Oleh
- Kata Pengantar
Artikel ini adalah
artikel yang ditulis oleh sejarahwan Maluku, Richard Zacharias Leirissa dengan
judul St Francis Xavier and The Jesuits
in Ambon (1546 – 1580), yang dipresentasikan pada suatu Konfrensi
Internasional bertajuk “ Portuguese and Dutch
travel and travellers in Southeast Asia”, yang diselenggarakan di Portugal
tahun 2001.
Artikel ini kemudian dimuat kembali dalam
jurnal Revista de Cultura [Review of
Culture], edisi nomor 19, terbitan Juli 2006, pada halaman 53 - 63. Artikel
milik Leirissa ini merupakan salah satu artikel bersama artikel-artikel
sejarahwan Portugis lainnya, seperti Ivo Carneiro de Sousa, Jose Madeira, Rui
Manuel Loureiro, Pedro Lagge Coreia dan lain-lain dalam edisi tema besarnya De Xavier a Valignano a Conquista Espiritual
Da Asia [The Spritual Conquest of The Far East From Xavier to Valignano]. Jurnal
Revista de Cultura [Review of Culture],adalah
Jurnal tentang Sejarah Portugis di Asia Timur Jauh, yang meliputi berbagai
aspek yaitu agama, militer, ekonomi, budaya dan sebagainya, yang diterbitkan 4
kali setahun.
Pada
artikel ini, alm R.Z. Leirissa mengkaji tentang aktivitas kaum Jesuit yang
melakukan penyebaran agama Katholik di kepulauan Ambon-Lease yang dirintis oleh
Santo Fransiscus Xaverius dan diikuti oleh rekan-rekan misionaris lainnya.
Leirissa mengungkapkan tentang aktivitas mereka di sela-sela masa damai dan perang
sepanjang paruh terakhir abad ke-16 itu. Selain mengungkapkan tentang aktivitas
keagamaan, Leirissa juga menyorot aspek sosial masyarakat Ambon – Lease, yang
ia sebut sebagai “Simbiosis Dikotomi” yaitu sistim “dualisme” dalam masyarakat
Ambon - Lease yang kita kenal dengan nama Ulisiwa
– Ulilima atau Patasiwa – Patalima.
Pada akhir kajian, Leirissa menyimpulkan bahwa aktivitas misionaris itu turut
berperan penting dalam pemulihan identitas Ulisiwa dan Ulilima tersebut.
Kami
memberanikan menerjemahkan artikel itu, agar kita memperoleh berbagai bahan
bacaan yang baik untuk menambah wawasan kesejarahan kita. Perlu juga
disampaikan bahwa artikel aslinya sepanjang 11 halaman, dengan 46 catatan kaki dan
4 gambar/lukisan.
Akhir
kata selamat membaca... selamat bersejarah... semoga kita akan selalu
mencintai sejarah...karena sejarah adalah kehidupan yang dinarasikan dalam
bentuk teks itu sendiri.
- Terjemahan : Kutu Busu
Nama-nama
negeri-negeri Kristen di pulau Ambon, Haruku, Saparua dan Nusalaut1
di masa kini, sangat mirip dengan nama-nama negeri-negeri Kristen di pulau yang
sama yang disebutkan pada surat-surat dan laporan dari kunjungan kaum Jesuit
Portugis sepanjang paruh pertama abad ke-16. Hal yang sama berlaku juga untuk
negeri-negeri Muslim pada kepulauan itu. Seolah-olah selama 3 abad atau lebih
tahun-tahun campur tangan kehadiran Belanda di pulau-pulau itu, tidak ada
perubahan mendasar yang terjadi dalam pembagian negeri-negeri Kristen dan
Muslim. Seolah-olah waktu berdiri diam dan terpaku sejak abad ke-16, dalam soal
konfigurasi negeri-negeri di kepulauan Ambon-Lease2.
Ini semua semakin
menarik, karena terjadi ketika kaum Muslim dari negeri tetangga, yaitu Hitu
terus menerus menyerang negeri-negeri Kristen sepanjang paruh pertama abad
ke-16, dan selama paruh kedua abad itu, armada perang dari Ternate juga terus
menerus menyerang negeri-negeri yang sama dan kubu pertahanan Portugis. Selama
periode itu, hampir tidak ada tahun-tahun yang dilalui tanpa perampasan,
pengepungan atau penyerangan. Namun demikian, di antara konflik-konflik itu,
para kaum Jesuit Portugis menghasil “mengukir” wilayah sosial-geografis di
kepulauan Ambon-Lease, yang penduduknya juga adalah orang Kristen, sementara
kaum Muslim pada umumnya juga berhasil menjaga negeri mereka tetap utuh. Konfigurasi
sosial-geografis yang serupa tidak pernah terjadi di Maluku Utara, dimana
Portugis memusatkan perdagangan, armada dan perpolitikan mereka. Mengapa hal
itu terjadi di kepulauan Ambon – Lease adalah topik dari tulisan ini3.
KAUM JESUIT4
Kaum
Jesuit dibentuk oleh Inácio de Loyola pada tahun 1540. Jesuit pertama yang
mengunjungi kepulauan Ambon adalah Francis Xavier (Fransiscus Xaverius), yang
dianggap sebagai bapak pendiri misi Jesuit ke Asia. Dia meninggalkan Portugis
dengan restu Raja João III, yang berhasil menghidupkan kembali Padrado Real ( tanggung jawab kerajaan
untuk misi di tanah-tanah yang ditaklukan) yang diterima dari Paus oleh para
Raja Portugis di abad ke-15. Perjalanan perintis Xaverius ke kepulauan Ambon,
dilakukan dari Februari hingga Mei 1546, dan sekali lagi pada bulan April dan
Mei 1547 selama perjalanan pulang dari Maluku ke Malaka5.
Fransiscus
Xaverius mampu meyakinkan otoritas Estado
da Índia Portugis di Goa dan para pemimpin Yesuit di Roma, bahwa Maluku dan
Kepulauan Ambon-Lease adalah ladang misi yang sangat menjanjikan, tetapi
tampaknya Xaverius terlalu optimis. Ketika Portugis tiba di Maluku dan Ambon
pada awal 1520an, banyak penduduk negeri yang telah menganut agama Islam
sekitar akhir abad ke-15. Selain itu, Maluku, dengan produksi cengkih yang kaya,
merupakan daya tarik utama bagi kepentingan perdagangan Portugis, bukanlah
kepulauan Ambon-Lease, dimana komoditas ini tidak diproduksi sampai tahun
1570an. Tidak lama setelah benteng Portugis di Ternate dibangun (tahun 1522), permusuhan
mulai muncul antara kapten benteng/kastil dan para Sultan Ternate. Pada saat
Xaverius mengunjungi Ambon dan Maluku pada tahun 1546-1547, permusuhan telah
berubah menjadi konflik fisik yang terbuka.
Fransiscus Xaverius (7 April 1506 - 2 Desember 1552) |
Meskipun
kepulauan Ambon-Lease tidak menghasilkan cengkih selama paruh pertama abad
ke-16, pada tahun 1518 kapal-kapal Portugis mulai menggunakan Hitu, suatu
semenanjung sebelah barat Pulau Ambon (semenanjung sebelah timur disebut
Leitimor), untuk menunggu angin musim timur
yang dimulai pada bulan Mei, untuk melanjutkan perjalanan mereka ke
Malaka (Perjalanan dari Ternate ke Ambon
memakan waktu 8-10 hari, dan dari Ambon ke Malaka selama 6 minggu). Mereka
diizinkan membangun rumah kayu di dekat negeri Hitu, tetapi, karena perbedaan
keyakinan, mereka harus meninggalkan daerah itu pada tahun 1530an. Setelah itu,
sepanjang paruh pertama abad ke-16, mereka berturut-turut membangun benteng
kayu berukuran kecil di berbagai tempat di pantai selatan Hitu di teluk Ambon,
yang memisahkan semenanjung Hitu dan semenanjung Leitimor. Sepertinya tak lama
setelah itu, para imam kaum Fransiskan mulai mengunjungi negeri-negeri itu.
Negeri pertama yang menjadi Kristen di daerah ini adalah Hatiwe, yang
pemimpin/penguasa negerinya menggunakan nama Manuel. Pada saat Xaverius tiba
pada tahun 1546, telah ada 3 negeri Kristen.
Optimisme
Xaverius tentang masa depan misi di Ambon, didasarkan pada keyakinan bahwa
pulau itu akan segera menjadi milik Kapten selanjutnya di Ternate, Jordão de
Freitas. Cerita dimulai dengan aksi penangkapan Sultan Ternate, Sultan Tabarija
(1523 – 1535) oleh Kapten Tristão de Ataíde, yang memerintahkan Sultan pergi ke
Goa untuk diadili. Hairun, saudara tirinya, diangkat oleh Kapten sebagai Sultan
pada tahun 1535. Di Goa, Tabarija berteman dengan Jordão de Freitas, yang
membujuknya untuk menjadi seorang Kristen (Dom Manuel adalah nama Kristen-nya
Sultan Tabarija). Sebagai rasa terima kasihnya, Tabarija menawarkan pulau Ambon
kepada Freitas, tetapi dalam perjalanan kembali, Tabrija meninggal di Malaka,
dan Freitas yang menjadi Kapten benteng Ternate (1544 – 1547), tidak pernah
pergi ke Ambon untuk mengklaim haknya itu6.
Roma
dan Goa setuju dengan Xaverius dan menjadikan kepulauan Ambon sebagai salah
satu prioritasnya. Menurut Wessels, dari zaman Fransiscus Xaverius hingga tahun
1606, tak kurang dari 52 misionaris dikirim ke Maluku. 2 dari mereka terbunuh
bersama kru kapal ketika kapal mereka melewati pelabuhan-pelabuhan Utara Jawa,
dan tidak pernah sampai di tujuan7. Hanya 5 imam yang dilatih di
Coimbra Jesuit College. Sebagian besar Jesuit memasuki kelompok ini di Goa. Di
antara mereka, ada beberapa yang tidak pernah menjadi pendeta. Waktu rata-rata
yang dihabiskan oleh para misionaris di kepulauan Ambon, bervariasi dari
beberapa bulan hingga 2 atau 3 tahun. Hanya 1 imam Portugis, Pedro Mascarenhas,
yang tinggal selama 10 tahun (1570 – 1580).
Kaum
Jesuit asal Italia, Spanyol, dan bahkan Belgia mulai mengunjungi Maluku dan
Ambon setelah Philip IId menjadi Raja Spanyol dan Portugal pada
tahun 1580. Para Jesuit ini dikirim dari Manila, bukan Goa. Di antara yang
paling penting dari mereka adalah Bernardino Ferrari, seorang Italia, yang
mencapai Tidore dari Manila pada tahun 1580 untuk menjadi pengawas pertama di
Maluku dan Ambon, serta meninggal di Ambon pada tahun 1584. Yang kedua adalah
Antonio Marta, juga seorang Italia,yang menggantikan Ferrari sebagai pengawas
pertama wilayah misi ini pada tahun 1587, dan meninggal di Tidore pada tahun
1598. Kegiatan para Jesuit sebagian besar terdiri dari pengajaran Injil,
membaptis, membangun gereja dan salib-salib besar di setiap negeri Kristen, dan
memberikan komuni kepada mereka yang siap untuk itu. Mereka harus menetapkan
jadwal untuk memungkinkan mereka mengunjungi semua negeri itu. Hambatan bahasa
pasti menjadi hambatan besar bagi imam. Menurut Xaverius :
Setiap pulau dengan dialek bicaranya sendiri, dan bahkan
ada sebuah pulau dimana hampir semua negeri/desa memiliki gaya bicaranya
sendiri-sendiri. Meskipun demikian, bahasa Melayu, yang juga digunakan di
Malaka, sangat umum di sini8
Sepanjang
abad ke-16, para jesuit menggunakan terjemahan bahasa Melayu milik Xaverius
tentang bahan-bahan gereja, seperti credo
dan penjelasan singkatnya, Confessione
Generalis (Pengakuan Umum), Paster
Noster, Ave Maria, Salve Regina dan Sepuluh Perintah (10 Hukum Taurat)9.
Kehidupan para Jesuit, pada dasarnya jauh dari kemudahan. Fransiscus Xaverius
menggambarkan situasi di kepulauan Ambon-Lease dengan kata-kata berikut :
Iklim kepulauan ini sejuk dengan banyak curah hujan. Sebagian
besar tertutup oleh hutan lebat, pegunungannya tinggi dan sulit didaki,
menjadikannya tempat yang aman bagi penduduk, yang berlindung di sana selama
perang. Tidak ada kuda, dan orang tidak bisa menunggang kuda di sini. Gempa
bumi dan “gempa laut” terjadi sangat sering di sini. Perasaan selama “gempa
laut” seperti seolah-olah sebuah kapal terlempar di atas batu. Gempa bumi
sangat menakutkan. Banyak pulau menyemburkan api disertai dengan suara gemuruh,
yang tidak ada bandingannya dengan suara senjata yang paling besar. Api itu
sangat kuat sehingga bisa membawa batu besar dari kawah10.
Masa
tinggal para Jesuit relatif singkat di Ambon, bukan hanya karena
kondisi-kondisi fisik. Permusuhan kaum Muslim di Ambon-Lease adalah penyebab
lain. Nuno Ribeiro (dilatih di Coimbra dan memasuki Serikat Jesuit pada tahun
1543), Jesuit Portugis kedua yang mengunjungi Ambon setelah Xaverius, 2 kali
lolos dari kematian ketika gubuknya dibakar pada malam hari. Tetapi pada 16
Agustus 1548, salah seorang pembantunya memasukan racun kedalam makanannya, dan
setelah menderita selama beberapa hari, ia meninggal pada 23 Agustus 1548.
Selama bertahun-tahun setelah kematiannya, tidak ada kaum jesuit yang
berkunjung ke pulau. António Fernandes (bukan pendeta), yang tiba di Ambon pada
22 Februari 1554, tenggelam sebulan kemudian (12 Maret) selama perjalanan laut
ke pulau Buru, ketika perahunya diterjang badai. Afonso de Castro (lahir di
Lisbon dan memasuki Serikat Jesuit di Goa pada tahun 1547) memulai pekerjaannya
di Ternate pada tahun 1549, dan pada tahun 1555 menghabiskan beberapa bulan di
Ambon sebelum pergi ke Halmahera. Dia disalibkan pada tanggal 1 Januari 1558 di
pulau kecil Hiri, utara Ternate, pada tahun 1556. Pedro Mascarenhas (1570 –
1581) meninggal karena keracunan11.
Lukisan Fransiscus Xaverius |
Terlepas
dari kondisi fisik dan permusuhan umat Islam, makanan juga tampaknya menjadi
masalah besar bagi para kaum Jesuit. Antonio Marta melaporkan bahwa makanan
harian para misionaris tidak jauh berbeda dengan makanan orang lain. Sagu (tepung yang dihasilkan dari pohon palem)
dan ikan adalah hidangan utama. Daging babi jarang terlihat di atas meja,
tetapi sayuran berlimpah, juga buah-buahan, terutama durian. Alih-alih anggur, para imam yang baik minum tuak, zat alkohol yang dihasilkan dari
pohon palem (bukan pohon sagu). Karena kurangnya obat-obatan Eropa, kesehatan
para imam menjadi masalah serius. Tuak
dicampur dengan jus lemon adalah obat standar terhadap banyak penyakit, seperti
halnya kulit pohon manga bara12.
Banyak
pendeta meninggal karena sesuatu yang pada waktu itu dianggap sebagai penyakit
misterius, yang disebut dalam bahasa Melayu yaitu beri-beri. Tentang hal ini, Bernardino Ferrari melaporkan :
Saya melihat 3 imam menderita penyakit ini. Karena
kehilangan kekuatan, Pastor Rodrigues terkontaminasi oleh penyakit yang disebut
beri-beri. Itu di mulai dari kaki, membatasi kebebasan bergerak, dan kemudian ke
kedua lengan, dan berakhir di jantung, diikuti oleh kematian. Pada tahap awal,
penyakitnya masih bisa disembuhkan, tetapi jika sebagian besar tubuh telah
terkontaminasi, itu menjadi fatal13.
Jumlah korban tewas
memang sangat tinggi. Dari 50 misionaris yang mengunjungi Maluku dan Ambon
selama abad ke-16, 17 orang tewas di sekitar wilayah itu, sementara 21 lainnya
meninggal di Asia bagian lain14.
Salah satu dari 17 misionari Portugis,
yang menghabiskan 10 tahun hidupnya di Ambon-Lease, adalah Pastor Pedro
Mascarenhas (1570 – 1581) yang disebutkan sebelumnya. Ia dilahirkan di Arzila,
dan memasuki Serikat di Goa pada tahun 1558. Setelah ditempatkan di daerah
misionaris lainnya, pada tahun 1568 ia mengunjungi Siau (kepulauan Sangir di
Sulawesi Utara), dan tiba di Ambon pada tahun 1569.
Selama tahun-tahun pertama
tinggal di Ambon-Lease, pulau-pulau itu dalam kondisi yang relatif damai, dan
dengan demikian kondusif untuk pekerjaan misionaris. Dalam sepucuk surat kepada
atasannya di Goa dan Roma, dia mengemukakan rencana untuk mempertobatkan
(konversi), bahkan hingga ke pulau yang lebih besar seperti Seram dan Buru, jika
misionaris yang diperlukan dikirim untuk membantunya. Dalam suratnya tertanggal
25 Mei 1570, ia mengatakan bahwa agama Kristen bertumbuh luar biasa di pulau
Ambon :
Karena pulau ini, meski panjangnya tidak lebih dari 20
mil, memiliki 66 pemukiman – yang terkecil tidak termasuk. Yang terkecil dihuni
lebih dari 140 penduduk, dan yang besar sekitar 4.000 hingga 5.000 penduduk.
Saya akan dapat mengunjungi pulau-pulau di sekitarnya, yang jauh lebih besar,
dimana sudah ada sejumlah orang Kristen, dan banyak lagi yang meminta
pembaptisan (dibaptiskan). (dengan ini, yang ia maksud adalah pulau Seram
dan Buru)15
Namun,
Mascarenhas terlalu optimis. Beberapa bulan kemudian, pada tahun 1570, pecah
perang di Maluku dan Ambon-Lease yang dipimpin oleh Sultan Baabulah dari
Ternate. Selama ketiadaan pasukan Portugis, banyak negeri di Ambon-Lease
berpaling dari para Jesuit untuk melindungi diri mereka dari serangan
armada-armada (Ternate). Mascarenhas mengambil inisiatif sendiri pergi ke
Malaka untuk meminta bantuan. Selama perjalanan pulang kembali ke Ambon, ia
dipenjara di Jawa, di tebus dengan gratis, dan tiba di Ambon pada akhir tahun
1572, dimana dia tinggal sampai tahun 1580. Setahun kemudian, dia pindah ke
Tidore dan meninggal di sana pada 6 Desember 158116.
JUMLAH SEBAGAI (UKURAN) KEMAJUAN
Adalah
fakta yang terkenal, bahwa surat-surat dan laporan-laporan kaum Jesuit yang
diterbitkan dan diedarkan di antara para misionaris, selain memberikan
informasi tentang kegiatan para Jesuit di berbagai wilayah misionaris di Asia,
Brasil dan Afrika, juga dimaksudkan untuk memperkuat moral misionaris lain yang
membaca surat-surat yang diterbitkan itu17. Aspek pembinaan dari
surat-surat yang diterbitkan itu, khususnya secara jelas penyebutan dari jumlah
orang yang dipertobatkan. Semakin besar angkanya, semakin mendorng orang lain
untuk bekerja lebih keras. Jumlah persis orang yang bertobat diberikan dalam
surat-surat itu, tetapi selalu dalam jumlah ribuan, sepuluh ribuan, atau
ratusan ribu, yang menekankan pada aspek kuantitas, bukan aspek kualitas.
Mungkin
karena tujuan yang disebutkan di atas menopang sebagian besar surat-surat
Jesuit, tidaklah mudah untuk menentukan sikap penduduk setempat dari teks
tersebut18. Meskipun laporan-laporan ini memberikan informasi
menarik tentang kondisi geografis tempat-tempat yang mereka kunjungi, sosial
dan deskripsi budaya penduduk setempat sebagaian besar disajikan. Salah satu
informasi paling menarik tentang penduduk setempat, adalah menyangkut jumlah
orang yang dipertobatkan19. Jumlah orang Kristen di Ambon dan
kepulauan Lease berfluktuasi mengikuti naik turunnya perang antara Portugis dan
penduduk setempat serta orang-orang Ternate selama periode abad ke-16. Sebelum
kedatangan Xaverius pada bulan Februari 1546, hanya ada 3 komunitas
(kampung/desa/negeri) Kristen. Perdamaian relatif yang terjadi ketika Xaverius
berada di Ambon, memungkinkan untuk meningkatkan jumlah negeri-negeri itu
menjadi 720.
Situasi
yang relatif damai yang berlangsung hingga pertengahan abad ke-16, memang
sangat kondusif bagi pekerjaan para Jesuit di Ambon-Lease. Hasilnya dilaporkan
oleh Afonso de Castro (1555-1557) dalam surat tertanggal 13 Mei 1555. Ia
menyebutkan bahwa jumlah negeri Kristen di pulau Ambon telah meningkat menjadi
30. Laporan lain, selain mengkonfirmasi jumlah negeri Kristen di Ambon yang
dilaporkan oleh Castro, menambahkan 13 negeri di kepulauan Lease, dan
menyampaikan 10.000 sebagai jumlah total orang Kristen di pulau-pulau itu21.
Pada
pertengahan abad ke-16, situasinya berubah secara drastis. Ini dimulai pada
tahun 1557 dengan konflik antara Duarte d'Eça, Kapten benteng Ternate, dan
Hairun Sultan Ternate (1546 – 1570). Duarte d'Eça menahan Hairun dan ibunya
yang sudah lanjut usia di benteng, menyebabkan pemberontakan yang tak terduga
oleh orang Ternate. Pejabat Portugis lainnya di Ternate melepaskan Hairun dan
ibunya, serta mengirimkan Duarte d'Eça ke Goa untuk diadili, tetapi kerusakan
telah terjadi. Setelah dibebaskan, Hairun memulai serangkaian serangan di
kepulauan Ambon22. Pada tahun 1558, ia mengirim armada yang tangguh
yang dipimpin oleh Kaicili Leilato, untuk menyerang negeri-negeri Kristen di
Ambon-Lease. Untuk melawan armada Ternate, Henrique de Sá, Kapten benteng
Ternate yang baru, memimpin armada kecil ke Ambon. Sejak saat itu, kepulauan Ambon-Lease terus
menerus diserang, baik dari Ternate maupun Hitu.
Surat-surat
dari para Jesuit di pulau-pulau itu berulang kali dikirim ke atasan mereka di
Goa dan Roma, mengeluh tentang kurangnya perhatian yang dilakukan oleh otoritas
Portugis terhadap situasi yang memburuk di pulau-pulau itu. Pada akhirnya,
keluhan dari para Jesuit membuahkan hasil. Pada tahun 1562, Goa mengirim António
Pais dengan armada untuk menjadi Kapten pertama di Ambon23. Dia
diperintahkan untuk membangun benteng yang lebih kuat di daerah-daerah yang
bersahabat, tetapi musuh terlalu kuat. Pais gagal membangun benteng dan
kehilangan nyawanya dalam pertempuran.
Suara-suara
yang lebih kuat mulai terdengar dari Generale
Society di Roma. Bahkan di Lisbon, Raja Sebastião muda menuntut Raja Muda
di Goa untuk mengurus situasi di kepulauan Ambon-Lease. Pada tahun 1576, Goa
merespon dengan mengirimkan armada yang jauh lebih yang dipimpin oleh Gonçalo
Pereira Marramaque, yang tinggal di daerah itu sampai tahun 1571. Selama
periode itu, surat-surat dari para Jesuit kembali optimis. Dalam surat
tertanggal 31 Januari 1566, Luís de Góis melaporkan bahwa pada waktu itu, ada
sekitar 70.000 orang Kristen di Maluku dan Ambon-Lease24.
Selama
tahun-tahun berikutnya, perang mulai meningkat kembali. Pada tahun 1570, Sultan
Hairun dibunuh oleh Kapten Portugis di Ternate, dan putranya sekaligus
penggantinya, Baabullah (1570 – 1583) menyatakan perang melawan Portugis hingga
kematiannya. Dalam sebuah surat dari Goa yang ditujukan kepada General di Roma, Pero Nunez, yang
bekerja selama beberapa tahun di Ambon, menulis :
Saat ini
hanya ada sejumlah kecil orang Kristen di Ambon dan Lease, hanya sekitar 4.000
hingga 5.000 orang25.
Sementara Baabullah memusatkan serangannya di Ternate
dan Halmahera Utara, di Ambon – Lease keadaannya tidak begitu buruk. Laporan
tahun 1578 dari Goa ke Roma, menyatakan bahwa di pulau-pulau itu, ada sekitar
10.000 hingga 11.000 orang Kristen26. Meskipun begitu, Baabullah tak
pernah benar-benar meninggalkan Ambon – Lease selalu dalam keadaan tenang. Pada
tahun 1580, atasan kedua, Pastor Bernardino Ferrari, melaporkan dari Ambon
bahwa di pulai itu hanya ada 6 atau 7 negeri Kristen yang tersisa27.
Situasi ini berlanjut sampai kedatangan armada Portugis yang dipim oleh Furtado
de Mendonça pada tahun 1601.
PERSEKUTUAN DI ANTARA NEGERI-NEGERI
Meskipun
tidak ada satu pun surat atau laporan dari para Jesuit yang memberikan
deskripsi atau pemetaan lengkap dari semua negeri Kristen di Ambon – Lease,
penyebutan yang berulang tentang nama-nama negeri tersebut dalam bentuk surat
dan laporan sepanjang abad ke-16, memungkinkan untuk kita mengenali pola yang
stabil pemukiman tertentu, khususnya di Pulau Ambon. Polanya menjadi jauh lebih
jelas ketika kita membandingkan nama-nama dalam surat-surat Jesuit dengan
deskripsi yang diberikan oleh Rumphius dalam karyannya Ambonsche Landbeschrijving [Deskripsi Kepulauan Ambon] yang ditulis
pada tahun 167928.
George Everhardus Rumphius
adalah seorang pegawai dari Perusahaan Belanda Hindia Timur (VOC) keturunan
Jerman (nama Jermannya adalah Georg Rumph).
Dia memulai berkarir sebagai seorang prajurit di VOC pada tahun 1653, dan 4
tahun kemudian menjadi karyawan sipil dengan pangkat koopman (pedagang) yang ditempatkan di Larike dan kemudian di Hila
(pusat perdagangan cengkih Belanda), kedua tempat itu di semenanjung Hitu.
Selain karyanya, Rumphius memiliki kebiasaan mengumpulkan sampe fauna dan flora
Ambon – Lease. Meskipun di tahun-tahun berikutnya, ia menjadi buta, dengan
bantuan seorang pegawai yang disediakan oleh perusahaan (VOC), ia mampu menulis
2 manuskrip tentang fauna dan flora pulau-pulau itu dengan ilustrasi yang indah
dan artistik. Kaum Naturalis pada saat itu terkesan dengan karyanya, dan pada
tahun 1681, Academia Naturae Curiosorum di
Wina menganggapnya sebagai Plinus
Indicum. Naskah-naskah ini tidak diterbitkan hingga abad ke- 18. Dua
manuskrip lain yang lahir dari tangannya adalah Ambonsche Landbeschrijving, yang belum pernah diterbitkan, dan Ambonsche Historie [Sejarah Ambon],
diterbitkan pada tahun 191029.
Ambonsche
Landbeschrijving sebenarnya adalah
deskripsi umum tentang negeri-negeri di pulau Ambon-Lease, lengkap dengan silsilah
keluarga kepala-kepala/pemimpin negeri-negeri yang terpenting. Untuk deskripsi
negeri-negeri di Hitu, Rumphius bergantung pada naskah lain – Hikayat Tanah Hitu. Naskah yang ditulis oleh Imam Rijali, Imam
paling terkenal di masjid Hitu, saat dalam pengasingan di Makasaar pada tahun
1680an, dan tampaknya telah segera beredar di Hitu30. Selain
pengetahuan pribadinya sendiri itu, untuk informasi tentang Leitimor, Rumphius
menyebutkan sebuah buku berjudul Oost-Indische
Schetsboek [East India Scrapbook] yang ditulis oleh seorang Jaricus31.
Berdasarkan
naskah Rijali, Rumphius menggambarkan 30 negeri Muslim di semenanjung Hitu,
yang dikelompokkan menjadi 7 federasi negeri-negeri atau uli [Hitu memang berarti 7]. Federasi negeri-negeri tersebut adalah
:
1.
Uli Helawan : Negeri Hunut, Tomu dan Mosapal
2.
Uli Sailesi : Negeri Mamala, Polut,
Hausihol, Loyen dan Liang
3.
Uli Sawani : Negeri Wakal, Pelisa, Eli,
Sanelo, Hukunalo
4.
Uli Hutunuku :
Negeri Kaitetu, Nukuhai, Tealaa, Wawani, Esen
5.
Uli Ala :
Negeri Seith, Hautuna, Lebelau, Wausela, Laing
6.
Uli Nau-Binau :
Negeri Nau, Binau, Henelehu, Henelale, Henelatu
7.
Uli Solemata :
Negeri Tulehu, Tial dan 2 lainnya
Deskripsi
oleh Rumphius tentang aliansi/persekutuan negeri-negeri di Leitimor, mengikuti
pola yang sangat berbeda dari Rijali. Pada dasarnya ia mengelompokkan
negeri-negeri menjadi unit-unit prau, elemen
utama organisasi VOC yang terdiri dari sejumlah prau atau kora-kora32 dari Ambon – Lease, untuk membantu
Gubernur dalam berpatroli di kepulauan setiap tahun. Rumphius menyebut 12
kora-kora di pulau Ambon, masing-masing diawaki oleh penduduk negeri dari
sekelompok negeri yang dipimpin oleh 1 negeri sebagai pemimpinnya. Dari uraian
Rumphius, jelas bahwa satuan prau
pasti didasarkan pada aliansi uli atau
negeri yang masih berfungsi pada abad ke-16, meskipun tidak setiap unit prau yang disebutkan oleh Rumphius
sebagai Uli.
Satuan-satuan
prau itu adalah :
1.
Nusaniwe :
Negeri Seilale, Latuhalat, Amahusu, Hatu
2.
Kilang :
Negeri Kilang, Naku, Hatala / Hatalai
3.
Soya :
Negeri Soya, Amantelo, Ahusen, Uritetu
4.
Halong :
Negeri Halong, Hatiwe Kecil, Lateri
5.
Hatiwe :
Negeri Hatiwe,Tawiri, Hukunalo, Rumatiga
6.
Ema :
Negeri Ema, Hukurila, Rutong, Lateri
7.
Maridika
8.
Alang :
Negeri Alang, Lilibooi
9.
Urimesing :
Negeri Urimesing, Kappa, Seri
10.
Hutumuri
11.
Baguala :
Negeri Baguala dan Suli
12.
Waai
Deskripsi aliansi/persekutuan negeri-negeri di
Hitu harus sesuai dengan kenyataan karena didasarkan pada pengetahuan pribadi
Rijali, ketika ia berada di Hitu dan dikenal sebagai imam masjid di Hitu dan
anggota penting dari klan Nusatapi33.
Rijali juga menyebutkan sebuah lembaga koordinasi yang terdiri dari 4
pejabat/fungsionaria atau Empat Perdana (bahasa
Melayu), yang dipilih masing-masing dari
4 klan yang membentuk Uli Helawan :
Tanahitumesing, Nusatapi, Totohatu dan Pati
Tuban. Salah satu dari 4 pejabat/fungsionaris dari klan Tanahitumesing, juga dianggap sebagai
juru bicara untuk uli-uli lainnya (Portugis secara keliru menamakan pejabat ini
sebagai Raja Hitu). Setelah Portugis
menjadikan Hitu, sebagai stasiun transit mereka ke dan dari Malaka, mereka
menunjuka Kapitan Hitu yang dipilih
dari klan Nusatapi, yang bertanggung
jawab dalam soal hubungan antara Hitu dan Portugis.
Federasi
negeri-negeri di semenanjung Leitimor yang digambarkan oleh Rumphius, sama
seklai berbeda dari yang ada di Hitu. Tidak ada lembaga koordinasi di Letimor
karena fungsi ini, tentu saja, ada di tangan Portugis. Satu Uli yang disebut Rumphius sebagai satuan
prau, yaitu Nusaniwe tidak ada lagi, yaitu uli
terbesar, terkuat dan terkaya di Leitimor di paruh terakhir abad ke-16. Urimesing, uli besar lainnya pada
periode yang sama, kemudian menjadi bagian dari kota Ambon. saat ini tidak ada
nama negeri dengan nama Baguala, dan Mardika jelas bukan uli karena itu adalah tempat bagi para mardijkers34.
SIMBIOSIS
DIKOTOMIS
Menurut Rijali dan
Rumphius, sistem federasi negeri-negeri di Hitu adalah bagian yang termasuk
dari Ulilima, dan sistim di Leitimor
adalah bagian yang termasuk dari Ulisiwa.
Ini adalah prinsip organisasi sosial yang sangat familiar/umum di Maluku
dan Ambon – Lease. Sejumlah pejabat Belanda pada abad ke-19 dan awal abad
ke-20, juga menyadari sistem tersebut, tetapi baru pada tahun 1930an, para
akademisi, terutama para antropolog mulai mempelajari organisasi-organisasi
sosial ini.
Van Wouden membuka
diskusi soal ini pada tahun 193535, diikuti oleh Manusama pada tahun
1977 yang disebutkan sebelumnya36, kemudian oleh Van Fraasen pada
tahun 198737, dan oleh Andaya pada tahun 199338. Van
Wouden menyebutkan suatu “dualisme” di antara orang Seram, orang-orang yang
termasuk Patasiwa di Seram Barat, dan
Patalima di Seram Timur, hena [negeri dengan karakteristik feminim] dan
aman [negeri dengan karakteristik
laki-laki]39. Kedua belah pihak saling bergantung satu sama
lain. Manusama menganalisis sistem di Hitu. Van Fraasen menganalisis soa
sebagai divisi/pembagian teritorial di pulau Ternate berdasarkan prinsip yang
sama. Dan Andaya menunjukan fakta bahwa ada “dualisme” antara Ternate dan
Tidore sejak abad ke-16 hingga abad ke-18. Ternate termasuk sistem Ulilima, dan Tidore bagian dari sistem Ulisiwa. Keduanya bergantung satu sama
lain, suatu ketergantungan yang dilembagakan oleh, antara lain, Tidore sebagai
pihak pemberi istri kepada Sultan
Ternate, dan Sultan Ternate sebagai penerima
istri dari Tidore.
Saya (penulis) ingin
menyarankan di sini, bahwa organisasi sosial ini, harus dilihat sebagai
simbiosis dikotomis. Dalam hal ini Ulilima
Hitu tidak mungkin ada tanpa Ulisiwa Leitimor,
maupun Ulilima di barat laut pulau
Haruku dengan Ulisiwa di barat daya
pulau Haruku, atau Ulilima di Saparua
dan Ulisiwa di pulau yang sama (pulau
Saparua). Kedua bagian, berbeda dari yang lain, tetapi yang satu hanya bisa
mengidentifikasi dirinya sendiri, jika yang lain ada di sana.
Dengan
demikian, serangan terus menerus, perang dan Kristenisasi selama kehadiran
Portugis di abad ke-16 juga merupakan perjuangan di antara orang-orang Ambon –
Lease untuk melestarikan simbiosis – dikotomik itu. Hitu, yang pada awalnya
berteman dengan Portugis, kemudian mulai melihat Portugis sebagai ancaman terhadap
identitas mereka sebagai bagian ulilima dari
Ambon dan Maluku, dan sebagai Muslim di dunia kepulauan Indonesia yang lebih
luas. Ulisiwa mungkin melihat Portugis
sebagai kesempatan untuk mempertahankan identitas mereka sebagai bagian ulisiwa. Penerimaan agama Kristen juga
menempatkan para ulisiwa di dunia
yang jauh lebih luas.
Ulilima Hitu
melawan para fidalgo dan memaksa
mereka meninggalkan Hitu Utara dan pindah ke pantai selatan, tempat
negeri-negeri bagian dari ulisiwa, sementara
ulisiwa mengambil kesempatan
menggunakan Portugis sebagai perlindungan terhadap serangan Hitu dan tuntutan
pajak oleh Ternate.
Sejarah
penyebaran agama Kristen dimulai pada aliansi/persekutuan negeri Hatiwe di
pantai selatan Hitu, seperti yang diceritakan oleh Rumphius dalam Ambonsche Landbeschrijving- nya. Menurut
sumbernya, sebelum Portugis bergerak dari sisi utara Hitu ke selatan, konflik
terjadi di Hatiwe di antara 2 pemimpin klan untuk masalah kepemimpinan uli. Salah satu dari mereka, Alaputila,
demikian ceritanya, berhasil mendapatkan bantuan dari Portugis. Ketika Hitu
menyerang dan menghancurkan Hatiwe, Alaputila, istrinya, saudara lelakinya dan
sejumlah penduduk pergi ke Malaka untuk meminta bantuan. Alaputila meninggal di
Malaka, tetapi keluarganya menjadi Kristen. Isterinya kemudian bernama Dona
Jubal, sementara saudaranya menjadi Dom Manuel, dan kembali ke Hatiwe untuk
menjadi pemimpin federasi. Sebagian besar orang Hatiwe kemudian harus menganut
agama Kristen oleh para Fransiskan. Dengan demikian Dom Manuel berhasil
mempertahankan identitas ulisiwa Hatiwe.
Hal ini pasti terjadi pada tahun 1538, ketika Laksamana António Azevedo tiba di
pulau-pulau itu untuk menyerang Hitu dan mengusir mereka dari pantai selatan.
Namun, setelah Azevedo meninggalkan wilayah itu, dan tanpa kekuatan yang kuat,
Portugis diusir keluar dari Hatiwe oleh Hitu, dan Dom Manuel serta penduduk
negeri dipaksa untuk mengikuti Portugis. Pertama, Portugis menetap di Poka
(federasi ulisiwa di pantai selatan Hitu), dimana mereka membangun benteng kayu
yang baru40. Pada saat ini, negeri Rumatiga (juga di pantai selatan
Hitu) juga meminta perlindungan Portugis dan menjadi Kristen41.
Federasi lain di Leitimor pasti mengikuti, ketika Portugis pindah ke Halong di
pantai utara Leitimor. Setiap kali sebuah negeri meletakan nasibnya di tangan
para fidalgo, para Jesuit mengikuti untuk melakukan pekerjaan mereka sendiri.
Ketika Xaverius meninggalkan pulau-pulau itu, sudah ada 7 negeri Kristen (dia
tidak menyebutkan nama negeri-negeri itu)42. Pada pertengahan abad
ke-16, Pastor Castro melaporkan bahwa jumlah negeri Kristen telah meningkat
menjadi sekitar 30, dan laporan menyebutkan ada 13 di pulau-pulau lain43.
Meskipun
Castro tidak menyebutkan nama-nama negeri Kristen, jumlah yang dia berikan
tidak berbeda jauh dari jumlah (dan nama) negeri-negeri Kristen yang disebutkan
oleh Rumphius dalam Ambonsche
Landbeschrijving- nya. Ini berarti bahwa dari pertengahan abad ke-16 hingga
kedatangan armada terakhir di Ambon – Lease yang dipimpin oleh oleh André
Furtado de Mendonça pada tahun 1601, tidak ada perubahan nyata yang terjadi
pada jumlah negeri-negeri Kristen.
Seperti
disebutkan sebelumnya, para Jesuit yang ditinggal sendirian, mulai menulis ke
Goa dan Roma mengeluh tentang situasi mereka. Akhirnya, Roma dan Lisbon
merespon pada tahun 1560an. António Pais
dikirim dengan armada pada tahun 1562, dengan instruksi untuk membangun benteng
yang lebih kuat, tetapi Pais gagal membangun benteng itu, dan mati dalam
pertempuran44. Laksamana Gonçalo
Marramaque juga datang pada tahun 1567, tetapi ia juga meninggal pada tahun
1571. Penggantinya sebagai kapten Ambon, Sancho Vasconcelos, berhasil membangun
benteng di Honipopu antara tahun 1575 dan 1576 serta menamainya Nossa Senhora da Anunciada45.
Tetapi itu tidak banyak membantu sampai kedatangan Furtado de Mendonça pada tahun 1601.
Ini
tidak berarti bahwa selama paruh terakhir dari abad ke-16, para Jesuit tidak
melakukan pekerjaan mereka, tetapi sebagian besar penduduk negeri “menutup
diri” dan berkomunikasi dengan para Jesuit sesedikit mungkin. Hanya beberapa
dari mereka yang berhasil memerangi kesultanan Ternate, seperti negeri Oma di
Haruku, Ullath di Saparua, dan Kilang di Leitimor. Di Leitimor, pasukan
pertahanan dipimpin oleh Dom Manuel, pemimpin Hatiwe, yang penduduknya tinggal
di dekat benteng baru46.
KESIMPULAN
Karya para Yesuit di Ambon-Lease mencapai
puncaknya pada pertengahan abad ke-16. Pada waktu itu sekitar 30 negeri/desa di
pulau-pulau itu telah menjadi Kristen (sekitar jumlah yang sama juga adalah
negeri Muslim). Ini adalah pencapaian luar biasa oleh para Jesuit. Keadaan ini
terus berlanjut hingga saat ini. Secara tidak sengaja, para Jesuit juga
merupakan faktor paling penting di pulau-pulau itu. Karena kehadiran mereka di
Ambon – Lease, simbiosis dikotomis dipulihkan antara Muslim Ulilima dan Kristen
Ulisiwa.
Catatan Kaki
1.
Suatu terminologi umum bagi 4 pulau di Maluku Tengah adalah “
Ambon – Lease”, yang juga digunakan dalam kajian ini
2.
Pemakaian nama-nama topografis, personal dan nama lainnya
sebagai indikator-indikator fakta-fakta historis diilhami oleh microhistori,
suatu metodologi yang dirintis oleh Carlo Ginzburg. Lihat Edward Muir dan Guido
Ruggiero, Microhistory and the Lost
People of Europe. Jhon Hopkins University Press, 1991
3.
Diskusi dalam kajian ini berfokus pada tahun-tahun mulai 1546,
ketika Jesuit pertama tiba di Ambon hingga tahun 1580, ketika Portugal dibawah
kekuasaan Spanyol dan kaum Jesuit dari negara-negara lain memasuki wilayah ini
dari Manila.
4.
Informasi mengenai misionaris-misionaris Portugis diambil dari
karya klasik C. Wessels, S.J., De Geschiedenis der RK Missie in Amboina,
1546-1606 [The Roman Catholic Mission in Amboina, 1546-1606],
Nijmegen-Utrecht: N. V. Dekker, van de Vegt, J. W. van Leeuwen, 1926.
5.
Terminologi “ Maluku” yang dipergunakan di sini merujuk pada
Maluku Utara (dewasa ini merupakan Provinsi Maluku Utara) dan “Ambon – Lease”
digunakan untuk merujuk pada bagian dari Maluku Tengah atau bagian dari
Propinsi Maluku di masa kini.
6.
Ia mengirim keponakannya, Vasco de Freitas ke Ambon untuk
membangun sebuah benteng kecil dekat Hatiwe. Saya (penulis) tak bisa menemukan informasi
lanjutan tentang orang ini atau tentang klaim dari keluarga ini.
7.
Wessels, op. cit., hal. 175-193.
8.
Wessels, op. cit., hal. 18.
9.
Dokumen-dokumen telah disalin beberapa kali dan digunakan di
Maluku dan Ambon, dan Wessels tidak bisa menemukan beberapa contoh dari
dokumen-dokumen itu selama peneletian untuk bukunya. Lihat Wessels, op.cit., hal 20. Catatan kaki
10.
Dalam sebuah hijuela, diterbitkan
dalam Monumenta Xaveriana I, hal 404 –
406, disalin dari Wessels, op. cit., hal.18.
11.
Wessels, op. cit., hal. 22, 23, 26, 27, 29, 77, 78.
12.
Wessels, op. cit., hal. 94, 95.
13.
Wessels, op. cit., hal. 74.
14.
Fransiscus Xaverius meninggal dalam perjalanannya menuju China
di pulau Sanchoan dekat muara West River pada 27 November 1552.
15.
Wessels, op. cit., hal. 48, 49.
16.
Wessels, op. cit., hal. 182.
17.
Leonard Y. Andaya, The World of Maluku. Eastern Indonesia in the
Early Modern Period. Honolulu: University of Hawaii Press, 1993, hal. 17.
18.
Andaya menyimpulkan bahwa kaum pribumi/orang lokal menerima
ritual-ritual Katholik, tetapi bukan doktrin-doktrin Kristen. Andaya, op.cit. hal 128.
19.
Surat-surat dan laporan-laporan yang dipublikasikan antara lain,
oleh Acosta (1571), dan Avisi-Diversi (1558), Avisi-Nuovi (1559), Avisi-Nuovi (1571),
suatu compendium oleh Polanco (1894-1898), dan Monumenta Xaveriana (1912).
Kajian ini berdasarkan pada dokumen-dokumen yang digunakan oleh Wessels.
20. Wessels,
op. cit., hal 12, 20.
21.
Wessels, op. cit., hal. 29.
22. Wessels,
op. cit., hal. 31, 32.
23. Wessels,
op. cit., hal. 40.
24. Wessels,
op. cit., hal. 40-44.
25. Wessels,
op. cit., hal. 62, 63
26. Wessels,
op. cit., hal. 68.
27. Wessels,
op. cit., hal. 73.
28. Manuskrip
itu ada tersimpan di Algemeen Rijksarchief (Arsip-arsip umum Kerajaan) di
Haque, dan yang lainnya di Arsip Nasional RI di Jakarta. Arsip yang di Jakarta
di transkripsi oleh Dr.Z.J. Manusama untuk arsip nasional dalam tahun 1983.
29. Di muat
pada Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde van Nederlandsch - Indie 64. The Hague: Martinus Nijhoff
(1910).
30. Transkripsi,
terjemahan, diberi catatan dan dianalisis oleh Z.J. Manusama dalam naskah
thesis Ph.D miliknya di Universitas Leiden pada tahun 1977.
31.
Saya tak bisa menemukan manuskrip ini di Perpustakaan Nasional
di Jakarta.
32. Kora-kora pada
masa tertentu dikhususkan untuk berperang dan penyergapan. Itu merupakan prau yang besar dengan 2 “semang” tempat
para pendayung dapat duduk, dan di dalam situ umumnya ada kelompok para
pendayung. Armada kora-kora dipersenjatai dengan meriam kecil (lila) dan dioperasi oleh para serdadu
33. Setelah
VOC menghancurkan sistem Empat Perdana, Rijali
berhasil melarikan diri ke Makasar, dimana Pattilangoan, Perdana Menteri
Pertama Kerajaan Goa Tallo yang terkenal dan cerdas menjadi mentornya. Ia
(Rijali) menulis Hikayat Tanah Hitu saat
di Makasar.
34. Mereka
juga dapat ditemui di kota-kota kompeni lainnya seperti Batavia atau Makasar.
Mereka aslinya berasal dari budak-budak Portugis dari pemukiman-pemukiman orang
Portugis di India, dan setelah dibebaskan dan dikristenkan, mereka disebut atau
dikategorisasikan sebagai Mardijker, sehingga
negeri/lokasi tempat tinggal mereka menggunakan nama Mardika.
35. F. A.
E. van Wouden, Sociale structuurtypen in de Groote Oost, Ph.D. thesis,
Leiden University, 1935 (Terjemahan oleh R. Needham. Types of Social Culture in
Eastern Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff, 1968).
36. Z. J.
Manusama, “Hikayat Tanah Hitu,” Ph.D. thesis, Leiden University, 1977.
37. Ch. F.
van Fraassen, ”Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel,” 2 vols. Ph.D.
thesis, Leiden University, 1987.
38. Leonard Y. Andaya, The World of Maluku:
Eastern Indonesia in the Early Modern Period, Honolulu: University of
Hawaii Press, 1993.
39. Hena, dari ina
or ibu, aman dari ama yang bermakna ayah/bapak.
40. Benteng-benteng
Portugis yang dibangun di Ambon diuraikan oleh Hubert Jacobs, S.J. “Wanneer werd de stad Ambon gesticht. Bij een
vierde eeuwfeest,” [When was the city of Ambon built? On the occasion of the
fourth centenary commemoration], in Bijdragen tot de Taal- Land- en
Volkenkunde, vol. 131, no. 4 (1975), hal. 427- 460.
41.
Hatiwe, Poka dan Rumatiga mungkin adalah 3 negeri Kristen yang
telah dikonversi kaum Fransiskan sebelum kedatangan Xaverius. Wessels, op.
cit., hal. 6.
42. Wessels,
op. cit., hal. 12.
43. Wessels,
op. cit., hal. 29.
44. Wessels,
op. cit., hal. 40.
45. Wessels,
op. cit., hal. 32, 34, 38, 40.
46. Hubert
Jacobs, S. J., op. cit., hal. 459.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar