Oleh: Niko J.G. Kaptein
![]() |
Lukisan Penobatan Wilhelmina sebagai Ratu Belanda (1898) oleh Nicolaas van der Waay |
Kata Pengantar
Kesetiaan atau sikap
loyal masyarakat kepada Pemerintah yang sah, merupakan hal yang esensial dalam
kehidupan suatu negara. Meskipun perspektif loyal itu, bisa dimaknai dari
berbagai sisi. Dalam konteks Indonesia di masa-masa perjuangan meraih
kemerdekaan, sikap loyal suatu kelompok kepada pemerintah Hindia Belanda
(Belanda) di masa itu, dianggap sebagai sikap pengkhianat. Namun, jika kita mau
“berimbang” dan “adil”, sikap loyal yang ditunjukan oleh sebagian kelompok itu,
juga tidak selalu salah. Maksudnya, bahwa secara umum, sikap tersebut adalah
manifestasi masyarakat yang taat pada pemerintah yang sah.
Artikel yang
ditulis oleh Niko J.G. Kaptein, seorang Profesor kajian Islam Asia Tenggara dari
Universitas Leiden, Belanda ini bisa dijadikan pembanding dan membuka wawasan
kita terhadap sikap loyal tersebut. Artikel ini aslinya berjudul The Arabs in the Netherlands East Indies and
the House of Orange, yang dimuat oleh Robert M Kerr dan Thomas Milo
(editor) dalam buku berjudul Writings and
writing from another world and another era: Investigations in Islamic text and
script in honour of Dr Januarius Justus Witkamp, Cambridge, Archetype,
2010, pada halaman 213 – 227.
![]() |
Prof. Niko J.G. Kaptein |
Pada artikel ini,
Kaptein menyajikan dan membahas makna kesetiaan itu, khususnya dari kaum Arab
di Hindia Belanda, yang ditunjukkan kepada keluarga Kerajaan Belanda, sebagai
simbol dari pemerintah Hindia Belanda. Melalui 2 dokumen yang kini tersimpan di
perpustakaan Universitas Leiden, ia mengkaji hal tersebut. Kaum Arab disebutkan
membuat poster, puisi dan doa (dalam
bahasa Arab) untuk memberi penghormatan kepada Ratu Belanda (Wilhelmina) dalam
rangka perayaan 25 tahun , sang Ratu naik tahta.
Artikel sepanjang
15 halaman ini terdiri dari 21 catatan kaki, 1 halaman berisi poster dan 2
halaman berisikan doa (dalam bahasa Arab). Artikel ini kami terjemahkan dan
ditampilkan di blog ini, minimal bisa dibaca dan membuka wawasan kita untuk
memahami suatu dinamika kehidupan masyarakat di masa penjajahan. Meski pada
artikel aslinya, catatan kakinya berjumlah 21 buah, namun pada terjemahan ini,
kami hanya memuat 20 buah catatan kaki, karena 1 buah catatan kaki berupa
ucapan terima kasih dari penulis (Niko.J.G. Kaptein) kepada beberapa orang yang
turut “membantu” dalam menyelesaikan artikel yang ditulisnya. Selain itu, kami
juga menambahkan beberapa gambar ilustrasi, dan catatan tambahan untuk
memperjelas dan menambahkan informasi yang dimaksud agar bisa diketahui dalam
konteks yang lebih luas.
Akhir kata, selamat
membaca... selamat menikmati kajian-kajian bermutu... semoga wawasan
kesejarahan kita terus berkembang dan menjadi manusia yang bersejarah.
Pendahuluan
Dalam buku yang
diterbitkan tahun 2006, Geert Oostindie telah membahas hubungan antara keluarga
Kerajaan Belanda dengan daerah jajahan yang pernah menjadi bagian dari Kerajaan
Belanda, baik di Hindia Timur maupun Hindia Barata. Ia menunjukan
secara meyakinkan, bagaimana Istana Kerajaan digunakan di daerah jajahan
sebagai simbol persatuan Kerajaan Belanda, dalam rangka menumbuhkan loyalitas
masyarakat jajahan terhadap pemerintahan Belanda. Salah satu cara agar
simbolisme itu tetap ada dan terus memperkuatnya, adalah melalui perayaan yang
berfokus pada monarki Belanda. Misalnya, penobatan Ratu Wilhelminab
pada tahun 1898c, dirayakan di sepanjang wilayah-wilayah jajahan
dengan kemegahan dan suasana yang luar biasa; Pernikahan Wilhelmina dengan
Pangeran Hendrik pada tahun 1901d menjadi sumber kegembiraan
publik/masyarakat luas; kelahiran Putri Mahkota, Juliana, pada tahun 1908e,
dan seterusnya1.
![]() |
Ratu Wilhelmina |
Di
Hindia Belanda, tidak hanya penduduk asli Belanda (totok) yang berpartisipasi dalam perayaan ini, tetapi serangkali
juga para bangsawan lokal, serta rakyat jelata. Dalam bukunya, Oostindie
bertanya-tanya seberapa dalam mengakarnya tanda-tanda kasih sayang yang
implisit dan seringkali eksplisit kepada monarki Belanda selama perayaan ini. Sejauh
menyangkut totok, keturunan Eurasian
dari laki-laki Belanda dan wanita lokal, serta tentara pribumi Kristen dari
Maluku dan Minahasa, kasih sayang mereka kepada kerajaan adalah murni, tetapi
posisi penduduk pribumi kurang jelas. Bangsawan lokal memang berpartisipasi
dalam perayaan tersebut, tetapi terutama untuk menekankan kesetiaan mereka
kepada monarki Belanda di negeri Belanda yang jauh, untuk mendapatkan lebih
banyak ruang gerak untuk diri mereka sendiri, berhadapan langsung dengan
administratur kolonial lokal di wilayah mereka sendiri. Apa posisi penduduk
pribumi dalam hal ini, masih belum banyak dieksplorasi, tetapi dalam bukunya
itu, Oostindie dengan hati-hati menyatakan bahwa, kesetiaan penduduk kepada
kerajaan tidak sungguh-sungguh, dan dalam banyak kasus, mungkin telah
dipaksakan kepada mereka2.
Seperti
penduduk pribumi, komunitas Arab di Hindia Belanda juga ikut serta dalam
perayaan ini, dan dalam esai kali ini, saya (penulis) akan mengkaji 2 dokumen
yang bersumber dari kalangan minoritas yaitu kaum Arab ini. Kedua dokumen
tersebut berkaitan dengan peringatan 25 tahun pemerintahan Ratu Wilhelmina,
yang berlangsung pada tahun 1923. Selanjutnya, saya akan menggunakan teks
tersebut sebagai titik awal pembahasan tentang kesetiaan komunitas Arab
terhadap monarki Belanda.
![]() |
Perayaan 40 tahun Wilhelmina naik tahta di Magelang (1938) |
Dua
Teks Pujian untuk Ratu Wilhelmina
Dokumen pertama yang
ingin saya bahas di sini adalah, poster indah yang dibuat untuk memperingati 25
tahun naiknya Wilhelmina di tahta Kerajaan Belanda. Dokumen aslinya disimpan di
perpustakaan Universitas Leyden, dibawah pengawasan resmi, dalam
koleksi-koleksi Oriental (dunia timur), dan disimpan dengan rapi dalam kotak
besar dengan dokumen-dokumen lain, yang disimpan untuk diteliti selanjutnya
(Plano F 53 no 48).
Seperti yang ditunjukan, dokumen
yang ditulis dengan pensil ini, berasal dari Koleksi-koleksi Schrieke, yang
harus diidentifikasi pada bekas Direktur Kantor Urusan Masyarakat Pribumi (Native Affairs),
Prof. B.J.O. Schrieke
(1890
– 1945). Orang ini tertarik dengan “sastra abu-abu” dan juga telah mengumpulkan
bahan-bahan langka lainnya, yang pada saat dikumpulkan, mungkin tampak agak
sepele, namun di masa sekarang sangatlah penting dan bernilai, karena
bahan-bahan tersebut sering memberikan informasi unik tentang bagaimana
bahan-bahan tersebut “bekerja” pada masa-masa itu. Schrieke memiliki kepakaran
yang luas dalam hal –hal mengenai Indonesia, dan di antara minatnya adalah
komunitas Arab di Hindia Belanda3. Dokumen yang dimaksud memiliki
ukuran poster kecil yaitu 43 x 34 cm ini diproduksi oleh “Steendrukkerij S
Jahja di Tanah Abang, Weltevreden”, yang akan saya informasikan lebih jauh
dalam tulisan ini. Pada poster itu, tercantum harganya 15 sen (ƒ o,15). Poster
ini adalah litograf yang menampilkan hasil karya yang mengesankan, karena
dengan terampil membuat/mengkombinasikan sejumlah warna : tidak hanya 3 warna
bendera Belanda – merah, putih dan biru –
yang digunakan, tetapi juga warna Istana Kerajaan, yaitu oranye, serta
warna coklat, hijau dan hitam. Di separuh bagian atas poster, digambarkan figur
Ratu Wilhelmina yang cukup bagus, sedangkan di separuh bagian bawah poster
berisi puisi melayu untuk menghormati Ratu. Poster yang ditampilkan dalam
artikel ini, ukurannya telah diperkecil seperti terlihat pada ilustrasi 1.
Puisi pada poster itu disebut syair, yang terdiri dari 10 baris yang
seperti dalam semua bentuk puisi jenis ini, dibagi menjadi 2 bagian yang sama
dan berima aa aa bb bb. Puisi itu
“berbentuk” akrostik (akrostikon), dan huruf-huruf pertama dari 10 baris
pertama, ketika dibaca dari atas ke bawah : D
W P L H H L Y M A, sedangkan huruf-huruf pertama dari 10 baris kedua
berbunyi : W Y L H A L M Y N A. Secara
keseluruhan, huruf-huruf ini membentuk kata-kata : dua puluh lima, Wilhelmina “Twenty [Years] Wilhelmina”. Sungguh
luar biasa, seorang penyair hebat bekerja untuk puisi ini! Seperti yang dikatakan, puisi berbahasa
Melayu dalam aksara Arab disebut Jawi, dan
dalam transliterasi terbaca sebagai berikut. Saya telah meletakan 2 bagian dari
setiap baris di samping satu sama lain, seperti bentuk aslinya, untuk
menunjukan bentuk akrostik (akrostikon)
Dua
puluh tahun telah bersuda Waris dan subur kerajaan Hulanda
Wahai dawlatku
seri baginda Yang
dipertuan sepenuhnya dada
Peliharkanlah
hai tuhanku Lama
dan selamat iah memangku
Warisannya
kerajaan dengan berlaku Hakim
yang adil menurut buku
Lanjutkan
tuhanku iah punya umur Alirkan
afiyat badan sekujur
Hindia
Nederland biarlah subur Lagi
tahta kerajaan bertambah makmur
Lantaran
penggawa yang bersetia Manis
dan pahit ada sedia
Yang
berbuat baik dapat bahagia Yaqin
yang jahat dapat bahaya
Marilah
rakyat tua dan muda Narimakan
selamat bagi baginda
Alamat
penutup apa yang ada Iduplah
kekal kerajaan Belanda
Dokumen kedua yang saya diskusikan di sini,
juga disimpan di perpustakaan Universitas Leyden (Plano F 53 no 52). Ukurannya
sama dengan ukuran poster yang disebutkan di atas. Dokumen tersebut adalah doa
(du’a) dalam bahasa Arab, untuk
peristiwa yang sama dengan teks sebelumnya, dan juga diterbitkan oleh Sayyid
Yahya ibn Uthsman di Tanah Abang, seperti yang disebutkan di akhir teks.
Dokumen ini juga berasal dari Koleksi Schrieke. Dokumen yang ditampilkan di
artikel ini, ukurannya telah diperkecil seperti nampak pada ilustrasi 2.
Yang
perlu diperhatikan adalah ucapan pengantar bahasa Melayu pada dokumen tersebut.
Pada pengantar itu, umat Islam diingatkan akan fakta bahwa Tuhan telah
menganugerahkan kepada mereka perlindungan terhadap diri sendiri, keluarga dan
harta benda, dan bahwa Tuhan telah melakukan semua ini “melalui administrasi pemerintahan Ratu Belanda”. Untuk menghargai
semua itu, kaum Muslim harus berdoa kepada Tuhan dengan du’a yang dicetak dalam dokumen, dan hal ini dianjurkan menurut
Hukum Islam (yang diharuskan oleh shariah).
Catatan pengantar diakhiri dengan pernyataan bahwa doa ini harus dibacakan di
masjid-masjid setelah ibadah Jumaat tanggal 31 Agustus 1923. Selanjutnya, doa
Arab ini diterbitkan, dan setelah itu disisipkan ungkapan Melayu yang
menyatakan bahwa tersebut “berdasarkan ide almarhum Sayyid Uthsman”. Akhirnya,
dokumen tersebut menyajikan terjemahan bahasa Melayu dari doa Arab itu.
Setelah
mempelajari isi dari doa ini, saya menemukan bahwa itu identik dengan apa yang
dilakukan oleh ulama terkenal Islam dan penasehat pemerintah, Sayyid Uthsman
(1822 – 1914)4/f, yang dibuat pada tahun 1898, ketika Wilhelmina
naik tahta. Hanya pada 1 tempat ada perbedaan : dimana Sayyid Uthsman pada
tahun 1898, menulis kata “ ratu baru”,
sedangkan pada tahun 1923, kata itu diganti dengan kata “ratu yang berbudi luhur”. Pada tahun 1898, doa ini menimbulkan banyak
perdebatan, yang akhirnya menyebabkan Sayyid Uthman mengeluarkan fatwa, dimana ia menyatakan dianjurkan
untuk mengucapkan doa ini5. Versi doa tahun 1898, telah saya
terjemahkan dan terbitkan sebelumnya, tetapi demi kepentingan artikel ini, saya
memasukan terjemahan itu lagi di sini, dengan perbedaan yang disebutkan.
Bunyinya sebagai berikut :
Ya Allah, Yang Maha Baik, Sang penolong kaum lemah, O
Raja di bumi dan di Surga. Engkau mengetahui apa yang terlihat dan yang
tersembunyi bagi kami. Ya Tuhan, demikian juga Engkau baik kepada kami dalam
wilayah kerajaan ini, dimana tidak ada yang menentang kami [dalam mempraktikan]
agama kami, dalam sholat kami, sedekah kami, puasa kami, cara hidup kami, dan
pernikahan menurut agama kami. Engkau sendiri telah memberikan kebaikan kepada
kami, memberikan keamanan bagi jiwa kami, kerabat kami, dan harta benda kami,
dan Engkau telah memudahkan kami untuk memperoleh sarana penghidupan kami.
Engkau sendirilah yang memberikan kami perantara dan alasan berkah, karena Engkau
telah memerintahkan agar pemerintah Belanda menjaga negara tetap aman dan adil,
dengan memperhatikan cara agama kami, seperti pelantikan para hakim kami,
pemeliharaan nafkah hidup mereka, memperbaiki masjid kami, dan tidak
bertentangan dengan urusan agama kami. Engkau mengetahui apa yang terbaik bagi
kami. Karena itu, kami memohon kepada-Mu, ya Allah, limpahkan berkat perbuatan
baik dari-Mu terhadap kami. Ya Tuhan, demikian Engkau telah memerintahkan dan
Engkau telah memberikan berkat-berkat ini melalui pemerintahan ini. Kami mohon
kepada-Mu, Ya Allah, hadiah atas kebaikan yang baru saja disebutkan. Semoga
Engkau memberikan kesejahteraan kepada Ratu yang berbudi luhur dan terhormat,
dan semoga Engkau memberinya umur panjang, diberkahi dengan kesehatan tubuh,
dan [semoga Engkau mengabulkan] kesejahteraan wilayah kekuasaannya, dan hal-hal
yang tersembunyi di bumi dari tambang dan perkebunan. Semoga Engkau membuat
pemerintahannya mulia bagi mereka yang berada di bawah perlindungan dalam
keadilan yang sempurna dan [semoga Engkau memberinya] keindahan yang ditandai
sebagai salah satu dari kekasih-Mu, O sang penuntun kami, sehingga bintang
kerajaannya akan bersinar terang di antara orang-orang, dan berikan wilayah
kekuasaannya kemakmuran dalam kelimpahan dan jauhkan kegagalannya, dan [membuat
makmur] siapapun yang berada di bawah perlindungan dengan kebaikan segala
sesuatu dan kelestarian berkat ini untuk kesejahteraan kita selamanya. Amin.
![]() |
Sayyid Uthsman (1 Desember 1822 - 18 Januari 1914), Ulama,Mufti dan Penasehat untuk Urusan Kaum Arab |
Asal Usul Dokumen
Kedua dokumen
tersebut diterbitkan oleh Yahya ibn Uthsman, yang merupakan anak dari Sayyid
Uthsman yang disebutkan di atas. Sayyid Uthman juga mengelola percetakn untuk
menyebarkan tulisannya tentang semua jenis masalah Islam. Usaha penerbitan ini
cukup sukses dan penjualan hasil dari penerbitan ini pasti cukup menggiurkan.
Sepeninggal Sayyid Uthsman, terjadi pertengkaran dalam keluarga, yang juga mempengaruhi
bisnis percetakan/penerbitan. Peristiwa ini disebutkan dalam sebuah surat
berbahasa Arab bertanggal, Batavia, 25 Agustus 1917, yang dikirim oleh salah
satu putra Sayyid Uthsman, yang bernama Sayyid Hasan kepada C. Snouck
Hurgronye. Surat tersebut menyebutkan bahwa setelah kematian Sayyid Uthsman,
tidak ada seorangpun yang membimbing keluarga tersebut dari berpisahnya putra
tertua, Alwi. Lagi pula, menurut surat itu, dia (Alwi) tidak berurusan dengan
kepentingan keluarga, dan bertindak sesuai keinginan pribadinya, tanpa
berkonsultasi dengan putra-putra lainnya. Selanjutnya, Hasan bersama adik
bungsunya, Hamid dan seorang adik perempuan yang tidak disebutkan namanya6,
pindah ke Kampung Melayu Besar, Meester Cornelis, membawa serta alat-alat
percetakan dan tempat tinta. Hal pertama yang dilakukan Hasan adalah mencetak
ulang sejumlah buku ayahnya, dan mendirikan usaha penerbitan Bintang Bercahaya. Meskipun minim
pengalaman dan keahlian (”saya bukan
lulusan madrasah, saya juga tidak berkesempatan untuk meminta bantuan ayah atau
orang lain untuk diajar”), Hasan mampu menjaga agar usahanya itu berjalan meski
dalam kesulitan7.
Meskip persoalannya tidak
sepenuhnya jelas dari surat itu, namun tampaknya persoalan kelanjutan bisnis
percetakan ini semakin pelik, karena kakak yang lain, Sayyid Abd Allah, juga
terlibat dalam bisnis percetakan satu dekade setelah kematian Sayyid Uthsman, seperti
yang terlihat dalam sejumlah publikasi yang masih ada dan menyandang namanya.
Terlebih lagi, seorang saudara lelaki lainnya juga aktif di bidang yang sama,
yaitu Sayyid Yahya, yang pada tahun 1916 menerbitkan katalog tulisan almarhum
ayahnya di bawah Penerbit N.V. Handel –
My Said Oesman yang berlokasi di
Petamburan, Weltevreden. Dalam kata pengantar berbahasa Melayu pada katalog
ini, disebutkan bahwa “Direktur” (Diriktur
dalam bahasa Melayu) penerbit ini adalah Sayyid Yahya8.
Dengan demikian, segera setelah
wafatnya Sayyid Uthsman, tidak kurang dari 4 orang putranya yang aktif di
bidang percetakan, yaitu Alwi, Hasan, Abd Allah dan Yahya. Dari ke-4 putra ini,
tampaknya Yahya adalah yang paling serius dan paling sukses dari semuanya,
dalam melanjutkan bisnis ayah mereka yang terkenal, dan dialah yang pada tahun
1923, menerbitkan dokumen-dokumen yang disebutkan di atas dengan sangat
terampil – terutama yang pertama – dan
artistik. Tidak banyak lagi yang saya (penulis) ketahui tentang Sayyid Yahya,
selain dia disebut-sebut sebagai penyalin naskah Arab yang telah selesai di
Batvia pada akhir Syawal 1316 (= Maret 1899)9. Mengingat fakta bahwa
Sayyid Yahya melanjutkan pekerjaan ayahnya, kita dapat berasumsi bahwa dia juga
bersimpati dengan ide ayahnya, dan bahwa dia juga termasuk kelompok pemikiran
tradisionalis yang telah disebarkan oleh Sayyid Uthsman sepanjang hidupnya.
Signifikansi
Dokumen-dokumen
Kedua dokumen yang
disajikan disini, mengungkapkan sendiri bahwa isinya menunjukan loyalitas penuh
terhadap Kerajaan Belanda, dan dalam pengantar kajian ini, saya ingin membahas
masalah apa sebenarnya arti kesetiaan ini.
Pertama-tama, kita harus
bertanya-tanya untuk siapa teks-teks ini dimaksudkan. Seperti yang telah kita
lihat, puisi itu dalam bahasa Melayu, dan dari sini dapat disimpulkan bahwa
puisi itu tidak dimaksudkan untuk pembaca orang Eropa, suatu kelompok yang
dimana seluruh genre sastra royalis dari versinya berbahasa Belanda10.
Terlebih lagi, penggunaan aksara Arab yang sejak awal abad ke-20 semakin tidak
digunakan lagi, bahkan semakin meyakinkan bahwa pembaca yang dituju hanyalah
kepada orang-orang yang mengetahui aksara Arab. Memahami pengamatan ini, kita
mungkin bertanya-tanya apakah puisi ini dimaksudkan untuk lingkungan sekitar Sayyid
Yahya, yaitu komunitas Arab di Hindia Belanda. Sejauh menyangkut du’a tersebut, terbukti dari catatan
pengantar, bahwa yang dimaksudkan untuk penduduk beragama Muslim.
Hampir tidak ada yang diketahui
oleh saya, tentang bagaimana kedua teks itu diterima. Satu-satunya hal yang
saya ketahui adalah bahwa doa untuk Wilhelmina ini menimbulkan banyak protes.
Di kalangan yang berorientasi nasionalis
terdengar reaksi negatif kepada para panghulu.
Para pejabat agama ini, telah diperintahkan oleh para bupati untuk menyelenggarakan Hari Peringatan Ratu dan mengucapkan
doa ini di masjid-masjid, dan perintah ini dianggap berasal dari Residen-residen
dan akhirnya langsung dari Gubernur Jenderal. Dan karena alasan inilah, para panghulu dituduh menggunakan Islam “bukan untuk menghormati Nabi Muhamad, tetapi
untuk ratu yang kafir”11. Nyatanya, Sayyid Yahya telah
mengantisipasi protes tersebut, karena sebagaimana telah kita lihat di atas,
dalam pengantar doanya,ia mencantumkan ucapan bahwa du’a itu dianjurkan menurut Hukum Islam. Informasi lebih lanjut
kurang diketahui dan juga tidak diketahui seberapa luas teks ini tersebar.
Secara keseluruhan, tidak mungkin menggunakan teks-teks ini, untuk menetaplan
sejauh mana kesetiaan yang diungkapkan di dalamnya, merupaan hal umum di antara
penduduk pribumi. Yang kita ketahui, dokumen-dokumen ini berasal dari kalangan
minoritas, yaitu kaum Arab di Hindia Belanda, dan yang paling pasti, paling
tidak Sayyid Hasan sendiri, sangat tulus dalam kesetiaannya kepada Ratu. Oleh
karena itu, dalam sisa tulisan ini, saya ingin membahas sikap mereka terhadap Kerajaan
Belanda.
Kaum Arab dan Istana
Oranye
Orang-orang Arab di
Hindia Belanda, merupakan bagian dari diaspora emigran dari wilayah Hadramaut
di Yaman Selatan, dan keturunan mereka yang telah menetap di sekitar wilayah
Samudera Hindia sejak paruh kedua abad ke-18 dan seterusnya. Pada tahun 1920,
komunitas Arab terdiri dari sekitar 45.000 orang, setelah komunitas orang Cina
yang jauh lebih besar, membentuk kelompok terbesar kedua dalam kategori
administrasi hukum yang disebut “Orang Timur Asing”. Temasuk dalam kategori
ini, orang Arab tunduk pada rezim wijk en
passenstelsel (sistim lingkungan dan izin masuk) yang menyiratkan bahwa,
mereka perlu membuat permintaan izin dari pihak berwenang ketika mereka ingin
bepergian ke luar tempat mereka tinggal, dan bahwa mereka diwajibkan untuk
tinggal di kawasan kota yang ditunjuk/ditempatkan secara khusus. Komunitas itu
sendiri terbagi menjadi 3 kategori sosial yang berbeda, yaitu di posisi puncak
adalah para sayyid, bangsawan
beragama yang berasal dari keluarga Nabi Muhammad, di bagian tengah disebut syaikh/syech dan gabili, serta dibagian paling bawah yaitu orang-orang biasa yang
disebut kaum masakin (“orang miskin”)
dan dua’fa (“orang lemah”). Ciri lain
dari komunitas Arab yang penting untuk diperhatikan dalam kerangka esai ini,
adalah bahwa mereka memiliki rasa keterikatan yang mendalam dengan tanah air
mereka di Hadramaut, yang terwujud, misalnya dalam pertukaran permanen antar
pengunjung dari tanah air (Hadramaut) dan berbagai daerah diaspora, dan, kedua,
untuk waktu yang lama pengiriman anak laki-laki dari diaspora ke tanah air
mereka untuk pendidikan12.
Orientasi internasional ini
memicu ketidakpercayaan di kalangan pemerintah, dalam arti ada ketakutan bahwa
orang-orang Arab dengan kontak internasional, mereka mungkin menjadi sumber –sumber
bagi para simpatisan anti pemerintah di dalam koloni. Orientasi internasional
ini mendapat dimensi politik yang jelas sejak tahun 1870-an, ketika Sultan
Turki di Istambul mulai menyebarkan ideologi Pan-Islamisme yang bertujuan untuk
mempersatukan seluruh umat Islam di dunia dibawah naungannya, dan ideologi ini
pun menyebar ke Hindia Belanda. Penguasa kolonial menganggap ideologi ini
sebagai potensi bahaya, karena menolak penjajahan atas umat Islam di dunia.
Namun, telah ditunjukan bahwa ketakutan pihak kolonial ini dibesar-besarkan,
dan bahwa simpati kaum Arab di Hindia Belanda untuk ideologi Pan-Islamisme
terutama merupakan ekspresi ketidakpuasan mereka terhadap aturan diskriminatif
Belanda, mengenai sistim wijk dan passenstelsel, tetapi bahwa
Pan-Islamisme tidak pernah berakar di Hindia Belanda sebagai ideologi politik.
Terlebih lagi, pada tahun 1923, Pan-Islamisme telah kehilangan banyak daya
tariknya di Hindia Belanda dan sistem wijk
dan passenstelsel sejak itu telah
dihapuskan13.
Pusat kosmopolitan
lain yang menjadi orientasi umat Muslim sejak dekade pertama abad ke-20 dan
seterusnya adalah Cairo. Di kota ini, ide-ide baru atas dasar-dasar Islam
dikembangkan oleh Muhammad Abduh dan Rasid Rida, dan seruan mereka untuk
kembali ke sumber-sumber asli Islam, yaitu Alquran dan Hadits, menimbulkan
gelombang guncangan di seluruh dunia Muslim, termasuk di Hindia Belanda. Salah
satu pelopor dalam menyebarkan gagasan modernis yang berbasis di Mesir di Hindia
ini adalah Muhammad ibn Hasim, yang pernah terlibat konflik berat tentang hal
ini dengan kakeknya, Sayyid Uthsman, yang menganut cara berpikir tradisionalis
berdasarkan mazhab Syafei. Sejak tahun 1914, Ibn Hasim menerbitkan jurnal al-Bashir, dan karena hal ini, dia
diawasi oleh otoritas Belanda, karena dia dicurigai bersimpati pada ide-ide
Pan-Islamisme. Namun, pada tahun 1925, Penasehat Masalah-masalah/Urusan Kaum
Pribumig, D.A. Rinkes, melaporkan bahwa tidak ada yang salah dengan
jurnal tersebut14. Menariknya, Ibn Hasim ini juga menulis puisi
untuk perayaan 25 tahun Ratu naik tahta. Puisi ini ditulis dalam bahasa Arab
dan diterbitkan, bersama dengan terjemahan bahasa Belanda oleh B (= B.Th.
Brondgeest15), dalam volume Perayaan
pada saat Hari peringatan itu16. Kesetiaannya tidak hilang
untuk berhasrat saat menulis dalam bagian pentingnya :
Dia (sc. Ratu Wilhelmina) telah menyebarkan galeri keselamatan
di
seluruh pulau
Sehingga
kesejahteraan rakyat menjadi berkembang
Dan
di bawah dukungannya, sebuah perisai keadilan diciptakan
Oleh
orang-orang tulus yang membawa peradaban ini17
Jadi, kita melihat bahwa orientasi Ibn Hasim
terhadap Cairo, tidak menghalangi dua untuk mengungkapkan kesetiaannya kepada
Ratu. Saya pikir, ini bisa dimengerti karena orientasi terhadap Cairo ini
terutama bersifat religius. Kepatuhannya kepada ide-ide modernis ini, terutama
menginspirasi dia untuk mempromosikan reformasi pendidikan, tetapi tidak
mempengaruhi kesetiaan politiknya terhadap negara tempat tinggalnya18.
Contoh ini menunjukan bahwa kesetiaan kepada Ratu, tidak hanya ditunjukan di
kalangan tradisionalisnya Sayyid Yahya, tetapi ternyata melampui batas
orientasi tradisionalis dan modernis dalam pemikiran Islam.
Sekarang saya telah menunjukan bahwa
orientasi internasional tidak menghentikan loyalitas politik kaum Arab terhadap negara tempat tinggalnya, saya ingin
menunjukan faktor yang lebih positif yang mungkin menjelaskan kesetiaan ini. Dalam
kedua dokumen yang dipelajari ini (dan termasuk puisi Ibn Hasim), banyak tekanan
ditempatkan pada keamanan hukum yang dinikmati oleh orang Arab di Hindia
Belanda. Ini sendiri luar biasa, karena sebelum penghapusan sistem wijk en passenstelsel, orang Aran
memiliki cukup alasan untuk mengeluh tentang cara mereka diperlakukan. Namun demikian,
secara umum orang Arab cukup puasi dengan cara pengelolaan wilayah koloni. Saya
pikir ini harus dipahami dengan latar belakang situasi di tanah air Hadramaut,
yang terkenal kurangnya pemerintah pusat dan cara administrasi yang
sewenang-wenang. Meski banyak orang Arab di Hindia Belanda yang tidak lahir di
Hadramaut, ternyata rasa keterikatan mereka dengan wilayah ini masih begitu
dalam, sehingga mereka masih terbebani oleh ketiadaan pemerintahan yang adil di
sana. Ide ini, misalnya, diungkapkan dalam sebuah artikel kecil pada tahun 1923
tentang kaum Arab di Hindia, yang ditulis oleh Sayyid Ismail ibn Abd Allah
al-Attas, seorang anggota Volksraad : bertentangan
dengan Hadramaut, di Hindia Belanda ada hukum keamanan dan kebebasan beragama,
dan untuk alasan ini, Baginda Ratu seharusnya dihormati19.
Kesimpulan
Saat kita kembali ke pendahuluan esai ini,
dan mencoba mengomentari kesetiaan terhadap keluarga kerajaan yang diungkapkan
dalam dokumen-dokumen ini, kita dapat mengatakan sebagai berikut ini. Jelas,
bahwa orang-orang Arab di Hindia Belanda memiliki banyak kesetiaan, tetapi yang
paling penting bagi mereka adalah keadaan bahwa Pemerintahan Belanda, seperti
yang dilambangkan oleh Ratu, menawarkan keamanan hukum kepada mereka, yang
tidak ada di Hadramaut, kampung halaman mereka. Terlebih lagi, keterikatan lain
pada pusat-pusat kosmopolitan di dunia Muslim pada saat itu, lebih bersifat
religius dan tidak menghalangi kesetiaan dasar terhadap negara tempat tinggal,
sebagaiman yang disimbolkan oleh Kerajaan Belanda, yaitu Hindia Belanda. Untuk
alasan ini, saya ingin menyimpulkan bahwa ekspresi kesetiaan dalam dokumen yang
disajikan di sini nampak asli. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang hal
ini, tetapi mungkin saja kesetiaan terhadap kerajaan Belanda ini, tidak hanya
di kalangan Sayyid Yahya, tetapi juga di antara mayoritas komunitas Arab pada
umumnya. Untuk hal itu, pengamat kontemporer terkenal, Achmad Djajadiningrat,
berkomentar dalam memori tahun 1936 : ”Tidak
ada kelompok orang asing di Hindia yang sangat menghormati pemerintahan yang
sudah mapan, selain orang Arab”20
====== selesai ======
Catatan
Kaki :
- Gert Oostindie, De parels en de kroon. Het koninghuis en de kolonien (Leyden-Amsterdam, 2006). Untuk perayaannya, lihat halaman 72 – 87
- Ibid, halaman 82 – 101
- Tentang figur ini, lihat M.van Blankenstein, Bertram Johannes Otto Schrieke (Zantvoort, 18 Sept 1890 – London, 12 Sept 1945), dimuat pada Jaarboek van de Maatschappij der Nederlandse Letterkunde te Leiden (1947 – 1949) (Leyden, 1950), halaman 141 – 153
- A. Azra, A Hadhrami religous scholar in Indonesia : Sayyid Uthman dimuat oleh U Freitag dan W.G. Clarence Smith (editor) dalam Hadhrami Traders, Scholars, and Statesmen in the Indian Ocean, 1750an – 1960 (Leyden, 1977), halaman 249 – 263
- Protes terhadap du’a ini umumnya berasal dari kaum Arab yang berorientasi Pan-Islamisme, lihat Niko.J.G. Kaptein, The Sayyid and the Queen: Sayyid Uthman on Queen Wilhelmina’s inauguration on the throne of the Netherlands in 1898, dimuat pada Journal of Islamic Studies, volume 9 (1998), halaman 165-167. Untuk terjemahannya pada halaman 160-161, sedangkan untuk berbahasa Arab pada halaman 177.
- Bahasa Arabnya terbaca....... yang bisa berarti seorang saudara perempuan dari beberapa orang. Wanita tidaklah terlalu “penting” dalam komunitas Arab
- Leyden University Library Cod Or 8952. Pada kepala surat/dokumen terbaca : “Sajid Hasan b. Oesman b.Jahja, Toko Bintang Bertjahaja, Kampong Melajoe Besar, Meester Cornelis, Batavia”
- Sayyid Yahya ibn Uthman, Daftar dari Nama-nama dan harga kitab-kitab dan jadwal-jadwal karangannya al-marhum Sayyid Uthman ibn Abd Allah ibn Aqil ibn Yahya (Weltevreden :N.V. Handel – My. Said Oesman, 1916), halaman 2
- Abd Allah ibn Umar ibn Yahya, Fatawa, Leyden University Library Cod. Or 7212, halaman 540
- Gert Oostindie, De parels en de kroon. Het koninghuis en de kolonien (Leyden-Amsterdam, 2006). Halaman 49 ff
- Muhammad Hisyam, Caught between three fires : The Javanese Pangulu under the Dutch colonial administration, 1882 – 1942 (PhD Thesis, Leyden University, 2001), halaman 99-100. Kutipan asli ini berasal dari jurnal Medan Moeslimin, 13 : 9 (1 Juli 1923)
- Huub de Jonge, Dutch colonial policy pertaining to Hadhrami migrants dimuat oleh U Freitag dan W.G. Clarence Smith (editor) dalam Hadhrami Traders, Scholars, and Statesmen in the Indian Ocean, 1750an – 1960 (Leyden, 1977), halaman 94 – 111. Dalam tahun-tahun terakhir ini, orientasi untuk “kembali” ke Hadramaut diungkapkan lewat kebangkitan kaum Arab di Indonesia masa kini, yang terwujud, misalnya lewat jurnal baru mereka, Alkisah
- Huub de Jonge, Dutch colonial policy......, halaman 102-105
- S.L. van der Wal, De Opkomst van de nationalistische beweging in Netherlands-Indie : een bronnenpublikatie (Groningen, 1967), halaman 384 – 385
- Ia adalah seorang Belanda yang pakar Arab, yang bekerja di Balai Pustaka, dan juga penyusun Kamus Arab-Melayu
- L.F. van Gent, W.A. Penard dan D.A. Rinkes (editor), Gedenboek voor Nederlandsche-Indie ter Gelegenheid van het Regeeringsjubileum van H.M. van de Koningin, 1898 – 1923 (Batavia-Leyden, 1923)
- S. Mohammad bin Hasjim, Arabisch Huldegedicht dimuat dalam L.F. van Gent dkk, Gedenboek voor Nederlandsche-Indie....., plat 3. Saya (penulis) sedikit menyederhanakan terjemahannya
- Pada publikasi selanjutnya, saya (penulis) membahas tentang Ibn Hasim dan hubungannya dengan kaum reformis Mesir serta polemik dengan kakeknya sendiri dengan lebih mendetail
- S. Ismail bin Abdoelah Alatas, De Arabieren dimuat dalam L.F. van Gent dkk, Gedenboek voor Nederlandsche-Indie.......hal 50. Pada tahun 1918, ia menulis doa untuk memuji Ratu untuk merayakan peringatan 20 tahun Ratu naik tahta. Doa ini dibaca pada 2 masjid di Pasuruan dan Malang. Di antara lainnya, di dalam doa itu, ia memohon kepada Allah untuk melindungi negara dari “perang yang sedang terjadi, yang menyakitkan”, lihat Leyden Cod. Or 7935 A
- A. Djajadiningrat, Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, (Batavia, 1936), halaman 276
Catatan Tambahan :
- Wilayah kekuasaan (Belanda) di wilayah Asia diwakili oleh VOC disebut Hindia Timur pada masa VOC (1602 – 1799) dan sejak 1799 – 1942, wilayah ini disebut Hindia Belanda (Netherlands-Indies) serta bermarkas di Batavia/Jakarta. Sedangkan untuk wilayah barat (Amerika) diwakili oleh WIC (West Indische Compagnie) yang bermarkas di Brazil (Suriname)
- Ratu Wilhelmina memiliki nama lengkap Wilhelmina Helena Pauline Marie. Ia Lahir pada tanggal 31 Agustus 1880 dan meninggal pada 28 November 1962. Ia adalah anak satu-satunya dari Raja Belanda, Willem III dan istri keduanya, Putri/Ratu Emma.
- Sebenarnya Wilhelmina otomatis menjadi Ratu Kerajaan Belanda saat ayahnya, Willem III meninggal pada 23 November 1890, namun saat itu ia masih berusia 10 tahun, sehingga ibunya, Ratu Emma memerintah atas nama putrinya (Wali) hingga ia berusia 18 tahun, sehingga pada tanggal 6 September tahun 1898, Wilhelmina dinobatkan sebagai Ratu Kerajaan Belanda. Wilhelmina menjadi satu-satunya pewaris tahta kerajaan Belanda, karena 3 putra dari pernikahan ayahnya dengan istri pertama (Ratu Sophie), semuanya meninggal dalam usia muda, serta ayah mereka masih menjadi Raja kerajaan Belanda dan belum meninggal.
§ Pangeran Willem
meninggal 1879
§ Pangeran Maurits
meninggal 1850
§ Pangeran Alexander
meninggal 1884
- Ratu Wilhelmina menikah dengan Hertog Hendrik van Mecklenburg-Schwern pada tanggal 7 Februari 1901
- Putri Mahkota/Ratu Juliana memiliki nama lengkap Juliana Louise Marie Wilhelmina lahir pada tanggal 30 April 1909 dan meninggal pada 20 Maret 2004 (mungkin pada artikel ini, ada kekeliruan teknis yang menyebut Juliana lahir tahun 1908).
- Sayyid Uthman/ Oesman menjadi Penasehat Kehormatan Pemerintah untuk Urusan Kaum Arab sejak 3 Mei 1891
- Pemerintah Belanda mendirikan Lembaga/Kantor Urusan Kaum Pribumi (Officieren voor Inlandsche zaken) atau Office of Native Affairs sejak tahun 1889 di Batavia. Lembaga ini berfungsi sejak 1889 – 1942. Lembaga ini dipimpin oleh seorang advis atau penasehat. Orang pertama yang memimpin lembaga ini adalah K.F. Holle sejak 27 Desember 1871 (meskipun secara institusi, lembaga ini belum dibentuk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar