan tak berpenghuni, Pires menyebutnya – ilha de fogo - di gugusan kepulauan Banda, yang mengirimkan
aliran serpihan dan api ke laut terus menerus90. Perjalanan kembali
suatu armada yang dikomandani oleh Fransisco Serrao kandas di laut Bandac,
dan Serrao, setelah memperoleh perahu lokal di kepulauan Banda, berangkat
bersama beberapa rekannya menuju ke Ternate, dimana ia tetap tinggal sampai kematiannya
pada tahun 1521, dan menjadi sahabat dekat dan penasihat bagi penguasa (Sultan
Ternate).
Rui Brito de Patalimd menulis pada bulan
Januari 1514, bahwa semua penduduk Maluku, Banda, Jawa dan Timor telah
dikagetkan (atemorizados0 oleh
kedatangan armada Abreu dan melihat kapal-kapal besar tersebut. “ Untuk Maluku, Banda, Timor dan Jawa”,
tulisnya, “ kita membutuhkan kapal-kapal besar, meskipun penduduknya takut
terhadap kapal-kapal itu. Saya telah menulis kepada Gubernur India bahwa ia
harus mengirim 1 atau 2 naos dari 500 gentong, karena selain menegaskan
otoritas kami, kapal-kapal itu dapat mengambil banyak sekali rempah-rempah yang
tidak bisa dilakukan dengan kapal-kapal kecil. Apalagi rutenya sudah diketahui
dan mudah dilayari.....91.
Portugis pada mulanya tampaknya diterima dengan baik
oleh orang-orang Banda. Diogo Brandao dalam deposisinya ke Junta Badajoz Elvas
pada tahun 1523, menyatakan bahwa ketika dia berada di Banda, dia mendapati
bahwa Abreu dan teman-temannya telah diperlakukan dengan sangat hormat dan
“orang-orang Moor di tempat itu telah mengirimkan melalui dia, kepatuhan mereka
mereka kapten Malaka dan Gubernur India”92. Namun hubungan baik ini
tidak bertahan lama, dan pertengkaran dengan orang-orang Banda yang merampas
kapal-kapal Portugis dan mengadopsi berbagai strategi untuk menghambat
perdagangan mereka, kemudian berlanjut secara teratur dalam surat dan laporan
dari Ternate dan Malaka.
Pada 11 Februari 1523, Antonio de Brito menulis dengan bangga dari Ternate kepada D. Joao III,:
Lukisan oleh Johannes Vinckboons 1662 - 1663 |
Pada 11 Februari 1523, Antonio de Brito menulis dengan bangga dari Ternate kepada D. Joao III,:
Saya tidak
menulis kepada Yang Mulia tentang padrao yang saya dirikan di Banda [mungkin di
Leitatam], yang paling indah dan yang terbesar yang bisa dilihat dengan
perlindungan dan restu Yang Mulia, maupun tentang harga yag saya setujui dalam
surat lain, yang saya pikir harus saya kirimkan kepada Yang Mulia melalui rute
Borneo yang lebih cepat. Harga-harga untuk cengkih yang dibawa kesini, dan
untuk pala serta bunga pala yang diproduksi oleh Banda. Saya membuat perjanjian
ini selalu bersama dengan semua pemimpin/tokoh [omens omrados] dan syahbandar
dari pulau-pulau itu, karena tidak ada raja, dan mereka semua menunjuk saya
untuk melaksanakannya, dan setuju bahwa siapa pun yang menentangnya harus mati
karena itu93
3 hari kemudian, Rui Gago menulis kepada Raja untuk
mengatakan bahwa ia telah membawa dari Banda sebuah dokumen (estromento) dengan jenis yang sama
dengan yang mana Raja Ternate telah mendeklarasikan wilayah-wilayah vasalnya
kepada Portugis, yang ditandatangani oleh semua syahbandar dan para penguasa di
pulau-pulau itu94. Baik kesepakatan tentang harga dan deklarasi
wilayah-wilayah vasal jelas tetap merupakan “surat mati”. Yang sama tidak
berhasilnya adalah upaya Portugis untuk menguasai kepulauan pada tahun 1532, bersama dengan Gresik dan
Panarukan, melalui akta akuisisi, penaklukan dan kepemilikan teritorial (instrumento de aquisicao, filhamento e posse
de terra)95.
Perdagangan Portugis dengan kepulauan Banda tampaknya
telah berkembang pada awalnya dan harga-harga pala dan bunga pala telah meningkat.
Seperti yang diinformasikan Orta kepada kita, meskipun Banda dianggap sebagai
tempat yang sangat tidak sehat, dan meskipun hanya sedikit dari banyak yang
pernah pergi kesana bisa kembali, namun mereka senang menanggung resiko ini
karena keuntungan besar yang bisa didapat96.
Armada Portugis pada mulanya mengikuti rute yang sama
dengan junk-junk Malaka dan Jawa, melewati Gresik dan pelabuhan-pelabuhan lain
di pantai utara Jawa, dan kemudian berlayar melalui kepulauan Sunda Kecil ke
Banda, Ambon, dan Maluku. Tetapi sekitar tahun 1520, mereka mulai menggunakan
“rute Borneo”, yang membawa mereka ke Maluku melalui Brunei hanya dalam 40 hari
dan selanjutnya, kapan pun kecepatan diperlukan, seperti misalnya ketika bala
bantuan militer di kirim ke kepulauan ini, rute pendek ini digunakan97.
Rute selatan yang lebih tradisional, bagaimanapun, tetap lebih menguntungkan
secara komersial karena tidak hanya membawa Portugis ke kepulauan Banda, tetapi
juga memungkinkan mereka untuk berdagang dalam perjalanan di pelabuhan-pelabuhan
Jawa, dan mengumpulkan barang dagangan di kepulauan Sunda Kecil, khususnya
cendana Timor. Borneo (Kalimantan), di sisi lain, menghasilkan sedikit barang
bisa dijual, kecuali kamper dan emas, yang tampaknya tidak pernah dapat
diperoleh orang Portugis dalam jumlah yang cukup besar untuk menjadikan
perdagangan ini bermanfaat.
Antonio de Brito menulis dengan optimis pada Februari
1523, bahwa :
dari Borneo
(Brunei) ke Maluku adalah 100 liga dan di sini pilot bisa didapatkan untuk
membawa kami ke sana, karena banyak kapal junk yang berlayar dari Kalimantan ke
Malaka. Karena rute ini telah ditemukan, saya percaya ini adalah layanan
terbaik bagi kami.... karena kekurangannya dan karena menghindari menunggu
angin muson di rute Banda, yang untuk membawa suatu komisi membutuhkan waktu
satu setengah tahun. Jadi seseorang dapat meninggalkan Malaka dan mencapai
Maluku satu bulan......dan Borneo adalah satu pulau terkaya di bagian ini,
memiliki banyak emas dan kapur barus dan perdagangan besar dengan daerah lain,
darimana Yang Mulia bisa memperoleh keuntungan besar98.
Tetapi 11 tahun kemudian, Tristao de Ataidee
mengeluh bahwa ia tidak dapat menemukan pembuat kapal untuk memasok kapalnya
atau pilot untuk membawanya melalui rute Kalimantan., karena mereka sendiri
ingin pergi melalui Jawa dan Banda, “ dimana mereka dapat membuat diri mereka
kaya, sedangkan pergi ke Kalimantan, tidak bisa”. Dia menambahkan dengan sedih
bahwa rute Kalimantan adalah pons asironum (estrada
coymbraa)99.
Ilustrasi pembantaian orang kaija di Banda, 1621 (sumber Amboyna.org) |
Berbeda dengan para penguasa di Maluku, orang kaya sejak awal tidak mau
membiarkan Portugis membangun pabrik atau benteng di kepulauan Banda, dan
Portugis tidak pernah berhasil mengatasi perlawanan mereka. Sebuah tulisan kaum Jesuit dari Maluku kepada
saudara-saudaranya di Colegio de Santo
Antao di Lisbon pada Februari 1563, memberitahu kita tentang sekelompok
Muslim dari Hitu yang pergi ke Banda “ dimana orang Portugis juga melakukan
bisnis” dan menunggu angin muson sehingga kapal-kapal Portugis secara teratur
berangkat “ sehingga mereka mendapati tempat itu kosong tanpa orang Portugis”100.
Pada saat ini, penguasa Ternate menjalankan kekuasaan
yang “lemah” atas Ambon, Seram bagian barat, Buru, bagian utara Halmahera,
gugusan Uliassa (sekelompok pulau kecil di sebelah timur pulau Ambon),
kepulauan Banda dan sebagian Sulawesi. Tidore, yang kurang kuat dari Ternate,
hanya memiliki kendali atas Halmahera selatan, Seram timur dan pantai Irian
barat. Persaingan sengit antara kedua kesultanan, memungkinkan orang-orang
Eropa untuk bermain satu melawan yang lain dalam persaingan memperebutkan
perdagangan rempah-rempah, tetapi konflik yang hampir tiada akhir yang
diakibatkan oleh kebijakan ini, terbukti fatal bagi posisi Portugis di
kepulauan rempah-rempah, dan akhir abad ini, dominasi politik dan kontrol
ekonomi terhadap pulau-pulau seperti yang pernah mereka nikmati telah
menghilang, meskipun mereka tetap memiliki benteng di Tidore hingga tahun 1605.
Di seluruh pertikaian yang tidak dapat dibedakan
antara Portugis, Spanyol, dan penguasa-penguasa lokal di Maluku, orang-orang
Banda, yang secara nominal tunduk pada Ternate, meskipun mereka berhasil
menghindari bergabung dengan aliansi atas perintah Ternate. Namun, mereka tidak
dalam posisi memberikan dukungan mereka pada skema untuk mengusir Portugis dari
kepulauan rempah-rempah. Ketika pada tahun-tahun terakhir abad ke-16, Talele
(Tahalele), tokoh Hitu yang peling penting, “ yang tubuhnya sangat besar dan
hitam” sedang merancang cara mengusir Portugis dari Ambon, orang-orang Banda
memberinya 14 joanga, “yang dipersenjatai dengan baik dan dilengkapi dengan
pasukan dan meriam yang banyak mereka miliki dan sangat bagus” untuk melakukan
serangan terhadap Sancho de Vanscocelos101.
Perlawanan orang-orang Banda juga menghalangi Portugis
dari melakukan upaya berkelanjutan untuk mengubah penduduk pulau menjadi
Kristen, baik untuk keselamatan jiwa mereka atau untuk motif politik. Santo
Francis Xavier tidak pernah mengunjungi Banda, meskipun ia bekerja di Ambon,
Ternate dan kepulauan Morotai selama lebih dari setahun pada tahun 1546 dan
1547. Salah satu alasan kegagalan para Jesuit untuk mengirim misi ke kepulauan
Banda, tidak diragukan lagi adalah kurangnya benteng di sana yang akan memberi
misionaris dukungan milietr dan pangkalan atau markasi untuk operasi mereka. Namun,
sepertinya selambat-lambatnya tahun 1556, masih diyakini di Malaka, bahwa
orang-orang Banda hanya menunggu seseorang untuk datang dan memberi mereka
berita gembira tentang pertobatan mereka. Beberapa dikatakan sangat berhasrat
untuk bertobat sehingga mereka telah mengirim pesan yang meminta para imam
untuk datang dan membaptis mereka102.
Menurut Urdaneta, ketika ia mencapai kepulauan Banda
pada tahun 1535, orang-orang Spanyol menemukan penduduk lokal sangat siap untuk
berdagang dan cenderung baik kepada mereka, dan penguasa Tidore, tidak
diragukan karena melihat mereka sebagai sekutu yang mungkin melawan Ternate dan
Portugis. Urdaneta menyatakan bahwa “ pada hari-hari kejayaan kami di Maluco,
kami selalu berdagang dengan mereka, dan pada saat Portugis merebut benteng
kami (di Tidore), ada 6 atau 7 junk di Banda yang datang untuk berdatang dengan
kami, dan juga untuk menganiaya dan merampok orang-orang Portugis”103.
Keinginan untuk memenangkan dukungan orang-orang Spanyol terhadap orang Portugis
yang dibenci itu, jelas terbatas pada orang-orang Banda. Raja Geilolo dalam
surat yang ditulisnya kepada Kaisar Charles V pada bulan Maret 1532, menyatakan
dirinya bawahan dari Spanyol dan mengatakan dia menunggu dukungan Kaisar “
bahwa kita semua sangat menginginkan, diriku sendiri tidak kurang dari semua
Raja Maluco dan para penguasa Banda dan Ambon”104.
Sementara individu-individu, baik orang Portugis
maupun Asia, ternyata mampu menghasilkan keuntungan besar dari perdagangan pala
dan bunga pala langsung dengan orang-orang Banda, kekaisaran Portugis hanya
memperoleh sedikit keuntungan dari perdagangan ini. Biaya untuk mengongkosi
ekspedisi sangat tinggi, karena pala menjadi komoditas yang relatif besar,
Portugis harus menggunakan kapal terbesar yang ada. Namun demikian, kapal yang bisa
membawa hingga 1.200 bahar dan bunga pala dikirim setahun sekali dari Malaka ke
kepulauan Banda sepanjang sebagian besar abad ke-16. Sementara pelayaran ke
Maluku terus dilakukan oleh kapal-kapal yang dimiliki oleh kekaisaran, bahkan
ketika hal itu dilengkapi dengan kapten kapal pada pelayaran yang diwajibkan,
pelayaran ke Banda selalu dilakukan oleh kapal-kapal pribadi. Pada paruh
pertama abad ke-16, pelayaran ini umumnya diorganisasi di Malaku; kemudian
sebuah carriera reguler yang dikirim
dari India, kapten-kaptennya dicalonkan oleh keputusan kerajaan105.
Seperti para pesaiang Asia mereka, armada Portugis ini seringkali tidak pergi
lebih jauh dari Banda. Pada awal tahun 1519, misalnya, Diogo Brandao dikirim ke
Maluku dengan “junk-junk tertentu”, namun saat tiba di Banda, didapati cukup
banyak rempah-rempah untuk dimuat di kapalnya, sehingga ia tidak melanjutkan
perjalanan ke Maluku106.
Setibanya di Malaka, banyak dari muatan rempah-rempah
dari kepulauan Banda, alih-alih dikirim ke Goa, “dihambur-hamburkan” dalam
bentuk hadiah oleh raja muda dan pejabat lainnya, yang hampir semuanya terlibat
korupsi dalam skala luar biasa. Pada tahun 1561, pemerintah Portugis mencoba
memperbaiki keadaan ini, dengan meminta agar, dari seluruh muatan 1200 bahar, 300
bahar pala dan 30 bahar bunga pala dapat dibeli dengan harga tetap untuk
kekaisaran dari para kapten kapal yang telah ditugaskan perjalanan ke Banda.
Para kapten sebagai gantinya akan diizinkan untuk mengambil kargo pemerintah ke
Malaka tanpa membayar bea apa pun. Tidak ada bukti bahwa aturan ini memiliki
efek atau bahkan ketika diamati, pada akhir abad ke-16, pemerintah Portugis
telah menghapus kebijakan ini, membiarkan orang-orang Banda untuk menjual pala
dan bunga pala kepada siapa saja yang mereka sukai dan dengan harga berapapun
yang mereka setujui. Pedagang Portugis kemudian akan membelinya di rempat lain
di kepulauan ini, yaitu di Makasar yang semakin meningkat sejak akhir abad
ini.
Perdagangan oleh para pedagang bebas ini membuat
semakin sulit bagi carreira kerajaan
untuk meraih keuntungan. Fransisco Palha menulis dari Goa pada bulan Desember
1553, mendesak perlunya melarang pelayaran ke Banda dengan kapal apapun selain
oleh salah satu kapal kerajaan, karena “ banyak ketidaknyamanan” yang
disebabkan oleh kapten-kapten Portugis yang meninggalkan barang dagangan
mereka, sementara mereka sendiri berkeliaran ke pulau-pulau untuk mencari
barang yang dapat dimuat dalam kapal mereka sendiri. Seringkali orang-orang
Banda tidak dapat membayar barang dagangan yang dibawa oleh orang-orang
Portugis, yang kemudian akan mencoba untuk memeras agar dibayar. Orang-orang
Banda akan memberontak dan “membunuh siapa saja yang bisa, dan tahu bahwa
setahun lagi, seorang kapten akan datang yang akan berurusan dengan mereka
secara damai”. Sering juga, para pedagang akan memuat kapal mereka sendiri dan
berlayar ke Malaka, membiarkan kapal kerajaan di Banda107.
Masalah lebih lanjut disebabkan oleh kebiasaan
Portugis yang membawa kora-kora dari
Maluku ke Ambon dan Banda, seolah-olah untuk berdagang tetapi pada kenyataannya
untuk melakukan pembajakan. Gaspar Nilio melaporkan dari Malaka pada Agustus
1545 bahwa Maluku dianggap :
Ingin
menunjukan persahabatan dan bantuan kepada orang-orang tertentu, memberi mereka
kora-kora, dan mereka dengan alasan bahwa mereka akan melaksanakan bisnis tanpa
kepura-puraan ini, pergi dan merampok orang-orang Ambon, yang susah dan miskin
hidupnya tanpa mendapat perlindungan dari orang-orang Portugis atau memiliki sarana
untuk mempertahankan diri, tetapi menerima dengan sangat baik dan memberikan
semua yang mereka butuhkan. Naos Yang Mulia datang dari Maluku menghabiskan
musim dingin di pulau-pulau tertentu. Di banyak tempat ini, ada orang Kristen
dan meskipun demikian, beberapa dari mereka pergi kesana menjadi tiran, yang
merupakan kerugian besar bagi Tuhan dan Yang Mulia, yang kewajibannya adalah
untuk membela orang-orang ini dari perampokan, penangkapan dan pembunuhan di
tangan Portugis. Terlebih lagi, dengan membiarkan Portugis menggunakan
kora-kora mereka untuk pergi ke Ambon dan Banda, tanpa menerima perintah atau
persetujuan dari para kapten Yang Mulia, orang-orang Maluku memberikan banyak
tenaga kerja dan raja-raja serta gubernur mengalami banyak masalah108.
Maka, pada awal abad ke-17, Portugis hampir seluruhnya
diusir dari perdagangan langsung dengan orang-orang Banda, dimana mereka belum
tunduk pada monopoli Belanda. Sementara itu, pedagang Asia terus berurusan
dengan orang-orang Banda seperti sebelumnya. Peter Floris menggambarkan kedatangan
di Patani sebuah junk Raja Indra Muda, seorang pedagang lokal, yang telah
berlayar ke Makasar pada bulan Oktober 1612 dan selanjutnya ke Banda :
Dimana ia datang ke pasar yang bagus dan
mendapat untung besar, terutama kastil [benteng Belanda di Neira] tidak
memiliki uang, sehingga kastil itu tidak berarti untuk membeli beras dan
hal-hal lain sehingga ia mendapatkan izin untuk berbisnis dengan Ortatan dan
tempat-tempat lain serta orang-orang Banda, dimana ia mendapat banyak persediaan
bunga pala dan cengkih, yang mana kastil tak bisa melarang untuk mengangkut
barang-barang itu karena kekurangan uang, dan juga junk itu milik orang Patani.
Dia membawa sekitar 200 sockles bunga pala [ suatu paket dimana bunga pala
diangkut, beratnya bervariasi antara 120 – 140 lbs], sebungkus besar pala yang
dia jual ke Portugis di Makasar109.
IX
Pada tahun 1599, Jacob van
Heemskerck, salah satu komandan ekspedisi yang dikirim tahun sebelumnya (1598)
dari Amsterdam di bawah komandan Jacob van Neck, berlayar ke Ambon dan
kepulauan Banda. Orang-orang Banda pada awalnya menyambut Belanda, yang mereka
anggap sebagai penyelamat mereka dari orang-orang Portugis yang dibenci, dan
mengizinkan van Heemskerck untuk mendirikan sebuah pabrik kecil di Lontor. Tapi
mereka segera dihukum dengan kejam. Pada tahun 1609, Belanda, yang pada tahun
1605 telah merebut benteng Portugis di Ambon dan di Maluku, menduduki pulau
Banda dan memberlakukan perjanjian pada orang
kaya yang menegaskan monopoli mereka terhadap perdagangan pala. Perlawanan
orang-orang Banda terhadap monopoli ini dan serangan-serangan mereka yang
sering terhadap pemukiman Belanda, dikombinasikan dengan upaya-upaya oleh
Inggris untuk berdagang dengan kepulauan Banda, dimulai dengan perjalanan Henry
Middleton di tahun 1604-1605, membuat Belanda menggunakan kekerasan untuk
penaklukan langsung sebagai satu-satunya cara untuk memastikan monopoli mereka.
Pada Januari 1621, Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jend VOC, sendiri berlayar
dari Batavia dengan sebuah armada berkekuatan 12 kapal dan beberapa kapal Jawa
untuk mencapai tujuan ini. dengan kekejaman dan kezaliman yang luar biasa,
kepulauan Banda ditaklukan, sebuah benteng baru bernama kastil Hollandia
dibangun di Lontor, dan ribuan penduduk, termasuk sebagian besar orang kaya dibantai, dikirim ke
perbudakan di Jawa atau mati kelaparan di pegunungan. Sejak saat itu, monopoli
Belanda atas perdagangan pala dan kontrol mereka atas tanah-tanah di kepulauan
Banda, yang dialokasikan kepada para pegawai/pejabat VOC untuk dieksploitasi
dengan kerja paksa, telah sempurna110. Beberapa orang Banda
melarikan diri ke Makasar, tetapi selanjutnya mereka tidak lagi memainkan peran
independen dalam perdagangan lokal nusantara, dan sejarah orang-orang yang,
bahkan jika Matelieff benar dalam menggambarkan mereka sebagai “ jahat, angkuh,
pemberani, pengemis miskin” tentu saja tidak mengalami kemunduran dalam usaha,
kemampuan atau semangat dan berakhir dengan kehinaan111.
===== selesai =====
Catatan
Kaki
68.
Pires, Suma Oriental, I, p. 205.
69.
Barros,Da Asia,III, 5, p. 6.
70.
Pires,Suma Oriental, I, p. 206. The weight of
the bahar in Banda was 550 lbs, in the Moluccas
600 lbs and in Malacca 530-540 lbs. The Portuguese generally reckoned 32 new arratels or pounds of 6 ounces to the arroba, 4 arrobas to the
quintal and 4 quintals to
the bahar.
71.
Antonio de Brito to the King, Ternate, 28
February, i525, in Sa, Documentacao, I, pp
194-5.
72.
Descricao sumaria.. ., in ibid.,IV, p. i6.
The same figures are given in Informacao a El-Rei sobre o comercio da pimenta e do cravo, s.d.,
in ibid.,I, pp. 338-9.
73. Barbosa,
An Account of theC ountries . . , II, 118, pp. 196-8.
74.
Peter Mundy, The Travels of Peter Mundy in Europe and Asia, 1608-1667,
ed. Sir Richard
Temple Bt, vol. II, Hakluyt Society, 2nd series, XXXV (1914), p. 153.
75.
Andres de Urdaneta, Narrative of the Voyage toMalucos or Spice Islands by
the Fleet under the
Orders of the Comendador Garcia Jofre deLoaysa,in Early Spanish voyages to the Straits
of Magellan,trans and ed. Sir
Clements Markham, Hakluyt Society, 2nd series,XXVIII (1911), pp. 85 and 88-9.
76. Thomaz, 'Maluco e Malaca', p. 44.
See also Pigafetta, Magellan'sVoyage, p. 121. Pigafetta describe show he and
his companions traded with the King of Ternate and obtained a bahar of cloves each for
two cubits of fairly good redcloth, 35 glasses, 15 axes, 25 pieces of linen, 150 knives,
50 pairs of scissors,40 caps, ten ells of Gujerat cloth etc.
77. Descricao sumaria. . , In Sa, Documentafao,IV, p. 16.
78. Pires, Suma Oriental, I, p. 268.
79. See C. R. Boxer and P. Y. Manguin, 'Miguel Roxo de Brito's Narrative of
his Voyage to the Raja Empat, May 1581-November 1582', Archipel, 18 (1979), p.
178 n. 3. For a detailed description of the making of sago in Seram, see
Wallace, The Malay Archipelago, pp. 377-81.
80. Urdaneta, Narrative of the Voyageto Malucos, p. 85.
81.
Rebello, Informacao.. ., in Sa,
Documentacao,III, p. 395.
82. Trindade,Conquista espiritual do Oriente, I, p. 45.
83. Sa, Documentacao,III, p. 326.
84. Rebello, Informacao, in ibid.,III, p. 356.
85. I.e. manuko dewata (divine bird). The modern Indonesian is burung dewata or
cenderawasih.
86. Maximilianus Transylvanus, De Moluccis insulis, ed. Carlos Quirino
(Manila, 1969), pp. 126-7.
87. Wallace,The Malay Archipelago, pp.549-53.
88. Ibid.,pp. 371-2. See also Boxer and Manguin, 'Miguel Roxo de Brito'sNarrative',
p. 89 18o n. 14.
89. H. K. Spate,The Spanish Lake(London,1979),p. 34.
90. AntonioGalvao,TheDiscoveries of theWorld from their First Original unto the
year of Our Lord 1555, ed. V. Adm.
Bethune, Hakluyt Society, Old series,XXX (1872), p. I I 7.
91. Rui de Brito to the King, Malacca, 6 January 1514, in Sa, Documentacao,
I, pp. 73-4.
92. Depoimento de Diogo Brandao em o processo das Molucas, Tomar, 25 August 1533,
ibid., I, p. 176.
93. Antonio de Brito to the King, Ternate, 11 February 1523, ibid.,I, p. 153.
94. Rui Gago to the King, Moluccas,
15 February 1523, ibid.,I, p. 162.
95. See Thomaz, 'Maluco e Malaca', p.
43.
96. Orta, Coloquios dos Simples .. .,
p. 82.
97.
The Borneo route was believed to be more ancient
than the Banda route. Jorge de Albuquerque writes of discovering 'the ancient navigation ... to go and
return in the same time as it takes to go to Banda and back'. He adds that there were pilots who knew
the route and 'from the information I have from the Maquaceres, which is
an island near the port of Ambon, it seems to me an easy
matter to find the route'. Jorge de Albuquerque to the King, Malacca, 8January
1515, in Documentacao, Sa, I, pp. 76-80.
98. Antonio de Brito to the King, Ternate, 11 February 1523, ibid.,I, p. 153.
99. Tristao de Ataide to the King, Moluccas, 20 February 1534, ibid.,IV, pp.
435-6.
100. Irmao Fernao do Souro to his brethren of the Colegio de Santo Antao,
Lisbon, Moluccas, 15 February 1563, ibid.,III, pp. 24-5. Some scholars have
asserted that the Portuguese set up feitorias in the Banda Islands
comparable to those established on Ambon (see, for example, B. W. Diffie and G. D. Winius,Foundations of thePortuguese Empire 1415-1580 (University of Minnesota Press and Oxford University Press, 1977), p. 370). Winius describes the Portuguese settlements on Lontor and Neira as feitorias. But there is insufficient evidence from Portuguese sources to sustain this view. The establishment of a right to trade by agreement with local rulers and the erection of a padrao did not invariably lead to the setting up of a feitoria or the appointment of a feitor.This of course is not to deny that some Portuguese settled in the islands and traded there. Paramita R. Abdurachman in her excellent essay 'Moluccan Responses to the First Intrusions of the West' (in Haryati Soebadio and Carine A. Du Marchie Sarvaas (eds.), Dynamics of Indonesian history (Amsterdam, 1978), p. 173) cites the donation (doacao) of D. Joao III in 1531 to Kaichili Daroes, a Ternatan agent or Rimelaha, of tenure of all the land in Banda as an indication that the Portuguese Crown
exercised some kind of suzerainty over the Banda Islands which made it possible to bestow them in this
way on a faithful ally as a reward for his services. But there is no evidence that the orang kaya ever recognized any authority of the Portuguese Crown over them or their land and it seem sun likely therefore that the doacao was ever more than a symbolic offering by the King of Portugal of something which was not in any real sense his to donate.
comparable to those established on Ambon (see, for example, B. W. Diffie and G. D. Winius,Foundations of thePortuguese Empire 1415-1580 (University of Minnesota Press and Oxford University Press, 1977), p. 370). Winius describes the Portuguese settlements on Lontor and Neira as feitorias. But there is insufficient evidence from Portuguese sources to sustain this view. The establishment of a right to trade by agreement with local rulers and the erection of a padrao did not invariably lead to the setting up of a feitoria or the appointment of a feitor.This of course is not to deny that some Portuguese settled in the islands and traded there. Paramita R. Abdurachman in her excellent essay 'Moluccan Responses to the First Intrusions of the West' (in Haryati Soebadio and Carine A. Du Marchie Sarvaas (eds.), Dynamics of Indonesian history (Amsterdam, 1978), p. 173) cites the donation (doacao) of D. Joao III in 1531 to Kaichili Daroes, a Ternatan agent or Rimelaha, of tenure of all the land in Banda as an indication that the Portuguese Crown
exercised some kind of suzerainty over the Banda Islands which made it possible to bestow them in this
way on a faithful ally as a reward for his services. But there is no evidence that the orang kaya ever recognized any authority of the Portuguese Crown over them or their land and it seem sun likely therefore that the doacao was ever more than a symbolic offering by the King of Portugal of something which was not in any real sense his to donate.
101. Relacao dos feitos eroicos..., ch. 91, in Sa, Documentacao,IV, pp. 435-6
and 451.
102. Padre Baltasar Dias to his brethren in Portugal, Malacca, 19 November
1556, ibid.,II, p. 270. A decree of the First Provincial Council of Goa in 1567
ordains that no priest should be received in Bengal, Peru, China, Moluccas,
Banda, Sunda or other places where there is no Portuguese fortress,even if he
has dismissory letters from the bishop of that place, unless they expressly mention
how he is to govern it. (Da reformacao das cousas da Igreja (Goa, 1567), ibid.,
III, p. 190.)
103. Urdaneta, Narrative of the Voyageto Malucos, pp. 78-9.
104. King of Geilolo to the Emperor, Geilolo, I March 1532, in Sa, Documentacao,I,
P. 257.
105. Thomaz, 'Maluco e Malaca', p. 43.
106. L. de Albuquerque and R. Graca Feijo, 'Os pontos de vista de D. Joao III
na Junta de Badajoz-Elvas', in A viagemde Fernao Magalhaes, p. 538.
107. Francisco Palha to the King, Goa, 26 December 1553, in Sa, Documentafao,
II, pp. 104-5
108. Gaspar Nilio to the King, Malacca, 1o August 1545, in ibid., I, p. 458.
109. Peter Floris, Voyage to the East Indies in the Globe. 1611-1615, ed. W.
H. Moreland, Hakluyt Society, 2nd series, LXXIV (1934), p. 88.
110. An excellent account of the subjugation of the Banda Islands is in D. G. E. Hall, A History
of SouthEast Asia,3rd edn (London, 1968), pp. 307-9. See also Reid, 'Trade and State
Power', pp. 400-1; B. H. M. Vlekke, Nusantara. A history of Indonesia(Brussels,
1943), pp. 124-41; van Leur,Indonesian Trade and Society, pp. 182-4; and S.
Arasaratnam, 'Monopoly and Free Trade in Dutch-Asian Commercial Policy: Debate
and Controversy within the VOC', Journal of Southeast Asian Studies,IV, No. I (March, 1973),
pp. 1-5.
111.
Schrieke, Indonesian Sociological
Studies,p. 35.
Catatan
Tambahan :
a.
Antonio
Brito adalah kapten pertama benteng Portugis di Ternate (1522 – 1525)
b. Liga (League)
merupakan ukuran jarak di masa lalu. Secara rata-rata 1 liga untuk ukuran jarak
di laut adalah 5,6 km. Jadi jika 30 liga berarti sekitar 168 km.
c. Armada
Fransisco Serao terdampar/kandas di pulau Nusa penyu atau dalam sumber-sumber
Portugis disebut baixos de Lucupino atau
Lucepinho
d. Rui de Brito Patalim
adalah kapten benteng Portugis di Malaka (1512 – 1514)
e.
Tistao
de Ataide adalah kapten ke-6 benteng Portugis di Ternate (1534 – 1536)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar