Oleh :
- Kata Pengantar
Terminologi Pikol Nama atau
Pikol Faam adalah
istilah “antropologis” dan “sosiologis” sederhana dalam percakapan orang Ambon
– Lease. Suatu istilah untuk menggambarkan praktek atau pola “pewarisan” nama dari
generasi yang lebih tua ke generasi berikutnya. Nama kakek, nenek, kakek buyut,
nenek buyut, atau dari kerabat keluarga besar diwariskan kepada keturunannya.
Anak yang menyandang atau diberi nama dengan pola seperti itu, dinamakan “pikol nama”.
Salah satu tujuannya, agar nama itu tidak hilang, atau bagian dari cara “mengingat” figur-figur generasi yang lebih tua.
Pola ini, menurut kami adalah “modifikasi”
dan “perluasan makna” dari apa yang dikaji dalam artikel memukau sepanjang 32
halaman ini. Margaret Jean Florey, linguis asal Australia dan rekannya Rosemary
A. Bolton mengurai tentang tradisi “tua” dengan melakukan penelitian di negeri
Lohiasapalewa, Lohiatala dan perbandingannnya dengan suku Nualu. Menurut kedua
penulis, tradisi itu disebut dalam istilah Melayu Ambon sebagai “Nama Potong
Pusar/Pusa” atau “Nama Hindu”, sebuah praktik pemberian nama pra-Kristen.
Artikel berjudul asli Personal Names, Lexical Replacement
and Language shift in Eastern Indonesia ini
dimuat pada Jurnal Cakalele volume 8 (1997) pada halaman 27 – 58, dengan 28
catatan kaki, dan bibliografi yang digunakan dalam penulisan artikel ini.
Kami memberanikan diri mencoba menerjemahkan
artikel bermutu ini, meski disadari terjemahan nantinya tidak akan sempurna
sesuai dengan kekurangan dan keterbatasan. Meski begitu, diharapkan dengan
bacaan-bacaan seperti ini, kita memahami tradisi, budaya, dan kekhasan
masyarakat “lokal”. Selain itu, semoga kita bisa lebih bersejarah, dan memahami
proses kehidupan yang selalu “indah” dengan berbagai fenomenanya. Artikel
hasil terjemahan ini, dibagi dalam dua bagian agar mudah dan ringan
untuk dibaca juga memasukkan beberapa ilustrasi yang pada artikel aslinya tidak
ada.
Akhirnya selamat membaca, selamat
menikmati dan semoga bermanfaat.
- Terjemahan : Adryn Anakotta
- Pendahuluan
Di
Maluku Tengah, kumpulan pelafalan telah dicatat antara pola-pola penggunaan
bahasa dan afiliasi keagamaan. Di negeri-negeri Kristen, sejumlah besar bahasa
asli telah punah, dan pergeseran bahasa ke arah lingua franca regional, yaitu
bahasa Melayu Ambon, membahayakan sebagian besar bahasa yang masih tersisa1.
Bahasa asli di negeri-negeri Muslim, juga mengalami pergeseran bahasa. Meskipun
prosesnya lebih lambat dan penggunaan bahasa asli tampak jelas di antara semua
generasi penutur, ada penyempitan yang jelas dari fungsi bahasa. Sangat sedikit
kelompok di Maluku yang menentang konversi dari agama leluhur mereka ke agama
Kristen atau Islam. Namun, negeri-negeri di mana praktik agama leluhur tetap
dipertahankan yang ditandai oleh pemeliharaan bahasa dan ingatan terhadap
praktik ritual tradisional (adat) yang lebih besar.
Sebagian
besar suku Nualu dari Seram Tengah Selatan di Indonesia Timur, masih
mempertahankan agama leluhur mereka. Sebaliknya, hanya 1 dari 26 negeri suku
Alune (yang terletak di Seram Barat)
yang belum menjadi negeri Kristen. Studi ini menyajikan analisis komparatif
praktik-praktik penamaan di antara kedua
kelompok bahasa Austronesia ini. Analisisnya mengungkapkan suatu kontinum
(rangkaian kesatuan) dari sistem yang lebih tradisional, yang masih digunakan
oleh kebanyakan orang Nualu ke sistem Alune, yang telah direstrukturisasi di
bawah pengaruh konversi ke agama Kristen. Diskusi kontemporer tentang sistem
Nualu dilakukan berdasarkan karya awal dari Ellen (1983) di wilayah ini.
Kami
pertama-tama akan menjelaskan 3 lokasi penelitian dan metode penelitian. Kami
kemudian akan memeriksa pola-pola pra-Kristen dalam soal memberikan nama-nama
(diri) pribadi di setiap lokasi. Struktur linguistik dari nama-nama pribadi
dianalisis, dan sistem-sistem kehormatan serta sistem-sistem terkait pergantian
leksikal akan dijelaskan. Analisis ini mencakup diskusi tentang sumber-sumber
untuk istilah pergantian dan perluasan sistem kehormatan ke bentuk homonim
Melayu. Pergeseran dalam praktik penamaan yang terkait dengan pengenalan agama
Kristen dan nama-nama Kristen akan dijelaskan. Akhirnya, perbandingan akan
diambil antara praktik-praktik penamaan kontemporer Nualu dan Alune.
- Situs penelitian
Studi ini mengacu pada penelitian
Bolton di negeri Nualu, Rohua, dan penelitian Florey di negeri suku Alune yaitu
Lohiasapalewa (LS) dan Lohiatala (LT). Negeri Nuali dan Alune tidak
bersebelahan, tetapi dipisahkan oleh wilayah berbahasa Wemale, dengan jarak
beberapa hari berjalan kaki. Meskipun Nuaulu dan Alune secara genetis memiliki
hubungan bahasa-bahasa3, namun sangat sedikit kontak historis antar
kelompok.
2.1. Nualu
Rohua terletak di pantai Seram Tengah
Selatan, berdekatan dengan negeri Sepa, negeri Muslim yang lebih besar, yang
memiliki kewenangan administratif atasnya. Ada lebih dari 500 penutur bahasa
Nualu di Rohua, bersama dengan sekitar 150 orang non- Nualu. Ini termasuk
sejumlah keluarga Buton, beberapa orang dari Sepa, para guru dan pendeta
bersama beberapa orang lain dari bagian laian Nualu, dan sebuah keluarga
Tionghoa (China). Sekitar 85% penutur bahasa Nualu masih menganut agama tradisional
mereka, sementara sekitar 12% telah masuk agama Protestan. Praktik penamaan
kedua kelompok agama ini, dijelaskan di sini untuk memberikan dasar
perbandingan dengan praktik penamaan dari suku Alune. Sisa 3% dari populasi
Rohua telah memeluk agama Katholik atau Islam melalui pernikahan dengan
orang-orang non-Nualu. Karena tidak ada keluarga Katholik atau Muslim dimana
ibu dan ayahnya dari Nualu, praktik penamaan dalam kelompok ini tidak dibahas
di sini.
Penggunaan
bahasa Nualu cukup kuat di kalangan mayoritas yang menganut agama tradisional,
dengan beberapa orang tua dan banyak anak kecil yang tidak mengetahui banyak, -
jika ada – bahasa Melayu Ambon. Beberapa
keluarga kini mulai menggunakan bahasa Melayu Ambon dengan anak-anak mereka
untuk mempersiapkan mereka bersekolah, meskipun kebanyakan orang tidak
menyetujui hal itu. Minoritas dari Nualu Kristen, beberapa diantaranya menikah
dengan orang luar, tinggal di lingkungan mereka sendiri, di negeri yang
berjarak hampir 1 km dari negeri utama. Hal ini telah menciptakan lingkungan
bahasa yang kurang stabil, dan memungkinkan mereka untuk menggunakan bahasa
Nualu jauh lebih sedikit daripada berada di wilayah matoritas. Bahasa pertama
anak-anak mereka adalah bahasa Melayu Ambon, meskipun anak-anak remaja yang memiliki
2 orang tua Nualu berbicara bahasa Nualu dengan cukup baik.
2.2.
Alune
Secara tradisional, bahasa Alune
diucapkan di pedalaman pegunungan Seram bagian Barat. Selama 100 tahun
terakhir, tetapi terutama sejak tahun 1950an, sejumlah negeri-negeri Alune telah
berpindah ke wilayah pesisir: 6 negeri ke pantai utara dan 4 negeri ke pantai
selatan Seram Barat. 16 negeri yang berbahasa Alune yang masih tersisa terletak
di lokasi pegunungan tengah dalam 3 distrik (kecamatan) yaitu Kairatu, Taniwel
dan Seram Barat (Florey 1990).
2.2.1.
Lohiasapalewa
Lohiasapalewa (LS) terletak di pegunungan
tengah Seram Barat, di ketinggian sekitar 650 meter wilayah hutan jan sub
montane. Lohiasapalewa berjarak sekitar 30 km (atau 1 hari berjalan) dari pantai utara Seram dan 2 hari berjalan
dari pantai selatan. Tetangga terdekatnya adalah negeri-negeri Alune, di
Riring, Manusa Manue dan Buria. Pada tahun 1996, Lohiasapalewa memiliki
populasi sebanyak 238 orang pada 32 KK (kepala keluarga). Di berbagai waktu
selama abad ini, negeri-negeri Alune telah mendapat tekanan untuk berpindah
dari pegunungan ke pesisir. Tujuan utama relokasi semacam itu adalah
“pengamanan” untuk membuat negeri-negeri lebih mudah diakses oleh otoritas
pemerintah, terutama oleh otoritas kolonial Belan dan kemudian oleh pemerintah
Indonesia. Sejumlah besar negeri-negeri Alune akhirnya “menyerah” pada tekanan
itu dan dipindahkan ke pantai utara atau selatan, penduduk negeri Lohiasapalewa
telah berhasil menolak semua upaya untuk memaksakan relokasi pada mereka.
Mekipun terpaksa meninggalkan negeri mereka sepanjang konflik gerilya (RMS4)
yang terjadi di Maluku Tengah pada 1950an dan awal 1960an, mereka tinggal di
hutan di dalam wilayah negeri mereka. Demikian pula, penduduk negeri mengatasi
upaya lain untuk merelokasi negeri mereka pada tahun 1970. Pengisolasian
relatif dari wilayah mereka, berarti bahwa semua generasi penduduk negeri di
Lohiasapalewa tetap menjadi penutur bahasa Alune. Namun, penelitian ini akan
menunjukan bahwa pengetahuan dan pemahaman khusus tentang nama-nama pribadi
Alune dan sistem kehormatan terkait pergantian leksikal telah berkurang secara
signifikan di wilayah ini.
2.2.2.
Lohiatala
Negeri-negeri
Lohiatala (LT) dan Lohiasapalewa (LS) saat ini, dulunya adalah 1 negeri/desa,
yang terletak di wilayah Lohiasapalewa (LS). Pada tahun 1817, konflik dalam
Lohiasapalewa menyebabkan perginya kelompok yang memisahkan diri dan membentuk
negeri Lohiatala, sekitar 20 km ke arah selatan5. Tidak seperti
Lohiasapalewa, penduduk negeri Lohiatala tidak dapat menahan upaya pemerintah
untuk memindahkan mereka selama konflik RMS. Pada tahun 1952, mereka
dipindahkan secara masal ke pantai selatan Seram, dimana mereka tinggal di
negeri non – Alune, yaitu Hatusua selama 13 tahun. Negeri Lohiatala masa kini,
didirikan di lokasi saat ini (sekitar 4
km ke daratan dari pantai selatan) pada tahun 1964. Tetangga terdekat
mereka adalan negeri non-Alune, yaitu negeri Waihatu, yang terdiri dari
populasi transmigran dari Lombok dan Jawa. Lebih jauh ke selatan ada negeri
non-Alune, yaitu Waesamu dan Hatusua. Berbatasan dengan wilayahnya di utara ada
negeri-negeri Alune, yaitu Rumberu dan Rumbatu. Pada tahun 1992, Lohiatala
memiliki populasu sebanyak 728 jiwa pada 110 KK.
Sejarahnya
yang baru ini, berarti bahwa, - berbeda
dengan Lohiasapalewa - Lohiatala
telah mengalami perubahan sosiokultural dan linguistik yang dramatis sejak
1950an. Suatu periode dimana penduduk negeri Lohiatala tingga di negeri Hatusua
yang tidak berbahasa Alune, dan kontak yang lebih dekar dengan orang-orang
non-Alune yang telah mengikuti perpindahan ke lokasi negeri baru mereka, telah
berdampak besar pada penggunaan bahasa di negeri/desa. Penduduk-penduduk negeri
ditampung di rumah-rumah orang Hatusua, dan dengan cepat “dibenamkan” ke dalam
lingkungan berbahasa Melayu. Bahasa Melayu Ambon adalah bahasa pertama dari
semua orang yang lahir di negeri/desa baru – yaitu, yang berusia sekitar 30 tahun. Orang-orang dalam kelompok
usia ini tidak lagi berbicara bahasa Alune, meskipun sebagian besar tetap
memiliki beberapa ketrampilan reseptif. Mereka jarang menunjukannya (berbicara)
dalam bahasa Alune, dan jika ada, mereka selalu menjawabnya dalam bahasa Melayu
(Florey 1991,1993, 1997).
- Metodologi dan sejarah projek
Situasi sosiokultural dan linguistik
divergen yang dijelaskan di atas untuk 3 lokasi penelitian, berarti bahwa para
peneliti memiliki akses yang sangat berbeda ke nama-nama pribadi dan sistem
pergantian leksikal. Oleh karena itu, metodologi yang berbeda telah digunakan
untuk mengumpulkan data yang dianalisis dalam pekerjaan ini, dan dengan
demikian akan dijelaskan secara terpisah di bawah ini, yaitu untuk bahasa Nualu
dan bahasa Alune.
3.1.
Nualu
Setelah Bolton memulai penelitian
linguistik di antara orang-orang Nualu, dia terkejut setelah melakukan
perjalanan ke kota dan kembali ke wilayah itu, menemukan bahwa salah satu anak
yang dia kenal dan ketahui dengan nama
Natusiha sekarang bernama Nihua. Ketika Bolton mulai mempelajari
nama-nama orang, dia bingung beberapa kali ketika seseorang mulai menggunakan
nama yang berbeda dari yang pertama dia pelajari. Minat awalnya dalam soal
praktik penamaan dipicu oleh temuannya bahwa nama orang Nualu diubah jika dia
sering sakit-sakitan. Belakangan dia mengetahui bahwa orang-orang dilarang
menyebutkan nama-nama afinitas tertentu, dan ketika kefasihan bahasa Nualu
semakin membaik, dia mulai mendengar beberapa orang menggunakan leksem yang
berbeda untuk beberapa item menggantikan istilah yang umum/biasa. Misalnya,
seorang wanita ke rumah meminta “panas” daripada/alih-alih meminta “api”. Salah
satu pemandu utama bahasanya Bolton tidak menggunakan kata untuk emas, jadi menggunakan istilah
lain. Ketertarikannya meningkat pesat pada Third
Maluku Research Conference (1994)
ketika Florey menggambarkan perjuangannya untuk mendapatkan “nama-nama Hindu6”
suku Alune. Di tempat itu (Nualu) tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkan
nama-nama seperti itu, karena “nama-nama Hindu” merupakan nama yang paling
banyak orang punyai. Karena itu, kami
memutuskan membuat perbandingan praktik-praktik penamaan dalam 2 kelompok
bahasa yang mungkin terbukti menarik.
Sekembalinya ke Rohua, Bolton
memverifikasi data penamaan yang ada, dan memperoleh jawaban atas pertanyaan
yang tersisa, dan menambahkannya ke daftar syarat-syarat pergantian miliknya.
Dia melakukan ini dengan menanyai beberapa informan Nualu di negeri Rohua, baik
beragama Kristen maupun penganut agama tradisional. Daftar istilah pergantian
juga diperoleh dari hanya sedikit informan yang memberi tahu Bolton tentang apa
yang digunakan oleh banyak orang di negeri sebagai persyaratan pergantian.
Fokus utama dari diskusi bahasa
Nualu di sini adalah persoalan linguistik, meskipun pengantar singkat tentang
praktik penamaan diberikan untuk tujuan perbandinga. Kami tidak bermaksud membahas
dasar yang telah dilaporkan secara menyeluruh oleh Ellen (1983), yang membahas praktik
penamaan bahasa Nualu dengan penekanan pada arti/makna dari nama.
3.2 Alune
Pada masa pra-Kristen, seorang anak diberi
nama pribadi dalam bahasa Alune, yang dikenal di suku Alune sebagai ” Nasusu” (nama air susu)7. Seluruh
negeri-negeri suku Alune mulai mengkonversi (berpindah agama/memeluk/menganut)
dari agama leluhur ke Kristen pada permulaan abad ke-20, suatu proses yang
dimulai sekitar tahun 1900 (untuk wilayah pesisir Seram Barat) dan tahun 1930
(untuk negeri-negeri pegunungan). Penduduk-penduduk negeri Lohiatala mulai
berpindah agama dalam tahun 1925, sedangkan penduduk negeri Lohiasapalewa dalam
tahun 1935. Sebagai bagian atau tanda dari proses konversi tersebut, suku Alune
menggunakan nama-nama Kristen, dan sebagian besar berhenti menggunakan
nama-nama pribadi tradisional suku Alune.
Dalam pengaturan seperti ini, sangat sulit
untuk memastikan siapa yang memiliki nama pribadi suku Alune. Kepemilikan
nama-nama suku Alune sangat terkait dengan era pra-Kristen, seperti yang
ditunjukan oleh terminologi Melayu yaitu Nama
Hindu “ Hindu Names”, yang digunakan oleh suku Alune untuk menggambarkan
nama-nama dalam bahasa Alune. Satu dampak konversi ke agama Kristen telah
menjadi “penindasan” semua hal yang terkait dengan periode yang disebut dalam
bahasa melayu sebagai Masa Gelap/Galap (Dark
Era), masa pra-Kristen, masa yang belum tercerahkan. Penindasan terhadap
praktik-praktik pra-Kristen telah menghasilkan distribusi pengetahuan yang
sangat tidak merata tentang nama pribadi suku Alune, dan sistem kehormatan (mosi), dan keengganan yang jelas untuk
memberikan informasi dan pengetahuan mengenai hal semacama itu. Proses
mengumpulkan nama, oleh karena itu, lambat, sulit, dan tampaknya penuh dengan
kontradiksi.
Selama
2 periode panjang kerja lapangan di Lohiatala (LT), Florey secara bertahap
dapat memperoleh data yang semakin dalam, dan menjadi sadar bahwa nama suku
Alune, kadang-kadang masih diberikan pada anak yang baru lahir, paling umum di
samping nama Kristen atau melalui proses penggantian nama (mirip dengan yang dibahas Bolton untuk suku Nualu). Jarang ada anak
yang hanya diberi nama suku Alune.
Selama
kunjungan lapangan pertamanya ke Lohiasapalewa, Florey menemukan respons yang
lebih hati-hati terhadap pertanyaannya tentang nama-nama Alune, daripada yang
pernah ia alami di wilayah pesisir, meskipun (atau mungkin karena) fakta bahwa bahasa Alune jauh lebih kuat di
wilayah/situs ini. Florey tidak dapat memperoleh informasi tentang topik
nama-nama Alune, dan dengan tegas dijawab (oleh orang-orang Lohiasapalewa) : “kami tidak mempunyai nama-nama seperti itu
lagi”. Pada tahun 1994, Florey kembali ke Lohiasapalewa dan membawa pulang
daftar lengkap nama-nama Alune yang sebelumnya dikumpulkan di negeri
Lohiasapalewa dan Murnaten (Mrtn), serta menyadari ia bisa “ memperdagangkan”
informasi-informasi tersebut. Ketika Florey mulai bekerja dengan konsultan
utamanya, seorang pria berusia 63 tahun, ia awalnya tetap menegaskan kembali
posisi, bahwa orang-orang di negeri itu, tidak memiliki nama Alune. Namun, dia
bersedia dan tertarik untuk membaca nama-nama yang sebelumnya telah direkam
untuk memverifikasi keasliannya. Pagi berikutnya, dia kembali, dan menyatakan
bahwa nama-nama Alune di negerinya jauh lebih menarik daripada yang dicatat
Florey di tempat lain, dan melanjutkan dengan mengatakan, “Mari, kita mulai dengan nama-nama laki-laki
dari ujung negeri ini”. Pekerjaan pagi itu, menghasilkan 30 nama laki-laki,
dan pagi berikutnya menghasilkan 12 nama perempuan yang dicatat. Mayoritas
nama-nama itu milik orang-orang yang masih hidup, dan kemudian penelitian
tentang silsilah memunculkan nama-nama leluhur yang telah meninggal.
Nama-nama
yang awalnya ditimbulkan oleh Florey, adalah nama-nama orang tertua di negeri,
tidak termasuk konsultan itu sendiri, karena dia terus menyatakan bahwa dia
tidak diberi nama Alune, meskipun saudara kandungnya dan beberapa anaknya
memiliki nama itu. Sementara konsultan Florey juga terus memberi tahu, bahwa
orang yang lebih muda tidak lagi diberi nama Alune, ini bertentangan dengan
bukti lain yang menunjukan bahwa nama pribadi Alune dan sistem mosi yang masih penting saat ini. Analisis
nama Alune yang terkandung dalam kajian ini, diambil dari database sekitar 123
nama Alune (73 laki-laki dan 50 perempuan), terutama dari negeri Lohiasapalewa
dan Lohiatala8.
4.
Pola pemberian nama pribadi
4.1.
Nualu
Ketika
seorang anak dilahirkan oleh orang tua yang masih mempraktikkan agama
tradisional Nualu, bidan yang menghadiri persalinan, mengirimkan seseorang
kepada pemimpin klan dari ayah anak tersebut untuk mendapatkan nama untuk bayi
tersebut sebelum tali pusarnya dipotong. Nama ini, yang disebutkan/dikatakan
dengan keras ketika tali pusarnya dipotong, dikenal sebagai Nanai Mamrehi Tipuei, “nama potong
pusar/pusa”9. Setiap klan suku Nualu, dengan pengecualian klan
Maatoke, dibagi menjadi 2 rumah (numa),
yang dikenal sebagai rumah besar (numa
onate) dan rumah panglima perang (numa
kapitane). Pemimpin klan yang merupakan penjaga rumah besar, biasanya
adalah orang yang memberikan nama itu. Dalam hal tidak hadirnya pemimpin klan,
wali rumah panglima perang dapat memberikan nama kepada bayi yang baru lahir,
meskipun sering seseorang dikirim/disuruh/diperintahkan untuk memanggil
pemimpin klan dari mana saja, ia bisa memperoleh/mendapatkan nama itu. Nama ini
sering diperoleh dari roh para leluhur yang telah turun ke medium (perantara)
saat pemanggilan arwah. Pemanggilan arwah mungkin telah dilakukan saat ibu
dalam proses persalinan bayi yang disebutkan namanya itu jika dalam proses
persalinan yang sulit, atau mungkin telah dilakukan beberapa hari atau minggu
sebelum kelahiran. Roh leluhur tidak memberikan instruksi eksplisit bahwa
seorang anak harus menerima nama tertentu; melainkan, anak itu akan diberi nama
dari roh yang akan “turun/datang/masuk” pada saat itu. Ketika roh pertama kali
turun/datang/masuk, ia akan memberi tahu apa/siapa namanya.
Karena
nama-nama diperoleh dari roh para leluhur dalam pemanggilan arwah, perantara
juga dapat memberi nama bayi. Seringkali pemimpin klan dan panglima perang
adalah medium/perantara, tetapi mungkin juga ada yang lain. Semua medium
dipandang sebagai petunjuk oleh roh, dan karena itu memiliki beberapa otoritas
dalam menjalankan negeri/desa dan bertanggungjawab untuk melaksanakan beberapa
ritual yang diperlukan oleh agama suku Nualu. Kebanyakan dari mereka adalah
penjaga rumah ritual, yang dibangun/didirikan di atas tiang-tiang, tidak
seperti rumah-rumah yang lain, yang dibangun/didirikan di atas tanah. Sang
medium tidak menyadari apa yang terjadi dalam sebuah pemanggilan arwah, jadi
tidak mengetahui nama roh atau roh yang turun/datang/masuk kepadanya.
Istrinya-lah yang memberitahunya setelah itu semua, dan inilah cara bagaimana dia
menentukan nama untuk bayi yang baru lahir. Namun, orang-orang Nualu tampaknya
tidak melihat anak itu sebagai reinkarnasi leluhur ini. Tampaknya lebih penting
untuk menjaga nama itu tetap digunakan sehingga nama itu tidak akan hilang,
daripada mengingat orang-orang yang telah mati dengan menggunakan nama-nama
mereka. Dikatakan bahwa yang hidup membawa nama-nama mereka yang telah mati (ohaha sio wasoni omataso nanao).
Nama-nama
milik klan-klan tertentu, tetapi klan yang mengambil istri dapat memperoleh hak
untuk menggunakan nama-nama milik pihak wanita, jika seluruh harta pernikahan
dibayar oleh klan pengambil istri. Klan pemberi istri tidak bisa lagi
menggunakan nama ini. Seluruh harta pernikahan
jarang dibayarkan di negeri Rohua. Sebaliknya, orang lebih suka menjaga
aliran kewajiban-kewajiban antara pasangan dan masing-masing klan mereka,
karena hal ini bisa menyediakan tenaga kerja yang siap sedia saat dibutuhkan
dan sumber makanan di saat kekurangan.
Dalam kasus
12% dari populasi Nualu di negeri Rohua yang telah memeluk agama Kristen dan
menjadi anggota GPM (Gereja Protestan
Maluku), pendeta adalah orang yang memberikan nama pada tiap-tiap anak yang
baru lahir. Dengan demikian, pemimpin agama masih memainkan peranan kunci dalam
proses penamaan. Seorang anak mungkin juga dinamai oleh orang tuanya, meskipun
tampaknya nama pemberian dari pendeta adalah nama yang paling disukai. Meskipun
di antara orang Kristen juga, nama itu diucapkan ketika tali pusarnya dipotong,
itu bukan nama tradisional Nualu, melainkan nama dari Alkitab atau nama barat.
Sebagian besar anak-anak Nualu yang lahir dari orang tua Kristen, tidak
menerima nama tradisional; nama itu hanya diberikan dalam keadaan yang “khusus”
atau tidak biasa. Seseorang yang orang tuanya beragama Kristen, ketika dia
dilahirkan diberi nama Nualu oleh bidan yang turut membantu saat ia lahir. Pada
saat kelahirannya, ayahnya pergi ke negeri/desa lain dan ibunya yang sudah tua
tidak sadarkan diri, hampir meninggal bersama bayinya saat melahirkan. Tidak
ada pendeta pada waktu itu. Bidan yang membantu melahirkannya adalah seorang
Kristen tetapi juga membantu melahirkan bayi yang lahir dari penganut agama
tradisional. Dia mengikuti ritual dan doa-doa agama dari sang ibu, meskipun
nampaknya dari kasus ini, bahwa jika dia harus memberi nama, nama itu adalah
nama Nualu daripada nama Kristen. Anak ini kemudian diberi nama Kristen, yang
sekarang dikenal dengan namanya itu.
4.2.
Alune
Diskusi
dengan bidan yang lebih tua di negeri Lohiasapalewa dan Lohiatala, menunjukan
bahwa, di era pra-Kristen, praktik pemberian nama mirip dengan yang dijelaskan
pada bagian Nualu di atas. Dalam lingkungan kontemporer, yang ditandai oleh
perubahan sosiokultural dan linguistik yang luas, praktik-praktik ini telah
dimodifikasi namun hanya mengindikasikan substratum kepatuhan terhadap
praktik-praktik tradisional.
Wanita biasanya
dirwat saat melahirkan oleh seorang biane,
seorang wanita suku Alune dengan otoritas bawaan untuk mempraktikan
tugas-tugas kebidanan. Saat bayi lahir, sang bidan (biane) memegang uang koin berhadapan dengan tali pusar dan meminta
nama dari ayah anak itu. Nama itu diucapkan saat tali pusarnya dipotong10.
Uang koin itu kemudian diberikan ke gereja, dan doa dipersembahkan untuk
kesehatan anak/bayi. Plasenta dibungkus dengan kain putih panjang dan
ditempatkan dalam belahan endokarp buah kelapa (ni’ wel esi alati)11. Bagian “betina” dari cangkang
(bagian dimana embrio berkembang) membentuk dasar/landasan, dan bagian “jantan”
menjadi penutupnya12. Bidan mengubur plasenta di samping
dinding/tembok di ruang bersalin atau di dapur. Pada era kontemporer/modern,
tidak ada perhatian khusus yang diberikan oleh sanak keluarga pada pada lokasi penguburan
plasenta atau dalam hal arah matahari terbit atau terbenam. Sebuah batu
diletakan untuk menandai lokasi penguburan plasenta, dan dilarang selama
beberapa tahun untuk membuang air ke lokasi itu, atau menyalakan api di dekat
lokasi itu13.
Setelah kelahiran,
sang ayah di negeri Lohiatala dan Lohiasapalewa berjalan di sepanjang
negeri/desa untuk menjawab pertanyaan mitale
pi marela? Yang secara harfiah berarti “udang atau kuskus [Phalanger spp]”?14. Di negeri
pesisir Murnaten (Mrtn), pertanyaan yang sebanding atau sama adalah “wele aiya pi pia marela”? yang
bermakna air dan kayu atau sagu dan
kuskus?”. Di kedua situs/wilayah itu pertanyaan menanyakan jenis kelamin
bayi berfokus pada tugas-tugas yang ditentukan gender. Sementara laki-laki
Alune bertanggung jawab untuk berburu dan memproses sagu, kaum perempuan
mengambil air dan kayu bakar, dan dapat mencari udang atau belut di sungai.
Sumber-sumber untuk
nama Alune sangat rumit atau kompleks, seperti yang mungkin diharapkan. Praktik
umum saat ini adalah pendeta negeri/desa menyediakan/memberi nama Kristen untuk
anak itu. Hal ini paralel atau sama dengan praktik Nualu dan pra-Kristen yang
mana pemimpin agama memberi nama pada bayi. Oleh karena itu, di suku Alune,
banyak nama modern yang bersifat alkitabiah, misalnya Timoti, Mateus, Yusup,
Markus, Magdalena, Maria dan Ruth. Sekarang juga, secara umum untuk memilih
nama-nama khas Ambon seperti Oktofina, Fransina, Juliana, Adolpentji, Kostansa,
Wellem, Fredinant, Leunard, Stenly dan Alprets. Beberapa dari nama-nama ini
jelas mencerminkan pengaruh era kolonial Belanda.
Pendeta dapat mengikuti
praktik pra-Kristen dalam menganugerahkan nama kerabat yang masih hidup atau
leluhur yang sudah meninggal dari garis keturunan ayah, biasnya dari 2 generasi
sebelumnya : yaitu, laki-laki diberi nama dari pihak kakek ayah-ibunya atau salah satu dari saudara
laki-lakinya (golongan pihak kakek), dan wanita dari pihak nenek ayah ibunya
atau salah satu dari saudara perempuan (golongan pihak nenek). Dalam
kasus-kasus seperti ini, pendeta akan meminta nama anak yang cocok dari pihak
golongan keturunan sang ayah. Misalnya, seorang anak laki-laki lahir di
Lohiasapalewa (lahir tahun 1972) diberi nama Kristen dari almarhum kakek
ayahnya yaitu Hanok. Nama Alune kakek, yaitu Lesau, belum dianugerahkan kepada anak itu. Demikian pula, seorang
anak perempuan lahir di Lohiasapalewa (lahir tahun 1975), diberi nama Kristen
almarhum nenek ayahnya, yaitu Martina. Seorang anak mungkin diberi nama yang
secara kronologis merupakan kerabat dekat yang telah meninggal karena
kecelakaan atau penyakit. Misalnya, pada akhir tahun 1993, seorang bayi
perempuan diberi nama Kristen dari kakak perempuan ayahnya, Magdalena, yang
telah meninggal karena kanker tidak lama sebelum bayi itu lahir.
Pola penamaan di
atas, menunjukan bahwa penting bagi suku Alune untuk tetap menghidupkan
ingatan/memori melalui “kebangkitan kembali” nama-nama itu. Suku Alune
menegaskan bahwa para leluhur dapat mengirimkan “pesan” melalui anak kecil
tentang ketidaksukaan mereka, bahwa sebuah nama belum dipakai atau diabadikan.
Ini menjadi jelas bagi orang tua, jika seorang anak gagal tumbuh atau menangis
terus menerus. Dalam keadaan seperti itu, nama anak akan diubah menjadi nama
leluhur. Misalnya, satu nama anak diubah menjadi Jusuf ketika ia gagal tumbuh
dan terus menangis. Nama anak lain, yang tidak sah dan tinggal bersama kakek
nenek ibunya, diubah menjadi Barnabus ketika dia juga gagal
berkembang/bertumbuh.
Dalam kasus lain,
sebuah nama dapat diubah untuk menenangkan roh seseorang yang telah meninggal
dalam keadaan tidak biasa, terutama suatu kematian yang dimaksudkan konon melibatkan
penggunaan sihir. Misalnya, pada tahun 1995, seorang bayi lahir di
Lohiasapalewa setelah persalinan yang lama dan sulit dan diberi nama Deviana. Beberapa jam setelah
melahirkan, ibu meninggal, dan kematiannya dikaitkan dengan sihir. Nama bayi
itu kemudian diubah menjadi nama ibunya – Amelia.
Bayi itu kemudian meninggal juga (pada usia 6 bulan), dan pada saat
penguburan, namanya dikembalikan lagi ke nama aslinya, Deviana.
Namun, pola pemberian
nama Kristen ini dapat terganggu oleh keadaan/situasi tertentu, yang dapat
mengarah pada pemberian nama leluhur Alune bersamaan dengan nama Kristen. Di
Lohiasapalewa pada tahun 1994, seorang wanita beranak 3, mengetahui dia hamil
anak ke-4nya sesaat sebelum menjalani operasi tumor perut. Ketika dia
melahirkan seorang putra, anak itu diberi nama Kristen (Falens) dan juga nama
Alune dari kakek buyut dari pihak ayah (Kamenia). Dalam kasus seperti ini, nama
Alune biasanya disembunyikan dari pendeta.
Sumber-sumber untuk
nama-nama pribadi Alune sangat beragam : Nama dapat berhubungan dengan
peristiwa yang terjadi di sekitar waktu kelahiran anak, atau selama kehamilan
janin. Misalnya, nama Lisai (dari Lisa, “perang”) diberikan kepada anak
laki-laki yang lahir pada masa peperangan.
Nama-nama juga sering
berhubungan dengan aspek fisik lingkungan. Sebagai contoh, nama anak perempuan Piai, berasal dari Pia, “sagu”, nama anak laki-laki Ni’wela berasal dari ni’wele,
“kelapa”, nama anak perempuan Amuloia
yang berasal dari Amu, “minuman
sirih”, dan loini, “daun”, dan
nama anak perempuan Buamoni, berasal
dari buai, “buah” dan moni, “harum”.
Sumber nama lain
adalah dewa dari leluhur Alune. Sebagai contoh, Tuale adalah (laki-laki) matahari yang di-antropomorfisasi, dewa
dalam agama leluhur Alune, dan Dabike adalah
bulan (perempuan) yang di-antropomorfisasi.
Nama-nama juga dapat
diberikan untuk memperingati tokoh-tokoh sejarah dari luma “rumah” atau “kelompok keturunan”. Misalnya, dalam satu luma nama laki-laki Dobola harus diabadikan untuk mengenang leluhur yang diceritakan/disebutkan
telah berubah menjadi seekor anjing. Luma
ini juga memiliki larangan makan daging anjing.
Nama dapat juga
diambil dari lagu Alune yang memperingati orang atau acara penting. Sebagai
contoh, nama Akalai diabadikan dalam
lagu mengenang seorang pria yang terbunuh oleh pemotong kepala.
Nama juga dapat
diambil dari roh yang terlibat dalam mantra. Misalnya, roh perempuan Ima, Putia dan Putilaha yang dipanggil untuk memperbanyak panen padi.
Nama mungkin juga
berasal dari mimpi. Misalnya, seorang lelaki bermimpi bahwa iring-iringan
leluhur datang mengunjunginya, semua mengenakan pakaian gereja berwarna hitam. Taipela, kakenya (ayah dari ibunya)
berbicara dan mengatakan kepadanya untuk memberi nama putranya itu nama Lesia. Ketika laki-laki itu terbangun,
ia bertanya kepada keluarganya, apakah mereka memiliki leluhur yang bernama Lesia, karena nama itu tidak dikenal
atau diketahuinya. Akhirnya orang ingat bahwa nama itu (Lesia) berasal dari
nama pendiri luma mereka.
Dalam keadaan luar
biasa, seorang anak hanya diberi nama Alune dan tidak ada nama Kristen.
Misalnya, dalam satu keluarga di Lohiatala, 4 anak meninggal sebelum mencapai
ulang tahun pertama mereka. Ketika seorang anak laki-laki lahir kemudian, orang
tuanya berusaha memastikan kelangsungan hidup anak itu, dengan memberinya hanya
nama Alune dari kakek buyut dari pihak sang ayah, Loline.
===== bersambung =====
Catatan Kaki
- Kutipan Collins (1982,1983), Florey (1990,1991,1993), Grimes (1991).
- Collins (komunikasi pribadi) menyatakan bahwa Kawa, terletak di pantai utara Seram, dan merupakan negeri Allune yang merupakan lokasi imigrasi orang-orang Sulawesi. Selama pekerjaan lapangan di lokasi ini tahun 1977, Collins menyatakan bahwa generasi paling tua berbicara bahasa Alune. Dewasa ini, populasi negeri itu sebagian besar adalah Muslim.
- Collins (1983) mengklasifikasi bahasa Nualu dan Alune sebagai “anak” bahasa dari cabang Nunusaku yang merupakan bagian dari Proto-East Maluku Tengah. Namun bahasa Alune adalah sub klasifikasi dalam cabang 3 batang air Nunusaku (termasuk juga Wemale), sementara Nualu adalah sub klasifikasi dari cabang Patakai-Manusela
- Republik Maluku Selatan (RMS) adalah gerakan separatis yang ingin merdeka terlepas dari Republik Indonesia yang baru saja terbentuk.
- Untuk uraian sejarah singkat (tidak diterbitkan) negeri Lohiatala, lihat Suilima, “Sejarah singkat asal mula lahirnya desa Lohiatala”, ditulis pada tahun 1988 oleh mantan radja Matheus Makerawe dan mantan Sekretaris Negeri Max Nikolebu
- Di wilayah ini “Hindu” digunakan untuk menggambarkan masyarakat yang mempraktikan agama leluhur. Namun, hal ini bukanlah menunjukan ada kebingungan dengan agama Hindu
- Nasusu berasal dari kata nane “nama” dan susu “ air susu, buah dada”
- 51 nama selanjutnya dikumpulkan di negeri Alune yaitu Murnaten (Mrtn) dan M.C. Boulan-Smit menyumbang suatu daftar sekitar 300 nama dari negeri Alune yaitu Manusa Manue. Namun kemudian ada kesulitan sendiri untuk mengecek data-data itu, yaitu nama-nama dari Manusa Manue sehingga tidak termasuk dalam analisis ini. Penggunaan terbatas dilakukan hanya untuk data dari Murnaten.
- Jika bayi meninggal, tali pusarnya tidak dipotong dan tidak diberikan nama. Plasenta dikuburkan bersama-sama dengan bayi.
- Seperti juga suku Nualu, seorang bayi Alune yang meninggal tidak diberi nama; tali pusarnya tidak dipotong dan bayi dikuburkan dengan plasenta, kaka-nya, “saudara tua kembarnya”
- Ketentuan ortografis di Alune umumnya menggunakan tanda/simbol untuk mewakili penghentian suara [√]
- Lubang dalam endokarp dimana embrio timbul/muncul menjadi tempat bagi cairan mengalir dari rusaknya plasenta
- Lihat bagian 8 untuk detail terperinci tentang cara-cara “menjaga” plasenta atau kakai “saudara kembar tuanya” menurut tradisi Nualu dan Kristen
- Meskipun metafora-metafora seperti itu tidak digunakan pada proses kelahiran di Nualu, tapi bahasa Nualu memiliki terminologi yang asalnya sama mitane “udang” yang digunakan sebagai eufemisme untuk vagina dan marane “kuskus” digunakan sebagai eufemisme untuk penis.
- Pengunjung lain yang ke negeri itu (termasuk para linguis, antropolog dan pegawai pemerintah) kadang-kadang diminta untuk memilih nama bagi bayi yang baru lahir atau anak yang akan lahir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar