- Pendahuluan
Berbeda pendapat, pemikiran dan beragam hal dari
yang remeh temeh hingga serius adalah hal yang manusiawi dalam kehidupan. Benarlah kalimat bijak..... rambut boleh sama-sama hitam, tetapi isi
kepala tidaklah sama. Perbedaan
pendapat itu disebabkan oleh pola pikir dari masing-masing individu yang
berbeda, cara memandang sesuatu masalah dari perspektif yang beragam.
Perbedaan pendapat di kalangan sarjana adalah
hal intelektual itu sendiri. Ada yang sependapat, tapi beberapa juga yang
berbeda pendapat.
Artikel terjemahan ini, adalah fragmentasi
dari perbedaan pendapat di kalangan sarjana terkemuka di bidangnya. Ini bermula
dari tinjauan/resensi dari Chris. F. Fraasen terhadap salah satu karya
sejarahwan Leonard Yuzon Andaya. Pada tahun 1993, karya Andaya diterbitkan oleh
University of Hawaii Press dengan judul The
World of Maluku : Eastern Indonesia in Early Modern.
Chris. F. Fraasen seorang antroplog asal Belanda
yang meraih gelar PhD dengan disertasinya tentang Ternate, melakukan riview
atau tinjauan/resensi terhadap karya Andaya ini. Sebenarnya, tinjauan Fraasen
ini pertama kali dimuat dalam Bijdragen
tot de Taal-,Land-en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie volume 150, 2e
aflevering tahun 1994, kemudian dipublikasikan lagi oleh Journal Indonesia dari Cornel University pada
Oktober 1994 no 58 dengan versi yang lebih singkat. Versi itulah yang kami
terjemahkan ini.
Review dari seorang sarjana terhadap karya
sarjana lainnya, merupakan hal yang biasa dan perlu dalam dunia akademis, namun
kali ini agak “berbeda” karena tinjauan van Fraasen dianggap menyerang dan
mendiskreditkan karya Andaya ini.
Pada salah satu alineanya, van Fraasen bahkan
sampai menyebut kalau buku Andaya seperti produk turis bergelar sarjana..... dan
dalam tanggapan baliknya, Andaya juga menyebut kalau rekonstruksi historis van
Fraasen pada naskah disertasi PhD-nya dangkal dan tidak reflektif.
Kami merasa “perlu” menerjemahkan tinjauan
review ini dengan 2 pertimbangan, yang pertama adalah bahwa apa yang dilakukan
oleh 2 sarjana hebat itu, adalah perspektif mereka terhadap sejarah orang kita,
sejarah orang Maluku. Kita perlu membacanya, sehingga minimal mengerti pola
pikir dan produk pemikiran “orang luar” terhadap sejarah kita sendiri. Yang
kedua adalah kami ingin menyajikan dan minimal menciptakan serta membiasakan
“budaya” berdebat itu sendiri bagi kita sendiri. Bakumalawang adalah hal yang manusiawi, namun bakumalawang dengan argumentasi yang tertata, nalar yang hebat akan
menghasilkan sintesis dan antitesa dalam kehidupan manusia.
Perlu dijelaskan juga, bahwa terjemahan
“perdebatan” intelektual ini, kami bagi menjadi 2 bagian, dimana bagian pertama
berisikan tinjauan van Fraasen serta tanggapan balik dari Leonard Andaya,
bagian kedua berisikan “penjelasan” sejarahwan hebat lainnya Anthony Reid yang mencoba
untuk “mendamaikan” perseteruan itu, dan tanggapan balik dari van Fraasen
terhadap apa yang ditulis oleh Reid.
Leonard Yuzon Andaya adalah Profesor sejarah
yang banyak menulis buku-buku dan artikel bermutu tentang sejarah Asia
Tenggara, misalnya The Heritage Arung
Palaka (1981), Leaves of the same tree : Trade and Ethnicity in the Straits of
Melaka (2008), The Kingdom of Johor (1975), History of Malaysia bersama
istrinya Barbara Watson Andaya (1982, 2000), Centers and Peripheries in Maluku (1993), Local Trade Networks in
Maluku in 16th, 17th, 18th centuries (1991), The Bugis-Makasar Diasporas
(1995), The social value of Elephant tusks and bronze drums among certain
societies in eastern Indonesia (2016) dan lain-lain.... sedangkan Chris F.
Fraasen juga menulis beberapa artikel bermutu dan mengeditori sumber-sumber
sejarah Maluku Tengah seperti Drie plaatsnamen uit oost-indonesie in de
Nagara-Kertagama : Galiyao, Muar en Wwanin en de vroege handels-geschiedenis
van de Ambonse Eilanden (1976), Atjeh en de Islam (1970), Islam in de Molukken
(2003), Bronnen Betreffende de Midden Molukken 1796 – 1902 (1997), Bronnen
Betreffende de Midden Molukken 1902 – 1942 (1997).... Anthony Reid juga
dikenal sebagai seorang pakar sejarah Asia Tenggara dengan buku-bukunya yang
terkenal seperti Southeast Asia in the
age of commerce 1450 – 1680, 2 volume (1988, 1993), The Blood of the people (1979).
Akhir kata selamat membaca... selamat
menikmati perdebatan intelektual para sarjana yang telah menghasilkan
karya-karya bermutu itu....semoga kita bisa belajar menghargai, menghormati
pendapat dan pemikiran orang lain, meski sangat bertentangan dengan pemikiran
kita, semoga kita bisa mengambil manfaat dari perdebatan intelektual
mereka....semoga....
- Terjemahan : (oleh Kutu Busu)
Kritikan Chris.F. van Fraasen
Buku The World of Maluku meliputi (kajian) tentang 3 abad interaksi
orang Eropa dan Maluku (sejak abad ke-16
hingga ke-18). Maluku, yang lebih tepat kata Maluku adalah (hanya terdiri dari 4 wilayah yaitu Ternate,
Tidore, Jailolo dan Bacan), tumpang tindih dengan bagian Provinsi Maluku
Utara dewasa ini. Keempat wilayah ini, penting dalam sejarah Indonesia karena
sebuah fakta bahwa hingga abad ke-16, wilayah itu mengendalikan produksi
cengkih dunia secara total. Posisi kekuasaan para penguasa di 4 wilayah ini,
didasarkan pada daya cengkeraman mereka pada produksi dan perdagangan cengkih,
yang sangat diminati di Asia dan Eropa. Portugis dan Spanyol tertarik oleh
perdagangan cengkih dari awal abad ke-16, dan mereka menciptakan aliansi
masing-masing dengan Ternate dan Tidore. Pada awal abad ke-17, Perusahaan
Hindia Timur Belanda (VOC) menjadi kekuatan Eropa yang dominan di Maluku. Pada
masanya, VOC menciptakan monopoli dalam hal membeli dan memperdagangkan
cengkih, menghalangi semua perdagangan bebas, dan mengendalikan kehidupan
politik di Maluku.
Buku Leonard Y Andaya (versi terjemahan Indonesia) |
Dalam buku yang sedang
(kami) tinjau ini, Leonard Andaya, sambil menyajikan sketsa jalannya
peristiwa-peristiwa, menekankan pada kesenjangan antara lingkungan intelektual
Eropa dan kerangka acuan Maluku tentang persepsi historis, hubungan pusat – pinggiran (center – periphery),
klasifikasi simbolik dan lain-lain. Menurut Andaya, ada celah ketidakpahaman
antara, di satu sisi, orang-orang Eropa, yang dunia mentalnya didasarkan pada
prinsip-prinsip klasik dan Kristen, dan di sisi lain, orang-orang Maluku, yang
menekankan kesatuan alam semesta mereka pada suatu fakta bahwa alam semesta
mereka terdiri dari 4 wilayah yang terbagi dalam 2 bagian, diwakili oleh
Ternate dan Tidore.
Deskripsi tentang apa yang
disebut oleh Andaya sebagai “Dunia Eropa” pada dasarnya adalah sinopsis dari beberapa
buku tentang masalah ini. Lebih sulit adalah deskripsi dan analisis tentang
“Dunia Maluku”. Andaya benar saat mengamati (dan menyatakan) : “Menyarankan apa yang mungkin menjadi
keprihatinan/kekhawatiran utama orang Maluku di masa lalu adalah perkara yang
sangat beresiko” (halaman 21). Namun demikian, ia tampaknya cukup yakin
dengan dirinya sendiri, saat menulis : “
Ada cara khusus orang-orang Maluku untuk mengatur dan menafsirkan sejarah
mereka. Ketika peristiwa dalam periode yang diteliti/dikaji ditempatkan dalam konseptual
kerangka kerja orang-orang pribumi ini, kegiatan baik dari orang luar dan
penduduk pribumi memperoleh arti penting khusus yang memberikan penafsiran
khusus tentang masa lalu Maluku” (halaman 22). Nilai pernyataan ini sangat
tergantung pada pengetahuan dan pemahaman Andaya tentang “konseptual kerangka kerja orang pribumi”. Andaya tidak menggunakan
sumber-sumber tertulis Maluku yang paling penting yang tersedia (yaitu Sejarah
Ternate, yang disusun oleh Naidah, yang diterbitkan pada tahun 1878a,
dan Hikayat Ternate, yang disimpan di
Perpustakaan Universitas Leiden)1. Satu-satunya sumber tertulis
Maluku yang disebutkan dan digunakan oleh Andaya adalah esai yang diketik,
disusun pada tahun 1979. Selain itu, ia tidak terlalu tekun “berkonsultasi”
dengan sumber-sumber Eropa dimana konseptual
kerangka kerja Maluku dijelaskan dan dianalisis. Lebih jauh lagi,
sejumlah pernyataan secara jelas didasarkan pada penggunaan kerangka kerja
teoritis yang tidak kritis, yang dikembangkan oleh para antropolog.
Beberapa contoh yang dipilih
secara acak, akan cukup untuk menggambarkan poin-poin penting ini. Cukup banyak
kata-kata, istilah dan nama-nama dalam bahasa Maluku, yang keliru
diterjemahkan/ditafsirkan. Gelar asli dari “prime minister/perdana menteri”
atau vizir bukanlah jogugu (yang ditafsirkan sebagai versi singkat dari
kolano magugu oleh Andaya dan diterjemahkan sebagai “the lord who holds the
kingdom in his hand”) tetapi yang sebenarnya adalah gogugu, yang secara literal bermakna “manager”. Kata Fato
tidak bermakna “ to tell the history”
tetapi yang benar adalah “to order”; kata
bobato tidak bermakna “that which gives order” tetapi yang
benar adalah “he who brings order”. Kata
Guna tidak bermakna “fortune” tetapi bermakna “usefulness, virtue, quality”.
Cara
Andaya mengelola sumbernya, diilustrasikan dengan sempurna dengan membandingkan
ekstrak dari The Treatise (yang oleh
Andaya dianggap berasal dari tanpa menyebutkan Galvao) dengan ekstrak dari penelitian
Andaya berdasarkan ekstrak yang relevan dari The Treatise.
Ada pejabat lain (di) istana, yang mereka
sebut Pinate, dalam
dirinya seorang pemimpin upacara dan seorang pengawas kerajaan dikatakan
menyatu. Dia ditunjuk dengan tugas untuk memungut dan menugaskan/memerintahkan
masing-masing kota sejumlah bahan makanan yang harus disediakan, dan mengumpulkan
serta memerintahkan penyiapan makanan untuk jamuan makan dan para tetamu2
Awalnya, perdagangan internasional
dengan mudah digabungkan dalam ritual pertukaran tradisional. Galvao
menggambarkan praktik yang sudah lama dilakukan, dimana produk dari wilayah ini
pertama kali dikirimkan kepada penguasa melalui pejabat yang dikenal sebagai Pinate
dan kemudian dikonsumsi dalam sebuah
upacara komunitas. Upacara semacam itu sangat dikenal dalam literatur
antropologis dan ditafsirkan sebagai pertukaran simbolis, yang menegaskan
kembali ikatan antara rakyat dan para pemimpinnya (Andaya, halaman 56-57)
Hal demikian menyesatkan, dengan mengingat fakta-fakta yang tersedia tidak dapat dibenarkan, untuk mengagambarkan penguasa Maluku abad ke-16 sebagai Primus Inter Pares (halaman 60, 69). Andaya secara tidak kritis mengikuti Valentijn (1724) yang dalam tulisannya menyebut bahwa di Ternate, ekspansi awal dipimpin oleh Fala Raha (four houses) (halaman 83); faktanya, hanya 2 dari 4 “ houses”, yaitu Tomagola dan Tomaitu, yang melakukan aksi di luar Ternate. Andaya tampaknya tidak menyadari bahwa VOC memiliki kepentingannya sendiri dalam menekankan kepastian formal Ternate atas Sulawesi Utara dan Timur (halaman 84-85); dengan mengakui pretensi kedaulatan Ternate, maka Belanda sebagai “tuan” dari Ternate, secara tidak langsung mengklaim dirinya sebagai “tuan” juga atas semua wilayah “jajahan” Ternate, dan oleh karenanya menciptakan dasar hukum untuk menolak semua akses ke daerah-daerah ini bagi siapa pun juga, yang bisa menjadi ancaman terhadap posisi Belanda di Nusantara. Yang juga perlu dipertanyakan, apakah pusat dan pinggiran melihat diri mereka sebagai anggota dari satu keluarga Maluku (halaman 112), dan mengingat banyaknya penolakan terhadap otoritas dan kekuasaan Ternate di wilayah-wilayah yang oleh orang-orang Ternate dan Belanda menganggapnya sebagai “jajahan” (halaman 162); hal yang lain yang perlu dipertanyakan, apakah seperti yang dikatakan oleh Andaya bahwa “ sifat alami pertukaran produk dan jasa untuk barang-barang prestisius dan berkah spiritual itu sama sekali tidak dianggap sebagai sebagai suatu pengaturan yang tidak setara dan menindas” (halaman 112).
Contoh-contoh ini tentunya dapat ditambah lagi. Mengenai fakta-fakta, sumber-sumber historis yang telah disalin dengan cara yang tidak kritis dan ceroboh. Banyak kesalahan dan ketidakakuratan bisa dihindari dengan membaca lebih cermat. Kelemahan lain dari buku ini, adalah Andaya sama sekali tidak menyebutkan sejumlah fakta dan masalah penting, seperti fakta bahwa penduduk Maluku berasal dari daerah yang sangat heterogen. Andaya bahkan tidak membuat perkiraan jumlah penduduk Maluku.
Namun, kelemahan utama dari buku ini adalah Andaya cenderung mereduksi situasi yang kompleks menjadi gambaran sederhana, dimana orang-orang Eropa pada umumnya menciptakan kesan bagi pembaca tentang jiwa-jiwa sederhana yang di Maluku tidak kehilangan pikiran sempit Eropa mereka sendiri. Dalam pandangan saya, dia (Andaya) terlalu melebih-lebihkan, ketika dia menulis : sebagai bentuk produk yang sangat banyak dari pandangan klasik dan abad pertengahan yang turun temurun, orang Eropa percaya bahwa “luar negeri” (yaitu “pinggiran”) tidak bisa menjadi sesuatu apapun selain antitesis dari segala hal yang baik di “rumah” (yaitu “pusat”) halaman 44). Dengan mengatakan seperti ini, ia (Andaya) menyampaikan fakta, misalnya, bahwa Belanda tidak merasa ada masalah dalam melakukan aliansi dengan dunia dan kerajaan-kerajaan Islam seperti Ternate dan Hitu, agar dapat mengusir Portugis, musuh mereka dari Maluku. Dia (Andaya) juga melewatkan perbedaan pendapat dalam kubu Eropa, seperti yang muncul dalam “perdebatan” antara J.P. Coen yang memilih tindakan tegas di Maluku dengan Gubernur Ternate dan Ambon, yaitu Reael dan Van der Haghenb, yang mempertanyakan atas dasar hukum apa, sehingga para pedagang Asia dilarang “memasuki” Maluku4. Andaya juga menulis proposisi yang tidak berhasil atau tidak bisa dibuktikan, seperti : “ Konsep bangsa Eropa tentang waktu dan “kemajuan” ini sangat kontras dengan gagasan orang-orang pribumi Maluku tentang waktu yaitu berupa siklus dan episodik. Kedua metode penafsiran ini menafsirkan masa lalu, sekarang, dan masa depan merupakan masalah mendasar dalam hubungan antar kelompok dalam periode moderen awal ini” (halaman 24).
Kesimpulannya, Andaya sangat selektif dalam memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia, dan tidak secara serius menguji titik-titik awal dan hipotesisnya. Studi ini ditulis tanpa persiapan matang, suatu pendekatan yang tentu saja bermanfaat bagi buku yang dapat “dibaca”. Buku ini, mungkin paling baik dicirikan sebagai produk dari pelancong yang bergelar sarjana, yang menulis dengan baik, tetapi tidak cukup memeriksa pandangan-pandangannya sendiri yang menarik dengan fakta-fakta yang tersedia.
Catatan Kaki
- Lihat Ch. F. van Fraassen, 'Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel; van soa organisatie en vierdeling," 2 vols. (PhD dissertation, University of Leiden, 1987), 1: 9-11
- H. Jacobs, ed., A Treatise on the Moluccas (c. 1544). Probably the preliminary version of Antonio Galvao's Histioria das Molucas. (Rome, 1971), p. 113.
- For the relationship between royalty and Islam in Ternate, see van Fraassen, 'Ternate," vol. 1, pp. 32-33, 344
- Ibid., vol. l,p. 41
Tanggapan Leonard
Andaya :
Suatu tanggapan terhadap suatu ulasan dapat
merangsang perdebatan yang penting, jika ulasan tersebut bijaksana dan
karenanya mendorong penilaian lebih lanjut dari subjek tersebut. Namun, dalam
masalah ini, saya tidak bisa merespon dengan cara yang saya inginkan, karena
ulasan dari Dr van Fraasen bahkan belum mulai membahas masalah utama buku ini.
Alih-alih, ia hanya berfokus pada beberapa “kesalahan” yang terisolasi untuk
“membuktikan” bahwa The World of Maluku adalah
karya ilmiah yang tidak rapi. Ini adalah tuduhan serius yang meragukan
kemampuan saya, untuk membaca dan menafsirkan sumber-sumber yang menjadi dasar
dari semua publikasi saya sebelumnya selama 20 tahun terakhir. Meskipun saya
ingin membahas masalah-masalah penting yang diangkat dalam buku ini, saya
khawatir bahwa tekanan dan nada ulasan van Fraasen, membuat saya tidak punya
pilihan lain selain menghadapi tuduhan-tuduhan ini.
Tuduhan van Fraasen tentang
sarjana yang buruk terletak pada keyakinannya, bahwa saya tidak berkonsultasi
dengan sumber-sumber tertentu dan salah membaca sumber-sumber seperti yang saya
lakukan. Jelaslah, bahwa dia (van Fraasen) sama sekali tidak memperhatikan
masalah historiografi dan keterbatasannya, yang telah coba saya jelaskan dalam
Kata Pengantar. Merupakan keputusan saya untuk mengandalkan sejauh mungkin pada
catatan sesuai dengan periode yang dibahas. Menyarankan bahwa saya sebaiknya
berkonsultasi dengan karya-karya dari periode kemudian untuk kerangka kerja konseptual
ini, akan bertentangan dengan metodologi yang saya terapkan. Ini merupakan
alasan bahwa karangan Naidah dan Hikayat
Ternate tidak termasuk dalam rekonstruksi kerangka kerja konseptual Maluku
pada periode moderen awal. Kedua karya itu dikonsultasikan tetapi tidak
tercantum dalam daftar pustaka, karena saya hanya memasukan karya-karya yang
dikutip dalam teks buku itu sendiri.
Berkenaan dengan tuduhan tersirat van Fraasen, bahwa
saya tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang kerangka kerja konseptual
masyarakat pribumi, saya hanya bisa merujuknya sekali lagi ke Kata Pengantar.
Saya telah menjelaskan kepada pembaca bahwa saya menyadari terlibatnya masalah-masalah
historiografi dalam usaha merekonstruksi
sudut pandang “kaum pribumi”, tetapi bersedia mengambil resiko itu berdasarkan
pembacaan yang cermat atas sumber-sumber (halaman 7-8). Apa yang ingin saya
hindari adalah persis seperti cara yang van Fraasen ingin saya lakukan : yaitu,
untuk berkonsultasi dengan “sumber-sumber Eropa dimana kerangka kerja
konseptual Maluku dijelaskan dan dianalisis”.
Tidak diragukan lagi, apa yang ada dalam pikiran van Fraasen adalah
rekonstruksi, termasuk miliknya sendiri, berdasarkan materi dari periode
kemudian daripada abad-abad yang sedang diteliti/dibahas. Meskipun tentu saja
menyadari rekonstruksi ini, saya menyadari hal itu tidak memuaskan karena hal
itu tidak mencerminkan masyarakat yang digambarkan dalam sumber-sumber
kontemporer.
Tuduhan bahwa bagian pada Dunia Eropa “ pada dasarnya adalah sinopsis dari beberapa buku
populer tentang masalah ini”, tidak hanya tidak akurat tetapi juga menunjukan
kesalahpahaman yang mencolok dari seluruh akumulasi penelitian sejarah. Karena
saya sedang menjelajahi bidang baru, saya mengandalkan saran dari sejarahwan
Eropa abad pertengahan dan berusaha memilih sumber-sumber yang paling cocok
untuk menangkap rasa dunia eropa moderen awal. Apa yang oleh van Fraasen dengan
cara meremahkan, disebut sebagai “sinopsis”, sebenarnya adalah sintesis
pendapat para ahli tentang subjek tersebut. Pada bagian Dunia Eropa, saya membahas beberapa kepercayaan bersama berdasarkan
tradisi klasik dan kristen, tetapi juga menyoroti perbedaan pra-okupasi
nasional antara Portugis, Spanyol dan Belanda. Justru karena penolakan van
Fraasen terhadap diskusi ini, ia hanya membuat apa yang hanya dapat disebut
sebagai pernyataan yang terinformasi mengenai aliansi Eropa dengan dunia kaum
pribumi.
Dengan cara yang sama, van Fraasen menuduh saya
tentang “ penggunaan kerangka teoritis yang tidak kritis yang dikembangkan oleh
para antropolog”, namun gagal menyebutkan apa yang menurutnya tidak kritis
tentang penggunaan kerangka itu oleh saya. Karena disiplin ilmu antropologi dan
sejarah telah memiliki hubungan yang sangat bermanfaat dalam studi Asia
Tenggara pada umumnya dan Indonesia Timur pada khususnya, akan lebih
konstruktif, jika van Fraasen mencoba untuk memajukan bidang ini, dengan
menyumbangkan ide-idenya ke perdebatan.
Sisa dari tinjauan itu adalah serangan acak terhadap
berbagai pernyataan yang dibuat dalam buku ini, dalam upaya untuk menunjukan
kesalahan saya dalam membaca sumber. Van Fraasen pertama-tama mempertanyakan
intepretasi saya tentang istilah-istilah dalam bahasa Maluku dan Melayu. Ini
pada dasarnya bermuara pada pilihan antara penafsirannya dan penafsiran saya. Saya
telah memberikan catatan kaki dalam buku saya, sumber-sumber untuk definisi
saya tentang istilah-istilah bahasa Maluku, dan saya tidak melihat alasan untuk
menerima argumennya sendiri. sejauh definisi kata Melayu yaitu guna yang dipersoalkan, saya ingin
mengutip R.J. Wilkinson, seorang sarjana sastra Melayu klasik yang terkenal. Ia
menelusuri kata itu dalam arti bahasa Sansekerta yaitu “ virtue in anything”. Ia
kemudian menawarkan 2 pengertian kata itu dalam bahasa Melayu, yang pertama dan
yang paling penting diantaranya adalah “magical potency”1. “Magical potency” ini tepatnya adalah konotasi
yang ingin saya sampaikan saat memilih kata “fortune” sebagai padanan terdekat
dalam Bahasa Inggris. Kata-kata seperti kata guna dengan kesan kuat pada potensi spiritual/magis tidaklah khas
di kepulauan ini, tetapi juga ditemukan di dataran Asia Tenggara dan Pasifik
(halaman 51).
Van Fraasen kemudian mencoba untuk “membuktikan” penyalahgunaan
sumber saya dengan mengutip abstrak dari The
Treatise karya Galvao dan sumbangan saya tentang itu. Saya gagal melihat
dimana saya menyalahgunakan informasi tersebut. Dalam analisis saya tentang The Treatise dan catatan-catatan Eropa
kontemporer, saya telah berusaha mengkontekstualisasikan materi dan menafsirkannya
dalam konteks ini. Pendekatan sederhana
van Fraasen terhadap sumber-sumber historis, tidak hanya terbukti dalam
contoh-contoh yang ia kutip dalam ulasan; juga tampak jelas dalam rekonstruksi
historis yang dangkal dan tidak reflektif yang ditemukan dalam disertasi
PhD-nya, yang juga dikutip olehnya untuk
membantah penafsiran saya tentang masa lalu Maluku.
Contoh ketidakmampuan van Fraasen, untuk memahami
pernyataan yang dibuat dalam kajian ini, adalah serangannya terhadap klaim saya,
bahwa Islam memberikan dasar penting bagi otoritas kerajaan di Maluku. Untuk
membantah argumen ini, ia mengutip kasus masyarakat Minangkabau dan Polinesia
yang katanya memiliki otoritas kerajaan yang “kuat” tanpa Islam. Tetapi,
pandangan saya adalah bahwa Islam, walaupun mungkin yang paling penting,
hanyalah satu dari beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kekuasaan
kerajaan di Maluku; saya sama sekali tidak berpendapat bahwa Islam penting
untuk otoritas kerajaan yang kuat. Siapa pun yang memiliki pengetahuan tentang
perkembangan historis Islam di kepulauan itu akan sedikit menemukan kontroversial
dalam pengamatan saya tentang peran penting Islam dalam evolusi otoritas
kerajaan di kawasan itu2.
Pembacaan buku saya yang sangat selektif oleh van
Fraasen terasa mengganggu dan menimbulkan keraguan, apakah ia benar-benar
berusaha untuk menilai suatu kajian hanya menurut persyaratan-persyaratannya
sendiri. Contoh yang paling jelas, adalah pernyataanya bahwa saya telah secara
tidak kritis menggunakan sumber Valentijn dalam memahami Fala Raha (four houses) sebagai pemimpin dalam ekspansi awal
Ternate. Dia kemudian “membetulkan” apa yang saya tulis pada halaman 83, dengan
mengatakan bahwa sebenarnya hanya 2 “houses” yang terlibat. Namun, hanya 1
halaman kemudian, saya membuat kualifikasi itu, dan melacak evolusi
keterlibatan keluarga Tomagola dan Tomaitu. Jika saya mengikuti logika yang
diadopsi dalam ulasan van Fraasen, saya juga bisa menunjukan kesalahannya dalam
membaca atau kekeliruannya sebagai contoh dari “sarjana yang tidak kritis dan
ceroboh”.
Buku Leonard Y Andaya |
Sangat disayangkan bahwa van Fraasen mengabaikan
isu-isu utama dari The World of Maluku dan
hanya memusatkan perhatiannya pada poin-poin terisolasi dalam upaya untuk
mendiskreditkan historisitas buku ini. Sebagai seorang etnografer, ia mungkin
tidak nyaman mengomentari tentang masalah historiografi yang dikaji, tetapi
dialog yang berkembang antara sejarahwan dan atropolog, terutama dalam studi
Asia Tenggara, seharusnya membangkitkan beberapa komentar menyangkut pendekatan
saya yang khusus. Sulit untuk menjelaskan kegagalannya dalam hal mendiskusikan
ide-ide saya tentang dualisme/dualitas, hubungan pusat-pinggiran, dan saling mempengaruhinya antara konsep waktu dan
peristiwa bagi orang Eropa dan orang Maluku. Dia tampaknya puas hanya untuk
menyatakan ketidaksetujuannya.
Sebagai contoh, van Fraasen dengan yakin menyatakan
bahwa saya belum menunjukan keberadaan 2 gagasan Eropa dan Maluku yang berbeda
tentang waktu dan kemajuan. Namun keseluruhan Bab 2 adalah catatan interaksi
antara 2 konsep yang berbeda ini, perbedaan yang dibahas dalam Kata Pengantar
dan tercermin dalam pilihan judul bab yang saya pilih. Kekhawatiran akan
pemeliharaan dualitas antara Ternate dan Tidore, dan kemampuan Nuku untuk
mempertahankan pemberontakan yang panjang dan sukses, dengan memohon
“restorasi” adalah semua bagian dari pandangan siklus Maluku tentang waktu,
yang diawali melalui penghancuran Jailolo di awal abad ke-16 dan memuncak
dengan munculnya Nuku pada akhir abad ke-18.
Hanya pada 1 kesempatan van Fraasen mengangkat
masalah hubungan pusat-pinggiran, tetapi
hanya untuk menolak kesimpulan saya tanpa ada diskusi lebih lanjut. Dia hanya
mempertanyakan pernyataan saya, bahwa “ sifat
alami pertukaran
produk dan jasa untuk barang-barang prestisius dan berkah spiritual itu sama
sekali tidak dianggap sebagai sebagai suatu pengaturan yang tidak setara dan
menindas” (halaman 112). Pada tahun 1993, sebuah karya
diterbitkanc yang nampaknya terlambat untuk dimasukan kedalam kajian
saya sendiri. Itu menunjukan bahwa karakterisasi saya tentang hubungan pusat-pinggiran di Maluku pada periode
moderen awal adalah hal umum bagi banyak masyarakat. Dalam bukunya Craft and the Kingly Idea, Mary. W.
Helms menggambarkan hubungan antara “superordinat center” (seperti Ternate dan Tidore)
dengan “acquisitional societies” (atau pinggiran), dimana materi dan
nilai-nilai simbolis dari benda-benda terjalin menjadi satu sama lain melalui
pengaturan yang menguntungkan. Yang pertama memperluas artefak budaya, gelar,
busana dan lain-lain ke yang terakhir sebagai cara untuk memperkuat
sentralitasnya; sedangkan yang terakhir memperoleh objek-objek ini dari yang
pertama untuk membangun program-program politik-ideologisnya sendiri sehubungan
dengan “pinggirannya”3. Argumen sentral yang dikemukakan adalah
bahwa kerangka kerja konseptual masyarakat pribumi, yang melibatkan struktur
kosmologis dan tindakan transformasi yang signifikan, secara politis mendorong
penyatuan kegiatan ekonomi dan simbolik menjadi penjelasan budaya tunggal4.
Kasus-kasus hubungan pusat-pinggiran yang
saya jelaskan dalam kajian saya, adalah contoh yang jelas dari postulat-postulat
Helms, yang dengan sendirinya didasarkan pada sejumlah etnografi.
Saya
telah berusaha menjawab kritik van Fraasen poin demi poin karena saya merasa
bahwa adalah hal yang serius untuk menuduh akademisi manapun sebagai sarjana
yang “tidak kritis dan ceroboh”. Selama
2 dekade terakhir, saya percaya saya telah menunjukan perhatian yang cukup dalam
penelitian dan tulisan saya untuk dianggap sebagai sejarahwan yang memiliki
nama baik. Saya percaya itu adalah tanggungjawab sejarahwan, tidak hanya untuk
menawarkan rekonstruksi masa lalu, tetapi juga untuk menyarankan cara-cara
dimana masa lalu dapat dieksplorasi lebih efektif dan lebih mudah dipahami.
Untuk masalah-masalah itulah, saya menulis buku ini. Yang bisa saya harapkan
adalah mereka yang membaca karya saya, akan senang dengan beberapa temuannya
dan terangsang untuk memperluas penyelidikan akademik secara positif.
Leonard Y Andaya bersama sang istri Barbara Watson |
1.
R.J. Wilkinson, A Malay-English Dictionary (Romanised). Part
1 (A-K) (London:Macmillan, 1959), p. 380.
2. See for
example A. C. Milner, "Islam and Malay Kingship," Journal of the
Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland 1 (1981): 46-70; and M.
C. Ricklefs, "Six Centuries of Islamization in Java," in Conversion
to Islam., ed. Nehemia Levtizion (New York: Holmes & Mejer, 1979)
3. Mary W.
Helms, Craft and the Kingly Ideal: Art, Trade, and Power (Austin:
University of Texas Press, 1993), ch.
12.
4. Ibid., p.
11.
Catatan Tambahan (dari kami
penerjemah)
- Sejarah Ternate yang disusun oleh Naidah diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda dengan judul Geschiedenis van Ternate...... oleh Petrus van der Craab, orang yang pernah menjadi Residen van Ternate (1863 – 1866).
- Gubernur Ternate yang dimaksud oleh van Fraasen adalah Laurens Reael (1616 – 1621), sedangkan Gubernur Ambon adalah Steven van der Haghen (1617 – 1618). Perdebatan antara J.P. Coen dengan Laurens Reael dan Steven van der Haghen dapat dibaca dalam kajian M.A.P. Meilink – Roelofs berjudul Asian Trade and European Influence: In the Indonesian Archipelago between 1500 and 1630, Den Haag, Martinus Nijhoff, 1962 atau edisi terjemahan Indonesianya : Persaingan Eropa & Asia di Nusantara : Sejarah Perniagaan 1500 – 1630, Jakarta, Komunitas Bambu, 2016 (hal 193 – 213)
- Karya yang dimaksud oleh Leonard Andaya adalah artikelnya sendiri yang berjudul Centers and Peripheries in Maluku (dimuat pada Jurnal Cakalele, volume 4, 1993, halaman 1 – 21)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar