Oleh
Peter V. Lape
Prof. Peter. V. Lape |
A. Kata Pengantar
Melalui artikel ini, Profesor Peter. V. Lape, arkeolog Amerika asal University of Washington, Seattle, USA, membuka dan menyajikan penggabungan bukti-bukti arkeologis yang merupakan kepakarannya dengan sumber-sumber tertulis Eropa dan lisan Lokal, yang mendeskripsikan keadaan masyarakat Kepulauan Banda pada periode pra-kolonial, yaitu sebelum tahun 1512. Haruslah diakui, bahwa kita tidak mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat Maluku, khususnya Banda pada periode itu, bahkan sang penulis sendiri mengakui hal demikian. Hal ini disebabkan karena dokumen-dokumen tertulis tentang sejarah kehidupan masyarakat itu, barulah diproduksi oleh kaum Eropa.
Dengan bukti-bukti arkeologis, Lape mengurai kehidupan masyarakat Banda, sekaligus “mempertanyakan kembali” sumber-sumber tertulis, misalnya mengenai kapan proses Islamisasi terjadi..?. Bukti-bukti arkeologis secara meyakinkan “membantah” apa yang ditulis oleh Tome Pires misalnya, yang menulis pada tahun 1512 bahwa orang Banda telah menjadi Islam 30 tahun sebelumnya, yang berarti sekitar 1470an hingga 1480an, orang Banda telah menjadi Muslim. Bukti-bukti arkeologis menunjukan kehadiran Islam di Banda lebih awal dari laporan-laporan dokumen ini.
Untuk perspektif yang lebih “lokal”, kajian Lape ini sangat penting untuk memahami sejarah Ambon- Lease. Misalnya, Lape menyebut bahwa tembikar Cina di Banda ditemukan di lapisan-lapisan bertarikh/berpenanggalan sekitar 560 dan 770 Masehi, yang berarti sekitar abad ke-6 dan ke-8. Pada sisi lain, diketahui bahwa Kepulauan Banda adalah “pusat” jejaring perdagangan di Indonesia bagian Timur. Gabungan informasi ini, membuat kita harus mempertanyakan ulang, tentang apakah mungkin penyebaran leluhur-leluhur negeri Ambon Lease, terjadi pada sekitar tahun 1400 (abad ke-15)??? Ataukah “harus” lebih awal dari periode yang telah diterima umum ini????.
Artikel memukau dari Peter V Lape ini, berjudul Political Dynamics and Religious change in the late pre-colonial Banda Islands, Eastern Indonesia, dimuat pada Jurnal World Archeology, volume 32, isu 1, tahun 2000, halaman 138 – 155. Jurnal World Archeology volume 32 ini, tampil dengan tema besar Archeology in Southeast Asia. Selain Peter V Lape, ada juga artikel dari arkeolog lain, misalnya Jhon. N. Miksic (Heterogenetic cities in premodern Southeast Asia), F. David Bulbeck dan Bagyo Prasetyo (Two millennia of socio-cultural development in Luwu, South Sulawesi, Indonesia), David Kyle Latinis (The development of subsistence system models for Islands Southeast Asia and Near Ocenia), dan lain-lain.
Menyadari pentingnya artikel ini, maka kami memberanikan menerjemahkan artikel sepanjang 18 halaman ini. Artikel ini terdiri dari 5 catatan kaki, 15 halaman kajian, 3 halaman referensi, dan 6 gambar. Artikel terjemahan yang kami lakukan ini, dibagi menjadi 2 bagian, sehingga mudah untuk diikuti, kami juga menambahkan beberapa catatan tambahan jika dirasa perlu. Akhir kata, selamat membaca.... semoga pengetahuan sejarah kita semakin luas dan berkembang.
Peta 1 (Kepulauan Banda) |
B. Terjemahan : Kutu Busu
Abstrak
Survei arkeologi dan penggalian (eksavasi) terbaru, dalam hubungannya
dengan analisis ulang dokumen-dokumen sejarah dan sejarah-sejarah lisan,
mengungkap bukti baru tentang masyarakat Kepulauan Banda zaman pra-kolonial
(abad ke-10 hingga ke-17), yang pernah menjadi satu-satunya sumber pala di
dunia. Data baru ini menantang asumsi historis tentang pemukiman, Islamisasi
dan sifat jaringan perdagangan di Banda [zaman] pra-kolonial. Bukti-bukti ini
juga berimplikasi pada sejarah konflik antara orang Banda dan kaum penjajah,
yang mengakibatkan genosida, perbudakan atau pengusiran paksa penduduk Banda
pada tahun 1620an, dan permulaan era kolonial.
========================
Daratan Asia Tenggara dalam banyak hal merupakan tujuan akhir para penjelajah dan pedagang Eropa selama “zaman penemuan”, dan situs dari beberapa proyek kolonial Eropa yang paling awal. Seperti situs kolonial lainnya di Dunia Baru dan Afrika, dokumen-dokumen sejarah yang berasal dari periode-periode awal kolonialisme di Asia Tenggara banyak ditulis oleh orang Eropa. Asia Tenggara juga merupakan tempat dengan intensitas perdagangan jarak jauh dan interaksi lintas budaya yang belum pernah terjadi sebelumnya selama berabad-abad sebelum kedatangan orang Eropa, tetapi catatan dokumenter pra-kolonial masih terpisah-pisah. Faktor-faktor ini menjadikan wilayah ini tempat yang ideal, meskipun sebagian besar belum dijelajahi, untuk studi arkeologi tentang kontak budaya dan kolonialisme.
Makalah ini menyajikan ringkasan hasil penyelidikan arkeologi dan sejarah tentang kontak budaya di Kepulauan Banda yang sekarang menjadi bagian dari Provinsi Maluku di Indonesia Timur. Kesebelas pulau vulkanik kecil ini pernah menjadi satu-satunya sumber pala dan bunga pala di dunia, “ wangi emas” yang kemudian membantu mendanai kekayaan Belanda pada abad ke-17. Meskipun secara historis penting sebagai pijakan pertama dari apa yang menjadi kekaisaran Belanda di Hindia Timur, kita hanya tahu sedikit tentang lintasan sejarah Banda, sampai Banda “bersentuhan” dengan ekspansi kaum Eropa pada tahun 1512 Masehi, ketika kapal pertama Portugis berlabuh di bawah gunung berapi, Gunung Api yang berasap. Sejarah itu menjadi sangat tegas pada bulan April tahun 1621. Selama beberapa bulan, kekuatan VOC, dibantu dengan tentara bayaran asal Jepang, membantai, memperbudak serta mengusir sekitar 90 % populasi banda, dan kepulauan tersebut kemudian dikuasai, dihuni kembali oleh pengusaha perkebunan dan budak Asia mereka (Hanna 1978; Loth 1995a, 1995b, 1998).
Tujuan penelitian saya adalah untuk mendeskripsikan perkembangan sosial dan politik orang Banda [zaman] pra-kolonial, dengan fokus pada periode dari abad ke-10 hingga ke-17. Bekerja dengan relatif sedikit dokumen sejarah yang tersedia (berasal dari tahun 1512 hingga penaklukan tahun 1621), beberapa sejarahwan telah menyajikan gambaran masyarakat Banda pra-penaklukan sebagai masyarakat yang homogen dan statis secara budaya (Hanna 1978; Masselman 1963). Bukti arkeologis menunjukan cerita yang berbeda tentang masyarakat Banda sebagai masyarakat yang dinamis dalam zona kontak budaya yang ditandai dengan kategori sosial yang bergeser dan lintas sektoral. Disini saya menggunakan data arkeologi yang dikombinasikan dengan dokumen sejarah, termasuk sumber non-Eropa yang sebelumnya kurang dimanfaatkan, untuk menempatkan proses kontak budaya dan berubah lebih tegas dalam ruang dan waktu secara lokal. Secara khusus, bukti arkeologis menunjukan bahwa masyarakat Banda dipengaruhi oleh kontak awal dengan pedagang-pedagang jarak jauh, dan bahwa proses Islamisasi dimulai lebih awal, tetapi kurang monolitik atau “lengkap” daripada yang disimpulkan oleh para sejarahwan sebelumnya. Selama abad ke-16 hingga awal ke-17, proses Islamisasi itu bersaing dengan faksi-faksi sosial, daripada suatu oposisi terpadu yang menjadi ciri khas pertemuan orang Banda dengan kaum Eropa.
Peta Banda oleh Eridia (1602) (sumber peta Peter V Lape) |
Banda sebelum [kolonisasi] Eropa : Awal Kolonisasi dan Permulaan Kontak
Kepulauan Banda terdiri dari sisa-sisa ledakan besar gunung berapi (Vulkanologi, 1988). Gunung Api, sisa kerucut vulkanik, masih aktif, terakhir meletus pada tahun 1988. Pulau-pulau sebelah dalam Banda Naira, Banda Besar, Pulau Pisang, Pulau Karaka dan Gunung Api adalah bergunung-gunung dan berhutan, dengan tanah vulkanik. Pulau-pulau terluar, Pulau Hatta, Pulau Ay, Pulau Nailakka, Pulau Rhun dan Pulau Manukan adalah batu kapur yang tersembul, dan lebih datar serta kering daripada pulau-pulau sebelah dalam (lihat peta 1)1.
Meskipun kepulauan Banda nampak terisolasi, kepulauan itu telah dikunjungi oleh banyak “pendatang” sejak awal sejarah manusia. Terletak di [garis] Wallacea, wilayah geografis yang terjepit di antara daratan Pleistosen Sunda dan Sahul, Banda tak pernah terhubung oleh jembatan darat ke benua Asia atau Australia, bahkan selama [periode] permukaan laut minimum, dan semua bentuk kehidupan yang ada di wilayah tersebut harus menyeberang laut terbuka untuk mencapai kepulauan itu. Banda berada di dekat salah satu dari beberapa kemungkinan rute migrasi yang digunakan oleh manusia-manusia pertama yang menyeberang dari Asia Tenggara ke Papua [Nuigini] dan Australia antara 40.000 atau 60.000 tahun yang lalu (Spriggs 1998 : 51). Para peneliti telah memperkirakan bukti paling awal keberadaan manusia di pulau-pulau lain di Maluku (di pulau Gebe) setidaknya hingga 32.000 BPa (Bellwood 1997 : 87), dan tanggal (periode) yang lebih awal di harapkan seiring dengan penelitian selanjutnya.
Kemudian, selama apa yang disebut sebagai ekspansi Austronesia, teknologi baru, atau mungkin populasi baru, mencapai Maluku antara 4.500 dan 3.500 BP dari daratan Taiwan. Selama periode ini, wilayah Maluku melihat masuknya hewan-hewan peliharaan seperti babi, gerabag dan rumpun bahasa Austronesia (Bellwood 1997 : 201 – 57, Bellwood et al. 1995; Spriggs 1998). Lapisan-lapisan [yang] mengandung keramik di situs PA1 di pulau Ay (lihat gambar 1 dan 2) bertanggal sekitar 3150 BP, setua tembikar tertua yang ditemukan di Maluku hingga saat ini (Bellwood 1997 : 229), dan terdapat keramik yang mungkin agak lebih tua di lapisan tak bertanggal yang lebih dalam di situs ini.
Meningkatkan komunikasi dengan daratan Asia Tenggara, membawa logam, termasuk genderang logam tipe Dong Son, ke wilayah ini sekitar 2.000 BP (Bellwood 1997 : 268-307; Spriggs dan Miller, 1988). Bellwood (1997) berteori bahwa pedagang-pedagang Asia berpartisipasi dalam perdagangan rempah-rempah yang baru muncul, mungkin telah membawa artefak dan teknologi pengerjaan logam ini ke Maluku. Bukti awal lain adanya kontak antara Maluku dan daratan Asia selama periode ini mencakup referensi tekstual cengkih (di mana pulau-pulau di Maluku bagian utara merupakan satu-satunya sumber) dan kemungkinan penempatan nama-nama Maluku dalam dokumen-dokumen Cina [dinasti] Han yang berasal dari abad pertama BC/ Before Christ/Sebelum Masehi (Andaya, 1991). Penjelasan tentang Cengkih oleh Pliny di Roma pada abad pertama Masehi, mendokumentasikan jangkauan [anjang jaringan perdagangan yang telah terbangun antara pulau luar Asia Tenggara dan Eropa pada periode awal itu (Glover, 1990 : 1; Miller 1969 : 58-60). Bukti untuk kontak lebih awal tidaklah diketahui dengan pasti. Satu pokok cengkih yang ditemukan di sebuah konteks arkeologi dari situs Terqa, Suriah, yang bertanggal 4.500 BP, mungkin tidak semuanya cengkih (Spriggs, 1998 : 57).
Untuk Banda sendiri, bukti dokumenter tentang kontak dengan daratan Asia dan titik-titik Barat sudah ada sejak lama. Penyebutan pertama tentang Banda dalam teks Cina (Dade Nanhai zhi) berasal dari tahun 1304 M (Ptak 1992 : 29), dan ada penjelasan rinci tentang Banda di Daoyu zhilue yang berasal dari pertengahan abad ke-14 (Ptak, 1998 : 130; Rockhill, 1915 : 256-257). Penyebutan pertama Banda dalam teks Jawa ada dalam puisi epos Majapahit, Desawarnana, yang berasal dari tahun 1365 Masehi (Prapanca dan Robson, 1995 : 34), dan teks-teks Cina dari periode ini juga menyebutkan pala dan bunga pala di pasar pelabuhan Jawa (Nastiti, 1995). Meskipun tulisan-tulisan penuh hiasan tentang perjalanan dan navigasi Arab pada abad ke-9 hingga ke-11, tidak ada bukti dokumenter bahwa pedagang Timur Tengah mengunjungi Indonesia bagian timur hingga akhir abad ke-15 (Tibbetts, 1979). Meskipun ada penyebutan pala dan cengkih yang dimulai pada abad ke-10, tidak terlalu jelas tentang asal geografis rempah-rempah ini (Tibbetts , 1979 : 31, 38, 100-141), meskipun satu sumber awal (Ibn Khurdadhbih, pada sekitar 850 Masehi) dengan benar menempatkan “pulau rempah-rempah” sebagai 15 hari berlayar dari pulau “Jaba” (Jawa?) (Tibbetts, 1979 : 29). Secara umum, sumber-sumber awal ini menunjukan bahwa pedagang jarak jauh mungkin telah mencapai Banda secara sporadis pada abad ke-9, dengan bukti yang lebih pasti (dalam bentuk deskripsi rinci) pada kontak reguler yang dimulai pada pertengahan abad ke-14.
Bukti-bukti arkeologis umumnya mendukung pembacaan dokumen-dokumen ini. Barang perdagangan eksotis paling awal yang diidentifikasi di Banda hingga saat ini adalah pecahan tembikar Cina yang “terkubur” dalam lapisan bertanggal antara 560 dan 770 Masehi di situs BN1 di pulau Banda Naira. Artefak-artefak Cina muncul secara lebih teratur di Banda dalam konteks abad abad ke-10. Keramik-keramik dan koin-koin Dinasti Song (960 – 1279 Masehi) ditemukan dalam beberapa tingkatan bertarikh dari sebelum 1250 Masehi di BN1 dan di beberapa situs lain di Banda. Sedangkan [untuk] gerabah Cina, tidak harus pedagang Cina untuk membawanya ke Banda, volume keramik Cina yang meningkat pesat di situs Banda, terutama setelah abad ke-12, menunjukan bahwa kontak langsung mungkin telah terjadi pada periode ini.
Gambar 2 |
Bukti kontak dengan daerah di timur, seperti Papua [Nuigini] dan Melanesia, lebih membingungkan. Obsidian New Britain telah ditemukan dalam konteks milenium pertama Sebelum Masehi di situs Bukit Tengkorak di Sabah, Kalimantan bagian utara, 8000 km di sebelah barat sumbernya (Bellwood dan Kroon, 1989). Karena Melanesia tidak memiliki catatan tertulis yang panjang tentang Cina, itu akan menjadi lebih sulit untuk mendokumentasikan interaksi antara 2 wilayah ini. Obsidian yang ditemukan di situs PA1 dalam konteks 3000 tahun BP, tidak memiliki sumber. Namun, kontak antar Banda dan daerah-daerah di sebelah timurnya, mungkin memainkan peran penting pada akhir masa sejarah pra-kolonial (Goodman, 1998; Swadling, 1996).
Pada abad ke-13 Masehi, ada bukti kontak yang lebih sering antara Banda dan daerah lain. 3 situs di Banda memiliki endapan keramik Dinasti Song (BN1, BN4, dan PA2), dan penanggalan radiokarbon mendukung penanggalan abad ke-13 untuk tingkat stratigrafi yang mengandung keramik. Antara abad ke-12 dan ke-15, pemukiman di situs BN1 dan BN4, tampaknya tumbuh di daerah tersebut. BN1 meluas dari asalnya di dekat garis pantai lebih dari 100 meter ke belakang lembah pada abad ke-15, dan mungkin merupakan desa/negeri sejarah Labbetakka. Dari asalnya di dekat situs BN4, beberapa saat sebelum abad ke-12 M, pemukiman ini mungkin merupakan situs gabungan BN2, 400 meter di sebelah timurnya pada abad ke-15, menjadi desa/negeri sejarah, Nera.
Semua situs di Banda memiliki kumpulan tembikar gerabah dalam jumlah besar, termasuk beberapa dengan guratan merah dan hiasan linier berukir (lihat gambar 2). Situs BN1 memiliki kompleks tembikar yang unik (di Banda) dan pecahan tembikar pahatan dalam bentuk hewan abstrak, seperti kepala burung (lihat gambar 3). Fragmen kepala burung serupa telah di kumpulkan oleh Bellwood di permukaan situs Sabatai Tua yang terkikis di Pulau Morotai, Maluku Utara, dikaitkan dengan tembikar Cina biru dan putih, yang ia cirikan sebagai alu (alat penumbuk), yang mungkin untuk persiapan menyirih (makan sirih) (Bellwood et al. 1993 : 28-29). Mahirta telah menemukan potongan-potongan yang agak mirip di Pulau Mare, Maluku Utara (Mahirta, 1996 : 95 -97), seperti halnya [David. K] Latinis dalam koleksi permukaan di Ambon dan Seram, Maluku Tengah (Latinis, komunikasi pribadi). Di situs BN1, gerabah yang dipahat dan dihias dengan sangat banyak ini, sering dikaitkan dengan sisa-sisa terbakar yang terpisah-pisah tulang, abu, dan gigi manusia serta babi, menunjukan bahwa itu mungkin situs untuk pemakaman kremasi non-Islam dan perayaan yang terkait dengan itu. Kompleks ini pertama kali muncul di level yang bertanggal sekitar 600 M, dan tiba-tiba menghilang dari kumpulannya pada sekitar 1600 Masehi.
Gambar 3 |
Tembikar-tembikar yang ditemukan dalam konteks arkeologi Banda, tampaknya tidak memiliki kemiripan dekoratif dengan gerabah kontemporer yang di produksi di Banda Eli, sebuah komunitas pengungsi Banda di pulau Kei Besar, sekitar 375 km tenggara Banda. Negeri ini, bersama dengan dengan beberapa desa lainnya di kepulauan Kei dan di Seram Tenggara, dihuni oleh pengungsi Banda dari serangan Portugis dan Belanda di awal abad ke-17. Sejarah lisan Banda Eli menyatakan bahwa pembuatan gerabah merupakan tradisi yang dibawa dari Banda di dalam pelarian, dan merupakan bagian integral dari identitas budaya mereka di Kepulauan Kei (Collins dan Kaartinen, 1998; Stejskal, 1988), tetapi tradisi dekoratif tampaknya telah berubah. Gerabah dari banda juga berbeda dengan gerabah Mare (Maluku Utara) kontemporer, meskipun beberapa elemen kuno desain Mare juga muncul di gerabah Banda (bandingkan Mahirta, 1996 dengan gambar 2). Dekorasi gerabah Banda tidak menunjukan kemiripan dengan yang digunakan pada gerabah Ouw (berhias), yang diproduksi di Saparua, yang saya lihat pada tahun 1997 juga (Spriggs dan Miller, 1979). Akan tetapi, baik dekorasi Ouw maupun Banda Eli, umumnya menggunakan cat atau guratan merah, dan kemungkinan pigmen ini telah pudar atau luntur pada banyak fragmen yang ditemukan secara arkeologis di Banda. Akan tetapi, secara gerabah umum, gerabah yang ditemukan di Banda, mirip dengan yang ditemukan di tempat lain di wilayah tersebut, dan kemungkinan penggalian arkeologi di masa depan, akan mengungkap tradisi daerah dengan beberapa variasi lokalnya. Jaringan perdagangan lokal yang terintegrasi dengan baik yang dijelaskan oleh dokumen Portugis awal, mendukung bukti arkeologis untuk kontak antar pulau yang signifikan, pertukaran ide dan perdagangan, yang mungkin termasuk tembikar (Barbosa, 1921; Pires dan Rodrigues, 1944).
Peta Banda oleh Gelderland (1602) |
Bukti arkeologis dan dokumenter umumnya mendukung ide bahwa Banda adalah tempat perdagangan dan kontak denan orang-orang, baik dari setempat maupun yang jauh. Namun, kontak dengan orang luar memiliki implikasi yang lebih dalam bagi orang-orang Banda, daripada sekedar membawa benda material ke pulau-pulau tersebut. Ide-ide baru dan strategi sosial, terutama yang terkait dengan Islam, sedang melanda Asia Tenggara, setidaknya sejak abad ke-13 dalam proses Islamisasi yang berlanjut hingga sekarang (Ricklefs, 1979). Fokus utama penelitian saya (penulis) di Banda adalah untuk mempelajari proses tersebut dalam skala lokal, menempatkannya dalam konteks yang lebih luas dari “zaman perdagangan” Asia Tenggara dan kekuatan-kekuatan tertentu serta lintasan sejarah yang bekerja di Banda itu sendiri.
====== bersambung ======
Catatan Kaki
- Nama-nama dan ejaan pulau dan desa seperti yang digunakan di Banda sekarang. Nama-nama tempat sejarah ditulis miring. Pulau Rozengain dan Pisang berganti nama menjadi Hatta dan Syahrir, setelah 2 pahlawan nasionalis Indonesia dipenjarakan di Banda pada tahun 1930an, tetapi nama [pulau] Pisang tetap populer digunakan
Catatan Tambahan :
a. BP singkatan dari Before Present, yang bermakna “ Tahun Sebelum Present (masa kini)”. Arkeolog dan ahli geologi umumnya menggunakan singkatan ini mengacu ke tanggal yang diperoleh melalui penanggalan radiokarbon teknologi. Sementara BP juga digunakan umumnya sebagai perkiraan tidak tepat usia dari suatu obyek atau peristiwa. Seperti disebutkan di atas, misalnya 32.000 BP, secara “sederhana” bermakna 32.000 tahun sebelum masa kini, atau 32.000 tahun sebelum tahun dimana objek itu dihitung menggunakan radiokarbon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar