Oleh
:
Guanmian
Xu
Dua Naga di satu
kolam : Perdagangan di Maluku
Pada
awal abad ke-17, memasuki Dunia Maluku berarti memasuki pusat perang rempah-rempah
yang melibatkan seluruh dunia modern awal. Pertanyaannya adalah, bagaimana jung-jung
para pedagang Cina itu merasakan persaingan dan permusuhan di antara
kekuatan-kekuatan Eropa, dan sejauh mana mereka bisa bertahan hidup dan
mendapatkan keuntungan dari pembatasan global yang diperangi itu.
Kesaksian
tentang keterlibatan Cina dalam perang rempah-rempah, tersedia di kearsipan
nasional di Den Haag. Pembenaran keterlibatan ini dilakukan oleh Jacques
L’Hermite atas penangkapan sebuah jung Cina di sekitar Ternate pada tahun 160769.
L’Hermite bekerja sebagai sekretaris dalam Ekspedisi Asianya Cornelis Matelief
dari tahun 1605 hingga 1608. Pada awal Mei 1607, armada mereka berlayar ke
Maluku secara berurutan untuk melawan agresi Spanyol. Ketika 2 kekuatan yang
berperang, berselisih di Ternate, beberapa pemberontak dari kamp Spanyol
menyeberang ke Matelief dan memberitahunya bahwa jung Cina yang melayani
Spanyol akan segera pergi. Untuk memutus pasokan musuh, Matelief segera
mengirim satu skuadron untuk menangkap jung70.
Jung
itu ditangkap dan dibawa ke Matelief pada 4 Juni 1607, dan krunya diinterogasi71.
Ternyata nakhoda membawa kontrak dengan orang-orang Spanyol, yang
ditandatangani di Manila72. Kontrak tersebut menetapkan bahwa jung
Cina, yang disebut pelo, harus
memasok barang-barang garnisun Spanyol di Ternate dengan makanan dan kain serta
“75 pengrajin Tiongkok dengan segala macam keahlian.......jika dia (kapten)
gagal membawa orang-orang ini ke sana, itu akan didenda sebesar [kosong tidak
diisi]; dan kalau-kalau dia masih bisa membawa [kosong tidak diisi] orang,
denda akan dikurangi di Ternate oleh otoritas Spanyol di sana”73.
Misi
yang dilakukan oleh jung Cina ini adalah bagian dari rencana Spanyol yang lebih
besar untuk mendapatkan kendali atas Maluku74. Sejak akhir abad
ke-16, rencana-rencana itu sudah dekat, karena Portugis telah diusir dari
Ternate oleh Sultan Baabullah (memerintah tahun 1570 – 1583) pada tahun 157575,
dan Monarki Portugis – Spanyol didirikan pada tahun 1580. Dengan tujuan merebut
kembali benteng-benteng Portugis di Maluku, rangkaian ekspedisi diluncurkan
dari Manila pada tahun 1580an dan 1590an76. Semua gagal dan salah
satu dari mereka bahkan berakhir dengan kematian Gubernur Spanyol di Filipinaa,
terbunuh oleh pelaut Cina wajib militer yang memberontak dalam perjalanan dari
Manila ke Maluku pada tahun 159377. Setelah pengiriman armada
terbesar yang pernah terlihat di Maluku, Spanyol akhirnya menaklukan seluruh
wilayah Maluku pada tahun 160678. Ironisnya, kemenangan yang luar
biasa ini, tampaknya malah akan menjadi beban besar bagi kekaisaran Spanyol.
Setelah penaklukan, diputuskan oleh keputusan kerajaan (cedula real), bahwa Maluku akan diduduki oleh pasukan Spanyol,
sementara perdagangan cengkih akan dipertahankan untuk Portugis, karena
kelangsungan hidup Portugis bergantung pada perdagangan itu79. Akibatnya,
setiap tahun lebih dari 230.000 peso ( 1 peso menunjukan satu “delapan real”,
disebut dibawah “real”) dikuras dari Manila untuk biaya garnisun di Maluku saja80,
sementara hampir tidak ada cengkih yang dikirim kembali ke Manila sebagai keuntungan81.
Perang yang melelahkan di sudut terpencil
kekaisaran Spanyol menawarkan pasar yang agak menguntungkan bagi Cina. Sudah
puluhan tahun di Manila, ribuan pedagang, pengrajin, dan buruh Cina tinggal di
Parian, dan mendukung semua aspek kehidupan kolonial orang Spanyol82.
Tidaklah mengherankan bahwa orang Spanyol meminta orang Cina mengirim
bahan-bahan makanan dan pakaian serta 75 pengrajin ke Ternate83,
bertujuan untuk memperluas kolaborasi mereka dari Manila ke Maluku.
Kontrak dengan Manila juga
mengamankan perdagangan Cina di wilayah Maluku yang dikuasai Spanyol. Dalam
jung Cina yang ditangkap, Belanda menemukan sekitar 500 kuintal cengkih84 yang dibeli orang Cina dengan 6 real per
kuintal dan telah membayar 1/3 sebagai pajak, 366 real tunai, 41 7/8 mark perak
(sama dengan 376 7/8 real), dan 500 potong wambuis
(sejenis baju besi dari kain)85. Jung itu berencana untuk
membawa mereka pertama ke Manila, dan kemudian kembali ke Zhangzhou, dimana
Yuegang berada86. Karena itu, walaupun kontrak dengan Manila hanya
mengatur jumlah uang yang bisa mereka terima setelah melakukan kewajiban
kontrak, para pedagang Cina sebenarnya menggunakan sebagian dari pendapatan itu
untuk membeli cengkih di Ternate. Perdagangan itu juga tidak dilarang oleh
garnisun Spanyol di sana, selama mereka membayar 1/3 pabean.
![]() |
Pertemuan Heeren XVII di markas VOC, Den Haag |
Setelah menangkap jung, Matelief sekarang dalam
kesulitan. Meskipun jung orang Cina melayani kepentingan musuh utama Spanyol,
Cina sendiri tidak berperang dengan Belanda. Cina sebenarnya dibayangkan
sebagai pasar yang menguntungkan bagi VOC (Belanda), dan telah ditunjuk sebagai
perhentian berikutnya untuk armada Matelief. Untuk menjaga hubungan dengan
komunitas perdagangan Cina, Matelief memutuskan untuk membawa semua kru Cina
dari jung yang ditangkap itu ke Cina. Setibanya
di Cina, mereka dibebaskan. Kapten jung Cina itu, bahkan dipercayakan dengan
sejumlah kecil uang untuk menegosiasikan kesepakatan perdagangan dengan
orang-orang Cina di Canton. Dia dijanjikan bahwa, begitu otoritas Cina setuju
untuk berdagang dengan Belanda, semua kerugiannya di Ternate akan sepenuhnya
dikompensasi.
Peristiwa ini menyiagakan komunitas perdagangan Cina
kembali di Yuegang, dan tercermin dalam narasi Cina tentang perang
rempah-rempah. Zhang Xie, penulis Dongxiyang
kao, yang diterbitkan pada tahun 1618, berusaha memahami Perang
Rempah-rempah melalui caranya sendiri :
Cengkih : di
sepanjang rute laut timur, hanya tempat ini87, yang menghasilkan [cengkih]. Orang-orang barbar88 menggunakan cengkih untuk mengusir roh
jahat. Dikatakan bahwa jika mereka menempatkan lebih banyak cengkih di negara
mereka sendiri, negara mereka akan memliki kekuatan vital kerajaan (wangqi
王 氣).
Oleh karena itu, kedua kaum barbarian89 ini harus bersaing satu sama lain90.
Tanpa mengetahui
penggunaan cengkih yang tepat di Eropa, Zhang Xie sebagai seorang sastrawan
Cina, tetap terhibur oleh upaya luar biasa Belanda dan Spanyol untuk mendapatkan
cengkih yang diproduksi di pulau-pulau kecil ini. Penjelasan terbaik yang bisa
ia tawarkan, adalah bahwa orang-orang barbar itu telah menjadikan pemujaan yang
berlebihan terhadap cengkih, sebagai kunci untuk mendapatkan kekuatan kerajaan
yang vital. Catatan luar biasa ini, kemungkinan diterima dengan baik di
kalangan pembaca Cina, seperti yang sepenuhnya dikutip dalam Records of Incenses oleh Zhou Jiazhou,
diterbitkan 25 tahun kemudian pada tahun 164391.
Zhang Xie, juga
menyadari keterlibatan Cina dalam perang rempah-rempah. Mungkin diinformasikan
oleh seseorang seperti nakhoda Cina yang ditangkap oleh Matelief, ia
menceritakan bahaya berdagang dengan pihak-pihak yang berperang di Maluku :
Pada masa sebelumnya, jika sebuah kapal Cina membawa
barang-barang untuk Belanda tetapi dicegat oleh Spanyol, orang Spanyol pasti
akan marah dan berkata “kapal itu tidak datang untuk kita tetapi untuk membantu
Belanda”. Mereka akan menjarah muatan dan membunuh orang. Pedagang Cina harus
merahasiakannya dan tidak membiarkan orang Spanyol melihatnya. [Demikian pula],
jika Belanda mendapati kapal Cina membawa barang-barang untuk Spanyol, mereka
juga akan geram. Situasi ini telah sedikit menurun setelah perselisihan mereka
ditengahi. Namun, seperti 2 naga dalam 1 kolam, cukup sulit untuk melakukan
bisnis di sana92.
Oleh karena itu,
keseimbangan antara Belanda dan Spanyol sangat penting bagi perdagangan Cina di
Ternate. Untuk berdagang dengan kedua belah pihak, modus vivendi harus dicapai,
tetapi bagaimana hal itu dicapai?. Zhang
Xie menulis anekdot yang menarik, yang mengklaim bahwa seorang Cina telah
menjadi perantara perjanjian gencatan senjata antara Belanda dan Spanyol :
[Belanda dan Spanyol] sejak itu saling menyerang [di
Ternate] setiap tahun dengan eskalasi naik turun di kedua pihak. Seorang Cina,
yang tinggal di sana, cerdas dan fasih berbicara. Dia melobi kedua negara itu [
dan memperoleh persetujuan mereka] untuk membagi pulau dengan lereng gunung
Gamalama sebagai batas. Wilayah di utara gunung itu, merupakan milik Belanda,
dan wilayah di selatan gunung itu, milik Spanyol. [setelah itu] kedua pihak
menghentikan perang dan menguasai pulau ini93
Meskipun kredibilitas catatan ini diragukan,
yang penting di sini adalah catatan itu mengungkapkan beberapa orang Cina tidak
hanya berdagang di Maluku, tetapi sebenarnya juga tinggal di sana, dan
memainkan beberapa fungsi mediasi antara kekuatan-kekuatan yang berperang94.
Pada sumber-sumber Eropa, kita juga dapat menemukan bahwa kedua belah pihak,
Belanda dan kaum Iberian mengklaim bahwa ada orang Cina yang tinggal di Maluku
dan melayani musuh mereka. Sebagaimana dibahas pada awal bagian ini, jung Cina
yang ditangkap oleh Matelief pada awalnya disewa oleh Spanyol untuk mengimpor
75 pengrajin Cina untuk melayani garnisun Spanyol95. Sebuah laporan
Portugis yang ditulis di Malaka pada tahun 1619, menunjukan ada sekitar 200 sangley, yang merujuk pada para pedagang
Cina yang datang di sepanjang rute Manila, tinggal dengan pasukan Belanda di
Ternate96. Meskipun melayani kekuatan Eropa yang berbeda,
orang-orang Cina ini adalah bagian yang sama dari jaringan Cina yang membentang
dari Yuegang ke Maluku melalui Manila. Juga melalui jaringan ini, pengetahuan
mereka tentang Spice Wars ditransmisikan
kembali ke Cina. Zhang Xie menuliskannya di Dongxiyang
kao miliknya dengan cara yang mudah dicerna bagi para sastrawan Cina, yang
selanjutnya menyebarkannya dalam literatur mereka sendiri, seperti Record of Incenses.
![]() |
Jan Pieterszoon Coen (8 Jan 1587 - 21 Sept 1629) |
Reaksi
Belanda dan Penciptaan [kebijakan] Laut Tertutup
Namun, modus vivendi
ini tidak dibandingkan. Ini agak menjadi sasaran utama kritik oleh pejabat muda
yang ambisius, yang bekerja di VOC, yaitu Jan Pieterszoon Coen. Pada 10
November 1614, Coen menulis surat kepada Heeren XVII untuk mengaduh bahwa
sebuah kapal Cina telah merusak kepentingan mendasar kompeni (VOC) di kepulauan
rempah-rempah :
Telah tiba di sana sebuah jung Cina dengan berbagai
barang. Betapa berbahaya bagi kompeni di tempat itu! Tuan-tuan dapat membaca
dengan jelas dari surat terlampir oleh Direktur, den Dorst. Sebelum jung ini
tiba di tempat itu, begitu banyak barang telah dikirim ke sana [Ternate] dari
sini [Banten], dan dijual oleh orang-orang kami dengan keuntungan yang sangat
besar, sehingga setiap bulan 2000 – 3000 real diterima. Setelah kedatangan jung
ini, semua penjualan berhenti. Gubernur [Laurens] Reael menyarankan bahwa [jung
ini] mungkin telah membawa 35.000 real dari sana. (10 November 1614, dikirim
oleh ‘T Hart, dari Banten 10/11/1614 ke Roterdam 24/04/1615)97
Kegagalan keuangan seperti itu, memberi Coen
peluang untuk mengkritik kebijakan toleran terhadap pedagang Asia oleh Gubernur
Maluku atau Ternateb, Laurens Reael98. Coen mengeluh
dalam sepucuk surat kepada Heeren XVII bahwa “tidak ada bedanya apakah Spanyol mengambil alih [seluruh] Maluku, atau
apakah orang asing lainnya dibawah perlindungan senjata kita melakukan bisnis
mereka”, karena “jika orang asing diizinkan berdagang, Tuan-tuan [Anda] tidak
akan memiliki apapun selain biaya perang”99. Pada akhir tahun
1610-an, ada perdebatan besar di VOC mengenai apakah pedagang Asia harus
dikeluarkan dari perairan Maluku, Ambon, dan Banda (3 sub wilayah utama
kepulauan rempah-rempah). Sebagian besar pejabat tinggi yang ditempatkan di
Asia, lebih menyukai kebijakan yang lunak terhadap pedagang Asia karena mereka
memasik kebutuhan sehari-hari kepada orang-orang lokal, tetapi Coen, dengan
dukungan dari Heeren XVII, condong ke arah kebijakan yang lebih kejam untuk
mengamankan monopoli secara sempurna. Implementasi kebijakan yang terakhir ini,
akhirnya mengarah pada Pembantaian Banda (1621) dan penciptaan Laut Tertutup di
sekitar kepulauan rempah-rempah100.
Kunjungan jung Cina
tahun 1614 dapat dianggap sebagai titik kritis yang memicu rangkaian peristiwa
tersebut. Pertama-tama, saat menulis laporan ini, Coen masih menjadi Akuntan
General atau (Boekhouder Generaal) dan ditempatkan di Banten, ribuan kilometer
jauhnya dari Maluku101. Dia tidak memiliki kekuatan untuk mengawasi
masalah-masalah di Maluku, maupun pengetahuan langsung tentang situasi lokal.
Sebelum Coen, Gubernur Maluku, Reael, yang tinggal di Fort Orange di Ternate
dan sangat mengikuti masalah ini, sudah mengirim 2 surat kepada Heeren XVII
mengenai jung Cina ini. Surat pertama, bertanggal 20 Mei 1614, adalah ringkasan
bahwa “perdagangan orang asing, terutama
oleh orang Cina” harus dihambat dengan cara yang benar, karena telah menjadi
sangat menghambar bagi perdagangan kompeni102.
Surat kedua, bertanggal 20 Juni 1614,
menjelaskan lebih lanjut tentang apa yang terjadi di wilayah itu. Jung Cina ini
sebenarnya adalah pelo, sama dengan
yang ditangkap oleh Matelief pada tahun 1607 yang berlayar di sepanjang rute
Manila. Setibanya di Ternate, Belanda mengizinkan untuk mendirikan “toko”, dan
pada saat keberangkatannya, jung itu membawa setidaknya 30.000 atau 35.000
real. Menurut Reael, jumlah uang yang sangat besar ini akan diperoleh oleh
kompeni, jika jung Cina dikirim kembali [segera setelah tiba]. Reael juga
menganalisis mengapa ada begitu banyak uang yang beredar secara lokal di
Maluku, yang menciptakan peluang seperti itu bagi orang Cina. Akar masalah
sebenarnya terkait dengan kebijakan pembelian cengkih kompeni. Reael mengklaim,
sebelumnya itu orang-orang pribumi di Maluku menjual cengkih “ hanya untuk
makanan dan kain, bukan untuk yang lainnya”. Karena kompeni memperkenalkan real sebagai pembayaran untuk cengkih,
segalanya mulai berubah. Dengan uang tunai yang diperoleh darinya, penduduk
setempat menyadari bahwa mereka dapat membeli kebutuhan hidup dengan harga yang
jauh lebih rendah, dari pedagang asing daripada dari kompeni. Untuk mendapatkan
lebih banyak uang, penduduk Maluku juga menjadi kurang tertarik untuk memanen
cengkih yang merupakan subjek monopoli kompeni, dan mulai mencurahkan lebih
banyak waktu untuk melaut dan pekerjaan lain. Reael mengusulkan untuk melakukan
demonetisasi terhadap ekonomi lokal, dengan melanjutkan kembali praktik
Portugis yang menggunakan kain, alih-alih uang sebagai alat pembayaran. Dia
percaya, ketika tidak ada uang yang beredar di Maluku, pedagang asing akan
berhenti datang karena tidak ada keuntungan bagi mereka103.
![]() |
Laurens Reael (22 Okt 1583 - 21 Okt 1637) |
Sambil menunggu balasan dari Heeren XVII,
yang berkomunikasi selama 2 tahun, sebuah jung Cina tiba lagi di Ternate pada
Mei 1615. Kali ini, Reael memilih untuk membeli tekstil sutra dan kain dengan
menggunakan dana dari keuangan kompeni. Masalahnya adalah bahwa orang Cina
hanya menerima pembayaran dengan uang tunai, tetapi Fort Orange, pusat
administrasi kompeni di Ternate, kekurangan uang tunai. Pada tanggal 7 Mei
1615, Reael bersama “kabinetnya”, membuat keputusan untuk segera mengirimkan
sebuah kapal ke benteng terdekat di Makian untuk mendapatkan lebih banyak uang104.
Peristiwa itu menjengkelkan Coen, yang telah
dipromosikan menjadi Direktur Jenderal (orang no 2 dalam struktur kepemimpinan
VOC) pada akhir tahun 1614. Dalam suratnya tertanggal 22 Oktober 1615, Coen
pertama kali melaporkan penjualan kain yang menurun di Maluku karena persaingan
dari pedagang Asia. Setelah itu, dia mengalihkan perhatian ke jung Cina itu. “ ada jung lagi yang datang dari Cina, yang
lagi-lagi membawa sekitar 30.000 real dari Maluku. Tahun lalu, saya
sungguh-sungguh merekomendasikan kepada Reael untuk mengusir orang-orang asing
dari Maluku”, tetapi permintaan itu tidak dilanjuti oleh Reael, karena dia
tidak ingin “mengasingkan” penduduk lokal di Ternate. Coen mengusulkan bahwa
jika orang asing datang ke Maluku untuk mendapatkan uang tunai, kompeni harus
membayar gaji tentara garnisun dengan pakaian dan “tidak bisa membayar lagi
dengan uang tunai”105
Reael tidak menyadari urgensi yang disebabkan
oleh kunjungan kapal-kapal jung Cina. Pada tanggal 11 September 1615, ia
mengumpulkan “kabinetnya” untuk membahas tindakan apa yang harus diambil, jika
jung Cina lainny akan muncul106. Setelah debat yang luas,
disimpulkan bahwa masalah ini harus menunggu keputusan lebih lanjut karena “perintah yang menentukan sangat sulit
dibuat”107. Beberapa bulan kemudian, pada tanggal 7 April 1616,
sekali lagi datang jung Cina di Ternate108. Pada saat itu, jawaban
dari Heeren XVII masih berada dalam perjalanan109. Reael dan
“kabinetnya” memutuskan untuk mengambil tindakan bijaksana. Mereka menahan diri
untuk tidak menggunakan kekerasan, tetapi berusaha membayar dengan uang tunai
kepada pedagang Cina “sesedikit mungkin”110.
Namun, di Republik Belanda, para direktur VOC
tidak menghargai upaya Reael untuk mempertahankan situasi seimbang yang “halus”
di Maluku. Apa yang mereka harapkan adalah monopoli total, yang menurut mereka
membutuhkan penciptaan Laut Tertutup. Pada tanggal 30 April 1615, hanya 6 hari
setelah kedatangan kapal di Roterdam yang membawa surat-surat yang menceritakan
kunjungan jung Cina pada tahun 1614, perintah yang jelas diberikan kepada Coen
:
Lebih
jauh bagi penyesalan kami, kami memahami bahwa, ketika Anda menulis, Cina
membuat kerusakan besar pada kami dengan membawa dan menjual pakaian mereka di
Maluku dan Ambon. Wakil Gubernur, Reael, menyarankan agar orang Cina pada saat
ini seharusnya sudah membawa 35.000 real dari tempat ini. Kami percaya bahwa
kami akan mencegah hal ini dengan segala cara yang mungkin, untuk menuntut
mereka dengan cara penyitaan atau lainnya. Begitu mereka tiba, mereka harus
segera dikirim pulang kembali. Kami memiliki [pendapat] yang sama tidak hanya
orang Cina, tetapi juga semua orang asing, seperti orang Jwa, Melayu dan
Keling, juga orang-orang dari Makasar, Gresik dan tempat-tempat lain yang
letaknya berdekatan, yang datang ke sana untuk berdagang. (30 April 1615,
dikirim melalui (kapal) Swarten Leeuw dari Texel 18/05/1615 ke Banten 30/04/1616)111
Beberapa hari kemudian, surat lain
dikeluarkan untuk Gubernur Jendral VOC, Gerard Reynst. Surat ini berisikan
perluasan larangan perdagangan luar negeri untuk semua pedagang asing, termasuk
Asia dan Eropa112. Dengan kata lain, Heeren XVII secara eksplisit
memerintahkan pelaksanaan kebijakan Laut Tertutup (Mare Clausum) di sekitar
kepulauan rempah-rempah secara universal termasuk semua kapal asing.
![]() |
Gerard Reijnst (1560 - 7 Des 1615) |
Biarkan
orang Cina tetap tinggal, tetapi tidak untuk yang lain : Menuju Monopoli Aneh
Ketika kapal yang
membawa pesan ini tiba di Banten pada tanggal 30 April 1616, Gubernur Jendral
Reynst telah meninggal dunia, dan Reael akan segera menggantikannya113.
Seperti yang diungkapkan oleh Meilink-Roelofsz, Reael bersama pendukungnya di
kepulauan rempah-rempah menentang gagasan penciptaan Laut Tertutup114.
Pada tanggal 10 Mei 1617, Reael membuat pernyataan yang jelas kepada Heeren
XVII :
Dalam surat itu, Anda memberikan perintah untuk
menjauhkan semua orang asing, terutama Inggris, Perancis, dan lainnya dari
Maluku, Ambon, dan Banda, tetapi pertama-tama menyiratkan [mereka] dengan baik.
Ini sudah terjadi pada Inggris, dan kami telah memberikan perintah ke semua
tempat lain untuk menjalankan ini sesuai perintah Anda....Namun mengenai
perintah Anda untuk melarang orang Keling, Melayu, Jawa, dan orang asing
lainnya, [kami menyadari] bisnis kita akan menjadi kebingungan total dan
terutama pada saat-saat ini ketika [kami] terhuyung-huyung oleh masalah kami
dengan orang-orang Spanyol di satu sisi dan dengan orang-orang Inggris di sisi
lain115.
Dari perspektif Reael, juga tidak masuk akal
untuk mengusir para pedagang Asia dari perairan kepulauan rempah-rempah. Dia
berpendapat bahwa masyarakat pribumi Maluku memiliki kewajiban kontrak untuk
menjual cengkih secara eksklusif kepada kompeni, tetapi tidak ada dasar hukum “untuk mengizinkan kami mengusir semua orang
asing dari tanah mereka”116. Bahkan terhadap kapal jung Cina
yang memicu perdebatan ini, Reael menolak untuk melakukan kekerasan. Dalam
surat yang sama, ia melaporkan bahwa orang Cina tidak lagi membawa banyak
barang ke Maluku, karena mereka menerima perlakuan buruk di Maluku, tetapi ini
tidak menghalangi mereka untuk datang, dan jika mereka datang lagi, ia akan
“membiarkan mereka tetap tinggal”117.
Penolakan
Reael mengecewekan Heeren XVII dan memfasilitasi promosi Coen. Hal ini telah
diantisipasi oleh Heeren XVII sejak awal. Dalam surat mereka kepada Coen
tanggal 26 November 1616, Heeren XVII menyatakan ketidakpuasan mereka dengan
situasi di kepulauan rempah-rempah, dan berharap bahwa Reael akan mengikuti
nasihat Coen118. Perselisihan yang tidak dapat didamaikan ini,
akhirnya mengarah pada penggantian Reael oleh Coen. Pada tanggal 25 Oktober
1617, Heeren XVII mengeluarkan surat yang menunjuk Coen sebagai Gubernur
Jenderal yang baru, dan sebagai tambahan, mengirimkan pulang Reael kembali ke
Republik Belanda119. Dalam surat yang sama, Coen didesak untuk
mengambil tindakan segera terhadap para pedagang asing di kepulauan
rempah-rempah120.
Bersamaan
dengan perubahan-perubahan ini, sebuah dekrit baru diumumkan pada akhir tahun
1617. Dibawah judul “Instructie voor den
Gouverneur en Raden van Indie” (Instruksi untuk Gubernur dan Dewan India), mengatur
sejumlah kebijakan untuk mengusir pedagang asing dari kepulauan rempah-rempah,
termasuk penggunaan senjata, pengawasan tentara, dan penggantian pembayaran
uang tunai dengan kain121. Untuk menggantikan fungsi-fungsi pedagang
asing, aturan itu juga berusaha untuk melegalkan sebagaian perdagangan
swasta/individu oleh bekas pegawai kompeni. Menurut keputusan ini, hanya mereka
yang “baik dan setia” yang telah menyelesaikan pekerjaan mereka di kompeni,
yang memenuhi syarat untuk mengajukan diri terlibat dalam “perdagangan bebas “
di Asia. Pengajuan mereka harus diajukan kepada Gubernur Jenderal dan Dewan VOC
di Asia122. Yang disebut “perdagangan bebas” ini dianggap sedemikian
rupa bermanfaat dan perlu, karena mereka dapat menggantikan pedagang Asia untuk
menyediakan perbekalan bagi garnisun VOC, dan mengumpulkan rempah-rempah untuk
kompeni123.
Strategi
itu dengan cepat gagal. Di Ambon, Van der Haghen mengecam kekurangan beras
bermutu baik yang disebabkan oleh pengusiran pedagang Asia. Hal itu memaksa
Heeren XVII untuk menulis surat kepada Coen pada tanggal 1 Mei 1619, dengan
instruksi untuk mengizinkan pedagang Asia mengimpor “ beras putih bermutu baik”124.
Laporan yang lebih mengkhawatirkan dibuat oleh Gubernur Van Speult, yang
menunjukan bahwa pemberontakan sedang “membara” di antara para prajurit karena
konversi pembayaran gaji berupa uang tunai diganti ke pakaian. Untuk
menghindari konsekuensi yang membahayakan, Heeren XVII merekomendasikan agar
Coen dengan hati-hati menangani masalah ini, dan membiarkan para tentara untuk
membuat pilihan mereka sendiri, apakah memilih uang tunai atau pakaian125.
Coen
sebagai penganjur kebijakan ini, sekarang terjebak dalam dilema, dan harus berusaha
agar dirinya bisa “lolos” dari dilema ini. Solusinya datang dengan cara yang
ironis, karena Cina, yang perdagangannya di Maluku adalah penyebab utama dari
perdebatan ini, dipercayakan oleh Coen untuk membantu meringankan kompeni dari
krisis ini. Pada tanggal 6 September 1622, ia menulis kepada Heeren XVII : Jika pedagang-pedagang pribumi dari Maluku,
Ambon, Banda, dan pulau-pulau bagian timur lainnya tak bisa diusir, kami berpendapat
untuk membawa bahan pokok perdagangan lainnya ke kastil Ambon dengan bantuan
melalui perdagangan orang Cina, dimana [kami] juga berharap untuk mendapatkan
keuntungan yang baik, sebagaimana telah dilakukan126. Dia
berpendapat, ini akan menjadi “langkah yang tepat untuk membebaskan Anda dari
beban besar yang berlebihan, dan untuk memastikan status kompeni di Hindia, sebagaimana
Anda menempatkan orang-orang, yang bisa hidup sebagai orang jujur dan layak, di
koloni Anda”127. Kemudian, Coen menjelaskan mengapa bekas pegawai
kompeni tidak bisa dipercaya, karena mereka kebanyakan adalah prajurit dan
pelaut “ yang diciptakan untuk menghadapi gelombang laut dan rekan-rekan
mereka”128. Bahkan, alih-alih menjadi pedagang yang jujur, beberapa
tentara dan pelaut berubah menjadi “pedagang bebas” yang menyalahgunakan hak
istimewa dan hal memiliki senjata dan amunisi, untuk menjarah pedagang Asia dan
berperilaku seperti bajak laut129. Dia juga menyatakan prasangka
terhadap “bangsawan Banten, Raja Aceh, Surat, Coromandel, Mataram, dan semua
bangsa Moor (Muslim) lainnya”130. Hal ini terkait dengan
keprihatinan VOC terhadap relasi rumit antara Muslim dan Kristen di kepulauan
rempah-rempah131.
Pandangan
orang Cina sebagai kolaborator yang andal dan rajin tidak “diterima” oleh Coen.
Dalam surat yang menunjuk Coen sebagai Gubernur Jenderal dan mendesaknya untuk
mengambil tindakan terhadap pedagang-pedagang pribumi/lokal, Heeren XVII telah
memberikan instruksi khusus untuk menghunikan pulau Ambon dan Banda dengan
orang-orang Cina132. Dalam surat “ Instruksi untuk Gubernur dan
Dewan Hindia”, kita dapat menemukan kata-kata seperti “ orang Cina adalah orang yang rajin, pekerja keras, dan tidak
bersenjata, yang tidak perlu kita takuti. Mereka tidak akan pernah bisa
memberontak dan menjadikan diri mereka sendiri sebagai penguasa negeri-negeri
ini”133. Karena itu, Coen mengakuti wacana yang ada dan
memanfaatkannya untuk menyeselesaikan masalahnya sendiri.
Kolaborasi erat
antara kompeni dan Cina telah dipraktikan sebelum propsal Coen, sebagian besar
karena seorang pedagang Cina terkemuka, yang bernama Inpo. Menurut kajian
Blusse baru-baru ini, bahkan lebih awal dari pembentukan VOC, Inpo, yang pada
waktu itu masih muda, pernah mengunjungi Republik Belanda pada tahun 1600
dengan kapal Company of Middelburg (salah
satu perusahaan pra –VOC yang membentuk VOC pada tahun 1602)134. Dia
tinggal di sana selama 1 tahun, belajar Bahasa Belanda, dibaptis di Gereja
Reformasi Belanda, dan meninggalkan sebuah lukisan dengan catatan-catatannya135.
Setelah kembali ke Asia pada tahun 1602, dia tinggal di Patani untuk bekerja
melayani Company of Middelburg dan
kemudian VOC136. Pada tahun 1605, ia adalah tokoh kunci yang
mendalangi ekspedisi VOC ke Fujian selatan, agar memiliki akses langsung ke pasar
Cina137. Meskipun rencana itu gagal, hubungan baiknya dengan kompeni
tidak dapat disangkal, karena ia diperlakukan hampir sama seperti orang Belanda138.
Kemudian, Inpo ikut serta dalam berbagai aksi untuk kompeni, termasuk
pengepungan Malaka oleh Matelief139. Pada tahun 1612, ketika
perdagangan di Patani menurun, ia memindahkan seluruh bisnisnya ke Ambon untuk memasok
perbekalan benteng Belanda di sana140.
Inpo meninggal di
Ambon pada tahun 1614, tetapi hubungan kolabotarif itu telah “tertanam”. Pada
tanggal 8 Desember 1619, ketika kekurangan beras di Ambon dilaporkan oleh Van
der Haghen, Coen menyetujui penunjukan pemimpin kelompok Cina di Ambon, untuk
mengizinkannya mengimpor beras dan migran Cina dari Makasar141. Pada
tanggal 28 Februari 1620, Coen mengirim sebuah kapal VOC ke Bima, Sumbawa untuk
membawa jung-jung Cina ke Ambon, dan ia berjanji kepada orang-orang Cina, bahwa
setelah jung mereka tiba di Ambon, mereka dapat memilih untuk berlayar pulang
kembali ke Cina142. Menjelang pertengahan abad ke-17, pemukiman Cina
yang ramai telah terbentuk di Ambon143.
![]() |
Steven van der Haghen (1563 - 25 Juli 1624) |
Kesimpulan
Jauh lebih kusut
secara global daripada yang umumnya dipikirkan oleh banyak sejarahwan dunia,
yang disebut Perang Rempah-rempah bukan hanya kisah tentang ekspansi Eropa dan
interaksi Asia Tenggara, tetapi memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan
Cina di bagian utara. Dari penangkapan jung-jung Cina oleh Matelif pada tahun
1607, hingga penyelesaian naskah pertama dari ringkasan tentang kemenyan
(Xiangsheng) oleh Zhou Jiazhou di Jiangnan pada tahun 1618, dan penerbitan buku
geografis maritim (Dongxiyang kao)
oleh Zhang Xie pada tahun yang sama, dan akhirnya pada usulan kebijakan monopoli yang aneh oleh Jan
Pieterszoon Coen pada tahun 1622, peristiwa-peristiwa yang tampaknya tidak berhubungan
ini, sebenarnya merupakan fragmen dari sejarah global cengkih yang tak
terkatakan, yang tidak mengarah ke bagian barat, ke Samudra Hindia, Timur
Tengah, dan Eropa, tetapi terhubung ke bagian utara dengan dunia Asia Timur
melalui rute Manila.
Sepanjang periode kekerasan ini, ditandai dengan
intensifikasi persaingan Eropa, relasi Cina-Maluku yang hampir tidak terganggu.
Sebaliknya, hal itu berkembang dalam bayang-bayang konfrontasi Eropa. Investasi
luar biasa yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang berperang untuk garnisun
mereka di Maluku, menciptakan pasar penyediaan yang menguntungkan. Bergantung
pada pasar itu, para pedagang Cina dengan hati-hati mempertahankan keseimbangan
yang halus, yang memungkinkan mereka untuk melakukan perdagangan dengan kedua
belah pihak, dan membawa kembali tidak hanya rempah-rempah, tetapi juga “dana”
yang digunakan oleh kekuatan Eropa untuk mendanai perang rempah-rempah.
Pengamatan ini, seharusnya tidak mengejutkan kita, karena seni “menguasai “
telah lama dikembangkan di antara para pedagang Cina di kampung halaman mereka,
Fujian, dalam interaksi jangka panjang mereka dengan sistem pertahanan pesisir
kekaisaran Ming144.
Selain itu, pada awalnya dipicu oleh terkurasnya
“dana” oleh kapal-kapal jung Cina, kebijakan VOC terhadap penciptaan Laut
Tertutup di kepulauan rempah-rempah, akhirnya berubah menjadi monopoli aneh
yang lebih disukai oleh orang Cina. Sebelum kebijakan itu, para pedagang Cina
harus bersaing dengan pedagang Asia dan Eropa lainnya di kepulauan rempah-rempah
untuk menjual kain, untuk mendapatkan perak, dan untuk membeli cengkih. Setelah
serangkaian perubahan yang diperkenalkan oleh Coen dan Heeren XVII, orang Cina
menjadi hanya pedagang asing yang diizinkan oleh VOC untuk berlayar ke
kepulauan rempah-rempah, untuk memasok perbekalan benteng-benteng VOC, dan
untuk tinggal dan membangun jaringan perdagangan mereka sendiri, sementara yang
lainnya tidak bisa. Kita bisa menjadikan perkembangan dan fenomena ini, sebagai
langkah penting yang pada akhirnya membawa abad-abad China kedalam sejarah Asia
Tenggara145.
====== selesai ======
Catatan
Kaki
69.
NA, VOC 468: 1, 5 August
1608. This document has been transcribed and published by Leo Akveld as an
appendix to Matelief’s journal; see Akveld, Machtsstrijd om Malakka, 377–9.
Many thanks to Menno Leenstra for informing me of this source.
70.
Akveld, Machtsstrijd om
Malakka, 199.
71.
Ibid., 200.
72.
Ibid.
73.
Akveld, Machtsstrijd om
Malakka, 377.
74.
Ryan Crewe very generously
offers some highly valuable sources from the Spanish archives. It shows how
desperately the Spaniards were dependent on Chinese provisions around this
period. In a letter from the general of Maluku to Manila in 1607, it was
reported that soldiers at the fort
(Fort Rosario, the principal fort of the Spaniards in Maluku) relied on payments of ropa de chincheo (Zhangzhou cloth). The same report mentioned that there were 88 Sangley (Chinese) of all trades present at the fort, but still not enough to meet the fort’s needs. Most interestingly,
this report mentioned a Sangley ship had arrived, but it only brought 5 of the 74 Sangley construction workers that the general (Juan de Esquivel) had requested. Although with minor discrepancy (74 Chinese workers instead of 75), this account very likely refers to the same shipment of the Chinese junk captured by Matelief in the same year. In the same letter, Esquivel wrote, “there is such a tremendous need that your lordship send us the greatest quantity possible of Sangley
masons, so that we proceed to finish [the fort].” “Letter of Juan de Esquivel, maestre de campo [general] of the Moluccas, to the Audiencia of Manila. 1607.” AGI Filipinas 20, n. 2: f. 7r; f. 8r-v; f. 9r.
(Fort Rosario, the principal fort of the Spaniards in Maluku) relied on payments of ropa de chincheo (Zhangzhou cloth). The same report mentioned that there were 88 Sangley (Chinese) of all trades present at the fort, but still not enough to meet the fort’s needs. Most interestingly,
this report mentioned a Sangley ship had arrived, but it only brought 5 of the 74 Sangley construction workers that the general (Juan de Esquivel) had requested. Although with minor discrepancy (74 Chinese workers instead of 75), this account very likely refers to the same shipment of the Chinese junk captured by Matelief in the same year. In the same letter, Esquivel wrote, “there is such a tremendous need that your lordship send us the greatest quantity possible of Sangley
masons, so that we proceed to finish [the fort].” “Letter of Juan de Esquivel, maestre de campo [general] of the Moluccas, to the Audiencia of Manila. 1607.” AGI Filipinas 20, n. 2: f. 7r; f. 8r-v; f. 9r.
75.
Andaya, The World of
Maluku, 133; Crewe, “Transpacific Mestizo,” 469–70.
76.
Andaya, The World of
Maluku, 137; Brook, Mr. Selden’s Map of China, 124–5.
77.
The story was recorded in
Dongxiyang kao, and has been recounted by Brook with reference to Spanish
sources. Dongxiyang kao, 5.14b–15a; Brook, Mr. Selden’s Map of China, 124–5;
Lobato, “Os chineses nas Ilhas Molucas,” 159.
78.
Andaya, The World of
Maluku, 140.
79.
Villiers, “Manila and
Maluku,” 151.
80.
Ibid., 160.
81.
Pearson, “Spain and
Spanish Trade in Southeast Asia,” 118–20.
82.
Tremml-Werner, Spain,
China, and Japan in Manila, 278–82; 284–90.
83.
Akveld, Machtsstrijd om
Malakka, 377.
84.
One quintal is about 100
pounds. The journal of Matelief and the justification of L’Hermite used
different accounting units. Whereas the former recorded it as about 500
quintals, the latter counted it as 63 bar. Here the former account is used,
because it gives more information such as the price and tax paid by the Chinese.
Akveld, Machtsstrijd om Malakka, 200, 378.
85.
Ibid.
86.
Akveld, Machtsstrijd om
Malakka, 200. It is indeed difficult to tell the final destination of the
cloves. Crewe insightfully suggests that this shipment of cloves might be
destined to Manila for the
Spaniards. This is because the Spaniards were bound by the treaty obligation with the Portuguese to keep the clove trade exclusively for the Portuguese, and the native rulers in Maluku were also reluctant to sell cloves to the Spaniards. By using the Chinese as carriers, the Spaniards might be able to get around these restrictions.
Spaniards. This is because the Spaniards were bound by the treaty obligation with the Portuguese to keep the clove trade exclusively for the Portuguese, and the native rulers in Maluku were also reluctant to sell cloves to the Spaniards. By using the Chinese as carriers, the Spaniards might be able to get around these restrictions.
87.
It refers to Maluku.
88.
In this case, the
barbarians (yiren 夷人) refer to foreigners in general, and the Dutch and Spaniards in
particular.
89.
Here, it specifically
refers to the Dutch and Iberians.
90.
Dongxiyang kao, 5.15b.
91.
Xiangsheng, 25.21a.
92.
Dongxiyang kao, 5.15b–16a.
93.
Ibid
94.
Crewe offers some highly interesting Spanish accounts
that the Chinese in Ternate often had a chance to escape from Dutch
fortification and conducted espionage for the Spaniards. Salva,
Colección de documentos inéditos para la historia de España, 145, 154, 359, and 360.
Colección de documentos inéditos para la historia de España, 145, 154, 359, and 360.
95.
Akveld, Machtsstrijd om
Malakka, 377.
96.
“Relação breve da ilha de
Ternate, Tydore, e mais ilhas Malucas,” 51; Villiers, “Manila and Maluku,” 152.
97.
Colenbrander, Coen 1:
82–83.
98.
The tension between Coen
and Reael regarding Asian traders has been nuanced by Meilink-Roelofsz, Asian
Trade and European Influence, 207–38; my own Chinese article has supplemented a
few points on this issue: Xu, “Qiguai de longduan” [Strange monopoly], passim.
99.
Colenbrander, Coen 1:
82–83.
100. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence, 207–38.
101.
Goor, Jan Pieterszoon
Coen, 191–8.
102. NA, VOC 1057: 81a, 20 May 1614.
103. NA, VOC 1057: 75a–b, 20 June 1614.
104. NA, VOC 1060: 167, 7 May 1615.
105. Colenbrander, Coen 1: 127–8.
106. NA, VOC 1061: 19a, 6 September 1615; NA, VOC 1061: 20a, 11
September 1615.
107. NA, VOC 1061: 20a, 11 September 1615.
108. NA, VOC 1061: 33b, 7 April 1616.
109. The ship (Swarten Leeuw) carrying that reply would arrive at
Banten on 30 April 1616.
110.
NA, VOC 1061: 34a, 9 April
1616.
111.
Colenbrander, Coen 4:
306–7.
112.
Ibid., 311.
113.
Reynst passed away in
December 1615. On 19 June 1616, Reael was elected by the Council of Indies (in
Asia) as his successor
114.
Meilink-Roelofsz, Asian
Trade and European Influence, 207–38.
115.
Coolhaas, Generale
missiven, 72–3; NA, VOC 1064: 8, 10 May 1617.
116.
Ibid.
117.
NA, VOC 1064: 4b–5a, 10
May 1617.
118.
Colenbrander, Coen 4: 353.
119.
Ibid., 376–8.
120. Ibid., 379.
121.
Der Chijs,
Nederlandsch-Indisch Plakaatboek, 45, 50.
122.
Ibid., 44.
123.
Ibid., 47.
124.
Colenbrander, Coen 4:
419–20.
125.
Ibid., 421.
126. Colenbrander, Coen 1: 726.
127.
Ibid.
128.
Ibid.
129. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence, 228.
130. Colenbrander, Coen 1: 726.
131.
Andaya, The World of
Maluku, passim; Knaap, “Crisis and Failure,” passim.
132.
Colenbrander, Coen 4: 378.
133.
Der Chijs,
Nederlandsch-Indisch Plakaatboek, 50.
134.
Blussé, “Shouwei fanghe
huaren enpu de zhenmao” [The real visage], 2–3.
135.
Ibid., 2–4; Blussé,
“Inpo,” 12.
136. Blussé, “Shouwei fanghe huaren enpu de zhenmao” [The real visage],
5.
137.
Ibid., 4–5.
138.
Blussé, “Inpo,” 11–2.
139. Ibid.
140. Ibid., 13.
141.
Colenbrander, Coen 2: 609.
142.
Colenbrander, Coen 2: 652.
143.
Knaap, “A City of
Migrants,” passim; Iwao, “Anboina (Amboina) no shoki shina cho ni tsu i te” [On
the Chinese
quarter at Amboyna], passim.
quarter at Amboyna], passim.
144.
Szonyi, The Art of Being
Governed, 83– 108.
145.
Blussé, “Chinese Century.”
Published
Primary Sources
[Chinese]
§ Changwu zhi 長物志 [Treatise
on Superfluous Things]. Compiled by Wen Zhenheng 文震亨. Reprint:
Yingyin Wenyuange siku quanshu 景印文淵閣四庫全書, vol. 872. Taipei: Shangwu yinshuguan, 1983.
§ Chongxiu zhenghe jingshi zhenglei beiyong
bencao 重修政和經史證類備用本草 [Newly revised materia medica of
the Zhenghe period, annotated, arranged by types, organised for practicality,
and based upon the classics and historical works]. Edited by Zhang Cunhui 張存惠, 1249. Reprint: Beijing: Renmin weisheng chubanshe, 1957. https://shuge.org/ebook/zheng-lei-ben-cao/.
§ Dongxiyang kao 东西洋考. Compiled by Zhang Xie 张燮, 1618. Block print edition preserved in Harvard Yenching Library.
https://shuge.org/ebook/dong-xi-yang-kao/.
§ Jinghetang ji 敬和堂集. Compiled by Xu Fuyuan 许孚远, 1594. Block print edition preserved in Naigakubunko 內閣文庫 (Japan).
§ Jufang fahui 局方發揮 [Elaborations on the Pharmacy’s Formulary]. Compiled by Zhu
Zhenheng
朱震亨, 1347. Reprint, Jin Yuan si dajia yixue quanshu 金元四大家醫學全書. Tianjin: Tianjin kexue jishu chubanshe, 1999.
朱震亨, 1347. Reprint, Jin Yuan si dajia yixue quanshu 金元四大家醫學全書. Tianjin: Tianjin kexue jishu chubanshe, 1999.
§ The Selden
Map of China. Bodleian Library, University of Oxford, MS Selden Supra 105.
https:// seldenmap.bodleian.ox.ac.uk.
§ Xiangsheng 香乘 [The
Record of Incenses]. Compiled by Zhou Jiazhou 周嘉胄, 1643.
Reprint, Yingyin Wenyuange siku quanshu
景印文淵閣四庫全書, vol. 844. Taipei: Shangwu yinshuguan,
1983.
§ Zhinan zhengfa 指南正法 [The true art of pointing south]. Bodleian Library, University of
Oxford.
[Dutch, English,
Portuguese, Spanish, and Latin]
§ Akveld,
Leo, ed. Machtsstrijd om Malakka: De reis van VOC-admiraal Cornelis Cornelisz. Matelief
naar Oost-Azië, 1605–1608. Zutphen: Walburg Pers, 2013.
§ Chijs, J.
A. van Der, ed. Nederlandsch-Indisch Plakaatboek, 1602–1811. Part 1. Batavia: Landsdrukkerij,
1885.
§ Colenbrander,
H. T., ed. Jan Pietersz. Coen, Bescheiden omtrent zijn bedrijf in Indië. 7
vols.
’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1919–34.
’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1919–34.
§ Coolhaas,
W. PH. Generale missiven van gouverneurs-generaal en raden aan Heren XVII der Verenigde
Oostindische Compagnie, vol. 1. ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1960.
§ Fletcher,
Francis. The World Encompassed by Sir Francis Drake, Being His Next Voyage to
That to Nombre de Dios. London: Hakluyt Society, 1856.
§ Galvão,
Antonio. A Treatise on the Moluccas. Translated by Hubert Th. Th. M. Jacobs.
Rome: Jesuit Historical Institute, 1971.
§ “Relação
breve da ilha de Ternate, Tydore, e mais ilhas Malucas, aonde temos fortalezas,
e presidios, e das forças, naos, e fortalezas, que o enemigo olandes tem por
aquelas partes,” Malacca, 28 November 1619. In Documentação Ultramarina
Portuguesa, vol. 2. Lisbon: Centro de Estudos Historicós Ultramarinos, 1962.
§ Salva,
Miguel, ed. Colección de documentos inéditos para la historia de España, vol.
52. Madrid: Viuda de Calero, 1868.
§ Selden,
John. Mare Clausum seu De dominio maris. London: R. Meighen, 1635.
Secondary
Sources
[Chinese and Japanese]
[Chinese and Japanese]
§ Blussé,
Leonard. “Shouwei fanghe huaren Enpu de zhenmao” 首位訪荷華人恩浦的真貌 [The real
visage of the first Chinese in Vlissingen]. Guojia hanghai 國家航海 [National maritime research] vol. 17 (2016): 1–8.
§ Chen,
Tsung-Jen 陳宗仁. “Mr. Selden’s Map youguan Riben de miaohui
jiqi zhishi yuanyuan.” Mr. Selden’s Map 有關日本的描繪及其知識淵源 [The
origin of Japanese shape in Mr. Selden’s map]. In Yazhou haiyu jian de xinxi
chuandi yu xianghu renshi 亞洲海域間的
信息傳遞與相互認識 [Transmission of information and
mutual understanding across the Asian waters], edited by Shiuh-Feng Liu 劉序楓, 341–84. Taipei: Research Centre for Humanities and Social
Sciences, Academia Sinica, 2018.
§ Fan, Ka
Wai 范家偉. Beisong jiaozheng yishuju xintan 北宋校正醫書局新探 [A new exploration on the Medical Books Revision Bureau of the
Northern Song Dynasty]. Hong Kong: Chung Hwa Book 中華書局, 2014.
§ Fan,
Xingzhun 范行准. Zhongguo yixue shilue 中國醫學史略 [A sketch history of Chinese medicine]. Beijing: Zhongyi Guji
Chubanshe 中醫古籍出版社, 1986.
§ Iwao,
Seiichi 岩生成一. “Anboina (Amboina) no shoki Shinamachi ni
tsuite” アンボイナ (Amboina) の初期支那町について [On the Chinese quarter at Amboyna in the early days]. Toyo
Gakuho 東洋学報 33 (3・4) (1951):
269–311.
§ Leung,
Angela Ki Che 梁其姿. “Song-Yuan-Ming di difang yiliao ziyuan
chutan” 宋元明地地方 醫療資源初探 [A
preliminary study on local medical resources of the Song-Yuan-Ming dynasties].
Zhongguo shehui lishi pinglun 中國社會歷史評論 [Review
of Chinese social history], 3 (2001): 219–37.
§ Liu, Jingmin
[Liu Ching-Ming] 劉靜敏. Songdai xiangpu zhi
yanjiu 宋代《香譜》之研究 [A study
of the compendia of incense during the Song period]. Taipei: Wenshizhe
chubanshe 文史哲出版社, 2007.
§ Okamoto,
Yoshitomo 岡本良知. Chūsei Morukka Shotō no kōryō 中世モルッカ諸島の香料 [The spices of the Maluku
Islands in the Middle Period]. Tokyo: Toyodo 東洋堂, 1944.
§ Qin, Zhen 秦蓁. “Zhou Jiangzuo Shiji” 周江左事辑 [On the life and achievements of Zhou Jiazhou]. Shilin 史林 5 (2012): 65–74.
§ Xia,
Shihua 夏時華. Songdai xiangyao ye jingji yanjiu 宋代香藥業經濟研究 [A study of the aromatic economy in the Song period]. PhD diss.,
Shaanxi Normal University, 2012.
§ Xiang, Da 向達, ed. Liang zhong haidao zhenjing 兩種海道針經 [Two
rutters]. Beijing: Zhonghua Shuju 中華書局, 1961.
§ Xu,
Guanmian 徐冠勉. “Qiguai de longduan: Huashang ruhe zai
Xiangliao Qundao chengwei Helan Dongyindu Gongsi zuizao de ‘hezuo huoban’
(1560–1620 niandai)” 奇怪的壟斷: 華商如何在香
料群島成為荷蘭東印度公司最早的合作夥伴 (1560–1620 年代) [Strange monopoly: How Chinese merchants became the earliest collaborators of the Dutch East India Company, 1560s– 1620s]. Quanqiushi pinglun 全球史評論 [Global history review] 12 (2017): 45–85.
料群島成為荷蘭東印度公司最早的合作夥伴 (1560–1620 年代) [Strange monopoly: How Chinese merchants became the earliest collaborators of the Dutch East India Company, 1560s– 1620s]. Quanqiushi pinglun 全球史評論 [Global history review] 12 (2017): 45–85.
§ Yamada,
Kentaro 山田憲太郎. Tōa kōryō shi kenkyū 東亞香料史研究 [A study of the history of perfumery and spices in the Far East].
Tokyo: Chuo-koron Bijutsu Shuppan 中央公論美術出版, 1976.
§ Yang,
Zhishui 揚之水. Xiangshi 香識 [Knowing
incense]. Guilin: Guangxi Normal University Press, 2011.
§ Zhang,
Chonggen 張崇根. “Guanyu liang zhong haidao zhenjing de
zhuzuoniandai” 關於兩種海 道針經的著作年代 [On the
date of the compilation of two rutters]. Studies in the History of the Relations
between China and Foreign Countries, vol. 1 (1984): 183–94.
§ Zhang,
Xueqian 张学谦. “Cong Zhu Zhenheng dao Danxi xuepai: Yuan Ming ruyi he yixue
xuepai de shehuishi kaocha” 从朱震亨到丹溪学派:元明儒医和医学学派的社会史考察 [From Zhu
Zhenheng to the Danxi School: A social history of the Confucian physician and
medical school in late imperial China]. Bulletin of IHP 中央研究院历史语言研究所集刊 86:4
(2015): 777–808.
§ Zhou,
Yunzhong 周運中. “Niujin daxue cang Mingmo Wanlaogao
Minshang hanghaitu yanjiu” 牛
津大學藏明末萬老高閩商航海圖研究 [A study of Fujian merchants’
Maluku map of the later Ming period collected in Oxford University]. Wenhua
zazhi 文化雜誌 87 (2013): 182–94.
[Dutch,
English, French, and Portuguese]
§ Andaya,
Leonard Y. “Local Trade Networks in Maluku in the 16th, 17th, and 18th
centuries.” Cakalele 2:2 (1991): 71–96.
—— The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu: University of Hawaii Press, 1993.
—— The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu: University of Hawaii Press, 1993.
§ Batchelor,
Robert K. London: The Selden Map and the Making of a Global City, 1549–1689. Chicago:
University of Chicago Press, 2014.
§ Blussé,
Leonard. “Chinese Century: The Eighteenth Century in the China Sea Region.”
Archipel 58 (1999): 107–29.
——. “Inpo, Chinese Merchant in Patani: A Study in Early Dutch-Chinese Relations.” In Proceedings of the Seventh IAHA Conference, Bangkok 1977, 290–309. Bangkok: Chulalongkorn University Press, 1979.
——. “Inpo, Chinese Merchant in Patani: A Study in Early Dutch-Chinese Relations.” In Proceedings of the Seventh IAHA Conference, Bangkok 1977, 290–309. Bangkok: Chulalongkorn University Press, 1979.
§ Borschberg,
Peter. Hugo Grotius, the Portuguese and Free Trade in the East Indies. Leiden: KITLV
Press, 2011.
§ Brixius,
Dorit. “A Pepper Acquiring Nutmeg: Pierre Poivre, The French Spice Quest and
the Role of Mediators in Southeast Asia, 1740s to 1770s.” Journal of the
Western Society for French History 43 (2015): 68–77.
§ Brook,
Timothy. The Confusion of Pleasure: Commerce and Culture in Ming China.
Berkeley: University of California Press, 1998.
§ Brooke,
Timothy. Mr. Selden’s Map of China: Decoding the Secrets of a Vanished
Cartographer. New York: Bloomsbury Press, 2013.
§ Bulbeck,
David, et al. Southeast Asian Exports since the 14th Century: Cloves, Pepper,
Coffee, and Sugar. Leiden: KITLV Press, 1998.
§ Cheng, Weichung.
“Putchock of India and Radix China: Herbal Exchange around Maritime Asia via
the VOC during the 17th and 18th Centuries.” Journal of Social Sciences and
Philosophy 30:1 (2018): 75–117.
——. War, Trade and Piracy in the China Seas, 1622–1683. Leiden: Brill, 2013.
——. War, Trade and Piracy in the China Seas, 1622–1683. Leiden: Brill, 2013.
§ Chia,
Lucille. “Of Three Mountain Street: The Commercial Publisher of Ming Nanjing.”
In Printing and Book Culture in Late Imperial China, edited by Cynthia J.
Brokaw and Kai-wing Chow, 107–51. Berkeley: University of California Press,
2005.
——. Printing for Profit: The Commercial Publishers of Jianyang, Fujian (11th–17th Centuries). Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2002.
——. Printing for Profit: The Commercial Publishers of Jianyang, Fujian (11th–17th Centuries). Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2002.
§ Clunas,
Craig. Empire of Great Brightness: Visual and Material Cultures of Ming China,
1368– 1644. Honolulu: University of Hawai’i Press, 2007.
——. Superfluous Things: Material Culture and Social Status in Early Modern China. Honolulu: University of Hawai’i Press, 1991.
——. Superfluous Things: Material Culture and Social Status in Early Modern China. Honolulu: University of Hawai’i Press, 1991.
§ Crewe,
Ryan. “Transpacific Mestizo: Religion and Caste in the Worlds of a Moluccan
Prisoner of the Mexican Inquisition.” Itinerario 39 (2015): 463–85.
§ Elman,
Benjamin. “Collecting and Classifying: Ming Dynasty Compendia and Encylopedias (Leishu).”
Extrême-Orient, Extrême-Occident, hors série (2007): 131–57.
§ Finnane,
Antonia. Speaking of Yangzhou: A Chinese City, 1550–1850. Cambridge Mass.: Cambridge
University Press, 2004.
§ Goldschmidt,
Asaf. “Commercializing Medicine or Benefiting the People: The First Public Pharmacy
in China.” Science in Context 21: 3 (2008): 311–50.
——. The Evolution of Chinese Medicine: Song Dynasty, 960–1200. London: Routledge, 2009.
——. The Evolution of Chinese Medicine: Song Dynasty, 960–1200. London: Routledge, 2009.
§ Goor, Jur
van. Jan Pieterszoon Coen, 1587–1629: Koopman-koning in Azië . Amsterdam:
Boom, 2015.
§ Hartwell,
Robert M. “Foreign Trade, Monetary Policy and Chinese ‘Mercantilism.’” In
Collected Studies on Sung History Dedicated to James T. C. Liu in Celebration
of His Seventieth Birthday, edited by Kinugawa Tsuyoshi, 453–88. Kyoto:
Dohōsha, 1989.
§ Hinrichs,
T. J. The Medical Transforming of Governance and Southern Customs in Song
Dynasty China. PhD diss., Harvard University, 2003.
§ Ittersum,
Martine Julia van. “Debating Natural Law in the Banda Islands: A Case Study in Anglo-Dutch
Imperial Competition in the East Indies, 1609–1621.” History of European Ideas
42: 4 (2016): 459–501.
——. Profit and Principle: Hugo Grotius, Natural Rights Theories and the Rise of Dutch Power in the East Indies, 1595–1615. Leiden: Brill, 2006.
——. Profit and Principle: Hugo Grotius, Natural Rights Theories and the Rise of Dutch Power in the East Indies, 1595–1615. Leiden: Brill, 2006.
§ Jung, Dinah.
“The Cultural Biography of Agarwood: Perfumery in Eastern Asia and the Asian Neighbourhood.”
Journal of the Royal Asiatic Society 23:1 (2013): 103–25.
§ Knaap,
Gerrit. “A City of Migrants: Kota Ambon at the End of the Seventeenth Century.”
Indonesia 15 (1991): 105–28.
——. “Crisis and Failure: War and Revolt in the Ambon Islands, 1636–1637.” Cakalele 3 (1992): 1–26.
——. “Crisis and Failure: War and Revolt in the Ambon Islands, 1636–1637.” Cakalele 3 (1992): 1–26.
——. Kruidnagelen en christenen:
De Verenigde Oostindische Compagnie en de bevolking van Ambon, 1656–1696.
Leiden: Brill, 2004.
§ Kogou,
Sotiria, et al. “The Origins of the Selden Map of China: Scientific Analysis of
the Painting Materials and Techniques using a Holistic Approach.” Heritage
Science 4:28 (2016): 1–24.
§ Laurent,
Céderic. “Le parfum dans les maisons élégantes sous la dynastie Ming (1368–1644).”
In Parfums de Chine: La culture de l’encens au temps des empereurs, edited by
Éric Lefebvre. Paris: Musée Cernuschi, 2018.
§ Leung,
Angela Ki Che. “Medical Learning from the Song to the Ming.” In The
Song-Yuan-Ming Transition in Chinese History, edited by Paul Jakov Smith and
Richard von Glahn. Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 2003.
§ Leung,
Angela Ki Che, and Ming Chen. “The Itinerary of Hing/Awei/Asafetida across
Eurasia, 400–1800.” In Entangled Itineraries: Materials, Practices, and Knowledges
across Eurasia, edited by Pamela H. Smith. Pittsburgh: University of Pittsburgh
Press, 2019.
§ Leur, J.
C. van. Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social and Economic
History. The Hague: W. van Hoeve, 1955.
§ Lobato,Manuel.“Os
chineses nas IlhasMolucas: da prioridade no comércio de longa distância à
fixação de uma comunidade residente.” In Portugal e a China – Conferências nos
Encontros de História Luso-Chinesa, edited by Jorge dos Santos Alves, 147–172.
Lisboa: Fundação Oriente, 2001.
§ Lopez,
Ariel C. Conversion and Colonialism: Islam and Christianity in North Sulawesi,
c. 1700– 1900. PhD diss., Leiden University, 2018.
§ Ly-Tio-Fane,
Madeleine. Mauritius and the Spice Trade: The Odyssey of Pierre Poivre.
Mauritius: Esclapon, 1958.
§ McDermott,
Joseph P. A Social History of the Chinese Book: Books and Literati Culture in
Late Imperial China. Hong Kong: Hong Kong University Press, 2006.
§ Meilink-Roelofsz,
M. A. P. Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between
1500 and about 1630. The Hague: Martinus Nijhoff, 1962.
§ Milton,
Giles. Nathaniel’s Nutmeg: How One Man’s Resolve Changed the World. London:
Hodder & Stoughton, 1999.
§ Nie,
Hongping Annie. The Selden Map of China: A New Understanding of the Ming
Dynasty. Bodleian Libraries, University of Oxford, 2014.
§ Pearson,
M. N. “Spain and Spanish Trade in Southeast Asia.” Journal of Asian History 2:2
(1968): 109–29.
——. Spices in the Indian Ocean World. Aldershot: Variorum, 1996.
——. Spices in the Indian Ocean World. Aldershot: Variorum, 1996.
§ Prakash,
Om. “Restrictive Trading Regimes: VOC and the Asian Spice Trade in the
Seventeenth Century.” In Emporia, Commodities and Entrepreneurs in Asian
Maritime Trade, ca. 1400– 1750, edited by R. Ptak and D. Rothermund, 107–26.
Stuttgart: Steiner Verlag Wiesbaden, 1991.
§ Prange,
Sebastian R. “‘Measuring by the Bushel’: Reweighing the Indian Ocean Pepper
Trade.” Historical Research 84:224 (2011): 212–35.
§ Ptak,
Roderich. “China and the Trade in Cloves, Circa 960–1435.” Journal of the
American Oriental Society 113:1 (1993): 1–13.
——. “The Northern Trade Route to the Spice Islands: South China Sea—Sulu Zone—North Moluccas (14th to Early 16th Century).” Archipel 43 (1992): 27–56.
——. “The Northern Trade Route to the Spice Islands: South China Sea—Sulu Zone—North Moluccas (14th to Early 16th Century).” Archipel 43 (1992): 27–56.
§ Sabban,
Françoise. “Court Cuisine in Fourteenth-Century Imperial China: Some Culinary
Aspects of Hu Sihui’s Yinshan Zhengyao.” Food and Foodways vol. 1 (1986):
161–96.
§ Schafer,
Edward H. The Golden Peaches of Samarkand: A Study of T’ang Exotics. Berkeley: University
of California Press, 1963.
§ Schrieke,
B. Indonesian Sociological Studies, vol. 1. The Hague: W. van Hoeve, 1955.
§ Shinno,
Reiko. The Politics of Chinese Medicine under Mongol Rule. London: Routledge,
2016.
§ Silva, C.
R. de. “The Portuguese and the Trade in Cloves in Asia during the Sixteenth
Century.” The Eighth Conference: International Association of Historians of
Asia; Selected Papers, edited by Mohd Amin Hassan and Nik Hassan,
251–60. Selangor: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1988.
§ So, Jenny
F. “Scented Trails: Amber as Aromatic in Medieval China.” Journal of the Royal
Asiatic Society 23:1 (2013): 85–101.
§ Szonyi,
Michael. The Art of Being Governed: Everyday Politics in Late Imperial China.
Princeton, N.J.: Princeton University Press, 2017.
§ Tremml-Werner,
Birgit. Spain, China, and Japan in Manila, 1571–1644. Amsterdam: Amsterdam University
Press, 2015.
§ Villiers,
John. “Manila and Maluku: Trade and Warfare in the Eastern Archipelago,
1580–1640.” Philippine Studies 34:2 (1986): 146–61.
§ Widjojo,
Muridan. The Revolt of Prince Nuku: Cross-Cultural Alliance-Making in Maluku, c.
1780–1810. Leiden: Brill, 2009.
§ Yang,
Zhishui. “L’encens sous les Song (960–1279) et les Yuan (1279–1368).” In
Parfums de Chine: La culture de l’encens au temps des empereurs, edited by Éric
Lefebvre. Paris: Musée Cernuschi, 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar