Oleh
Roy Frank Ellen
Penggantian Perisai (Salawaku) Sakral Sonawe-ainakahata
Beberapa hari sebelum pemotongan salawaku Sonawe-ainakahata yang baru, pertemuan klan dilakukan dalam numa onate untuk merencanakan acara tersebut. Ada banyak diskusi sebelumnya, tentang perlunya mengganti salawaku yang telah tua, yang telah sangat menghitam dan busuk karena usia. Masalah ini menjadi mendesak karena beberapa penyakit yang menimpa anak-anak, dikaitkan dengan kegagalan untuk mematuhi apa yang sekarang dianggap sebagai ketidaksabaran leluhur yang jelas. Tapone, onate klan, dengan jelas berpikir bahwa inilah saatnya untuk bertindak. Pertemuan ini sendiri merupakan acara ritual, dan seorang pemuda yang belum diinisiasi akan menabuh genderang besar di suane rumah ritual negeri/desa, yang dengannya klan memiliki hubungan khusus perlindungan.
Pada tanggal 2 April 1970, sekelompok 7 laki-laki dewasa ditambah 5 pemuda mendekati dewan inisiasi di luar numa onate, dan kemudian dalam 1 barisan melanjutkan ke lokasi yang telah ditentukan di hutan sekunder sekitar 1,3 kilometer di luar desa, dekat sungai Awao. Mereka dipimpin oleh Tapone, dan diambil dari sebagian besar keluarga Sonawe di Rohua, kecuali mereka yang tinggal di numa kapitane. Semua membawa “parang” dan mengenakan pakaian yang telah ditentukan untuk ritual penting: secarik kain kulit kayu yang ditutupi oleh rok batik berhias. Selain itu, Tapone mengenakan pakaian merah pemimpin klannya, menata rambut dan penutup kepalanya dalam model “bertanduk” khas, yang diwajibkan untuk acara-acara seperti itu (pelat 4), dan membawa “dompet” khusus berisi kebutuhan mengunyah sirih dan tembakau. Secara signifikansi, selama proses ini para kapitane (Hatarai) tetap berada dalam numa onate, aturan [suku] Nualu numa yang saling melengkapi yang mensyaratkan bahwa pemberian simbolis dari seorang pemimpin perang, bukan berasal dari pemimpin perang itu sendiri, tetapi dari mitra strukturalnya, onate.
Saat mencapai tempat di atas bukit hutan sekunder tepat di atas taman, semua kecuali onate (yang hanya mengamati) membantu membersihkan semak-semak dari sekitar pohon kawasa yang sebelumnya telah dipilih oleh tetua klan, sebuah pohon muda dengan diameter sekitar 20 cm, yang mampu menghasilkan jumlah perisai (salawaku) yang sesuai secara berurutan dengan sedikit usaha/kerja dan limbah (sisa/ampas). Meskipun kawasa itu sendiri sakral, tanah di sekitarnya itu tidak, dan pohon-pohon pelindung di sekitarnya sudah habis untuk tujuan dunia lainnya, dan bahkan menanam ubi kayu di tempat terbuka. Setelah ruang yang cukup telah dibuka, sebuah platform (hantetane) dibangun dari kayu gelondongan yang diambil dari pohon yang lebih besar, yang sebelumnya telah ditebang. Di tanah yang curam, hal ini memiliki keuntungan yang cukup besar, karena menyediakan area yang datar dan bebas sampah untuk bekerja dan beristirahat. 2 tongkat lurus dengan ujung bercabang, ai rimaia (lit.n.”cabang”), ditempatkan di antara balok-balok platform, kemudian di atasnya ditempatkan tongkat pertama pengukur dan kemudian perisai sakral itu sendiri. Saat platform selesai dibuat, daun Xeropermum (digunakan sebagai pembungkus tembakau) di bawa ke platform, dan rombongan beristirahat, merokok dan mengunyah sirih.
Platform seperti itu wajib untuk semua ritual yang diadakan di luar desa (seperti upacara inisiasi laki-laki), dan terlepas dari peran praktisnya, secara simbolis memisahkan bumi (hutan, alam, duniawi) dari praktik sakral budaya. Di dalam desa/negeri, sebagian besar upacara berlangsung di dalam rumah, yang ketinggiannya juga berfungsi untuk memisahkan alam (bawah) dari budaya (atas). Bukan kebetulan bahwa hantetane juga merupakan nama yang diberikan untuk langkah-langkah menuju rumah ritual klan, dan suane (Ellen, 1986: 16). Hantetane di hutan, dengan demikian tidak hanya membedakan alam dari budaya secara vertikal (seperti menaiki tangga ke dalam rumah), tetapi secara horizontal dengan menciptakan, seolah-olah, wilayah budaya, rumah proxy, di dalam “lautan” dunia/alam.
Tahap selanjutnya dari proses dimulai saat onate mendekati pohon, menyentuh dahi dan perut serta membungkuk 5 kali. Dia mengucapkan doa yang ditujukan kepada sionata (roh leluhur) dari tanah tempat pohon itu tumbuh, memberi tahu mereka tentang apa yang akan dilakukan, dan kepada roh kawasa, memohon agar mereka pergi dan tidak mengganggu pembuat dan pembawa perisai/salawaku. Dia memukul pohon itu beberapa kali dengan pisau semak (parang) setinggi dada, mengambil serpihan dan membawanya ke platform. Ini adalah ai mhaine monne, “ nafas suci kayu”, yang kemudian dibungkus dengan kain merah dan digantung di atas ai rimaia. Itu kemudian disimpan di numa onate di samping perisai/salawaku sakral. Kegagalan untuk melakukannya akan membawa nasib buruk dalam berburu dan berkebun, bahkan kematian. Penebangan pohon tersebut kemudian diselesaikan oleh 2 orang laki-laki lainnya, dan cabang-cabang yang lebih rendah dipotong. Sebuah tongkat pengukur (katenue) dibuat dengan panjang satu depa (ujung jari sampai ujung jari). Dengan ini, dia mengukur satu panjang pohon yang ditebang, yang cukup untuk membuat perisai/salawaku suci, yang kemudian dipindahkan. Panjang untuk 5 perisai selanjutnya dipotong dan semuanya dibentuk menjadi balok atau potongan kasar dengan bentuk yang biasa kira-kira mencerminkan kurva tulang belakang, permukaan cembung dan pegangan dari perisai/salawaku yang sudah jadi (pelat 2 dan 3). Semua ini memakan waktu beberapa jam (lihat tabel 2) dan disela dengan makan pisang raja bakar, ubi kayu, dan santan yang dimasaka dalam ruas bambu oleh laki-laki yang lebih muda (pelat 5). Selama selingan ini, perisai/salawaku suci ditempatkan di ai rimaia (pelat 4).
Ketika disepakati bahwa perisai itu telah siap, ia akan dibawa kembali ke desa dengan kepala klan membawa perisai suci di depan. Saat mereka tiba, dielu-elukan oleh para wanita. Secara teori, ini adalah satu-satunya kesempatan yang pernah mereka (perempuan) miliki untuk melihatnya; dan tentu saja dilarang bagi mereka untuk melakukan kontak fisik apapun, bahkan dengan [sisa] potongannya. Itu ditempatkan dengan hati-hati di numa onate, di sudut timur laut, terjauh dari pintu ke laut, dan acara hari itu diakhiri dengan upacara makan sirih.
3 hari kemudian, pada sore hari pekerjaan dimulai pada pembuatan detail perisai/salawaku suci. Ini terjadi di dalam numa onate dan dilakukan oleh sekelompk tetua Sonawe dibantu oleh Iako, onate Matoke. Bahwa Iako hadir di proses ini untuk mengukir, menginstrusikan, dan bertindak sebagai pendapat kedua di setiap perpindahan/gerakan, sangat tepat; karena tidak hanya dia sebagai “tuan tanah”, tingkat tertinggi di antara yang sederajat sehubungan dengan pemimpin klan lainnya, tetapi juga saudara laki-laki dari istri Tapone, dan seorang ahli yang diakui dalam pembuatan perisai/salawaku (lihat tabel 1). Seperti pada hari sebelumnya, Tapone tidak berpartisipasi, hanya mengamati dan menasehati. Pembuatan perisai suci pada khususnya merupakan usaha kerjasama, dan cukup sah untuk memanfaatkan ketrampilan dari non klan; sangat bergantung pada cara melakukannya dengan benar, sementara konsekuensi kegagalannya luar biasa. Di setiap kesempatan, bimbingan, kepastian dan keahlian teknis dicari. Selama pembuatannya, perisai/salawaku baru (aniaue monne honue) dibandingkan secara detail dengan yang lama (aniaue monne monae), yang mana salinannya harus persis.
Setelah aktivitas intensif pada tanggal 2 dan 5 April, pekerjaan selanjutnya pada perisai/salawaku suci hanya terjadi sesekali dan dengan kecepatan yang lebih terukur hingga hampir akhir tahun itu. Krisis utama dianggap sudah berakhir; perisai/salawaku baru setidaknya menjadi bukti dan tingkat relaksasi diperbolehkan. Potongan kasarnya semakin halus, punggungnya diiris, gagangnya diukir dan seluruhnya dihaluskan dengan daun berserat dan pasir. Pada tanggal 15 April, saya menyaksikan potongan-potongan cangkang Nautilus (nakatua unue) dipotong menjadi bentuk bulatan-bulatan dan kapsul, dan kemudian digiling dengan batu dan air. Potongan-potongan ini akan digunakan sebagai kikau huna (lihat sebelumnya di atas), dan telah dikumpulkan bertahun-tahun sebelumnya, dan disimpan dalam keadaan siap di numa kapitane dan numa onate.
Pada tanggal 26 Desember, perisai/salawaku suci itu sudah lengkap; perisai itu telah dicat dan tepi rotan terpasang. Yang tersisa hanyalah ritual pemasangan. Sebuah tikar khusus dari daun pandan (koai) diletakan di atas lantai numa onate dan perisai/salawaku suci dengan hati-hati diturunkan dari kasau dan diletakan di atasnya, menghadap ke atas dengan secangkir minyak kelapa (wikatisie) di sampingnya. Perisai/salawaku suci yang lama diletakan dengan cara yang sama ke sisi laut pada arah yang baru, dan perlahan-lahan kapitane dan onate bersama-sama mengangkat yang lama dan menahannya di atas yang baru. Kapitane berdoa kepada leluhur, dan perisai baru dipindahkan dengan cara memutar/melingkar searah jarum jam di atas perisai lama, sebanyak 5 kali. Minyak kelapa yang berkati leluhur kemudian pertama-tama dioleskan pada ujung perisai/salawaku baru, lalu tepi sampingnya, lalu depan dan belakangnya. Itu diletakan di ruang atap sebelah timur (rine monne: “rak suci”) di bawah tempat yang sebelumnya ditempati oleh perisai/salawaku lama, dan salawaku lama diberdirikan di bawah, menghadap tiang rumah arah timur laut, tidak pernah dihancurkan dan dibiarkan hancur dengan gengsi/harga diri. Doa lebih lanjut diucapkan oleh kapitane dan onate membuat isyarat saling melengkapi untuk mengormati leluhur. Ritual langsung diakhir dengan mengunyah sirih, dan seluruh siklus secara resmi diakhiri dengan mengadakan pesta (nasae) di sore hari.
Personafikasi Benda
Sikap [suku] Nuaulu terhadap perisai/salawaku suci menunjukan kesesuaian dari 4 fitur mendasar yang telah saya identifikasi sebelumnya (Ellen, 1988c: 229) sebagai yang biasanya muncul ketika objek tertentu digambarkan sebagai “fetish”. Ini adalah animasi, konkretisasi, penggabungan penanda dengan tanda, serta ketegangan ambigu antara orang dan objek dalam hal kontrol.
Bagian sebelumnya adari makalah ini telah memberikan deskripsi jelas dengan sedikit penafsiran, asli atau sebaliknya, dari fitur pertama yang tercantum di atas – yaitu animasi. Tetapi bahkan tanpa banyak penjelasan, harus jelas bahwa pada setiap tahap pembuatannya, perisai/salawaku diperlakukan tidak hanya sebagai “benda” yang bernyawa, tetapi (dan ini lebih signifikan) sebagai antropomorf yang menyeluruh. Kata-kata yang digunakan untuk mendeskripsikannya berasal dari leksikon tubuh manusia, ritual yang menjadi subjeknya secara gamblang dianggap sebagai homolog dengan ritual krisis kehidupan manusia, dan dikaitkan dengan “nafas” dan individualitas. Singkatnya, itu dipersonafikasikan. Saya telah meringkas beberapa bukti dalam bagian sebelumnya yang dirujuk, tetapi saya akan memperluasnya lebih jauh di sini. Ada, pasti, beberapa pengulangan, tetapi juga beberapa data tambahan dan penyusunan kembali :
1. Perisai/salawaku memiliki arah yang tepat, bagian atas disebut sebagai “kepala” dan bagian bawah disebut “kaki”. Perisai mungkin tidak akan pernah dipegang atau ditempatkan dengan “kepala di bawah”. Dan saat diletakkan terlentang harus mengadopsi arah matahari terbenam, dimana kaki: matahari terbit, arah kepala ditempatkan untuk “tidur”. Potongan yang mengembung di sepanjang punggung dikenal sebagai tulang belakang (totu unie)
2. Kepala perisai/salawaku apa pun (entah sakral atau lainnya) diindikasikan melalui mantra. Ini bervariasi dari 1 klan ke klan lainnya, tetapi selalu termasuk jahe dan kain merah. Dalam beberapa kasus, bulu burung totem dapat ditambahkan. Pecahan cangkang atau porselin Nautilus yang ditempelkan di bagian depan perisai/salawaku dalam pola tetap, dibandingkan dengan hiasan kepala/penutup kepala (orane) yang dikenakan oleh spesialis ritual selama upacara tertentu. Penutup kepala juga mengandung cangkang Nautilus, serta berbagai jenis bulu dan kain merah. Semua bahan tambahan semacam itu dianggap secara fungsional setara dengan perhiasan tubuh manusia.
3. Perisai/salawaku suci, selama pembuatannya atau pada titik manapun setelahnya, tidak pernah diletakkan langsung di atas tanah, atau bahkan di lantai rumah ritual. Pada titik di hutan, dimana ia terlepas dari “induk pohon”, selalu ditempatkan di atas platform/tatakan (hantetane), dan di atasnya di ai rimaia. Kembali ke dalam numa onate, ia diletakkan di atas tikar pandan khusus. Manusia juga tidak boleh tidur langsung di tanah, hanya di tatakan yang ditinggikan atau di rumah bergaya tradisional yang ditinggikan.
4. Seiring perkembangan perisai/salawaku baru selama berbulan-bulan, asal-usulnya disamakan dengan kehamilan (tiai: hamil). Sebaliknya, perisai/salawaku yang digantikannya dikatakan sebagai “mendekati kematian, ...........tidak lagi bernafas.......atau kuat,......juga terlalu tua”.
5. Minyak kelapa (wikatisie) dioleskan pada ujung, tepi dan terakhir pada seluruh salawaku suci yang baru sebelum dianggap selesai, suatu proses yang dapat diulangi pada saat perisai dikeluarkan dari tempat peristirahatannya. Dengan cara yang sama, manusia diolesi minyak atau minyak babi sebagai persiapan untuk tarian dan upacara. Minyak ini dikatakan dapat menyembuhkan luka yang disebabkan oleh manusia selama mencungkil dan menggurat dalam pembuatannya; ini serupa dengan obat-obatan yang digunakan untuk menyembuhkan orang.
6. Perisai/salawaku [suku] Nuaulu adalah alokasi jiwa yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui jalur transmisi yang diaktifkan dalam ritual penggantian 1 perisai/salawaku scui dengan yang lain. Jiwa perisai/salawaku lama dipindahkan ke yang baru melalui ritus terakhir yang dilakukan setelah selesai.
7. Dalam banyak hal, seluruh siklus ritual mencerminkan struktur ritus peralihan manusia. Pembangunan platform/tatakan (hantetane) jauh dari desa di hutan, penempatan perisai/salawaku suci di hantetane, prosesi kembali ke desa, dan elu-elukan dari para wanita saat tiba, semuanya paralel erat dengan elemen dalam upacara inisiasi lai-laki – sepertinya – hampir seperti parodi
8. Potongan pertama yang dipotong dibungkus kain merah dan disimpan di rumah ritual onate. Meski digambarkan sebagai “nafas suci kayu”, bisa dibilang fungsinya setara dengan plasenta dan umbilikal dalam kelahiran manusia, yang juga harus dilestarikan/dijaga. Itu berisi bagian dari jiwa kayu, karena plasenta berisi bagian dari jiwa anak yang baru lahir. Dan seperti halnya anak yang baru lahir di rumah menstruasi, tidak boleh dikeluarkan sampai selesai
9. Semua [sisa] potongan yang dibuat pada saat mengukir perisai suci dikumpulkan dalam keranjang dan kemudian dibawa ke suatu tempat dihutan, tempat mereka dikuburkan. Sekali lagi, di sini ada kemiripan dengan benda-benda peninggalan pribadi manusia yang tunduk pada ritualisasi, seperti rambut yang terpotong pada upacara pemotongan rambut pertama. Jika potongan rambut dibuang, penyakit pasti akan menimpa.
Tak satupun dari hal ini sangat khas untuk pemujaan perisai, meskipun dengan itu perisai mencapai puncaknya. Kita dapat melihat banyak sikap dan praktik yang sama sehubungan dengan rumah ritual [suku] Nuaulu (Ellen, 1986), dan kano, dimana, misalnya serpihan/potongan pertama juga dipertahankan dengan cermat setiap kali konstruksi baru dimulai.
Saya tidak menemukan catatan tentang pembuatan perisai/salawaku suci dalam literatur etnografi komparatif. Sillitoe (Sillitoe, 1980) memberikan studi rinci tentang pembuatan perisai Wola di dataran tinggi Papua Nuigini, tetapi tidak menyebutkan ritual apa pun dalam pembuatannya, atau pun atribusi antropomorfik. Namun, Cranstone (Cranstone, 1968: 612), yang mengikuti Craig, melaporkan bahwa perisai/salawaku Telefomin memiliki nama individu, memiliki kehidupan, dan atribut antropomorfik dan supernatural lainnya. Tetapi untu deskripsi tentang ritual pembuatan yang sebanding di dataran Asia Tenggara, kita harus beralih ke, tampaknya, ritual pembuatan wayang di Bali (Hobart, 1987: 70-71), pandai besi di Toraja (Zerner, 1981) atau pembuatan perahu (Horridge, 1986).
Benda-benda dan Representasi benda-benda
Perisai/salawaku [suku] Nuaulu jelas merupakan “benda dalam dirinya sendiri”, tetapi tidak memiliki keberadaan kecuali sebagai artefak yang dibuat oleh manusia untuk suatu tujuan; suatu produk budaya, bukan alam. Juga, menurut saya, masuk akal untuk mengasumsikan bahwa fungsi prototipikal dalam budaya [suku] Nuaulu adalah sebagai instrumen perang, dan konsepsi pada awalnya adalah teknis. Tetapi untuk mengatakan sebanyak itu mungkin agak akademis, karena bahkan perisai/salawaku biasa pada saat ini memiliki konteks utama tampilan, suatu ritual daripada peperangan. Dan bahkan jika penekanannya harus dibalik, mereka hampir tidak dapat didefenisikan sebagai objek fungsional yang ditempa alam tanpa tujuan lain, selain untuk melindungi atau menangkis. Bentuknya tidak terlalu ergonomis, dan desainnya menyampaikan pesan yang tampaknya tidak berhubungan dengan penaklukan musuh. Berdasarkan peran mereka dalam peperangan, perisai memperoleh reputasi individu dan dikaitkan dengan properti magis. Perlindungan material tidak dapat dipisahkan dari perlindungan spiritual. Dalam konteks pertunjukan ritual, mereka direfleksikan melalui dekorasinya pada pemiliknya, dan yang kedua, mungkin kadang-kadang pada klan. Dalam semua hal ini, perisai/salawaku biasa – betapa pun tidak dramatisnya – melampui objek dan menjadi “citra”.
Dalam kasus Identifikasi perisai/salawaku suci, pertama-tama dan terutama, dengan kemakmuran kolektivitas tertentu – yaitu klan. Seperti kapak Sabarls yang dijelaskan oleh Battaglia (Battaglia, 1983: 294), itu adalah representasi antropomorfik yang nyata (pengganti yang dibuat) dari klan, tetapi pada saat yang sama merupakan representasi dari leluhur itu sendiri. Dalam kasus [suku] Nuaulu, perisai/salawaku suci memproyeksikan klan tidak melalui fitur apa pun (secara ukiran/pahatan, itu sama sekali bukan humanoid), atau hampir tidak melalui desain yang dicat dan bertatahkan yang, seperti yang telah saya tekankan, hanya secara minimal melambangkan kelompok sosial. Ia menjadi – seperti yang dikatakan oleh Battaglia – “sebuah ingatan reproduksi”. Seperti yang telah kita lihat, perisai mengalami siklus reproduksi yang mirip dengan reproduksi ritual klan; sedangkan antropomorfisasi objek menggarisbawahi identifikasinya dengan reproduksi biologi yang “nyata”.
Pencitraan di sini lebih sedikit terletak pada “benda itu sendiri” daripada pada pengalaman bersama tentangnya dalam konteks seremonial, dan terutama selama ritus penciptaannya. Selama ritus-ritus inilah, relasi batin antara perisai dan klan paling tajam, ketika perisai secara paling sempurna memadatkan nilai-nilai klan. Mereka melakukannya dengan menyusun periode liminal berbahaya dengan gema ritual peralihan manusia lainnya, menggarisbawahi ketergantungan reproduksi klan pada pencapaian sukses mereka, sementara kinerja mereka yang salah, mengancam kesuksesan itu. Tapi ini bukan hanya metafora yang rumit. Perisai/salawaku suci tidak – lagi daripada benda seni lainnya – direduksi menjadi penjelasan kode yang menyertainya (Strathern, publikasi berikutnya: 15); mereka adalah konstituen dan komponen integral dari klan, dalam banyak hal merupakan wahana yang bertahan lama daripada kehidupan manusia yang fana. Di dalamnya, penanda dan penggabungan yang ditandai, penggabungan metaforis dan literal; pada saat berdiri untuk diri mereka sendiri, pada saat lain hanya dapat ditafsirkan dengan referensi lebih lanjut gambar yang – setidaknya untuk saat itu – telah menerima begitu saja makna (ibid : 14). Perisai/salawaku bukan sekedar objek, atau simbol yang “mewakili” klan, tetapi klan itu sendiri. Dengan model Durkheimian sejati, penghormatan pada perisai/salawaku suci, orang Nuaulu menghormati sosialitas terorganisir mereka sendiri.
Karena perisai/salawaku suci secara bersamaan merupakan kolektivitas material perisai – yang merupakan contoh utama, dan bagian dari totalitas kekuatan spiritual yang terkait dengan klan, itu dengan baik menggambarkan konsep ambigu kekuasaan yang juga telah saya bicarakan sebagai menjadi ciri khas “fetish”. Di satu sisi, ia memiliki kekuatan luar biasa untuk melindungi; di sisi lain ia rentan, dan umumnya harus dilindungi dan dijaga dari kesehatan yang buruk (melalui, misalnya, penggunaan jimat). Kegagalan untuk melakukannya dapat melepaskan kekuatan leluhur yang jahat dan mengakibatkan kejadian yang tidak terduga. Tidak seperti kebanyakan kekuatan spiritual lainnya, manusia memainkan peran penting dalam pembuatan dan pemeliharaannya, dan karena itu kekuataannya harus dilihat setidaknya sebagian dapat dimanipulasi. Dengan bantuan tak nampak dari leluhur, dapat dibuat untuk melakukan sesuatu demi kehidupan. Dalam semua ini, menjadi jelas bahwa ritus reproduksi mereka adalah inti dari pemahaman apa pun tentang signifikansi perisai suci [suku] Nuaulu; bahwa konteks produksinya merupakan bagian penting dari maknanya. Untuk menempatkannya dalam terminologi strukturalis yang sudah dikenal, dan mengikuti Marilyn Strathern (ibid: 13), kuncinya terletak pada hubungan antara urutan diakronis dari peristiwa yang menyertai siklus hidupnya, dan konteks sinkronis asosiasi dan penggunaannya pada satu saat; dengan kata lain dalam hubungan antara peristiwa dan artefak.
==== selesai =====
References
- Battaglia, D. 1983 Projecting Personhood in Melanesia: The Dialectics of Artefact Symbolism on Sabarl Island. Man 18:289-304.
- Corner, E.J.H. 1952 Wayside Trees of Malaya. Singapore: Government Printing Office.
- Cranstone, B.A.L. 1968, War Shields of the Telefomin Sub-district. Man (N.S.) 3:609-24
- Ellen, R.F.
1978, Nuaulu Settlement and Ecology:
An Approach to theEnvironmental Relations
of an Eastern Indonesian Community (Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 83). The Hague: Martinus Nijhoff.
1986, Microcosm, Macrocosm and the Nuaulu House: Concerning the Reductionist Fallacy as Applied to Metaphorical Levels. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 142(1): 1-30.
1988, Ritual, Identity and the Management of Inter ethnic Relations on Seram. In: D.S. Moyer and H.J.M. Claessen (Eds.), Time Past, Time Present, Time Future: Essays in Honour of P.E. de Josselin de Jong (Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- enVolkenkunde 131). Dordrecht Providence: Foris Publications. Pp. 117-35.
1988b, Foraging, Starch Extraction and the Sedentary Lifestyle in the Low land Rain forest of Central Seram. In: T. Ingold, D. Riches & J.Woodburn (Eds.), Hunters and Gatherers 1: History, Evolution and Social Change. London: Berg. Pp. 117-134.
1988c, Fetishism. Man (N. S.) 23:213-35. - Fox, J.J. (Ed.) 1980
The Flow of Life: Essays on Eastern
Indonesia. Cambridge, Massachusetts:
Harvard University Press. - Hobart, A. 1987 Dancing Shadows of Bali: Theatre and
Myth. London and New York: Kegan
Paul International. - Horridge, A. 1986 A summary of Indonesian Canoe and Prahu Ceremonies. Indonesia Circle 39 (March): 3-18.
- Juynboll, H.H. 1931 Katalog des Ethnographischen Reichsmuseums. Leiden: E.J. Brill.
- Martin, K. 1894 Reisen in den Molukken. Leiden: E.J. Brill.
- Sillitoe, P. 1980 The Art of War: Wola Shield Designs. Man (N.S.) 15(3):483-501.
- Slooten, D.F.
van 1959 Rumphius as an Economic
Botanist. In: H.C.D. de Wit (Ed.), Rumphius
memorial volume. Baarn: Hollandia N.V. Pp. 295-338. - Strathern, M. (forthcoming),
Artefacts of history: events and the interpretation of
images. In: J.
Siikala (Ed.), Culture and history in the Pacific. Helsinki: Transactions of the Finnish Anthropological Society. - Wit, H.C.D. de 1959,
A Checklist to Rumphius's Herbarium
Amboinense. In: H.C.D. deWit (Ed.),
Rumphius memorial volume. Baarn: Hollandia N.V. Pp. 339-460. - Wouden, F.A.E.
van 1968 Types of Social Structure in Eastern Indonesia
(Koninklijk Instituut voor
Taal-, Land- en Volkenkunde, Translation Series 11). The Hague: Martinus Nijhoff. - Zerner, C. 1981, Signs of the Spirits, Signatature of the Smith: Iron Forging in Tana Toraja. Indonesia 31 (April): 89-112.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar