Oleh:
- Pengantar
Jhon Villiers dalam
artikel berjudul Trade and Society in the
Banda Islands in the Sixteenth Century mengkaji pola-pola perdagangan dan
corak kehidupan masyarakat kepulauan Banda pada abad ke-16. Artikel yang dimuat
dalam jurnal Modern Asian Studies, volume
15, nomor 4, tahun 1981 (halaman 723-750) ini, sangat menarik dan informatif.
Menarik karena seperti yang disebutkan sebelumnya, mengurai tentang pola dan
aktivitas perdagangan yang masif di abad-abad itu, juga mengungkapkan kehidupan
masyarakat yang terlibat dalam relasi komersial tersebut. Informatif karena
berisi hal-hal yang mungkin belum banyak diketahui oleh kita.
Sekali lagi, kami
menerjemahkan artikel bermutu ini, untuk dibaca dan menjadi bahan yang minimal
bermanfaat dalam menambah wawasan kesejarahan kita. Artikel sepanjang 28
halaman ini berisikan 111 catatan kaki, yang kami bagi menjadi 2 bagian agar
bisa diikuti dengan lebih “nyaman”. Jika
dianggap perlu untuk diberikan catatan tambahan, maka kami akan menambahkan
catatan itu. Kami juga memasukan beberapa gambar ilustrasi dalam artikel hasil
terjemahan ini, karena pada versi aslinya, memang sang penulis tidak
menggunakan gambar-gambar seperti itu.
Akhirnya, selamat
membaca, dan selamat mengambil manfaat dalam mempelajari kajian ini.
- Terjemahan : Kutu Busu
Olha de Banda as
ilhas, que se esmaltam
Da varia cor que
pinta o roxo fruto
As aves variadas, que
ali saltam
Da verde nox tomando
seu tributo
Luis
de Camoes. Os Lusiadas
Canto
X.CXXXIII
Cengkih
Maluku dan Pala serta bunga pala Banda memainkan peranan penting, bahkan
krusial, dalam jaringan pertukaran komoditas yang rumit selama berabad-abad
sebelum intervensi orang Eropa, telah menjadi ciri khas perdagangan antar pulau
di kepulauan Indonesia. Dari awal abad ke-16, bangsa Portugis dan Spanyol,
menambahkan untaian baru ke jaringan ini, tetapi bahkan di kepulauan
rempah-rempah, dominasi komersial yang merupakan tujuan mereka, mereka tidak
secara serius mengganggu pola-pola tradisionalnya. Ini khususnya terjadi di
kepulauan Banda, yang segera mereka dapati berbeda dari Maluku, tidak hanya
karena rempah-rempah yang mereka hasilkan berbeda dan mereka perdagangkan,
tetapi juga dalam organisasi ekonomi dan politik masyarakat mereka, cara mereka
bereaksi terhadap intervensi Eropa dan dalam efek akibat intervensi itu
terhadap kegiatan komersial mereka. Keduanya bertindak sebagai magnet bagi
Portugis dan Spanyol, dan kemudian pada Belanda dan Inggris, yang tertarik oleh
iming-iming keuntungan besar, seperti yang mereka lakukan kepada para pedagang
Asia selama berabad-abad sebelum kedatangan orang Eropa. Namun, keduanya
menghadirkan masalah yang agak berbeda bagi para pedagang itu, orang –orang Asia
dan Eropa, begitu hubungan komersial telah “tercipta”.
Studi
ini tidak mencoba untuk menganalisis kebijakan atau praktik perdagangan
Portugis di kepulauan rempah-rempah pada abad ke-16, dan dengan demikian
memberikan keterangan baru pada sifat masalah yang dihadapi orang Eropa di
daerah tersebut. Hal ini telah dilakukan dengan baik oleh banyak sarjana, yang
terbaru oleh Luis Felipe Thomaz1. Kajian ini hanya bertujuan untuk
menunjukan peran independen, dan kadang-kadang agresif yang dimainkan orang Banda
dalam organisasi perdagangan rempah-rempah, dan dalam berbagai macam barang
lainnya di kepulauan Indonesia, baik sebelum kedatangan Portugis dan selama
periode yang relatif singkat ketika Portugis berusaha menjalin kegiatan
komersial mereka, yang berpusat di Malaka dan diarahkan dari Goa, ke dalam
pola-pola perdagangan pribumi antar pulau yang telah berlangsung lama.
II
Kepulauan
Banda pada abad ke-16, merupakan satu-satunya sumber pala yang dikenal, buah
dari pohon Myristica fragrans. Seperti
cengkih Maluku dan cendana Timor, pala dan bunga pala khas Banda sangat
berharga karena kelangkaannya. Merupakan pepatah umum di kalangan pedagang
Malaka yang berdagang barang-barang berharga itu : Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana, Maluku untuk cengkih dan
kepulauan Banda untuk pala2.
Provinsi
Maluku dalam konteks Indonesia modern, mencakup semua pulau di sebelah timur
Sulawesi (Celebes) dan Timor hingga sejauh Irian (New Guinea), termasuk
kepulauan Banda, dan beribukota di Ambon. Namun dalam abad ke-16, istilah ilhas de Maluco atau ilhas Molucas digunakan untuk menunjuk
hanya pada 5 pulau kecil, yaitu Ternate, Tidore, Makian, Motir dan Bacan, yang
“mengangkangi” garis khatulistiwa di lepas pantai barat Halmahera (dikenal oleh orang Portugis sebagai Gilolo,
Jeilolo atau Batochina), dan yang pada waktu itu adalah satu-satunya pulau
dimana cengkih dibudidayakan, meskipun hampir pasti tumbuh liar di beberapa
pulau lainnya3. Kepulauan Banda, sekelompok pulau yang sangat kecil
di sebelah selatan pulau Seram di lintang 4,50 selatan, yang menurut
Joan de Barros, hanya 5 pulau, yang memproduksi pala itu sendiri, yaitu Banda sendiri, Neira, Ai,
Run dan Rozengain, sementara di pulau vulkanis,Gunung Api, tumbuh pohon-pohon
lain yang digunakan oleh orang-orang Banda untuk kayu dan kayu bakar4.
Antonio Pigafetta, penulis sejarah asal Italia, yang ikut dalam pelayaran
Magellan melintasi Pasifik, mengatakan ada 12 pulau dalam gugusan pulau itu,
dimana 6 menghasilkan pala. Dari 6 pulau itu, bagaimanapun juga, hanya ada 3
yang dapat diidentifikasi - pulae (ai atau wai), puluran (lari) dan
rossonghin (rozengain). 6 lainnya,
menurut Pigafetta, hanya menghasilkan sagu, beras, kelapa, ara, dan buah
lainnya. Informasi Pigafetta tidak dapat diandalkan, karena seperti yang dia
akui sendiri, kepulauan Banda “agak terpencil dan jauh sehingga kami tidak
pergi ke sana”5. Suma Oriental
dari Tomes Pires menyebutkan pulau kecil lainnya dalam gugusan ini, yaitu
Lanacaque (Nailaka), yang menghasilkan sagu6.
Fernao
Lopes de Castanheda, di antara yang paling informatif dari para penulis sejarah
Portugis abad ke-16 di Asia tentang situasi di kepulauan rempah-rempah,
mengatakan bahwa Banda memiliki “ banyak pohon yang menghasilkan pala dan bunga
pala, dan tumbuh di hutan seperti pohon-pohon lain [yang liar?].....barang-barang
itu sangat berharga di mana-mana karena khasiat obatnya dan aromanya yang luar
biasa dan minyak yang dibuat darinya adalah obat yang bagus untuk menggigil”7.
Frei Sebastien Manrique menjelaskan bagaimana di Bengal pada awal abad ke-17,
para pecandu narkoba akan mencampur opium dengan pala, bunga pala, cengkih,
kapur barus Borneo, ambergris dan almiscre untuk meningkatkan efek narkotika8.
Buah pala dan bunga pala juga digunakan, seperti lada dan rempah-rempah
lainnya, untuk membumbui makanan hambar orang Eropa selama musim dingin, ketika
tidak ada daging segar yang bisa didapat. Meskipun demikian, oleh karena
itu, dari pengeluaran mereka, pala dan bunga pala bukan hanya soal kemewahan
eksotis, tetapi juga bahan-bahan penting untuk memasak dan obat-obatan.
Dokter Garcia da Orta yang terpelajar, yang
bukunya Coloquios dos simple e drogas da
India, diterbitkan di Goa pada tahun 1563, mengatakan bahwa, meskipun pohon
pala juga tumbuh di Maluku dan di Ceylon, hanya di kepulauan Banda, pohon itu
berbuah9. Tampaknya, pohon itu juga tumbuh di Ambon, tetapi hanya
dalam jumlah kecil seperti “ para penghuninya tidak berusaha untuk mengolahnya”10.
Orta menggambarkan buahnya seperti bentuk dan warna buah pir atau persik kecil
dengan cangkang keras dengan biji di bagian dalam, bijinya itu yang merupakan
pala, ditutupi dengan kulit atau kulit buah (bunga pala) yang berubah merah
ketika matang. Dia memuji aroma yang menyenangkan dan bahkan rasa yang lebih
menyenangkan serta kualitasnya sebagai pengharum nafas, obat untuk gangguan
otak, penyembuhan histeria dan penyakit saraf. “Buah itu dikirim dari Banda
diawetkan dalam toples cuka, dan beberapa orang memakannya sehingga dibuat
menjadi salad, tetapi umumnya dicampur dengan gula dan dimakan sebagai makanan
kaleng”. Sebuah laporan anonim abad ke-16 tentang Estado da India dan produk-produknya, menegaskan bahwa beberapa pala
diekspor “ diawetkan dalam cuka dan diubah di India menjadi suatu makanan
kaleng dengan gula”. “Ketika biji telah matang”, Orta melanjutkan “ daging akan
membengkak dan membelah kulit luar, memperlihatkan bunga pala merah di
bawahnya. Kadang-kadang bunga pala juga terbelah dan ini menjelaskan mengapa
pala sering dipanen tanpa penutup bunga palanya, dan karena itu tidak berwarna
merah tetapi hanya berwarna sedikit oranye”. Dia mengatakan bahwa orang Banda
menyebut biji pala adalah pala dan
pembungkusnya sebagai bumapala (bunga
pala). Pemanenan pala berlangsung sepanjang tahun, karena buah yang matang
selalu dapat ditemukan – menurut Pires buah pala dipanen setiap bulan – dan
dilakukan oleh para wanita12.
Sumber Peta : Artikel Peter V Lape |
Suma Oriental memperkirakan
populasi kepulauan Banda di tahun-tahun pertama abad ke-16 antara 2.500 dan
3.000 jiwa13. Jumlah ini hampir pasti merupakan perkiraan minimal,
karena sumber-sumber Belanda menganggap ada sekitar 15.000 di pulau-pulau itu
pada akhir abad ke-1614. Tome Pires dan penulis-penulis Eropa
lainnya dari periode yang sama, menggambarkan penduduknya berkulit putih dan
rambut hitam lurus (cabelo negro corredio)
seperti orang-orang Maluku, tetapi berbeda dengan tetangga mereka yang berkulit
lebih gelap, dan berambut keriting di bagian utara yaitu pulau Seram dan Ambon15.
Ini menunjukan bahwa pulau rempah-rempah telah lama dikunjungi oleh orang
Malaka, Jawa, dan mungkin pedagang Cina, beberapa diantaranya telah menetap dan
menikahi wanita lokal. Sebagian besar pedagang Jawa, dan mungkin sebagian dari
Cina, berasal dari pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa - Tuban, Jararatan, Gresik dan Surabaya.
Sudah menjadi kebiasaan mereka untuk menghabiskan beberapa bulan di pulau-pulau
itu, menunggu angin yang baik untuk membawa kembali, dan mereka sering
mengambil seorang istri sementara dari kalangan perempuan setempat16.
Sebuah sumber Belanda mengatakan bahwa ada sebanyak 500 pedagang Jawa di Banda
dalam tahun 160917.
Castanheda terbukti
tidak terlalu menganggap mulia orang-orang Banda, menggambarkan mereka sebagai
orang-orang kafir, miskin, tidak beradab, berpenampilan kotor, tinggal di
rumah-rumah rendah dengan lantai dari tanah dan beratap daun lontar18,
tetapi para komentator lain membandingkan kebiasaan mereka dengan penampilan
dan perilaku penduduk Maluku, Ambon dan Seram, yang oleh Pires dianggap sebagai
de cabello revolto bestial dan
manusia-manusia berbahaya19. Andres de Urdaneta, yang mengunjungi
Banda pada tahun 1535, terkesan oleh tanda-tanda kemakmuran,
perusahaan-perusahaan komersial, dan peradaban maju yang ia jumpai di sana20.
Jelaslah bahwa meningkatnya permintaan akan rempah-rempah mereka, yang pada tahun
1535 dengan kehadiran Portugis telah mempromosikan, telah membuat orang-orang
Banda menjadi komunitas yang berkembang.
Komentar Pires
tentang kelicikan orang-orang Banda, yang memiliki desa-desa di pedalaman
pegunungan di pulau-pulau mereka, dimana mereka akan mundur dengan harta mereka
setiap kali desa mereka di pantai berada dalam bahaya. Bahkan Lontor, bagaimanapun,
sangat kecil dan lemah, sehingga pemimpin dari setiap junk (kapal) yang tiba di
sana, baik orang Malaka, atau orang Jawa, dapat membei apapun yang
diinginkannya. Pires mengatakan bahwa para kapten ini dihormati (adorado) oleh orang-orang21.
Di Ambon, penduduk memiliki tempat persembunyian yang serupa di pegunungan “
yang pada masa perang, berfungsi sebagai benteng dan begitu sulit dicapai,
sehingga untuk menemukan mereka, merupakan suatu kebutuhan di banyak tempat untuk
menggunakan 1 tangan dan 1 kaki”22.
III
Semua
sumber abad ke-16 setuju, bahwa orang Banda tidak memiliki raja, tetapi
diperintah oleh suatu oligarki orang tua atau
orang kaja. Castanheda mengatakan
setiap desa memiliki gubernur (regedor)
yang oleh penduduk disebut Shabandar (Xabandar),
tetapi, bagaimanapun, mereka hanya ditaati karena persahabatan atau rasa
hormat. Sistem pemerintahan oleh oligarki pemimpin-pemimpin kecil ini,
tampaknya sangat mirip dengan yang berlaku di Filipina, pada saat orang Spanyol
pertama kali tiba di sana. Unit-unit pemukiman orang Filipina atau barangays diperintah oleh dewan tetua
yang dipimpin oleh seorang datu atau raha23. Sistem politik serupa
juga di temui di Ambon dan juga di Maluku, sebelum pembentukan 4 kesultanan
yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Gilolo (Halmahera) sebagai hasil pengaruh
agama Islam dan pengenalan ide-ide Islam monarki. Dalam Historia das Molucas, yang ditulis sekitar tahun 1544, kita
diberitahu bahwa sebelumnya “ masing-masing tempat memiliki penguasanya sendiri,
wilayah dan batas-batasnya sendiri (senherio,
camarqua e demarquacao) dimana masyarakat hidup bersama, masing-masing atas
kehendaknya sendiri dan diatur sendiri oleh suara para tetua24. Suma Oriental mengatakan bahwa di Motir,
yang pada saat Pires menulis itu, belum terkena pengaruh Islam, “masing-masing
bagian mendukung penguasanya sendiri”25. Pada tahun 1534, Tristao de
Ataide menulis bahwa Motir tidak ada, yang minimal dalam teori, dibawah
kekuasaan Sultan Ternate dan Tidore, maupun Makian tidak memiliki seorang raja
tetapi keduanya diperintah oleh governadores.
Makian memiliki 7 atau 8 pemimpin dan 400 prajurit, sedangkan Motir
memiliki 10 atau 12 pemimpin dan 200 orang prajurit26.
Jelas
ada sebuah korelasi antara pengadopsian Islam oleh kelas penguasa di kepulauan
rempah-rempah dan pembentukan sistem pemerintahan monarki, yang memberikan
kekuatan lebih lanjut pada anggapan, bahwa Islam, seperti yang akan kita lihat
nanti, tidak terlalu “mempengaruhi” di kalangan orang-orang Banda.
Kekuatan
orang kaya di kepulauan Banda berasal
dari monopoli ekspor rempah-rempah mereka, sebagian besar dalam keuntungan dari
perdagangan impor, kepemilikan budak dan tanah. Tidak jelas dari sumber-sumber
Portugis, berapa proporsi budak-budak dari orang
kaya yang merupakan budak-budak hutang atau berapa banyak yang dibeli,
namun ini tampaknya, seperti di Timor pada periode yang sama, kedua jenis budak
ini diketahui. Orang Banda tidak hanya berdagang budak saja, yang mereka beli
dari pulau lain, tetapi juga membelinya untuk digunakan sendiri. Kita
diberitahu, misalnya, bahwa pada tahun 1562, seorang kapten (kapitan?) dari
Raja/Sultan Ternate mengkonversi sejumlah orang Kristen di Ternate menjadi
Islam dengan berbagai siksaan, termasuk memotong tangan dan kaki mereka. Dari
peristiwa-peristiwa ini, 2 biarawan menyelamatkan beberapa dari mereka dan
“menjualnya kepada orang-orang Islam Banda”27.
Sumber-sumber
Portugis juga tidak jelas dan bertentangan terhadap pertanyaan tentang siapa pemilik
tanah dan tanaman di kepulauan rempah-rempah, tetapi hal ini mungkin bahwa di
kepulauan Banda, kepemilikan itu bersifat komunal, seperti juga di
bagian-bagian Filipina sebelum ditaklukan Spanyol, dimana hak atas tanah
diberikan pada barangay secara
keseluruhan. Seperti di Filipina, otoritas di kepulauan Banda, tampaknya
berasal dari kekayaan (oleh karena itu disebut orang kaya – rich man), yang pada gilirannya sebagian ditentukan
oleh sejumlah orang yang merupakan orang
kaya yang atas kekuasaannya memerintahkan untuk mengolah tanah ulayat atas
namanya. Ketika aktivitas komersial meningkat di kepulauan Banda dan harga pala
dan bunga pala di pasar luar, sehingga orang
kaya berkembang menjadi semacam aristokrasi dagang yang secara kolektif
mengendalikan sekelompok komunitas pesisir yang sangat kecil tapi makmur28.
Referensi
yang sering digunakan dalam sumber-sumber yang berkaitan dengan syahbandar dan
figur-figur penting, menunjukan bahwa kontrol orang kaya atas kegiatan komersial dari berbagai komunitas dibagi
dengan syahbandar, yang sebagian besar adalah pedagang Muslim dari
bagian-bagian Asia lainnya, yang telah menetap di kepualauan Banda, dan yang
tanpa pernah diberikan status orang kaya,
terbukti memiliki kekuasaan dan wewenang yang cukup besar29.
Para
penguasa Ternate mengklaim kekuasaan atau kepulauan Banda, tetapi ini tampaknya
sporadis dan sebagian besar nominal (atas nama saja). Ketika hal itu
dilaksanakan, tampaknya tidak memiliki karakter politik, tetapi terbatas pada
pemberian kecil upeti30, dan pengenaan pajak oleh perwakilan
Ternate, yang mengumpulkan dan menangani beberapa rempah-rempah dan memiliki
kontrol atas pelabuhan-pelabuhan. Duarte Barbosa mengemukakan bahwa pengakuan
orang-orang Banda atas kekuasaan Ternate, sepenuhnya bersifat sukarela. “Mereka
tidak tunduk pada apapun”, katanya, “tetapi kadang-kadang, mereka tunduk
kepada Raja Maluquo (Ternate)”31.
Tidak ada keraguan soal alasan mengapa
Portugis merasa tidak mungkin untuk mendirikan segala jenis pemukiman militer
atau komersial di kepulauan Banda, apalagi untuk mendapatkan monopoli
perdagangan rempah-rempah, dan mengapa kemudian Belanda berusaha untuk memaksa,
adalah bahwa mereka berhadapan dengan sekelompok orang kaya yang kohesif dan bersatu, yang wewenangnya diperoleh
dari persetujuan rakyat, sedangkan di Ternate dan Tidore, mereka (orang Eropa)
dapat membujuk atau memaksa penguasa untuk menerima monopoli mereka dan
membiarkan mereka membangun benteng, seringkali dengan cara bersekutu dengan
satu penguasa terhadap yang lain. Banyak pulau di bagian timur Nusantara
memiliki kasta bangsawan yang berkuasa serta berwenang, bahkan di pulau-pulau
terkecil dan termiskin, sering terbagi diantara banyak pemimpin kecil,
kadang-kdang dihormati dengan gelar Raja, tetapi tampaknya hanya di kepulauan
Banda, para pemimpin ini bertindak bersama untuk memaksakan kontrol politik
atau untuk keuntungan ekonomi bersama mereka. Di tempat lain, para pemimpin
berada dalam keadaan konflik yang konstan, jika bukan perang terbuka, dengan
satu sama lain.
Ilustrasi yang baik tentang kemampuan orang kaya untuk bergabung bersama dalam
menghadapi ancaman terhadap kepentingan bersama mereka, ditampilkan oleh
kebijakan mereka terhadap Belanda dan Inggris, ketika kedua kekuatan ini
bersaing untuk menguasai perdagangan rempah-rempah dalam tahun-tahun sebelum
penaklukan Belanda atas kepulauan Banda. Pada bulan November 1615, Thomas
Elkington melaporkan kepada EIC dari Banten, bahwa pada bulan sebelumnya,
Sophonee Cosscock (Sophonias the Cossack), seorang pedagang Rusia, datang
dengan perahu motor kecil dari puloway (Ai) bersama orang kaya untuk berunding “sebagai perwakilan yang lainnya” dengan
para pedagang Inggris di Banten. Orang
kaya ini membawa surat-surat yang mengatakan, bahwa karena terprovokasi
oleh kekejaman Belanda, orang-orang Banda sekarang ingin berdagang
rempah-rempah mereka dengan Inggris, dan sebagai balasannya, mereka meminta
minuman anggur, amunisi, persenjataan dan bantuan untuk memulihkan benteng di
Neira. Mereka meminta “beberapa orang dikirim ke Banda untuk berunding dengan
Orang kaya”32. Tahun berikutnya, ketika 4 kapal Inggris tiba di
kepulauan Banda, diikuti oleh armada Belanda yang terdiri dari 11 kapal, Jhon
Jourdain menulis ke EIC, mengatakan bahwa, ketika orang-orang Banda merasakan
hal ini, mereka “menyerahkan benteng dan wilayah mereka [pulau Ai dan Run]
melalui a general consent of all the
chief of the island kepada Richard Hunt, alias Potnoll, pemimpin Inggris di
wilayah itu, untuk digunakan oleh Inggris, dengan semua pasal-pasal yang mereka
setujui untuk kebebasan mereka33.
IV
Suma Oriental dan sumber-sumber Portugis lainnya, memberi tahu kita
bahwa Islam, “suatu wabah kematian dari hukum-hukum Muhammad” telah menyebar di
antara orang-orang Banda selama kuartal ketiga abad ke-15, dan bahwa, seperti
di bagian lain Indonesia, agama itu dibawa oleh pedagang Muslim (mouros mercadores) yang menetap di
pesisir34. Di kepulauan Banda, seperti juga Hitu di Ambon, dimana
ada komunitas besar orang-orang Tuban, guru-guru agama direkrut dari antara
para pedagang Jawa. Konversi orang Banda ke Islam, tampaknya telah terjadi
lebih lambat daripada di Maluku, dan seperti yang telah kita lihat, hal itu
tidak membawa perubahan dari sistem oligarko ke sistem pemerintahan monarki.
Pada awal abad ke-16, masih ada beberapa orang kafir yang belum bertobat di
pedalaman kepulauan Banda, namun saat Portugis tiba, Islam telah terbukti mapan
di desa-desa pesisir, dan ada sedikit keraguan bahwa itu adalah relasi
komersial langsung mereka dengan Malaka dan pelabuhan-pelabuhan di Jawa, yang
terutama bertanggung jawab atas penyebaran agama Islam yang cepat. Mungkin
penting dalam relasi ini, bahwa pulau-pulau di timur Nusantara yang memiliki
sedikit atau tidak ada produk yang menarik bagi para pedagang Malaka dan Jawa,
tidak pernah dikonversi ke Islam atau hanya kemudian ketika kepentingan
komersial mereka meningkat (Makasar, misalnya tidak dikonversi hingga tahun
1603). Di segala tempat di pulau-pulau bagian timur, konversi ke Islam
tampaknya cukup dangkal, dan sebagian besar hanya terbatas pada kelas yang
berkuasa. Duarte Barbosa menggambarkan “Raja terhebat” di Maluku (mungkin
penguasa Ternate), sebagai “hampir seorang kafir”35. Dia kemudian
mengatakan, bahwa raja ini memiliki satu istri orang Moor (Islam) dan lebih
dari 300 wanita kafir di istananya. Putra dan putri dari istri (yang muslim)
dibesarkan sebagai Muslim, tetapi keturunan dari para perempuan kafir, tidak36.
Pires melaporkan bahwa penguasa Tidore memiliki sekitar 2.000 pria di
negaranya, sekitar 200 diantaranya adalah orang Mohammedan (Islam), dan yang
lainnya adalah kafir. “Raja-raja di kepulauan ini adalah orang-orang Mohammedan”,
lanjutnya “tetapi tidak terlalu terlibat dalam sekte itu. Banyak diantara
mereka adalah orang Mohemmedan tanpa disunat, dan tidak ada banyak orang
Mohammedan”37.
V
Di Maluku, hanya ada pelayaran
terbatas antar pulau-pulau. Castanheda menulis bahwa Maluku tidak memiliki kapa
sendiri, kecuali kora-kora dan joanga mereka, yang digunakan khusus
untuk berperang. Hegemoni Ternate atas pulau-pulau lain di Maluku, sebagian
besar bisa tercapai, karena Ternate memiliki armada terbesar (hongi38) kora-kora39. Kapal-kapal itu dibangun dengan baik dan
seringkali sangat besar, dengan panjang lebih dari 50 kaki, dan mampu
mengangkut hingga 180 pendayung di sisinya. Menurut Gabriel Rebello, joanga adalah yang terbesar dari hasil keahlian ini,
biasanya membawa 80 hingga 100 pendayung, sedangkan kora-kora agak lebih kecil dengan 50 hingga 60 pendayung. Dia juga
menyebutkan perahu yang disebut calaluze,
yang katanya hanya berbeda dengan kora-kora,
yaitu pada bagian konstruksi buritan dan haluan. Dia memberikan deskripsi
yang sangat terperinci, tentang cara semua jenis kapal yang berbeda ini dibuat40.
Barbosa mencatat bahwa orang-orang Ambon memiliki perahu dayung yang serupa,
dimana mereka akan “melakukan serangan mendadak dari satu pulau ke pulau lain,
melakukan perang, dan mengambil tawanan atau membunuh satu sama lain”41.
Tetapi orang-orang Maluku tidak memiliki jung atau kapal-kapal lain dengan sisi
tinggi yang cocok untuk mengangkut kargo, dan karenanya bergantung pada
pedagang asing untuk membawa barang-barang yang mereka impor dan mengambil
barang-barang yang mereka produksi untuk dieskpor. Juga, tidak seperti orang
Banda, mereka tidak memiliki barang dagangan selain rempah-rempah42.
Orang-orang Banda, di sisi lain,
membangun kapal yang cukup besar dan melakukan pelayaran ekstensif ke seluruh
kepulauan Nusantara. Sebuah sumber Portugis tahun 1529, mengatakan bahwa
orang-orang Banda memiliki banyak jung, dimana mereka membawa barang dagangan
mereka ke Jawa dan Malaka43. Sedangkan di Maluku, para penduduk
memanen cengkih tetapi meninggalkan tugas mengekspor mereka kepada
pedagang-pedagang yang berkunjung dari Malaka dan Jawa, orang-orang Banda
sendiri mengirimkan pala dan bunga pala ke pulau-pulau lain, dimana mereka
menjualnya kepada para pedagang asing. Mereka juga membeli sejumlah kecil
cengkih di Maluku dan di Ambon dengan imbalan kain India, emas, dan gading yang
mereka peroleh dari pulau-pulau lain. Cengkih mereka jual kembali di kepulauan
Banda kepada orang Jawa dan Malaka, dan kemudian ke Portugis. Pires memberi
tahu kita, bahwa perjalanan dari Maluku ke Banda melalui Ambon, membutuhkan
waktu 2 hingga 15 hari di musim angin muson44. Beberapa pedagang,
tentu saja, akan membeli cengkih, serta pala dan bunga pala di Banda, daripada
di Maluku, karena perjalanan dari Malaka ke Maluku dan kembali lagi, memakan
waktu hampir 2x lipat perjalanan pulang balik ke Banda. Mereka akan
meninggalkan Malaka pada bulan Januari atau Februari setiap tahun, dan, setelah
menyelesaikan bisnis mereka dan memuat kapal-kapal mereka di Banda pada awal
Juli, mereka akan kembali berlayar ke Malaka, dan akan tiba pada bulan Agustus.
Untuk pergi ke Maluku, mereka harus meninggalkan Banda sebelum akhir bulan Mei,
dan karena angin musim timur laut, mereka harus tetap berada di Maluku hingga
Januari tahun berikutnya, dan ketika ada angin yang baik memungkinkan mereka untuk
kembali ke Malaka. Dengan demikian pelayaran itu akan memakan waktu hampir
setahun, dibandingkan dengan hanya 6 bulan untuk pelayaran ke Banda45.
Pires
menyebutkan kapal-kapal orang Banda berlabuh di Malaka, dan mengatakan bahwa
salah satu dari 4 shabandar di sana, menjaga kepentingan orang-orang Banda
bersama dengan orang-orang Jawa dan para pedagang dari orang Maluku, Palembang,
Kalimantan dan Luzon46. Antonio de Brito yang menulis dari Ternate
pada bulan Februari 1523, bahwa di Gresik di Jawa, darimana banyak junk,
termasuk Portugis, berlayar ke Timor, Banda dan Maluku, ia mendapati junk-junk
orang Banda47. Pelayaran yang sukses ke pelabuhan-pelabuhan yang
jauh seperti Malaka dan Gresik, tidak diragukan lagi agak jarang, karena
kapal-kapal orang Banda tidak dikhususkan untuk layak laut. Kapal-kapal itu
dilengkapi dengan jangkar kayu, dan dioperasikan terutama oleh para budak, yang
memiliki kecenderungan untuk meninggalkan kapal pada saat munculnya tanda-tanda
bahaya. Perjalanan orang-orang Banda ke Malaka dan kembali pulang, sering
memakan waktu 2 atau 3 tahun dan banyak junk yang hilang48. Mereka
juga terhalang untuk pergi ke Malaka setelah tahun 1511, dengan hadirnya
orang-orang Portugis49.
Ada
beberapa bukti yang menunjukan bahwa, ketika hubungan komersial reguler mulai
berkembang antara Malaka dan Makasar pada akhir abad ke-16, orang-orang Banda
dengan para pedagang Indonesia lainnya, berpartisipasi dalam perdagangan yang
berkembang ini dengan membawa rempah-rempah ke Makasar. Pada awal abad ke-17, orang-orang Makasar
sendiri aktiv terlibat dalam perdagangan ini. Catatan perjalanan Van der Haghen
di tahun 1607, mengatakan bahwa Pangeran Tallo, wakil penguasa kerajaan Gowa di
Sulawesi, memiliki seorang agen di Banda, yang dilengkapi dengan persedian
“beras, kain, dan semua barang yang dibutuhkan di sana” untuk ditukar dengan
bunga pala dan “untuk menarik minat beberapa pedagang asing”50. Pada
tahun 1613, Jhon Jourdain melaporkan, bahwa meskipun Makasar sendiri tidak
menghasilkan apa-apa selain beras, ada banyak perdagangan barang dari Maluku,
Banda dan Johor “ yang dari setiap tahun membawa cadangan cengkih, pala, bunga
pala, dan [cendana] yang mereka barter dengan beras dan emas, komoditas-komoditas
yang mereka punyai di masa sebelumnya di jual ke Portugis [misalnya dari
Malaka] dengan pakaian-pakaian dari
Coromandel dan Gujerat”51.
Penduduk
pulau Sulawesi telah lama aktif seperti orang-orang Banda dalam pengiriman dan
perdagangan di seluruh Nusantara. Mereka terkenal karena aktivitas pembajakan,
khususnya orang-orang Bugis, tetapi Barbosa, menulis pada tahun 1518, mencatat
kegiatan perdagangan mereka yang sah di kepulauan rempah-rempah, yang jelas
sudah mapan. “ Perahu-perahu mereka dibuat dengan buruk”, tulisnya, “ dan di
sana, mereka datang untuk mengambil banyak cengkih di pulau-pulau ini, juga
tembaga, pakaian Cambay, dan timah dan mereka membawa ke sana untuk dijual dengan
pedang, barang besi lainnya dan barang-barang bagus dari emas”. Penulis lain
menyebutkan kain India, kayu cendana, gading dan biji mutiara, beras, emas dan
benzoin diantara barang-barang yang diperdagangkan dengan “Macacar”, yang pada
abad ke-16, digunakan untuk menujuk seluruh pulau Sulawesi, yang pada waktu itu
dipercayai sebagai sekelompok pulau. Dalam perjalanan mereka, orang Makassar
akan menangkap banyak budak, yang mereka jual atau pekerjakan untuk mendayung
perahu mereka. Antonio de Paiva menggambarkan mereka di tahun 1544 sebagai “
orang-orang kekar dengan badan yang kuat, dilatih untuk mendayung sejak lahir
sampai meninggal”52. Salah satu komoditas mengerikan lainnya,
menurut Barbosa, mereka juga dapatkan dari kepulauan rempah-rempah. “Orang-orang
ini adalah pemakan daging manusia” katanya, “dan jika Raja Maluco ingin
membunuh siapa pun yang dijatuhi hukuman, mereka memintanya agar dikirimkan
kepada mereka untuk dimakan seolah-olah mereka babi”53.
Pedagang-pedagang
Jawa dan Malaka, menurut Pires, akan berlayar ke Maluku dan kepulauan Banda
setiap tahun dengan membawa kain katun dan sutra dari Cambay, Coromandel dan Bengal.
Kain terbaik yang akan mereka jual di pelabuhan-pelabuhan utara Jawa untuk
mendapatkan koin tembaga Cina, yang dikenal dalam bahasa Portugis sebagai caxa, caixas, sapecas atau bazarucoz54 dan barang-barang
lainnya dengan kualitas lebih rendah (de
baixa sorte) dan kemudian berlayar ke Sumbawa dan Bima, di bagian timur
pulau itu, mereka akan mengambil persediaan air dan makanan, serta membeli
beras dan kain katun kasar ditukar dengan caxa.
Beras dan kain ini, pada gilirannya akan ditukar dengan pala, bunga pala,
dan cengkih ketika mereka mencapai kepulauan rempah-rempah55. Mereka
juga membeli kuda di Sumbawa dan Timor, kayu cendana di Sumbawa, belerang dan
rotan di Solor, dan budak di semua kepulauan Sunda kecil untuk dijual di bagian
timur. Menurut Pires, ada beberapa perdagangan barang-barang ini ke arah lain :
budak, kuda, kayu dan produk Sumbawa lainnya, dibawa ke Jawa oleh penduduk
pulau itu, yang memiliki “banyak prahu”56. Mereka juga nampaknya
telah berlayar ke bagian timur. Para penguasa Sumbawa dan Bima dikatakan
memiliki fasilitas pelabuhan dan gudang-gudang perlengkapan di Timor dan Banda57,
dan Duarte Barbosa mendaftarkan di antara barang-barang dagang yang dibawa oleh
pedagang ke pulau rempah-rempah seperti tembaga, air raksa, vermelion, timah,
dan “topi berbulu dari Levant”58.
Beberapa
pedagang yang “bermarkas” di Malaka pada saat penaklukan Portugis sebenarnya
adalah orang Melayu. Mayoritas dari mereka adalah orang Keling (dari pantai
Coromandel)59 dan Gujarat, dengan beberapa orang Cina, Jawa, dan
pedagang dari Luzon. Ketika sumber-sumber Portugis berbicara tentang pedagang
Melayu, mereka pada umumnya berarti orang-orang Malaka, meskipun berasal dari
junk-junk Patani, Johor, dan pelabuhan-pelabuhan lainnya di semenanjung Melayu
dan Sumatera, yang sesekali melakukan perjalanan ke kepulauan rempah-rempah
selama abad ke-16. Pada awal abad ke-16, perdagangan antara Malaka dan
kepulauan rempah-rempah, menurut Suma
Oriental, sebagian besar berada di tangan seorang pedagang Keling bernama
Nina Suria Dewa, yang mengirim 8 armada kapal junk ke Maluku dan Banda setiap
tahun. Sebagian besar cengkih dan pala yang diperolehnya dari pelayaran
perdagangan ini, diekspor kembali ke Cambay. Pedagang Malaka penting lainnya
adalah Pate Yusuf, seorang Jawa dari Gresik, yang mengirim 3 atau 4 junk setiap
tahun ke pulau rempah-rempah60. Keduanya terus berdagang dengan
kepulauan rempah-rempah setelah penaklukan Portugis atas Malaka, meskipun dalam
skala yang menurun. Nina Suria Dewa mengirim junk-junk ke Banda pada tahun 1517
dan satu lagi pada tahun 1523 ke Ternate61.
Pedagang-pedagang Portugis umumnya mengikuti pola perdagangan
tradisional, dan meskipun kadang-kdang melakukan pembayaran rempah-rempah dalam
bentuk uang, sebagian besar transaksi mereka adalah barang-barang tradisional –
kain, beras, caxa, dan porselin Cina. Orang
Portugis biasanya membawa kain-kain India yang berkualitas baik ke kepulauan
Banda, meninggalkan tekstil kasar dari kepulauan Sunda Kecil untuk dibawa oleh
orang-orang Malaka dan Jawa. Kain-kain halus yang dibeli orang-orang Banda,
tidak hanya untuk pakaian tetapi juga disimpan sebagai harta, bersama dengan
gong Jawa, gading dan porselin Cina, sementara tekstil yang lebih rendah
kualitasnya, ditukar dengan produk sagu dan hutan yang mereka peroleh dari
kepulauan Kei dan Aru, dan untuk budai, massoi, dan kulit kayu beraroma, dan
obat-obatan lainnya yang dibawa dari Papua62.
Gong Jawa banyak diminati dan
disimpan sebagai pusaka di seluruh kepulauan Indonesia. Benda-benda ini
ditemukan di pulau-pulau sejauh Nias dan Alor. Barbosa menggambarkan benda itu
sebagai :
lonceng logam dari Joao sebesar baskom yang besar [alguidares; Barros
menyebutnya bacias] yang mereka gantung di tepi, di bagian tengah mereka
memiliki pegangan dan mereka memukulnya hingga mengeluarkan bunyi/suara. Raja
dan orang-orang penting [orang kaya] menetapkan nilai yang besar pada barang
ini dan menjaga mereka sebagai harta dan kekayaan. Dengan benda ini dan dengan
baskom dari logam dan timah, mereka musik mereka sendiri.
ini tampaknya
memang merupakan deskripsi orkestra gamelan Jawa yang belum sempurna, meskipun
diragukan apakah musik yang dibuat pada instrumen ini di kepulauan
rempah-rempah memiliki banyak kemiripan dengan musik gamelan Jawa63.
Untuk 1 gong, Barbosa mencatat, penduduk pulau akan memberikan 20 bahar cengkih
atau jumlah bunga pala yang sama, dan “dengan cara yang sama untuk sebagian
besar barang-barang, dan dengan demikian menghasilkan keuntungan besar antara
tempat ini dan Malaka”64.
Orang-orang Cina, meskipun
mereka melakukan perdagangan langsung sporadis dengan Maluku setidaknya sampai
akhir abad ke-14, membawa kain Jawa, perak, besi, gading, manik-manik dan
porselin, tampaknya tidak pernah mengunjungi Banda. Meskipun
referensi-referensi dibuat dalam sumber-sumber Cina untuk sejumlah kecil pala
serta cengkih diantara upeti/hadiah yang dibawa oleh utusan dari Champa,
Filipina (Pu-tuan) dan Jawa pada abad ke-10 dan 11, serta Sriwijaya di abad
ke-1265, rupanya tidak ada permintaan pala dan bunga pala, dan tidak
banyak untuk cengkih. Orang Cina membatasi kegiatan perdagangan mereka di
bagian timur kepulauan Indonesia, terutama di Borneo, tempat mereka membeli
kapur barus dan getah, serta resin lainnya yang digunakan di Cina untuk
keperluan farmakologis66, dan ke Timor, yang mereka terus kunjungi
untuk cendana hingga periode Ming. Mereka juga membeli rempah-rempah dari Jawa
dengan imbalan porselin sutra, koin perak, dan emas, dan barang-barang ini,
seperti yang telah kita lihat, banyak diminati di kepulauan rempah-rempah pada
abad ke-16, meskipun saat itu, barang-barang itu dibawa ke sana oleh para
pedagang Jawa atau Cina yang bermarkasi di pelabuhan-pelabuhan Jawa, khususnya
di Gresik, dan bukan oleh para pedagang dari Cina sendiri67.
====== bersambung =====
Catatan Kaki
:
1.
See L. F. F. R. Thomaz, 'Les Portugais dans
les mers de l'Archipel au XVIe siecle', Archipel, 18 (1979), pp. 105-25; and L.
F. F. R. Thomaz, 'Maluco e Malaca', in A viagem de Fernao de Magalhaes e a
questao das Molucas, Actas do II Coloquio Luso-Espanhol de Historia Ultramarina
(Lisbon, i975), pp. 29-48. See also J. C. van Leur, Indonesian Trade and Society
(The Hague, 1955), passim; and M. A. P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and
European Influence in the Indonesian Archipelago between 15oo and about 1630
(The Hague, 1962), passim.
2.
Tome Pires, SumaOriental,trans. and ed.
Armando Cortesao, 2 vols, Hakluyt Society, 2nd series, LXXXIX (i944), I, p.
204.
3.
Most sixteenth-century sources say that
Halmahera also produced cloves but these probably grew wild and were of little
commercial importance. By the beginning of the seventeenth century clove
production had extended to Ambon and its surrounding islands and to western
Seram. See Richard Z. Leirissa, 'Local Potentates and the Competition for
Cloves in Early Seventeenth-century Ternate (North Moluccos)', in
Proceedings of the VIIth IAHA Conference,2 vols (Bangkok, I975), I, pp. 310-12.
The Historia das Ilhas de Maluco(1561) says:'It is also not true that only in
these five is lands are there cloves because on Gomoconora and Jeilolo and on
the islet of Yres and on Mitara and in Pulau Cavalle they are to be
found;though not enough to be of any account;also on another island of Amboyno
called Lacide, where the Javanese go to collect them in exchange for artillery and
munitions' (A. B. de Sa, Documentafao paraa historia das missoes do Padroado Portugues
do Oriente. Ser. 2, Insulindia, 5 vols (Lisbon, I954-58, III, p. 362).
4.
Joao de Barros,Da Asia,dos feitos que os
Portuguezes fizeram no descubrimento das terras e mares do Oriente, ed. N.
Pagliarini, 5 vols (Lisbon, 1777-1778), III, 5, p. 6.
5.
Antonio Pigafetta,Magellan'sVoyage: A
Narrative Account of the First Navigation, trans. and ed. R. A. Skelton
(London, 1975), p. I45.
6.
Pires, Suma Oriental,I, p. 206.
7.
Fernao Lopes de Castanheda, Historia do
descobrimento e conquista da India pelos Portuguezes, 3rd edn (Pedro de Azevedo:
Coimbra, I929), 6, v, pp. 155-6.
8.
Frei Sebastien Manrique, Itinerario del as
Missiones Orientales, trans. and ed. C. E. Luard and Fr. H. Hosten, 2 vols,
Hakluyt Society, 2nd series, LIX (1926), I, VI, pp. 59-60.
9.
Garcia da Orta, Coloquios dos simples e
drogas e cousas medicinais da India, ed. Conde de Ficalho, 2 vols (Lisbon, I891),
II, pp. 81 and 365. See also Conde de Ficalho, Garcia da Orta e o seu tempo(Lisbon,
1886). Orta was private doctor to Martim Affonso de Sousa, Governor of India
from 1542 to 1545, and accompanied him to India in 1534.
10.
Relacao dos feitos eroicos em armas que
Sancho de Vasconcelos fez nas partes de Amboynoe Maluco, in Sa, Documentacao,IV,
p. 193.
11.
O Estado da India e aonde tem o seu principio,
Add. MSS. Brit. Mus. Papeis tocantes a Portugal, Documentacao Ultramarina Portuguesa(Lisbon,
1960), I, p. 234.
12.
Pires, Suma Oriental, I, p. 206. Van
Leur, Indonesian Trade and Society,p. 122, citing Dutch sources,says there were
three crops a year.
13.
Pires, Suma Oriental, I, p. 206;
Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence, p. 96.
14.
Van Leur, IndonesianTrade and Society,p.
128.
15.
Pires,Suma Oriental, I, p. 206. It may
be noted here that the Bandaneselanguage (all sixteenth-century sources agree that
the Bandanese spoke a single language) belongs to a different group
(Ambon-Timor) to those spoken in the Moluccas (North and South Halmahera and
Sula-Bacan). Of these groups of languages all are Malayo-Polynesian, save North
Halmahera, which is Papuan.
16.
Ibid., I, p. 207.
17.
B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies
(The Hague, 1955), pt I, p. 24.
18.
Castenheda, Historia do descobrimento ..
., 6, V, pp. x55-6.
19.
Pires, Suma Oriental, I, p. 212.
20.
M. F. de Navarrete, Coleccion de los
viages y descubrimientos que hicieron por mar los Espaholes, 21 V, Docs. de
Loaisa, Num. XXII (Madrid, I837), pp. 401-39.
21.
Pires, Suma Oriental, I, pp. 211 and
220.
22.
Apostolado de Francisco Xaviern as Molucas,1614,
Bk III, ch. 2, in Sa, Documentacao, II, P. 477.
23.
J. L. Phelan, The Hispanization of the Philippines:
Spanish Aims and Filipino Responses (University of Wisconsin Press, 1959), pp.
9, 15-18 and 22. See also N. P. Cushner, Landed Estates in the Colonial
Philippines, Yale University Monograph Seriesno. 20 (1976), pp. 7-9; and
Anthony Reid, 'Trade and state power in 16th and 17th century Southeast Asia',
in Proceedingsof the VIIth IAHA Conference(Bangkok, 1979), I, p. 400.
24.
H. Th. Th. M. Jacobs SJ. (ed. and
trans.), A Treatise on theMoluccas (c. 1544) probably the Preliminary Version of
Antonio Galvao's Lost Historiad as Molucas(Rome, 197 ), ch. XIII.
25.
Pires, Suma Oriental, I, p. 217.
26.
Tristao de Ataide to the King, Moluccas,
20 February 1534, in Sa, Documentafao, I, pp. 321-2.
27.
Padre Pedro Mascarenhas to the Padre
Provincial, Moluccas, 1562, in ibid.,II, p. 437.
28.
Schrieke,Indonesian Sociological
Studies, p. 228.
29.
See below notes 93 and 94.
30.
The islanders of Waigeo paid an annual
tribute of birds of paradise,tortoise shell or sago to the Sultan of Tidore as
late as the mid-nineteenth century. A. R. Wallace, The Malay Archipelago, 7th
edn (London, I880), pp. 529
31.
Duarte Barbosa, An Account of the Countries
Bordering on theIndian Ocean and Their Inhabitants, trans and ed. M. L. Dames,
2 vols, Hakluyt Society, 2nd series, XLIV (I918), II, I 8, pp. 196-8.
32.
Nicholas Downton, The Voyage of Nicholas Downton to the East Indies 1614-1615,
ed. Sir William Foster, Hakluyt Society, 2nd series, LXXXII (I939), pp. 43-4
and 211.
33.
John Jourdain, The Journal of John
Jourdain 1608-1617, ed. Sir William Foster, Hakluyt Society, 2nd series, XVI (1905),
pp. 328-9. Richard Hunt had accompanied David Middleton's expedition and
presumably gone with him to Banda, where he remained as factor. My italics.
34.
Pires, Suma Oriental, I, p. 206; Padre
Frei Paulo da Trindade, Conquista espiritual do Oriente.. ed. Fr. Felix Lopes
OFM, 3 vols (Lisbon, 1962-67), I, p. 45.
35.
Perhaps the Javanese whom Barros says
was the wife of the first Moslem ruler of Ternate (Barros, Da Asia, III, I, p.
580).
36.
Barbosa, An Accountof the Countries...,
II, 120, p. 203.
37.
Pires,Suma Oriental, I, p. 213.
38.
Hence the Dutch hongitochten, the naval
patrols sent round the islands to destroy and burn unlicensed trees after the
Treaty of Batavia in I652.
39.
Up to 100, accordingto Pires,Suma Oriental,
I, p. 214. See also Castanheda,Historia do descobrimento
..., 6, XI, p. i68.
40.
Gabriel Rebello, Informacao das cousas
de Maluco,1559, in Sa, Documentafao, III, pp. 381-6. See also G. Adrian
Horridge, The Design of Planked Boats of the Moluccas, Maritime Monographs 41
and Reports, National Maritime Museum, Greenwich, 38 (1978).
41.
Barbosa, An Account of the Countries..
., II, I 9, p. 199
42.
Castenheda, Historia do descobrimento ..
, 6, XI, p. 26.
43.
Descricao sumaria das Molucas e de Banda,
December,1529, in Sa,Documentafao, IV, p. I7.
44.
Pires,Suma Oriental, II, p. 207.
45.
Castenheda, Historia de descobrimento
..., 6, XI, pp. 26 and 169.
46.
Pires,Suma Oriental, II, p. 265.
47.
Antonio de Brito to the King,Ternate, 11
February 1523, in Sa,Documentacao, I, p. 155.
48.
Pires,Suma Oriental, I, p. 212.
49.
Descricao sumaria..., in Sa, Documentacao,IV,
p. 17.
50.
Begin ende voortgangh van de Vereenigde Nederlandsche
Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie ..
., ed. Isaac Commelin, 2 vols (Amsterdam, 1646), II, p. 82.
51.
Jourdain, Journal, pp. 294-5.
52.
Antonio de Paiva to Joao de Albuquerque
OFM, Bishopof Goa, Goa, November 1545. In H. Jacobs SJ, 'The First Locally
Demonstrable Christianity in Celebes 1544', Studia, 7 April, 1966.
53.
Barbosa, An Accountof the Countries.. .,
II, 121, pp. 204-5.
54.
In English these coins were known as
cass or cash. The word derives from Tamil Kasu (Sanskrit:karsha) and was used
especially to denote the Chinese coins le and zien, made of an alloy of copper
and lead with a square hole in the centre. 1ooo of these coins made 120 reis or
1tael and 140 weighed 1 arratel of 16o2. See John Saris, The voyage of Captain John
Saris to Japan 1623, ed. Sir Ernest M. Satow, Hakluyt Society, 2nd series, V (1900),
p. 213.
55.
Pires, Suma Oriental, I, p. 202.
56.
Ibid.,
p. 203.
57.
Afonso Lopes da Costa to the King,
Malacca, 20 August 1518, in Sa, Documentafao, I, pp. 103-4.
58.
Barbosa, An Accountof the Countries.. .,
II, 118, pp. I96-8.
59.
From'Kalinga'.The Malay Keling was used to designate
Indian merchants from the Coromandel coast settled in Malacca (Portuguese:
Quelim).
60.
Pires,Suma Oriental, II, p. 447.
61.
Thomaz,'Malucoe Malaca',p. 40.
62.
Meilink-Roelofsz, AsianTrade and European
Influence, pp.95-6.
63.
F. A. Wagner, Indonesia: The Art of an
Island Group(London, 1959), pp. 175-82
64.
Barbosa, An Accountof the Countries... ,
II, 118, pp. 196-8 and 120, 202-3.
65.
O. W. Wolters, Early Indonesian Commerce
(Cornell University Press, 1967), p. 26. See also Meilink-Roelofsz, Asian Trade
and European Influence, p. 99; and Barros,Da Asia, III, 5, p. 135.In 1545 Pero de
Faria reckoned the annual consumption of cloves in China was only 20 bahars (Thomaz,
'Maluco e Malaca', p. 46).
66.
Grace Wong, A Comment on the Tributary Trade
between China and Southeast Asia..., Southeast Asian Ceramic Society, Transaction
no. 7.
67. Meilink-Roelofsz,Asian Trade and European Influence, p. 158.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar