Pengantar
Cerita
di bawah ini, adalah salah satu legenda dari Negeri kami, negeri Saparua.
Cerita ini telah diceritakan oleh nenek dan kakek kami, saat kami masih kecil. Kisah
ini diceritakan karena rasa “penasaran” kami sebagai anak kecil terhadap
beberapa tempat di negeri kami yang namanya “unik”. Ada 2 tempat yang kami
maksud yaitu Mata Aer Perkara dan Durian Sandar Nona.
Apa
yang dikisahkan oleh nenek dan kakek kami, hanyalah cerita garis besarnya saja,
bukanlah mendetail seperti kisah di bawah ini. Kisah itu terus bersarang di
kepala hingga masa kini.
Kisah
itu, coba kami tulis dalam bentuk cerita pendek dan memasukan unsur imajinasi
dalam hal dialog antar pelaku, nama-nama pelaku, konflik, penyelesaian, dan
alur cerita yang kami gunakan. Hal itu kami lakukan karena pertimbangan teknis
saja untuk memenuhi unsur “kesusastraan”.
Tujuan
dari penulisan kisah ini, agar sebagai anak-anak negeri Saparua, kita tidak
melupakan sebuah legenda dari negeri kita, dan bisa mengambil “makna” dari
legenda ini.
Sekali
lagi, nama-nama pelaku dalam kisah ini adalah rekaan kami, karena kisah yang
kami dengar, pelaku-pelaku dalam kisah ini tidak “bernama” hanya jenis kelamin
yaitu laki-laki dan perempuan. Sehingga jika ada nama-nama familiar yang telah
diketahui, itu hanyalah kebetulan belaka dan kami gunakan hanya dalam bentuk
penceritaan ini.
Akhirnya
selamat membaca. Selamat mengambil manfaat dari kisah tragis ini.
MATA AER PERKARA
(Legenda dari
Negeri Saparoea)
I.
Nyala
api obor gemetar seperti menahan amarah di malam itu, di pekarangan tempat
pertemuan Soa Latuwaelaiti (Simatauw). Soa Latuwaelaiti (Simatauw) itu sedang
membicarakan hal penting. Beberapa jam lalu terjadi pembunuhan terhadap putri mereka.
Aroma kebencian dan balas dendam memenuhi udara malam. Perdebatan di antara
mereka saling mengalahkan yang lain. Teriakan kasar dari para lelaki dan suara
bijak dari para tetua sambung menyambung. Suara tangisan dari beberapa perempuan
pun terdengar didalam rumah. Ada kesedihan, duka yang bercampur dendam kesumat.
“Oh
Tuhan…. Apa dosa kami, hingga putri kami dibunuh?” Sahele, ibu dari putri yang
terbunuh bertanya di antara air mata. Di depannya, terbaring jenazah sang putri
yang masih “basah”.
“Sudahlah
bu, tak usah menyalahkan Tuhan seperti itu. Mungkin sudah nasib kita ditimpa
kemalangan seperti ini.” suaminya berusaha menenangkan istrinya, meski tak bisa
menyembunyikan raut duka.
“Tapi
kenapa…. kenapa harus dibunuh?.... apa kau tak sedih kehilangan putri kita,
putri yang kita bangga-banggakan, putri kita satu-satunya?” tanya Sahele dalam
nada menuntut, tak puas dengan jawaban suaminya.
“Bu,
bapak juga sedih atas kematian putri kita. Sebagai seorang ayah, bapak tak
memungkiri ada rasa dendam karena kehilangan seperti ini, tapi bapak juga
seorang pemimpin dalam soa ini, bu. Tolong mengertilah posisi bapak, bu!”
“Ibu,
tak bisa menerima hal ini, pak! Apa kedudukan bapak lebih penting dari anak
kita? Bukankah hukum kita, gigi ganti gigi, mata ganti mata?”
“Bu….”
“Apa
anak kita tak berharga sama sekali, pak? Ibu, mengerti posisi bapak sebagai Kepala
Soa, tapi bapak juga adalah seorang ayah, pemimpin dalam rumah ini, anak juga
adalah segala-galanya bagi kita, dunia kita, Pak!”
“Bu,
bapak memahami kedukaan yang kita alami,
namun sebagai Kepala Soa, bapak juga harus memikirkan orang lain, bu. Jika
bapak menurutkan nafsu dan dendam, akan terjadi perang di negeri ini. Perang
antar soa di Negeri Saparoea. Apa itu yang ibu inginkan?”
“Pak….”
“Bapak
memahami segala dilema ini, bu. Namun jika perang atas nama balas dendam ini
terjadi, apa bisa mengembalikan putri kita, bu? Yang terjadi adalah banyak yang
menderita, bu”
“Tapi
pak….”
“Sudahlah,
bu…. Bersabarlah…. Mungkin ini rencana Sang Kuasa, bapak harus keluar untuk
menemui para tetua dan anak-anak soa, jika tidak, mungkin bisa terjadi hal yang
tak diinginkan”. Sambil memeluk istrinya, Majasang Simatauw, sang kepala soa
Simatauw menenangkan istrinya, dan keluar sendiri. Betapa sulitnya seorang
pemimpin, saat menghadapi masalah seperti ini. Apa yang harus aku lakukan dan pilih,
kehormatan anakku atau kebaikan semua orang? Apa hukum perang “gigi ganti gigi,
mata ganti mata” harus berlaku? Apa perang harus terjadi atas nama kehormatan
putriku? Benturan emosi, kata hati dan pikiran logis terus bertempur dalam
benaknya. Dengan menguatkan hati, keputusanku telah bulat dan aku akan
menanggung segala resikonya, demikian keputusan yang telah diambil oleh
Majasang Simatauw, sang Kepala Soa.
Perdebatan
di antara mereka, anak-anak soa dan para tetua itu, terhenti saat melihat
pemimpin mereka keluar. Meski dari tadi mereka berdebat keras, pada akhirnya
mereka harus menunggu keputusan terakhir dari pemimpin mereka. Beberapa anak laki-laki
yang masih berusia muda, tetap ingin
menjalankan hukum yang telah ada beratus-ratus tahun, demi nama baik kehormatan
keluarga, yaitu perang untuk membalas dendam kematian saudara perempuan mereka,
apalagi ini pembunuhan atas putri pemimpin mereka yang sangat dihormati. Di
sisi yang lain, beberapa tetua mendukung anak-anak muda, sedangkan yang lainnya
berpendapat sebaiknya menunggu Kepala Soa. Keputusan Kepala Soa adalah
keputusan terakhir yang harus dilaksanakan. Mereka semua menunggu, apa yang akan
menjadi keputusan pemimpin mereka. Keheningan masih tetap menyelimuti
pekarangan rumah itu, diselingi suara tangisan yang terdengar dari dalam rumah.
Udara malam kian dingin. Api obor yang terpancang di tiang bertiup lembut
mengikuti arah angin yang menusuk. Malam yang penuh duka dan beraroma dendam.
Sambil
mengedarkan pandangan ke semua orang, Majasang Simatauw, Kepala Soa Simatauw,
memecah keheningan….
“Terima
kasih atas kedatangan kalian semua. Terima kasih atas dukungan dan ucapan duka
cita ini. Dukungan kalian membuat saya kuat menghadapi duka ini. Saya juga
tahu, bahwa kalian hadir disini untuk membicarakan dan memutuskan apa yang
harus kita lakukan selanjutnya. Sebagai seorang pemimpin, saya ingin mendengar
pendapat kalian dalam masalah ini. Jika ada yang ingin memberikan pendapat,
saya persilahkan”.
“Kita
harus membalas dendam atas pembunuhan ini, Pak. Gigi ganti gigi, mata ganti
mata.” Teriak Kirinyawa Simatauw, pemimpin pasukan perang Soa Simatauw dengan
tegas namun tak sabar.
“Saya
setuju pak! Kita harus perang demi kehormatan dan harga diri. Pembunuhan harus dibalas
dengan pembunuhan”. teriak seorang anggota pasukan perang yang lain.
“Apapun
alasannya, penghinaan ini harus kita balas. Perang adalah jawabannya, pak!”
sambung yang lain dengan tekad yang tak mungkin lagi bisa ditawar.
“Kami
siap perang, pak! Pasukan perang telah siap sambil menunggu perintah! Jika
bapak memerintahkan, kita akan menyerang mereka lebih dulu!” Kirinyawa Simatauw
meyakinkan Kepala Soa kalau mereka telah siap berperang.
“Boleh,
jika saya memberi pendapat, Kepala Soa?” tanya Hirano Simatauw, seorang tetua
adat yang juga adalah anggota dewan penasehat dalam soa itu.
“Silahkan
Tua Hirano, saya ingin mendengar pendapat yang lain!” Majasang Simatauw, sang
kepala soa berharap dalam hati, kiranya ada pendapat lain yang bisa jadi
pertimbangan, sebelum dirinya mengambil keputusan terakhir, meski secara
pribadi, ia telah mengambil keputusan.
“Saya
berpendapat, balas dendam ini harus dilakukan. Kehormatan soa tetap harus dijaga.
Kitalah yang harus memulai, karena kita berhak untuk itu. Anak mereka telah
membunuh putri kita. Tak ada yang salah jika kita juga membunuh untuk membalas atas
nama harga diri. Nyawa dibalas dengan nyawa. Kepala harus diganti dengan
kepala. Jika harus terjadi perang antar soa, maka harus terjadi, kita punya
alasan sah untuk itu!”.
“Tapi,
mereka juga saudara kita, Hirano! Sudah lupakah kau, tentang sejarah negeri
kita? Anak mereka memang membunuh anak kita, tapi kita tak bisa menyangkal, mereka
adalah saudara kita juga, Hirano!” potong Kimilaha Simatauw, tetua yang lain,
anggota dewan penasehat soa Latuwaeliti (Simatauw).
“Kimilaha,
karena itulah! Jika anak mereka menganggap anak kita adalah saudara perempuannya,
kenapa ia harus membunuh? Mereka telah melupakan sejarah negeri ini, sejarah
persaudaraan para leluhur kita. Jika mereka telah lupa, apa kita harus tetap
mengingatnya?” Hirano Simatauw, balik “menyerang” Kimilaha Simatauw.
“Saya
mengerti Hirano, membunuh itu dosa, tapi ia juga punya alasan untuk membunuh
putri kita. Apa dosa yang telah dilakukan anak mereka, harus dibalas dengan dosa
yang akan kita lakukan, jika perang adalah satu-satunya jalan keluarnya?
Lagipula, menurutku kita harus tetap memegang teguh ajaran hidup leluhur kita,
meski dunia ini runtuh sekalipun. Sejarah leluhur yang telah membentuk, dan mewariskan negeri
ini buat kita, tak bisa kita lupakan begitu saja”. Kimilaha Simatauw tetap teguh
dengan segala argumentasinya.
“Tapi
ini pembunuhan, Kimilaha! Bagaimana jika itu terjadi pada putri kandungmu? Apa
kau tak merasa dihina? Apa kau tak membalas dendam?” suara Tua Hirano makin
meninggi menanggapi argumentasi Tua Kimilaha.
“Tua
Hirano, Tua Kimilaha, izinkan saya berbicara !” Majasang Simatauw, Kepala Soa
Simatauw melihat kesempatan untuk meredakan perdebatan di antara anggota dewan
penasehat soa agar tidak berlanjut.
“Para
tetua dan anak-anak soa, saya memahami semua pendapat kalian. Sebagai seorang
ayah yang kehilangan putri tercintanya, saya tak bisa membohongi, kalau ada
dendam yang membakar, itu hal yang manusiawi. Tapi saya juga seorang pemimpin,
kepala dari kalian semua, kepala dari soa ini. Ini hal yang sangat berat buat
saya. Saya tak mau keputusan kita malam ini diambil karena terpengaruh
kepentingan pribadi, tapi keputusan paling terbaik bagi kita semua, orang
banyak dan negeri kita ini. Apa yang Tua
Hirano sampaikan, benar tak ada yang salah dengan itu, kehormatan, harga diri
tetaplah harus diutamakan, hukum harus
tetap dijunjung tinggi. Tapi di sisi lain, Tua Kimilaha juga benar. Pembunuhan
meski seremeh apapun, pastilah memiliki alasan. Anak mereka memang telah
membunuh putriku, tapi ia juga memiliki alasan. Saya memang telah mendengar
asal mula kejadian ini dari saksi mata. Selain itu, secara prinsip, saya tetap
memegang teguh ajaran leluhur dan sejarah negeri ini. Memang ini dilema tapi
keputusan haruslah diambil, karena itu saya ingin kita semua, bisa mendengar
kesaksian dari saksi mata, agar kita bisa memutuskan secara adil”.
“Silanita,
berceritalah…. ceritakan asal mula kejadiannya…. jangan ada yang terlewatkan!” perintah
Majasang Simatauw kepada salah satu anak soa yang juga adalah teman baik
almarhum putrinya.
Silanita
Simatauw, di antara derai air mata pun mulai
bercerita asal mula tragedi ini .....................................................................................................................
II
6 jam sebelumnya……………
Suara air yang mengalir di antara
bebatuan. Burung-burung berkicau di ranting pohon. Beraneka tumbuhan tumbuh
subur di tempat itu. Pohon-pohon yang besar dan berusia tua tertancap kokoh.
Pohon durian, cengkih, jati, pala dan sagu serta jenis-jenis pohon lainnya. Di
tempat itu mengalir sebuah kali atau sungai kecil yang dinamakan kali Saaru.
Kali ini biasa dipergunakan sebagai tempat mandi dan tempat cucian oleh
masyarakat setempat. Kali Saaru ini seperti seekor ular yang mengalir hingga ke
laut. Di bagian hulunya, dipergunakan oleh para lelaki untuk mandi dan disebut
sebagai air laki-laki, di bagian tengahnya digunakan oleh para wanita untuk
mencuci pakian dan mandi, bagian ini sering disebut sebagai air perempuan.
Sedangkan bagian hilir atau bagian kaki, digunakan untuk tempat mandi
anak-anak.
Kali Saaru berada di dalam petuanan
atau ulayat adat negeri Saparoea. Negeri Saparoea adalah salah satu dari 16
negeri yang ada di pulau Saparoea. Di masa sekarang gabungan 16 negeri itu
menjadi Kecamatan Saparoea. Menurut tradisi lisan, yang diturunkan dari
generasi awal ke generasi berikutnya, Negeri Saparoea pertama kali dihuni oleh
4 orang kapitan/kapitang bersama istri mereka. Dalam tradisi itu diceritakan
bahwa mereka berempat adalah bersaudara yang
berasal dari negeri Souhuku/Soahuku di pantai selatan Pulau Seram. Setelah
terjadi perang besar yang dikenal dengan nama perang Nunusaku, para kapitan itu
berpencar dan mencari daerah-daerah baru sebagai tempat hunian. Salah satunya
adalah negeri Saparoea. Setelah menempati hunian baru ini, ke-4 kapitan bersama
istri mereka, kemudian menamakan daerah ini dalam bahasa tanah yaitu Pisarana
Hatusiri Amalatu. Nama inilah yang dikenal sebagai nama teon/teun/teong Negeri Saparoea.
Di kepulauan Ambon-Lease, di tiap negeri (desa) memiliki nama teon/teun/teong
yang berbeda atau masing-masing negeri tersebut memiliki nama teong
sendiri-sendiri.
Setelah beranak-pinak yang melahirkan
beberapa generasi berikutnya, mereka kemudian membentuk soa. Ada 4 soa yang dibentuk berdasarkan keturunan
dari ke-4 orang kapitan tersebut. Ke-4 soa itu adalah Soa Manupalo (Anakotta),
Soa Namasina (Ririnama), Soa Latuwaelaiti (Simatauw) dan Soa Pelatu (Titaley).
Keturunan mereka inilah yang dipercayai sebagai penduduk asli, atau dalam
kebudayaan Maluku sering disebut anak asali atau anak negeri asli.
Siang
itu, seperti biasanya beberapa perempuan di negeri Saparoea melakukan aktivitas
mencuci pakaian di kali Saaru. Lenawangi Simatauw, Silanita Simatauw, Rikasena
Simatauw dan beberapa teman mereka lainnya, mencuci pakaian sambil bercerita
sebagaimana layaknya jika para perempuan berkumpul. Suara tawa cekikan
terdengar di sela-sela pembicaraan mereka. Entah apa yang mereka bicarakan,
mungkin cerita soal hidup sehari-hari atau mungkin soal asmara yang mulai
tumbuh di antara para perempuan itu. Lenawangi Simatauw adalah putri
satu-satunya dari Majasang Simatauw, sang Kepala Soa Simatauw. Dia juga gadis
tercantik dan menjadi pujaan para lelaki di Negeri Saparoea. Banyak lelaki yang
ingin mendekatinya dan berniat menjadikannya sebagai isteri, namun selalu
ditolaknya. Meskipun jadi pujaan, namun karakternya keras seperti laki-laki.
Tidak seperti ayahnya yang bijak, ia dikenal sebagai gadis bermulut pisau, kata-katanya selalu menyakitkan hati, jika
menemui hal yang tak sesuai dengan kata hatinya, khususnya kepada lelaki yang
tak disukainya. Banyak lelaki yang merasa sakit hati dan terhina karena
kata-katanya, namun apa daya, dia adalah putri dari salah seorang kepala soa,
yang mereka hormati. Meski sakit hati dan ingin membalas penghinaan itu, namun mereka dengan berat
hati memendamnya.
“Lenawangi,
apa kau marah padaku, jika aku menyampaikan pesan dari seseorang?”. Silanita,
teman karib Lenawangi, bertanya dengan hati-hati. Meski mereka berteman karib
sejak kecil, namun Silanita tahu benar karakter teman baiknya. Ia tak mau ada
salah paham di antara mereka.
Sambil
menoleh dengan pandangan menusuk, “ dari lelaki-lelaki itu lagi?” tanya Lenawangi
dengan sedikit ketus.
“Hmmmm.…
ia”. Silanita menjawab pendek.
“Siapa?”
“Ia
menyampaikan salam untukmu, dan ingin berkenalan!”
“Siapa?”.
Ada nada menuntut dan tajam dalam suara Lenawangi.
“Hintalayu!”
“Laki-laki
itu?”
“Semalam.…
ia….
“Katakan
padanya, aku tak ingin berkenalan!” potong Lenawangi, tanpa membiarkan Silanita
menyelesaikan pembicaraannya.
“Tapi….”
“Kau
tak paham, apa yang aku maksud? Aku tak sudi berkenalan dengannya. Ia tak
sepadan denganku! Laki-laki berpenyakitan seperti itu, cihhh… aku jijik
melihatnya, Silanita!. Aku tak mau. Katakan padanya, bercermin dahulu, sebelum
berkenalan denganku!” kata-kata tajam dari Lenawangi seperti peluru berdesing
di udara siang itu.
“Lenawangi,
jika kau tak menyukai orang, aku paham, tapi tak usah menghina orang seperti
itu!” Rikasena mencoba mengingatkan kelakuan Lenawangi dengan sabar.
“Jangan-jangan
kau sendiri yang suka padanya, Rikasena. Mengaku sajalah! Hihihihi…. lihat.... ada
yang merah pipinya…. hahahahahaha”. Lenawangi menggoda Rikasena, tapi nadanya
masih sedikit ketus.
“Bukan
seperti itu, Lenawangi. Aku hanya mengingatkan…. tidak baik....”
“Ah,
sudahlah…. Mereka bukan hal penting untukku. Ayo…. kita selesaikan cucian ini,
mandi dan pulang!”.
Masih
terdengar suara cekikan diantara mereka sambil mencuci. Jam-jam seperti
begitulah, biasanya para lelaki berjalan melewati tempat cucian mereka menuju
ke hulu untuk mandi. Tapi tak tahu kenapa sampai jam begitu, tak ada laki-laki
yang terlihat. Para perempuan itu terus mencuci dan berbincang-bincang. Tak
lama kemudian Rikasena dan teman-teman
yang lain selesai mandi dan pulang ke rumah mereka, meninggalkan Lenawati dan
Silanita yang sedang mandi. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh bunyi gemerisik
dedaunan dan bunyi tapak kaki menginjak ranting-ranting kayu kering. Serentak
kedua perempuan itu menoleh, dan melihat wajah seorang laki-laki muncul dari
tengah rimbunan pepohonan. Sepotong wajah bercacat, penuh parutan bekas luka, dipayungi
rambut awut-awutan. Seperti iblis yang muncul di tengah hari. Penyakit kulit di
sekujur tubuhnya yang hampir telanjang, hanya berbalutkan cidaku8. Benar-benar
mengerikan bagi orang yang baru pertama kali melihatnya. Ia adalah Hintalana
kakak dari Hintalayu, karena malu akan keadaan dirinya, dia sering bersembunyi di
hutan rimba dan jarang memperlihatkan dirinya. Tidak banyak yang mengetahui
bagaimana rupanya karena jarang bertemu dengannya. Ia seperti tokoh mitos yang hanya didengar
namanya namun tak diketahui wajahnya. Masyarakat Negeri Saparoea mengetahui
kalau Hintalayu dan Hintalana adalah bersaudara. Mereka berdua memang berwajah
cacat tapi Hintalana lebih mengerikan dibanding adiknya. Ayah mereka adalah Uripalatu Anakotta, Kepala
Soa Manupalo (Anakotta), salah satu soa dari ke-empat soa yang ada di negeri
Saparoea.
“Hinta….lana….”
bisik Silanita hampir tak terdengar dan sedikit gagap. Ia memang pernah
mendengar nama saudara Hintalayu, namun kali ini baru pertama kali melihatnya.
Ia mengetahui dari cerita, jika wajah Hintalana mirip dengan wajah adiknya.
“Apa
dia…….? tanya Lenawangi mulai marah.
“I….a.…
dia Hintalana, kakak dari Hintalayu.” jelas Silanita dengan nada berbisik dan
gemetar…. rasa dingin yang aneh mulai menjalari tulang belakangnya, saat
melihat wajah Hintalana.
“Pantasan….adik
dan kakak sama saja…. mereka berdua tak tahu diri. Tak sopan.
“Tapi….”
“Kenapa?
Aku tak takut padanya…. ia mengintip kita mandi, Silanita. Apa itu bukan
perbuatan kurang ajar? aku akan mencaci maki dirinya agar ia lebih sopan pada
perempuan.”
“Tapi….”
“Sudahlah…
jadi orang jangan pengecut”. kata Lenawangi sambil berjalan mendatangi
Hintalana yang tetap berdiri.
“Hei
kamu…. laki-laki penyakitan, laki-laki kurang ajar…. berani-beraninya kamu
mengintip diriku yang sedang mandi! Apakah keluargamu tak mengajarimu sopan
santun? Kamu tahu siapa aku….? Dasar manusia berotak mesum.… pantas saja kamu
seperti bintang. Lihat dirimu! Pergi dari sini, aku jijik melihatmu!.. cuuuiih….
dasar manusia berhati binatang!” sambil berkacak pinggang dan menunjuk jari ke
wajah Hintalana, Lenawangi memaki laki-laki itu tanpa memberi kesempatan.
“K…a…m...u”
Hintalana seolah tak percaya ada orang,
apalagi seorang wanita yang berani memaki dan menghina dirinya seperti ini.
“Kenapa?
kamu tak terima? kamu itu binatang…. mengintip wanita yang sedang mandi itu
perbuatan hina. Kamu itu bukan manusia tapi binatang.... lihat dirimu… seperti
binatang yang tak tahu sopan santun. Pantasnya kamu bergaul dengan binatang
bukan dengan manusia”
“Tapi
aku tak…..”
“Jangan
cari alasan.… dari tadi kau mengintip. Jangan pura-pura. Mana mungkin ada
wanita menyukai laki-laki penyakitan sepertimu, cacat dan tak berguna??? Kau
dan adikmu itu binatang…. aku jijik…. ciiiuhh….” Lenawangi kembali memaki dan
meludah.
“Cukup!
hentikan makianmu!...kalau tidak….” Hintalana mulai marah, matanya memerah
darah dan wajahnya kian menakutkan.
“Kalau
tidak, kenapa”? tantang Lenawangi
“Hentikanlah
Lenawangi… ayo kita pulang”. Lerai Silanita sambil menarik tangan Lenawangi. Ia
takut terjadi apa-apa jika Lenawangi terus menghina Hintalana seperti itu. Ia
melihat dendam dan kebencian yang sangat dalam di mata Hintalana.
“Tidak....!
laki-laki biadab seperti dia, pantas dimaki dan dihina!” tegas Lenawangi keras
kepala dan mengibas tangan Silanita. Seperti tak puas-puasnya, Lenawangi terus
menghina dan memaki Hintalana layaknya binatang.
“Kau
akan mati….! Camkan itu!” dengan murka Hintalana lari memasuki hutan dan
menghilang.
“Hihihihihi….
lucu juga ya.... laki-laki penyakitan seperti itu, mengancam akan membunuhku…. memangnya
dia bisa???.... hihihihihii….” tanya Lenawangi sambil tertawa.
“Sudahlah….
cepat mandi dan kita pulang! aku merasa
takut Lenawangi!” perintah Silanita dengan suara sedikit gemetar.
“Dasar
pengecut kamu…. Begitu saja takut!!!…. Hahahaahahah” kata Lenawangi sambil
berjalan kembali ke tempat mandi.
Beberapa
saat kemudian Lenawangi dan Silanita menyelesaikan acara mandinya dan pulang. Mereka
menyusuri pohon-pohon besar di sepanjang jalan pulang. Hari telah beranjak
sore, matahari telah condong ke barat. Meski masih sore, keadaan di areal itu agak
sedikit gelap, sinar matahari terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Biasanya para
wanita yang melakukan aktivitas di tempat itu, tak berani sampai sore, jikapun
sampai sore, mereka selalu pulang dalam kelompok untuk menghindari hal-hal yang
tak diinginkan. Hari itu hanya Lenawangi dan Silanita pulang berdua, berjalan beriringan,
Silanita di depan dan Lenawangi mengikuti dari belakang. Mereka tak mengetahui bahwa
kejadian tragis sedang menanti. Tiba-tiba ada sepasang tangan kasar membekap mulut
Lenawangi dan menyeretnya.
“m..m…mm…hh….ong….”
Lenawangi berteriak dan meronta, namun tangan yang membekapnya seperti sepasang
capit kepiting mencengkram mulutnya. Silanita menoleh karena mendengar suara
tak jelas di belakangnya dan terperangah. Ia hanya melihat seorang lelaki tak
dikenal membekap mulut Lenawangi dan menyeretnya memasuki deretan pepohonan.
“Lenawangi….kamu
kenapa? Hei.. lepaskan temanku” teriak Silanita sambil mengejar mereka. Ia terus
mengejar memasuki hutan rimba. Lelaki tak dikenal itu sangat cepat, sehingga
Silanita beberapa kali tak melihat mereka berdua. Namun Silanita tak menyerah,
ia berusaha menolong Lenawangi teman baiknya. Di kejauhan ia melihat lelaki itu
menyekap dan menyandarkan Lenawangi di sebuah pohon durian yang besar. Pohon
durian yang berusia tua dan tumbuh seperti raksasa di tengah hutan itu. Ia mendekat
dan mulai mengenal lelaki asing itu. Rasa ngeri tiba-tiba menjalari tulang
belakangnya. Lelaki itu, Hintalana, yang beberapa saat lalu mengancam akan
membunuh Lenawangi. Ia melihat ketakutan yang sangat besar di mata Lenawangi. Ketakutan
bercampur ungkapan memohon ampun tampak di matanya yang mulai berair. Tak ada lagi sifat berani yang ia tunjukan
beberapa saat lalu. Itu semua telah hilang….
“Ampuni
dia.... Hintalana. Lepaskan dia, aku mohon!” Silanita berusaha menyadarkan Hintalana.
“Jangan
campuri urusanku! Pergilah…. kalau tidak, aku akan membunuhmu juga ” ancam
Hintalana dengan dengan murka.
“Jangan
bunuh Lenawangi, Hintalana!... aku mohon…”
“Tidak!”
tegas Hintalana.
Dengan
kecepatan yang tak terduga, Hintalana mencabut pisau , menikam jantung beberapa
kali dan menggorok leher Lenawangi kemudian berlari menerobos pepohonan,
menghilang entah kemana.
“Ya
Tuhan…. Lenawangi….Ya Tuhan” Silanita bersimpuh dan memangku kepala Lenawangi
dengan hati-hati. Darah segar mengucur, membasahi pakaian Lenawangi. Ia
melihat maut. Rasa takut dan ngeri
memompa jantungnya. Ia berusaha menutupi luka di bagian jantung dan leher
Lenawangi. Darah terus mengucur karena lukanya kian menganga.
“A…a…k…k…u…uu”
dengan nafas tersengal-sengal dan sekarat, Lenawangi mencoba berbicara.
“Bertahanlah….Aku
akan mencari bantuan” dengan secepat
kilat, Silanita berlari meninggalkan Lenawangi, tak menghiraukan darah
Lenawangi di tangan dan pakaiannya…. berlari menerobos hutan…. memasuki perkampungan….
III
Di tempat yang lain....
Suara
perdebatan di dalam rumah itu kian keras. Suara Sirimata, istri Kepala Soa Manupalo
(Anakotta) yang juga ibu Hintalana makin meninggi. Ia berdebat dengan
Uripalatu, suaminya. Ia bersih keras membela Hintalana, anaknya. Kabar pembunuhan
yang menggemparkan itu telah tersebar begitu cepat.
“Hintalana
tak bersalah pak! Dia melakukan itu karena dihina!” Sirimata tetap teguh
mempertahankan pendapatnya.
“Bapak
mengerti bu, tapi apapun alasannya… anak kita telah membunuh.” jelas Uripalatu mencoba
bersabar menghadapi istrinya.
“Perempuan
itu menghina anak kita!! Meski keadaan
Hintalana seperti itu, dia tetap anak kita. Aku yang mengandung dan
membesarkannya. Aku tak terima! aku tak akan meminta maaf pada mereka! aku tak
akan mengemis dan memohon agar Hintalana diampuni!”
“Tapi
bu…. apa salahnya jika kita sebagai orang tua minta maaf pada mereka? anak kita
telah membunuh anak mereka, bu.”
“Tidak!....Ibu
tak mau!”
“Bu.…
anak kita telah membunuh.… ini bisa menimbulkan perang, jika ibu tetap keras
kepala seperti itu”
“Memangnya
kenapa kalau terjadi perang? Apa bapak takut? Jika mereka ingin berperang, maka
kita akan berperang! Ibu akan turut berperang demi kehormatan anak kita. Ibu
tak takut!”
“Bukan
masalah takut atau tidak…. banyak hal yang
harus dipikirkan dan dipertimbangkan! Terlampau banyak akibat yang akan kita
terima jika berperang hanya untuk membela anak kita, bu…. Bukan hanya untuk
keluarga kita atau soa kita tapi juga masyarakat dalam negeri ini, banyak yang
akan dikorbankan … pikirkanlah itu, bu!”
“Apa
bapak rela anak kita dibunuh tanpa melakukan apa-apa? Sebagai ayah apa bapak
rela?” Sirimata terus mendesak Uripalatu.
“Bukan
seperti itu, bu…. tapi Hintalana.…”
“Ia
membunuh karena di hina. Ia di caci maki! Ia hanya membalas perlakuan perempuan
itu. Tidak ada alasan lain!”
“Jangan
menambah masalah lagi bu.… masalah ini terlampau sensitif!”
“Ibu
tidak membuat masalah.... ibu hanya membela anak kita. Lagipula, jika perang
yang diinginkan, bapak tinggal memerintahkan pasukan! Ibu yakin mereka akan
patuh dan siap berkorban demi kehormatan soa kita!”
“Tidak
semudah itu bu…”
“Jika
bapak tidak bertindak…. Ibu sendiri yang akan melakukannya”. Sirimata berlalu
meninggalkan Uripalatu yang tak tahu harus melakukan apa untuk mengatasi
masalah yang semakin rumit.
Uripalatu
terpekur dalam diam. Masalah itu terus menerus berkecamuk menekan benaknya. Apa
yang harus aku lakukan?? batin Uripalatu…. Apa harus terjadi perang karena anakku??
Ataukah secara diam-diam aku harus menemui mereka untuk minta maaf dan memohon
ampun?? Tidak…. aku kepala soa,
bagaimana bisa aku merendahkan diri seperti itu? Kata hati yang lain
menggodanya…. aku mencintai anakku, meski dia telah membunuh…. ia membunuh
karena dihina, dicaci maki seperti itu!.... apa yang istriku katakan benar.…
apa salahnya jika harus perang? Kehormatan anak dan soa tetap harus dijaga!
Andaikan perang, pasti Soa Namasina (Ririnama) akan membantu, bukankah Kepala
Soa Namasina (Ririnama) adalah kakak dari istriku?? Berarti iparku akan membantu jika perang
terjadi! Otak Uripalatu menghitung segala kemungkinan dan untung rugi.... tapi…. Apa hanya gara-gara
anakku, kita semua akan jadi korban? Soa Pelatu (Titaley) pasti juga akan
terlibat, bukankah istri Majasang adalah kakak perempuan dari Kepala Soa Pelatu
(Titaley)??..... Jika seperti ini, jika
mereka ikut terlibat.… semua akan hancur…. akan musnah…. semua akan berperang.…
pikiran yang lain mencoba menyadarkannya.… pikirkanlah secara baik-baik sebelum
kamu menyesal!!!
Konflik
pikiran dan kata hati berseliweran di kepala Uripalatu…. Hingga larut malam, ia
belum bisa memutuskan apa yang harus ia lakukan. Udara makin dingin.… dingin
yang aneh dan menyeramkan.… seolah-olah tanda bahwa Negeri Saparoea dalam
keadaan genting. Keadaan yang sewaktu-waktu bisa terjadi perang antar soa.
Perang yang bisa memusnahkan mereka, jika mereka keliru dalam mengambil
keputusan…………………………
IV
3 hari setelah pemakaman Lenawangi....
Ke-empat
Kepala Soa, dewan penasehat ke-empat soa serta para perempuan dari ke-empat soa
itu berkumpul. Ada hal penting rupanya yang membuat mereka berkumpul di situ. Suasana
menjelang sore itu sedikit muram. Awan tipis hitam berarak di langit seperti
ikut merasakan suasana muram dan duka. Kicauan burung pun tak terdengar
sebagaimana biasanya. Semilir angin bergerak lembut di sela-sela dedaunan
pepohonan yang tumbuh di daerah itu. Tempat itu dipilih untuk menyelesaikan masalah
di antara mereka. Ya… peristiwa pembunuhan yang terjadi beberapa hari lalu,
pembunuhan Lenawangi Simatauw, putri Kepala Soa Simatauw. Tempat itu merupakan
sebuah wilayah petuanan milik Soa Anakotta di dalam Negeri Saparoea. Uniknya tempat
itu seperti daerah segi tiga, dimana ketiga sisinya berbatasan dengan wilayah
petuanan milik dari 3 soa lainnya.
Terdengar
suara bisik-bisik diantara ke-empat Kepala Soa. Uripalatu Anakotta sang Kepala Soa
Anakotta, Majasang Simatauw sang Kepala Soa Simatauw, Amosara Ririnama sang
Kepala Soa Ririnama dan Riangkala Titaley sang Kepala Soa Titaley duduk
berdampingan di atas tanah. Posisi duduk
mereka seperti dua kubu yang terikat oleh hubungan keluarga karena perkawinan.
Di kanan Uripalatu, duduk Amosara, sedangkan di kiri Majasang, ada Riangkala. Hubungan darah yang terikat di antara mereka
berempat, semakin menambah rumit masalah. Jika terjadi perang, bukan saja Soa
Anakotta dan Simatauw yang terlibat, tapi juga merembet ke Soa Ririnama dan
Titaley, mereka semua akan ikut berperang. Apalagi Lenawangi juga adalah
keponakan Riangkala, dan Hintalana juga keponakan Amosara. Benar-benar masalah
yang rumit, bukan hanya soal pembunuhan semata, tapi juga karena hubungan
keluarga yang terikat di antara mereka berempat.
Di
depan mereka, di sebuah batu besar bersegi empat seperti meja persembahan,
diletakkan sopi9 dalam wadah, buah sirih dan pinang, serta potongan
batang bambu berfungsi sebagai gelas untuk meminum sopi. Mereka berempat di dampingi oleh dewan
penasehat soa masing-masing. Di sekelilingi mereka hadir perempuan-perempuan yang
berasal dari ke-empat soa itu. Sirimata, istri Uripalatu dan Sahele, istri
Majasang juga turut hadir. Mereka berdua pun duduk terpisah seperti membentuk
dua kubu. Tak lama kemudian, suara bisik-bisik itu terhenti. Uripalatu Anakotta
dengan wajah sedikit muram namun berbesar hati mulai berbicara….
“Tua
Majasang, Tua Amosara, Tua Riangkala dan para tetua lainnya…. ijinkan saya untuk
berbicara lebih dulu. Sebagai kepala soa dan seorang ayah, saya sangat malu. Kita
semua yang hadir disini, telah tahu peristiwa tragis beberapa hari lalu. Lenawangi
putri Tua Majasang mati terbunuh di hutan kali saaru. Kita juga tahu siapa
pembunuhnya. Ya…. pembunuh itu adalah Hintalana, anak saya. Sebagai seorang
ayah, saya malu dan gagal. Saya gagal mendidik anak saya. Saya tak akan membela
dan menolong anak saya. Saya juga mengerti jika Tua Majasang merasa dendam. Kita
semua yang hadir di sini memiliki anak, dan pastilah sedih dan dendam jika
kehilangan anak kita dengan cara seperti itu. Dengan berbesar hati, saya akan
menerima segala keputusan yang dibuat hari ini. Namun sebelum itu, sebagai
seorang ayah…. saya memohon ampun dan meminta maaf pada Tua Majasang, yang
telah kehilangan putri satu-satunya yang tercinta. Sekali lagi saya memohon maaf….”
Suara Uripalatu bergetar…. matanya berkaca-kaca…. ia mengedarkan pandangannya
menatap yang hadir dan kemudian menunduk dalam diam.
Tiba-tiba
mereka semua dikejutkan oleh suara tetabuhan tifa dan bunyi tiupan kulit kerang (kuli bia). Mereka semua
paham, kalau itu tanda penyerangan. Di kejauhan terlihat pasukan perang yang
berlari mendekat, seolah-olah mau menyerang dan siap perang. Teriakan perang
yang keluar dari mulut mereka membuat suasana mulai kacau. Uripalatu merasa
terguncang melihat semua itu, karena
ternyata yang datang adalah pasukan perang Soa Anakotta. Dengan nada murka, ia
melompat berdiri….
“Hentikan
!!!.... saya perintahkan kalian untuk diam di tempat!” perintah Uripalatu
dengan emosi kepada pasukan perangnya. Ia menoleh kearah Tua Majasang dengan
pandangan bersalah….
“Tua
Majasang…. saya meminta maaf atas kejadian ini…. saya….”
“Tua
Uripalatu.… saya memahami posisimu. Saya mengerti bahwa hal seperti ini akan
terjadi. Saya juga mengalami hal yang sama dalam soa yang saya pimpin…………. Tak
dipungkiri ada rasa sedih karena kehilangan seperti ini. Saya tak menyangkal
bahwa terkadang ada muncul rasa dendam. Siapa yang tak dendam jika anak
satu-satunya dibunuh? Apalagi dengan cara sadis seperti itu??? Namun apakah kehilangan putriku bisa
tergantikan jika harus ada balas dendam? Saya telah merasa betapa sakitnya
kehilangan itu. Saya tak ingin yang lain merasa seperti itu juga. Lagipula, kita
semua adalah bersaudara. Bukankah sejarah leluhur kita, sejarah negeri ini telah
meriwayatkan seperti itu??? Bukankah para
leluhur kita saling kawin mengawini dan akhirnya menghasilkan kita semua yang
hadir di sini?? Memang sakit rasanya, betapa sulitnya…. tapi saya telah
memutuskan.... tak akan ada balas dendam….! Tak akan ada perang….! Tak akan ada
kematian lagi…! Saya menghormati hukum perang di negeri ini, hukum mata ganti
mata, gigi ganti gigi…. namun saya juga menghargai sisi kemanusian kita. Cukup
sudah…. biarlah penderitaan ini, akan saya tanggung sendiri. Tak akan ada perang
atas nama kehormatan dan harga diri.
“Tua
Majasang…. tapi….” Tua Riangkala Titaley mencoba berbicara.
“Benar
Tua Majasang… bukankah hukum kita….” Tua Amosara juga ikut berbicara.
“Ya…
saya memahaminya Tua Riangkala dan Tua Amosara. Saya juga mengerti jika kalian
tak bisa menerima ini, apalagi ini juga menyangkut keponakan kalian. Saya
menghargai semua itu. Tapi saya telah memutuskan lain. Memang pahit, memang
sulit tapi saya telah memutuskan seperti itu!.... saya berharap kalian bisa
menerima dan menghormati putusanku. Lagipula, sayalah ayah dari Lenawangi.
“Tua
Majasang…. tapi k...e...n…a..p...a...? Tua Uripalatu mengangkat kepala seolah
tak percaya mendengar apa yang Tua Majasang katakan.
“Ia
Tua Uripalatu…. saya telah memutuskan seperti itu! Sekali lagi pahit rasanya. Namun
saya memutuskan seperti itu. Percayalah…. ini keputusan sulit yang saya buat
sebagai seorang ayah, tapi paling terbaik bagi kita semua. Percayalah…. Keputusan
ini akan dikenang oleh anak cucu kita. Percayalah…. anak cucu kita akan belajar
dari kita. Percayalah…. Apa yang kita lakukan hari ini akan membuat mereka
bangga nantinya!.... saya hanya meminta Hintalana dikurung! Itu saja….tak ada
yang lain!.... saya ingin kita berempat bersumpah.… berjanji…. Di tempat ini…
di langit yang terbuka ini… pada Upu Langite10 sebagai saksi.… kalau
kita tak akan perang!.... bahwa anak cucu kita akan saling menjaga! Anak cucu
kita akan saling sayang menyayangi sebagai saudara sampai dunia ini runtuh….!!!
Sambil
menuang sopi di dalam potongan bambu, mengangkatnya, mereka berempat, keempat
kepala soa itu berdiri dan memegang potongan bambu itu.... Tua Majasang berkata….
“Demi
nama Upu Langite10 dan empat kapitan leluhur kami...!!! minuman sopi
ini sebagai pengikat!!!.... kami berjanji.... kami bersumpah….!!! mulai hari
ini…. tak ada dendam.… tak ada perang…. semoga anak cucu kami akan terus
mengingat janji dan sumpah ini….!!! Semoga mereka akan saling menyayangi sampai
mati ….!!!” Tua Majasang kemudian meminum sopi itu seteguk, memberikannya
kepada Tua Uripalatu, Tua Amosara dan Tua Riangkala. Terdengar bunyi guruh
mengelegar di langit…. krrraaakkkk…. buummmm…. ya…. itu mungkin tanda alam
semesta telah merestui sumpah dan janji mereka.
Tua
Majasang menuang sopi lagi kedalam potongan bambu itu dan memberikannya kepada
anggota dewan penasehat soa masing-masing.... keempat kepala soa itu
berpelukan, menangis dalam damai. Air mata membasahi pakaian kebesaran mereka. para
anggota dewan penasehat pun berpelukan dan menangis…. Sirimata berlari dan
memeluk Sahele. Mereka berdua menangis. Dalam pelukan Sahele, Sirimata berbicara....
“Tua
Majasang, Tua Riangkala, Tua Amosara dan tetua lainnya…. saya…. saya mengaku
bersalah…. tanpa ijin dan sepengetahuan suami saya…. sayalah yang memerintahkan
pasukan perang datang kesini…. Sebagai seorang ibu, saya sangat mencintai anak
saya Hintalana.… meski Hintalana telah melakukan kesalahan besar…. namun saya
tak mau kehilangan dia…. Saya egois…. Tidak memikirkan kepedihan dan sakit hati
Sahele yang kehilangan putrinya… hari ini saya menyadari kebesaran hati Tua
Majasang dan istri… saya minta maaf!” Sirimata kembali menatapa Sahele…
“Sahele….
saudariku.... Sebagai ibu.… saya mohon ampun atas kesalahan anakku….” Sirimata kembali memeluk Sahele dan menangis
tersedu-sedu.
Sambil
berpelukan suara tangisan para perempuan yang lain turut menambah suasana yang
menyayat hati……………
Epilogue....
Di bebatuan besar itu, aku duduk
memandang tetesan air, yang mengucur lembut keluar dari tebing-tebing batu, mengalir
seperti air mata. Semak-semak belukar di sekeliling tempat itu seperti
menyekapku dalam keheningan. Pikiranku mengembara jauh ke belakang, beberapa
ratus tahun yang lalu. Merenung legenda ini…memahami cerita tragedi ini. Cerita
pembunuhan yang dilisankan dari generasi ke generasi hingga terdengar di
telingaku. Tetesan air di dinding batu itu tetap menetes abadi, mengingatkanku
agar tak melupakan legenda ini. Cerita yang diwariskan dari leluhur buat anak
cucu. Mataku basah seperti tetesan air itu…. Aku tahu bahwa tetesan air itu
dipercayai berasal dari tangisan para leluhurku. Leluhur lelaki dan perempuanku
yang menangis sambil berpelukan d iantara mereka. Aku tak tahu pasti mengapa
mereka menangis. Mungkin itu tangisan duka karena kematian putri mereka semua.
Atau mungkin juga mereka menangis bahagia, karena terhindar dari perang antar
soa, perang yang jika saja terjadi akan menghancurkan, yang bisa memusnahkan
mereka semua. Jika saja itu terjadi, mungkin aku tak ada disini, mungkin aku
tak bisa menulis legenda ini. Aku juga tahu tempat ini adalah tempat yang di
yakini sebagai tempat menyelesaikan masalah pembunuhan itu. Aku memahami
mengapa tempat ini kemudian dikenal sebagai Dusun Mata Air Perkara!. Aku juga
mengerti mengapa batang Pohon Durian, tempat pembunuhan itu dinamai Pohon
Durian Sandar Nona.
Lamunanku terus berputar dalam benakku.
Mengingat kebesaran dan keikhlasan para leluhurku saat menyelesaikan masalah
sensitif seperti ini. Aku berusaha memahami posisi mereka, dilema mereka dan
keputusan yang mereka ambil. Keputusan sulit tapi mungkin itu keputusan terbaik
meski dendam dan duka terus menggoda. Akh… betapa sulitnya mereka saat itu……. Tanpa
terasa air mata telah jadi tetesan
kristal dipipiku…aku tak berniat menghapusnya.... aku juga tak mengerti mengapa aku menangis. Mungkin ini airmata duka, bahagia
ataukah air mata syukur. Aku hanya bisa merenung lama…mungkin mereka mau
mengajari diriku, bahwa pembunuhan tak seharusnya dibalas dengan pembunuhan,
ataukah ikhlas dan memberi maaf adalah jalan paling agung dalam hidup meski
begitu sakit dan sulit ??? Entahlah....
Saat meninggalkan tempat itu… menapak
kaki, menginjak rerumputan, kepalaku menatap semburat langit senja dan hatiku
berbisik :
Lenawangi.... aku anak cucu dari Soa
Anakotta.... meminta maaf atas kematianmu.... semoga kau bahagia di sana………………………
===== Selesai =====
Penulis : Adrijn Anakotta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar