Oleh
Dieter
Bartels
Bertahannya
Sumber-sumber Kekuatan Tradisional
Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, sumber-sumber kekuatan tradisional dalam masyarakat
Ambon tetap sangat stabil, meskipun mengadopsi sumber-sumber yang baru. Para
leluhur dan para arwah telah bertahan dari “penganiayaan” oleh para biarawan
Portugis, “penyiksaan” terhadap orang-orang yang mempercayainya oleh para
pendeta Belanda, dan mereka masih bertahan melawan para pemimpin gereja Ambon
yang berpikiran reformis. Dalam komunitas Muslim, keberadaan roh-roh jahat
selalu lebih mudah diakui, karena mereka “dikenal” dalam kosmologi Islam. Para
leluhur dilindungi oleh isolasi kaum Islam Ambon dari arus utama pemikiran
Islam pada zaman Belanda, dan hal ini masih terasa meskipun ada pengaruh
reformis.
Koeksistensi
para leluhur dan Tuhan, sebagian dapat dijelaskan melalui cara pandang orang
Ambon tentang penyebaran kekuatan. Tuhan memiliki sejumlah kekuatan tertentu,
tetapi para leluhur, diantara kekuatan lainnya, juga memiliki kendali atas
kekuatan. Kekuatan bersifat kumulatif dan penggunaan satu sumber, tidak
meniadakan penggunaan yang lainnya. Faktanya, menggunakan kedua sumber kekuatan
mungkin akan menjadi lebih efektif.
Pada
masa pra-Eropa, dan hingga pemberontakan terakhir melawan Belanda, pemimpin
perang tampaknya sering memiliki kekuatan yang lebih besar daripada radja, dan jabatannya tentu saja lebih
tua daripada radja dalam masyarakat
tradisional. Dulunya, gelarnya adalah Malessy,
namun di masa Portugis, gelar ini diganti menjadi Kapitan, hal ini jelas dalam upaya untuk mendapatkan prestise yang
sama, bukan pada kekuatan menakjubkan dari Capitao
Portugis yang tampaknya lebih unggul10. Tetapi, saat para
pemimpin perang “meningkatkan” posisi mereka dengan menggunakan gelar baru, dan
agama baru dari model Portugis mereka, mereka tidak melepaskan kekuatan magis
tradisional, yang mereka peroleh dari senjata dan jimat tertentu yang membuat
mereka berani dan tidak terkalahkan. Meskipun jabatan Kapitan sebagian besar sudah tidak berfungsi setelah pasifikasi
Belanda, orang-orang dengan gelar seperti itu, masih diyakini memiliki kekuatan
yang besar, dan penduduk desa sering gentar pada mereka. Jika terjadi
perseteruan antar desa yang semakin meningkat di Ambon karena masalah tanah,
mereka pergi bersama warga desa ke gereja atau masjid untuk berdoa memohon
pertolongan Tuhan. Setelah itu, mereka pergi ke tempat-tempat suci untuk
memohon bantuan leluhur. Seringkali, ketika orang Ambon membutuhkan kekuatan di
luar kemampuan manusia, mereka meminta bantuan baik dari Tuhan maupun para
leluhur.
Salah
satu faktor penting dalam bertahannya kepercayaan pada para leluhur adalah,
bahwa mereka mengisi kekosongan antara manusia
dan abstraknya Tuhan Islam dan Protestan yang lebih jauh. Pada kaum Islam
Ambon, kepercayaan pada leluhur itu mengambil peran yang dimiliki orang-orang
suci di tempat lain. Demikian pula, di kalangan Protestan, mereka memiliki peran seperti para Santo pelindung di Katholik
– akan menarik untuk melihat apa yang
akan terjadi jika Katholik tetap ada. Faktor lain yang menjelaskan
bertahannya kepercayaan pada para leluhur adalah, bahwa mereka adalah nyata
bagi para penganutnya. Para leluhur dan arwah bukanlah fiksi dari suatu
pikiran, seperti yang sering dipikirkan orang Barat; melainkan orang Ambon,
termasuk banyak pejabat agama, dapat melihat, bertemu, dan berkomunikasi dengan
mereka. Baru pada saat ini, para pemimpin tinggi gereja dalam upaya mereka
untuk mendapatkan status dan prestise yang sama dalam komunitas gereja sedunia,
mulai menyangkal kekuatan para leluhur. Beberapa kaum reformias Muslim juga
melakukannya, tetapi mungkin teknologilah yang akhirnya akan “mengusir”
kepercayaan tersebut.
Penyerapan Kekuatan di Bidang Penyembuhan/Pengobatan
Selama ini saya telah membahas konsep
kekuatan di bidang politik. Sekarang saya ingin memberikan gambaran sekilas
tentang bidang yang sangat berbeda, yaitu penyembuhan/pengobatan, untuk menunjukan
bahwa konsep penyerapan kekuatan tidak terbatas pada satu arena sosial budaya. Tabib
tradisional atau dukun, atau biasa disebut Orang
Baruba di Ambon11, juga terus menyesuaikan diri dengan realitas
baru perubahan lingkungan sosial. Islam dan Kristen membawa cara baru dan kekuatan
baru dalam soal penyembuham. Doa untuk orang yang sakit, atau lebih efektif
lagi oleh para pejabat keagamaan, adalah alternatif baru dari formula magis
tradisional yang digunakan oleh orang yang menyembuhkan. Umat Kristen Ambon
juga memanfaatkan apa yang mereka lihat sebagai kualitas magis dari roti dan
anggur yang dibagikan saat komuni kudus. Objek itu (roti dan anggur) diyakini
memberi orang kekuatan khusus dan dibawa pulang dari gereja untuk diberikan
kepada orang sakit, untuk memulihkan kesehatan mereka (Kraemer 1958: 21). Pejabat
agama, di sisi lain, melakukan ritual pengusiran setan untuk membersihkan
seseorang dari roh jahat.
Dalam masyarakat Muslim, hal tersebut
dimiliki radja yang di masa pra-Islam
kekuatan spiritualnya dielaborasi saat ia menjadi pemimpin agama di
komunitasnya. Dalam masyarakat Kristen, para pendeta yang “mengambil alih”
domain dukun. Akan tetapi, dukun, tampaknya tidak melawan
kekuatan-kekuatan baru, melainkan menambahkannya ke dalam perbendaharaan pengetahuan
mereka. Yesus dan Muhamada digunakan secara familiar bersama para leluhur dan
roh tertentu. Orang Ambon melihat Alkitab dan Alquran dalam perspektif umum, yaitu sebagai kunci rahasia kekuatan superior orang asing. Buku-buku itu sendiri
memiliki kekuatan magis, seperti
pusaka mereka sendiri (pusaka leluhur yang suci). Karena itu, dukun menambahkan buku-buku ini ke
perlengkapan mereka yang lain, yang digunakan untuk penyembuhan. Ayat-ayat dari
Alquran atau Alkitab, digunakan dengan cara yang sama seperti formula magis
tradisional, yang menambahkan lebih banyak kekuatan pada kemanjuran
penyembuhannya. Para tukang sihir (suanggi)
juga menggunakan sumber kekuatan yang sama untuk membuat musuh mereka menjadi
sakit.
Dalam ritual penyembuhan yang khas, dukun memulainya dengan doa, memohon
pertolongan Tuhan, dan kemudian mengucapkan salah satu ramuan tradisionalnya di
atas segelas air yang kemudian diisi dengan kekuatan. Formula yang diberikan
kepadanya, baik secara langsung oleh para leluhur yang muncul dalam mimpi, atau
diturunkan melalui garis keturunannya. Pasien kemudian meminum air ini pada
waktu-waktu tertentu, dan terkadang mengikuti berbagai instruksi lainnya agar
kembali sembuh. Dalam kasus lain, tanaman tertentu, terutama jahe, juga
digunakan. Ini dioleskan pada pasien setelah prosedur sebelum meminum air.
Seorang tabib Kristen mengatakan kepada saya, bahwa dengan “berbicara” di atas
air, itu berubah menjadi darah Kristus. Intinya adalah bahwa sang penyembuh
menggunakan kekuatan tradisional dan Kristen untuk mencapai/memperoleh hasil
yang diinginkannya.
Pengobatan ala barat, dianggap lama dengan penuh
kecurigaan, karena ketakutan bahwa Belanda akan menggunakan cara itu untuk
tujuan jahat, menjadi semakin diterima oleh orang Ambon. Dari sudut pandang
barat, ini seharusnya menjadi ancaman baru bagi cara pengobatan dari dukun. Ia telah menerima pengobatan ala
barat dan memanfaatkan kekuatannya. Beberapa penyembuh memulai diagnosis
tradisional mereka sekarang dengan merasakan denyut nadi pasien. Ketika, dalam
satu kasus, pasien mudanya yang kebarat-baratan terkejut oleh prosedur ini,
sang dukun mengatakan kepadanya bahwa
dia melakukannya untuk mengetahui jenis roh apa yang telah memasuki dirinya
itu. Beberapa penyembuh juga menggunakan steteskop dan bahkan memberikan
suntikan sebagai bagian dari prosedur penyembuhan tradisional mereka.
Penambahan semacam itu digunakan tidak hanya untuk
meniru pengobatan ala barat untuk menangkan serangan gencar terhadap profesi dukun, tetapi juga dimasukan secara
selektif karena dipercayai menambah kekuatan penyembuh untuk menyembuhkan – seperti halnya pinjaman dari Kristen
dan Islam. Faktanya, para penyembuh tidak melihat dokter sebagai pesaing
nyata, dan dokter biasanya tidak melihat dukun
dalam sudut pandang ini. Sebaliknya, terjadi “perpecahan” dalam ilmu
pengobatan; dukun tetap ahli dalam
penyakit yang disebabkan oleh para leluhur yang marah, tukang sihir, dan roh
jahat; sedangkan dokter menyembuhkan penyakit “alami” yang disebabkan oleh
bakteri dan virus.
Orang Baruba
terkadang
mengirim pasiennya ke dokter, dan terkadang dokter merujuk pasiennya ke dukun. Misalnya, seorang dokter muda
Ambon yang sangat baik, seorang Muslim, menceritakan kepada saya tentang
seorang anak yang datang kepadanya dengan tumor di mulutnya. Dokter itu berkata,
bahwa ia telah merawat banyak kasus seperti ini dengan antibiotik, dan setiap
kali bengkaknya hilang dalam beberapa hari. Tapi apa pun yang ia coba pada anak
itu, tidak ada yang membantu. Dia akhirnya merujuk pasien ke dukun Kristen terkenal,
yang “berbicara” di atas air, dan anak itu sembuh hanya beberapa hari setelah
meminum air itu. Dokter hanya mengangkat bahu, mengatakan bahwa semua obatnya
tidak ada gunanya, jika penyebab penyakitnya adalah roh.
Beberapa contoh paling jelas dari penggunaan kekuatan
secara selektif, kekuatan apa pun, dapat ditemukan dalam perilaku pasien itu
sendiri. Meskipun masih ada keraguan di desa-desa, ketakutan akan hal-hal yang
tidak diketahui, seringkali membuat penduduk desa lebih memilih dukun daripada dokter, penerimaan
terhadap pengobatan barat yang terus meningkat tidak berhenti. Pola yang biasa
di antara orang-orang yang memiliki akses ke rumah sakit, dokter atau tenaga
medis adalah, pergi ke sana terlebih dahulu, dan jika mereka tidak mendapatkan
hasil yang diinginkan, mereka kembali ke orang
baruba untuk meminta pertolongan. Dalam keputusasaan mereka, mereka
bersedia mencoba sumber kekuatan apa pun, entah tradisional atau modern. Hasil
akhir dari perilaku tersebut adalah, bahwa sumber kekuatan modern
perlahan-lahan diintegrasikan ke dalam sistem, meskipun, seperti yang telah
kita lihat dalam bidang politik dan agama, sumber-sumber tradisional seringkali
tetap efektif. Di bidang pengobatan, dukun
akan berguna, asalkan ada suanggi, roh
jahat dan para leluhur yang marah, yang harus ditangani.
Kesimpulan
Selama bertahun-tahun, orang Ambon
menanggapi ancaman yang ditimbulkan oleh sistem budaya asing terhadap mereka. Mereka
melakukan ini, bukan dengan mempertanyakan keyakinan dan adat istiadat mereka secara
besar-besaran, melainkan dengan mencoba memperluas alam semesta sosio-budaya
mereka, agar dapat bertahan kembali di lingkungan yang baru dan perubahan yang
baru. Hal ini dicapai, kurang lebih berhasil dengan 2 cara. Di satu sisi, orang
Ambon secara selektif menyesuaikan dan menyerap sistem, konsep, dan gagasan
baru, yang mereka anggap mengandung kekuatan yang tidak dimiliki oleh sistem
mereka sendiri. Selektifitas ini menjelaskan keberadaan banyak elemen yang tampaknya
tidak terkait dari budaya berbeda di bidang yang telah kita diskusikan.
Di sisi lain, kepercayaan
tradisional dan adat istiadat yang berpusat pada kekuatan, tidak begitu saja
diganti, tetapi tetap dilanjutkan menjadi valid dan ditingkatkan melalui
peminjaman baru. Contoh dari proses ini, mungkin ditemui pada pemimpin perang
yang menambahkan gelar baru, memanfaatkan kekuatan Tuhan melalui doa, namun
masih mengandalkan sihir leluhurnya; pada orang
baruba yang bergantung pada Tuhan dan sihir serta menambahkan pengobatan
ala barat; dan secara umum, pada semua orang yang melihat tidak ada kontradiksi
dalam menempatkan nasib mereka di tangan Tuhan dan para leluhur mereka. Pandangan bahwa kekuatan bersifat kumulatif,
yang dibiaskan dan diintegrasikan kembali untuk memenuhi kebutuhan seseorang,
menjelaskan tetap berlangsungnya kepercayaan dan institusi tradisional di
bidang-bidang, dimana tekanan paling intensif dari sistem yang bersaing
dirasakan. Sebenarnya di bidang inilah, sebagian besar adaptasi terjadi.
Penyerapan selektif unsur-unsur
budaya baru seringkali tampak bagi pengamat luar sebagai serangkaian upaya acak
atau upaya putus asa, untuk menopang sistem sosial-budaya tradisional dalam
menghadapi dari sistem “modern” yang lebih menguasai. Modernisasi yang selektif
dan tampak dangkal, yang tidak terbatas di Ambon, sering ditafsirkan sebagai
batu sandungan bagi perubahan dan reformasi sosial. Dengan melihat
kecenderungan konservatif ini dalam perspektif sejarah, seperti yang telah saya
coba lakukan di sini, tampak bahwa tipe neo-tradisionalisme ini sebenarnya
dapat menjadi faktor penting dalam hal memfasilitasi, daripada menghambat
perubahan sosial.
Unsur-unsur yang secara periodik
diserap oleh orang Ambon itu, justru karena potensialnya unsur itu, elemen
dinamis seperti Islam, Kristen, dan aspek-aspek tertentu dari sekularisme
barat. Hal ini menyebabkan dan masih menyebabkan perubahan besar setelah
menjadi bagian dari sistem. Begitu kekuatan baru dan yang lebih besar
dibangkitkan dan dilepaskan, mereka biasanya cenderung berkembang menjadi
bentuk kekuatan yang “dominan”, seperti yang terjadi pada Islam dan Kristen,
dan semakin benar dengan sekularisme barat. Akan tetapi, kecenderungan ini
tidak berarti bahwa satu sistem menggantikan sistem yang lain seiring
berjalannya waktu, melainkan bahwa hasilnya adalah sistem baru yang masih
menyerupai sistem induknya, tetapi sangat berbeda dari keduanya.
Kadang-kadang terjadi
proses sebaliknya, yaitu tindakan kembali ke sumber-sumber kekuatan tradisional
ketika yang baru tidak berfungsi. Kecenderungan ke arah ini dapat ditemukan
baik di kalangan Kristen maupun Muslim, yang, setelah runtuhnya sistem kolonial
dan Republik Maluku Selatan (RMS), mencari sumber kekuatan baru dan identitas
budaya baru dalam adat. Mungkin pencarian ini merupakan tahap yang diperlukan
sebelum menghadapi situasi baru yang diketahui. Kadang-kadang “kekambuhan” ini
ke dalam pola tradisional bisa sangat literal dan sponta, seperti yang
diilustrasikan oleh anekdot berikut. Walaupun mungkin apokrif, anekdot ini
sangat diapresiasi oleh orang Ambon Kristen dan Muslim, dan juga menangkap
esensi dari gagasan orang Ambon tentang kekuatan, dan dengan demikian tampaknya
memberikan kesimpulan yang tepat untuk kajian ini.
Beberapa
waktu lalu, seorang pendeta Protestan Ambon dikirim sebagai penginjil ke sebuah
pulau kecil di Maluku Selatan yang saat itu masih “kafir”. Ia mencoba
mengkonversi penduduk pulau itu menggunakan semua argumen persuasif yang dia
ketahui. Ia menunjukan kekuatan superior dari Tuhan Kristen yang melebihi
dewa-dewa mereka, melalui kata-kata. Penduduk pribumi agak kesal, tetapi akhirnya
radja mereka berjanji bahwa mereka
akan menerima agama Kristen, jika sang pendeta dapat membuktikan kekuatan
Tuhannya yang lebih tinggi. Pendeta itu setuju untuk melakukannya. Mereka memutuskan
bahwa pendeta dan radja akan memohon kepada Tuhan dan para dewa masing-masing
untuk membakar pohon mangga. Jika pendeta berhasil, penduduk pulau akan pindah
agama, jika tidak berhasil, atau jika penduduk pribumi berhasil, mereka akan
memotong kepala pendeta. Masing-masing memiliki waktu 30 menit untuk
menyelesaikan tugas itu. Radja mendapat giliran pertama, tetapi tidak terjadi apa-apa.
Saat giliran pendeta tiba, ia memejamkan mata agar bisa berdia secara intensif.
Ketika dia membuka matanya setelah 15 menit untuk melihat jam tangannya, tidak
ada yang terjadi; dan tidak ada yang terjadi setelah 20 dan 25 menit meskipun
kenyataannya doanya menjadi semakin “bersungguh-sungguh”. Dia semakin gugup;
keringat membasahi dahinya. Kemudian, hanya beberapa detik sebelum waktunya
habis, pohon itu terbakar. Kepalanya selamat dan penduduk pribumi yang terkesan
membiarkan diri mereka dibaptis, seperti yang mereka janjikan. Baru setelah dia
kembali dengan selamat ke Ambon, barulah ia menceritakan kisah lengkapnya. “Yah,
sebenarnya bukan Tuhan yang membakar pohon itu. Ketika waktu hampir habis, saya
menjadi ketakutan dan hanya berusaha menggunakan sihir hitam para leluhur”
======
selesai ======
Catatan
Kaki
- Istilah Kapitan sudah mengakar begitu dalam di masyarakat Ambon, sehingga banyak yang mengaku bahwa itu sebagai istilah pribumi, sedangkan istilah Malessy adalah sebutan untuk wakil Kapitan
- Dari bahasa Indonesia Orang Berobat, yang secara harfiah berarti “orang yang memberi
pengobatan”
REFERENCES
- Abdurachman, P. R. 1973, Peninggalan-Peninggalan Yang Berciri Portugis de Ambon. In Bunga Rampai Sejarah Maluku (I). P. R. Abdurachman, et. al., eds. Jakarta: Lembaga PenelitianSejarah Maluku.
- Anderson, Benedict R. O'G. 1972, The Idea of Power in Javanese Culture. In Culture and Politics in Indonesia. Claire Holt, et. Al., ed. Ithaca, New York: Cornell University Press.Bartels, Dieter 1976, Religious Syncretism, Semantic Depletion and Secondary Reinterpretation inAmbonese Islam and Christianity. Paper presented at the Annual Meetings of the American Anthropological Association. November.
- Hoebel, E. A. 1966, Anthropology. New York: McGraw-Hill.
- Jacobs,
H. 1971,
A Treatise on the Moluccas (c.
1544). Rome: Jesuit Historical Institute.
Kraemer, H. 1958, From Missionfield to Independent Church. The Hague: Boekencentrum. - Rumphius, G. E. 1910, De Ambonsche Historie. The Hague: M. Nijhoff.
- Schurhammer, G. 1963, Franz Xaver. Vol. 2 (1). Freiburg: Herder.
- Tichelman, G. L. 1960, Anthropological Aspects. In The South Moluccas. J. C. Bowman, et. al., eds.Leyden: A. W. Sythoff.
- Tutuarima, W. H. 1960, Ecclesiastical Aspects. In The South Moluccas. J. C. Bowman, et. al., eds. Leyden: A. W. Sythoff.
- Valentijn, F. 1726, Oud en nieuw Oost-Indien. Dordrecht: J. van Braam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar