(bag 1)
Oleh
Alm. Rev. Frank Leonard Cooley (1920
-2010)
- Kata Pengantar
Artikel
ini seperti yang disebutkan secara eksplisit oleh penulis sendiri, merupakan
versi revisi dari naskah disertasi Phd-nya, khususnya bab III. Sang penulis, Frank
Leonard Cooley, kelahiran Brooklyn 26 September 1920, yang telah almarhum di
tahun 2010, terkenal di kalangan teolog agama yang mendalami kajian agama dan
masyarakat. Disertasinya yang dipertahankan di Universitas Yale tahun 1962 itu berjudul
Altar and Throne in Central Moluccan Societis : A
Study of the Relationship between the Institutions of Religion and the
Institutions of Local Government in a Traditional Society Undergoing Rapid
Social Change. Disertasi ini, menurut Steve Gaspersz, salah satu intelektual muda Ambon,
sebagai suatu kajian yang menelusuri dinamika kekristenan lokal, dan kedalaman
kreativitas lokal mengadopsi, serta mengabsorpsi (menyerap) kemajemukan
dimensional dari perjumpaan berbagai peradaban dalam konteks Maluku.
Naskah
disertasi Cooley ini kemudian diterbitkan bukunya oleh Penerbit Harapan
Djakarta di tahun 1987, dengan judul Mimbar dan
Tahta : Hubungan lembaga-lembaga keagamaan dan pemerintahan di Maluku Tengah.
Seperti disebutkan sebelumnya, artikel ini
merupakan versi revisi dari bab III naskah disertasinya itu. Versi revisi ini
dipublikasi oleh Journal Indonesia no
7 (April 1969) pada halaman 138 – 163. Jika kita melihat tahun publikasi itu,
adalah kajian “jadul” karena berusia 51 tahun lalu. Meski, “jadul” kami tetap
merasa penting untuk dibaca isinya, karena itulah kami menerjemahkannya. Lagipula
pada bab III, sesuai judulnya saja telah memberikan semacam “informasi umum”
tentang struktur pemerintahan negeri/desa di Maluku Tengah, saat Cooley
melakukan penelitian tahun 1957 dan 1960. Ada berbagai jabatan, yang mungkin di
masa sekarang, kita mulai melupakannya, seperti marinjo, kepala kewang, tuan
tanah, mauweng dan lain-lain.
Artikel versi revisi ini terdiri dari 26
halaman, yang didalamnya terdiri dari 1 buah peta dan 36 catatan kaki, yang
dibuat seperti format penulisan disertasi umumnya, yaitu pada bagian bawah
lembar-lembar halamannya. Artikel
terjemahan ini, kami bagi menjadi 2 bagian agar lebih ringan untuk diikuti,
selain itu kami menambah beberapa ilustrasi gambar/foto sebagai “pemanis”.
Akhirnya, selamat membaca... selamat
menikmati... dan selamat mempelajari pranata-pranata “adat” yang pernah ada... dan mungkin ingin dimunculkan kembali di masa kini.
Nisan Frank.L. Cooley (1920 - 2010) |
- Terjemahan
Banyak beragam pengaruh yang telah membentuk Badan Saniri Negeri, suatu dewan negeri/desa
yang merupakan lembaga utama pemerintah lokal di Maluku Tengah. Nama itu
sendiri seperti menjadi saksi sejarah yang telah membentuknya – badan adalah bahasa melayu untuk suatu
lembaga hukum; saniri adalah suatu istilah dalam bahasa Seram untuk suatu
lembaga yang dipakai untuk memerintah wilayah 3 sungai; dan kata negeri adalah
bentuk melayu untuk kata Sansekerta yaitu nagara, yang bermakna wilayah, kota,
dunia1. Setiap upaya untuk menggambarkan struktur dan
fungsi-fungsi kontemporer pemerintahan negeri/desa, oleh karena itu seharusnya mencakup
beberapa catatan tentang pengaruh-pengaruh itu, dan bagaimana hal itu
berkembang secara historis.
Pada Badan Saniri Negeri dewasa ini, kita dapat
mengidentifikasi setidaknya 4 jenis “ kelompok jabatan atau kekuasaan”, dimana
masing-masing dengan kekuatan politik yang semakin berkurang. Di antara
kelompok pertama, adalah jabatan-jabatan tradisional yang masih berfungsi,
seperti Radja (Ruler) dan Kepala Soa
(chief
of collection of kin-group), dimana keduanya dapat dilacak kembali
berabad-abad sebelumnya. Pada tingkat kekuasaan yang sama, ada juga
anggota-anggota dari badan saniri yang non tradisional, dipilih oleh masyarakat
untuk mewakiliki sub divisi atau kelompok-kelompok fungsional dalam masyarakat
negeri/desa. Kelompok kedua terdiri dari figur-figur/pejabat-pejabat
tradisional yang hanya mempertahankan sebagian dari fungsi sebelumnya, seperti
misalnya Tuan Tanah (the lord of the land). Kelompok ketiga
adalah figur-figur tradisional yang fungsi aslinya sebenarnya telah usang/tidak berfungsi lagi seperti Malessi atau Kapitan (millitary commander).
Selanjutnya, kelompok keempat yaitu figur-figur khusus/tertentu, seperti Mauweng (a religious official) yang tidak lagi terisi dan hanya ada dalam
ingatan masyarakat.
Ada 8 jabatan/kekuasaan yang terwakili di hampir
setiap Badan Saniri Negeri di seluruh wilayah : Radja, Kepala-kepala Soa, Tuan Tanah, Kepala-kepala Adat, Kapitan,
Kewang, Marinyo dan anggota-anggota biasa yang terpilih. Namun konstelasi
jabatan-jabatan yang ada saat ini, berkembang hanya secara bertahap seiring
waktu.
Unit politik paling awal yang diketahui, adalah komunitas
yang cukup sederhana yang terdiri dari, sekelompok kecil keluarga-keluarga yang
telah berpindah dan bermukim di lokasi tertentu, mungkin sebelum tahun 1450 AD
(Masehi). Masing-masing pemukiman paling awal ini dipimpin oleh seorang Upu, yang bertanggung jawab atas semua
hal yang berkaitan dengan hal-hal duniawi. Pada masalah-masalah militer, ia
dibantu oleh seorang Malessi. Untuk
urusan agama dan relasi dengan kekuatan-kekuatan yang menghuni “dunia lain”
dilakukan oleh seorang Mauweng dan
para pembantunya yaitu Malimu atau Maitale.
Upu, secara teoritis adalah keturunan dari pemimpin salah
satu soa, kelompok-kelompok migran paling awal3. Akhirnya, 2 atau
lebih kelompok keluarga tersebut bergabung untuk membentuk pemukiman kecil yang
disebut Aman4. Aman adalah
suatu pemukiman yang agak lebih kecil dari selanjutnya kemudian berbentuk
negeri/desa, dan pada masa itu, soa juga
lebih kecil dari saat ini. Kelompok itu hanya terdiri dari mata rumah asali, suatu keturunan berbasis patrilinial yang ada
pada migrasi awal. Patrilinial lain (mata
rumah) selanjutnya ditambahkan ke soa.
Anthoneta Benjamina Anakotta, Radja Saparua (1969 - 1996) |
Dalam prosesnya, seorang pemimpin/penguasa tunggal, latu muncul di antara berbagai kepala (upu) dari kelompok-kelompok kecil (soa). Pemimpin-pemimpin lainnya adalah
pembantunya, namun masih bertanggung jawab atas kelompok asal mereka sendiri. Patrilinial
awal tetaplah dibedakan secara khusus dan pemimpinnya dikenal dengan gelar tuan tanah, bahkan jika hal itu
digantikan oleh patrilinial lain di posisi tertinggi. 3 jabatan dapat ditemui
pada masa kini dari perkembangan ini, yaitu latu,
kepala soa dan tuan tanah.
Perkembangan lain yang disebabkan oleh pertumbuhan
ukuran dan kekuatan pemukiman, adalah pembedaan-pembedaan fungsi. Sepertinya,
dalam soa asli, semua fungsi dipegang oleh upu,
yang menjabat sebagai Raja, iman dan
komandan perang, dan yang mungkin
menjadi pemimpin, justru karena dia diyakini memiliki kemampuan dan kekuatan
khusus dalam bidang penting ini. Legenda tentang waktu awal berhubungan dengan
banyak peristiwa dimana kualitas ini dimanifestasikan, sehingga memberi manfaat
besar pada komunitas. Namun, saat populasi berkembang, kelompok-kelompok
menjadi lebih kompleks dan kontrol teritorial diperluas. Menjadi penting bagi upu (sekarang disebut latu) untuk mendelegasikan beberapa “kekuatannya”
kepada orang lain, yang mungkin bertindak sebagai pembantunya, tetapi tidak
diakui/dianggap menjabat jabatan terpisah. Jabatan-jabatan ini berkembang dalam
fungsionalisasi bidang-bidang administrasi (latu,
kepala soa, marinjo, alamanan), agama (tuan
tanah, mauweng, ma’atoke0, perang (malessi),
urusan tanah (kepala dati dan kewang)5.
Ada beberapa bukti, bahwa sejak saat negeri didirikan hingga sekitar akhir abad
ke-19, ada jabatan-jabatan serupa yang melekat pada masing-masing soa – kepala soa, mauweng, malessi, alaman dan
marinjo – tetapi hanya kepala soa dan marinjo yang tetap ada dewasa ini.
Seiring dengan pertumbuhan populasi dan negeri-negeri
berkembang, aman mulai bergabung
menjadi federasi yang disebut uli. Aman ini
terletak di perbukitan, 2 atau 3 kilometer dari garis pantai. Aman asli di masing-masing uli biasanya disebut bahkan hingga
dewasa ini sebagai negeri lama atau
“old village”. Negeri lama adalah negeri
dimana mata rumah radja dan mata rumah tuan tanah berada. Uli biasanya terdiri dari 5 atau 9 aman dengan penguasa/pemimpin yang kuat dan
aman yang kuat menyediakan pemimpin
federasi itu, yaitu Radja. Penduduk desa/negeri dipimpin oleh penguasa yang
lebih “rendah” yang disebut pati atau
orang kaja. Uli telah ada sebelum
kedatangan Belanda pada tahun 1605, dan mungkin sebelum kedatangan Portugis
tahun 1512. Kemungkinan besar, proses federasi terjadi sebagai akibat dari
perpindahan kelompok-kelompok pendatang yang kuat dari Jawa, Sulawesi atau
bahkan Maluku Utara. Kelompok-kelompok ini mampu menaklukan populasi/penduduk
Maluku Tengah, karena mereka memiliki senjata dan ketrampilan yang lebih maju. Keluarga-keluarga
penguasa di beberapa negeri penting seperti Hitu, Nusaniwe, Soya, Aboru,
Tulehu, mengklaim hubungan dengan hal itu, jika bukan keturunan langsung,
mungkin leluhur mereka yang berasal dari Jawa bagian timur atau selatan
Sulawesi.
Jadi, pada saat bangsa Eropa muncul, sistim dasar
pemerintah yang ada pada saat ini, sudah berkembang. Bentuk-bentuk itu terutama
ada di Seram, tetapi tambahan-tambahan penting lainnya diperkenalkan dari
wilayah lain. Kedatangan orang Eropa dan pembentukan pemerintahan kolonial, membawa
kekuatan baru kedalam sistim ini. Belanda menghancurkan sistim uli dan menggantinya dengan
negeri-negeri otonom, yang secara langsung tunduk pada penguasa VOC. Mereka
memecah federasi menjadi unit-unit yang lebih kecil dan dengan demikian
melemahkan potensi pusat-pusat perlawanan. Tambah lagi, unit-unit kecil seperti
itu lebih mudah dimanipulasi untuk Belanda memperoleh tujuan ekonominya,
terutama monopoli pada perdagangan rempah-rempah, dan untuk mengawasi
subjek-subjek populasi yang tertib dan patuh. Realisasi dari tujuan ini,
diperlukan setidaknya selama 50 tahun, mendekati paruh terakhir abad ke-17.
Selama perpindahan-perpindahan (dislokasi) umum dan
ketidakstabilan yang menandai periode pembentukan negeri/desa (sekitar 1480 –
1660), aman mulai menghilang. Dewasa
ini hanya soa dan mata rumah masih tetap ada dalam
struktur pemerintahan negeri. Beberapa perang sengit di berbagai bagian Maluku
Tengah antar kelompok-kelompok dalam wilayah itu, dimana kekuatan luar,
termasuk negara-negara Eropa terlibat secara berkala. Pergolakan umum yang
menyebabkan perpindahan dari perbukitan ke garis pantai. Beberapa mata rumah, dan bahkan soa di dalam aman
pun dilikuidasi atau dibuang ke tempat lain sebagai bentuk hukuman6.
Gubernur Belanda/VOC di Ambon memimpin ekspedisi hongitochten (ekspedisi penghukuman) terhadap pemukiman yang tidak
patuh. Ekspedisi itu dijalankan oleh cora-cora
(perahu perang) yang didatangkan dari negeri/negeri dan diawaki oleh
penduduk negeri. Level dan partisipasi penduduk negeri dalam ekspedisi ini
menentukan penghargaan atau hukuman, yang pada gilirannya mempengaruhi dalam
soal kepemilikan tanah atau pengelolaan tanah, keluarga yang berkuasa dan
tingkatan penguasa dari negeri itu. Selain perang, kedatangan Islam dan Kristen
pasti menyebabkan jumlah kelompok-kelompok tertentu untuk berpindah secara
sukarela, seperti misalnya ketika perbedaan agama memisahkan suatu negeri
tertentu menjadi 2 atau lebih kelompok7.
Jabatan-jabatan
pada Pemerintahan Negeri
Belanda mempertahankan pola sebelumnya dengan
membagi penguasa menjadi 3 tingkat, dengan Radja sebagai yang tertinggi. Negeri-negeri
yang menjadi pemukiman utama uli, gelar
radja diteruskan meskipun penguasa tidak menjalankan yuridiksi atas
negeri-negeri lain. Meskipun dewasa ini, kepala desa biasanya merujuk pada
gelar umum bagi pemerintah negeri, penduduk negeri hampir selalu menyebutnya
sebagai Bapak Raja. Istilah Radja sebenarnya berasal dari bahasa
Sansekerta dan mungkin diperkenalkan sebelum kedatangan Belanda. Terminologi
adatnya adalah latu, yang nama itu
masih dipertahankan dan sering digunakan dalam upacara. 2 gelar lain dari penguasa/pemimpin
negeri adalah Patih dan tingkat yang
lebih rendah, Orang Kaja, yang
berarti “ man of high position”8.
Raja Negeri Saparua, Inalatu Soahuku dan Raja Hukuanakotta |
Pemerintah kolonial Belanda menganugerahkan Radja,
Patih, dan Orang Kaja, masing-masing dengan kepala
rotan perak (silver-headed baton) sebagai simbol pelantikan dan otoritas
politik mereka. Setelah beberapa tahun bertugas, seorang radja akan meningkat
statusnya, yang dilambangkan dengan tongkat
mas (gold-headed baton or staff). Patih atau Orang Kaja juga bisa naik
statusnya melalui cara melakukan kerja-kerja luar biasa untuk pemerintah
kolonial.
Perbedaan status ini, bagaimanapun pentingnya bagi
individu yang terlibat atau terhadap protokol kolonial, tidak signifikan di
dalam desa/negeri. Orang Kaja dan Raja, tampaknya memiliki status yang relatif
sama terhadap masing-masing rakyatnya. Mereka adalah figur tertinggi di
negeri/desa tertentu – yang paling
dihormati, yang paling ditakuti dan paling berkuasa/kuat. Tampaknya tidak
ada bukti-bukti kuat, bahwa ada perbedaan tingkatan/level di antara
pemimpin/penguasa desa/negeri pada masyarakat Seram Asli. Hal ini memberi kesan
bahwa sistim uli diperkenalkan ke
Ambon, dan mungkin juga Lease, oleh kaum imigran dari bagian-bagian lain
Nusantara. Munculnya istilah Patih memperkuat
hipotesis ini.
Penguasa/pemimpin negeri/desa biasanya berasal dari
tingkatan tertinggi aristokrasi negeri/desa. Posisi ini cenderung bersifat
turun temurun/pewarisan. Pada masa-masa sebelumnya, putra tertua radja,
biasanya menggantikan ayahnya, kecuali jika dia jelas tidak mampu. Seorang ayah akan membuat pilihan dan
menyiapkan “putra mahkota” untuk menggantikan perannya di masa depan. Dewan
desa/negeri menyetujui pilihan itu dan melantiknya setelah kematian ayahnya. Pada
masa-masa yang lebih baru ini, secara umum dipahami bahwa radja harus berasal
dari satu di antar sekelompok keluarga tertentu9, yang dianggap
memiliki hak turun temurun dan tanggung jawab adat untuk memerintah. Di
sebagian besar negeri/desa, setidaknya ada 2 klan dengan hak prerogatif ini, klan
yang berkuasa sebelum pemerintahan kolonial dan klan yang diangkat untuk
berkuasa oleh Belanda10. Di sejumlah negeri/desa, hanya ada satu
klan (mata rumah) yang memerintah
sepanjang yang bisa diingat. Negeri-negeri/desa lain pernah mengalami periode
ketika pemerintahan dirampas oleh orang-orang yang tidak punya hak turun temurun
untuk itu. Dalam kasus-kasus seperti itu, kita sering mendengar cerita-cerita
kemalangan yang menimpa keluarga perampas dan desa/negeri itu. Kepercayaan/keyakinan
umum bahwa kelompok keturunan tertentu memiliki hak prerogatif sesuai adat, dan
apapun yang menyimpang dari adat, akan tertimpa malapetaka/bahaya.
Awalnya, radja benar-benar penguasa mutlak, lebih
dari itu, sangat ditakuti daripada dihormati. Dia mewakili semua kekuatan
leluhur, pada garis dia berdiri dan atas
nama siapa dia memerintah, dia juga memiliki kekuasaan sementara yang besar
karena didukung oleh rezim kolonial. Dibawah pengawasan VOC, penguasa/pemimpin
desa/negeri sebenarnya hukum itu sendiri, selama dia memenuhi tuntutan para
pejabat VOC/kompeni. Sistim kolonial bergantung pada amannya kerjasama para
penguasa lokal, bahwa barang dan jasa yang diinginkan akan sampai untuk pemerintah
Belanda dengan biaya yang lebih murah. Di Maluku Tengah, seperti di tempat
lain, berbagai imbalan diiberikan kepada pemerintah negeri. Penduduk
negeri/desa biasanya diminta untuk memberikan layanan kerja pribadi yang
disebut heerendienst (layanan pada
penguasa), untuk radja dan istrinya11. Belanda juga memberikan radja
dengan pembayaran tahunan (disebut
nohosi) dalam bentuk komoditas. Hal itu dianggap sebagai kompensasi atas
hilangnya hak pribadi yang dipertahankan dengan syarat agar semua rempah-rempah
dijual langsung ke pemerintah. Sebelumnya, warga telah membayar sebagian dari
hasil panen tahunan mereka untuk radja12. Penguasa/pemimpin negeri
juga menerima bonus untuk setiap pemuda dari negeri/desanya yang masuk dinas
ketentaraan kolonial13.
Tak satu pun dari keuntungan-keuntungan ini, masih
ada sampai dewasa ini, tetapi hal itu masih diingat, kadang-kadang sebagai
kenangan, mengingat remunerasi yang sangat sedikit sedang diberikan kepada
penguasa/pemimpin negeri/desa. Pada tahun 1960, misalnya, remunerasi adalah “
uang saku” tunai sebesar Rp 200 per
bulan –tidak termasuk “gaji”, yang lebih diutamakan, karena radja bukanlah
pelayan masyarakat tetapi pimpinan komunitas adat. Nilai tukarnya ini,
berjumlah sedikit lebih kurang dari $ 5,00 dan hanya sekitar $ 1,00 pada nilai
rata-rata “pasar terbuka”. Namun, kebiasaan untuk memberikan raja dengan
hadiah-hadiah dalam bentuk barang dari laut, atau dari kebun dan ladang, saat
panen bagus, masih umumnya diikuti dan merupakan manifestasi dari statusnya
sebagai pemimpin komunitas adat.
Peran pemerintah negeri saat ini lebih seperti presiden
daripada pemerintahan kerajaan/monarki. Dia adalah kepala pemerintah, kepala
eksekutif dengan asisten adminitrasi; yang umumnya gagasan-gagasan tentang
kekuatan khusus yang melakat pada figur raja tersebut telah menghilang. Dia
pilih untuk menjabat oleh penduduk negeri/desa, dan hak-hak serta tugasnya
lebih jelas dan terbatas dibandingkan pada masa sebelum masa kemerdekaan. Sejak tahun 1950, wewenang pemerintah
negeri/desa sendiri telah dikurangi jauh, dan jabatan penguasa/pemimpin telah
“menderita” akibat pembatasan dalam hal kekuasaan dan prestise.
Kepala Soa14
berfungsi sebagai pembantu penting bagi pemimpin desa/negeri. Jumlah soa di negeri-negeri tertentu dapat
bervariasi, tetapi secara umum, setidaknya minimal ada dua15 : Aboru
dengan populasi hampir 2.300 orang mempunyai 5 soa; Allang dengan kira-kira 2.800
penduduk mempunyai 8 soa; Erie dengan 600 orang mempunyai 4 soa; Naku dengan
700 orang mempunyai 3 soa; dan Soya dengan 715 orang mempunyai 2 soa, di saat
ini.
Informasi yang ada itu, menunjukan bahwa soa, kurang lebih bentuknya sekarang
ini, berasal/bermula dari pengaturan masing-masing negeri di lokasi saat ini.
Mungkin saja pada waktu yang sangat awal, soa mungkin pernah menjadi kelompok
keluarga (a kin-group)16. Kadang-kadang rumah tau “tumpang tindih” dengan soa, dan rumah tau (atau luma
tau) adalah terminologi adat untuk kelompok keturunan unilineal, yaitu mata rumah. Jika identifikasi historis rumah tau dengan soa dapat “disamakan”, yang mana menurut kami (penulis) sangat
tidak mungkin, maka soa pasti menjadi
kelompok keluarga mirip klan. Intepretasi-intepretasi yang membingungkan dari
istilah soa, mungkin muncul dari
kesalahan identifikasi soa dengan rumah tau sebagai pusatnya, kelompok
patrilineal yang terbentuk di sekitarnya itu, dan memiliki hak istimewa turun
temurun untuk berkuasa.
Laporan-laporan pada suatu waktu, menyebut bahwa
tanah dikuasai oleh soa (semua
dusun-dati dipegang dan dikelola secara komunal oleh soa), mungkin juga
menyiratkan bahwa soa pada awalnya adalah kelompok keluarga/kerabat.
Salah satu dari fungsi-fungsi utama kelompok keturunan unilineal adalah kontrol
dan administrasi dalam soal tanah. Namun, hal yang dapat dipikirkan adalah
bahwa tanah itu mungkin telah dipegang secara komunal oleh soa, tanpa perlu soa menjadi kelompok keluarga, sebelum
gangguan-gangguan yang disebabkan oleh Belanda antara tahun 1620 dan 1680. Yang
pasti, kebijakan keras Belanda itu untuk mengendalikan perdagangan
rempah-rempah, tidak hanya menggeser lokus produksi cengkih, tetapi juga secara
radikal mengubah pola penguasaan dan kepemilikan tanah di Maluku Tengah17.
Hak pengelolaan tanah secara pribadi atau oleh kelompok patrilineal
dikembangkan dibawah sistim intensig produksi rempah-rempah yang dilembagakan
setelah Belanda menggantikan Portugis pada tahun 1605.
Apapun masalahnya, tampak jelas bahwa sejak saat
negeri/desa didirikan di lokasi mereka sekarang, soa belum menjadi kelompok keluarga/kerabat melainkan kumpulan
kelompok keluarga, bahwa struktur sosial soa
dan negeri kurang lebih tetap. Satu-satunya perubahan adalah penambahan
atau penghapusan soa tertentu,
sebagai akibat dari kebijakan kolonial atau perubahan populasi. Negeri Aboru
dan Eri, misalnya, telah menambahkan jumlah soa-nya, di Soya, beberapa soa
telah lenyap (hilang).
Kadang-kadang disebutkan bahwa soa adalah sub-sub divisi geografis dari negeri/desa18. Di
Allang, misalnya, istilah soa memang
digunakan secara ambigu, dan akan mudah untuk menyimpulkan bahwa 8 soa adalah
distrik atau wilayah dalam negeri yang besar. Namun, penelitian yang cermat
terhadap data yang tersedia, memperjelas bahwa makna dari istilah ini adalah kata
bentukan (derivatif) dan hanya berlaku untuk negeri itu. Bahkan di Allang,
makna dasar dari soa tetap menjadi
kelompok patrilineal yang dipimpin oleh seorang kepala, yang membantu pemimpin
negeri. Sementara itu, soa mungkin memiliki konotasi geografis di beberapa
tempat, pada dasarnya bukan merujuk pada lokasi geografis, tetapi pada garis
keturunan. Soa adalah kumpulan kelompok keturunan unilateral, mata rumah, yang
menjadi mapan pada waktu tertentu. Mereka, di beberapa kasus, diperluas dengan
penambahan kelompok patrilineal imigran baru; sementara dalam kasus lain,
mereka berkurang, ketika mata rumah tertentu
lenyap (mati). Beberapa soa mungkin telah sepenuhnya hilang/lenyap untuk alasan
yang sama.
Kepala Soa merupakan aristokrasi desa/negeri yang lebih rendah,
dan sekarang dipilih dari antara calon yang memenuhi syarat, khususnya klan.
Seperti halnya jabatan radja, kepala soa, pada awalnya, adalah putra tertua
dari kepala soa sebelumnya (petahana). Namun, dewasa ini, jabatan tersebut
diisi melalui pemilihan. Anggota-anggota dewasa dari soa (anak-anak soa), mencalonkan kandidat, dimana nama-nama tersebut diperkenalkan
kepada seluruh pemilih. Pemilihan dilakukan oleh negeri/desa daripada oleh soa
telah dilembagakan, karena nantinya, kepala soa bertugas sebagai petugas bulan
ini (kepala soa djaga bulan), dimana
yuridiksinya meluas atas seluruh desa/negeri.
Secara umum, ada 2 kategori kepala soa. Kepala Soa Akte adalah kepala soa yang
telah disetujui dan dilantik oleh pemerintah distrik, yang menerima remunerasi
dalam jumlah kecil untuk bulan-bulan, dimana mereka bertugas sebagai kepla soa djaga bulan. Mereka memiliki
status resmi, dan karenanya, agak lebih dihormati oleh penduduk negeri. Kepala Soa Tanah atau Kepala Soa Masing, adalah kepala soa
yang dipilih sesuai tradisi negeri tetapi tidak diakui atau dilantik oleh
pemerintah distrik. Mereka memiliki fungsi tertentu dalam masalah tanah atau adat, yang memberi mereka
gelar kepala soa, tetapi mereka tidak berkuasa atas soa dengan cara yang sama
seperti kepala soa akte, juga tidak
bertugas sebagai petugas bulan ini. Mereka tidak menerima remunerasi dari administrasi
sipil. Kepala soa berfungsi sebagai anggota Badan Saniri Negeri, dan berstatus
relatif tinggi dalam masyarakat negeri, meskipun lebih rendah dari radja.
Karena fungsi kepala soa pada dasarnya administratif dan tidak terlibat banyak
kontak dengan otoritas supra desa/negeri, jabatan itu mungkin berpengaruh bagi
pihak luar, dibandingkan jabatan radja, atau jabatan-jabatan lain yang
berkaitan dengan agama atau adat, misalnya mauweng
dan tuan tanah.
Tuan Tanah merupakan terjemahan dari “lord of the land”19.
Kadang-kadang gelar tuan negeri atau tuan adat juga digunakan, tetapi tuan tanah adalah yang paling tepat dan
banyak dipakai. Jabatan ini diisi oleh keturunan turun temurun dari
leluhur/nenek moyang pertama yang menetap di daerah itu, yang mungkin dalam
banyak kasus merupakan upu pertama. Sering
terjadi bahwa garis keturunan upu ini,
kemudian secara politis digantikan oleh garis keturunan yang lebih baru, yang
kemudian dianggap dengan gelar latu atau
radja. Perubahan ini, bagaimanapun,
tidak mempengaruhi sama sekali garis keturunan sebelumnya, yang memiliki yuridiksi khusus atas tanah negeri dan hak
serta tanggung jawab mereka dalam penutupan dan membuka sasi20, menyembuhkan hal-hal yang diyakini disebabkan
oleh terjadinya kontak dengan tempat-tempat sakral dan benda-benda yang
dilarang di desa/negeri atau mengakibatkan kutukan/sumpah. Dengan memudarnya
kepercayaan tradisional, fungsi sebenarnya dari tuan tanah mulai menurun/menghilang. Namun, di sebagian besar
negeri dewasa ini, jabatan ini masih difungsikan, dan tuan tanah tampil di berbagai acara seremonial yang melibatkan
seluruh negeri.
Tuan Tanah, yang seperti juga Radja, memiliki tingkatan
tertinggi sebagai aristokrat di negeri/desa; keduanya terhubung oleh keturunan dari
pendiri asli negeri/desa. Tuan tanah tidak
menikmati status setinggi radja, karena dia (jabatan itu) telah kehilangan
banyak fungsionalnya yang signifikan. Posisi jabatan ini masih terisi melalui
cara tradisional, tuan tanah petahana
melatih putra sulungnya dalam pengetahuan adat yang diperlukan, ilmu dan
ketrampilan. Jika putra tertua tidak tertarik,tidak menetap di negeri, atau
tidak mampu, yang lain bisa dipilih dan dipersiapkan untuk memangku jabatan
ini, ketika jabatan itu kosong. Di beberapa negeri/desa, ada lebih dari satu tuan tanah, karena ada lebih dari 1
kelompok patrilineal pada kelompok imigran pertama,dan hal demikian tetap
diyakini bahwa situasi aslinya masih tetap dipertahankan/terjaga.
Kepala Adat, adalah pewaris dari beberapa fungsi mauweng dewasa ini, suatu jabatan
(mauweng) yang tidak lagi ditemukan di negeri-negeri Maluku. Mauweng (mauwen atau maueng) adalah
figur utama dalam agama asli, terutama bertugas sebagai imam dari masyarakat rahasia
religius (Kakehan), dimana semua
anggota laki-laki patasiwa hitam diinisiasi
ketika mereka dewasa21. Rumah kakehan, tempat mauweng bertugas,
terletak di hutan, agak jauh dari desa/negeri. Rupanya, masing-masing soa
memiliki mauweng, yang bertanggung jawab atas semua hal yang berhubungan dengan
“dunia lain”, termasuk agama dan adat, yang sebelum datangnya kekristenan,
tampaknya tidak dibedakan secara signifikan. Inilah sebabnya mengapa kepala adat telah menggantikan dan
menjadi bagian dari fungsi dan posisi mauweng22. Mauweng juga mempraktikan seni meramal,
menentukan peristiwa yang telah terjadi di beberapa tempat yang jauh, atau yang
akan terjadi di masa depan, untuk melindungi dan memajukan negeri/desa. Metode
umum meramal adalah memeriksa isi perut unggas atau hewan lainnya, memotong
akar jahe atau kelapa, atau menggunakan beras dan gunting.
Kepala adat dalam masyarakat Ambon dewasa ini, adalah figur
(terkadang ada 2) yang ahli dalam masalah-masalah dan upacara adat. Dia
ditunjuk oleh radja dan disetujui oleh saniri. Namun, seperti biasanya, mauweng sebelumnya, mauweng adalah putra dari mauweng sebelumnya, yang telah
mempelajari semua pengetahuan adat dan pengetahuan rahasia lainnya yang penting
dari ayahnya, untuk posisi tersebut. Ia berada dalam level yang lebih rendah
dalam aristokrasi negeri/desa, dan banyak dihormati dan ditakuti, terutama oleh
anak-anak muda, karena dia diyakini memiliki hubungan “mistis” dengan dunia
“lain”.
Kapitan23,
dalam bahasa adat diistilah sebagai malessi, juga disebut sebagai kepala pasukan (leader of the forces)
atau panglima perang (commander in
warfare). Pada awalnya, ketika ada banyak peperangan internal antar negeri, dan
saat ada penangkapan oleh orang-orang luar untuk mencari budak atau
barang-barang berharga lainnya, yang masih sering terjadi, jabatan malessi atau
kapitan sangat penting untuk keamanan negeri/desa24. Jabatan ini,
tampaknya berasal dari diferensiasi fungsi aslinya yang disinggung di atas,
dimana jabatan-jabatan khusus dibentuk untuk memenuhi kebutuhan khusus. Pada
awalnya, nampak bahwa kapitan diangkat
oleh upu latu karena kehebatannya
dalam peperangan dan sihir. Jabatan itu kemudian menjadi turun temurun, dimana
kapitan lama mengajarkan salah satu putranya, strategi dan ketrampilan
peperangan, serta ilmu rahasia sihir dan ritual.
Kapitan bertanggung jawab atas perencanaan dan memimpin
operasi-operasi militer, baik penyerangan maupun pertahanan. Dia dipercaya
memiliki kekuatan magis, yang membuat dirinya kebal terhadap senjata tajam, yang
menjamin suatu kesuksesan dalam penggerebakan, melalui upacara-upacara yang
diperlukan dan dilakukan dengan benar. Ritual ini termasuk pembunuhan unggas, menggerak-gerakan
senjata di atas api dan asap dari pembakaran kayu tertentu, tarian perang (cakalele), dan membaca dalam bahasa asli
(tanah) sebagai formula untuk
memanggil para leluhur dan mengancam para musuh25. Pengetahuan
tentang ritual-ritual seperti itu, pada dewasa ini hanya ditemui di beberapa
negeri/desa saja.
Di beberapa negeri/desa, ada 2 kapitan. Yang pertama, bertanggung jawab utama terhadap pertahanan
wilayah pesisir dari serangan dari arah laut, jabatan ini bergelar Kapitan Laut (Captain of the sea). Yang
kedua, kadang-kadang disebut Kapitan
Darat (Captain of the land), bertugas untuk menghadapi serangan dari
“belakang” atau sisi darat. Negeri-negeri di perbukitan, mungkin hanya memiliki
1 kapitan saja. Melalui konsolidasi kekuatan Belanda, wilayah – wilayah itu
relatif tenang, dan mengurangi tugas-tugas jabatan ini dalam konflik internal
dan serangan dari pihak luar. Akibatnya, semakin sedikit kesempatan untuk
mempraktikkan seni berperang di tingkat negeri/desa. Kapitan dan Malessi, akibatnya
tugas-tugas mereka tak banyak yang dilakukan, dan lambat laun jabatan ini mulai
menghilang, kecuali untuk proses-proses seremonial saja. Malesi akhirnya menghilang sama sekali. Hanya kapitan masih tetap ada, dan hanya “memelihara/mempertahankan
bayang-bayang” dari tugasnya. Jabatan ini, ada di sebagian besar negeri/desa,
tetapi fungsinya yang tersisa hanya berupa seremonial saja, seperti dalam
memperbarui ikatan pela26,
dan memimpin tarian perang (tjakalele) pada acara-acara khusus. Kapitan tidak dianggap sebagai anggota
biasa Badan Saniri Negeri, tetapi kadang-kadang, ia dapat diundang untuk ikut
dalam pertemuan/rapat. Ia sangat dihormati dan ditakuti oleh anggota komunitas,
karena posisi keturunannya terhubung dengan nenek moyang/leluhur negeri/desa,
dan terutama karena dia diyakini mewarisi kekuatan magis mereka.
Kewang, bertindak sebagai “polisi” negeri/desa atau pasukan
keamanan. Ada 2 kategori kewang, kewang biasa yang berjumlah 20 atau 30 di
negeri-negeri besar, dan kepala kewang, yang
dipilih oleh penguasa/pemimpin negeri dengan persetujuan saniri, serta
bertanggung jawab atau pasukan kewang. Seorang informan menyatakan bahwa,
kewang dipilih dari kepala dati, sejak
kelompok ini dianggap paling “dekat” dengan masalah-masalah batas tanah. Fungsi
utama kewang adalah penjagaan kebun dan hutan untuk melindungi dari perambahan.
Tanggung jawab lainnya adalah pengawasan sasi. Kewang diangkat/dipilih dari
kalangan orang biasa (rakyat jelata),
dan tidak memiliki status khusus tertentu dalam masyarakat. Kepala Kewang, walaupun bukan anggota
biasa Saniri Negeri, bisa diminta untuk hadir dalam pertemuaan ketika ada
pertanyaan atau permasalahan dalam yuridiksinya dibahas. Jabatan ini masih
memiliki fungsi nyata, meskipun telah hilang beberapa fungsi pentingnya,
seiring dengan menghilangnya adat sasi.
Marinjo, tampaknya memiliki sejarah panjang, berasal dari
masa ketika pemerintah mulai menunjukan tanda-tanda diferensiasi. Awalnya, marinjo adalah salah satu pembantu kapitan, seorang juru bicara, yang
menyampaikan instruksi dan pengumuman dari radja kepada masyarakat, bertindak
sebagai mulut radja27.
Mungkin karena berhubungan dekat dengan radja, marinjo cukup menikmati prestise dalam masyarakat negeri, meskipun
mereka bukanlah kaum aristokrat negeri/desa dan tidak memiliki posisi turun
temurun. Selanjutnya, dia menjadi pembantu Kepala
Soa dan bertugas sebagai ajudan atau pesuruh umum kepala soa selama waktu,
ketika figur itu bertugas sebagai “perdana menterinya” radja. Dewasa ini,
marinjo ditunjuk oleh saniri. Ia menerima pembebasan pajak (tak bayar pajak)
sebagai imbalan atas jasanya/tugasnya, dan menikmati status yang agak lebih
daripada masyarakat biasa. Selain tugas resminya untuk pemerintah negeri/desa,
ia juga bertugas memberikan layanan pribadi untuk radja dan kepala soa dalam
tugas bulanan.
Jabatan terakhir dalam pemerintahan negeri/desa
adalah anggota-anggota yang dipilih. Selama tahun 1920an, Belanda, dalam
menanggapi tekanan nasionalisme, melembagakan tugas-tugas ini ke
anggota-anggota yang dipilih ke dalam struktur pemerintahan. Anggota yang
dipilih ini, memiliki status lebih rendah daripada anggota yang ditentukan
secara adat. Di Maluku, 1 wakil dipilih dari antara rakyat biasa untuk
masing-masing soa. Dalam beberapa kasus, mereka yang terpilih memegang posisi
khusu dalam soa mereka sendiri. Mereka mungkin saja bisa menjadi kepala dati
atau kepala rumah tau, tetapi pada saniri, mereka duduk sebagai anggota
terpilih yang merepresentasikan pendapat masyarakat. Anggota terpilih menikmati
status lebih tinggi dari marinjo, tidak sama dengan kaum aristokrat yang
statusnya lebih rendah. Dalam saniri, mereka mungkin memiliki tanggung jawab
khusus untuk beberapa segmen kehidupan desa/negeri, seperti jalan dan
transportasi atau kegiatan pemuda.
Dua jabatan yang sebelumnya ada dalam struktur
pemerintah negeri (marinjo dan anggota yang dipilih) tidak ada lagi, kecuali
dalam ingatan segelintir penduduk berusia lanjut. Figur-figur pada jabatan ini,
kemungkinan besar, pada suatu waktu dianggap sebagai anggota saniri, tetapi
mereka tampaknya tidak memiliki status tinggi di negeri/desa28. Yang
pertama adalah alamanan atau alamanane, yang
didefinisikan oleh Kennedy sebagai “juru bicara di dewan saniri”. Rupanya,
masing-masing soa memiliki 1 alamanan di saniri. Mungkin jabatan ini adalah
cikal bakal anggota saniri terpilih modern yang konon dianggap mewakili anggota
soa. Namun, kemungkinan besar, dia adalah seorang petugas dengan hak dan tanggungjawab
khusus dalam hal-hal yang melibatkan adat, khususnya ketika saniri, atau bagian
dari itu, hadir di pengadilan. Alamanan mungkin menjadi juru bicara di
pengadilan, dengan tanggung jawab khusus untuk kasus-kasus yang melibatkan
soanya sendiri. Penarikan/pencabutan fungsi-fungsi yudisial dari saniri,
mungkin menjadi alasan hilangnya jabatan ini.
Jabatan lain yang juga sudah lama di sebagian besar
negeri, adalah ma’atoke, yang
digambarkan Kennedy sebagai penjaga baileo29, yang dituntut dengan
tanggung jawab untuk menjaga baileo agar tetap bersih dan teratur, memberitahu
radja tentang perbaikan yang harus dilakukan. Kennnedy melaporkan bahwa ada 1
ma’atoke untuk setiap soa30. Radja Elpaputih, salah satu informan
penting Kennedy pada tahun 1949, menggambarkan kepada penulis (Cooley) pada
tahun 1960, bahwa ma’atoke sebagai “penguasa baileo, orang yang bertanggung
jawab memimpin upacara yang diadakan di sana”. Deskripsi ini tidak sesuai
dengan informasi lain bahwa tuan tanah dan
kepala adat yang berfungsi pada
ritual seperti itu. Deskripsi Kennedy tentang fungsi ma’atoke tampaknya lebih
dapat diterima, karena informan lain menyebut bahwa, pada awalnya, saat
keluarga-keluarga pertama tiba di negeri, radja memberi tugas tertentu dengan
imbalan, ia memberi mereka tanah. Termasuk di antara tugas-tugas ini adalah
perawatan dan perbaikan baileo, yang dilembagakan jabatannya sebagai ma’atoke. Jabatan
ini tidak ada lagi dewasa ini, mungkin karena baileo, sebagai sebuah institusi,
mulai menghilang fungsinya.
==== bersambung ====
Catatan Kaki
1.
Terminologi
Seram untuk Negeri adalah Hena atau Yama.
Kata
Negeri, mungkin menggantikan istilah-istilah itu akibat pengaruh dari barat
Nusantara, namun kapan tepatnya tidaklah diketahui dengan pasti. Seorang
informan menyatakan bahwa kata negeri berkembang dari kata negorij, terminilogi
yang digunakan oleh VOC untuk menyebut negeri-negeri/desa di Maluku, seperti di
Afrika Selatan untuk negeri-negeri Negro di sana. Radjawane “ The Structure of
Village Government”, hal 1. Suatu Kamus Belanda mengidentifikasi kata negorij
sebagai terminilogi melayu untuk nagaree, tetapi juga menjelaskan kata negerij
berarti “negeri/desa negro” dan berasal/berakar dari kata, negeri, negro. Engels
Woordenboek (Groningen:
Wolters,
1959), hal. 550.
2.
Kata Adat yang digunakan dalam kajian ini, merujuk
pada struktur norma-norma yang mendasari kelakuan, sifat konvensional pribadi
dan aturan umum yang mengatur tindakan pribadi dan kelompok.
3.
Pada awalnya, soa nampaknya, bukan kelompok keturunan
tetapi lebih kepada istilah untuk kelompok migran yang saling berhubungan.
Etimologi untuk terminologi soa tidak diketahui. Istilah adat di Alang adalah urur,
di Eri
adalah antoun, di Waraka, Seram Selatan adalah nurua. Informan-informan di Alang menyebut jika
kata soa merupakan dialek Hoamoal, Seram Barat. Yang lain menyebut itu adalah
dialek Maluku Utara.
- Aman (dengan varian-varian amang dan amano), berasal dari terminologi adat yaitu ama, yang bermakna “ayah/bapa” atau “tuan”. Suatu aman merupakan hunian yang dipimpin atau milik dari seorang ama. Negeri Soya menyebut, negerinya memiliki 9 aman, yang lokasi-lokasi masih diingat. Negeri Aboru mengklaim ada 99 aman, namun saat ditanya, anggota-anggota saniri hanya bisa mengingat 23 nama, dan ada ketidaksepakatan soal jumlah aman.
- Lihat juga : Kennedy “Field Notes, 1955”, hal 79. Kepala dati dipilih dari dalam kelompok patrilineal untuk memutuskan distribusi kelompok patrilineal pengelola tanah dan produksinya.
- Hal ini terjadi di negeri Allang pada akhir abad ke-17, dan pastinya nyaris di negeri-negeri lain juga
- Tetua-tetua negeri Allang menyebut bahwa, sebelum negeri mereka menerima kekristenan pada tahun 1622, masyarakat mereka sebagian Muslim dan sisanya Alifuru. Beberapa dari masing-masing kelompok mungkin memilih keluar dari negeri itu daripda menerima konversi.
- Istilah-istilah Patih dan Bupati, menyiratkan pada pejabat-pejabat administrasi, umumnya di Jawa. Patih, di Maluku, jelas adalah kata pinjaman dari bahasa Jawa dan berakar pada salah satu bahasa-bahasa India. Pada bagian glosari milik Kennedy di bukunya, (tidak disusun sendiri oleh Kennedy), patih diidentifikasi sebagai kata dari bahasa Ambon, namun hal ini semuanya tidak meyakinkan. Pada glosari itu, Kennedy menyatakan bahwa Orang Kaja lebih tinggi tingkatannya dari Patih, yang terakhir ini (patih) didefinisikan sebagai “bangsawan tingkat 3”. Saya (Cooley) dapat berasumsi soal hal ini, bahwa penyusun glosari itu tidaklah familiar dengan rincian-rincian masyarakat Maluku. Informanku menyebut patih berada di tingkat kedua dan orang kaja di tingkat ketiga. Gelar orang kaja dikenal dalam dunia melayu dan bertugas di wilayah sekitar Malaksa saat Portugis menaklukan kota itu tahun 1511. Secara umum digunakan untuk pemimpin negeri di Maluku Tengah dalam laporan-laporan awal Portugis dan Hikajat Tanah Hitu milik Ridjali. Karya terakhir ini disusun sekitar tahun 1650 dalam bahasa melayu tapi menggunakan teks Arab, mungkin oleh penduduk asli kepulauan Ambon. Karya itu merupakan sumber tertulis paling awal tentang wilayah itu oleh penulis asli yang bisa diketahui.
- Ini merupakan bentuk singkat dari terminologi teknis kinship yang lebih disukai oleh Koentjaraningrat, “Villages in Indonesia” (Ithaca, N.Y.: Cornell University, 1967), p. 141. Pada publikasi-publikasi lain, penulis biasanga menggunakan istilah klan atau patriat mengikuti Murdock “Social Structure” (New York: Macmillan, 1949), pp. 63-69.
- Di beberapa negeri, legenda selanjutnya berhubungan dengan situasi itu. Penguasa di negeri lama di perbukitan diminta untuk bertemu dengan komandan Belanda atau Portugis. Ia takut atau juga terlalu angkuh untuk pergi sendiri, dan pembantunya, yang dalam beberapa kasus adalah marinjo akan turun sendiri, yang kemudian hasilnya kemudian diakui sebagai penguasa oleh orang luar.
- Masing-masing minggu atau bulan, sejumlah orang muda/pemuda, biasanya antara 5 hingga 8 tergantung besarnya negeri, diwajibkan bekerja untuk radja, utamanya mengelola tanahnya. Para pria pekerja itu disebut kwarto, mungkin dari terminologi Portugis yang menyiratkan tentang pembagian asli para pelaut dalam menjaga kapal-kapal. Wanita muda pekerja itu, disebut hakakil, yang bertugas di rumah membantu istri radja. Sistim ini dihapus pada tahun 1920, karena hak asasi kwarto dan hakakil sering diselewengkan. Hal ini digantikan oleh pembayaran gaji bulanan ke pemimpin negeri. Gaji itu pada kenyataannya, cukup untuk membiayai gaya hidup mahal pemimpin negeri hanya untuk 2 minggu saja.
- Menurut salah satu pemimpin negeri, nahosi termasuk : beberapa kotak bedak merah yang digunakan dalam tarian cakalele, cermin dan manik-manik, 77 yard kain putih, 60 yard katun, 7 gulungan kayu masing-masing 30 yard kain dril dan 12 gulungan kayu 12 yard kain merah (kain berang), yang digunakan pada busana saat upacara.
- Keluarga dari anak memperoleh 250 guilder. Kemudian jumlah ini dikurangi menjadi 50 guilder untuk penguasa dan 60 untuk keluarga.
- Terminologi adatnya adalah mutuaella, menurut Kennedy, “Fieldnotes, 1955," p. 117.
- Secara pribadi, penulis tahun bahwa tidak ada kasus yang lebih dari 8, walaupun hal itu masih ada, khususnya di antara pemukiman-pemukiman muslim yang lebih besar
- Kennerdy mengidentifikasi hal itu ada di 2 tempat , yaitu di Sulawesi Selatan (hal 256), dan Ambon (hal 345).
- Cooley, Ambonese Adat, A General Description (New Haven: Yale University, 1962), p. 58.
- Sebagai contoh, Kennedy, “ Field notes, 1955” hal 256. Ada 2 kemungkinan penafsiran yang satunya menjelaskan soa sebagai unit geografis. Yang kami pertimbangkan dan simpulkan sangat tidak mungkin, yaitu gagasan bahwa soa adalah kelompok keluarga dan karenanya merupakan unit pengelola tanah. Dalam hal ini, tanah sangat mungkin telah dilokalisir ke dalam satu distrik/wilayah. Kemungkinan lain adalah mengidentifikasi soa dengan aman, yang tampaknya dilakukan Kennedy dalam "Fieldnotes, 1955," p. 333. Karena aman adalah uni geografis, maka soa secara alami juga demikian. Penulis tidak melihat bukti untuk asumsi ini
- Ada beragam terminologi adat, yang semuanya memiliki arti yang sama : amanopunjo, amanapui, amanupui, latunusa
- Sasi adalah pengumuman penutupan musim produk laut dan darat, jika dianggap dibutuhkan untuk kepentingan konservasi. Cooley, Ambonese Adat, pp. 77-80.
- Ini adalah lembaga khusus dalam sistem keagamaan pribumi yang tampaknya telah menjadi ciri masyarakat Seram. Perpindahan penduduk dari Seram ke Ambon-Lease mungkin mendahului kedatangan Islam dan Kristen hanya dalam waktu singkat. Karenanya institusi utama agama pribumi belum ditanamkan secara mendalam. Karena alasan ini, baik Islam maupun Kristen jauh lebih cepat dan mudah diterima di Ambon-Lease daripada di pedalaman Seram, di Buru atau di Maluku Tenggara, di mana mereka jauh lebih tahan terhadap semua upaya misionaris.
- Bagian lain dari fungsi dan posisi religius diambil alih oleh tuagama, yang di masa sebelum banyak negeri kongregasi Protestan di layani oleh pendeta atau guru djemaat “teacher preachers”, yang merupakan figur religius penting pada negeri-negeri Kristen
- Nama dari jabatan ini dirubah dari terminologi adat ke kata Portugis beberapa waktu setelah tahun 1512.
- Kennedy meyakini bahwa hal itu pasti ada seandainya setiap negeri minimal memiliki 1 musuh tradisional, lihat "Fieldnotes, 1955," pp. 307-308.
- Untuk pendeskripsian kegiatan ini, lihat Kennedy, “Fieldnotes, 1955”
- Cooley, Ambonese Adat, pp. 71-77. Pela adalah ritual ikatan persahabatan atau kewajiban menguntungkan antara negeri-negeri
- Ia menyebut maitale dalam 1 dialek, varian-varian istilah itu adalah malimu dan marimu. Gelar Marinjo diperkenalkan setelah tahun 512, dan berasal dari merinho, terminologi Portugis yang berhubungan dengan jabatan
- Salah satu jabatan ini disebutkan hanya 1 kali oleh penulis, pada saat kunjungan kedua di wilayah itu, tapi di laporkan oleh Kennedy, khususnya dalam penelitiannya di kawasan Elpaputih Seram Selatan. Kennedy, "Fieldnotes, 1955," pp. 140, 179, 184ff.
- The village adat-house; see Cooley, Ambonese Adat, pp. 8-13.
- Kennedy, "Fieldnotes, 1955," pp. 179, 184.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar