Oleh :
Roy Frank Ellen
- Kata Pengantar
Parang dan Salawaku (perisai/tameng) merupakan objek yang familiar dalam kehidupan sosial dan bahkan “adat” orang Maluku. Kedua objek budaya itu seperti 2 sisi koin, yang tak bisa “dipisahkan”. Yang satu melengkapi yang lain. Meski begitu, di masa kini, nilai “magis” dari salawaku mulai berkurang, dalam pengertian, ia hanya dianggap sebagai tameng “biasa”, yang dibuat dari kayu dengan bentuk seperti itu saja. Namun faktanya, tidak “sebiasa” itu, pada masa lalu, atau untuk menyebut suku-suku “primitif” di pulau Seram, Salawaku masih tetap dihormati dan diperlakukan sebagai objek sakral. Ada ritual-ritual sakral yang menyertai dalam pembuatan dan perawatannya.
Roy Frank Ellen yang melakukan kerja lapangan di Nuaulu pada tahun 1970-1971, menyaksikan peristiwa sakral, yaitu proses penggantian salawaku suku itu. Ia kemudian menulis 2 artikel yang berkaitan dengan tema perisai (salawaku) suku Nuaulu ini. Yang pertama dengan judul fetishism dimuat pada jurnal Man, volume 23, nomor 2 (juni 1988) pada halaman 213 – 235. Sedangkan yang kedua berjudul Nuaulu Sacred Shields : The Reproduction of Things or The Reproduction of Images? yang dimuat pada jurnal Etnofoor, tahun ke-3, nomor 1 (1990), halaman 5 – 25. Artikel pertama itu, Ellen mengkaji konsep fetisisme dalam antropologi, marxisme, dan psikologi, serta “menghubungkan” konsep-konsep itu dengan pembuatan perisai/salawaku suku Nuaulu. Pada artikel kedua, ia mengkaji lebih terperinci, sehingga bisa dianggap sebagai “lanjutannya”.
Artikel kedua dari Roy Ellen inilah yang kami terjemahkan dan kami sajikan ini. Haruslah diakui bahwa sangat jarang ada banyak kajian tentang hal ini. Maka dengan keterbatasan itulah, menjadi pertimbangan kami untuk menerjemahkan artikel sepanjang 21 halaman, dengan “hanya” 3 buah catatan kaki ini. pada artikel aslinya, terdapat 5 pelat (tepatnya foto), 2 tabel dan 1 gambar. Artikel hasil terjemahannya, kami bagi menjadi 2 bagian, dan kami tambahkan beberapa gambar ilustrasi untuk “melengkapi” artikel bermutu ini.
Akhir kata, selamat membaca... semoga pengetahuan kesejarahan kita akan terus bertambah.
- Terjemahan : Kutu Busu
Pendahuluan
Dalam kajian yang diterbitkan sebelumnya (Ellen, 1988c), saya mengkaji penggunaan konsep fetisisme dalam antropologi, marxisme, dan psikologi sebagai kasus khusus interaksi antara teori kognisi dan representasi kolektif. Singkatnya, saya berpendapat bahwa produk akhir klasifikasi yang sering kata “fetis” digunakan, tidak dapat dipahami hanya sebagai jenis objek khusus, atau didefinisikan dalam istilah atribut fungsional generiknya. Juga tidak mencerminkan kondisi mental tertentu. Sebaliknya, mereka mengungkapkan kombinasi variabel dari 4 fitur yang mendasari kategorisasi dan karakteristik representasi dari semua pemikiran. Hal itu adalah konkretisasi; animasi (termasuk antropomorfisasi); penggabungan penanda dengan yang ditandai; dan relasi kontrol yang ambigu antara orang dan objek. Semua itu terletak pada kontinum prosesual yang dimulai dengan identifikasi kategori, hubungan dan fenomena, serta hasil – melalui reifikasi dan ikonifikasi – ke pengejawantahannya. Dalam urutan ini, apa yang mungkin kita gambarkan secara longgar sebagai “fetisizasi” muncul dengan pergeseran dari simultanitas penanda yang seimbang dan ditandai ke “benda” itu sendiri. Analisis ini adalah upaya, jika kita mau, untuk mendekonstrusikan gagasan fetisisme; bukan untuk menolaknya sebagai khayalan yang lengkap, tetapi untuk meyakinkankan bahwa dalam mengidentifikasi bagian-bagian komponen dari konsep itu, sebagaimana yang lainnya telah menggunakannya, kita dapat menemukan cara yang lebih tepat dan membantu untuk menggambarkan fenomena yang diobjektifkan.
Dalam kajian yang sama, saya mengilustrasikan atribusi sifat-sifat organisme hidup dengan referensi singkat tentang perisai (salawaku) sakral [suku] Nuaulu. Dalam tulisan ini, saya ingin mengeksplorasi kasus ini secara lebih rinci, dan khususnya urutan peristiwa yang berpuncak pada penggantian perisai (salawaku) lama/tua, seperti yang saya saksikan antara bulan April dan Desember 1970 di desa Rohua. Saya menegaskan bahwa ketika istilah “fetis” seperti yang telah diwariskan kepada kita, bukanlah konstruksi ilmiah yang pada akhirnya membantu, berbagai karakteristik yang secara konvensional disinggung – bahkan yang menggoda sekalipun – memungkinkan kita untuk lebih memahami peran objek tertentu di kehidupan budaya [suku] Nuaulu. Dan untuk melakukan hal itu, kita harus mulai dengan mengkaji reproduksi ritual kelompok-kelompok keturunan.
Reproduksi Sosial Klan dan “rumah-rumah”
Pada tahun 1970, [suku] Nuaulu1 di Seram Tengah bagian selatan merupakan populasu kecil sekitar 500 jiwa dengan cara penghidupan yang difokuskan pada peladangan berpindah, berburu dan mengumpulkan/mencari makanan (yang terakhir ini, terutama terdiri dari ekstraksi pohon sagu); dan menempati 5 desa di sekitar kerajaan Muslim, yaitu Sepa. Sampai hari ini, kolektivitas 12 klan patrilineal (ipan) dalam aliansi satu sama lain, dan sampai batas tertentu dengan klan-klan non-Nuaulu lainnya, secara istimewa melalui ikatan perkawinan bilateral lintas sepupu. Meskipun di masa lalu, organisasi politik kadang-kadang mencakup semua klan, persatuan seperti itu umumnya berumur pendek dan rapuh, sebagian besar merupakan fungsi dari keadaan eksternal dan hegemono (Ellen, 1988a: 118-119). Klan-klan tersebut, dengan persetujuan bersama, merupakan entitas politik yang paling tahan lama dan penting dalam politik internal [suku] Nuaulu (Ellen, 1978: 11-17), meskipun mereka sekarang telah kehilangan banyak otonomi sekuler yang pernah mereka miliki. Banyak hal yang harus dikatakan untuk memahami, mengapa harus begitu banyak waktu dan upaya masih diinvestasikan dalam kegiatan yang didedikasikan untuk reproduksi ritual mereka.
Klan adalah fokus dari sebagian besar aktivitas ritual [suku] Nuaulu; bahkan ritual kelahiran memiliki dimensi klan sebagai cara yang diakui untuk memastikan perekrutan, dan karenanya reproduksi sosial dan kelangsungan hidup yang efektif. Klan sekaligus merupakan entitas sosial dan material. Klan adalah tubuh orang-orang yang lahir, menikah, memiliki anak, mati, dan dengan demikian mempertahankan keberlangsungannya, melalui relasi fana yang rapuh dari daging yang membentang dari definisi mitos, tetapi hampir tidak dapat diukur, menuju ke masa depan yang tidak diktehaui dan mungkin tak terbatas. Tetapi masa depan tidak otomatis pasti. Itu harus dikerjakan; dan itulah peran utama ritual. Sebagai entitas fisik, klan terdiri dari rumah ritual (atau rumah-rumah), ditambah kumpulan objek-objek material yang suci, yang mewujudkan esensi klan dengan cara yang tidak dan tidak bisa dilakukan oleh manusia yang hidup. Tetapi meskipun apa yang disampaikan oleh benda – kesuciannya, kekuatannya, perwujudannya dari kehadiran leluhur – terus berlanjut, benda itu sendiri, wahana, seperti manusia dalam memiliki sejarah kehidupan yang titik akhirnya adalah kehancuran atau pembusukannya. Saya segera akan kembali ke poin penting ini.
Klan terdiri dari 2 bagian (bagian klan) yang disebut numa (rumah); masing-masing memiliki kemiripan dan simultan sosial dan fisik, denagn fokus pada rumah ritual tertentu, baik numa onate atau numa kapitane, dan merupakan kategori budaya yang lama dikenal sebagai karakteristik sebagain besar wilayah timur Indonesia (Fox, 1980; Van Wouden, 1968). Bagian-bagian tersebut saling melengkapi: dalam istilah tradisional, otoritas ritual berada di pemimpin yang satu (onate), dan otoritas militer sekuler dipegang oleh pemimpin yang lain (kapitane). Pembedaan ini mungkin dianggap sedikit keliru, karena kedua pemimpin tersebut merupakan para spesialis ritual dan ritual dalam arti yang sering dipahami tidak dapat dengan mudah dipisahkan dari banyak hal lain yang dilakukan oleh orang Nuaulu. Bagaimana pun onate secara struktural berada dalam posisi isitimewa sebagai kepala/pemimpin klan, primus inter pares, dan dengan tambahan tanggung jawab ritual yang diperlukan. Seperti halnya klan-klan, nasib sosial numa sangat nyata terikat dengan nasib fisik rumah dan isinya yang sakral. Menyeluruh dan di atas upacara-upacara rutin krisis kehidupan, sebagian besar ritual [suku] Nuaulu dikhususkan untuk pembangunan rumah-rumah suci klan, dan sejumlah besar waktu diinvestasikan dalam kegiatan yang berhubungan dengan ini – kegiatan-kegiatan yang dengan sendirinya ditafsirkan sebagai sakral (Ellen, 1986).
Salawaku-salawaku [suku] Nuaulu
Sebelum dimulainya Pax Neerlandica yang efektif sekitar 100 tahun lalu, salawaku (aniaue) berfungsi dengan tujuan yang sangat praktis untuk perlindungan tubuh, dan – mungkin yang lebih penting – menangkis selama pertempuran senjata. Memang, ukuran dan bentuknya saja menunjukan bahwa perisai dapat menawarkan sedikit tempat berlindung, dan mungkin lebih tepat untuk digambarkan sebagai papan penangkis (pelat no 1). Meskipun benda ini sudah lama, tidak lagi menjadi penggunaan utama mereka, benda ini dilaporkan digunakan selama periode Republik Maluku Selatan yang berumur pendek, ketika pasukan pendukung dari [suku] Nuaulu bertempur dengan kaum separatis lainnya dalam kampanye gerilya berkepanjangan melawan pemerintah Jakarta dari hutan dataran tinggi Seram. Benda ini juga telah digunakan lebih banyak baru-baru ini, saat masih terjadi pertempuran tangan kosong yang timbul akibat konflik antara person-person [suku] Nuaulu, dan antara orang Nuaulu dan orang luar. Namun, peran utama objek itu saat ini adalah dalam pementasan atau pelaksanaan tarian auwoti yang dibawakan oleh laki-laki muda yang diinisiasi. Hal ini terjadi saat matahari terbit setelah malamnya menari kahuae (kahuwa), dan sebelumnya perburuan kepala (pengayauan) atau melakukan penyerangan. Saat ini, kahuae dan auwoti diadakan untuk merayakan ritual suku atau desa, biasanya yang terkait dengan siklus hidup rumah ritual suku (numa) atau rumah bersama ritual desa suane. Kadang-kadang itu dipegang untuk kepentingan mereka sendiri, karena nenek moyang dianggap marah, karena tarian itu diabaikan. Akhir-akhir ini, auwoti banyak diminati di acara-acara kenegaraan atau non-Nuaulu lainnya, yang dalam konteknya menjadi simbol dari etnis Nuaulu (Ellen, 1988a: 129).
Saya mengumpulkan data terperinci tentang 16 perisai (salawaku) asli [suku] Nuaulu pada tahun 1970-19712, dimana 14 diantaranya berasal dari Rohua, dan saya memiliki alasan kuat untuk percaya bahwa ini adalah jumlah semua yang tersedia di desa itu, pada awal periode kerja lapangan saya, dengan pengecualiaan pada perisai suci yang lama dan baru, yang akan dibahas kemudian, dan 5 perisai asli yang dipotong/dibuat pada saat itu. Idealnya, seharusnya ada 1 untuk setiap laki-laki dewasa dalam populasi, yang pada sensus saya tahun 1970, kira-kira ada 41 orang (Ellen, 1978: 224). Integrasi ke dalam masyarakat laki-laki, setidaknya dalam teori, tidak lengkap tanpa ada berbagai peralatan artefaktual kejantanan, yang mencakup perisai (salawaku); dan partisipasi dalam tarian auwoti tidak mungkin dilakukan tanpa objek itu. Tetapi seperti biasanya dalam hal-hal yang berkaitan dengan reproduksi ritual, selalu ada banyak sekali benda-benda yang harus dibuat, dan upacara yang diadakan. Ritual, tidak bisa – memang tidak boleh – terburu-buru, bahkan jika gagal untuk melakukannya, atau untuk membuat peralatan keras yang diperlukan, dengan sendirinya mengundang setiap kesempatan untuk ketidaksenangan dari leluhur, dengan banyak kemalangan yang mungkin timbul.
Perisai (salawaku) terbuat dari sepotong kayu sakral, kawasa3. Jika suatu klan tidak memiliki pohon kawasa di tanahnya, ia dapat mendekati klan lain yang memilikinya. Jika klan itu setuju, ritual hubungan hutang yang dibuat, harus dibatalkan di masa depan dengan hadiah timbal balik atau permintaan serupa. Spesimen (jenis) yang saya ukur (pada tabel 1), panjangnya bervariasi antara 105 dan 124 cm (m=111,15), maksimal paling lebar antara 10 dan 13,5 cm (m=11,09), dan minimal lebarnya antara 8 dan 11 cm (m=8,94). Ketebalan pada tepi luar hampir selalu tetap pada ukuran 1 cm, meningkat menjadi sekitar 2 cm pada rusuk tengah. Oleh karena itu, perisai berada pada posisi terlebar pada setiap ujungnya, dan menyempit pada bagian tengah. Berdasarkan penampangnya, perisai terlihat nampak seperti panah berkepala lebar. Bagian depan perisai memiliki 3 punggung yang sedikit terangkat (muneka), sedangkan bagian belakang menampilkan 1 punggung yang menyatu di tengah dengan pegangan (aimume). Bagian tepi sering berhadapan pada semua sisi dengan dengan potongan belahan rotan yang dipasang menggunakan pasak kayu, dan (di masa sekarang) sering menggunakan kawat dan paku (pelat 1).
Semua perisai memiliki orientasi benar dan salah, meskipun ini tidak ditunjukan oleh bentuk fisik dan jarang dalam desainnya, dimana setiap bagian – baik digambar secara horizontal atau vertikal – adalah bayangan cermin dari yang lain. Orientasi yang tepat hanya terlihat secara visual jika terdapat elemen-elemen zoomorfik atau antropomorfik dalam bukti, atau jika jimat pelindung telah dipasang (pelat 1a). Jimat ini selalu diikat dengan benang nenas di bagian atas perisai, dan terdiri dari sepotong kecil kain merah (karanunu) berisi akar Zingiber (soiu) dan, dengan bebas, bulu jambul kecil dari kakatua salmon berjambul, cacatua moluccensis.
Bagian depan perisai dilapisi dengan potongan-potongan kecil cangkang Nautilus, pecahan porselin atau peralatan berlapis kaca lainnya, dilaburi dengan resin damar dan ditempatkan dalam pola yang berbeda. Hal ini dikenal sebagai kikau, atau kikau huna (artinya “hiasan bulan”) dalam hal cangkang Nautilus. Keseluruhannya dilukis dengan sebagian besar motif abstrak, sebagian besar bergaris zig-zag dan kurva, menggunakan pigmen-pigmen berdasar minyak. Kadang-kadang, ada gambar bemotif yang dapat dikenali, biasanya dari hewan totem penjaga yang sesuai klannya, katakanlah biawak atau kuskus (misalnya jenis 1 dan 7, pada tabel 1). Meskipun subjek ini bukannya tanpa minat, tidak ada ruang di sini untuk melakukan analisis rinci tentang elemen desain atau variasi dalam pola dan skema warna, atau untuk mendiskusikan signifikansi apa pun yang mungkin dimilikinya. Cukuplah dikatakan bahwa tidak ada kesepakatan tentang hal yang terakhir. Untuk beberapa pola yang hanya dekoratif, tanpa “arti”, dibuat untuk mengesankan pada kesempatan auwoti, sehingga orang-orang akan berkomentar tentang fitur-fiturnya yang bagus. Pernyataan yang membuat frustrasi seperti ini, cukup familiar dalam studi etnografi seni, termasuk desain perisai dari tempat lain (Silitoe,1980). Yang lain mengatakan bahwa individu-individu “memberikan arti mereka sendiri” untuk perisai, dan yang lain mengatakan bahwa ada kesamaan dalam elemen yang ditemui pada perisai dalam 1 klan. Tetapi apapun posisi yang berkaitan dengan spesimen tunggal, desain pada umumnya mencerminkan paling banyak variasi pada beberapa tema yang sangat bergaya, dengan kesempatan terbatas untuk inovasi; dan tidak ada alasan yang menunjukan bahwa setiap elemen mewakili (merujuk) pada bagian tubuh manusia. Saya memberikan poin ini di sini, karena nanti akan menjadi bukti bahwa perisai sakral, setidaknya diperlakukan sebagai antropomorf.
Salawaku-salawaku Sakral
Meskipun semua perisai asli, terbuat dari kayu kawasa, memiliki sifat mistik, dan berdasarkan usia dan sejarahnya memiliki reputasi asli (termasuk dikaitkan dengan berbagai kekuatan magis), namun perisai-perisai tersebut berbeda dari apa yang saya sebut sebagai “Salawaku Sakral”, Aniaue monne. Salawaku ini (aniaue monne) umumnya disimpan di numa kapitane, rumah seorang pemimpin perang, dimana salawaku ini pada masa lalu akan digunakan oleh pihak-pihak yang berburu kepala/potong kepala (pengayauan) dan melakukan penyerangan. Benda-benda ini adalah fokus kekuatan yang kuat, tidak dapat ditembus oleh panah atau peluru, mentransmisikan kekuatannya kepada para penggunanya yang setia, dan menciptakan cerita-cerita tentang kemuliaan dan keajaiaban. Perisai sakral saat ini cukup tua, jika melihat masa “aktifnya” selama keadaan darurat separatis, tetapi jika tidak demikian, mereka tetap akan mewarisi reputasi fisik pendahulunya. Tapi meski melindungi orang lain, perisai sendiri membutuhkan “perlindungan” dan perhatian ritual berkala. Karena alasan inilah, saya tidak pernah bisa memotret perisai yang lengkap.
Tidak setiap klan memiliki perisai sakral, dan mereka juga tidak melakukannya di masa lalu. Di Rohua, hanya 2 klan – Sonawe-ainakahata dan Nepane-tomoien - yang memilikinya; sementara klan lain memiliki inventaris objek monne lainnya. Tetapi meskipun tidak semua klan memiliki perisai sakral, semua harus pada satu waktu, memiliki setidaknya 1 perisai, entah sakral atau tidak, yang dilindungi dan dirawat, jika tidak dihormati. Jumlah perisai yang dilindungi dengan cara ini bergantung pada jumlah total yang dimiliki oleh klan pada satu waktu. Seperti yang dijelaskan oleh Iako Matoke, “sang tuan tanah” kepada saya, jika sebuah klan memiliki 4 perisai, maka 2 perisai harus tetap berada dalam numa onate, jika ada 3, maka 1 boleh digunakan tetapi 2 perisai harus tetap ada, jika ada 2, maka 1 harus tetap; tetapi jika hanya ada 1 perisai – bahkan jika perisai itu bukan aniaue monne dalam arti yang sebenarnya – maka ia tidak boleh diizinkan untuk meninggalkan rumah.
Keyakinan yang mendasari praktik semacam itu, tampaknya berasal dari analogi reproduksi bentuk-bentuk organik. Dalam istilah pragmati, tentu saja, jika semua perisai hilang – katakanlah dalam peperangan/pertempuran – maka tidak ada ada model lagi yang menjadi dasar penggantian mereka. Namun, yang lebih mendasar, garis kesinambungan organik akan terputus dan reproduksi, mengikuti analogi organik, akan sangat mustahil. Dalam perspektif ini, saya ditanya : bagaimana pohon sagu dapat berkembang biak secara vegetatig, jika semua pohon sagu yang ada telah dimusnahkan. Jika perisai tidak dapat “diciptakan” kembali, maka tidak ada yang dapat dijadikan pelindung. Pada klan-klan yang memiliki perisai sakral, analogi perbanyakan vegetatif ini dibawa lebih jauh, dan hubungan antara perisai sakral dan perisai biasa, disamakan dengan batang bawah utama dari pohon sagu dewasa dan banyak pengisap yang mungkin terbuang dalam proses regenerasi. Jadi, ketika perisai sakral diganti, dari pohon kawasa yang sama dipotong perisai biasa sebanyak yang batangnya akan dibuang. Dengan demikian, setiap perisai sakral “mengeluarkan” begitu banyak perisai lain (keturunannya : aniaue anae), serta meregenerasi dirinya sendiri. “Anak-anak” itu sendiri tidak dapat mereproduksi dan melanjutkan garis; kekuatan ini hanya dipegang oleh aniaue monne. Tetapi meskipun pemotongan perisai sakral dapat memberikan kesempatan yang sangat tepat untuk memotong perisai biasa, hal ini tentu saja tidak menghalangi pemotongan perisai biasa di lain waktu, terutama jika keadaan – seperti auwoti yang akan datang – membutuhkannya. Perisai yang dipotong pada saat yang sama dengan aniaue monne dijiwai dengan kualitas khusus yang tidak dimiliki perisai lain, yang telah dipotong dari pohon yang sama; tetapi tidak mungkin semua perisai diturunkan dengan cara ini. Namun, perbandingan yang paling jitu, dan ini tampaknya menjadi acuan dasar, adalah dengan reproduksi sosial klan, numa, dan kepribadian individu; sebuah proses yang secara material diwujudkan dalam rumah dan benda fisik. Jika hubungan fisik itu terputus, maka klan sebagai kelompok keturunan korporat juga tidak dapat direproduksi secara efektif (gambar 1).
Jika kita membandingkan siklus reproduksi untuk perisai sakral, rumah-rumah ritual dan orang-orang sosial, kita dapat melihat dalam setiap kasus besarnya generasi ritualnya adalah berbeda. Hatarai mengingat bahwa perisai sakral Sonawe-ainakahata tua dibuat di Aihisuru ketika dia masih kecil, yang menjadikan umur perisai tersebut sekitar 50 tahun. Mengingat komentar-komentar lainnya, 50 tahun tampaknya tepat untuk siklus penggantian perisai semacam itu. Bahwa untuk sebuah rumah adalah antara 20 atau 30 tahun (meskipun kayu dari konstruksi sebelumnya dapat bertahan (masih kuat)), dan untuk sebuah klan sosial atau numa selama dibutuhkan secara biologis untuk mereproduksi individu dan mensosialisasikan mereka sebagai anggota klan yang efektif, dalam kendala ritual yang diperlukan; katakanlah sedikitnya antara 15 atau 20 tahun. Pada gambar 1, saya telah memasukan kronologi absolut selama bertahun-tahun, sehingga kita dapat membandingkan lamanya siklus reproduksi ritual, meskipun tentu saja sangat menyesatkan untuk mengatakan bahwa ini adalah standar yang diterapkan oleh orang Nuaulu sendiri.
==== bersambung ====
Catatan Kaki
- Kerja lapangan yang mendasari kisah ini dilakukan selama 18 bulan antara Desember 1969 dan Mei 1971. Meskipun sampai saat ini, telah ada empat kunjungan ulang berikutnya, tidak satu pun dari kesempatan ini saya menyaksikan lagi peristiwa yang serupa dengan yang dijelaskan, dan saya tidak bertanya lebih lanjut tentang masalah ini. Kerja lapangan tersebut disponsori oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia), dan secara finansial didukung oleh British Social Science Research Council Studentship, London-Cornell Project for East and Southeast Asian Studies, Central Research Fund of the University of London , dan Yayasan Galton. Saya juga ingin berterima kasih kepada Royal Anthropological Institute atas izin untuk mereproduksi beberapa teks yang sebelumnya diterbitkan di Ellen 1988c, dan Marilyn Strathern karena mengizinkan saya mengakses manuskrip yang tidak diterbitkan.
- Salah satunya (2) diilustrasikan di sini pada pelat 1 dan saat ini menjadi koleksi penulis (Ellen field cat. No. 1971-563); dan yang kedua (3) disimpan di Museum of Mankind (BM As. 1.173). Spesimen ketiga (Ellen field cat no. 1971-313) ada di Rijksmuseum voor Volkenkunde di Leiden, yang karena dibuat di desa non-Nuaulu di Yalahatan tidak tercantum dalam tabel 1. Dalam banyak hal, perisai Nuaulu sesuai dengan jenis yang ditemukan secara luas di Seram, dan cukup terwakili dalam koleksi etnografis (lihat misalnya Juynboll 1931: 11-13; Martin 1894: tabel xxvii).
- Kawasa = n. “benar, tepat”. [suku] Nuaulu mengenal 2 jenis : kawasa hanaie, bermakna “kawasa laki-laki” dengan kulit kayu kemerah-merahan, biasanya digunakan sebagai perisai (salawaku); dan kawasa pina, bermakna “kawasa perempuan”. Sebagai tambahan untuk perisai, kawasa juga digunakan untuk tempat penyimpanan berukir (sokate enu : enu = “kura-kura”) dari roh totem dari klan Nepane-tomoien, untuk batang tombak sakral, dan untuk cadik (semang) kano dari pimpinan klan Somori – hanya orang-orang ini yang diizinkan menggunakan kayu ini untuk tujuan ini. Spesimen tanaman ini diidentifikasikan dengan beragam sebagai Albizzia falcata (L) Backer dan Pithecollobium clypearia Benth. Ini adalah pohon yang berkerabat dekat dalam sub-famili Mimosaceae dari Leguminosae, dan keduanya dikenal dalam bahasa Melayu Ambon sebagai “kayu salawaku”. Oleh karena itu, mungkin dapat dimengerti bahwa Rumphius (De Wit, 1959 : 344, 398, 424) harus (menerjemahkan dalam bahasa melayu) menggambarkan keduanya dengan binomial Arbor clypeorum (HA 3: 192); dimana “clypeus” adalah bahasa latin untuk kata perisai/tameng. Di sumber lain, Rumphius tampaknya mengklasfikasikan mereka bersama sebagai Clypearia rubra (Herbarium Amboinense 3 : 176-177, tab 112), meskipun di tempat lain, ia membedakan Albizzia retusa Benth sebagai Clypearia alba (HA 3: 176, tab 111). Penentuan yang paling mungkin adalah Albizzia falcata untuk kawasa hanaie (daun bulat kecil), dan Pithecollobium clypearia Benth untuk kawasa pina (daun panjang lebih besar). Anehnya, sementara Rumphius (Van Slooten, 1959: 312) mencatat bahwa Albizzia digunakan untuk perisai karena sulit untuk dihancurkan atau ditusuk, sumber yang lebih baru (Corner, 1952: 410) menggambarkan kayu itu sebagai kayu “lunak” atau “lombo”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar