Oleh
Mutiara
dan Mutiara berkualitas baik
Mutiara
adalah satu sektor dimana orang Arab jelas memainkan peran yang lebih penting
daripada orang Cina sebelum Perang Dunia I. Lautan di sepanjang perbatasan
timur Indonesia tidak kaya akan mutiara, tetapi mengandung banyak mutiara
berkualitas baik. Bagian pinggir Maluku yang paling menguntungkan terletak di
sebelah timur pulau Aru74. Yang penting juga adalah wilayah
pinggiran di Halmahera Utara75. Mutiara berkualitas baik adalah
ekspor utama Maluku Tenggara pada pertengahan abad ke-19, dan orang Arab
mungkin telah terlibat dalam pengangkutan barang itu76.
Kegila-gilaan
pada kancing mutiara dan barang-barang sejenis melanda barat pada akhir abad
ke-19, menyebabkan melonjaknya harga mutiara77. Suatu “ledakan”
besar terjadi di Maluku. Dengan sekunar, armada lugger, kapal motor kecil, dan
peralatan pernafasan untuk penyelam profesional, adalah mungkin untuk menangkap
ikan dengan lebih efisien dan pada tingkat kedalaman yang jauh lebih dalam
daripada yang bisa dilakukan oleh masyarakat pribumi. Sebuah “klondike baru”
dengan demikian dikembangkan, terutama di Dobo, pusat perdagangan dan
administrasi di kepulauan Aru. Orang-orang Filipina dan Jepang adalah imigran
penyelam yang paling banyak, tetapi ada juga dari penduduk laut selatan, serta
orang-orang dari kepulauan itu sendiri78.
Syech Said bin Abdullah Baadilla, Kapten kaum Arab di Banda (1889 - 1912?) |
Syech
Sa’id bin Abdullah Ba Adillaa dan saudara-saudaranya memperoleh
kekayaan besar dari “ledakan” perdagangan mutiara. Pada tahun 1897, ketika ia
adalah Letnan komunitas kaum Arab di Bandab, Ba Adilla diberi izin
resmi untuk mendirikan bisnis mutiara di teritorial perairan kepulauan Aru. Situasi
awal adalah bahwa ia harus membayar kompensasi kepada penduduk pulau, kemudian pembayarannya
bertambah pada tahun 1902 kepada pemerintah Belanda dan untuk reservasi air
dangkal untuk penduduk pulau. Sementara Ba Adilla adalah operator utama di
teritorial perairan, ia bergabung seorang seorang Australia, seorang Jepang dan
2 orang Cina79. Ba Adilla mulai melakukan perjalanan keliling dunia,
sehubungan dengan penjualan mutiara, dan mungkin pada saat itulah, ia secara
pribadi menyerahkan salah satu mutiara yang terbesar dan terbaik kepada Ratu
Emma, Ratu kerajaan Belanda80.
Situasi berubah pada tahun 1905,
ketika pemerintah menyewakan tumpukan-tumpukan mutiara pulau Aru ke Celebes
Trading Company, sebuah perusahaan saham gabungan yang terdaftar di Batavia
(Jakarta) tetapi dikendalikan oleh orang Australia. Posisi Ba Adilla bersaudara
pada tahap ini tidak terlalu jelas. Broersma berpendapat bahwa mereka secara
tidak terduga menjual hak mereka kepada perusahaan Australia sebesar 132.000
gulden81. Namun, penjelajah Jerman bernama Merton, melaporkan bahwa
orang-orang Australia dan Arab telah bergabung untuk melakukan peminjaman bank,
yang dijamin oleh pemerintah kepada “perusahaan bersama dengan beberapa pihak
swasta”. Pada tahun 1908, Ba Adilla bersaudara memiliki tempat tinggal, gudang,
dan barak untuk penyelam mereka di Dobo, dan salah satu saudara Ba Adilla
secara pribadi membantu Merton selama kunjungannya82. Formulasi-formulasi
yang agak kabur dari penulis lain juga menyiratkan bahwa Ba Adilla bersaudara
tetap memiliki saham di tumpukan-tumpukan (mutiara) pulau Aru setelah tahun
190583. Ada kemungkinan, bahwa orang-orang Arab bertindak sebagai
sub-kontraktor untuk Celebes Trading Company.
Aru terus menguntungkan hingga
perang dunia pertama. Pada tahun 1906 – 1908, rata-rata 900 ton cangkang
mutiara diekspor dari pulau-pulau itu, diantaranya sekitar 800 ton berasal dari
Celebes Trading Company. Sisanya diproduksi oleh orang-orang Aru dan dijual ke
perusahaan dagang Makasar dan Banda. Setiap mutiara yang ditemukan didalam
cangkang adalah bonus tambahan bagi perusahaan, karena penyelam hanya dibayar
per berat cangkang yang dikirim ke sekunar84. Para penyelam mencuri
mutiara kapan pun mereka bisa, dan
menjualnya secara sembunyi-sembunyi85.
Orang-orang Arab terlibat bisnis
mutiara di luar pulau Aru. Ba Adilla bersaudara memegang konsesi mutiara di
Irian Jaya dan Sulawesi86. Orang Arab bergabung dengan perusahaan
Cina dan Eropa dalam menyewa tumpukan-tumpukan mutiara di sekitar Halmahera dan
Irian Jaya dari Sultan Ternate, Tidore dan Bacan87.
Des Alwi Abubakar (1927 - 2010), salah satu cucu Said bin Abdullah Baadilla |
Pengiriman
Pengiriman
adalah sesuatu yang berhubungan dan serupa dengan aktivitas tradisional orang-orang Hadhrami.
Selama “dekade-dekade keemasan” dari pertengahan 1830an hingga pertengahan
1850an, kapal-kapal layar bergaya Eropa milik orang-orang Arab mengambil alih
sebagian besar pesisir nusantara dengan melakukan perdagangan88. Ini
tampaknya menjadi cara utama dimana orang-orang Arab awalnya tertarik ke Banda
dan Maluku Selatan89. Namun, Ternate mungkin merupakan pusat utama
kapal-kapal pelayaran miliki kaum Hadhrami pada awal tahun 1870an90.
Kepentingan-kepentingan
kaum Arab dirugikan oleh undang-undang Belanda yang melarang masuk ke pelabuhan-pelabuhan
kecil yang “asli” dari “kapal-kapal Eropa” pada tahun 184891. Residen
Ternate berpendapat pada tahun 1856, bahwa undang-undang ini harus dibatalkan
untuk pelabuhan-pelabuhan Sulawesi di bawah yurisdiksinya, dan keluhan tentang
masalah ini diulangi beberapa tahun kemudian92.
KPM Steiger di pelabuhan Ambon (1930) |
Upaya
orang Arab untuk masuk ke pelayaran kapal uap secara mengejutkan dari yang
diperkirakan. Van der Crab merujuk pada kapal uap yang dimiliki atau dikelola
oleh orang Arab di Maluku pada awal 1860an93. Pada pertengahan tahun
1880an, Van den Berg mengetahui hanya ada 4 orang di Nusantara yang memiliki
kapal uap, salah satunya tinggal di Ambon94. Kapal ini mungkin
merujuk pada SS Menado, yang pada
tahun 1870an, sebagian besar berasal dari sebuah kelompok orang Arab Ambon,
meskipun terdaftar atas nama Tuan Hoedt dari Ambon. Kapten kapalnya orang
Eropa, untuk memenuhi persyaratan asuransi, tetapi ia selalu ditemani oleh
seorang agen orang Arab. Kapal mengurangi biaya pengiriman oleh kapal-kapal
yang disubsidi secara resmi95. Tuan Hoedt mungkin adalah orang
berdarah Ambon yang kaya, yang menjadi Sekretaris Gubernemen Ambon pada
pertengahan 1850an dan memiliki minat yang besar pada sains dan kemajuan96/c.
Kapal-kapal
pelayaran milik orang Arab terus memainkan peran penting di Maluku sejak lama
setelah kemunculan kapal uap. Termasuk sekunar milik orang Arab, “Fathool Hair” yang digunakan sekelompok
pekebun orang Banda berangkat pada tahun 1864 untuk mencari pasar yang lebih
baik untuk pala dan bunga pala di Singapura, setelah langkah-langkah awal
diambil untuk menyingkirkan monopoli resmi. Sekunar-sekunar orang Arab pada
waktu itu, merupakan satu-satunya bentuk alat transportasi jarak jauh di Banda,
terlepas dari kapal uap yang sesekali singgah dari Jawa97. Sekunar-sekunar
milik Ba Adilla tetap menjadi penghubung penting dengan dunia luar untuk pulau
Kisar di Maluku Tenggara, disekitar pergantian abad ini98. Residen
Ternate lebih lanjut mencatat bahwa orang-orang Arab terkaya di Ternate,
semuanya memiliki perahu sendiri untuk perdagangan pesisir di Halmahera pada
tahun 187699.
Aktivitas-aktivitas
“Cinderella” : Keuangan, Pertanian dan Keahlian
Hampir tidak disebutkan tentang
orang-orang Arab yang meminjamkan uang di Indonesia Timur, meskipun kaum
Hadhramis terkenal sebagai rentenir yang hebat di Jawa100. Peminjaman
uang dalam hal ini untuk mempercepat barang-barang dagang untuk membeli
komoditas, yang tentu saja dipraktikan secara luas oleh orang Arab di Maluku101.
Seorang anggota parlemen Sosialis Belanda, melaporkan bahwa sekitar tahun
1900, penduduk lokal di Minahasa meminjam uang dari orang Arab dan Cina, mengagunkan
tanah, pohon kelapa atau buah-buah dari pepohonan sebagai jaminan. Uang itu
sering digunakan untuk membeli barang-barang konsumsi di pasar pelelangan.
Seorang Minahasa dikatakan telah kehilangan perkebunan pala oleh kreditor
dengan cara ini, dan kebun kelapa di Gorontalo juga dijanjikan kepada orang
Cina dan Arab102.
Langkanya praktek peminjaman uang di Maluku
mencerminkan tingkat monetisasi (perputaran uang) yang umumnya rendah, dimana
Minahasa merupakan sebagian pengecualian. Perdagangan dilakukan dengan cara
barter di pesisir Halmahera Utara pada akhir 1840an, di kepulauan Kei pada
1850an, dan di Irian Jaya hingga tahun 1920103. Memang aktivitas
barter mendominasi hingga hari-hari ini di bagian-bagian Maluku104.
Selain itu, orang Arab di Indonesia Timur tidak memiliki modal yang cukup untuk
terlibat atau masuk dalam bisnis peminjaman uang. Tidak ada kota-kota yang
dilaporkan oleh Van Den Berg, dimana orang-orang Arab dengan pendapatan tahunan
di atas 3.600 gulden pada pertengahan tahun 1880an, bertempat tinggal di
sebelah timur dari pulau Bali105.
Orang-orang Arab juga kurang tertarik
mengembangkan pertanian, perkebunan dibandingkan dengan sesama mereka di
Indonesia barat dan Malaysia. Ketika harga pala di pasar dunia anjlok menjadi
1/3 dari harga tertinggi tahun 1872, banyak pekebun orang Banda yang berhutang
menjadi bangkrut, dan orang-orang Arab, mungkin diantara “orang-orang timur
asing” yang memperoleh perkebunan melalui penyitaan pada tahun 1890106.
Keli dan Noorwegen, properti milik keluarga Ba Adilla mungkin termasuk dalam kategori
ini107. Dua orang Arab digambarkan sebagai petani pada tahun 1876 di
Menado, tetapi ini sangat tidak lazim dan perkebunan mereka tidak begitu
penting108. Pertanian orang-orang Arab pada tanah sewaan di pulau
Ternate pada tahun 1910 digambarkan sebagai “kecil”109.
Orang-orang Arab tidak terlalu memiliki nama
besar dalam bidang “keahlian”. Tidak ada bukti bahwa orang Arab pernah menjadi
pemungut pajak atau pejabat kolonial tingkat rendah110. Said
Muhammad, yang berperang di sisi Belanda di Halmahera pada tahun 1870an,
mungkin adalah seorang prajurit profesional, tetapi buktinya tidak terlalu
jelas111. Beberapa orang Arab bertugas sebagai Imam masjid di Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara)
dari sekitar tahun 1830an, tetapi ini nampaknya pengecualiaan, dan mereka
mungkin bukan kaum Hadhramis112
Pelabuhan Ambon (1950) |
Kemunduran orang Arab
sejak 188oan ?
Posisi ekonomis kaum Arab di Maluku tampaknya
mulai terkikis sejak tahun 1880an, sebagian oleh pertumbuhan
perusahaan-perusahaan orang Barat dalam konteks booming kopra dan kembali
bangkitnya imperialisme Belanda. Sebuah perusahaan kapal uap setengah – resmi
dan sangat monopolistik, Koninklijke
Paketvaart Maatschappij (KPM), didirikan pada tahun 1888, dan memperluas
layanannya di Indonesia bagian timur sejak tahun 1891113. The Batjan
Maatschappij didirikan sebagai perusahaan saham gabungan di Den Haag pada tahun
1881, dengan modal 2,8 juta gulden, untuk mengeksploitasi hampir seluruh pulau,
yang telah diterimanya sebagai konsesi dari Sultan Batjan. Perusahaan ini
mengembangkan perkebunan pohon tembakau, kopi, kakao, pala, dan damar, dan
untuk mendirikan pos perdagangan dan jasa pengiriman114. Meskipun
pada akhirnya gagal, praktik monopolistik perusahaan merugikan pedagang lain
bertahun-tahun115. Yang lebih sukses adalah Moluksche Handelsvennootschap dari Amsterdam, yang mengembangkan
kepentingan perkebunan dan perdagangan yang berpusat pada kopra di Minahasa
dari tahun 1870an, dan kemudian menyebar kegiatannya di Ternate dan Ambon116.
Crediet – en Handelsvereenging Banda (CHVB)
didirikan di Amsterdam pada tahun 1885, dengan modal 1 juta gulden, dan
memainkan peran yang tumbuh dalam pertanian, perkebunan, dan perdagangan Banda
dan sekitarnya117. Pada pertengahan 1920an, perusahaan Belanda dan
Jerman memegang posisi dominan dalam bisnis ekspor-impor yang berkaitan dengan
Eropa118.
Persaingan Cina juga menjadi lebih kuat.
Singapura dan orang-orang Cina Makasar menunjukan minat baru di Maluku dengan
munculnya booming kopra, dan mereka terbukti lebih efektif daripada warga
negara mereka yang berbasis di Manila dari tahun 1880an119. Pedagang-pedagang
Cina segera mendapatkan kendali atas sebagian besar pembelian kopra Minahasa
dari pembudidaya lokal, meninggalkan orang-orang Arab dengan “ladang-ladang”
mereka120. Bahkan pulau Seram terbagi secara formal. Perdagangan
kopra di bagian barat pulau itu ada di tangan orang-orang Cina, sementara di
bagian timur, dengan lebih sedikit pohon kelapa, dan ekspor sagu yang mulai
menurun, dipegang oleh orang-orang Arab. Pedagang-pedagang Cina adalah penerima
manfaat utama dari perpanjangan jalur kapal uap reguler di sepanjang pesisir
Irian Jaya dari tahun 1900121. Pembeli-pembeli mutiara dari Cina
menempatkan mereka sebagai pesaing orang-orang Arab di kepulauan Aru122.
M.S. Pelikaan di pelabuhan Ambon (1926) |
Pesaing lain juga muncul. Perusahaan-perusahaan
pelayaran dan perdagangan orang Jepang, yang hadir sekitar pergantian abad,
datang untuk mengendalikan perdagangan kopra dengan pihak Jepang dari tahun
1914123. Pengusaha mutiara Jepang bergabung dengan orang-orang
Australia di sepanjang pinggiran Indonesia bagian timur124.
Pedagang-pedagang India juga tercatat menghasilkan keuntungan besar di Ambon
sejak pergantian abad ini, sementara orang-orang Armenia aktif di Batjan125.
Di tingkat lokal, orang-orang Sonder menjadi pedagang kecil pribumi yang
semakin aktif di Minahasa126.
Ada tanda-tanda yang tidak diragukan
menyangkut kemunduran orang-orang Hadhrami. Perdagangan lokal orang-orang Arab
dilaporkan sebagai pihak yang paling terkena imbas oleh jatuhnya harga cengkih
di Ambon pada tahun 1880127. Bisnis kapal-kapal sekunar milik orang
Arab mengalami kemunduran sekitar pergantian abad ini. Bisnis Syekh Sa’id Ba
Adilla mengalami penurunan tajam di beberapa titik sebelum tahun 1914, dan
mungkin karena alasan ini, para putra dan keturunannya menghabiskan sebagian
besar warisannya128. Pada tahun 1925, laporan Vleming melukiskan
gambaran pesimistis tentang orang-orang Arab yang direduksi menjadi situasi
ekonomi yang tak bernilai di wilayah tersebut129.
Penggambaran yang suram ini mungkin
dilebih-lebihkan. Jumlah keseluruhan penduduk Arab terus tumbuh secara
substansial, seperti yang ditunjukan pada tabel di atas. Di beberapa tempat,
orang Arab masih lebih banyak daripada orang-orang Cina. Angka-angka yang
dikutip oleh Kol sekitar tahun 1900, menunjukan bahwa ada sekitar 1.350 orang
Arab di karesidenan Ambon, dibandingkan dengan hanya sekitar 1.000 orang Cina,
dan di beberapa bagian kecil lainnya seperti Palu atau Donggala, di Sulawesi
barat laut, orang Arab kalah jumlah dengan orang Cina yaitu 127 orang berbanding
9 orang130.
Orang-orang Arab tetap menonjol dalam impor
dan perdagangan umum hingga tahun 1940. Posisi komersial mereka di Ambon,
Ternate, dan Gorontalo, tampaknya telah bertahan lebih baik daripada di Menado
hingga Perang Dunia Pertama131. Orang Arab tetap bercokol dalam
menjual tekstil impor di Ternate dan Ambon, pada tahun-tahun antara masa perang132.
Pemilik-pemilik toko di kota Ambon pada awal tahun 1930an, terbagi antara 80
milik orang Cina, 15 milik orang Arab, 2 milik orang Jepang dan 2 milik orang
“India Bombay”. Sekitar 10 orang Arab secara eksklusif menempati posisi sebagai importir di
karesidenan Ambon dan Ternate pada saat ini133.
Hal yang sama dapat dikatakan tentang sektor
pembelian produk. Sekitar tahun 1900, orang-orang Arab mungkin memiliki andil
yang lebih besar daripada orang Cina dalam perdagangan kopra di Sulawesi barat
laut134. Bahkan pada awal 1930an, orang-orang Arab mengendalikan
sebagian besar ekspor dari pulau-pulau Kei, terutama kopra, daripada
orang-orang Cina135. Pada tahun 1920-an, orang-orang Arab dan Cina
bersama-sama menyingkirkan halangan dari Moluksche
Handelsvennootchap, ketika ia mencoba untuk mengambil alih bisnis minyak
kayu putih dari pulau Buru. Pedagang Arab ikut terlibat dalam perburuan
terakhir bulu-bulu burung Cendrawasih di Merauke, sudut tenggara Irian Jaya,
hingga mode pakaian mengalami perubahan di Eropa dan pasarannya jatuh di pasar
pada pertengahan 1920an136.
Kehadiran orang-orang Arab dalam kegiatan
maritim terus bertahan. Seorang anggota keluarga Ba Adilla memperoleh hak sewa
mutiara baru di kepulauan Sula, di lepas pantai Sulawesi Utara, pada tahun 1926
– 1928137. Pada awal tahun 1920-an, komunitas perdagangan Arab di
Tula, ibu kota kepulauan Kei, terlibat dalam bisnis cangkang-cangkang trochus, suatu
objek yang mirip, darimana mutiara berkualitas baik diperoleh138.
Orang-orang Arab masih memiliki beberapa kapal uap kecil di teluk Tomini pada
tahun 1920, yang memberi persaingan kepada KPM yang monopolistik139.
Kapal motor kayu berukuran kecil milik orang Arab, dengan mesin berbahan bakar
bensin, tetap bertahan untuk mempertahankan perdagangan pesisir Sulawesi Utara
dari tangan KPM. Sementara beberapa orang Arab “menyerah” pada tahun 1935 dan
bergabung dengan anak perusahaan KPM, yaitu CEKUMIJd, sementara yang
laine bekerjasama dengan Jepang untuk membentuk MOKUMIJf
yang turut bersaing. Orang-orang Arab terakhir, “menyerah” pada tahun 1929,
setelah Belanda menolak sertifikat kelayakan laut untuk beberapa kapal mereka140.
Bahkan kehutanan dan pertanian menarik
perhatian beberapa orang Arab. Di awal 1920-an, mereka dilaporkan mempekerjakan
tenaga kerja lokal dan luar untuk memotong kayu hitam di Halmahera, untuk pasar
Jepang, bersama dengan operator orang Cina dan Eropa141. Di awal
1930, seorang Arab Tual di kepulauan Kei memperoleh konsesi hutan di kepulauan
Aru142. Pada tahun 1928, seorang Arab membeli perkebunan kelapa di
pulau Kilwik, di kepulauan Kei, dengan harga 23.000 gulden dari CHVB Banda143.
Kekayaan dan keunggulan sosial orang-orang Arab tentu
saja tetap besar. Yang paling mencolok adalah kasus Muhammad bin Abdallah
al-Amudi, seorang Arab Ambon terkemuka, yang melakukan usaha berharga sejak
tahun 1929 untuk merekonsiliasi faksi-faksi Alawi dan Irshadi dalam komunitas
Hadhrami di Indonesia. Al-Amudi digambarkan sebagai anggota dari Raad van Ambong
dan juru bicara untuk “koloni Arab yang banyak dan aktif” di pulau itu144.
Periode besar kontribusi orang-orang Arab terhadap
ekonomi di Maluku, terjadi pada kuartal ketiga abad ke-19, pada saat ketika
pesaing mereka, orang Cina dan Eropa tidak menunjukan minat pertarungan panjang
kekaisaran Belanda ini. Konsentrasi orang-orang Arab yang hampir eksklusif pada
aktivitas perdagangan dan maritim, mungkin menjadi kekuatan. Sebagai pendatang
baru, meski sedikit jumlahnya, mereka bertahan pada pekerjaan yang mereka kenal
baik, dan yang disesuaikan dengan daerah terpencil dan berpenduduk sedikit.
Pada abad ke-20, komunitas-komunitas lain mulai muncul di permukaan, tetapi
orang-orang Arab masih tetap ada. Penelitian Roy Ellen di pulau Geser dan
Gorom, menunjukan bahwa mereka masih merupakan kekuatan yang harus
diperhitungkan di Maluku saat ini145.
=====
selesai =====
Catatan Kaki
74.
Crawfurd,
1971: 23-24, 330; Spyer, 1997.
75.
Kol, 1903:
223-25; Reiner, 1956: 104.
76.
Broersma,
1934: 143, 145.
77.
Kunz and
Stevenson, 1908.
78.
Beversluis
and Gieben, 1929: 194-95; Kol, 1903: 223-25; Sluys, 1916; Merton, 1910: 143-48; Broersma, 1935-36: 65.
79.
Beversluis
and Gieben, 1929: 192-95; Broersma, 1934: 325-26; Broersma, 1935-36: 67; Merton, 1910: 18.
80.
Broersma,
1934: 325; Hanna, 1978: 125. Emma was Queen Regent 1890-98.
81.
Broersma,
1934: 325-26, 335; Broersma, 1935-36: 67.
82.
Merton, 1910:
13, 18-19, 144, 168.
83.
Sluys, 1916:
299; Beversluis and Gieben, 1929: 192.
84.
Beversluis
and Gieben, 1929: 192-95.
85.
Sluys, 1916:
300.
86.
Merton, 1910:
13.
87.
Kol, 1903:
204, 223-25.
88.
Berg, 1886:
148; Campo, 1992: 367, 386.
89.
Broersma,
1934: 144-45, 325.
90.
Personal
communication from Jeroen Peeters, citing the Regeringsalmanak up to 1873.
91.
Ufford, 1856:
25.
92.
ANRI, 30,
161a, AV Ternate 1856; ANRI, 29, 1551, P. van der Crab, 'Beknopte memorie' October 1862.
93.
Crab, 1862:
53.
94.
Berg,
1886:148-49.
95.
ANRI, 30,
162a, AV Ternate 1875; ANRI, 31, 53, AV Menado 1877.
96.
Ufford, 1856:
111-12.
97.
Broersma, 1934: 144-45.
98.
Broersma,
1935-36: 425.
99.
ANRI, 30,
162a, AV Ternate 1876.
100. Berg, 1886: 136-38; Fernando and Bulbeck,
1992:51.
101.
ANRI, 52,
1659, KV Buiten Bezittingen 1876; Campo, 1992: 167.
102. Kol, 1903: 323, 335.
103. ANRI, 30, 158, J. Wilier, 'Aantekeningen
omtrent het noorder schiereiland van het eiland Halmahera' October 1847; Wallace, 1986:
426-27; Broersma, 1934: 137; Beversluis and Gieben, 1929:
221.
104. Personal communication from Roy Ellen.
105. Berg, 1886: 156-58.
106. Kol, 1903: 173-74.
107. Broersma, 1934: 325.
108. ANRI, 31, 53, AV Menado 1876.
109.
Encyclopaedie
van Nederlandsch-Indië. Tweede druk: 4
, 314.
110.
Fernando and
Bulbeck, 1992: 59, citing Fokkens Report 1897.
111.
Clercq, 1890:
94; Koloniaal Verslag, 1878: 30.
112.
Schouten,
1981: 239-40.
113.
Campo, 1992.
114.
Broersma,
1934: 321; Bokemeyer, 1888: 351-52; Kol, 1903: 204-06.
115.
ANRI, 30,
162a, AV Ternate 1884-85.
116.
Bokemeyer,
1888: 359; Broersma, 1934: 328.
117.
Broersma,
1934: 146-47, 324-25.
118.
Fernando and
Bulbeck, 1992: 245.
119.
ANRI, 31, 52,
AV Menado 1881, 1884-85; ANRI, 30, 162a, AV Ternate 1881.
120. Jansen, unpublished: 18-19.
121.
Broersma,
1934: 321-23, 338-41; Ellen, 1996, for eastern Seram.
122.
Spyer, 1997:
530.
123.
Campo, 1992:
310-11; Dick, 1989: 248.
124.
Reiner, 1956:
104.
125.
Kol, 1903:
163, 198.
126. Schouten, 1993: 173-80.
127.
ANRI, 29,
583, AV Amboina 1889. For prices, Kol, 1903: 161.
128.
Broersma,
1934: 325-26; Hanna, 1978: 125.
129. Vleming and others, 1926: 272-77.
130. Kol, 1903: 148, 151, 369 (n.l).
131.
Encyclopaedie
van Nederlandsch-Indie. Tweede druck: 1,
35, 806, 2, 701-03, and 4, 315.
132.
Habiboe,
1989: 270.
133.
Broersma,
1934: 343.
134.
Kol, 1903:
362 and passim.
135.
Broersma,
1935-36: 60-61.
136. Broersma, 1934: 332-33, 337-38.
137.
Beversluis
and Gieben, 1929: 194.
138.
Geurtjens,
1921: 241-42.
139. Jansen, unpublished: 19.
140. Dick, 1987: 10-11.
141.
Encyclopaedie
van Nederlandsch-Indie. Tweede druk: 4,
314-15; Vleming and others, 1926: 276.
142.
Broersma,
1935-36: 71.
143.
Broersma,
1934: 327.
144.
Plas, 1931:
177-78.
145.
Ellen,
1996.
Catatan Tambahan
a.
Syech Said bin Abdullah
Baadilla adalah kakek (dari pihak ibu) dari Des Alwi Abubakar, atau yang lebih
dikenal dengan nama Des Alwi
b.
Syech Said bin Abdullah
Baadilla menjadi pemimpin kaum Arab (dengan pangkat Letnan) di Banda sejak 28
Juni 1889
c.
Heer Hoedt yang mungkin
dimaksud oleh sang penulis adalah Dirk Samuel Hoedt, kelahiran Ambon, 6 Juli
1815 dan meninggal di Ambon pada 3 Januaria 1893. Ia adalah putra tertua dari
Johanes Hoedt dan Petronella Magdalena Rabe. Ia menikah dengan Sara Wilhelmina
Rijkschroef di Ambon pada 23 Juli 1840.
d.
CEKUMIJ kepanjangan dari
Celebes Kuustvaart Maatschappij, didirikan pada tahun 1935
e.
Yang dimaksud adalah
Sayyid Abd Al-Rahman Syaikh al-Hasni
f.
MOKUMIJ kepanjangan dari
Motor Kuustvaart Maatschappij
g.
Syech Muhammad bin
Abdullah Alamudi menjadi anggota gementeeraad Ambon (1927 – 1929), juga anggota
Comitee Keperloean Ambon (1927 – 1929)
References
Algadri,
Hamid. 1994. Dutch policy against Islam and Indonesians of Arab descent in Indonesia.
Jakarta: Pustaka LP3ES.
Alsagoff,
Syed Mohsen. [1963]. The Alsagoff family in Malaysia, A.H. 1240 (A.D. 1824) to A.H.
1382 (A.D. 1962), with biographical and contemporary sketches of some members
of the Alsagoff family. Singapore: privately printed.
Andaya,
L.Y. 1993. The world of Maluku: eastern Indonesia in the early modern period Honolulu:
University of Hawaii Press.
Bastiaanse,
J.H. de Boudyck. 1845. Voyagefait dans les Moluques, a la Nouvelle
Guinée et a Célèbes, Paris: A. Bertrand.
Berg,
L.W.C. van den. 1886. Le Hadhramout et les colonies arabes dans I'archipel indien. Batavia:
Imprimerie du Gouvernement.
Beversluis,
A.J., and Gieben, A.H.C. 1929. Het gouvernement der Molukken. Weltevreden:
Landsdrukkerij.
Bokemeyer,
H. 1888. Die Molukken: Geschichte und quellenmässige Darstellung der Eroberung
und Verwaltung der ostindischen Gewürzinseln durch die Niederldnder. Leipzig:
F.A. Brockhaus.
Broersma,
R. 1934. Koopvaardij in de Molukken. Koloniaal Tijdschrift, 23 (2),
129-47; 23 (4); 320-50.
Broersma,
R. 1935-36. Land en volk in Molukken-Zuid. Koloniaal Tijdschrift, 24
(6),416-34; 25 (1), 42-71.
Brown,
R. A. 1994. Capital and entrepreneurship in South-East Asia. London: Macmillan.
Campo,
J.N.F.M. à. 1992. Koninklijke Paketvaart Maatschappij, stoomvaart en staatsvorming
in de Indonesische archipel, 1888-1914. Hilversum: Verloren.
Clarence-Smith,
W. G. 1997. Hadhrami entrepreneurs in the Malay world, c. 1750 to c. 1940. (In Freitag,
U., and Clarence-Smith, W.G. (ed.). Hadhrami traders, scholars and
statesmen in the Indian Ocean, 1750s-1960s. Leiden: E. J. Brill,
297-314.)
Clarence-Smith,
W. G. Unpublished. Horse trading: the economic role of Arabs in southeastern
Indonesia, c. 1800 to c. 1940. [Paper presented at conference 'The Arabs in South-East
Asia, 1870-C.1990', Leiden, KITLV, 8-12 December 1997.]
Clercq,
F.S.A. 1890. Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate. Leiden:
E.J. Brill.
Crab, P.
van der. 1862. De Moluksche eilanden: reis van Z.E. den Gouverneur-Generaal C.F.
Pahud door den Molukschen archipel. Batavia: Lange en Co.
Crawfurd,
J. 1971.A descriptive dictionary of the Indian islands and adjacent
countries. Kuala Lumpur: Oxford University Press. (Oxford in Asia Historical
Reprints.) [First published 1856.]
Dick, H.
1987. The Indonesian interisland shipping industry. Singapore:
ISEAS.
Dick, H.
1989. Japan's economic expansion in the Netherlands Indies between the first and
second World Wars. Journal of Southeast Asian Studies, 20 (2),
244-72.
Dijk, K.
van. 1995. From colony to independent state: the changing fate in Minahasa of a
tiny Muslim minority amidst Christians. (In Schefold,
R. (ed.). Minahasa past and present. Amsterdam: CNWS, 72-91).
Djinguiz,
Mohammed. 1909. L'islam dans les possessions hollandaises, portugaises, et américaines
de l' archipel indien. Revue du Monde Musulman, 1 (1-2),
104-20.
Dobbin,
C. 1991. The importance of minority characteristics in the formation of
business elites on Java: the Baweanese example, c.1870-c.1940. Archipel,
41, 117-27.
Dobbin,
C. 1994. Accounting for the failure of the Muslim Javanese business class: examples
from Ponorogo and Tulungagung, C.1880S-1940. Archipel,
48, 87-101.
Dobbin,
C. 1996. Asian entrepreneurial minorities: conjoint communities in the
making of the world economy, 1570-1940. Richmond: Curzon Press.
Ellen,
R. F. 1996. Arab traders and land settlers in the Geser-Gorom archipelago. Indonesia
Circle. 70, 237-52.
Fernando,
M.R., and Bulbeck, D. 1992. Chinese economic activity in
Netherlands India: selected translationsfrom the Dutch. Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies.
Forbes,
H. 0. 1885. A naturalist's wanderings in the eastern archipelago. London: Sampson,
Low, Marston, Searle and Rivington.
Geurtjens,
H. 1921. Uit een vreemde wereld, of het leven en streven der inlanders op
de Kei-eilanden. 's Hertogenbosch: Teulings.
Habiboe,
R.R.F. 1989. De economische ontwikkeling van de Molukken 1900-1938. (In Clemens,
A.H.P., and Lindblad, J.T. (ed.). Het belang van de
buitengewesten, economische expansie en koloniale staatsvorming in de
Buitengewesten van Nederlands-lndië, 1870-1942. Amsterdam:
NEHA, 243-76.)
Hanna,
W. A. 1978. Indonesian Banda: colonialism and its aftermath in the nutmeg islands.
Philadelphia: Institute for the Study of Human Issues.
Heuken,
A. 1996. Arab landowners in Batavia/Jakarta. Indonesia Circle, 68,
65-74.
Jacobsen,
A. 1896. Reise in die Inselwelt des Banda-Meeres. Berlin:
Mitscher und Röstell.
Jansen,
W.H.M. Unpublished. De economische ontwikkeling van de Residentie Menado, 1900-1940.
[Doctoral dissertation, University of Leiden, 1990.]
Jonge,
H. de. 1993. Discord and solidarity among the Arabs in the Netherlands East Indies,
1900-1942. Indonesia, 55, 73-90.
Jonge,
H. de. 1997. Dutch colonial policy pertaining to Hadhrami immigrants. (In Freitag,
U. and Clarence-Smith, W. G. (ed.). Hadhrami traders,
scholars and statesmen in the Indian Ocean, 1750s-1960s. Leiden:
E.J. Brill, 94-111.)
Kol, H.
van. 1903. Uit onze koloniën; uitvoerig reisverhaal. Leiden:
A. W. Sijthoff.
Kolff,
D. H. 1840. Voyage of the Dutch brig of war Dourga through the southern and little
known parts of the Moluccan archipelago and along the previously unknown southern
coast of New Guinea, performed in the years 1825 and 1826. London: Madden
and Co.
Kunz, G.
F., and Stevenson, C. H. 1908. The book of the pearl: the
history, art, science, and industry of the queen of gems. London:
Macmillan.
Lombard,
D., and Aubin, J. (ed.). 1988. Marchands et hommes d'affaire
asiatiques dans I'Océan Indien et la Mer de Chine, XIIIe-XXe siècles. Paris:
EHESS.
Mansvelt,
W.M.F. [1924-26]. Geschiedenis van de Nederlandsche Handel-Maatschappij. Haarlem:
J. Enschedé en Zonen. 2 vols.
Martin,
K. 1894. Reisen in den Molukken, in Ambon, den Uliassern, Seran (Ceram) und
Buru. Leiden: E.J. Brill.
Merton,
H. 1910. Forschungsreise in den Südöstlichen Molukken (Aru- und
Kei-Inseln). Frankfurt-am-Main: Senckenbergischen Naturforschenden
Gesellschaft.
Neurdenburg,
J. C. 1880. De Islam in Nederlandsch-Indië. Mededeelingen van Wege
het Nederlandsche Zendinggenootschap, 24, 294-305.
Peeters,
J. Unpublished. Kaum Tuo—Kaum Mudo; sociaal-religieuze verandering in Palembang,
1821-1942. [Doctoral dissertation, University of Leiden, 1994.]
Plas, C.
O. van der. 1931. De Arabische gemeente ontwaakt. Koloniaal
Tijdschrift, 20 (2), 176-85.
Reiner,
E. 1956. Die Molukken. Gotha: Hermann Haack.
Schouten,
M. 1981. Minahasa and Bolaangmongondow: an annotated bibliography, 1800-1942.
The Hague: Martinus Nijhoff.
Schouten,
M. 1993. Minahasan metamorphoses: leadership and social mobility in a Southeast
Asian society, c. 1680-1983. Covilhã: Universidade da Beira
Interior.
[Sluys,
A.G.H. van]. 1916. Dobo-ervaringen. Koloniaal Tijdschrift. 5 (2),
299-317. [Attribution of authorship by G. Telkamp.]
Spyer,
P. 1997. The eroticism of debt: pearl divers, traders and sea wives in the Aru islands,
eastern Indonesia. American Ethnologist, 24 (3), 515-38.
[Ufford,
H. Quarles van]. 1856. Aantekeningen betreffende eene reis door de
Molukken van Z.E. den Gouverneur-Generaal Mr. A.J. Duymaer van Twist. The
Hague: Martinus Nijhoff. [Attribution of authorship in Schouten, 1981.]
Vleming,
J.L., and others. 1926. Het Chineessche zakenleven in
Nederlandsch-Indië. Weltevreden: Volkslectuur.
Vuldy,
C. 1985. La communauté arabe de Pekalongan. Archipel, 30,
95-119.
Wall,
V.I. van de. 1928. Nederlandsche oudheden in de Molukken. The
Hague: Martinus Nijhoff.
Wallace,
A. R. 1986. The Malay archipelago, the land of the orang-utan and the bird of paradise.
Singapore: Oxford University Press. (Oxford in Asia Historical
Reprints.) [First published 1869.]
Warren,
J. F. 1981. The Sulu zone, 1768-1898: the dynamics of external trade, slavery,
and ethnicity in the transformation of a Southeast Asian maritime state. Singapore:
Singapore University Press.
Wright,
A. and Cartwright, H.A. 1908, Twentieth century impressions
of British Malaya, London: Lloyds Greater Britain [unabridged edition].
Wright, H.R.C. 1958. The
Moluccan spice monopoly, 1770-1824. Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic
Society. 31 (4), 1-127.
Selamat siang
BalasHapusSaya Tuti, dari Jogja. Saat ini saya sedang meneliti komunitas jepang di Kepulauan Aru pada akhir abad ke 19 sampai 1942. Salam kenal.
salam kenal juga.... terima kasih sudah berkunjung ke blog kami... maaf sebelumnya.... artikel-artikel yang kami muat di sini lebih "berfokus" pada wilayah Ambon-Lease atau yang punya fungsi membentuk "histori" Ambon-Lease, sehingga kurang mengetahui dan memiliki sumber-sumber tentang wilayah yang menjadi fokus penelitian mbak... salam
Hapus