Kata Pengantar
Artikel
ini adalah artikel yang telah berusia “tua”, sudah berusia 31 tahun, ditulis
oleh alm. Richard Zakarias Leirissa. Artikel ini bersama artikel-artikel lain
misalnya dari Edward.L. Polinggomang, Mestika Zed, P.M. Napitupulu, Rusdi Sufi
dan lain-lain, dikompilasi dan dibukukan dengan judul besar Pendidikan Sebagai Faktor Dinamisasi
dan Integrasi Sosial, yang diterbitkan oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan : Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Jakarta,
tahun 1989.
Sesuai
judulnya, Leirissa menyoroti tentang bentuk pendidikan terkhususnya di wilayah
Maluku Tengah pada masa kolonial (penjajahan), pada periode abad ke-19 dan
ke-20. Leirissa menulis bahwa pada
periode itu, ada 2 bentuk pendidikan dalam hal ini bentuk sekolah secara umum,
yaitu Midras dan Ambonsche
Burger School (ABS). Midras dikelola oleh
pihak Gereja atau Zending, sedangkan ABS oleh pihak pemerintah atau
Gouvernment.
Artikel
sepanjang 37 halaman ini (hal 53 – 89) berisi 54 catatan kaki, dan 6 tabel, dan
disajikan dalam bahasa Indonesia. Kami hanya menampilkan ulang saja, dengan
pertimbangan, mungkin saja ada yang belum sempat membacanya. Selain itu, agar
kita minimal bisa mengetahui sejarah pendidikan di Maluku Tengah pada masa
kolonial itu.
Pada
artikel ini, kami hanya menambahkan beberapa foto untuk mempermanis isi kajian,
dan beberapa catatan tambahan yang kami anggap perlu untuk diperjelas, dan
membagi dalam beberapa bagian agar tidak terlalu panjang. Akhir kata, selamat membaca dan selamat
menambah wawasan kesejarahan kita.
Pendahuluan
Maluku Tengah
merupakan salah satu wilayah yang sangat penting
di awal masa penjajahan. Eksploitasi rempah-rempah yang berpusat di sana, menyebabkan daerah
itu menjadi perhatian utama
dalam abad ke-17. Sebab itu perubahan-perubahan ekonomi yang berhubungan dengan
perdagangan rempah-rempah, merupakan
salah satu faktor yang sangat penting dalam perkembangannya1.
Cash-crop melibatkan desa-desa di sana dalam perekonomian dunia, jauh sebelum
wilayah-wilayah lainnya di Nusantara.
Namun
dalam abad ke-19 peranan ekonomis wilayah itu mundur. Perhatian kolonialisme beralih
ke tempat-tempat lain. Pada
saat yang sama dibangun pula suatu sistem administrasi pemerintahan yang lebih terpusat.
Sistem pendidikan pun mendapat perhatian pemerintah2.
Pada saat-saat
kemunduran ekonomik itu, nampak suatu gejala
yang menarik di Maluku Tengah. Sistem pendidikan mengalami perkembangan yang
mencolok, lebih dari sebelumnya. Timbul dan perkembangan sistem pendidikan yang
dinyatakan dengan
bentuk sekolahnya (bentuk midras dan Ambonsche Burger School) terlepas dari inisiatif Batavia yang sejak pertengahan abad ke-19
mulai membangun sistem pendidikan bumiputera
(Inlandsch
Onderwijs) sesuai
dengan kebutuhan-kebutuhan di Jawa. Baru dalam awal abad ke-20 sistem
pendidikan di Maluku Tengah berhasil disinkronisasikan dengan bibit
yang bertumbuh di Jawa itu. Namun
demikian pengaruh sistem pendidikan
abad ke-19 itu sangat mendalam, melampaui struktur formalnya. Sistem pendidikan
termaksud dibina oleh pihak Zending
(sekolah midras) dan pemerintah daerah (ABS).
Pengaruh kalangan
gereja Protestan dalam sistem pendidikan di Maluku Tengah berasal dari masa
VOC. Dengan sendirinya ada
perbedaan antara sistem pendidikan pada masa VOC dan pada masa Zending (abad ke-19). Namun
pada dasarnya wujud pendidikan
pada kedua jaman itu sama saja, yaitu pengajaran
agama. Nuansa-nuansanya akan dikemukakan juga dalam makalah ini sekedar untuk memperlihatkan perbedaan itu. Suatu sistem pendidikan yang lain sama sekali dari sekolah - sekolah midras3 itu adalah Ambonsche Burger School yang didirikan pemerintah daerah itu pada tahun 1858. Aspek agama sama sekali tidak nampak di sini. Sebab itu pengaruhnya dalam masyarakat juga sangat berbeda dengan pengaruh sekolah-sekolah tipe midras tersebut.
agama. Nuansa-nuansanya akan dikemukakan juga dalam makalah ini sekedar untuk memperlihatkan perbedaan itu. Suatu sistem pendidikan yang lain sama sekali dari sekolah - sekolah midras3 itu adalah Ambonsche Burger School yang didirikan pemerintah daerah itu pada tahun 1858. Aspek agama sama sekali tidak nampak di sini. Sebab itu pengaruhnya dalam masyarakat juga sangat berbeda dengan pengaruh sekolah-sekolah tipe midras tersebut.
Makalah ini mencoba
membandingkan kedua lembaga pendidikan
tersebut (Midras dan ABS). Penelitian ini dilakukan
berdasarkan sumber-sumber sejarah sekunder (buku-buku dan artikel). Sangat disayangkan,
bahwa beberapa buku dan artikel
penting tidak bisa ditemukan untuk makalah ini. Artikel Kroeskamp4 yang membahas sistem pendidikan Zending juga
tidak sempat dipakai, sehingga
kesimpulan-kesimpulannya tidak bisa
dibandingkan.
ABS di Ambon (1925) |
Penggunaan
sumber-sumber sekunder tersebut (yang sudah sering kali digunakan oleh pihak-pihak
lain dengan tujuan lain pula),
bisa dibenarkan bila maksud dan tujuan pembeberan-nya lain pula. Karena kalau
tidak demikian maka yang dihasilkan hanyalah pengulangan-pengulangan saja dari
apa yang sudah pernah
ditulis.
Penggunaan
sumber-sumber sekunder dengan demikian bila
dilakukan dengan hasil yang baik, apabila kerangka penelitian dibuat sedemikian
rupa sehingga memperlihatkan maksud dan
tujuan tertentu. Dalam hal itu ada kebiasaan dalam ilmu sejarah untuk mengadoptasi (saya
kurang senang menggunakan istilah ("meminjam") konsep-konsep ilmiah
dari ilmu - ilmu sosial, dalam hal ini sosiologi pendidikan.
Salah
seorang sosiolog besar yang membuka jalan bagi sosiologi pendidikan adalah Max Weber.
Apabila tujuan sistem pendidikan
adalah "to transmit knowledge and believe", maka Weber mengajukan suatu kerangka yang
memperlihatkan "pengalihan
pengetahuan dan kepercayaan"
kepada masyarakat dengan maksud menghasilkan suatu elite kekuasaan.
Contoh yang ditemukannya adalah sistem
pendidikan mandarin di
Cina4a
Sekalipun Weber
menentukan bahwa sistem pendidikan mandarin
itu dapat digolongkan sebagai sistem pendidikan keagamaan, jelas modelnya itu tidak
bisa digunakan dalam kesempatan ini. Sistem pendidikan Zending jelas lain
sekali karena ajaran-ajaran
agama Protestan dengan Konfusianisme jauh berbeda. ( Tidak mengherankan bila
ada yang berpendapat bahwa Konfusianisme
bukan agama tetapi suatu etika). Tetapi
pembedaan Weber atas sistem pendidikan dari masa ke masa menarik perhatian. Pembagian
itu didasarkan atas pembagian Weber tentang kekuasaan. Sistem pendidikan
pertama yang
bersifat kharismatik ditemukan dalam masyarakat tradisional untuk menghasilkan
pemimpin perang, pemimpin agama suku
dan lain-lain. Yang kedua adalah sistem pendidikan untuk menghasilkan "the
cultivated man"
seperti kaum mandarin tersebut, dan yang ketiga adalah sistem pendidikan untuk
menghasilkan birokrat yang rasional5
Apabila kita
perhatikan sistem pendidikan Zending dalam abad
ke-19 dapat dikatakan bahwa sistem itu termasuk tipe kedua
tersebut, dan sistem pendidikan ABS bisa dimasukkan dalam sistem ketiga. Namun
di sini diperlukan catatan tambahan. Pertama, sistem pendidikan Zending
tersebut tidak bertujuan menghasilkan suatu elite, apalagi elite kekuasaan.
Sistem pendidikan ABS sekalipun menghasilkan pejabat-pejabat birokrasi rendahan
(klerk) dalam masyarakat kolonial, tetapi juga tidak bisa dikatakan bertujuan
membina elite kekuasaan. Kedua sistem pendidikan itu masih tergolong
"tradisional" dalam arti "a
training ground for imitative adjustment to an established society"6.
Kedua sistem pendidikan itu tidak bisa disamakan
dengan sistem pendidikan yang dihasilkan sejak zaman Etische Politiek yang
mempunyai ciri-ciri yang sama dengan sistem pendidikan modern yang bertujuan
sebagai "an introduction into an
already dynamic society"7. Sebab itu jelaslah nampak bahwa
tipologi Weber tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi masyarakat kolonial. Dalam
makalah ini dua aspek dari kedua sistem pendidikan itu akan disoroti. Pertama
adalah tujuan dari sistem pendidikan itu (nilai-nilai apa yang diteruskan).
Kedua adalah hubungan-hubungan kedua sistem pendidikan itu dengan sistem - sistem
sosial lainnya, seperti pemerintah, gereja, desa, kota dan lain-lain8.
Di
sini 'aspek-aspek organisasi formal dari kedua sistem pendidikan itu hanya disinggung
sepintas lalu saja. Organisasi informalnya sama sekali tidak dikemukakan. Ini disebabkan
data jenis itu terdapat dalam sumber-sumber sekunder. Untuk taraf itu penelitian harus didasarkan
sumber sumber primer (bahan archivologia).
Christelijke School di Ambon (1919) |
Sistem Pendidikan Midras
Istilah "midras" digunakan
dalam dokumen-dokumen dan tulisan-tulisan resmi maupun tidak resmi di abad
ke-19 untuk menamakan sistem pendidikan yang dikelola oleh pihak Zending.
Tetapi ini tidak berarti bahwa sistem pendidikan di Maluku Tengah baru muncul
dalam abad ke-19. Sudah sejak 1609 pihak VOC berusaha untuk membuka sekolah di
kota Ambon. Sistem pendidikan itu baru berkembang dengan datangnya para pendeta
Belanda sejak tahun 1615. Usaha-usaha para pendeta itu membawa hasil seperti
terlihat dalam angka-angka di bawah ini. Angka-angka itu menunjukkan, bahwa
sampai pertengahan abad ke-17 hampir setiap desa di kepulauan cengkih di Maluku
Tengah (Ambon, Saparua, Haruku, dan Nusalaut) sudah mempunyai sekolah. Hanya
daerah-daerah yang tidak menghasilkan cengkih di Maluku Tengah yang tidak ada sekolahnya
(Seram, Buru, dan lain-lain)9
Tabel I
Tahun
|
Jumlah
sekolah
|
Keterangan
|
1627
1645
1660 |
30
33 31 26 |
di keempat pulau
di keempat pulau di pulau Ambon di ketiga pulau lain |
Sebab itu usaha-usaha pihak
Zending dalam abad ke-19 sebenarnya merupakan penerusan dari sistem pendidikan
yang sudah ada di masa VOC tersebut. Pihak Zending sebenarnya diundang oleh
pemerintah Hindia Belanda untuk mengelola sekolah-sekolah tersebut.
Sekembalinya Belanda ke Maluku
pada tahun 1817, pemerintah hanya mendirikan satu sekolah Belanda di kota Ambon, yaitu Europeesch Lagereschool (ELS) yang diperuntukkan bagi anak-anak Belanda, seperti juga sekolah sejenis yang didirikan di Batavia dan lain-lain. Sekolah - sekolah desa yang didirikan di masa VOC tetap terbengkalai. Sebab itu Gubernur Maluku P. Merkusa mengajak pihak Nederlandsche Zendings Genootschap (Perkumpulan Zending Belanda) untuk menanganinya. Pendeta Belanda di Ambon (Gerickeb) juga mendesak. Maka pada tahun 1834 NZG mengirim seorang "zendingsleeraar" (guru zending) ke Ambon. Sejak itu sampai tahun 1864 sekolah-sekolah dari masa VOC itu dikelola oleh pihak Zending.
pada tahun 1817, pemerintah hanya mendirikan satu sekolah Belanda di kota Ambon, yaitu Europeesch Lagereschool (ELS) yang diperuntukkan bagi anak-anak Belanda, seperti juga sekolah sejenis yang didirikan di Batavia dan lain-lain. Sekolah - sekolah desa yang didirikan di masa VOC tetap terbengkalai. Sebab itu Gubernur Maluku P. Merkusa mengajak pihak Nederlandsche Zendings Genootschap (Perkumpulan Zending Belanda) untuk menanganinya. Pendeta Belanda di Ambon (Gerickeb) juga mendesak. Maka pada tahun 1834 NZG mengirim seorang "zendingsleeraar" (guru zending) ke Ambon. Sejak itu sampai tahun 1864 sekolah-sekolah dari masa VOC itu dikelola oleh pihak Zending.
Seperti halnya dalam masa VOC
sekolah-sekolah tipe Midras tersebut, bertujuan untuk mengajarkan agama Kristen.
Dalam masa VOC kurikulum sekolah desa terdiri atas pelajaran - pelajaran
sembahyang, menghapalkan ayat-ayat kitab suci, sedikit membaca dan menulis, berhitung
tidak penting. Menyanyi dengan sendirinya penting karena upacara-upacara
keagamaan tidak terlepas dari seni suara. Namun karena kurangnya alat-alat
sekolah, maka dalam periode-periode tertentu di masa VOC, kurikulum itu pun
tidak dapat dijalankan secara sempurna Sering alat-alat tulis tidak ada
sehingga pelajaran menulis
sama sekali ditiadakan. Hanya sekolah di benteng Victoria (kota Ambon) saja yang selalu lengkap10. Jadi penambahan jumlah sekolah belum tentu berarti perbaikan mutunya.
sama sekali ditiadakan. Hanya sekolah di benteng Victoria (kota Ambon) saja yang selalu lengkap10. Jadi penambahan jumlah sekolah belum tentu berarti perbaikan mutunya.
Dalam abad ke-19 kurikulum dari
masa VOC'tersebut diperbaiki. Tekanan masih tetap pada pendidikan agama. Pihak Zending
di Belanda (NZG) menekankan, bahwa pendidikan yang mereka kelola di Maluku itu
terutama bertujuan "mendidik anak-anak menjadi anggauta gereja Kristen11.
Dengan demikian penghapalan ayat-ayat
Kitab Suci masih merupakan bagian yang paling penting. Tetapi di samping itu
terdapat pula pelajaran-pelajaran lainnya yang menunjang pelajaran pertama itu,
seperti Ilmu bumi Palestina, Sejarah Palestina (yang berkaitan dengan isi Kitab
Suci). Pelajaran menyanyi ditingkatkan.
Malah sejak ini orkes suling digalakkan sehingga hampir setiap desa memiliki orkes sulingnya untuk melayani gereja. Tetapi pelajaran-pelajaran "duniawi" tidak kurang penting. Membaca, dan menulis ditingkatkan, sekalipun kebanyakan hanya Kitab Suci dijadikan "text-book", walau buku-buku lainnya
ada. Pelajaran berhitung juga menjadi penting dan dicantumkan dalam kurikulum. Tetapi apabila ditimbang, maka tekanan utama adalah pada pengetahuan agama, pengetahuan lainnya diajarkan untuk menunjangnya.
Malah sejak ini orkes suling digalakkan sehingga hampir setiap desa memiliki orkes sulingnya untuk melayani gereja. Tetapi pelajaran-pelajaran "duniawi" tidak kurang penting. Membaca, dan menulis ditingkatkan, sekalipun kebanyakan hanya Kitab Suci dijadikan "text-book", walau buku-buku lainnya
ada. Pelajaran berhitung juga menjadi penting dan dicantumkan dalam kurikulum. Tetapi apabila ditimbang, maka tekanan utama adalah pada pengetahuan agama, pengetahuan lainnya diajarkan untuk menunjangnya.
Di masa VOC masalah yang dihadapi
sistem pendidikan ini, selain kekurangan alat-alat, adalah keinginan orang tua
untuk membiarkan anak-anaknya ke sekolah. Dengan kata lain, ujuan pendidikan belum
dipahami masyarakat. Sejak sekolah pertama dibuka di kota Ambon pada tahun 1609c,
para orang
tua keberatan anak-anaknya dimasukkan ke sekolah. Alasan mereka adalah: anak-anak mempunyai kewajiban membantu orang tua di kebun dan di laut. Pernah pada tahun 1619, Pendeta Dackaertsd mendesak Gubernur Jenderal J.P. Coen agar memberi imbalan beras bagi setiap anak setiap kali mereka memasuki sekolah (1 pond setiap hari). Tetapi kemudian dikeluarkan peraturan-peraturan yang lebih kejam, sejak pertengahan abad ke-17, Setiap anak berusia 10-12 tahun diharuskan masuk sekolah. Hukuman bagi orang tua yang tidak menaati peraturan ini adalah hukuman denda dalam bentuk uang. Karena paksaan-paksaan ini, sistem pendidikan dalam abad ke-17 dianggap sebagai suatu hukuman, atau penderitaan12.
tua keberatan anak-anaknya dimasukkan ke sekolah. Alasan mereka adalah: anak-anak mempunyai kewajiban membantu orang tua di kebun dan di laut. Pernah pada tahun 1619, Pendeta Dackaertsd mendesak Gubernur Jenderal J.P. Coen agar memberi imbalan beras bagi setiap anak setiap kali mereka memasuki sekolah (1 pond setiap hari). Tetapi kemudian dikeluarkan peraturan-peraturan yang lebih kejam, sejak pertengahan abad ke-17, Setiap anak berusia 10-12 tahun diharuskan masuk sekolah. Hukuman bagi orang tua yang tidak menaati peraturan ini adalah hukuman denda dalam bentuk uang. Karena paksaan-paksaan ini, sistem pendidikan dalam abad ke-17 dianggap sebagai suatu hukuman, atau penderitaan12.
Masalah ini rupanya
berangsur-angsur dapat diatasi sehingga sekolah mulai diterima oleh masyarakat
sebagai suatu hal yang penting. Namun timbul masalah lain. yaitu masalah mutu
dari guru dan alat/bahasa pengantar di sekolah. Hal-hal tersebut menyangkut
keberhasilan sistem pendidikan itu, yakni
menjadikan anak didik orang Kristen (anggauta gereja) yang baik. Ternyata dalam hal ini sistem pendidikan di masa VOC sangat lemah.
menjadikan anak didik orang Kristen (anggauta gereja) yang baik. Ternyata dalam hal ini sistem pendidikan di masa VOC sangat lemah.
Pertama, adalah bahasa perantara.
Ketika sekolah-sekolah pertama didirikan di kota Ambon pada tahun 1609,
diusahakan untuk menggunakan bahasa Belanda. Usaha ini dihapuskan sama sekali
pada tahun 1620-an. Ternyata murid-murid sekolah itu tidak dapat menggunakan bahasa
itu. Beberapa orang bisa menggunakannya sedikit-sedikit. Tetapi setelah mereka
meninggalkan sekolah pada usia 12 tahun atau 13 tahun, bahasa itu mereka lupa
sama sekali. Dan dengan demikian apa yang diajarkan pun tidak bisa bertahan
lama, kalaupun dimengerti.
Sebab itu para pendeta sejak
tahun 1615 sudah mencoba menggunakan bahasa Melayu. Bahasa ini memang dikenal
di beberapa desa pesisir di pulau Ambon yang dalam masa sebelum VOC mempunyai
hubungan-hubungan dagang dengan pelbagai daerah di Nusantara. Bahasa pengantar
dalam dunia dagang itu seperti juga di tempat-tempat lainnya di Nusantara)
adalah bahasa Melayu. Maka pelbagai ayat dan lagu rohani mulai diterjemahan ke
dalam bahasa Melayu. Terjemahan yang paling terkenal dari pelbagai kotbah
adalah dari Pendeta Carone yang berasal di Ambon antara tahun 1671
dan 1674. Sampai abad ke-19 terjemahan itu terus diulang cetak dan dipakai.
Usaha membuat kamus pun dilakukan, antara lain oleh pendeta Dackaerts(
1622-1626).
Sekalipun bahasa ini tidak dikenal
di semua desa di Maluku Tengah, namun pihak pendidik beranggapan bahwa bila
bahasa itu diajarkan di sekolah-sekolah, maka lambat laun penduduk bisa
mengertinya, dan dengan demikian kotbah-kotbah yang diterjemahkan dalam bahasa
itu juga bisa dipahami oleh anggauta-anggauta gereja. Sekolah mendapat tugas
tambahan, yaitu mengajarkan bahasa Melayu pada anak-anak, terutama di desa desa
terpencil.
Terjemahan-terjemahan dan kotbah-kotbah
tersebut dilakukan dalam bahasa "Melayu-Rendah" atau bahasa Melayu yang
digunakan oleh kaum pedagang. Dalam akhir abad ke-17 timbul pihak-pihak yang mengajukan
pendapat bahwa bahasa "Melayu Rendahan" tidak cocok, atau tidak
sanggup mengungkapkan isi ajaran-ajaran agama Kristen. Perbendaharaan kata
(kosa kata) dari bahasa itu hanya menyangkut masalah perdagangan. Pihak-pihak
ini mengakui bahwa bahasa itu mudah diajarkan. Tetapi kemudahan itu justru
disebabkan tidak adanya sistem (peraturan) tertentu yang berlaku umum. Setiap orang
membuat peraturannya sendiri. Sebab itu seringkali muncul untaian kata-kata
tanpa suatu sistem tertentu, sehingga artinya pun tidak jelas. Bahasa seperti
ini tidak bisa dipakai untuk menyampaikan ajaran agama.
Pihak pengritik ini menganjurkan
untuk menggunakan bahasa daerah saja. Namun keberatannya adalah demikian banyaknya
dialek di Maluku Tengah. Malah pada waktu itu di satu pulau saja bisa terdapat
beberapa dialek. Cara ini sangat sulit untuk usaha menterjemahkan teks-teks
kotbah ataupun ayat-ayat Kitab Suci. Bahasa Belanda jelas tidak bisa, seperti
disebut di atas.
Sebuah sekolah di Siri Sori Islam (1928) |
Sebab itu ada yang datang dengan
usul untuk menggunakan bahasa "Melayu Tinggi" (yaitu bahasa Melayu
kesusasteraan). Usul ini terutama datang dari para pejabat di Batavia yang
kurang memperhatikan keadaan di daerah-daerah. Para pendeta di Ambon mengajukan
keberatan karena penduduk tidak mengerti bahasa itu sama sekali. Namun usul itu
diterima baik oleh para Direktur VOC di negeri Belanda. Seorang pendeta di Batavia,
Leydekker, yang sudah memahami bahasa kesusasteraan tersebut, lalu ditugaskan
menterjemahkannya Kitab Suci. Versinya kemudian diperbaiki lagi (oleh pendeta
Werndley) dan diterbitkan dalam tahun 1730-an. Kitab Suci terjemahan Leydekker
inilah yang dipakai di Maluku sampai akhir abad ke-19. malah di beberapa tempat
sampai awal abad ke-20.
Sejak itu sekolah-sekolah
diharuskan mengajarkan bahasa "Melayu Tinggi" itu. Berangsur-angsur
bahasa Melayu yang bersumber pada Kitab Suci versi Leydekker tersebut menjadi baku
dalam masyarakat. Bila diingat, bahwa Kitab Suci tersebut praktis menjadi
satu-satunya "text book" yang umum dipelbagai sekolah sejak pertengahan
abad ke-18, maka dapatlah dimengerti betapa pengaruhnya dalam hal kosa kata dan
struktur kalimat bahasa yang digunakan penduduk. Menurut pelbagai pengamat,
bahasa tersebut tidak dapat dikatakan bahasa "Melayu Tinggi (bila dibandingkan
dengan kesusasteraan Melayu), dan juga bukan "bahasa Melayu
Rendahan". Bahasa itu di pelbagai kalangan dikenal dengan nama
"bahasa Melayu Gereja" (Kerk Maleisch). Banyak sekali terdapat
kata-kata asing yang berasal dari bahasa Arab. Persia dan lain-lain. Susunan
kalimatnya pun khas13. Sampai
di mana bahasa ini berhasil menyampaikan makna Kitab Suci Kristen belum pernah
diteliti.
Masalah yang kedua yang
menghambat sistem pendidikan di masa VOC sehingga mutunya diragukan, adalah
masalah pengadaan guru. Sudah tentu beberapa orang pendeta yang dikirim
pelbagai gereja di Belanda tidak bisa menangani sekian banyak sekolah di Maluku
Tengah. Dalam masa VOC tidak penah ada suatu sekolah guru. Sekolah tipe ini
memang masih asing di dunia, termasuk di Belanda14. Sebab itu pengadaan guru juga dilakukan
secara tradisional. Setiap orang pendeta mengambil beberapa anak muda sebagai
"murid" di rumahnya, biasanya tidak lebih dari empat orang. Mereka
diajarkan membaca, menulis, menghapal ayat-ayat, berhitung, menyanyi lagu-lagu
rohani. Juga para guru kepala ("Opperschoolmeester") mempunyai
kewajiban ini Sering pula para pejabat pemerintahan mendapat tugas seperti itu.
Dalam abad ke-18 para pendidik tersebut mendapat bayaran dari VOC. Setelah
melampaui
status "murid" selama tiga empat tahun, para pemuda tersebut dianggap sudah bisa menjadi guru. Pengusulannya dilakukan oleh "pendidik"nya bila terdengar ada lowongan guru di suatu desa tertentu.
status "murid" selama tiga empat tahun, para pemuda tersebut dianggap sudah bisa menjadi guru. Pengusulannya dilakukan oleh "pendidik"nya bila terdengar ada lowongan guru di suatu desa tertentu.
Namun ini pun tidak bisa menjamin
mutu guru. Jelas mutu mereka berbeda dengan para pendeta yang mendapat
pendidikan formal dalam bidang teologia di Belanda. Memang diusahakan untuk
mengumpulkan para guru ini sebulan sekali di Ambon untuk mendapat semacam
"refreshing" dari pendeta
Belanda. Tetapi keadaan perhubungan tidak memungkinkan pekerjaan ini berjalan lancar. Selain itu ada pula pejabat agama dari kalangan orang Belanda, yang dinamakan "krankerbezoekers" (bukan pendeta) yang mengawasi sistem pendidikan ini (mereka harus menginspeksi setiap sekolah dalam rayon
masing-masing sebulan sekali). Juga pendeta yang mengadakan kunjungan gereja bisa mengadakan pengawasan. Pengawasan terutama dilakukan atas perangai para guru yang sering menggunakan para muridnya untuk kepentingannya sendiri (berkebun, ke laut, dan lain-lain ).
Belanda. Tetapi keadaan perhubungan tidak memungkinkan pekerjaan ini berjalan lancar. Selain itu ada pula pejabat agama dari kalangan orang Belanda, yang dinamakan "krankerbezoekers" (bukan pendeta) yang mengawasi sistem pendidikan ini (mereka harus menginspeksi setiap sekolah dalam rayon
masing-masing sebulan sekali). Juga pendeta yang mengadakan kunjungan gereja bisa mengadakan pengawasan. Pengawasan terutama dilakukan atas perangai para guru yang sering menggunakan para muridnya untuk kepentingannya sendiri (berkebun, ke laut, dan lain-lain ).
Sistem pendidikan guru yang formal baru dibuka
pada tahun 1835 oleh pihak Zending. Sebagai realisasi dari permintaan Gubernur
Merkus dan desakan pendeta Gericke tersebut diatas. maka pada tahun 1834
Nederlandsche Zendings Genootschap mengirim B.N.J. Roskott ke Ambon dengan
tugas khusus
mendirikan sekolah guru. Pada mulanya NZG ingin mendirikan sebuah sekolah khusus untuk mendidik pekerja Zending di kalangan orang Ambon. Tetapi pemerintah Hindia Belanda berkeberatan. Campur tangan mereka dalam kurikulum sekolah itu akhirnya melahirkan sebuah sekolah untuk mendidik guru,
sekalipun tugasnya juga mencakup pelayanan agama. Sekolah yang dibangun di desa Batumerah (dekat kota Ambon itu terbagi dua bagian. Kelas awal yang mengajarkan membaca, menulis pengetahuan agama, dan berhitung, juga mengajarkan bahasa Melayu rendahan. Kelas awal ini dipegang oleh seorang
guru yang dididik Roskot, yaitu Picauly15. Kelas lanjutan diajar oleh Roskot dengan mata pelajaran yang sama selain metode penggunaan Kitab Suci. cara menafsirkan ayat-ayat, bahasa Melayu Tinggi (untuk itu dibuatkan kamus istilah-istilah penting dalam Kitab Suci versi Leydekker). Pelajaran meniup suling menjadi kewajiban pula. Dalam tahun-tahun terakhir, kelas lanjutan juga diberi pelajaran bahasa Belanda16.
mendirikan sekolah guru. Pada mulanya NZG ingin mendirikan sebuah sekolah khusus untuk mendidik pekerja Zending di kalangan orang Ambon. Tetapi pemerintah Hindia Belanda berkeberatan. Campur tangan mereka dalam kurikulum sekolah itu akhirnya melahirkan sebuah sekolah untuk mendidik guru,
sekalipun tugasnya juga mencakup pelayanan agama. Sekolah yang dibangun di desa Batumerah (dekat kota Ambon itu terbagi dua bagian. Kelas awal yang mengajarkan membaca, menulis pengetahuan agama, dan berhitung, juga mengajarkan bahasa Melayu rendahan. Kelas awal ini dipegang oleh seorang
guru yang dididik Roskot, yaitu Picauly15. Kelas lanjutan diajar oleh Roskot dengan mata pelajaran yang sama selain metode penggunaan Kitab Suci. cara menafsirkan ayat-ayat, bahasa Melayu Tinggi (untuk itu dibuatkan kamus istilah-istilah penting dalam Kitab Suci versi Leydekker). Pelajaran meniup suling menjadi kewajiban pula. Dalam tahun-tahun terakhir, kelas lanjutan juga diberi pelajaran bahasa Belanda16.
Antara 1835 sampai 1864 sekolah
guru Roskoot ini menghasilkan lebih dari seratus orang "guru midras".
Berangsur-angsur setiap sekolah desa di kepulauan Ambon, Haruku, Saparua, dan
Nusalaut. mendapat guru-guru yang terdidik. Seorang petugas NZG yang mengadakan
kunjungan ke sekolah-sekolah
NZG di Nusantara ini mendapat kesan yang sangat baik mengenai sekolah bumiputera itu. Sampai-sampai "sekolah model" yang terdapat di lingkungan sekolah guru itu mendapat pujiannya. Di sinilah ia menyaksikan metode pengajar yang juga dipakai di sekolah-sekolah desa. Pelajaran utama disampaikan
dengan cara tanya jawab (suatu cara mengajar agama Protestan yang klasik). "Tanya jawab berlangsung sedemikian bergairahnya, sehingga nampak sebagai sesuatu yang berlainan dengan kebiasaan pribumi"17.
NZG di Nusantara ini mendapat kesan yang sangat baik mengenai sekolah bumiputera itu. Sampai-sampai "sekolah model" yang terdapat di lingkungan sekolah guru itu mendapat pujiannya. Di sinilah ia menyaksikan metode pengajar yang juga dipakai di sekolah-sekolah desa. Pelajaran utama disampaikan
dengan cara tanya jawab (suatu cara mengajar agama Protestan yang klasik). "Tanya jawab berlangsung sedemikian bergairahnya, sehingga nampak sebagai sesuatu yang berlainan dengan kebiasaan pribumi"17.
Sekolah yang dikelola Zending di abad ke-19 ini mempunyai beberapa kelainan dengan sekolah-sekolah yang dikelola para pendeta di masa sebelumnya. Pertama-tama kadar pelajaran "sekuler" sudah lebih bertambah dari pada sebelumnya. Apabila dalam masa VOC berhitung, umpamanya, tidak dimasukkan dalam kurikulum sekalipun diajarkan (hal mana menunjukkan bahwa mata pelajaran itu dianggap tidak penting), makadi masa Zending berhitung termasuk salah satu pelajaran wajib. Juga Ilmu Bumi diperluas menjadi Ilmu Bumi Maluku dan tidak saja Ilmu Bumi Palestina. Tetapi pelajaran Sejarah belum dimasukkan, hanya sejarah Kitab Suci (berkaitan dengan isinya). Peralatan juga sudah lebih baik. Sekolah guru tersebut mempunyai suatu percetakan sehingga alat-alat bacaan dapat disediakan dengan cukup baik. Selain itu pelbagai kitab bacaan disediakan selain Kitab Suci versi Leydekker tersebut18.
Mutu guru juga bisa diawasi sebab
kebiasaan berkumpul setiap bulan sekali (Rabu pertama setiap bulan) diteruskan
oleh Roskott. Roskott yang menjadi "Schoolopziener voor Inlandsche schoolen*'
(penilik sekolah bumiputera) mengepalai sekolah-sekolah itu. Sebagai anggauta
dari Sub-Commisie van het Onderwijs ia berkesempatan mengadakan perjalanan
keliling untuk mengunjungi sekolah-sekolah. Para guru juga digaji oleh
pemerintah walau tidak banyak (f 6 sampai f 15 setiap bulan). Organisasi guru
juga sudah cukup baik. Setiap guru mempunyai kepangkatan sendiri, mulai dari
Guru Kelas Satu sampai Kelas Empat dan Calon Guru19. Pengangkatan mereka dilakukan beslit oleh
Gubernur, yang dikuatkan
oleh Gubernur Jenderal. Kenaikan pangkat menurut umur dan prestasi.
oleh Gubernur Jenderal. Kenaikan pangkat menurut umur dan prestasi.
Hambatan satu-satunya yang
dihadapi para guru midras ini adalah dari para penguasa desa. Para kepala desa
sering menganggap guru sebagai saingannya. Dalam hal percekcokkan antara guru
dan kepala desa sering penduduk setempat terpaksa memihak pada kepala desa.
Sebab itu dalam keadaan seperti itu sering guru yang bersangkutan dipindahkan,
tidak peduli apakah dia benar atau salah20.
Sekalipun demikian masyarakat
mulai menerima adanya suatu kelompok yang dinamakan guru midras. Peranan mereka
cukup besar dalam membawa masyarakat Maluku Tengah ke suatu tingkat yang lebih
baik, yaitu dari tingkat/keadaan masyarakat yang illiterate menjadi masyarakat
yang literate. Selain itu, tanpa para guru midras ini tidak bisa dibayangkanbetapa keadaan agama Kristen di Maluku
Tengah. Perluasan agama ini di
wilayah itu pada dasarnya adalah jasa para guru midras. Perkembangan pengawasan Zending atas
sistem pendidikan di Maluku Tengah dalam pertengahan abad ke-19 mulai
dipertanyakan oleh pemerintah. Terutama campur tangan para guru midras dan para Zending (Belanda)
dalam masalah-masalah pemerintahan desa menimbulkan kritik dari pihak
pemerintah. Sebab itu usul Roskott pada Weddikf agar para guru
dan Zending diberi kekuasaan yang
lebih luas dengan sendirinya ditolak21. Pertentangan ini meningkat
pada tahun 1854 ketika
pemerintah melarang pihak Zending mengawasi pendidikan. Sekalipun demikian
hubungan Roskott dengan bekas muridnya
tetap berlangsung melalui jabatan-jabatannya tersebut di atas. Martabatnya
tetap tinggi dalam masyarakat Maluku,
antara lain karena ia juga menjadi anggauta istimewa Raad van Justitie. Tetapi akhirnya
Roskott sendiri bertentangan dengan pimpinan NZG di Nederland22. Sebelum sekolah-sekolah Zending itu
diambilahh sepenuhnya oleh pemerintah pada tahun 1864. Roskott sudah dipecat
oleh NZG23.
Sikap pemerintah
Hindia Belanda yang mulai menentang pengawasan
pendidikan oleh Zending sejak pertengahan 1850-an itu bisa dimengerti apabila
diketahui bahwa sejak 1848 pemerintah
sudah mulai membuka sekolah-sekolahnya sendiri di Jawa. Inilah yang oleh sementara
sejarawan dianggap sebagai
awal dari Inlandsch Onderwijs di Indonesia. Penghapusan peranan Zending pada tahun 1864 itu disebabkan karena sejak itu sistem pendidikan bumi putera dikoordinir oleh seorang pejabat (J.A. van der Chijs) yang diberi tugas sebagai "Inpectuer van het Inlandsch Onderwijs". Sejak itu diusahakan suatu sistem pendidikan yang menyeluruh di Nusantara. Namun perkembangan yang khas di Maluku (juga di Minahasa dan Timor) menyebabkan sistem pendidikan di sana sulit disinkronkan dengan sistem pendidikan yang muncul di Jawa dan Sumatera. Penghapusan peranan Zending dinyatakan secara formal dalam Peraturan Pemerintah tahun 1871 (nautaliteits beginsel). Pada dasarnya politik pendidikan sejak itu mengeluarkan pengajaran agama dari pendidikan umum. Pemerintah harus netral dalam soal agama. Ini merupakan salah satu dari prinsip - prinsip Aufklarung yang muncul di Eropa abad ke-18 tetapi baru bisa dipakai di nusantara dalam abad ke-1924 . Sejak itu sekolah-sekolah Zending tidak terdapat lagi di Maluku sampai awal abad ke-20. Tetapi sekolah-sekolah yang ada selama abad ke-19 tidak dapat begitu saja menghilangkan warna yang diperoleh selama maa pembinaan Zending itu. Ini dapat kita lihat dalam laporan-laporan para pejabat dan bagian kedua abad ke-1925.
awal dari Inlandsch Onderwijs di Indonesia. Penghapusan peranan Zending pada tahun 1864 itu disebabkan karena sejak itu sistem pendidikan bumi putera dikoordinir oleh seorang pejabat (J.A. van der Chijs) yang diberi tugas sebagai "Inpectuer van het Inlandsch Onderwijs". Sejak itu diusahakan suatu sistem pendidikan yang menyeluruh di Nusantara. Namun perkembangan yang khas di Maluku (juga di Minahasa dan Timor) menyebabkan sistem pendidikan di sana sulit disinkronkan dengan sistem pendidikan yang muncul di Jawa dan Sumatera. Penghapusan peranan Zending dinyatakan secara formal dalam Peraturan Pemerintah tahun 1871 (nautaliteits beginsel). Pada dasarnya politik pendidikan sejak itu mengeluarkan pengajaran agama dari pendidikan umum. Pemerintah harus netral dalam soal agama. Ini merupakan salah satu dari prinsip - prinsip Aufklarung yang muncul di Eropa abad ke-18 tetapi baru bisa dipakai di nusantara dalam abad ke-1924 . Sejak itu sekolah-sekolah Zending tidak terdapat lagi di Maluku sampai awal abad ke-20. Tetapi sekolah-sekolah yang ada selama abad ke-19 tidak dapat begitu saja menghilangkan warna yang diperoleh selama maa pembinaan Zending itu. Ini dapat kita lihat dalam laporan-laporan para pejabat dan bagian kedua abad ke-1925.
Ambonsche
Burger School
Sekolah berbahasa Belanda
sebenarnya sudah ada di pelbagai tempat seperti di Batavia. Sejak tahun 1817
pemerintah Hindia Belanda mendirikan beberapa sekolah berbahasa Belanda di
kota-kota penting demi kebutuhan masyarakat Belandanya. Di kota Ambon sejak itu
pun ada sebuah Europeesch Lagere School (ELS). Sekalipun sudah sejak tahun 1818
ELS bisa juga dimasuki orang-orang bumi putera (dari kalangan berkuasa), namun
sangat sedikit yang memanfaatkan kesempatan im Peraturan yang menyatakan ELS
terbuka untuk bumiputera dinyatakan pula pada tahun 186426.
Dapat dikatakan, bahwa baru dalam
bagian terakhir dari abad ke-19, sekolah Belanda itu populer di kalangan orang Indonesia.
ELS dianggap sebagai sistem pendidikan Barat dan tidak digolongkan dalam sistem
pendidikan bumiputera yang mulai dibuka di Jawa pada tahun 1848 atau sistem
pendidikan
Zending di Maluku dan Minahasa, Sangir, Timor). Sistem pendidikan terakhir itu digolongkan sebagai Inlandsch Onderwijs, dan ciri khasnya adalah bahasa Melayu.
Zending di Maluku dan Minahasa, Sangir, Timor). Sistem pendidikan terakhir itu digolongkan sebagai Inlandsch Onderwijs, dan ciri khasnya adalah bahasa Melayu.
Terlepas dari perkembangan ELS,
di kota Ambon pada tahun 1858 dibuka suatu sekolah dengan nama AmbonscheBurger
School. Sekolah ini terutama untuk anak-anak golongan burger, serta anak-anak kepala
desa. Ciri khasnya adalah bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda. Jadi
sekalipun digolongkan Inlandsch Onderwijs karena sekolah itu bukan untuk orang
Belanda, namun bahasa pengantarnya sama dengan di ELS. Sekolah semacam ini
untuk wilayah-wilayah lainnya di Nusantara baru dibuka secara umum pada tahun 1914
(HIS. Hollandsch Inlandsche School). Jadi seperti halnya dengan sekolah-sekolah
Zending, ABS pun mempunyai akar-akar yang berbeda sama sekali dengan sistem
pendidikan modern yang dimulai di Jawa pada pertengahan abad ke- 19. Sampai
tahun 1911 (ketika Saparoeascheschool, dan lain lain dibentuk). ABS merupakan
satu-satunya sekolah jenis itu.
Berbeda dengan sistem pendidikan
pedesaan (midras). ABS adalah sekolah “sekuler". Pelajaran agama sejak
semula tidak ada. Tujuan pendidikan juga berlainan. Banyak lulusan ABS yang
dipekerjakan sebagai klerk di kantor-kantor pemerintah, tidak saja di Ambon
tetapi di pelbagai tempat di luar Maluku. Perbedaan lainnya dengan midras
adalah usul usul murid-muridnya. Apabila midras diperuntukkan bagi segenap
lapisan masyarakat pedesaan. ABS hanya untuk golongan "burgers" dan
putra-putra kepala desa. Selain menggunakan bahasa Belanda, guru gurunya juga
bukan lulusan Kweekschool Roskott. tetapi orang Belanda. Buku-buku yang
digunakan juga berasal dari ELS. Pendeknya ABS adalah versi
"Inlandsch" dari ELS, suatu tipe sekolah yang baru muncul secara umum
di Indonesia pada tahun 191427.
Golongan burgers dalam sejarah
Maluku menduduki tempat tersendiri. Mereka muncul sejak awal abad ke-17 ketika
bekas pegawai VOC mulai menjadi bagian dari penduduk kota Ambon. Selain itu ada
pula bekas pengikut Portugis yang dibebaskan VOC pada tahun 1605 (ketika Ambon
direbut dari Portugis) dan yang mendapat tempat pemukiman sendiri (sampai
sekarang masih ada Kampung Mardika). Dalam tahun 1646 komposisi
"burgerij" tersebut di Kota Ambon adalah sebagai berikut:
§ Belanda,
15 orang (pria)
§ Mestizien.
16 orang (pria)
§ Pampangers
10 orang (pria)
Golongan burgers mempunyai status
tersendiri dalam masyarakat. Pada umumnya mereka beragama Kristen. Karena bukan
penduduk desa mereka tidak diwajibkan mengerjakan heerendiensten dan lain-lain.
Kebanyakan mereka menjadi pedagang atau tukang. Sejak masa pendudukan Inggris
jumlah
burgers bertambah pesat. Status burger mulai diberikan pula pada penduduk setempat yang pernah menjadi tentara Inggris. Sesudah itu pemerintah Belanda juga membenarkan orang orang yang mempunyai pekerjaan di kota (tukang, pedagang) mendapatkan status itu. Maka timbullah kategori 'Inlandsche
burgers". Dalam abad ke-19 jumlah mereka makin banyak, di setiap kota benteng ada golongan ini. Selain itu orang-orang Asia yang tidak berasal dari wilayah ini dimasukkan juga sebagai burgers (Moorsche burgers). Mereka berkewajiban ikut mempertahankan kota sehingga diharuskan mengadakan latihan-latihan militer. Terbentuklah suatu pasukan yang dinamakan Schutterij, di mana anggauta-anggautanya terbagi atas "Europeesche Burgers", 'Inlandsche burgers", dan "Moorsche burgers".
burgers bertambah pesat. Status burger mulai diberikan pula pada penduduk setempat yang pernah menjadi tentara Inggris. Sesudah itu pemerintah Belanda juga membenarkan orang orang yang mempunyai pekerjaan di kota (tukang, pedagang) mendapatkan status itu. Maka timbullah kategori 'Inlandsche
burgers". Dalam abad ke-19 jumlah mereka makin banyak, di setiap kota benteng ada golongan ini. Selain itu orang-orang Asia yang tidak berasal dari wilayah ini dimasukkan juga sebagai burgers (Moorsche burgers). Mereka berkewajiban ikut mempertahankan kota sehingga diharuskan mengadakan latihan-latihan militer. Terbentuklah suatu pasukan yang dinamakan Schutterij, di mana anggauta-anggautanya terbagi atas "Europeesche Burgers", 'Inlandsche burgers", dan "Moorsche burgers".
Di antara pelbagai kelompok
burgers itu 'Inlandsche burgers"-lah yang paling banyak jumlahnya.
Termasuk di dalamnya adalah 'Inlandsche kinderen", yaitu anak-anak yang ayahnya
adalah orang Belanda. Kelompok ini mempunyai ciri-ciri yang sangat berlainan
dengan penduduk desa. Kebanyakan mereka mengambil gaya hidup orang Belanda.
Mereka berpakaian pantalon, bersepatu dan bertopi, atribut-atribut
mana tidak pernah terdapat pada penduduk desa. Banyak di antaranya yang pandai berbahasa Belanda, tetapi umumnyahanya berbahasa Melayu. Keadaan ekonomi mereka sangat parah karena golongan burgers tidak diizinkan mengerjakan tanah, suatu prerogatip dari penduduk pedesaaan. Tidak jarang golongan ini menjadi beban pemerintah karena cara hidup mereka yang liar serta bertendens kriminal. Golongan penduduk Belanda meremehkan mereka karena asal-usul mereka dianggap tidak murni, sebaliknya burgers beranggapan bahwa status burger memberikan hak yang lebih tinggi dari penduduk pedesaan. Orang desa dianggap sebagai golongan yang lebih rendah28. Masyarakat yang mengandalkan keturunan Eropa
ini memang memiliki potensi-potensi tertentu sehingga dibentuklah ABS tersebut.
mana tidak pernah terdapat pada penduduk desa. Banyak di antaranya yang pandai berbahasa Belanda, tetapi umumnyahanya berbahasa Melayu. Keadaan ekonomi mereka sangat parah karena golongan burgers tidak diizinkan mengerjakan tanah, suatu prerogatip dari penduduk pedesaaan. Tidak jarang golongan ini menjadi beban pemerintah karena cara hidup mereka yang liar serta bertendens kriminal. Golongan penduduk Belanda meremehkan mereka karena asal-usul mereka dianggap tidak murni, sebaliknya burgers beranggapan bahwa status burger memberikan hak yang lebih tinggi dari penduduk pedesaan. Orang desa dianggap sebagai golongan yang lebih rendah28. Masyarakat yang mengandalkan keturunan Eropa
ini memang memiliki potensi-potensi tertentu sehingga dibentuklah ABS tersebut.
Status burger di Maluku mulai memudar
ketika sistem monopoli dihapuskan di tahun 1864. Ini disebabkan
kewajiban-kewajiban penduduk desa yang menyebabkan mereka dipandang rendah,
yaitu heerendiensten (kerja wajib untuk pemerintah) dihapuskan. Dengan demikian
penduduk desa tidak lagi dibedakan dengan penduduk kota. keduanya diwajibkan
membayar semacam pajak (f 1 setiap orang per
tahun). Selain itu kemunduran ekonomi menyebabkan kehidupan di kota-kota juga mulai mundur, hal mana sangat mempengaruhi kelompok 'Inlandsche Burgers" tersebut. Banyak di antara mereka yang terpaksa lari ke desa untuk mencari nafkah. Namun di desa mereka diharuskan ikut dalam "kwartodiensten" (kerjawajib untuk kepala desa), pada hal mereka tidak diizinkan mengerjakan tanah-tanah desa.
tahun). Selain itu kemunduran ekonomi menyebabkan kehidupan di kota-kota juga mulai mundur, hal mana sangat mempengaruhi kelompok 'Inlandsche Burgers" tersebut. Banyak di antara mereka yang terpaksa lari ke desa untuk mencari nafkah. Namun di desa mereka diharuskan ikut dalam "kwartodiensten" (kerjawajib untuk kepala desa), pada hal mereka tidak diizinkan mengerjakan tanah-tanah desa.
Europeesch Lagere School (ELS) di Ambon |
Salah satu cara untuk
mempertahankan status golongan burgers ini adalah pengesahan ABS tersebut oleh
Batavia (besluit 6 Januari 1869. No. 13)29.
Namun kemunduran golongan burgers
ini tidak bisa dihalangi sejalan dengan mundurnya keadaan ekonomi di Maluku. Sebab
itu makin lama mereka makin membaur dan batasanbatasan antara burgers dan negrie-volk
makin memudar. Pada tahun-tahun 1920 an Ambon Raad mengeluarkan peraturan - peraturan
yang membenarkan kelompok burgers mengusahakan tanah-tanah desa. Dengan demikian
perbedaan formal terakhir dihapuskan dan kelompok burgers pun hilang di Maluku30. Malah pada tahun 1922 pemerintah menentukan
bahwa ABS mendapat status yang sama dengan HIS sekalipun namanya yang historis
itu boleh dipertahankan31. Sementara
itu pada tahun 1911 di Saparua telah didirikan pula sekolah serupa dengan nama
"Saparoeasche School" yang statusnya juga sama dengan HIS.
======
bersambung ======
Catatan Kaki
1.
Roy Ellen, "Sago subsistence and the trade in spices: A provisional
model of ecological succession and imbalance in Moluccan history"', dalam
PC Burnham dan E.F Ellen. Social and ecological systems (London-New
York-San Fransisco. 1979). halaman 43-74. Lihat juga usaha menyanggah teori ini
berdasarkan materi archivologis abad ke- 17 dari GJ. Knaap. "'Some
observations on a thriving dancing party: The cultivation of and the
compitition for cloves in sixteenth and seventeenth century Ambon". The
Fourth Indonesian Dutch History Confrence, Yogyakarta 24-29 tahun June
1983.
2.
Analisa yang memperlihatkan pengarus aspek-aspek materi seperti
perdagangan, industri, dan lain-lain. Dalam perubahan-perubhan sistem
pendidikan dalam masa kolonial adalah I.J. Brugmans. Geschiedenis van het
Onderwijs in Nederlandsch indie (Goningen-Batavia, 1938).
3.
Pengertian kata "midras" tidak dapat ditelusuri. Kemungkinan
ada kaitannya dengan kata "Madrasah" mengingat dalam abad ke-19
banyak kata-kata dari masyarakat Islam masuk dalam perbendaharaan kata
masyarakat Kristen.
4.
H. Kroeskamp. "The Amboinese islands: society and education
from 1816 to 1864". dalam Kroeskamp (ed). Early schoolmasters in a
developing country: a history of experiments in school education in 19 tahun
centuryIndonesia (Assean. 1974).
4.a. H.H. Gerth dan C. Wright Mills. From
Max Weber: Essays in Sociology (London 1961, repr). halaman 416-444.
5.
Ibid, halaman 240-244, 245-252.
6.
A.H. Halsey. "'Educational organizations*", dalam International
Encyclopaedia of Social Sciences, Jld. 3-4.
7.
Ibid.
8.
Bandingkan dengan kerangka penelitian yang diajukan oleh Halsey. loc.
cit.
9.
S. E. Harthoorn. De toestant en de behoeften van het onderwijs
bij de volken van Nederlandsch Oost-indie
(Haarlem. 1865). halaman 44-45." Van welke taal moetn de zendelingen in de Molukken en de Menahasase zieh bij de verkondiging der evangelie bedienen?'VVfA*ZG, 2 (1858). halaman P2-194. 279-308.
(Haarlem. 1865). halaman 44-45." Van welke taal moetn de zendelingen in de Molukken en de Menahasase zieh bij de verkondiging der evangelie bedienen?'VVfA*ZG, 2 (1858). halaman P2-194. 279-308.
10. "'Het
invoeren der Hollandsche taal in de Molukken". MNZG, 8(1864).
337-366.
11.
Ibid Harthoorn. op. cit. halaman
54-57.
12.
Valentijn. seperti yang dikutip Harthoorn. op. cit. Halaman
327.
13.
Harthoorn. op. cit. halaman 331-332.
14.
Baru dalam awal abad ke-19 muncul sekolah guru pertama di negeri
Belanda sendiri.
15.
Tentang J.L. Picauly. lihat keterangan dalam Maandbericht Zendings
Genootscliap, 1881. halaman 46-47.
16. Mengenai
kweekschool dari Roskott ini lihat, L.J. van Rhijn, Reis door den Indischen
archipel in het belang der
evangelische i ending (1851) halaman 280, S. CoolsmaDe zendingseeuw van Nederlandsch Oostindie (1901),
F.G.W. Kemman. "De inlandsche christen gementen op de Ambonsche eilanden"*. MNZG. 26 (1882), 31-54;
243-266. "Van welke taal moeten de zendelingen in de Molukken en in de Menahasase xich bij de verkondigen
des evangelie bedienen"" MNZG 2 (1858) 172-194.
evangelische i ending (1851) halaman 280, S. CoolsmaDe zendingseeuw van Nederlandsch Oostindie (1901),
F.G.W. Kemman. "De inlandsche christen gementen op de Ambonsche eilanden"*. MNZG. 26 (1882), 31-54;
243-266. "Van welke taal moeten de zendelingen in de Molukken en in de Menahasase xich bij de verkondigen
des evangelie bedienen"" MNZG 2 (1858) 172-194.
17.
van Rhijn,op. cit. halaman 282.
18.
Buku-buku berbahasa Melayu yang digunakan dalam midras, umpamanya
"Kitab pembatja-an guna sekalian anak anak midras di pulauw-pulauw Malukko
beserta dengan sewatu pengadjaran akan ilmu dunya" (oleh B.N.J. Roskott):
"Kitab midras" (oleh H. Wester); "Kitab hadja. eerste en tweede
stukje van wege het genootschap uitgegeven" (1862): "Pengadjar-an
akan ilmu hitungan" (Roskott). Lihat Inlandsch Onderwijs Verslag. 1866.
Ada beberapa yang tercatat dalam katalogus Museum Pusat Jakarta tetapi tidak dapat
ditemukan kembali, seperti "Kitab pembacaan goena sekalian anak-anak di
segala midras Malayu" (oleh P.D. Siahaya).
19. Kepangkatan
para guruw midras adalah sebagai berikut:
Schoolmeester 1 ste kias
Schoolmeester 2 de klas
Schoolmester 3 de klas
Schoolmeester 4 de klas
Omloopende schoolmester (calon guru).
Schoolmeester 1 ste kias
Schoolmeester 2 de klas
Schoolmester 3 de klas
Schoolmeester 4 de klas
Omloopende schoolmester (calon guru).
20. Kasus-kasus
seperti ini banyak terdapat dalam arsip-arsip Residen-tie Amboina (Arsip
Nasional R.l. Jakarta).
21.
Harthoorn, loc. cit.
22. S. Loolsma. De zendingseeuw van
Nederlandsch Oostindie, (1901).
23. Rencana
pembentukan Kweekschool pemerintah sebagai penggantinya ternyata tertunda
sampai tahun 1874, yaitu setelah dikeluarkan peraturan berlakunya prinsip
netralitas dalam pendidikan.
24. Brugmans. op.
cit. halaman 160. 161.
25. Lihat
umpamanyaInîandsch Onderwijs Vershgl&66.
26. Brugmans, op.
cit. halaman 126-156.
27. Op. cit. halaman
176-177.
28. Mengenai
burgers lihat. G.F. Bruyn Kops, Eenige grepen uit de geschiedenis der
Ambonsche schutterij (burgerij)
(1895). "Inlandsen burgers". Adatrechtbundels. 2 r (1925), 209-231. ChR. Bakhuizen van den Brink, "De
inlandsche burgers in de Molukken*", BKI. 70 (1915). halaman 595-649. EWA. Ludeking. Schets van de Residentie Amboina (S Gravenhage, 1868), halaman 39-52.
(1895). "Inlandsen burgers". Adatrechtbundels. 2 r (1925), 209-231. ChR. Bakhuizen van den Brink, "De
inlandsche burgers in de Molukken*", BKI. 70 (1915). halaman 595-649. EWA. Ludeking. Schets van de Residentie Amboina (S Gravenhage, 1868), halaman 39-52.
29. Brugmans. loc.
cit.
30. beversluis
dan Gieben. Het Gouvernement der Molukken (Batavia 1929).
31.
Brugmans. loc. cit.
Catatan Tambahan :
a.
P. Merkus bernama lengkap Pieter Merkus, menjadi Gubernur Maluku
pada periode Agustus 1822 hingga Oktober 1828.
b.
Gericke yang dimaksud bernama lengkap Georg Friedrich August
Gericke lahir pada tahun 1803 di Neusted Pruisen. Ia mulai bertugas di Ambon pada tahun 1832
hingga meninggal pada 1 Juli 1834.
c.
Leirissa berbeda informasi dalam soal ini. Kees Groenebaer
menyebut bahwa sekolah pertama di Indonesia dibuka di Ambon pada tahun 1607 oleh
Cornelis de Matelief
d.
Ini mungkin kekeliruan teknis semata. Leirissa menulis Dackaerts,
beberapa sumber lain menulis namanya Danckaerts. Nama lengkapnya Sebastian
Danckaerts, yang bertugas di Ambon sejak Januari 1618 – Mei 1622
e.
Caron yang dimaksud bernama lengkap Francois Caron yang bertugas
di Ambon sejak Maret/April 1661 hingga Juni 1674
f.
Weddik yang dimaksud bernama lengkap Arnoldus Laurens Weddik.
Kelahiran Amsterdam, 7 Maret 1807 dan meninggal di Arnhem 5 September 1867.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar