Oleh
- Kata Pengantar
Membaca artikel yang
ditulis oleh antropolog Jerman, Profesor Dieter Bartels ini, membuat kita
mengetahui dan bisa jadi mengerti dan memahami tentang konsep “kuno” orang
Maluku, khususnya orang Ambon tentang pemanfaatan dan penyerapan elemen-elemen
budaya asing kedalam sistem sosial budaya orang Ambon, yang kita lihat dan
nampak di masa kini. Bartels secara memukau menyajikan kerangka dasar agar kita
memahami, misalnya, mengapa orang-orang Ambon begitu “terpesona” bahkan “fanatis”
pada orang Barat, terkhususnya Belanda. Secara eksplisit dan implisit, Bartels
mengatakan bahwa relasi intim orang Ambon dengan orang Barat (Belanda) bukan
karena orang Ambon ingin seperti orang Belanda atau karena orang Ambon adalah “golden
boys”nya Belanda. Namun akar relasi ini tertanam sangat jauh dan kuno pada masa
prasejarah yaitu konsep kuno tentang makna kesaktian
dan penggunaannya. Orang Ambon saat berhadapan dengan elemen-elemen asing
atau sistem sosial budaya yang lebih unggul dari mereka, tidak “kagum” dan takluk
bahkan menggantikan sistem sosial budaya mereka yang kuno dengan yang baru. Orang
Ambon melihat keunggulan sistem budaya baru itu sebagai bentuk
ketidakseimbangan dalam akses pada sumber kekuatan. Di mata orang Ambon, bukan
keunggulan sistem baru yang menyebabkan mereka lebih hebat, melainkan fakta
bahwa orang asing itu memiliki akses ke sumber-sumber kekuatan yang sebelumnya
tidak diketahui oleh orang Ambon. Dengan memanfaatkan dan menyerap unsur-unsur
asing itu, orang Ambon yakin akan memiliki kunci
atau akses ke sumber kekuatan unggul itu, agar posisi keseimbangan bisa
tercapai/dikembalikan bahkan mengalahkan mereka.
![]() |
Dieter Bartels |
Artikel yang menarik
dan memukau ini ditulis oleh antropolog Dieter Bartels saat ia melakukan kerja
lapangan di Maluku Tengah pada tahun 1974-1975, dan dipublikasikan dengan judul
Politicians and Magicians : Power,
Adaptive Strategies and Syncretism in the Central Moluccas dan dipresentasikan
pada Conference
on Indonesian Studies yang berlangsung pada 29 Juli – 1 Agustus 1976 di
Madison, Wisconsin, Amerika Serikat. Artikel
ini dimuat oleh Gloria Davis (Editor) dalam bukunya What is Modern Indonesian Culture, halaman 282-299, yang diterbitkan tahun 1979. Artikel
sepanjang 12 halaman ini terdiri dari 12 catatan kaki, 11 halaman kajian dan 1
halaman sumber referensi yang digunakan, serta tidak ada gambar ilustrasi.
Kami menerjemahkan
artikel ini, karena merasa kajiannya menarik dan “logis”, meskipun pasti ada
yang tidak setuju dengan premis-premis dasar dari penulisnya. Pada artikel
hasil terjemahan ini, catatan kaki sebanyak 12 itu, kami “potong” hingga
menjadi 11, karena 1 catatan kaki berisi ucapan terima kasih dari penulis. Kami
juga membagi artikel ini menjadi 2 bagian dan menambahkan beberapa gambar
ilustrasi dan memberikan catatan tambahan jika dirasa perlu.
Akhir kata, selamat
membaca... selamat menikmati, semoga pemahaman kesejarahan kita semakin
berkembang dan meluas.
- Terjemahan : Kutu Busu
Sebagai bagian dari
kepulauan rempah-rempah yang pernah menjadi dongeng, Maluku Tengah menjadi
terkenal bukan karena rempah-rempahnya, tetapi karena lokasinya yang sentral di
antara daerah-daerah itu, dan terutama pulau Ambon, tempat yang ideal untuk pemindahan
barang. Cengkih telah dikenal di Roma kuno, dan gelombang demi gelombang
pedagang dan petualang asing, Melayu, Cina, Arab, India, Spanyol, Portugis, dan
akhirnya Belanda, datang ke pantai-pantai Maluku untuk mencari rempah-rempah.
Dengan demikian,
sepanjang sejarah mereka yang penting dan panjang, orang Ambon tidak hanya
dihadapkan pada orang asing, tetapi juga dihadapkan pada atau “tunduk” pada
sistem sosiokultur mereka yang berbeda dan seringkali lebih maju. Orang Ambon
masih menjadi pemburu/pemotong kepala, ketika agama Hindu pertama kali
diperkenalkan dari kerajaan Jawa, yaitu Madjapahit. Islam mulai penaklukannya
pada akhir abad ke-15, dan kamudian dilawan oleh Katholik yang dibawa oleh
Portugis pada tahun 15111. Setelah kedatangan Belanda pada tahun
1605, Protestan diperkenalkan. Transformasi masyarakat Ambon terus berlanjut,
ketika masyarakat menyesuaikan diri dengan kebijakan kolonial Belanda, dan
kepentingan ekonomi di Hindia Belanda. Akhirnya, lahirlah bangsa Indonesia yang
“baru” pada tahun 1950a kembali memaksa orang Ambon untuk
mempertimbangkan kembali tempat dimana masyarakat mereka dibentuk.
Akibat pola kontak
sejarah ini, kompleksitas sosio-budaya orang Ambon menyerupai sebuah bangunan,
yang didirikan berabad-abad lalu, yang fondasinya masih terlihat jelas, tetapi
telah ditambahkan ruangan-ruangan, cerita-cerita dan gaya-gaya yang baru.
Atapnya telah diganti, dindingnya ditambal, namun strukturnya tetap
mempertahankan karakternya yang khas dan unik. Dan saat berdiri di sana, merenungkan
semua keajaiban, kita dapat mendeteksi bahwa para pekerja yang masih sibuk
menambah dan memperbaharui. Serupa dengan itu, sistim sosial-budaya orang Ambon
terdiri dari berbagai unsur adat dan unsur pinjaman yang membingungkan – warisan dari banyak zaman sejarah. Selain
itu, proses “modernisasi” (di sini didefenisikan sebagai adaptasi terhadap
lingkungan sosial yang berubah), masih terus berubah dan elemen-elemen baru
terus dipinjam dan dimasukan kedalam masyarakat Ambon.
Integrasi selektif
beberapa elemen asing dan penolakan elemen lain yang jelas terkait, sering
membingungkan dan membuat frustrasi para pengamat asing yang peduli dengan
modernisasi dan perkembangan. Yang sangat membingungkan adalah saat-saat ide
atau institusi baru diserap dengan relatif mudah, sementara gagasan kontradiktif
yang sudah ada sebelumnya, tetap dipertahankan. Satu kesalahan umum yang dibuat
oleh orang-orang asing (Barat) adalah, memikirkan bahwa apa yang secara logis
terkait dalam sistim mereka, seharusnya secara logis berhubungan dengan sistem
lain. Namun, sangat jelas bahwa relasi seperti itu jelas tidak diperlukan oleh
pihak peminjam (orang Ambon), atau dalam banyak kasus, tidak menarik bagi
mereka. Pihak peminjam tidak menilai manfaat institusi-institusi Barat menurut
terminologi Barat, tetapi mereka menafsirkannya dengan cara yang masuk akal
bagi mereka, dalam kaitannya dengan budaya mereka sendiri.
Mari kita ambil
contoh yang sangat sederhana, yaitu grafik statistik yang sangat besar yang
banyak ditemui di kantor Kepala Desa orang-orang Ambon. Dalam terminologi
Barat, grafik seringkali tidak terlalu penting, tetapi bukan itu intinya. Para
Kepala Desa mengadopsi hal itu, bukan karena kepentingan demografi, tetapi
karena hal itu mewakili aspek penting dari kekuasaannya sebagai perwakilan sah
dari Pemerintah Indonesia. Bagan dinding, mesin ketik, Surat Pengangkatan, dan
atribut kekuasaan modern lainnya melengkapi indikator-indikator tradisional,
seperti memiliki pesona magis tertentu, “tahta” khusus di dalam gereja, atau
ruang “khusus” di masjid. Dari sudut pandang para pemimpin, atribut ini
melengkapi satu sama lain, meskipun tampaknya tidak sesuai bagi kami (orang
Barat).
Hal itu adalah
hubungan antara kekuasaan dan penyerapan unsur-unsur budaya baru, yang terutama
saya (penulis) perhatikan di sini. Dalam konteks masyarakat Ambon,
bidang-bidang sosial, politik, agama, dan magis, yang secara khusus beriringan
dengan kepercayaan, adat istiadat, atau institusi yang berasal dari sistem dan
zaman yang berbeda, justru merupakan bidang-bidang yang sangat sarat dengan
kekuasaan, materi atau supernatural. Hal demikian merupakan hipotesis saya,
bahwa ada relasi yang erat antara konsepsi kekuasaan oleh orang Ambon dan
keinginan orang Ambon untuk mengadopsi unsur budaya baru dan mempertahankan
yang telah lama, bahkan yang bertentangan sekalipun. Saya mengemukakan bahwa,
ketika pendatang baru yang tidak dapat mereka hadapi dalam kaitannya dengan
pengetahuan tradisional tentang dunia yang dihadapi orang Ambon, mereka tidak
secara langsung membandingkan “kelebihan” sistem sosial budaya mereka dengan
sistem orang asing; mereka juga tidak menganggap bahwa sistem baru itu, mungkin
membatalkan sistem mereka sendiri. Sebaliknya, mereka menafsirkan keunggulan
tantangan yang tampak dalam pengertian ketidakseimbangan ke dalam akses
kekuasaan. Di mata orang Ambon, bukan keunggulan sistem baru yang menyebabkan
dominasi mereka, melainkan fakta bahwa orang asing memiliki akses ke sumber
kekuasaan yang sebelumnya tidak diketahui. Meskipun mungkin ada banyak alasan
untuk menerima elemen budaya baru, pertanyaan tentang kekuasaan adalah salah
satu yang paling krusial, dimana elemen-eleman baru diserap dan biasanya
“disinkretisasi” kedalam sistem, dan elemen-elemen tradisional tetap dipelihara2.
Konsep
Kekuasaan dalam Masyarakat Ambon
Bagi
masyarakat Ambon, kekuasaan merupakan kekuatan internal yang merupakan sesuatu
yang intrinsik bagi seseorang atau objek. Ini adalah sejenis kekuatan magis,
yang pada dasarnya tidak terjelaskan, tidak berbentuk, dan tak berwujud; namun
ia “konkret”, dalam arti ia adalah entitas di alam semesta3. Secara
tradisional, kekuasaan terkandung dalam semua aspek alam, organik dan
anorganik. Manusia, nenek moyang, roh, hewan, dan tumbuhan, semuanya memiliki
kekuatan tertentu, seperti halnya batu, mata air, angin, dan benda-benda
langit. Kekuasaan juga dapat hadir dalam benda-benda buatan manusia, seperti
senjata, jimat, dan benda pusaka, serta dapat terwujud dalam kata-kata yang
diucapkan, dan dalam strata sosial. Jumlah kekuatan impersonal yang terkandung
dalam benda atau makhluk (meskipun dari jenis atau kelas yang sama) itu
bervariasi, dan mengungkapkan dirinya melalui kemujizatannya. Kecakapan fisik
dan keberanian seseorang, atau efektifnya pedang atau tombak, bukan hanya
tanda-tanda eksternal, tetapi juga ukuran kekuatan dari kekuatan dari dalam
ini.
Manusia berada dalam
posisi untuk mengontrol atau memanipulasi kekuatan lain, termasuk milik orang
lain. Memang, di masa pengayauan (potong
kepala), ia harus melakukannya untuk memastikan kelangsungan hidupnya
sendiri. Secara berkala, ia harus memanfaatkan kekuatan seseorang untuk
memperbaharui miliknya sendiri, dan untuk menjamin kesejahteraan dan kesuburan
kelompok dan hasil panennya. Untuk meningkatkan kekuatan hidupnya sendiri, ia
harus keluar dan mengambilnya dari orang lain. Pemburu kepala (pemotong kepala) harus membunuh agar
bisa hidup, pekerjaan yang berbahaya tapi sangat penting.
Dengan cara yang sama,
kekuatan lain harus ditangani, dan dapat dimanfaatkan, dimanipulasi dan
dikendalikan untuk tujuan manusia. Penanganan senjata dengan tepat akan membawa
kemenangan dalam pertempuran dan kesuksesan dalam berburu. Kepemilikan terhadap
suatu batu tertentu menjamin kekebalan. Para leluhur, pembuat hukum manusia,
dapat dikendalikan dengan mematuhi aturan hidup mereka, dan “menenangkan”
mereka, jika hukum mereka tidak ditaati/dilanggar. Para leluhur juga dapat digunakan
untuk mengimbangi kekuatan lain, misalnya, mereka dapat secara aktif membantu
dalam perang atau mereka dapat melindungi negeri/desa dari roh-roh jahat. Selain
itu, kekuatan roh yang membawa penyakit dan kematian, dapat diselidiki jika
seseorang mengetahui formula sihir yang benar, dan dengan mengetahui rahasia
pengendalian roh, seseorang dapat mengarahkan kekuatannya untuk
membawa/mengirim penyakit kepada pihak musuh. Kekuasaan, dalam pengertian ini
adalah amoral; itu bisa ia gunakan secara positif atau negatif, tergantung pada
niat seseorang. Para roh dan penyihir menyalahgunakannya; para leluhur dan para
penyembuh biasanya menanganinya dengan cara yang baik, meski terkadang hal
sebaliknya bisa terjadi. Moralitas tidak berada dalam kekuasaan tetapi di dalam
pelakunya atau para penggunanya. Yang lain menilai orang seperti itu dalam
kerangka kode etik tradisional atau diadopsi, yang dianggap dapat diterapkan
dalam konteks tertentu.
Tidak semua orang dapat mengontrol kekuatan
tradisional atau memiliki keberanian untuk melakukannya, karena kebanyakan
dianggap berbahaya. Akuisisi banyak kekuatan tunduk pada aturan tertentu dan
terkadang diperuntukan bagi orang-orang dalam posisi sosial tertentu. Namun, ketika
itu datang untuk dimanfaatkan kekuatan baru, yang sebelumnya tidak dikenal,
aturan-aturan itu ditangguhkan, atau lebih tepatnya, minimal pada awalnya,
tidak ada aturan yang mengatur akuisisi hal itu. Dengan demikian, kekuatan yang
baru bisa dicapai oleh siapa saja, terlepas dari posisi sebelumnya dalam
masyarakat dan ini dapat berdampak besar pada struktur sosial.
Elemen penting untuk mendapatkan akses ke segala jenis
kekuatan, entah tradisional atau baru, adalah menemukan “kunci” yang tepat untuk memanipulasi dan mengontrolnya. Kunci, kata Melayu untuk kata Key, sebenarnya digunakan pada saat ini,
untuk menggambarkan kata-kata atau objek yang dibutuhkan untuk membuka
pengetahuan esoterik secara umum, atau membua jalan menuju kekuatan rahasia
tertentu dari seseorang atau sesuatu yang lain. Tetapi tidak hanya cukup untuk
mendapatkan kuncinya. Seseorang juga
harus menggunakannya secara persis dengan cara yang ditentukan. Dalam
pengendalian sumber-sumber kekuatan tradisional, pengulangan yang tepat dari
formula yang diberikan, atau pengulangan yang tepat dari ritual yang
ditentukan, memastikan keberhasilan, sementara perubahan kecil secara mendetail
dapat membahayakan pelaksanaannya. Di awal upaya mereka untuk menangani
kekuatan baru, oleh karena itu, orang Ambon berasumsi dengan anologi, bahwa
mereka dapat memperoleh hasil yang sama seperti orang asing, dengan meniru
perilaku mereka secara tepat/persis.
Jadi, orang-orang Ambon beradaptasi, dan sering secara
sadar mencari elemen-elemen dari sistem yang “mengganggu” tersebut, yang mereka
anggap sebagai kunci menuju kekuatan baru atau kekuatan-kekuatan di wilayah
yang dirasakan kurang, atau dimana peningkatan kekuatan dianggap menguntungkan.
Pada periode-periode sebelumnya, kurangnya kekuatan dirasakan di berbagai
bidang sosial. Itu juga mempengaruhi individu, seluruh kelompok, atau keduanya.
Namun, biasanya orang Ambon berusaha untuk mempertahankan, meningkatkan, atau
menggabungkan kembali kewibawaan pribadi dan sosial mereka; mempertahankan
status dan prestise pribadi mereka; dan meningkatkan identitas sosial mereka dengan
cara mendapatkan akses ke beberapa sumber kekuatan baru. Namun, apapun
motivasinya, hasilnya tetap sama, yaitu unsur-unsur baru dimasukan ke dalam
sistem masyarakat Ambon pada titik-titik tertentu dalam sejarah mereka.
Akumulasi Kekuatan Politis
Mari kita lanjutkan pembahasan yang
tidak terlalu abstrak, dengan melihat beberapa contoh konkrit yang diambil dari
sejarah politik Ambon, yang menggambarkan pemanfaatan dan penyerapan kekuatan
baru. Meskipun sejarah agama Hindu di Maluku Tengah masih belum terlalu jelas,
tradisi lisan dan bukti arkeologi orang Ambon menujukan bahwa para pangeran
Jawa dari Madjapahit dan Tuban berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan kecil di
Maluku, sebelum abad ke-16. Secara umum, pengaruh agama Hindu terhadap kehidupan
masyarakat Ambon, tampaknya sangat minim, dan pengayauan (potong
kepala/perburuan kepala) tetap menjadi pusat kehidupan mereka. Gagasan dan
institusi politik Hindu-Jawa tertentu diterima secara luas, dan meskipun
dimodifikasi, tetap menjadi bagian dari budaya Ambon saat ini. Posisi Kepala Desa diperkenalkan pada era ini,
atau setidaknya meningkat pesat, dengan proses pengadopsian gelar-gelar Hindu,
seperti Radja, atau Patih untuk Kepala Desa/Pemimpin Negeri. Konsep tentang sakti/kesaktian, yaitu kepercayaan bahwa radja atau king “diselimuti” dengan kesaktian khusus secara turun temurun, itu diadopsi. Bagi orang
Ambon, konsep ini merupakan penjabaran dari keyakinan mereka sendiri, bahwa pemimpin perang, atau pejabat/pemimpin
lainnya memiliki kekuatan magis tertentu. Satu-satunya perbedaan adalah sumber
kekuatan baru ini, diyakini berasal langsung dari arca agama Hindu, lingga4, atau dewa yang
diwakilinya. Dewa-dewa ini dan representasi mereka, kemudian menjadi “korban”
atau “tergantikan” oleh para “dewa” tertinggi dari Islam dan Kristen, namun
konsep sakti tetap bertahan sampai
sekarang, dan terutama penting di negeri-negeri/desa Muslim, dimana radja memiliki otoritas politik dan
agama.
Sejarah Islam di Maluku juga masih harus ditulis.
Karena ketidakpastian yang menyelimuti kedatangan Islam, maka hal itu hanya dapat
berspekulasi bahwa Islam dijadikan atau dimanfaatkan sebagai sumber kekuatan
baru oleh kerajaan-kerajaan orang Ambon,
ketika konflik muncul di antara mereka. Hal ini mungkin terjadi pada satu titik
dalam kaitannya dengan perebutan supremasi antara kerajaan-kerajaan Maluku
Utara yang paling kuat, yaitu Ternate dan Tidore, karena kedua kerajaan ini
tampaknya telah menguasai loyalitas sebagian dari penduduk Ambon. Apapun alasan
penerimaan Islam, Allah yang telah menganugerahkan kekayaan yang begitu besar
kepada para pemeluknya, pasti merupakan sumber kekuatan yang luar biasa bagi
orang Ambon. Sumber ini dibuat lebih menarik karena persyaratan-persyaratannya
langsung dan mudah dipahami untuk dimanfaatkan. Radja juga dapat meningkatkan kekuatan pribadinya, melalui
pengadopsian Islam karena tidak membedakan antara kekuatan politik dan
spiritual. Melalui Islam, radja menjadi
penghubung langsung dan perantara antara Allah dan rakyatnya, memungkinkan ia
untuk secara penuh dan eksklusif mengendalikan sumber kekuatan yang paling kuat
ini. selain itu, dalam beberapa kasus, tampaknya bahwa masyarakat Ambon tidak
hanya menerima gagasan baru, tetapi juga mengadopsi para pembawa/pendukungnya.
Para imigran Islam kadang-kadang diangkat sebagai kepala desa, mungkin karena mereka memiliki pengetahuan terbesar
tentang kekuatan baru5.
Portugis, yang pada awalnya tidak berhasil dalam usaha
awal untuk mengubah kaum Muslim menjadi Katholik, juga pada awalnya tidak beruntung
lagi di antara kaum pagan. 16 tahun setelah kedatangan mereka, mereka berhasil
mengalahkan armada besar kapal-kapal Jawa, Banda, dan Makasar, meninggalkan
kerajaan Islam Hitu menuju ke Ternate; dan pada saat itu beberapa negeri/desa
“kafir” meminta untuk dibaptis. Dalam beberapa dekade, sebagian besar
negeri/desa non-Islam, di luar pedalaman Seram, juga mengikuti (Schurhammer
1963: 663-665).
Beberapa alasan untuk konversi
agama baru yang tiba-tiba ini, tampak cukup jelas. Orang-orang Muslim rupanya membuat
para penganut pagan (kafir) dalam pelarian, dan kaum pagan melihat bahwa
Portugis sebagai sekutu yang kuat, sehingga mereka bisa melawan musuh-musuh
mereka. Dari sudut pandang pragmatis, persahabatan dengan Portugis berarti
memiliki akses ke sumber kekuatan fisik. Portugis, meskipun jumlahnya sedikit,
memiliki dan mungkin dapat memasok senjata yang lebih unggul daripada tombak
dan parang mereka sendiri. Senjata semacam ini sangat dibutuhkan, karena kaum
Muslim telah memiliki beberapa senapan dan meriam 6. Persenjataan yang unggul
adalah salah satu elemen budaya, yang jarang menemui hambatan ketika disebarkan
dari satu masyarakat ke masyarakat lain, tidak terkecuali juga pada masyarakat
Ambon.
Namun, akses ke kekuatan fisik
tampaknya hampir tidak menjadi alasan yang cukup untuk menerima Katholik, dan
Portugis tidak dalam posisi untuk memaksakan agama mereka kepada orang Ambon.
Tampaknya, orang-orang Ambon “pagan” menerima agama Kristen, setelah
pertempuran laut yang besar karena hasilnya menunjukan kekuatan “Dewa” Kristen
yang lebih tinggi. Bagaimana mungkin orang Portugis, yang jumlah sedikit
sekali, melawan musuh yang memiliki senjata yang sama, bisa begitu tak
terkalahkan?. Jelas, mereka (Portugis) memiliki kekuatan “magis” pelindung hebat
yang mereka miliki. Penduduk pribumi bahkan dapat menyaksikan pemindahan
kekuatan ini dalam bentuk roti dan anggur suci yang diberikan kepada orang
asing oleh para pendeta mereka. Para pendeta ini mengklaim bahwa mereka memakan
daging dan darah Tuhan mereka, untuk memberi mereka kekuatan, sebuah konsep
yang tidak asing atau telah dikenal oleh para pemotong kepala, yang kadang-kadang meminum darah atau otak dari
musuh-musuh mereka yang terbunuh karena alasan yang sama.
Dengan demikian, melalui baptisan, orang
Ambon berharap untuk memanfaatkan sumber kekuatan yang unggul ini, dan
mendapatkan kembali keseimbangan kekuatan dengan kaum Muslim. Kekristenan
menawarkan sumber kekuatan alternatif dalam upaya mereka untuk melawan aneksasi
politik. Para radja, biasanya adalah
orang pertama yang pindah agama, juga dapat meminjam sebagian kekuatan Portugis
melalui baptisan, dan dengan demikian meningkatkan status dan kewibawaan
pribadi mereka. Ayah baptis mereka, seringkali pejabat tinggi Portugis, tidak
hanya menganugerahkan nama kehormatan “Dom” kepada mereka, tetapi juga memberi
mereka dengan nama depan agama Kristen dan juga nama keluarga mereka sendiri. Rakyat
jelata hanya menerima nama depan agama Kristen. Ketika Sinapatti, Radja Nusaniwe dibaptis, ia
mengambil/menggunakan nama Dom Thomas de Soysa7. Demikian pula gelar
lain seperti capitao, pemimpin
perang, diadopsi untuk gelar pejabat adat lainnya.
Setelah
Portugis mapan di wilayah itu, pemerintahan mereka menjadi penindas baik kepada
kaum Muslim maupun Kristen. Tetapi meskipun ada upaya oleh kedua kelompok itu
untuk melepaskan diri dari Portugis, agama Katholik tetap tertanam kuat.
Beberapa negeri/desa Kristen masuk Islam sebagai masalah strategi politik, tetapi
cepat atau lambat dikembali secara paksa. Pemaksaan juga mengakibatkan konversi
beberapa negeri/desa Muslim menjadi Kristen. Secara umum, bahkan di bawah
tekanan besar dari kedua belah pada berbagai waktu, negeri-negeri dengan teguh
berpegang pada agama mereka yang mereka adopsi pertama kali.
Kedatangan kapal
Belanda pertama di Maluku Tengah memberikan harapan baru bagi masyarakat Ambon.
Belanda tidak hanya disambut tetapi sebenarnya secara aktif dirayu untuk datang
dan menetap8. Setelah Belanda mengusir Portugis pada tahun 1605,
transisi dari Katholik ke Protestan Calvinis Belanda berjalan dengan mulus.
Bentuk ibadahanya diubah, tetapi banyak kebiasaan Katholik (misalnya,
berpakaian hitam ke gereja) masih tetap dilakukan. Situasi politik segera
kembali ke kondisi yang berlaku di zaman Portugis.
Awalnya, orang Ambon
memperkirakan bahwa Belanda memiliki kekuatan bahkan lebih tinggi/unggul dari
Portugis, dan orang Ambon melihat mereka sebagai kunci untuk mendapatkan kembali kemerdekaannya sendiri. Orang Ambon
benar dalam perkiraan pertama tetapi sayangnya salah dalam estimasi (perkiraan)
yang kedua. Tidak lama setelah Belanda memapankan diri, mereka mencoba
memberlakukan monopoli rempah-rempah yang terkenal itu. Tindakan ini sangat
dibenci, tidak hanya oleh kaum Muslim yang menguasai sebagian besar wilayah
produksi cengkih, tetapi juga oleh orang-orang Kristen yang dipaksa untuk
memasok kapal perang dan prajurit untuk berperang melawan negeri/desa manapun
yang melawan Belanda. Selama apa yang disebut sebagai Perang Ambon antara tahun
1622 dan 1656, penduduk Maluku Tengah musnah, dan ratusan ribu pohon cengkih
dihancurkan. Kaum Muslim dan Kristen sering berperang secara berdampingan,
tetapi Belanda biasanya mampu, seperti Portugis sebelumnya, untuk memainkan
satu kelompok melawan kelompok lainnya. Selama periode ini, tidak ada kekuatan
spiritual baru yang dapat digali, [pesona] agama Kristen menurun, dan kekuatan
tradisional yang kuno dihidupkan kembali.
150 tahun berikutnya
ditandai dengan penindasan dan eksploitasi. Semua perlawanan orang Ambon
sia-sia. Setelah peralihan Inggris, pemberontakan terakhir berskala besar yang
melibatkan baik Kristen mupun Muslim pecah tetapi dengan cepat dihancurkan. Segera,
perubahan bertahap tetapi sangat menentukan terjadi dalam relasi-relasi Belanda dan Orang Ambon. Belanda, dalam upaya
memperluas operasinya di bagian barat Indonesia, membutuhkan aparat
administratif dan militer yang semakin banyak. Wilayah utama perekrutan
personel itu adalah wilayah Kristen, khususnya Maluku Tengah, karena di mata
Belanda, orang Kristen lebih bisa dipercaya daripada orang lain.
Untuk mempersiapkan
administrator dan serdadu tingkat rendah, semakin banyak sekolah dibuka untuk
mendidik anak-anak Kristen. Penggunaan bahasa lokal dilarang. Pengajaran
dilakukan dalam bahasa Melayu dan kemudian juga dalam bahasa Belanda. Sejak
“nama besar” cengkih telah lama memudar, dan daerah itu miskin secara ekonomi,
orang-orang Ambon Kristen mengambil kesempatan mereka. Mereka ingin, tidak
hanya meningkatkan diri secara ekonomi, tetapi juga mendapatkan kembali takdir,
rasa harga diri dan rasa hormat oleh orang lain.
Agama kristen dan
pendidikan barat menjadi kunci kekuatan
baru yang ditawarkan Belanda. Upaya Belanda untuk menghidupkan kembali
Kekristenan dengan mudah diterima, dan segera orang Kristen berbicara tentang
diri mereka sendiri, seperti memiliki pangkat
Serani (pangkat Kristen) yang mirip dengan pangkat atau status orang Eropa
dan di atas orang lain (Kraemer 1958: 14). Orang Ambon juga menyebut agama
mereka sebagai Agama Ambon dan mereka
“membentengi” hal itu dari orang-orang Kristen lainnya yang berpotensi
mengancam posisi istimewa mereka dalam sistem kolonial Belanda. Upaya
pengecualian yang paling menonjol ditujukan terhadap orang Kristen Cina, yang
terkadang, menolak akses ke gereja utama di Ambon dengan alasan bahwa mereka
bukan orang Ambon (Kraemer 1958: 20).
Demikian pula,
pendidikan Barat segera diadopsi bukan karena tiba-tiba haus akan pengetahuan,
tetapi untuk mendapatkan status. Banyaknya sekolah di Kota Ambon tidak cukup
untuk “memenuhi amukan dashyat untuk belajar bahasa Belanda”. Pengangguran di antara lulusan dari
sekolah-sekolah ini sangat tinggi, dan sebagian besar kembali ke negeri/desa
mereka sebagai “pemalas” karena mereka telah memperolah status yang melarang
mereka bekerja dengan tangan atau membanting tulang. Dari sini, menjadi jelas
bahwa bukan hanya mobilitas ekonomi yang mendorong kemajuan masyarakat Ambon;
pertimbangan ekonomi hanyalah salah satu aspek dari pencarian status dan
prestise. Akibatnya, orang Kristen Ambon berjuang untuk mendapatkan kekuatan
yang sama seperti yang dimiliki Belanda. akhirnya, mereka menganggap diri
mereka sebagai “Orang Belanda Hitam” dan wilayah mereka sebagai “provinsi ke-12
Belanda”. Orang Ambon melihat Belanda sebagai sumber dari segala kekuatan
duniawi dan spiritual. Sebagai bukti bagi yang satu ini, bisa dikutip tentang
inisiatif penolakan umat Kristen Ambon untuk menerima administrasi sakramen
oleh pendeta lokal/pribumi. Transfer sakramen dari tangan putih disamakan
dengan transfer “kekuatan putih”, dan ketika sakramen dipegang/dilakukan oleh
tangan hitam, diyakini bahwa mereka telah kehilangan banyak efektivitasnya
(Tutuarima 1960: 155).
Sebelum periode ini, Kepala Desa adalah yang paling berperan
dalam proses adaptasi elemen-elemen/unsur baru, tetapi dengan kebutuhan khusus kekuasaan
pemerintah kolonial, menjadi terbuka untuk semua orang, dan tampaknya setiap orang Kristen berebut
untuk itu. Hal ini mengakibatkan hilangnya status radja yang cukup besar. Jika hipotesis tentang relasi antara akses
kekuatan dan penerimaan unsur-unsur budaya baru dipertahankan, maka diharapkan
masyarakat Muslim Ambon meniru saudara-saudaranya yang Kristen, akan berusaha
meningkatkan posisinya dengan menuntut akses ke pendidikan barat. Radja Muslim sebenarnya berhasil
mencapai tujuan ini, sementara pada saat yang sama mencegah kemajuan serupa di
antara rakyatnya.
Radja Muslim, tokoh penting
di negeri/desanya sebagai pemimpin spriritual dan sekuler komunitasnya, juga
merupakan penghubung utama dengan pemerintah Belanda. Oleh karena itu, Belanda
menetapkan bahwa anak-anak Radja yang
beragama Islam ini boleh bersekolah di sekolah-sekolah Belanda, tetapi rakyat
jelata tidak bisa. Radja segera menyadari keuntungan dari kebijakan cerdik ini.
status baru mereka dinaikan ke tingkat yang sama dengan orang Kristen, sebanyak
yang mereka bisa harapkan; dan pada saat yang sama akses eksklusif mereka ke
pendidikan barat semakin meningkatkan kekuatan dan status mereka di negeri
mereka sendiri. Karena alasan ini, mereka memiliki kepentingan mempertahankan
status quo, dan secara aktif atau pasif mencegah aspirasi apapun dari rakyatnya
agar tidak mendapatkan akses ke pendidikan barat. Mereka tidak membagi kunci kekuatan mereka9.
Situasi saat ini di
Ambon sangat kompleks. Umat Kristen Ambon, yang pernah berada di puncak
hierarki pribumi di seluruh Indonesia, telah mengubah diri mereka sendiri ke
dalam ceruk sosio-ekologis yang sangat sempit. Karena kerjasam mereka dengan
Belanda, orang Ambon paling “terpuruk” setelah kemerdekaan Indonesia. Dengan
berbasis di wilayah Maluku Tengah, orang Ambon kehilangan kekhasan mereka, dan
saat ini, mereka sedang berjuang untuk menjadi yang terdepan dari umat Islam.
Sama seperti Kekristenan yang mengembangkan ambisi mereka di masa Belanda,
Islam menjalankan peran yang sama untuk saudara Muslim mereka di hari ini.
Kedua kelompok memandang pendidikan, yang sekarang tersedia untuk semua orang
sebagai kunci bagi kemajuan pribadi
dan sosial.
Saat ini perebuatan
kekuatan politik dan pengakuan sosial melibatkan tidak hanya orang Ambon
Kristen dan Muslim, tetapi juga kelompok etnis dari Maluku bagian selatan dan
utara. Strategi bervariasi; beberapa orang telah berpaling ke dalam dan mencari
kekuatan dalam budaya tradisional, yang lain melihat ke negara baru yaitu
Indonesia, beberapa bahkan mencoba untuk memanfaatkan langsung sumber-sumber
kekuatan di luar cakrawala Indonesia. Mengesampingkan pergulatan internal,
sebagian besar orang Ambon setuju bahwa masyarakatnya harus bertahan hidup di
dunia modern. “Pengembangan” dan “peningkatan penilaian” telah menjadi semboyan
baru. Secara signifikan, istilah bahasa Inggris “up-grading” yang tiba di Ambon
melalui Jawa dengan jelas menunjukan, bahwa orang Ambon masih memandang
perbedaan antara sistem sosial budaya mereka sendiri dan sistem masyarakat yang
lebih maju, secara kuantitatif daripada kualitatif. Saya mencoba untuk
menunjukan bahwa hal ini benar selama sejarah orang Ambon, dan saya sampaikan
bahwa di bidang politik, ini berarti penyerapan unsur-unsur budaya asing, yang
diyakin dapat memulihkan/mengembalikan keseimbangan kekuatan.
======
bersambung ======
Catatan Kaki
- Pada abad ke-16, Portugis mengkonversi semua desa yang menolak Islam kecuali di pedalaman Seram. Daerah ini tidak menarik bagi Portugis maupun Belanda dan hanya ditaklukkan sesaat sebelum Perang Dunia
- Saya telah membahas proses sinkretisme antara elemen budaya baru dan lama di makalah lain (Bartels 1976).
- Pembaca akan melihat kesamaan tertentu antara konsepsi Ambon tentang kekuatan dan ide-ide kekuataan di bagian lain Indonesia, misalnya, yang diuraikan secara rinci untuk Jawa oleh Anderson (1972: 7-8 dan seterusnya). Perlu dicatat bahwa di Maluku Tengah, di persimpangan antara Indonesia dan Melanesia, gagasan tentang kekuataan tidak pernah sedetail di Jawa dan bahwa konsep orang Ambon mungkin lebih dekat hubungannya dengan konsep Melanesia tentang Mana. (Untuk ringkasan mana yang sangat ringkas, lihat Hoebel 1966: 468-469.)
- Patung-patung ini rupanya disembah sampai abad ketujuh belas (lihat Rumphius 1910 (2): 991 dan Valentijn 1726 (3): 4-5). Tichelman melaporkan penemuan patung Siwa emas di Amahai, Seram (1960: 177)
- Beberapa kepala desa Muslim menelusuri keturunan mereka ke tempat-tempat seperti Baghdad, Mesir, Pasei (Sumatra), Malaka, dll. Karena klaim tersebut tampaknya tidak menguntungkan secara politis, klaim keturunan langsung dari Nabi akan diterima, dan karena tempat-tempat itu tidak terlalu suci bagi Islam, diragukan bahwa mereka tidak benar. Tidak jelas apakah para imigran Muslim awal ini selalu secara sukarela diangkat sebagai raja atau tidak, tetapi perkawinan silang mungkin memainkan peran penting.
- Galvao dalam bukunya A Treatise on the Moluccans (c.1544) melaporkan bahwa di Maluku Utara senjata-senjata seperti itu digunakan disamping senapan tradisional. senapan -senapan "modern" ini diimpor dari Malaka, Jawa dan Banda yang diperdagangankan melalui rute Ambon (Jacobs 1971: 165)
- De Soysa berasal dari nama Portugis de Souza. Nama-nama Portugis ini tidak pernah “digantikan” dan banyak marga raja di semenanjung Leitimor di Ambon masih menggunakan nama-nama Ambon dari para ayah baptis nenek moyang mereka, misalnya, de Quelyu (Portugis: de Coelho), Loppies, Lopis, (Lopez), Gaspers (Gasparis ), dll. Namun, tidak semua nama Portugis diberikan pada mereka, beberapa akibat perkawinan silang (Abdurachman 1973: 139).
- Rumphius (1910 (1): 22) melaporkan bahwa utusan Ambon dikirim ke Jawa untuk meminta Belanda kembali ke Ambon tidak lama setelah mereka pertama kali muncul di perairan Maluku.
- Sebagian karena alasan yang sama bahwa banyak raja Muslim berpihak pada orang Kristen dalam upaya mendirikan RMS pada tahun 1950. Hilangnya kekuasaan, ketakutan akan "tenggelam di laut Muslim", dan ancaman pembantaian oleh pasukan Jawa yang membalas dendam atas dukungan Kristen kepada Belanda, adalah beberapa alasan utama deklarasi kemerdekaan Maluku Selatan (RMS)
Catatan Tambahan
a. Dieter
Bartels menulis tentang kelahiran Negara Indonesia baru pada tahun 1950, dalam
pemahamannya tentang penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia yang
dilakukan oleh Ratu Juliana pada tanggal 27 Desember 1949 di Istana Dam,
Amsterdam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar