Oleh
Christine Boulan-Smit
A. Kata Pengantar
Artikel yang kami terjemahkan ini adalah kajian dari seorang sarjana Australia bernama Marie Christen Boulan-Smit. Pada tahun 1991 – 1992, ia melakukan penelitian lapangan di Seram Barat demi kepentingan penulisan thesisnya yang berjudul We, of the Banyan Tree : Traditions of Origin of the Alune of West Seram, yang dipertahankan di The Australian Nation University pada Mei tahun 1998.
Artikel ini sendiri berjudul Traditional Territorial Categories and Constituent Institutions in West Seram : The Nili Ela of Wele Telu Batai and the Alune Hena of Ma’saman Uwei. Artikel ini bersama dengan artikel-artikel kajian lainnya seperti milik Philip Winn (tentang Banda), Barbara Dix Grimmes (tentang Buru), James J. Fox (tentang Timor) dan lain-lain, yang kemudian di editori oleh Thomas Reuter dalam bukunya Sharing the Earth, Dividing the Land : Land and Territory in the Austronesian World, yang diterbitkan oleh Australian National University (ANU) Press, pada tahun 2006. Artikel milik Boulan Smit ada pada bab (chapter) 7, pada halaman 157 – 177.
Selama ini kita hanya mengetahui secara “samar-samar” tentang 3 batang air yang “melegenda” itu, yaitu Tala, Eti dan Sapalewa. Kita juga mengetahui bahwa pertemuan oleh “dewan” negeri-negeri yang terletak di 3 wilayah sungai itu sering disebut sebagai Saniri 3 batang air. Namun, menurut Boulan Smit, nama “sebenarnya” berdasarkan bahasa asli adalah Wele Telu Batai.
Memahami bahwa artikel sepanjang 21 halaman ini cukup bermanfaat untuk dibaca dan dipahami, maka kami menerjemahkan artikel ini. Artikel ini terdiri dari 17 halaman kajian, 56 catatan kaki, 1 peta, 2 gambar, 4 halaman berisikan referensi dan catatan kaki. Perlu kami tambahkan, beberapa gambar ilustrasi kami masukan demi kepentingan artikel hasil terjemahan ini, dan membaginya menjadi 2 bagian, juga catatan tambahan jika kami merasa perlu.
Akhir kata, selamat membaca... semoga kita semakin memahami sejarah para leluhur yang “membentuk” kita di masa kini.
Sungai Sapalaewa (1920) |
B. Terjemahan : Kutu Busu
Pengantar
Seram, pulau terbesar di Maluku, terletak hanya beberapa jam dengan kapal dari Ambon, ibukota wilayah itu. Menurut tradisi, Seram disebut sebagai Nusa Ina, “ Pulau Ibu”. Narasi [suku] Alune, yang dikumpulkan oleh A.D.E. Jansen, menyatakan bahwa pada suatu zaman dulu di Seram, pulau Ambon dan kepulauan Uliase (Saparua, Haruku, dan Nusalaut) masih menjadi satu pulau, dimana peperangan selalu terjadi. Begitu, orang Ambon memotong sebidang tanah yang luas, mengikatnya dengan rambut manusia dan menyeretnya ke tempat yang sekarang ini berada. Kemudian, orang-orang dari Saparua, Haruku dan Nusalaut melakukan hal yang sama, dan mereka telah berpisah dari pulau induk mereka semenjak saat itu. Namun, semua tahu bahwa pada suatu waktu, mereka adalah bagian dari Seram, dan inilah mengapa mereka menyebut Seram adalah Nusa Ina, dan mengapa angota-anggota yang sama dari kelompok yang asli tersebar di seluruh pulau-pulau ini1.
Seram sekarang secara administratif dibagi menjadi 3 wilayah : Barat, Tengah dan Seram Timur. Makalah ini berfokus pada wilayah barat Seram, yang disebut “Wele Telu”, atau “3 sungai besar”, dan mencakup sekitar 1/5 dari pulau itu (sekitar 35.000 km2). Kajian ini bagaimana orang-orang Seram bagian barat secara tradisional membayangkan “memahami” wilayah mereka di tingkat regional dan kewenangan. Bagian pertama dari makalah ini membahas pembagian kategoris dari lembaga-lembaga kuno antar wewenang, yaitu Nili Ela (atau Saniri Ela, “Large Asembly) di “Wele Telu Batai” ( 3 lembah sungai besar), yang di masa kini merupakan sebagian besar adalah fitur masa lalu. Perkumpulan (league/liga2) kuno ini, menghubungkan kewenangan dataran tinggi “wilayah Wele Telu dan sekutu-sekutu pesisirnya atau “para penguasa”. Melonggarnya hal ini dan jaringan aliansi politik dan ritual yang berubah, nampaknya telah terjadi paling jauh sejak abad ke-14. Lembaga Nili dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1914, tetapi masih beroperasi secara informal dan rahasia, setidaknya sampai pertengahan abad ke-203.
Lembah dataran tinggi Seram bagian barat dihuni oleh 2 kelompok yang terkait dengan linguistik, Wemale di bagian timur dan Alune di bagian barat. Negeri atau desa modern mereka biasanya sesuai dengan unti atau wilayah tradisional mereka sebelumnya. Bagian kedua dari makalah ini berfokus pada domain tradisional [suku] Alune atau Hena. Makalah ini mengkaji bagaimana Hena Masaman Uwei (oleh Metatesisnya, Manusa Manuwe), suatu domain tinggi semi-otonom yang sebelumnya merupakan bagian dari “Wele Telu Batai” memahami diri mereka sendiri pada awal tahun 1990an, dan bagaimana kategori tertentu atau kelompok-kelompok masyarakat diberi hak dan tanggung jawab untuk pembagian tertentu dari wilayahnya.
Latar Belakang
Karena reputasinya yang tidak dapat diakses, Seram selama berabad-abad menjadi tempat perlindungan dari sejumlah besar komunitas pembajak, pembangkang dan kelompok separatis dari pulau-pulau tetangga yang membawa pengetahuan dan barang baru4. Para pedagang dan kaum migran dari Sulawesi dan Jawa juga menetap di sepanjang pantai. Di paruh kedua abad ke-20, mereka digabungkan dengan komunitas transmigran yang cukup besar dan memukimkan keluarga-keluarga mereka.
Pada 1990-an, sebagain besar penduduk terkonsentrasi di bukit-bukit rendah dan di sepanjang pantai, tetapi beberapa desa masih terletak di dataran tinggi, wilayah tradisional mereka5. Tren “modernitas” mempromosikan ideologi keseragaman, tetapi populasi [orang-orang] gunung dan pesisir hidup berbeda lingkungan dan memiliki model nafkah hidup, organisasi sosial dan nilai-nilai budaya yang berbeda. Kelompok [orang] gunung pada dasarnya adalah petani di hutan yang berburu dan mengumpulkan hasil hutan untuk memenuhi makanan mereka, atau untuk berdagang di pesisir. Populasi yang beragam terbentuk di sepanjang pantai dan di bukit-bukit rendah, yang terlibat dalam pertanian menetap, perikanan, perdagangan, industri kayu lapis, yang dimiliki oleh pos-pos militer atau administrasi yang cukup banyak yang didirikan di sana. Dengan masuknya [kaum] migran, populasi pesisir, mayoritasnya adalah Muslim dengan diselingi pemukiman Kristen . Populasi dataran tinggi, dikonversi oleh Misi Protestan Belanda-Ambon pada awal abad ke-20, dimana semuanya terdaftar sebagai orang Kristen. Dalam masa-masa damai, banyak penduduk dataran tinggi menuju ke wilayah pesisir, dimana pendidikan, perawatan kesehatan, pekerjaan dan perdangan berada.
Sejarah Seram sulit ditelusuri. Meskipun secara geografis, merupakan pusat Maluku dan pulau terbesar di kepulauannya, Seram sendiri hanyalah berada pada posisi pinggiran dalam sejarah resmi wilayah tersebut. Kelompok-kelompok yang tinggal di pedalaman, jarang dapat melacak sejarah mereka sendiri kembali lebih dari 100 tahun. Di masa pra-kolonial, Seram bagian barat adalah daerah berpenduduk jarang, terletak di pinggiran operasi perdagangan berskala besar yang dikendalikan oleh kesultanan-kesultanan di Maluku bagian utara. Setidaknya sejak abad ke-14, kesultanan Ternate, Bacan, dan Tidore membentuk aliasai dengan kelompok-kelompok pesisir di utara dan selatan. Seram bagian barat, merupakan tempat perhentian di sepanjang rute perdagangan, penghasil sejumlah kecil cengkih (terutama di semenanjung Hoamoal) dan pengekspor sagu. Di paruh pertama abad ke-17, [negeri] Luhu, wilayah vassal Tidore di Hoamoal, menjadi pusat utama perdagangan dan penghasil cengkih6. Namun, tidak ada wilayah di Seram, yang bisa menjadi wilayah berpengaruh yang cukup untuk menjadi pusat politik yang menonjol di Maluku.
Antara abad ke-17 hingga ke-19, intervensi dari VOC dan reorganisasi dilaksanakan oleh administrasi kolonial semakin mengubah situasi di pesisir Seram. Sementara itu, dataran tinggi bagian barat yang lebih terisolasi mempertahankan sebagian besar wilayah mereka dan otonomi politik hingga akhir abad ke-19. Laporan-laporan awal menggambarkan domain independen kecil ini dengan aliansi yang longgar dan berubah. Pesisir dan komunitas gunung diketahui berdagang dan menikah, tetapi secara umum, ketegangan, permusuhan dan peperangan dilaporkan terjadi di antara mereka. Memang secara tradisi lisan [suku] Alune dan Wemale yang masih menempati dataran tinggi bagian barat, mengatakan banyak gerakan penduduk mencari tanah di pegunungan, seperti di pantai atau bermigrasi karena perselisihan, penyakit atau peperangan. Misalnya, masalah negara yang membenarkan kampanye intensif “pasifikasi” ala militer dan konfigurasi ulang administrasi dataran tinggi yang terjadi pada awal abad ke-20, dan berlanjut selama era pasca kolonial.
Sebagi hasil dari asimilasi ini di dalam kolonial dan kemudian administrasi nasional, wilayah tersebut telah, selama 100 terakhir, menjadi sasaran perubahan yang kejam dan tidak menentu. Selama 4 atau 5 generasi terakhir, masyarakat pribumi telah terlibat dalam peperangan, aksi-aksi gerilya dan pendudukan militer, dan takluk pada “modernisasi” dan kebijakan relokasi. Merekaa juga dihadapkan pada penghancuran hutan yang intens di lingkungan mereka dan gelombang besar transmigran. Sejak tahun 1999, lebih banyak komunitas, tua dan baru, telah dipindahkan atau dibagi-bagi7.
Wele Telu Batai
Wele Telu Batai memperoleh namanya dari sistem-sistem 3 sungai besar yang melingkupinya8. 3 sungai ini mengalir dari Ulateina (ulate: “gunung”; ina: “ibu”), sebuah daerah aliran sungai (DAS) pegunungan tengah yang membagi 2 dataran tinggi sepanjang poros barat – timur. Sungai Eti mengalir ke barat jauh dari daerah pusat ini ke laut, sungai Tala mengalir ke selatan dan sungai Sapalewa mengikuti setengah pembagian itu dari jalurnya sebelum mengalir ke utara (lihat peta 1).
Batas-batas timur secara tradisional dari Wele Telu Batai berhubungan dengan pembagian kuno pulau tersebut ke dalam Patasiwa, “kelompok sembilan” di Seram Barat, dan Patalima, “kelompok lima” di sebelah timurnya. Batas ini dipertahankan sebagai sub divisi administrasi kolonial (onderafdeeling) untuk Seram Barat sampai abad ke-209. Populasi dataran tinggi Seram Barat adalah Siwa Hitam (Patasiwa Hitam), yang diinisiasi dalam persaudaraan laki-laki Kakehan, yang sebagian besar berkaitan dengan laki-laki dewasa10. Para pemukim pantai adalah Siwa Putih (Patasiwa Putih).
[suku] Wemale dan Alune yang menempati dataran tinggi Wele Telu dihubungkan dengan lembah-lembah sungai mereka, dan kepada orang-orang yang menghuninya sebagai batai. Saat ini, 3 kecamatan administratif, kecamatan Seram Barat, Kairatu dan Taniwel, terkait erat dengan pembagian politik tradisional dalam 3 batai ini, masing-masing mengelompokan kembali wilayah pegunungan dan pesisir pemukiman lembah sungai11. Di dataran tinggi, sebagian besar negeri/desa modern berhubungan dengan bekas unit wilayah tradisional atau domainnya, hena, dimana beberapa di antaranya memiliki ritual dan/atau kewajiban-kewajiban politik di batai lembah mereka12.
Hingga awal abad ke-20, peperangan berskala kecil dan pengayauan sering terjadi di pegunungan dan di pantai, dan semua orang hidup dengan saling curigaan. Pertukaran itu sangat vital dan aliansi, bahkan yang bersifat sementara, sangat diperlukan13. Selanjutnya, gagasan tentang asal usul yang sama dikaitkan dengan titik sentral pusat gunung dan pohon beringin kosmis suci, Nunusaku, yang sebagian besar tersebar di seluruh Seram Barat, bahkan di antara pendatang baru di pesisir. Di pusat tradisi Maluku ini, Seram adalah Nusa Ina, “Mother Island” dan Nunusaku, pohon beringin raksasa dan tak terlihat, berada di Ulate Ina, “ibu gunung” Seram Barat, yang merupakan tempat tinggal pertama umat manusia, dan menjadi pusat simbolis dari wilayah itu14. Cabang-cabangnya menjulur ke langit (Lanite) dan akar-akarnya tertancap ke bumi (Tapele), Nunusaku juga merupakan sumber dari 3 sungai, yang memberikan nama pada area tersebut. Beringin kosmis disebutkan memperpanjang batang sungai (batai) atas wilayah tersebut, mencakup semua orang di wilayah tersebut15.
Nunusaku sama ite Nanusaku telah membagi-bagi kita
Sama ite Wele Telu Membagi kita ke 3 sungai
Pertemuan para tetua secara berkala disebut Nili. Dewan-dewan ini memfasilitasi hubungan dalam masyarakat yang heterogen ini. Institusi luas ini mengumpulkan para tetua unit kecil dan besar, di tingkat domain (nili hena: “dewan domain”), lembah-lembah sungai (nili ela: “dewan besar”) dan wilayah (Nili Wele Telu Batai :”Dewan 3 sungai besar”)16. Meski masing-masing unit kecil tetap sangat independen, dewan ini mempertahankan beberapa komunikasi dan koordinasi antara beberapa kelompok pesisir dan dataran tinggi. Masalah-masalah kepentingan dan prioritas wilayah diselesaikan pada wilayah legislatif dan tingkat peradilan dan kemudian didaftarkan dalam tradisi lisan. Demikian narasinya asal usul Hena Masaman Uwei menyebutkan beragam nili ela dan mendasarkan beberapa klaimnya atas keputusan yang diambil oleh dewan ini.
Organisasi Nili Ela
Nili yang lebih besar diadakan di wilayah-wilayah utama pesisir, bergantian di antara ke-3 sungai. Beberapa hewan dikorbankan dan bangunan didirikan untuk para tamu, karena perdebatan terkadang berlangsung berminggu-minggu17. Pohon-pohon di hutan ditebang untuk tetua nili batai duduk untuk berunding secara ritual. Batang-batang pohon tersebut dibawa dalam prosesi oleh para peserta dan secara seremonial diletakan di tanah. Para perwakilan duduk dari bagian pangkal ke bagian ujuang menurut senioritas jabatan mereka. Pertemuan dimulai dengan Tapea18, suatu salam yang disampaikan oleh “juru bicara”. Nyanyian salam ini menetapkan urutan prioritas yang diterapkan untuk pertemuan khusus. Setelah menyebut Tapele ai lanite, “Langit dan Bumi”, sebagai saksi, juru bicara menyambut perwakilan dari masing-masing sungai, menyanyikan nama lengkap setiap domain, posisinya dalam organisasi dan jabatannya. Para pejabat tinggi dari domain pesisir disambut pertama, diikuti oleh daerah daerah hulu pesisir dan dataran tinggi dari sungai yang sama. Prosedur yang sama (dari pesisir ke gunung) diulangi untuk setiap batai setiap sungai.
Nili Ela merupakan dewan utama dimana konflik antar domain dibawa untuk penyelesaian. Hal-hal seperti sengketa tanah atau perselisihan antar domain serta klaim kompensasi yang sesuai dibahas panjang lebar. Pihak-pihak yang berkonflik dibantu atau ditekan untuk mencapai kesepakatan, yaitu disaksikan oleh perwakilan seluruh wilayah. Nili dari satu sungai merupakan titik konvergensi bagi kelompok dataran tinggi dan pesisir untuk bertemu, berinteraksi dan berdebat. Kelompok inti melakukan arbitrase atas pertemuan-pertemuan besar di wilayah pesisir, yang berkontribusi untuk melestarikan beberapa kohesi regional. Nili menyediakan arena dimana orang-orang bijak dan terhormat dapat menilai kembali prioritas domain mereka dan prestise mereka sendiri.
Shaman/Mauweng (Anakota) Alifuru (1892) |
Pada awal abad ke-20, model yang sama (mungkin telah dimodifikasi selama berabad-abad) direplikasi secara kasar di masing-masing dari batai ketiga sungai. Kelompok inti dari nili ela terdiri dari 7 posisi utama per batai sungai. Setiap posisi dipegang oleh domain tertentu dan diwakili oleh pemimpinnya. Pejabat tinggi [bisa] berubah (gelar umumnya bersifat turun temurun) tetapi posisinya tetap di domain yang sama, yang telah menerima fungsi itu di zaman para leluhur19. Suatu domain bisa memiliki 2 posisi, atau 2 domain bisa memiliki 1 posisi bersama.
Ke-7 posisi tersebut adalah sebagai berikut :
1 dan 2. Inama atau Inama Latu (“Lord Mother Father”) adalah posisi yang paling tinggi20. Di setiap batai sungai, posisi ini dipegang bersama oleh wilayah-wilayah pemukiman di pesisir, yang juga sebagai vassal resmi Ternate, dan oleh pemukiman-pemukiman di bukit rendah, dianggap mewakili domain-domaian dataran tinggi : sebagai contoh, Lisabata (pesisir) dan Nuniali (gunung) di batai sungai Sapalewa atau Piru (pesisir) dan Eti (gunung) di batai sungai Eti.
3. Tugas Sarimetene (“pedang/parang hitam” “Black Machette”) adalah untuk menghadirikan kasus-kasus yang diarbitrasi oleh Dewan. Di setiap sungai, posisi ini dipegang oleh perwkilan dari domain yang bertanggung jawab atas tugas itu.
4. Jabatan Anakota, pelaksana keputusan atau sanksi-sanksi dari Dewan di tiap wilayah, [jabatan ini] diisi/dipegang oleh pejabat tinggi dari 1 atau 2 domain per sungai, yang disebut Anakota Mawena21.
5. Domain-domain pesisir ditetapkan di [suku] Alune sebagai Inama Sariwei (Sari, Sali atau Sael Uwei : “dasar/pegangan pedang/parang”) memegang posisi hakim tinggi. [suku] Wemale menggunakan metafora tiang dan bendera untuk merujuk pada posisi yang sama : Bander Ehuwei (“tiang bendera”)22. Pejabat-pejabat tinggi [wilayah] pesisir ini duduk di pangkal pohon yang ditebang yang digunakan sebagai kursi oleh dewan arbitrase.
6. Jabatan Inama Saribubui (Sali atau Sael Bubui : “ujung, mata parang”) dipegang oleh domain-domain dataran tinggi23. Perwakilan mereka duduk (dalam posisi junior) di ujung batang pohon yang ditebang. Dataran tinggi Inama Saribubui adalah arbitrer pendamping Inama Sariwei [dari] pesisir. Yang pertama (Inama Sariwei) adalah “pegangan” parang dan yang kedua (Inama Saribubui) adalah “ujung” parang, yang merupakan simbol arbitrase.
7. Domain-domain yang memegang posisi Kapitan bertanggungjawab untuk memanggil anggota-anggota batai sungai mereka untuk melakukan pertemuan, dan perwakilan mereka adalah utusan yang bertanggung jawab atas tugas itu. Peran penerjemah dan juru bicara (alamanane) juga merupakan bagian dari tugas itu24.
Sebagian besar tetapi tidak semua domain termasuk dalam aliansi ini25. Saat disambut dan duduk di depan seluruh majelis, domain-domain diposisikan di batai mereka dalam urutan dari pantai ke gunung. “Nili dari satu batai membentuk sebuah pohon”, [demikian] dijelaskan oleh seorang tetua [wilayah] pegunungan. “Hal itu mengumpulkan domain-domain sungai dari 1 lembah seperti masyarakat dan tanah dari sebuah pohon yang “terbaring”. Pohon ini terletak dengan “dasarnya” (uwei), “inti” pohon, yang berpusat di pesisir, cabang-cabangnya (sanai) dan ujungnya (bubui) memperluas wilayah dan mencakup domain-domain pesisir dan dataran tinggi dari organisasi itu. Gambar 1, misalnya, menggambarkan pola yang seperti pohon dari aliansi Nili Sapalewa Batai, [pada] sekitar tahun 1903.
Di setiap batai, perwakilan dari wilayah-wilayah pesisir Muslim yang kuat dan rekan dari dataran tingginya, memegang posisi senior (Inama Latu). Dianggap sebagai perempaun dan laki-laki (ina ama, “ibu (dan) ayah”), posisi ganda ini pemberian tertinggi yang diutamakan sebagai Niliwei, “pusat”, “dasar”, “sumber kontinuitas” dari nili. Posisi/tugas lain dibagi antara wilayah pesisir dan dataran tinggi. Senioritas diberikan pada domain yang lebih besar dan lebih kuat, posisi duduk dari pejabat tinggi ini mencerminkan prioritas ini. orang-orang yang paling dihormati dari wilayah-wilayah, dan pohon-pohon yang terbaring dimana mereka duduk, secara bersama-sama melambangkan batai sebagai entitas politik.
Perkumpulan batai 3 sungai melakukan pertemuan di tingkat regional. Namun, ia tidak memiliki otoritas terpusat yang kuat dan tidak terikat oleh satu perjanjian pun. Domain-domain disatukan oleh afiliasi mereka dalam organisasi politis para tetua dan perwakilan , nili, dan dalam persaudaraan para lelaki, kakehan26. Yang pertama (nili) menyediakan forum untuk arbitrasi (mengadili); yang kedua (kakehan) menyatukan mereka dalam ritual persaudaraan27.
Di setiap batai sungai, domain-domain berpusat pada “pusat” pesisir, niliwei mereka. Ini juga menempatkan mereka dalam urutan prioritas yang diorientasikan dari pesisir ke gunung, dari pusat/pangkalan (uwei0, ke cabang-cabang (sanai) dan ujung (bubui), dan dari yang lebih tua/pertama (a mena) ke yang lebih muda/berikutnya (a muli)28. Namun, dalam ritual masalah-masalah kakehan, “aturan” ini terbalik. Domain-domain dataran tinggi adalah Patasiwa Hitam dan dianggap sebagai yang lebih tua (a mena), dan wilayah-wilayah pesisir adalah yang lebih muda, [yaitu] Patasiwa Putih, yang berikutnya (a muli).
Pada akhir abad ke-19, kebutuhan untuk melepaskan perdagangan rempah-rempah yang tidak lagi menguntungkan, memunculkan kebijakan baru kolonial di Maluku Tengah. Tujuan pertama Belanda adalah mencapai kontrol penuh adminitrasi wilayah, dan yang kedua untuk mengevaluasi potensi ekonominya dan “pasifikasi” mereka menjadi prioritasnya29. Administratur sipil, militer dan agama kolonial pada awal abad ke-20, mengaitkan pengayauan (potong kepala) dan perlawanan terhadap kolonial di Seram Barat kepada kakehan dan nili ela, yang mana hampir semua wilayah pesisir dan gunung [menjadi] anggotanya. Pada tahun 1914, setelah semua upaya untuk mengubah organisasi-organisasi menjadi instrumen adminitratid birokrasi kolonial menjadi gagal, kakehan dilarang, dan nili ela secara resmi dihapuskan serta dewan mereka dilarang30. Pemimpin-pemimpin tradisional dari organisasi politik dan keagamaan yang menjadi penghambat bagi kontrol wilayah kolonial, dipertobatkan atau diusir; mereka yang menolak, kemudian ditangkap atau diasingkan dan digantikan oleh calon yang disetujui. Pertemuan-pertemuan berskala kecil tetap dilakukan secara diam-diam di dataran tinggi sampai tahun 1950-an, tetapi pembagian sub distrik secara modern, “menghancurkan Wele Telu, selanjutnya menyebar ke semua kesatuan batai.
===== bersambung =====
Catatan Kaki
1. Jensen (1938: no 73.126; ringkasan terjemahan).
2. League : (Latin : Ligae : ikatan) adalah suatu asosiasi bangsa atau entitas politik lainnya untuk tujuan bersama; asosiasi orang atau kelompok yang disatukan oleh kepentingan atau tujuan bersama; aliansi informal (Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary, 1991).
3. Pada tahun 1990, para tetua mengingat bahwa pertemuan-pertemuan diadakan secara rahasia di hutan jika terjadi masalah-masalah penting antar domain, seperti perang atau sengketa tanah yang harus diadili/diselesaikan.
4. Beberapa masuk sampai jauh ke pedalaman. Jadi, Tauern (1918: 29-30) mengaitkan orang Halmahera sebagai asal usul [suku] Alune, suatu kelompok dataran tinggi Seram Barat yang juga dikaitkan dengan pengenalan alat-alat tenun dan pengetahuan tentang tenunan serat.
5. Makalah ini didasarkan pada beberapa kunjungan lapangan yang dilakukan di daerah tersebut pada tahun 1983, 1985 dan 1991-1992.
6. Luhu, sebuah pemukiman besar di pesisir, yang selalu dirujuk sebagai kota, “town”.
7. Kekerasan antar-komunal yang mengguncang Maluku antara tahun 1999 dan 2003, menghancurkan puluhan komunitas, menewaskan sekitar 15.000 orang, dan membuat lebih dari setengah juta orang sebagai pengungsi. Dalam prosesnya, tanah-tanah komunal dan individu sering disesuaikan dan didistribusikan. Orang-orang perlahan kembali membangun komunitas mereka yang hancur, tetapi seperti yang disaksikan dalam sejarah daerah tersebut, masalah tanah yang belum terselesaikan bisa menjadi hambatan yang signifikan untuk mempertahankan perdamaian abadi.
8. Nama tradisionalnya yang di Seram Barat adalah Wele Telu Batai, 3 batang sungai besar : Wae’we, kwae, kwe berarti sungai; le, ela : besar; telu : tiga; dan batai adalah pengelompokan untuk objek-objek berbentuk lonjong besar seperti batang atau batang pohon yang ditebang. Batai juga digunakan untuk merujuk ke lembah sungai atau pegunungan dan kepada orang-orang yang menghuninya. Wele Telu Batai memang berdekatan namun tidak mencakup semenanjung paling barat dari Hoamoal.
9. Onderafdeeling ini dibatasi oleh sungai Makina di utara dan sungai Mala di selatan.
10. Kakehan, sesuatu yang kita tahu sangat sedikit, meskipun banyak telah ditulis, digambarkan sebagai sebuah perkumpulan rahasia laki-laki yang bertindak sebagai asosiasi regional besar dari kelompok inisiasi laki-laki. Perkumpulan ini ditandai dengan praktik inisiasi, peralatan rahasia, pengasingan ritual anak laki-laki di rumah suci, peperangan dan pembunuhan ritual (pengayauan).
11. 3 ibukota pesisirnya adalah Piru, beberapa kilometer di utara mulut sungai Eti, Kairatu di barat daya sungai Tala, dan Taniwel di sebelah timur sungai Sapalewa.
12. Domain dapat disebut kota, inama atau anakota sehubungan dengan posisi mereka dalam batai mereka.
13. Orang-orang dataran tinggi bergantung pada [wilayah] pesisir untuk mendapatkan barang-barang sepeti garam, senjata, atau benda pusaka; pemukim pantai memperdagangkan barang-barang ini untuk memperoleh hasil hutan dan pelayanan.
14. Nama Seram (“menakutkan”) memunculkan kesan gelai, misterius dan sumber kehidupan yang kuat.
15. Menurut M.Sijauta S.J.M., seorang Ambon tetua Alune terkemuka pada tahun 1983, Ulate Ina, disebutkan sebagai “Ibu Gunung, ibu dari sumua Uli”.
16. Dalam bahasa Ambon, disebut sebagai Saniri Besar atau Saniri Hutu. Dalam bahasa Alune, menggunakan kata kerja, kata nili berarti “menggabungkan” atau “untuk membangkitkan”. Menggabungkan orang dan gagasan serta menggerakan mereka ke dalam tindakan adalah tujuan nili.
17. Pegawai-pegawai dan administartur kolonial awal menganggap nili ela (atau nili batai) ini sebagai pemborosan sumber daya dan pertemuan politik yang berpotensi membahayakan.
18. Tapele : tanah, bumi, berbeda dengan Lanite : langit, surga
19. Orang-orang percaya pada suatu bentuk metempsikosi dalam garis keluarga. Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa fungsinya juga bisa dianggap seperti bersama dengan figur yang “sama”.
20. Mengikuti rekonstruksi Blust (1980: 217), kata Proto-Malayo-Polinesia, yaitu kata datu menawarkan 4 kemungkinan komponen : 1). Pemimpin politik, kepala; 2) imam atau pendeta; 3) aristokrat, bangsawan; dan 4) leluhur, kakek, tetua. Menurut Belwood (1996: 19), datu mungkin merupakan garis silsilah (atau klan) seperti pejabat. Secara tradisional di Seram, gelar Latu berkaitan dengan posisi kepemimpinan daripada tugas tertentu. Penguasa tanah, penguasa, imam besar, atau prajurit, semuanya bisa dihormati dengan gelar Latu.
21. Para penulis biasanya menerjemahkan Mauwen atau Mawene Anakota (“pemimpin kapal”) sebagai “Imam/Pendeta tinggi” karena Mawena juga merupakan pejabat penting kakehan. Memang, persaudaraan itu juga memastikan bahwa hukum adat diterapkan di antara para anggotanya.
22. Dalam bahasa Indonesia : Pohon Bendera
23. [bahasa] Wemale : Bandera Erui : “Ujung Bandera”; bahasa Indonesia : ujung bendera. “Gambaran [dari tiang dan bendera, alas dan ujung] menyiratkan paradigma objek yang berdiri tegak di tempat dan menjulang ke atas langit. Seperti axis mundi pada gunung kosmik, pohon dunia, dan rumah asal, penyatuan dari tiang dan bendera mengekspresikan perbedaan hierarkis antara orang menanam, memegang dan mengganti fondasi struktur serta orang yang menjaganya tetap berdiri dan tegak” (E.G Traube, 1980: 57).
24. Gelar Kapitan menyiratkan seorang pemimpin perang (kapitan perang). Pertama kali diberikan oleh “ABK” kapal Portugis yang mengunjungi kawasan itu kepada para juru bicara, yang dengan mereka itu, “ABK” kapal Portugis melakukan kontak, dan yang tampaknya memimpin kelompok mereka saat bertemu. Kapitan (gelar yang digunakan dalam berbagai bahasa lokal) adalah pejabat tinggi yang bertanggung jawab atas hubungan domain mereka dengan [dunia] luar. Melalui eksistensi, utusan nili menerima gelar kapitan. Dataran tinggi kuno [suku] Alune menamai untuk fungsi yang sama adalah Alamanane. Alamanana berarti “melagukan”, alamanane “nyanyian ritual”, dan alamanane atau ma’a alamanane adalah “orang yang tugasnya adalah menyanyikan”, yang merupakan tugas lain dari kapitan atau alamanane.
25. Dengan demikian, domain-domaian Wemale yaitu Abio Batai, Walokone dan Waraloin di Uli atas dan wilayah Sapalewa tampaknya tidak disebutkan di manapun sehubungan dengan Nili Wele Telu Batai. Aliansi lain juga dibentik di dalam atau di luar nili. Misalnya, domain Rumasoal dan Riring. Sarimatene dan Anakotta dari batai sungai Sapalewa, juga merupakan bagian dari aliansi “sendiri” yang disebut Nili Kwele Batai (Majelis/Dewan Sungai Besar) dengan 3 domaian dataran tinggi lainnya di hulu sungai Eti (Niniari, Murikai dan Lumoli). Koalisi ini memliki perwakilannya sendiri di majelis regional (Nili Wele Telu Batai). Sebagai asosiasi dataran tinggi pribumi, koalisi ini diimbangi pengaruh wilayah pesisir Muslim yang kaya dan kuat di Kaibobo (Eti) dan Lisabata (Sapalewa), keduanya bekas vasal dari perwakilan kesultanan Ternate yaitu Luhu (Huamoal). Nili Kwele Batai kemudian memainkan peran penting dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda di dataran tinggi.
26. Anggota otoritatif kakehan adalah tetua-tetua terkemuka di nili. Di seluruh wilayah, kelompok dan sekutu mereka menerima satu sama lain di rumah sakral, yang dibangun semi permanen jauh di dalam hutan, untuk melakukan ritual leluhur, kewajiban-kewajiban dan untuk merayakan serta berdebat politik lokal.
27. Pada tahun 1914-1916, perkumpulan telah mencapai cukup kohesi untuk menyebarkan pemberontakan dari domain ke domain di sepanjang setiap lembah sungai, dalam upaya terakhir untuk melawan penjajahan.
28. Mena berarti “pertama”, “utama”, “awal”, “di depan” atau” sebelum”, berlawanan kata dengan muli yang berarti “setelah”, “di belakang”, “terakhir”. Perbedaan antara “pangkal/pusat” dan “ujung” atau “cabang” dan di antara keduanya yaitu “ di depan” dan yang “di belakang” digunakan untuk membangun kategori relasional asimetris rekursif yang menandai sebelumnya (lihat Fox, 1994, 1995).
29. Pacificacie : penindasan militer yang kejam terhadap segala bentuk pemberontakan (termasuk dengan cara damai) terhadap kekuasaan kolonial.
30. Kakehan dan Nili Ela tidak diragukan lagi memang terkait, jika hanya karena para tetua dan pemimpin politik terkemuka berkumpul di kedua lembaga ini. Namun, kakehan adalah aturan agama adat, “tradisi agama”, yang sekarang menghilang, sementara apa yang masih tersisa dari nili (pada skala desa/negeri) masih berkaitan dengan adat-adat pemerintahan, sebuah “administrasi tradisional”, yang dianggap oleh pemerintah kolonial dan pemerintahan Indonesia masa orde baru sebagai sisa-sisa yang tak berguna dari masa lalu yang harus dihilangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar