Siegfried Huigen
[University Wroclaw, Afrika Selatan]
- Kata Pengantar
Bagaimana praktik hidup sehari-hari di zaman kuno? Apakah “jejak” kehidupan para leluhur orang Ambon, bisa “terlihat” di masa sekarang?. Faktanya, praktik kehidupan orang Ambon di masa kini, dapatlah ditelusuri ke belakang. Hal ini misalnya, bisa dibaca dalam karya Francois Valentyn, Oud en Nieuw Oost-Indien, volume 2, yang terbit di Belanda pada tahun 1724.
Siegfried Huigen, seorang Profesor Sastra Belanda dan Afrika Selatan dari Universitas Wroclaw, mengkaji deskripsi kehidupan sehari-hari orang Ambon yang disampaikan oleh Valentyn tersebut. Kajian ini berjudul Antiquarian Ambonese : Francois Valentyn’s comparative ethnography (1724), yang dimuat dalam buku yang dieditori oleh dirinya sendiri bersama Jan L. de Jong dan Elmer Kolfin dengan judul The Dutch Trading Companies as Knowledge Networks, yang diterbitkan oleh Penerbit Brill, Leiden/Boston, tahun 2009. Artikel sepanjang 29 halaman ini ditempatkan pada halaman 171 – 200 dalam buku itu. Selain Huigen yang membahas tentang Valentyn, ada juga Maria-Theresia Leuker yang mengkaji tentang Rumphius (hal 145 – 170).
Melalui kajian 29 halaman ini, Huigen menjelaskan dan mengungkapkan tentang etnografi perbandingan yang diungkapkan oleh Valentyn dalam memahami tentang “keanehan” perilaku orang Ambon dalam perspektif orang Eropa, khususnya Belanda. Huigen menyebut bahwa Valentyn mencoba menempatkan dan menjelaskan keanehan kehidupan sehari-hari itu, tidaklah berbeda dengan perilaku orang-orang Eropa sendiri, misalnya Yunani dan Romawi kuno pada masa lalu. Valentyn juga mengaitkan perilaku orang Ambon dengan beberapa kebiasaan hidup orang Yahudi, yang bisa dilihat pada Alkitab, Perjanjian Lama. Usaha ini pada akhirnya bertujuan agar orang Eropa bisa menerima kebiasaan “aneh” itu, dan menempatkannya dalam perspektif, bahwa kebiasaan itu adalah ekspresi dari ciri khas yang termasuk dalam fase perkembangan primitif manusia.
Dengan membaca artikel memukau ini, kita bisa memahami tindakan-tindakan dan jejak kehidupan para leluhur dalam konteks kekinian. Bertumpu pada alasan itulah, maka kami menerjemahkan artikel bermutu ini. Artikel aslinya terdiri dari 59 catatan kaki, bibliografi (2 halaman), 3 gambar dan 2 tabel. Pada artikel yang kami terjemahkan ini, kami membaginya menjadi 2 bagian, menambahkan catatan tambahan dan beberapa gambar ilustrasi lainnya.
- Terjemahan
Multi volume karya Francois Valentyn Oud en Nieuw Oost Indien (Hindia Timur lama dan baru, 1724 – 1726) berisi 2 halaman dengan kata-kata membanggakan tentang “raja” dari Alifuru (Alfoer), PELIMAOa (177 – 178)1.
Pertukaran yang lain, yang biasanya dibicarakan teks-teks kolonial, tampaknya berbicara sendiri dan terlebih lagi membela dirinya secara meyakinkan2. Menurut Valentyn, Pelimao dengan licik ditangkap di Seram pada tahun 1678 atas perintah Gubernur De Vicqb, dan dibawa ke benteng Victoria di Ambon, dimana De Vicq ingin mengadili dia karena membunuh penduduknya yang Kristen. Bagi pembaca kontemporer, tindakan Gubernur mengingatkan pada Pengadilan Internasional yang menghukum pelanggaran hak asasi manusia, meskipun para pemimpin mengklaim pada kedaulatan3. Seperti semua orang lalim, Pelimao menganggap tindakan terhadap penduduknya adalah sah. Selama interogasi, dia menyatakan dengan sangat jelas bahwa tidak ada dasar hukum untuk menahannya :
Saya [......] seorang Raja yang terlahir bebas, yang bukan subjek Anda atau orang lain; dan yang, sebagai konsekuensinya, tidak berkewajiban memberi Anda alasan apapun atas tindakan saya sehubungan dengan penduduk saya. Apakah saya telah mengganggu Anda di wilayah anda, saya akan menyatakan diri saya bersalah, dan menerima bahwa Anda telah menangkap saya dengan cara yang curang [.....]; tetapi pada saat ini, saya menyatakan diri saya bebas dari semua rasa bersalah, karena telah bersalah pada Anda dengan cara apapun (hal 177) [gambar 1].
Valentyn setuju dengan Pelimao. Dalam catatan Valentyn tentang peristiwa ini, Pelimao adalah “raja” kafir yang berdaulat dan sekutu VOC di pulau Seram. Pelimao bukanlah pria sejati. Ketika beberapa penduduk Pelimao menjadi Kristen – yang menurut Valentyn : dalam upaya untuk menghindari upeti wajib tahunan untuk Pelimao – dia menghukum mereka (khususnya para guru Kristen) untuk mencegah potensi penggelapan pajak. Pelimao “mengikat mereka di tiang, memotong kemaluan mereka, tangan, kaki, hidung dan telinga, serta membuangnya ke anjing “(hal 176). Para wanita juga tidak lolos dari kekejaman ini; payudara mereka dipotong dan mereka dibakar dengan batang-batang api yang menyala-nyala di bagian dalam dan luar tubuh mereka. Akibatnya, sejumlah orang Kristen Alifuru melarikan diri ke benteng Victoria di Ambon, markas VOC di kepulauan Maluku, untuk meminta bantuan Gubernur De Vicq. Gubernur kemudian menghubungi Philip du Pree, sekretaris pengadilanc (atau Landraadd), untuk membawa Pelimao ke Ambon, dan memerintahkan dia diadili. Karena Du Pree adalah sahabat Pelimao dan sangat dipercaya olehnya, maka aksi “militer” dianggap tidak perlu. Diperlengkapi dengan barang-barang pertukaran dan beberapa serdadu untuk membantu Du Pree pergi ke Seram, dimana dia membujuk Pelimao ke perahunya dan membuatnya minum hingga mabuk. Ketika sang raja terbangun selama perjalanan kembali di laut, ia menyadari bahwa dia telah dikhianati oleh sahabatnya (hal 176-177)4.
Di Ambon, Pelimao dikurung di penjara sempit dan diinterogasi. Bertahun-tahun kemudian Valentyn mencatat tanggapan Pelimao dalam wawancara pribadi dengan “hakim yang sangat kompeten yang berbicara berkali-kali dengannya [Pelimao] tentang masalah ini” (hal 179). Menurut Valentyn, tanggapan Pelimao “luar biasa untuk seorang kafir dan alifuru” (hal 177), dan menyampaikan sesuatu tentang kapasitas intelektuan penduduk Ambon :
[......] Jika ada orang Alifuru yang mampu berdebat dengan jelas dan bijaksana tentang kepentingan dan hak-hak yang menjadi haknya, maka tentunya di antara orang Ambon, setelah bertahun-tahun bergaul dengan orang Belanda, dan dengan banyak kesempatan untuk meningkatkan kecerdasan mereka, maka ada banyak orang yang lebih mampu dan lebih pintar dari Raja ini (hal 175)
Atas dasar tindakan Pelimao, Valentyn berusaha meyakinkan pembacanya bahwa tidak ada yang salah dengan kapasitas intelektual penduduk Ambon. Episode Pelimao berfungsi sebagai contoh kesimpulan dari catatan etnografinya Valentyn “Van de Amboineesen” (of the Ambonese, hal 138 – 189) di bagian “Beschryvinge van Amboina” (Description of Ambon), volume dua dari Oud en Nieuw Oost-Indien, terbit tahun 17245. Dalam risalah yang luar biasa tentang penduduk Ambon di Maluku Tengah ini6, Valentyn mencoba menempatkan “keanehan” orang Ambon ke dalam suatu perspektif, sambil menghasilkan berbagai pengetahuan pada saat yang sama. Insiden Pelimao memainkan peran penting dalam tujuan Valentyn. Untuk alasan ini, saya (penulis) akan kembali ke [masalah] Pelimao pada akhir kajian ini.
Metodologi Perbandingan (komparatif)
“Van de Amboineesen” adalah catatan etnografi yang paling ambisius dan paling luas di Oud en Nieuw Oost-Indien. Valentyn mengikuti metodologi komparatif yang relatif halus, dimana ia membandingkan tata krama dan adat istiadat orang Ambon (lihat tabel 1) dengan orang-orang dari dunia klasik dan orang-orang Yahudi dari [kitab] Perjanjian Lama. Valentyn juga mengacu pada perbandingan dengan negara lain dan bahkan merujuk pada nenek moyang orang Belanda abad ke-18. Dengan cara yang sama seperti orang Ambon mengambil garam dari abu-abu kayu apung, misalnya, orang Belanda “di masa lalu” mengambil garam “dari bumi, yang setiap hari dicuci oleh laut” (hal 161 -162)7. “Van de Amboineesen” didasarkan pada kombinasi otopsi dan pembacaan dari apa yang dia amati selama bertahun-tahun tinggal di Ambon dan kutipan-kutipan sebagai bukti komparatif dalam perpustakaannya. (gambar 2)
Etnografi komparatif (perbandingan) bukanlah ilmu baru di awal abad ke-18, misalnya, ilmu tersebut telah berulang kali diterapkan sejak abad ke-16 untuk menjelaskan asal usul orang Indian Amerika. Kesamaan antara adat istiadat orang Indian dan orang-orang kuno memvalidasi gagasan bahwa orang-orang Indian berasal dari Asia, Afrika atau Eropa sebelum beremigrasi ke Amerika. Dengan cara ini dapat dikatakan bahwa orang Indian adalah salah satu suku Israel, Scythes, Ethiopia atau Viking8. Ada banyak perdebatan tentang kandidat-kandidat populer, misalnya di Belanda antara Hugo de Groot (Grotius) dan Johanes de Laet pada catatan De Groot, De Origine Gentium Americanarum Dissertatio (1642)9. Metodologi etnografi serupa diikuti dalam menentukan asal mula etnis Khoikhoi (Hottentot) yang cukup terisolasi di Tanjung Harapan10.
Valentyn akrab dengan publikasi-publikasi tentang hal ini. Di perpustakaannya ada terjemahan bahasa Perancis dari karangan Jose de Acosta yang terkenal Historia natural y morral de las Indias (1590), dimana adat istiadat orang India dibandingkan dengan orang-orang kuno, selain itu terjemahan bahasa Belanda dari I viaggi di Pietro della Valle (1658), dimana Pietro della Valle membandingkan Hinduisme di India dengan praktik keagamaan dari dunia klasik11. Untuk deskripsinya tentang Cape Colony, Valentyn memanfaatkan secara ekstensif Capvt Bonae Spei Hodiernvm (1719) karya Peter Kolb yang baru-baru ini diterbitkan, dimana Kolb mengklaim Cape Koikhoi adalah keturunan orang Yahudi12. Valentyn merumuskan model komparatif untuk orang Ambon, yang menurutnya orang Ambon digolongkan dalam skala universal perkembangan umat manusia, yang dengannya dia mencoba menghasilkan wawasan untuk penafsiran alkitabiah. Kompleksitas model pada awal abad ke-18 hanya dapat disamai oleh Joseph-Francois Lafitau (1681 -1746), penulis Mœurs des sauvages américains comparées aux mœurs des premiers temps (1724), dimana Lafitau menggambarkan orang Indian Kanada. Valentyn memiliki salinan buku itu di perpustakaannya13, tetapi karena waktu penerbitan buku Lafitau sama dengan “Van de Amboinees” di Oud en Nieuw Oost Indien, kecil kemungkinan Valentyn telah mengambil idenya dari Lafitau. Fakta bahwa buku Lafitau telah diperoleh di suatu tempat antara tahun 1724 dan kematian Valentyn pada tahun 1727, jelas menunjukan minat khusus pada etnografi komparatif.
Sejauh yang dapat saya (penulis) tentukan, Valentyn memiliki 2 tujuan dengan metodologi etnografi komparatifnya : dia ingin mengurangi representasi karikatur Belanda yang ada tentang orang Ambon dan menghasilkan pengetahuan etnologis, yang antara lain akan berguna bagi penafsiran alkitabiah. Dalam implementasinya ada banyak kesesuaian antara tujuan-tujuan ini. Setiap kontekstualisasi praktik-praktik orang Ambon yang aneh (menurut perspektif orang Belanda) meningkatkan pengetahuan etnografi, dan setiap perbandingan ilmiah yang ditarik antara orang Ambon dan orang-orang kuno memberi orang Ambon dalam bagian budaya yang masih dijunjung tinggi oleh setiap orang Eropa yang “membaca dengan baik sejarah Yunani dan Romawi” (hal 139). Mengingat daftar pelanggan Oud en Nieuw Oost Indien – diantara mereka banyak anggota bangsawan dan pengacara – pembaca terpelajar seperti itu mungkin juga pembaca sebenarnya dari buku Valentyn. Aspek penting lain dari metodologi Valentyn adalah perbandingannya beroperasi dalam 2 arah : praktik-praktik orang Ambon diperjelas dengan mengacu pada dunia kuno dan dan kekunoan, serta Akitab dapat lebih dipahami dengan mempelajari orang-orang Ambon14
“Pemikiran Bodoh”
Di awal bagian “Van de Amboineesen”, Valentyn menempatkan perspektif praktik-praktik yang dianggap oleh orang Belanda, sebagai problematis, dengan maksud eksplisit untuk mengurangi sifat aneh atau ofensif mereka. Di bagian akhir, teks paralel yang tidak memiliki signifikansi moral ditarik/disimpulkan (lihat tabel 2). Sebagian besar berkaitan dengan praktik orang Yahudi dari kitab Perjanjian Lama.
Sejauh tanggapan Valentyn terhadap perspektif orang Eropa, kemungkinan besar ia membantah pandangan negatif tentang orang Ambon yang berlaku di kalangan pejabat kolonial Belanda setempat. Sebagai bekas anggota elit kolonial Ambon, Valentyn pasti lebih dari akrab dengan pendapat semacam itu15. Dalam “Memorie van Overgave” (Memori serah terima jabatan – Memorandum of the transfer of power) tahun 1706 dari Gubernur Balthasar Coyette, misalnya, dikatakan : “bahwa orang Ambon itu bodoh, kurangajar, sombong (terutama orang Moor [Muslim] dari pesisir Hitu dan Manipa) dan malas, semuanya diketahui untuk semua orang di sini”16. Menurut Coyett, orang Ambon itu lebih kasar dan suka bertengkar. “Semua orang di sini” memiliki pendapat yang sama, yang mungkin berlaku untuk pejabat-pejabat di lingkup Gubernur. Pendahulu Coyett, Gyselsf, sebelumnya menggambarkan orang Ambon sebagai “pemalu”, tidak setia, percaya takhayul dan, dalam salah satu laporan tentang perdagangan tukang emas mereka, sebagai “orang udik yang tidak memiliki ilmu selain memalsukan emas dan perak”17.
Valentyn mencoba untuk menciptakan citra orang Ambon yang lebih bernuansa dengan memusatkan perhatian pada kapasitas intelektual mereka. Orang Ambon, menurut Valentyn, tidak sebodoh yang terlihat. Namun demikian, tidak jelas apakah dia (Valentyn) mengajukan argumen yang ditujukan untuk merusak pandangan yang sudah mapan atau apakaah dia hanya menempatkan pandangan tersebut ke dalam perspektif, karena menurutnya “fakta” lebih rumit daripada pendapat simplistik yang diyakini oleh pengamat Belanda yang dangkal. Valentyn sama sekali tidak menolak pendapat yang tidak setuju dalam deskripsinya tentang orang Ambon, melainkan menggunakan ketidaksetujuan yang terus terang dari orang Ambon sebagai titik tolak untuk menciptakan perspektif yang lebih seimbang.
Sudah sejak di awal risalahnya, Valentyn memperkenalkan contoh ketidaksetujuan tersebut. Tentang orang Ambon, dia berkata : “secara tradisional, mereka adalah orang yang kasar, liar, kurangajar, tidak bergairah, melankolis, bodoh, dan orang yang paling mudah tertipu, meskipun mereka telah berubah belakangan ini” (hal 138). Pada kesempatan lain, ia juga menggunakan ciri-ciri yang merendahkan yang serupa18, tetapi kebanyakan menempatkannya dalam perspektif dengan menampilkan “kebodohan” orang Ambon sebagai ciri khas yang termasuk dalam fase perkembangan primitif manusia, yang pada masa sebelumnya juga hadir di dalam [kebudayaan] Yunani dan Romawi.
Ciri-ciri pertama yang dimasukan Valentyn ke dalam perspektif adalah mitos-mitos orang Ambon tentang asal usul, yang nampaknya khas dari kebodohan dan ketidaktahuan mereka (hal 138). Namun, jika dibandingkan dengan mitos orang Romawi, ciri-ciri ini tampaknya tidak aneh bagi orang Ambon :
Kita dapat menyimpulkan kekuatan nalar mereka [orang Ambon] yang terbatas dari kisah-kisah luar biasa yang mereka ceritakan tentang asal usul mereka. Ada yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan buaya, yang lain dari kursi yang terbuat dari bambu atau pohon berlubang, dan sejenisnya. [.....] saya telah mengetahui beberapa, selama saya tinggal, yang dengan teguh menjunjung tinggi hal ini, dan yang berpura-pura sebagai keturunan buaya, dan, sebagai konsekuensinya, membayangkan memiliki garis keturunan paling mulia di negeri, tidak kurang dari mereka yang berhubungan dengan para dewa di antara orang Romawi (hal 139)
Setelah memberikan beberapa contoh mitos asal usul orang Ambon, Valentyn mempersempit perbandingannya dengan dongeng orang Yunani dan Romawi. Pembaca yang akrab dengan sejarah Yunani dan Romawi, bagaimanapun juga akan mengetahui cerita-cerita aneh dari zaman kuno, seperti “bahwa orang-orang itu, ketika mereka tidak tahu nenek moyang mereka dan tidak ingin dianggap sebagai anak haram, disebut Terrae Filii, putra bumi atau lahir dari bumi, atau, ketika mereka berasal dari garis keturunan bangsawan, Heroum, vel Deorum Filii, putra para pahlawan atau dewa (hal 139)19. Elaborasi Valentyn tentang gagasan bahwa orang Yunani dan Romawi juga ide-ide aneh yang berkembang tentang asal usul mereka diikuti oleh serangkaian mitos fantastis tentang asal usul klasik kuno. Salah satu cerita kuno teraneh adalahh bahwa segala sesuatu berasal dari sebutir telur (hal 140). Sesudah itu Valentyn menggunakan motif telur untuk membuat perbandingan dengan Alkitab20, yang dia gunakan dengan cara etnografis yang sama sebagai sumber sejarah seperti teks-teks lain :
Bahwa segala sesuatu yang berasal dari telur, adalah ide yang sangat tua, yang memiliki sumber dalam kitab Kejadian pasal 1 ayat 2, dimana Roh Tuhan bergerak di atas permukaan air, karena menurut banyak ahli, akar kata [untuk Roh Tuhan yang bergerak] pada kenyataannya mengacu pada tindakan burung, menyebarkan sayapnya, duduk di atas telur (hal 140).
Karena cerita Yahudi dalam kitab Kejadian adalah kisah paling tua21, mitos-mitos orang kafir tentang dunia yang berasal dari telur dapat disimpulkan dari kitab Kejadian pasal 1 ayat 2. Menurut “banyak ahli”, kata Ibrani untuk “[Roh Tuhan] yang bergerak [di atas permukaan air]” juga digunakan untuk menggambarkan sayap burung yang sedang mengeram. Oleh karena itu, melalui pendekatan etnologis, Valentyn mengaitkan narasi alkitabiah dengan mitos-mitos penyembah berhala, yang kemiripannya dengan dongeng-dongeng Ambon telah terbukti. Valentyn mengikuti argumentasi serupa untuk mitos kafir tentang putra Saturnus yang dikenal sebagai Terrae Filii, putra bumi. Menurut Valentyn, ungkapan Latin yang berasal dari kata Ibrani untuk Adam, yang secara harfiah berarti “bumi merah”. Berdasarkan keberadaan mitos aneh asal usul dalam budaya Yunani dan Romawi, dan hubungan etimologis antara mitos-mitos ini dan Alkitab, Valentyn menyimpulkan bahwa pandangan orang Ambon tentang asal usul mereka memang “bodoh”, tetapi bahwa orang-orang yang tak seorang pun percaya bahwa mereka bermental lemah, memiliki mitos yang serupa : “segala sesuatu yang telah kami rujuk, berfungsi untuk menetapkan bahwa pendapat bodoh seperti itu biasa terjadi pada orang-orang paling bijaksana di dunia pada masa sebelumnya, seperti halnya juga dengan orang Ambon” (hal 141)22. Keyakinan pada mitos asal usul “bodoh” tidak mengindikasikan bahwa mereka menderita gangguan mental yang serius; hal itu lebih merupakan efek samping dari fase perkembangan primitif.
Metodologi etnografi komparatif yang bekerja dalam contoh-contoh yang diberikan berfungsi sebagai bentuk inventio retoris dimana Valentyn menyusun argumen dengan cara perbandingan (loci a simili) untuk mengurangi wacana tentang orang Ambon di kalangan pejabat kolonial Belanda. Valentyn tidak berusaha untuk mengubah vituperatio, pernyataan yang sangat negatif, menjadi representasi positif, melainkan menjadi sesuatu di antaranya, sebuah dubium23. Ketika karakteristik yang tidak menyenangkan dan aneh, kebiasan dan pandangan orang Ambon tampak hadir juga di zaman kuno, seperti budaya orang Batavia (Belanda kuno), Inggris, Yunani, atau Romawi, dan dalam Alkitab, metodologi komparatif ini sampai batas tertentu dapat membantu mengurangi keterasingan orang Ambon dan membuat kebiasaan mereka lebih dapat diterima. Kebiasaan aneh orang Ambon pada akhirnya mirip dengan fase-fase awal sejarah orang Eropa, yang “melunakan” kekejian mereka. Jika ada kesamaan dengan orang Yahudi, Yunani atau Romawi kuno, efek kontekstualisasi paling menonjol karena orang Ambon berbagi keteladanan dari orang-orang ini. Perbandingan dengan orang Batavia juga akan berdampak simpatik pada para pembaca Belanda yang sejak abad ke-16 telah mengetahui bahwa orang Batavia primitif adalah leluhur mereka.
Siegfried Huigen, penulis artikel |
Di bawah tema “potong kepala /perburuan kepala (pengayauan)”, misalnya, Valentyn menyebut haus darah orang Batavia di samping tindakan haus darah bangsa lain. Orang Ambon bukan satu-satunya pemburu kepala; perburuan kepala adalah hal yang umum di antara “kebanyakan orang Timur...orang Persia, Mongolia, Turki dan Ethiopia”, dalam Perjanjian Lama (Holofernes dan Goliath), dan dalam karya Vergil, Aenid (Priam). Dalam ketentaraan Batavia pimpinan Claudius Civilis, membunuh musuh (bukan perburuan kepala secara langsung) adalah ritual inisiasi : “selama tentara Claudius Civilis tidak membunuh musuh, mereka tidak diizinkan untuk memotong rambut atau janggut mereka, dan mereka tidak diizinkan memakai cincin lengan besi” (hal 150). Aspek tajam dari perburuan kepala yang dilakukan orang Ambon adalah lagipula bahwa tiap kemenangan diterima oleh para wanita dan gadis penabuh gendang yang, menurut Valentyn, menunjukan kesamaan dengan para perawan penabuh genderang dalam kitab Mazmur pasal 68 ayat 26 dan I Samuel pasal 18 ayat 6 – 724. Kemiripan wanita Ambon dengan para perawan alkitabiah, dengan demikian “melunakan” haus darah yang kejam para pemburu kepala asal Ambon.
Menggunakan strategi retorika untuk menempatkan praktik-praktik eksotis yang tampaknya tidak pantas ke dalam perspektif, sudah lumrah dalam pendekatannya Jose de Acosta pada akhir abad ke-16. Dalam pengantar tentang sejarah moral Amerika, Acosta memperingatkan pembacanya :
Seandainya ada orang yang mulai bertanya-tanya tentang beberapa upacara dan adat istiadat orang Indian dan membencinya seolah-olah itu tidak wajar dan canggung, atau menolaknya sebagai penghujatan dan jahat, orang itu harus melihat apa yang dilakukan oleh orang Yunani dan Romawi (yang menguasai dunia), dan melihat apakah mereka tidak melakukan hal serupa dan terkadang lebih buruk, seperti yang dapat dengan mudah dipahami dari penulis [Kristen] kitaa dan juga dari [penulis] mereka sendiri [....]25.
Acosta menemukan alasan di balik kesamaan antara praktik orang Indian dan Yunani kuno serta Romawi dalam perilaku “pangeran kegelapan”. Hal ini tidak penting bagi pendeta Valentyn yang tercerahkan, karena itu tidak akan membantunya untuk menjelaskan bagian-bagian teks Alkitab berdasarkan pengamatan adat istiadat orang Ambon.
==== bersambung ====
Catatan Kaki
1. Kutipan-kutipan dan referensi untuk Valentyn dalam bab ini diambil dari “Beschryvinge van Amboina” (Valentyn F., Oud en Nieuw Oost-Indiën [. . .]. (Dordrecht/Amsterdam, Van Braam and Onder de Linden: 1724–1726; 1724: 2, 1, 1–351); sebaliknya kalau diindikasikan, saya menggunakan metode kutipan dari Fisch (Fisch J., Hollands Ruhm in Asien. François Valentyns Vision des niederländischen Imperiums im 18. Jahrhundert (Stuttgart: 1986) 142–6).
2. Saya mengikuti penggunaan Coronil dalam terma tentang subaltern : “dominasi dan pengganti bukanlah sifat pembawan, namun memiliki hubungan karakteristik. Subalternity tidak merujuk pada menjadi subjek namun negara/wilayalah yang menjadi subjeknya. Oleh karena itu, raja lokal yang ditawan dapat disebut sebagai “subaltern/pengganti” (Coronil F., “Listening to the Subaltern: The Poetics of Neocolonial States”, Poetics Today 15 (1994) 649).
3. Perbandingan ini mungkin sedikit “jauh” daripada yang nampak : lihat kajian Pagden tentang asal usul konsep “hak asasi manusia” dalam konteks kolonial (Pagden A., “Human Rights, Natural Rights, and Europe’s Imperial Legacy”, Political Theory 31, 2 (2003) 171–199)
4. Knaap G.J., Kruidnagelen en Christenen. De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de bevolking van Ambon 1656–1696 (Leiden: 2004) hal 80–81, memberikan versi lain dari kejadian ini yang berdasar pada dokumen-dokumen dari arsip-arsip VOC. Menurut Knaap, Pelimao (Pelimau) adalah seorang Muslim dan pengkhianatnya bukan Du Pree, tetapi seorang raja lokal. Namun kedua versi konsisten tentang kejadian latar belakang Pelimao ditangkap.
5. ‘Beschryvinge van Amboina’ (Valentyn , 1724: 2, 1, 1–351); ‘Van de Amboineesen’ (Valentyn , 1724: 2, 1, 138–189). Kisah Pelimao diikuti oleh bagian penjelasan teknologi pelayaran orang Ambon yang kurang bersignifikan pada perspektif orang Ambon dewasa ini
6. Definisi orang Ambon sebagai penduduk Ambon oleh Valentyn nampaknya dapat disamakan dengan definisi dari Bartels di masa kini. (Bartels D., In de schaduw van de berg Nunusaku. Een cultuur-historische verhandeling over de bevolking van de Midden-Molukken (Utrecht: 1994) 28–29). Knaap menggunakan istilah “Ambonese/orang Ambon” juga pada penduduk Seram dan Buru (Knaap G.J., “De Ambonse eilanden tussen twee mogendheden”, in Locher-Scholten E. and Rietbergen P.J.A.N. (eds.), Hof en handel. Aziatische vorsten en de VOC, 1620–1720 (Leiden: 2004) 27–39).
7. Valentyn menggunakan karya terkenal Livinus Lemnius De occultis naturae miraculis (1573), buku 3, bab 3, sebagai sumbernya.
9. See Rubiès, “Hugo Grotius ’s Dissertation”.
10. Huigen S., Knowledge and Colonialism. Eighteenth-Century Travellers at the Cape (Leiden/ Boston: 2009) chapter 2.
11. Auction catalogue with title ‘Acosta : Libri in Oct. & min. form.’ p. 50, nr. 735; Auction catalogue with title ‘Della Valla: Libri Hist. & Misc. in Quarto’ p. 103, nr. 677: ‘Reisbeschryving van Pietro della Valle ’.
12. Kolb P., Capvt Bonae Spei Hodiernvm: das ist, Vollständige Beschreibung des Afrikanischen Vorgebürges der Guten Hofnung (Nürnberg, Monath: 1719); Huigen, Knowledge and Colonialism, chapter 2.
13. Auction catalogue, p. 97, nr., 614. See Motsch’s work on Lafitau (Motsch A., Lafitau et l’émergence du discours ethnographique (Sillery, Québec: 2001).
14. Lafitau melakukan hal yang sama. Dalam kasus perbandingannya menghasilkan penjelasan saling menguntungkan dari praktik-praktik keagamaan orang Indian dan kaum pagan Yunani dan Romawi (Lafitau J.-F., Mœurs des sauvages américains comparées aux mœurs des premiers temps (Paris: 1724) 3–4).
15. Valentyn tinggal di Maluku, dan khususnya di Ambon, sejak tahun 1686 hingga 1694 dan 1706 hingga 1714.
16. Knaap G.J., Memories van overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw (’s-Gravenhage: 1987) hal 291. Rumphius pada tahun 1679 jua memiliki pandangan yang sama : “ adalah benat bahwa Ambon menghasilkan orang bodoh dan liar, tolol, dan aneh (Buijze W. (ed.), De generale lant-beschrijvinge van het Ambonse Gouvernement ofwel De Ambonsche Lant-beschrijvinge door G.E. Rumphius (The Hague: 2001) 2.
17. Knaap, Memories van overgave 45, 51, 53, 60.
18. Valentyn , 1724: 2, 1: 139, 142, 147, 148, 149–150.
19. Pandangan ini dipinjam dari Tertullian Apologeticum, X: ‘[. . .] nam et terrae filios vulgus vocat quorum genus incertum est’ (‘[. . .] khalayak umum menyebut mereka adalah anak-anak bumi, yang asal usul mereka tidak diketahui” (Tertullian, L’Apologétique et les prescriptions de Tertullien (Paris: 1823) 70).
20. Valentyn menggunakan terjemahan abad ke-17 dari Alkitab berbahasa Belanda, yang disebut Statenvertaling (1637). Referensi dan kutipan dalam kajian ini berasal dari versi [Alkitab] King James.
21. Karena diasumsikan bahwa bahasa Ibrani merupakan bahasa tertua, mitos-mitos kaum pagan merupakan hibridisaso dari pengungkapan dewa dalam kitab suci (Seznec J., The Survival of the Pagan Gods. The Mythological Tradition and its Place in Renaissance Humanism and Art (New York: 1953) 250).
22. Valentyn bersandar pada tradisi mitos yang kaya dimana mitologi kaum pagan dihubungkan dengan (see Seznec, The Survival of the Pagan Gods). Pada abad ke-18, pandangan bahwa manusia berasal dari bumi dianggap pemikiran yang terbelakang ( Johnson J.W., “Of Differing Ages and Climes”, Journal of the History of Ideas 21, 4 (1960) 465–80).
23. Lausberg H., Handbuch der literarischen Rhetorik (Munich: 1960) 217, 230, 57–58, 129–136.
24. “Di depan berjalan penyanyi-penyanyi, dibelakang pemetik-pemetik kecapi, di tengah dayang-dayang yang memalu rebana” (Mazmur 68: 26); “Tetapi pada waktu mereka pulang, ketika Daud kembali sesudah mengalahkan orang Filistin itu, keluarlah orang-orang perempuan dari segala kota Israel menyongsong Raja Saul sambil menyanyi dan menari-nari dengan memukul rebana, dengan bersukaria dan dengan membunyikan gerincing; dan perempuan yang menari-nari itu menyanyi berbalas-balasan katanya Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa” (I Samuel 18: 6-7)
25. Acosta J. de, Historie Natuael en Morael van de Westersche Indien, trans. Jan Huygen van Linschoten (Amsterdam, Hendrick Laurensz.: 1624) fol. 92, r.
Catatan Tambahan :
a. Menurut sumber dari Gerrit J Knaap dan sumber gereja, Pelimao atau Pelemahu adalah “raja” dari negeri Bessy, suatu negeri yang berdekatan dengan negeri Tamilouw di pesisir Seram Selatan
§ Kort Berigt Bij Forme van Memorij......door Anthonio Hurdt, 31 Mei 1678, Ara : VOC 1334 folio 653-671; Arsip : Ambon 716c (dimuat oleh Gerrit Knaap, Memories van overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw (’s-Gravenhage: 1987) hal 239, 241, 242
§ Rapport Betreffende een visitatie van Kerken en Scholen op Ambon, Manipa, Buano, Ceram, Saparua en Nusalaut door DS Jacobus Montanus, Ambon z.d [Mei 1674]. NA, VOC 1300, folio 906r – 927v. Afscrift (Niemeijer, Hendrik.E, End, Th van den, Schutte, G.J. Bronnen Betreffende Kerk en School in de gouvernementen Ambon, Ternate en Banda ten tijde van de VOC (1605-1791), Eerste deel, eerste band, hal 438 – 458, khususnya hal 450, (HUYGENS ING (KNAW), Den Haag, 2015
b. Gubernur De Vicq adalah Robert de Vicq yang menjadi Gubernur Ambon pada 7 Juni 1678 hingga 27 Agustus 1682.
§ Doren, van J.B.J. De Moluksche Laandvoogden van het jaar 1605 tot 1818, J.D.Sybrandi, Amsterdam, 1808 (hal 98-99)
§ Ludeking, E.A.W. Lijst van Gouverneurs van Ambon, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 14 (1864), pp.533
c. c. Menurut sumber dari Valentyn sendiri, Philip du Pree menjadi sekretaris pengadilan atau secretary Landraad van Ambon sejak tahun 1658 hingga 1676. Ia kemudian diganti oleh Alexander Latil (1676 – 1688). Informasi dari Valentyn yang dikutip oleh penulis tentang status Du Pree yang menjadi sekretaris pengadilan dalam insiden Pelimao ini, sebaiknya dipahami sebagai “bekas/mantan” sekretaris. Hal ini disebabkan karena Du Pree telah mengakhiri jabatannya pada tahun 1767 dimasa Gubernur Anthonio Hurdt (1672 - 1678), ditambah lagi bahwa Robert de Vicq barulah menjadi Gubernur pada periode 1678 -1682 (lihat catatan tambahan huruf b di atas), dan yang menjadi sekretaris pengadilan adalah Alexander Latil (1676 – 1688).
d. d. Pada masa VOC, ada 2 peradilan yaitu Raad van Justitie dan Raad van Land atau Landraad. Masalah hukum yang dilakukan oleh para pegawai VOC dan orang Belanda diselesaikan oleh Raad van Justitie, sedangkan untuk orang pribumi diselesaikan oleh Landraad.
e. e. Balthasar Coyett menjadi Gubernur Ambon pada Juni 1701 hingga Mei 1706
§ Doren, van J.B.J. De Moluksche Laandvoogden van het jaar 1605 tot 1818, J.D.Sybrandi, Amsterdam, 1808 (hal 114 - 116)
§ Ludeking, E.A.W. Lijst van Gouverneurs van Ambon, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 14 (1864), pp.534
f. f. Artus Gijsels menjadi Gubernur van Ambon pada 24 Maret 1631 hingga 7 Mei 1634
§ Doren, van J.B.J. De Moluksche Laandvoogden van het jaar 1605 tot 1818, J.D.Sybrandi, Amsterdam, 1808 (hal 35-59)
§ Ludeking, E.A.W. Lijst van Gouverneurs van Ambon, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 14 (1864), pp. 526
Tidak ada komentar:
Posting Komentar