PARA BUDAK
Selain cengkih, salah satu item pertukaran terbesar
dan paling menguntungkan adalah budak - budak. Perdagangan budak di bagian timur
adalah hal yang telah kuno, yang sebagian besar terdiri dari orang-orang yang
ditangkap dari desa-desa musuh, dijadikan pekerja di desa pemenang, dan
sebagian dijual kepada pedagang asing. Sebagian besar penyerangan terkait
dengan perseteruan, permusuhan, dan tuntutan agama, dan hal itu tidak pernah
dianggap sebagai aktivitas murni ekonomi. Tetapi skala aktivitas perbudakan
meningkat secara dramatis pada abad ke-17, untuk memenuhi tuntutan Belanda dan
Spanyol untuk tenaga kerja di kota-kota mereka, dan di perkebunan yang
didirikan Belanda di Banda, Ambon, Jawa Barat dan Tanjung Harapan (Afrika). Permintaan
akan budak dari wilayah timur menjadi lebih kuat dengan keputusan VOC pada
tahun 1689, yang melarang penggunaan budak dari daerah Butung, Melayu, Makasar,
Bali, dan Jawa, karena catatan kekerasan terhadap tuan-tuan pemilik budak43.
VOC (Belanda) sangat membutuhkan budak di Banda, karena penduduk pribumi telah
dideportasi dengan paksa, dan budak dari Malabar dan kepulauan Papua didapati
rentan terhadap berbagai jenis penyakit. Sementara Belanda berusaha memenuhi
kebutuhan mereka dengan mengijinkan kaum burger dan mardijker mereka (budak-budak Kristen Asia yang dimerdekakan,
yang berasal dari India) untuk perdagangan ini, dimana kelompok-kelompok
mardijker bergantung pada jaringan lokal yang ada, untuk datang memasok budak
yang diperlukan.
Pedagang-pedagang
utama budak di wilayah timur adalah penduduk kepulauan Seram Laut. Seperti
Makasar, Seram Laut diuntungkan dari tindakan “sosial” mereka pada tahun 1624,
ketika mereka mengirim kapal ke Banda untuk membantu penduduk melarikan diri
dari tindakan pembasmian oleh Belanda (VOC)44. Pengalaman dan kontak
orang-orang Banda di dunia perdagangan adalah faktor penting Seram Laut menjadi
pusat komersial penting lainnya di timur pada abad ke-17. Pulau-pulau ini
secara teratur dikunjungi oleh para pedagang Makasar, Melayu, Jawa dan Banten.
Pada tahun 1632, orang-orang melaporkan melihat di salah satu pulau Seram Laut,
sekitar 28 kapal, diantaranya 8 adalah milik orang Melayu, 6 milik orang
Makasar, dan sisanya dari Banten, Jepara dan Bukit. Selain budak-budak, Seram
Laut adalah titik distribusi ulang rempah-rempah dan massoi (kulit pohon tertentu yang digunakan untuk keperluan
pengobatan), yang dibawa oleh penduduk pulau Seram Laut dari pantai-pantai
pulau Papua. Rempah-rempah dibawa ke Seram Laut karena harga yang ditawarkan
para pedagang ini, jauh lebih tinggi daripada yang ditawarkan oleh VOC
(Belanda). Berbagai desa di Seram Laut memiliki pengaturan perdagangan khusus
dengan desa-desa di Papua, yang menjamin perdagangan yang aman dan
menguntungkan45. Pengaturan ini muncul karena kelompok-kelompok
tertentu dari pulau Seram Laut adalah yang pertama mendarat di pulau itu, dan
menganggap wilayah itu sebagai tempat perlindungan mereka46. Pada
tahun-tahun tertentu, orang-orang Kiliwaru akan mengirim sekitar 10 kora-kora
ke Uring dan Hotei (Hote/Hoti) untuk mendapatkan budak dan massoi, yang kemudian dijual kepada pedagang asing di Seram Timur. Para
pedagang Seram Timur sendiri, berlayar ke kepulauan Raja Ampat dan pantai timur
Halmahera untuk mencari budak, ambergis, burung cendrawasih dan rempah-rempah47.
Penduduk Dorei, Papua (sumber buku J.L. Whitaker) |
Penghasilan dari bekerja keras diperoleh tidak hanya
dari penjualan budak itu sendiri, tetapi dari praktik menebus individu-individu
dengan jumlah yang cukup besar. Dalam satu kasus, orang Patani dan Gebe
menyerang Hatile di Seram dan membawa mereka ke Rarakit di Seram Timur, dimana
kerabat datang untuk menebus mereka48. Raja Tobunku pernah menukar
100 orang penduduknya untuk menebus saudara perempuannya yang ditangkap dalam
sebuah penyerangan49. Ini adalah praktik-praktik yang dicatat oleh
orang Portugis pada awal abad ke-16, dan terus menjadi praktik menguntungkan di
abad ke-17 dan ke-18. Namun, pada periode terakhir, upaya Belanda untuk
mengendalikan perdagangan dengan mengeluarkan izin bagi praktik perdagangan
budak kepada kelompok tertentu, memaksa perdagangan dilakukan dengan cara yang
lebih klandestin (bawah tanah) di daerah yang jauh dari pengawasan Belanda.
Salah satu rute pengoperasian perdagangan
budak antara Onin di pesisir barat Papua dan Pulau Goram. Perahu orang-orang
Ono secara teratur membawa budak ke Goram dan menjualnya seharga 25 – 30 real
masing-masing dengan kain, dan untuk pisau dan pedang dari Tobunku. Meskipun
Belanda ingin memanfaatkan pasokan budak ini, mereka tidak dapat pergi ke sana
tanpa panduan, penerjemah dan restu dari para pemimpin pulau Goram. Pada satu
kesempatan, mereka berhasil mencapai Onin dan diberi tahu bahwa para pedagang
dari Goram telah mengambil semua budak yang tersedia50. Daerah utama
perbudakan di Oni adalah Rumbati, dimana setiap tahun, 200 – 300 budak dapat
diperoleh masing-masing dengan harga 10 pedang asal Tobunku. Para budak dijual
oleh suku-suku pesisir non Muslim yang berperang, kepada para kepala suku dan
orang-orang penting lainnya di sepanjang pantai Onin, yang merupakan kaum
Muslim, terutama dari Seram Laut dan Tidore. Para penguasa Muslim inilah yang
melakukan perdagangan budak dengan pedagang asing52. Orang-orang dari
Seram Laut telah menandatangani perjanjian perdagangan dengan suku-suku Papua
melalui pertukaran senjata, sehingga menciptakan sosolot, atau wilayah pengaturan perdagangan khusus53. Goram,
Kiliwaru, Geser, dan Keffing adalah salah satu pemukiman paling aktif yang terlibat dalam perdagangan intra-Asia.
Yang lainnya adalah Rarakit, yang pada pertengahan abad ke-17, digambarkan oleh
Belanda sebagai “sarang perompak yang melayani orang Papua dan Tidore sebagai
tempat perlindungan dan pasar”54. Pedagang dari pulau Saparua juga
pergi secara teratur ke Onin, untuk mendapatkan budak, tetapi koneksi Seram
Timur – Papualah yang memiliki andil besar dalam pasar ini55.
Jaringan budak lain menghubungan Papua, 4
kerajaan Raja Ampat (Salawati, Waigeu, Waigama, dan Misool), Gebe, Gamrange
(Maba, Patani, Weda), dan Tidore. Jauh sebelum Inggris menemukan pentingnya
Gebe, wilayah itu merupakan perantara yang berguna untuk melayani pelabuhan dan
penduduk Pulau Papua. Pada abad ke-17, masih dianggap sebagai pulau dengan tidak
ada yang ditawarkan, kecuali pasar untuk barang-barang dan kepulauan Papua.
Ketenaran Gebe sebagai penguasa Papua dengan cepat dibayanyi oleh Patani. Sebagai
salah satu dari pulau-pulau Gamrange, Patani secara tradisional merupakan “anak
tengah” dari 3 bersaudara yang datang untuk menemukan pemukiman ini. Dalam
tradisi-tradisi rakyat, Maba dikenal karena keberaniannya, Weda karena sumber
daya alamnya, dan Patani karena “pengetahuannya” (esoterik)56.
Reputasi Patani sebagai pemiliki kekuatan khusus, mungkin menjadi faktor di
tempat khususnya di antara pulau-pulau Gamrange dan di antara para subjek
Tidore yaitu orang Papua. Pada abad ke-17, Sangadji
Patani-lah yang diberi tugas oleh Sultan Tidore untuk mengunjungi
pulau-pulau Papua untuk mengumpulkan upeti bagi Tidore. Kapanpun orang Papua
diperlukan untuk ekspedisi apapun, Sangadji
Patani yang memanggil mereka terlebih dahulu ke Patani sebelum mereka
melanjutkan aktivitasnya57. Serangan ke pantai Seram, Ambon,
Aru-Kei, Tanimbar, Butung, Sulawesi, dan pulau-pulau lainnya, sering merupakan
gabungan Papua dan Gamrange, dibawah kepemimpinan salah satu Sangadji Gamrange, biasanya dari Patani.
Karena hubungan kepercayaan yang khusus
antara Gamrange dan Raja Ampat, Gamrange sering memberikan pinjaman /kredit
kepada Raja Ampat untuk produk-produk tertentu58. Sistem ini bekerja
dengan sangat baik, menjadikan Gamrange sebagai sumber utama barang Papua,
terutama budak. Belanda kagum pada banyak jenis kain yang ditemukan di
Gamrange, yang utamanya ditujukan untuk wilayah Papua sebagai barang pertukaran59.
Orang-orang Weda pergi secara teratur ke pulau-pulau Raja Ampat, dengan
menawarkan pakaian, peralatan besi, dan pernak-pernik untuk kulit penyu dan
budak. Mereka kemudian menjual produk-produk ini kepada para pedagang Tidore
yang berbasis di Weda60. Patani diharapkan untuk menyediakan
tikar-tikar sabut, pedang, dan keset sebagai penghormatan, tetapi pada awal
abad ke-18, barang-barang itu mampu ditawarkan sebagai pertukaran budak, kulit
penyu, kain, burung cendrawasih, dan emas karena link-link ini ke wilayah
Papua. Penduduk pulau Raja Ampat memperoleh produk-produk mereka melalui relasi
dengan berbagai suku pesisir di Pulau Papua. Setiap tahun, sejumlah besar
kapal-kapal Papua dari Raja Ampat pergi ke Gamrange, membawa budak, massoi,
pala, peralatan besi, dan pernak-pernik. Barang-barang dan budak-budak dari
penduduk pulau Papua ini kemudian dijual oleh orang-orang Gamrange kepada
banyak orang Tidore yang pergi ke sana untuk berdagang61.
Jaringan budak yang terpisah, beroperasi di
wilayah Ternate. Di utara pemukiman kembar, Gorontalo-Limboto, dijual budak
sebagai barang yang disita dari kelompok-kelompok tetangga dan dari pulau-pulau
lain. Budak-budak ini dibawa ke 2 pusat utama di wilayah kekuasaan Ternate :
Banggai dan Tobunku. Orang Bugis dari Malaka datang ke Tobunku dengan jaminan
akan pasokan budak karena mereka dapat mengandalkan istri lokal mereka untuk
mengatur kesepakatan yang menguntungkan62. Orang Bugis yang berbasis
di Sulawesi Selatan sendiri menggunakan rute utara dan menjualnya baik di
Tobunku, Banggai, atau pelabuhan Toli-toli di Sulawesi Utara. Belanda yakin,
bahwa Toli-toli adalah pusat perdagangan yang menonjol karena kehadiran begitu
banyak pernis dari Vietnam Utara, porselin dari Cina, dan barang-barang
lainnya. Belanda beralasan bahwa barang-barang impor yang kaya seperti itu,
tidak mungkin dibeli dari hasil produk-produk sendiri yaitu kulit penyu, sagu,
dan kulit lawang (sejenis kayu
manis). Diduga, perdagangan budak adalah salah satu sumber pendapatan yang
menguntungkan bagi Toli-toli63.
Sebuah keputusan oleh VOC untuk mengeluarkan
surat izin hanya kepada kaum burgher Belanda dan Mardijkers untuk pergi ke
timur, untuk mendapatkan budak, menyebabkan ketidaknyamanan sementara untuk
pedagang lokal. Pada tahun 1678, orang-orang Maluku mengeluh bahwa mereka
hampir tidak bisa memenuhi kebutuhan karena mereka kehilangan hak untuk beraktivitas
dalam lalu lintas perdagangan budak. Mereka berpendapat, bahwa mereka dapat
menghasilkan lebih banyak dengan menjual satu budak kepada seorang kaum burgher,
daripada menjual hasil 3 tahun bekerja di ladang64. Namun, seperti
dalam pembatasan VOC pada penjualan rempah-rempah, para pedagang pribumi segera
menemukan cara untuk “melanggar” peraturan yang diberlakukan Belanda, dan terus
mengejar pertukaran yang menguntungkan pada perdagangan budak.
KAIN
Permintaan yang kuat
untuk cengkih dan budak dari kelompok-kelompok Eropa dan Nusantara yang
bersaing, membuat para penguasa Maluku mendapatkan kain India dan peralatan besau,
yang merupakan barang yang sangat diinginkan di wilayah tersebut. Kontrol atas
redistribusi objek-objek bernilai ini, memberikan peluang bagi Ternate dan
Tidore menghubungkan banyak komunitas terpencil lebih dekat ke wilayah pusat.
Pada awal abad ke-16, Tom Pires mencatat bahwa pedagang Jawa dan Melayu
berhenti di Sumbawa dan Bima untuk mendapatkan pakaian lokal untuk pasar di
Maluku. Kain kasar dari Cambay, beragam motif yang bagus dari Coromandel
sama-sama dihargai65. Kain yang lebih halus dicadangkan untuk
acara-acara khusus, sementara kain kulit loka dan kain kasar yang diimpor,
hanya untuk penggunaan sehari-hari. Orang maluku membuat kain dari kulit pohon
dengan merendamnya, dan kemudian memukulnya dengan palu pada sepotong kayu.
Dengan cara ini, kulit kayu diregangkan dan dibuat tipis, yang secara lokal
dikenal sebagai fisas yang merupakan
kain kasar, dan beberpa kain halus juga terbuat dari kulit kayu. Untuk bagian
atas tubuh, pakaian kulit kayu digunakan seperti ponco. Itu dibuat menjadi kain
persegi empat dengan lubang ditengah untuk kepala, dengan “sayapnya” jatuh
dibagian depan dan belakang. Untuk tubuh bagian bawah, pakaian kulit kayu
dikenakan di pinggang dan di antara kaki. Kain juga dibuat dari tanaman kapas
dan kulit semak lainnya yang dipelintir untuk membuat benang untuk menjahit dan
menenun. Kain katun halus digunakan terutama untuk menghiasi pakaian dari kulit
kayu itu66. Penggantian kulit kayu secara bertahap oleh kain impor
India dan Bima, membebaskan para wanita dari proses pembuatan kain yang tidak
pernah berakhir, dan mengalihkan energi mereka ke ativitas ekonomi lain untuk
memungkinkan mereka mendapatkan kain impor.
Kain India (Sumber : Disertasi Ruudtje Laarhoven) |
Ada pasar yang bagus
untuk pakaian, dan dalam satu contoh, penguasa Gresi membeli beberapa kain
mahal dari Asia Barat dengan tujuan dijual kembali di Maluku67. Bagi
banyak orang Maluku, kepemilikan kain memiliki tujuan lain selain yang
fungsional semata. Jika mereka menerima pembayaran dalam bentuk kain dari orang
Belanda (VOC), pertama-tama mereka menyerahkannya kepada Sultan “sebagai
tindakan penghormatan”. Orang Belanda
menggambarkan proses dimana Sultan menahan sepotong kain untuk dirinya sendiri
untuk membeli sirih-pinang (bahan untuk mengunyah sirih), dan mengembalikan
sisanya kepada individu-individu. Apa yang tampak bagi orang Belanda sebagai
kasus sederhana dari tindakan penghormatan itu, adalah fenomen yang lebih
kompleks. Apa yang diilustrasikan oleh kejadian itu, adalah berlakunya kembali
ide kuno, yaitu ide pertukaran masyarakat Austronesia yang melibatkan kain tapa yang berkualitas baik. Kain
itu disajikan kepada pemimpin/penguasa, yang mana penanganan fisik pada kain
itu, seperti proses “mengisi” kain itu dengan kekuatan spiritual yang dimiliki
oleh pemimpin/penguasa. Kain yang telah memiliki kekuatan spiritual itu,
kemudian didistribusikan kembali ke pihak pemberi dan diterima sebagai sumber
manfaat dan perlindungan yang sakral.
Sebagian besar kain disimpan untuk digunakan pada
pemakaman, untuk mas kawin, dan sebagai hadiah khusus untuk individu. Pada satu
titik di abad ke-18, Sultan Tidore menjadi tertekan dengan keputusan Gubernur
Belanda, yang mencegah rakyat Tidore membeli kain di gudang kompeni. Yang
ditakuti penguasa adalah, bahwa jika ada di antara anak-anak dari kerajaan yang
meninggal, tidak ada kain yang cukup untuk penguburan, dan karenanya membuatnya
sangat malu68. Meskipun kain India tidak lagi memiliki kaitan
langsung dengan kulit kayu kayu ke pohon suci darimana ia dibuat, signifikansi
dari pretasinya masih tetap tertinggal. Jenazah-jenasah itu sekarang dibungkus
dengan kain impor, bukan dalam gulungan kulit kayu69. Di antara
penduduk asli Papua, hubungan kain dengan kekuatan suci, juga sangat jelas.
Ketika kapal kembali dari rak, atau
ekspedisi penyerangan dan penyerbuan ke luar daerah, perjalanan pulang kembali
ke rumah itu berakhir dengan pemandangan para pemimpin utama ekspedisi itu
duduk di tengah kapal di atas peti pakaian mereka. Orang-orang terkemuka di
desa duduk di atas peti pakaian mereka ketika menerima tamu dan orang-orang
mereka sendiri dalam sebuah resepsi terkenal, karena kehadiran kekuatan besar (nanek), sering disamakan dengan konsep mana70.
Kain India (sumber Disertasi Ruudtje Laarhoven) |
Selama wilayah pusat
tersebut mendapat manfaat dari perdagangan rempah-rempah, ia dapat membeli kain
untuk penggunaannya sendiri dan untuk didistribusikan kembali ke wilayah
pinggiran. Ketika Belanda memperkenalkan kebijakan pemberantasan pada
pertengahan abad ke-17 untuk mengendalikan produksi rempah-rempah, Belanda
mengikis sumber pendapatan utama di kerajaan-kerajaan Maluku. Kompensasi Belanda
sering dibayar dengan kain, tetapi jumlahnya hampir tidak pernah cukup untuk
memenuhi permintaan pihak kerajaan atau untuk didistribusikan kembali ke
wilayah pinggiran. Ancaman terhadap relasi pusat-pinggiran yang ditimbulkan
oleh kebijakan tersebut, mengarah pada dorongan cara lain untuk menjual
rempah-rempah di luar sistem Belanda yang terbatas. Tetapi, sementara
pengaturan alternatif dapat dikembangkan di wilayah pinggiran, hal ini jauh
lebih sulit diterapkan di wilayah pusat, dimana Belanda memiliki pos-pos yang
permanen. Belanda mulai memperhatikan bahwa, karena orang-orang Tidore tidak
bisa lagi menjual cengkih mereka, mereka sekarang mencari kerja sambilan dengan
Belanda atau menjual persediaan makanan ke benteng dan pemukiman Belanda untuk
dapat membeli kain dari gudang kompeni. Karena pakaian sangat diminati baik
untuk penggunaan praktis maupun untuk tujuan ritual, orang-orang Maluku harus
menentang Belanda dengan terlibat dalam perdagangan “ilegal” cengkih untuk
mendapatkan pakaian.
BESI
Selain kain, barang
lain yang sangat dihargai yang diperdagangkan untuk ditukar dengan cengkih dan
budak adalah besi. Peralatan dari besi sangat kuaat, dan sangat memudahkan
tugas membersihkan hutan dan mengolah tanah, sementara panah dan tombak
berujung besi, jauh lebih unggul daripada yang terbuat dari bahan lain. Tobunku
dan kepulauan Karimata adalah 2 sumber utama besi untuk Maluku. Ketika Gubernur
Belanda, Padtbrugge mengunjungi Tobunku sekitar tahun 1678 dan 1679, ia
menggambarkan Tobunku sebagai wilayah yang memiliki jumlha besi yang luas dan
mudah mengaksesk kualitas besi. Masyarakat tidak mengganggu hingga pedagang
datang dan membayarnya dengan kain. Baru pada saat itulah, penduduk setempat
mengambil besi dari pegunungan dan dan melelehkannya menjadi pisau, pedang dan
kapak71. Orang-orang dari Butung, dengan mungkin beberapa orang
Tobunku adalah mereka yang membawa alat-alat besi yang sangat berharga dari
Tobunku ke Keffing di Seram Timur, dan ke daerah-daerah di sekitarnya72.
Karena keuntungan besar yang didapat dari perdagangan besi, Tobunku tidak mau
mentolerir pesaing. Sultan Luwu di Sulawesi Selatan menyatakan khawatir bahwa
Tobunku akan menyerang Matano di perbatasan utara kerajaannya yang “kaya dengan
tambang besi” dan sumber pendapatan Luwu73. Luwu sebelumnya menjadi
sumber zat besi, karena zat besinya memiliki campuran khusus dengan nikel yang
ditemukan sangat idela untuk pembuatan keris. Pada abad ke-17 dan ke-18,
Tobunku menjadi pemasok utama besi bagi Ternate dan pulau-pulau di bagian timur
lainnya. Sebagai vasal dari kesultanan Ternate, Tobunku menjadi pemasok utama
besi bagi kerajaan penguasanya, memungkinkannya menciptakan dan menegaskan
kembali hubungan dominan dengan wilayah-wilayah terpencilnya74.
Raja Ampat (Sumber Buku Arthur Wichman) |
Sumber utama besi
lainnya di kepulauan ini adalah kepulauan Karimata. Banyak dari besi Karimata
dibawa ke Palembang dan kemudian dibawa ke bagian timur oleh para pedagang
Melayu dan Bugis, yang menukarnya dengan rempah-rempah dan budak. Pada suatu
kesempatan, Belanda menyesali kenyataan bahwa kegagalan mendapatkan kapak dan
pisau Karimata (parang), telah merusak perdagangan kayu cendana mereka di
Timor. Mereka juga berkomentar pada kenyataan bahwa kapak dan parang asal
Karimata, yang dibuat di Belitung dan kepulauan Karimata, trutama diinginkan oleh
“pulau-pulau dibelakang Banda”, yang berarti adalah kepulauan Papua75.
Di Onin, orang Papua bersedia memperdagangkan masing-masing budak dengan harga
20 rijksdaalders untuk pedang Tobunku dan kapak Karimata76. Semua
wilayah Papua di kepulauan atau pesisir dari daratan Papua Nuigini bersemangat
mencari besi untuk senjata dan peralatan kerja, dan tanpa besu sulit bagi
pedagang asing untuk mendapatkan budak.
Peralatan dari besu sangat bernilai sehingga
pembawa besi dianggap memiliki kekuatan khusus. Bahkan pada abad ke-20, di
daerah Sawiet dan Mejprat di Papua, ada istilah khusus yang berarti “manusia
kapak”, yang merujuk pada agen pesisir atau perantara yang memasok kapak dan
kampak kepada orang-orang pegunungan di pedalaman. Karunia dari besi adalah gerakan
yang sangat kuat sehingga kapak ini dikatakan mempertahankan hak hidup pengguna
selama keberadaan kapak. Potensi spiritual ini terkait dengan besi dan
benda-benda yang dibuat darinya, tercermin dalam kelompok Papuan lainnya, Von,
dimana istilah untuk “manusia kapak” juga merujuk pada “ tukang obat” yang
mengelola pengetahuan rahasia dari kelompok-kelompok pesisir asing. Asal mula
orang asing ini ditunjukan oleh mitos dari Mejprat yang menceritakan tentang
mereka menikahi wanita Mejprat, menetap, dan membawa peradaban superior ke “orang-orang
liar berbulu, bodoh dan dungu” di pedalaman77.
Hubungan besi dengan wilayah-wilayah pusat
dominan yaitu Ternate dan Tidore, sangat eksplisit dalam tradisi Maluku. Galela
di timur laut Halmahera menghubungkan pengenalan besi ke Ternate, dan
menghubungkan peristiwa yang mengesankan itu dengan awal hubungan istimewa
mereka. Pembawa besi dianggap sebagai mitra superior, memberikan sebuah item
nilai praktis dan bergengsi yang tinggi kepada Galela78. Tidore,
tetapi lebih khusus pemukiman Toloa, dikatakan sebagai sumber ketrampilan
menempa besi. Seorang pandai besi diyakini memiliki kekuatan khusus yang
memungkinkannya untuk memanfaatkan sifat-sifat suci dari bijih untuk
menghasilkan benda-benda yang bekerja dengan keajaiban. Oleh karena itu, Tidore
dipandang sebagai “asal” dari kekuatan-kekuatan kuat yang ditransmisikan
melalui peralatan besi yang dibuat. Bagi orang-orang Papua, penguasan Tidore
atas besi yang bekerja secara ajaib, memperkuat tradisi mereka yang lain yang menghubungkan
Tidore dengan kekuatan mitos yang terkait dengan sumber dari banjir di “dunia
bawah”79.
Di daerah Papua, yang menerima ketrampilan
suci menempa secara tidak langsung dari Tidore, kata “api” digunakan untuk
menunjukan konsep kesucian dan marabahaya. Kesucian besi terbukti dalam
namanya, romawa forja, yang berarti
“anak api”, dan tukang besi melalui hubungan itu melakukannya dengan rasa
hormat. Seni merka dipandang sebagai perpaduan dari unsur-unsur teknis, magis
dan ritual80. Penyebaran penempaan besi dari Tidore tampaknya
merupakan bagian dari perluasan Tidore ke tenggara Halmahera, Seram,
pulau-pulau Papua, dan pesisir-pesisir kepala burung di Papua. Di daerah ini,
ketrampilan pandai besi dikaitakn dengan Tidore melalui area seperti Patani dan
Gebe. Merupakan hal penting, bahwa pandai besi di Biak, Dore, dan Numfor
dilarang makan daging babi81. Ini menunjukan bahwa, mungkin besi
diperkenalkan bersamaan dengan Islam dan aspek-aspek lain dari “budaya Tidore”,
yang menyertai ekspansi Tidore ke wilayah pinggiran. Orang-orang akan melihat
korelasi langsung antara sifat-sifat suci dari besi dan kekuatan spiritual
wilayah pusat, yang menegaskan posisi khusus Ternate dan Tidore di dunia
Maluku.
PENGATURAN
ULANG ORANG LOKAL
TERHADAP
PEMBATASAN VOC
Pada tahap-tahap awal pengenalan
kebijakan pemberantasan dan langkah-langkah untuk membatasi perdagangan budak
bagi kaum burger dan Mardijker, jaringan perdagangan pribumi mengalami beberapa
ketidaknyamanan dan kehilangan pendapatan sementara. Tetapi sebagai tanggapan
terhadap pembatasan VOC yang tidak disukai dan sewenang-wenang ini, penguasa
Ternate dan Tidore mendorong perdagangan klandestin
di pelabuhan lain di luar wilayah Belanda, seperti di Seram Timur untuk Tidore
dan Tobunku untuk Ternate. Di beberapa wilayah Ternate, koloni yang didirikan
oleh keluarga-keluarga terkemuka di awal abad ke-16, menjadi sumber andal dari
barang-barang yang diinginkan. Koloni-koloni ini di Buru, Hoamoal,, Hitu dan
Sula Besi mengatur aliran barang ke Ternate. Di pinggiran Tidore, Gamrange dan
penduduk pulau Papua membawa rempah-rempah, ambergris, dan kulit penyu ke
pelabuhan Goram, Kiliwaru, Geser, dan Rarakit di Seram Timur. Barang-barang itu
ditukar dengan bubuk mesiu, timah, peralatan besi, patola, dan jenis kain
lainnya yang dibawa terutama oleh pedagang Bugis, Melayu, Jawa dan Butung. Jika
pedagang dari barat Nusantara tidak muncul, mereka dari Seram Timur membawa
barang-barang ke Timor dan Larantuka. Kadang-kadang para pedagang Seram Timur
pergi langsung ke Gebe, yang telah menjadi pusat redistribusi aktif pada abad
ke-18, untuk membeli pala dan bunga pala dengan kain, rantai emas dan budak82.
Mekanisme pertukaran di wilayah Tidore, rumit
dan bergantung pada pengaturan khusus. Hubungan khusus Gamrange dengan Raja
Ampat bergantung pada hubungan langsung Raja dengan berbagai pemukiman pesisir
di daratan Papua. Selain itu, ada berbagai komunitas di Seram Timur yang memiliki
pengaturan pribadi dengan komunitas di Papua. Pernikahan campuran menciptakan
kelompok perantara campuran yang menjadi terkemuka dalam perdagangan antar
pulau. Para pedagang Belanda menemukan agen perdagangan berdarah campuran, yang
disebut sebagai “orang papua”, yang menerima pembayaran uang muka berupa pisau,
kain, gula aren, dan beras untuk mendapatkan masoi, pala, dan budak dari suku
pedalaman. “Orang Papua” ini memiliki kedudukan tinggi di masyarakat karena
akses mereka terhadap benda asing yang diinginkan, pakaian, perlatan besi, dan
kemudian gelar yang diberikan oleh Sultan Tidore karena penyediaan
barang-barang upeti. Pada tahun 1734, Sultan menyerahkan kepada Kapita Laut
Waigama kehormatan dalam bentuk kancing untuk celana panjang, 26 kancing perak,
dan tongkat bergagang perak. Pedagang di Maba pada abad itu memiliki gelar Muslim/Tidore
yaitu hukum, seperti gelar/pangkat
militer Portugis yaitu cabo dan merinyo. Dalam periode berikutnya, gelar-gelar
Tidore seperti kolano, jojau, dan sengadji atau gelar-gelar Portugis
seperti mayor, kapitan juga digunakan
pada kelompok ini83.
Karena kedekatan pos terdepan Belanda di
Ternate, baik Ternate maupun Tidore merasa semakin sulit pada pada abad ke-18,
karena pembatasan yang diberlakukan. Ketidakmampuan mereka untuk mempertankan
pasokan barang-barang kain dan besi yang andal ke wilayah pinggiran, menyebabkan
peningkatan pentingnya Seram Timur dan Tobunku sebagai pusat perdagangan utama
untuk wilayah Ternate dan Tidore. Pada dekade kedua abad ke-18, orang Papua
membawa barang-barang mereka ke Keffing, dimana ada sumber kain dan besi yang
murah dan terjamin. Pada 1721, Sultan Tidore meminta dari Belanda uang muka
dari kompensasi tahunannya, untuk diberikan dalam bentuk pakaian India,
sehingga ia dapat mengirimnya ke daerah-daerah Papua. Permintaan semacam itu
mengungkapkan hubungan ekonomi yang memburuk antara wilayah pusat dan
pinggiran, yang merongrong mitos ideal persatuan dunia Maluku.
Gangguan lebih lanjut dalam hubungan antara
wilayah pusat dan pinggiran Maluku adalah, desakan kompeni bahwa wilayah
terluar harus tunduk pada kebijakan pemberantasan. Intrusi ini tidak hanya karena
mengancam mata pencaharian mereka yang ada, tetapi juga karena tenaga kerja
yang diminta dari mereka atas nama penguasa mereka, tidak dibalas dengan hadiah
kain dan besi seperti di masa lalu. Tetapi tanpa hadiah kain dan besi (atau yang
setara), sebagai kompensasi untuk tenaga kerja dalam kampanye pemberantasan,
pertukaran sebagai tindakan sentral dan penting membangun hubungan yang
mengikat wilayah pusat dan pinggiran tidak lengkap, yang mengarah ke tahap
kesalahpahaman dan bahkan pemberontakan.
Ketika abad ke-18 berlalu, kompeni menjadi
lebih ngotot daripada sebelumnya dalam mempertahankan “ketertiban” di wilayah
Tidore dan Ternate, dan dengan demikian meminjamkan kapal, orang, dan senjata
untuk “membantu” para penguasa ini dalam hal menekan wilayah-wilayah vasal
kerajaan. Efek dari jaminan dukungan Belanda untuk wilayah pusat adalah untuk
mengasingkan wilayah pinggiran. Wilayah pinggiran menjadi mengabaikan tuntutan
dari wilayah pusat dan berusaha untuk mempertahankan sendiri, terutama dalam
memperoleh barang-barang yang dilarang Belanda. Meskipun Belanda berkeliling
Halmahera dan sering memberi peringatan dengan para penguasa untuk
mengendalikan “aksi penyelundupan” rakyat mereka, hanya sedikit yang bisa
dilakukan untuk mencegah perdagangan ini. Kompeni tidak memiliki sumber daya,
dan penguasa Maluku takut mengambil resiko pemberontakan lebih lanjut. Oleh
karena itu, pada abad ke-18, terlihat penurunan ekonomi di pelabuhan Ternate
dan Tidore, tetapi terjadi peningkatan besar dalam perdagangan di wilayah
pinggiran.
KESIMPULAN
Pada abad ke-16, 17 dan ke-18,
wilayah pusat dan pinggiran Maluku telah membentuk serangkaian jaringan
perdagangan rumit, yang melibatkan pedagang dari dalam dan luar Maluku. Apa
yang dimulai dengan dimulai sebagai sebuah mitos, komunitas keluarga yang
berdagang satu sama lain telah berkembang menjadi perdagangan intra-regional
yang berkembang dengan munculnya berbagai simpul penting. Baik Ternate dan
Tidore terus menarik proses perdagangan sebagai hasil dari kemampuan mereka
untuk mempertahankan kendali atas pasokan utama cengkih dan budak. Dengan
perdagangan ini, muncul kemampuan untuk mengimpor kain dari India dan
Nusantara, peralatan besi dari Karimata dan Tobunku, dan barang-barang prestise
lainnya dalam permintaan di Indonesia Timur. Tetapi dengan diperkenalkannya
kebijakan pemberantasan oleh Belanda (VOC) dan pembatasan perdagangan lainnya,
baik Ternate dan Tidore harus menyesuaikan kembali hubungan mereka dengan
Belanda, untuk memastikan pasokan barang yang diinginkan wilayah pinggiran
mereka. Tuntutan baru yang dibuat di wilayah-wilayah pinggiran, jauh melebihi
manfaat yang sekarang mereka terima dari wilayah pusat. Ketidakseimbangan
tersebut menghasilkan sikap kebencian di wilayah pinggiran, tetapi juga
dorongan untuk mencari sumber baru untuk mendapatkan kain, besi, dan
barang-barang lain yang diinginkan. Hal ini menyebabkan terciptanya jaringan
perdagangan baru yang luas, yang dihubungkan oleh pelabuhan-pelabuhan sekunder
yang melewati pelabuhan-pelabuhan milik Belanda, dan bekas pelabuhan-pelabuhan
pusat di Ternate dan Tidore
====
selesai ====
Catatan Kaki
43.
W. Ph. Coolhaas, ed., Generale
Missiven, vol. 5 (1686 -1697) 's-Gravenhage, (1975), Camphuys, 30 Dec.
1689, hal. 300.
44.
Ibid., hal. xvii.
45.
Elmberg distinguishes
between a "trade friend," which requires a ceremonial exchange
containing a ritual element for both and precludes intermarriage; and a
"trade agent," which involves no ritual element and allows
intermarriage between the partners. John-Erik Elmberg, Balance and
Circulation: Aspect of Tradition and Change among the Mejprat Irian Barat (Stockbolm,
1968), p. 128.
46.
F. C. Kamma, "De
verhouding tussen Tidore en de Papoese eilanden in legende en historie," Indonesie
I, no. I (July 1947), part 2, p. 551.
47.
Bouwstoffen. vol. 2, pp. 244.
48.
VOC 1483, Report to
Rumphius by the Orang Kaya Sargile of Hatilen concerning the Papuan pirates, 18 July
1689, n.p.
49.
VOC 1461, Letter from
Kaicili Sibori Sultan Amsterdam to Batavia, included in missive 30 June 1689,
fol 275v
50.
Coolhaas, Generale Missiven, vol. 2
(1639-1655), Reniers, 24 Dec. 1652, p. 679: Maetsuycker, 7 Nov. 1654, p. 749.
51.
Ibid., voL 3 (1655-1674),
Maetsuycker, 26 Dec. 1662, p. 408.
52.
A. Haga, Nederlandsch Nieuw-Guinea en de Papoese Eilanden, volume 1 (Batavia
1884) hal 80 -81
53.
Ibid, hal 120 – 121, 191
54.
Ibid, hal 61
55.
Coolhaas, Generale Missiven, vol. 4
(1675 - 1685), Van Goens, 29 April 1681, hal 431, Tiele, Bouwstoffen. vol. 2, hal. 242
56.
Interviews conducted with
local historians in the Gammnge in January, 1988.
57.
VOC Ternate to Batavia, 6
August 1664, fo1. 1773.
58.
VOC 1690, Report on
mission to 25 Oct. I fok 207-208.
59.
VOC 1675, Diary of Hofman
in the Gamrange, under date 14 Aug. 1703, fol. 314; VOC 1690, Ternate to
Batavia. 17 June 1704, fol. 40
60.
VOC 1662, Report on
extirpatie expedition to Weda. 10 Sept 1702, fols. 517-518.
61.
VOC 1662, Report on
extirpatie expedition to Weda, 10 Sept. 1702, fol. 539.
62.
VOC 1376, Memorie van R. Padtbrugge,
31 August 1682, fols. 320r 323r.
63.
Ibid. Folio 314r : VOC 1345, Report by
Joannes Francen in Menado to Gov. Padtbrugge in Ternate, 24 Des 1678 folio 456, 463-470: VOC 1336 Register of Ft. Orange, under date
31 Jan. 1678, fol 252 – 253
64.
VOC 1345, Papers of Gov
Padtbrugge on his journey through Maluku from 1 Agustus 1678 – 8 Maret 1679,
fol 239
65.
Cortesao, Suma Oriental, volume 1, hal 203,206,
216
66.
Gabriel Rebelo, Informacao sobre as Malucas teks 2
(1569) in Sa, Documentacao, volume 3,
hal 375-376; Jacobs, Treatise, hal
51,55,77
67.
M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence (s,Gravenhage,
1962), hal 96
68.
New VOC 2313, Letter
from the sultan Tidore to the Dutch in Ternate, received 12 Juli 1734, fol 56
69.
The association of
barkcloth with spiritual potency is also found in Pacific island societies. In
Fiji, bodies were wrapped in mats and sheets of tapa cloth before being buried. After the ritual
mourning period, bales
of tapa cloth were distributed on behalf of the deceased to preserve their
memory. This tapa cloth was associated with the gods since tapa was made from a
sacred tree. In Tahiti a priest serving as a medium for a was wrapped in long
rolls of tapa. These long rolls of tapa were also symbols of a status of
chiefs, who were regarded as having divine links. See Simon Kooijman, in
Indonesia, Bishop Museum Bulletin 234 (Honolulu, 1972), pp. 414, 446.
70.
F. C. Kamma, "The
Incorporation of Foreign Culture Elements and Complexes Ritual Enclosure among
the Biak-Numforese," in Symbolic Anthropology in the Netherlands, eds.
P. E. de Jossellin de Jong and Erik Schwimmer (s-Gravenhage), I p.75
71.
VOC 1345, Papers of Padtbrugge on his
through Maluku, 1 Aug. 1678 to 8 March 1679. fols. 285-286.
72.
VOC 1516, Report of Dutch mission to
Tidore, 3 June 1692. fols. 453v-454r.
73.
VOC 1535, Ternate to Batavia, 25
June 1693, fols. 307v-308r.
74.
In Ternate, Tobunku
weapons were so widely used that in the late seventeenth century Fram;ois
Valentijn commented on a Tematen war dance being performed using Tobunku
swords. Fram;ois Valentijn Oud en Nieuw Oost-Indien, vol. 3 (Amsterdam,
1724-1726), p. 95
75.
Coolhaas, Generale Missiven,
vol. 4 (1675-1685), Maetsuycker, 24 Nov. 1677, p. 191
76.
Oud en Nieuw, vol. 3, p. 57
77.
Balance, p. 134.
78.
N. Ishige, "Limau Village
and Its Setting," in The Galela of Halmahera A Preliminary ed. N.
Ishige (Osaka, 1980), p. 7
79.
F. C. Kamma,
Koreri, Messianic Movements in the Biak-Numfor Culture Area (s-Gravenhage, 1972), p, 95.
80.
F. C Kamma and Simon
Kooijrnan, Romawa Forja, Child of the Fire.' Iron and the Role of Iron in
West New Guinea (West Irian) (Leiden, 1973), pp. 25,40.
81.
VOC 1662, Report on
extirpatie expedition to Weda, to fol. 539.
82.
VOC 1662, Ternate to 15 Sept.
1702, fol. 359-360: VOC 1675, Secret Missive Ternate to Batavia, 20 Sept. 1703,
fol 174; VOC 1690, Report by van der Laan on mission to Gebe, 25 Oct. 1703,
fols. 208-211; voe 1690, Ternate to Batavia, 17 June 1704, fol. 40.
83.
New VOC 2313, Letter from
Sultan 12 July 1734, fol. 54; New VOC 2313, Letter from Sowohi Tidore, 2 1734,
fol. 309; Elmberg, Balance,
pp. 127-128.
84.
VOC 1979, Letter from Sultan Tidore 16 Sept 1721. Fol 95.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar