Oleh
[W.Ph. COOLHAAS]
A. Kata Pengantar
Adalah mungkin membanggakan buat orang Ambon, saat sejarah mencatat bahwa orang Indonesia (Nusantara) kedua yang berada di negara Belanda adalah orang Ambon sendiria. Sejarah memberi kesaksian bahwa pada tahun 1608, 3 anak-anak Ambon berusia 10 – 12 tahun adalah orang kedua yang dimaksud. Mereka adalah Halaeni/Halaene, putra dari Tepil, kapitan van Hitu, Laurens de Fretis, putra Marcus de Fretis (pemimpin/kepala negeri Hative), dan Martinho, putra Antonio Gousal (pemimpin/kepala negeri Tawiri). Sekitar 13 tahun kemudian, di tahun 1621 ada 5 orang Ambon lagi yang tiba di Belanda dengan tujuan belajar theologia.
Artikel pendek sepanjang 4 halaman ini ditulis oleh Willem Philipus Coolhas atau W.Ph. Coolhas (1899 -1981), seorang profesor Belanda, dengan judul berbahasa Belanda Indische Prinsen op een Holandsche School in 1621, dan dimuat pada jurnal atau majalah Amstelodamum, jaargang/jaarboek 39 (tahun ke 39), edisi Maret 1952, halaman 41 – 44. Artikel ini sebenarnya adalah penjelasan lebih lanjut dari artikel “mini” atau mungkin lebih tepatnya penggalan informasi yang ditulis oleh I.H.v.E pada halaman 13 dalam jurnal atau majalah tersebut. Pada halaman tersebut, sang penulis menyebut bahwa berdasarkan akta Kerkeraad Gereformeerde (Dewan Gereja Reformasi Belanda) tertanggal 1 Juli 1621 : Also wat Oostindien sijn overgekomen twee koningskinderen, twee orankas kinderen ende noch een vijffde sijnde geboren een Nederlandsche vader.....(telah datang dari negeri Timur, 2 anak raja, 2 anak orang kaija dan anak ke-5 adalah lahir dari ayah seorang Belanda.....)
Ada informasi menarik yang disampaikan oleh Coolhas, bahwa sekitar 1 tahun lebih setelah belajar theologia dan bahasa Latin, anak-anak tersebut mampu menulis “kalimat emas” dari mereka sendiri, yaitu diambil dari potongan ayat-ayat Alkitab, dan kalimat ciptaan mereka sendiri.
Kami merasa perlu membagi pengetahuan “langka” ini bagi pembaca, karena mungkin banyak orang, khususnya orang Ambon sendiri yang belum mengetahui informasi berharga ini. pada artikel terjemahan ini, kami menambahkan catatan tambahan dan beberapa gambar dan lukisan sebagai “penguat” dari isi artikel ini. Akhir kata... selamat membaca... selamat memahami sejarah masa lalu kita... semoga kita bisa mengambil manfaat dari informasi berharga ini... salam!.
Lukisan ilustrasi pertemuan para pangeran Ambon & Maurits (1621) |
B. Terjemahan
Tentang keberadaan para Pangeran Hindia di Belanda pada awal abad ke-17, yang dapat anda sekalian lihat informasinya di halaman 13 dari jurnal kami inib, berikut ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Perusahaan Hindia Timur Belanda atau VOC, sangat “bermurah hati” dalam memberikan gelar-gelar untuk orang Asia ke dalam bahasa Belanda dengan cuma-cuma. Apapun gelar yang tinggi atau sederhana, yang mungkin dimiliki seorang dari timur, bagi VOC, ia adalah seorang “raja”, yang mana kata itu selalu diterjemahkan sebagai “koning”, baik berhubungan dengan seorang penguasa sebuah kerajaan yang besar dan kuat, atau dengan kepala suatu komunitas negeri/desa yang kecil.
fragmen tentang anak-anak Ambon oleh Rumphius |
Para pemuda yang dimaksud di sini adalah anak dari kepala/pemimpin komunitas negeri/desa, yaitu dari negeri-negeri Pulau Ambon. Mereka bukanlah anak-anak muda pertama di pulau mereka yang datang ke Belanda. Pada awal tahun 1608, Laksamana Matelieff yang terkenal membawa 3 anak laki-laki Ambon berusia 10 sampai 12 tahun “dengan keinginan bebasnya/sendiri” ke sini (Belanda). Mereka adalah HALAENI, putra Kapitan Hituc, kepala/pemimpin yang paling berkuasa di bagian utara dari 2 semenanjung, di mana Pulau Ambon berada, yang, setelah memperoleh gelar Kapitan karena pengaruh Portugis, yang sebenarnya bukan seorang “koning”, meski dia jelas lebih berkuasa/lebih tinggi daripada “pemimpin negeri” menurut kepangkatan, dan merupakan teman baik Belanda, juga LAURENS, putra “Don” Marcus, hoekom (=kepala/pemimpin) dari Hative (Hatiwe) dan MARTINHO, putra “Don” Antonio, Orang Kaija Tawiri. Di satu sisi, Matelieff ingin menunjukan kepada anak-anak lelaki ini, bahwa Belanda bukan hanya – seperti yang diklaim Portugis – kawanan bajak laut tanpa memiliki pemerintahan/negara yang baik, dan di sisi lain, dia ingin “mempertahankan” kesetiaan 2 kepala/pemimpin Hative dan Tawiri itu, yang termasuk paling penting dari Leitimor, semenanjung lain di Ambon, yang merupakan “teman yang dihormati”, dengan menjaga putra-putra ke negeri Belanda. Anak-anak ini tidak lama berada di Belanda; pada tanggal 30 Januari 1610 mereka kembali dengan armada Gubernur Jend VOC pertama, Pieter Both, ke Hindia Timurd. Masa tinggal mereka terlalu singkat untuk membuat mereka menjadi orang Kristen yang baik dan teman yang baik. Tidak diketahui lagi tentang informasi mengenai MARTINHO. HALAENI kembali ke agama Islam milik leluhurnya, tetapi tetap menjadi teman Belanda. Sementara LAURENS [MARCUS] justru sebaliknya, di kemudian hari dia semakin menjadi musuh VOC, tetapi dia tetap menjadi seorang Kristen, yang, di tahun-tahun pertama setelah dia kembali, bahkan memiliki kecenderungan untuk bertindak sebagai “pendeta”, dimana dia menjadi seorang yang sukses dan hebat.
“Sangatlah indah”, tulis [Jan Pieterszoon] Coen pada tanggal 28 Oktober 1622 kepada Herman van Speult, Gubernur VOC Amboina “bahwa melalui Laurens Marcus van Hativa, Pati Alangh telah menjadi seorang Kristen dengan sekitar setengah penduduk dari desanya...Dengan ini sebuah surat telah ditulis oleh Tuan Matelieff dan Domeny Lowrens Marcus”. Agaknya semangat misionaris dari kepala/pemimpin Ambon berusia muda, yang membuat van Speult untuk berkorespondensi dengan “kamar” Amsterdam VOC pada tahun 1617, mengusulkan agar beberapa anak kepala/pemimpin negeri pergi ke Belanda untuk belajar theologi di sana. Mereka nantinya akan bisa bekerja untuk [kepentingan] agama Kristen dengan lebih baik dibandingkan para pendeta Belanda, tidak seperti para pendeta Belanda yang selalu ingin kembali pulang ke Belanda, dan terlebih lagi....gaji 16 hingga 20 gulden sudah cukup untuk mereka, sehingga lebih murah daripada gaji para pendeta (domine) asal Belanda. Tuan-tuan di Amsterdam menerima proposal tersebut; pada tanggal 21 Maret 1619, [memerintahkan] kepada Gubernur Jenderal VOC dan Raad van Indie melalui kesempatan pertama untuk mengirim dari masing-masing wilayah tersebut, 2 calon pemuda, putra dari kepala/pemimpin negeri yang selama bertahun-tahun secara heroik berjuang dan setia pada Belanda, untuk belajar theologia di Belanda, dengan tujuan menyebarkan agama Kristen yang sejati di wilayah Ambon dan Maluku. Perlu dipahami di sini bahwa seluruh pulau antara Celebes (Sulawesi) dan New Guinea (Papua) baru disebut sebagai Maluku sejak awal abad ke-19. Sebelumnya [istilah] Maluku hanya dipahami untuk 4 kesultanan, yang berpusat di pulau Halmahera atau di pulau-pulau persis di sebelah baratnya, yaitu : Djilolo, Ternate, Tidore dan Batjan. Kata Maluku, mungkin berhubungan dengan kata Arab Malik (= raja/pangeran). Amboina dan wilayah sekitarnya tidak termasuk dalam lingkup istilah Maluku. Tugas tersebut tentu saja dialihkan oleh [Jan Pieterszoon] Coen kepada [Herman] van Speult, yang, seperti ia (van Speult) tulis dalam suratnya tertanggal 14 Agustus 1620, yang mengambil langkah-langkah sebagai berikut :
“ Volgens de ordre van de Ed. Heeren Meesters sende twee sonen van de coningen van Kielang ende Soije omme in t’ vaderlant in de theologie te studeeren, dewelcke, met veele beweechredenen daertoe gebracht hebbe, als oock dat eenige andere diergelycke luyden gesint waren hare kinderen te senden, dan de vrouwen, die hier bycans meester syn, scheennen sulcx te wederhouden, doch daer syn der naderhant noch andere 2 gecomen, dewelcke hare ouders, sicht genomen hebbende, dat des conincx van Kielangs ende Soyaes soonen mede gingen, tot sulcx oock geanimeert sijn, welcke jongens alrede mede soo verde syn gecomen, dat sy redelycker wyse duyts leesen ende verstaen connen. Ick ben wel halff becommert, off ick oock wel gedaen sal hebben by de E. Heeren Meesters, dat ick, in plaetse dat hare Ed. niet meer en ordonneeren als van 2 van hier te senden ende andere 2 uyt de Molucas, dat onnodich is te onderstaen, also de mooren (= Moslims) om geenen waeromme hare kinderen en sullen geven omme van ons in de Christelycke religie geinstrueert te werden, twyffele niet, off door de genade des Heeren sal door dese jonge luyden, als die tot perfectie sullen gecomen wesen, yets vruchtbaers verricht werden, oock en hoope niet, dat de Ed. Heeren Meesters soodanigen fauten sullen begaen met dese jonge luyden als wel begaen is met den soon van Capitan Hitoe, die vry wat te vroech wiert herrewaerts gesonden, want ingevalle sy hem in t’ vaderlant wat beter hadden laten instrueeren in de fondamenten der Christelycker religie, soude ongetwyffelt op synnen comste alhier so haest het moorsdom niet aengenoomen hebben, dat een sake van grooten gevolge voor ons soude geweest hebben, daer nu het tegendeel uyt hebben te verwachten. Naer t’ getuygenisse, dat van dese jongens gegeven wert, soo syn sij van een goet begrijp, dan soo de E. Heeren daer eenige vruchten van willen trecken, soo moeten sy cort in de schoole gehouden werde, dewyle de Amboynesen seer groote affectie tot hare kinderen dragen ende haer wellichtelijck soude verveelen soo lange hare absentie te moeten derreven. Des conincx van Soyens soon is hier ongeveerlyck over 8 a 10 dagen aen des overleden conincx van Hitoes dochter (denwelcken de regeeringe abandonneerde door den yver, die hy tot het Christendom hadde) verlooft, latende syn broeder in syn plaetse succederen.”
"Sesuai dengan perintah Ed. Heeren Meesters mengirim dua putra conings Kielang dan Soije untuk belajar teologi di tanah air (Belanda), yang, dengan banyak alasan mengagumkan, membawa hal ini, dan juga beberapa orang lainnya akan mengirim sebagai para putranya daripada para anak perempuan.............dan seterusnya..........
Coen sama sekali tidak menyalahkan temannya, van Speult, karena menyimpang dari tugasnya; dalam suratnya tertanggal 26 Oktober 1620 kepada Heeren XVII, dia bahkan menambahkan beberapa kata : “ Orang-orang dari Maluku siap untuk pergi; orang Ternate lebih suka tidak memperdulikan anak-anak mereka”.
Fragmen dari Rumphius |
Siapakah anak-anak muda ini sekarang ???. 2 anak “raja”, dan 2 putra pemimpin negeri lainnya, yaitu : MARCUS DE ROY, putra Manuel, Radja van Kilang, ANDREAS DE CASTRO, putra Radja van Soja (Soya), LAURENS DE FRETIS dari Hatiwe, serta LAURENS COELIOe dari Halong. Nama-nama [wilayah] geografis yaang disebutkan adalah nama negeri-negeri di semenanjung Leitimor; dapat disimpulkan dari nama-nama keluarga bahwa anak-anak laki-laki itu adalah orang Ambon, yang leluhurnya diberi nama Portugis yang bagus oleh saksi baptis Portugis ketika mereka dibaptis menjadi Kristen. Informasi yang disebutkan dalam artikel oleh I.H.v.Ef yaitu “anak kelima, lahir dari ayah Belanda”, pastilah Jan Tack, putra dari Jan Tack yang “menikah dengan seorang wanita dari Hatiwe, yang telah lama menjadi guru sekolah di semua negorijen (= desa/negeri) dan casteel (benteng)”. Jadi dia disebut anak pribumi di Hindia sampai abad ke-19 dan ternyata tidak dianggap sebagai warga negara Belanda. ke-5 anak itu berangkat dari Amboina pada tanggal 31 Agustus 1620, dibawah bimbingan kepala pedagang yang ingin kembali Belanda, Artus Gijsels, yang bersedia menjadi penasehat mereka sampai mereka tiba di Amsterdam. Coen dalam suratnya tertanggal 26 Oktober 1620 – dikirim melalui Walcheren, kapal yang ditumpangi oleh mereka untuk melakukan pelayaran – hanya menyebut 4 anak orang kaya dan tidak menyebut tentang Tack.
” Melalui instruksi, jangan lepaskan orang-orang Timur itu dan jangan secepatnya mengirim mereka kembali. Biarlah agama Kristen sejak awal berakar pada mereka, sehingga Perusahaan [kompeni] akan membuat sejarah yang besar. ”
Fragmen dari Valentijn |
Setahun kemudian mereka bergabung dengan “seorang pemuda Jawa, bernama Pieter Ducot, putra dari saudara laki-laki dari Syahbandar Japara, di Banda (menjelang penaklukan Banda, Maret 1621) yang telah dipenjarakan” dan oleh Coen “direkomendasikan” sebagai “warisan hadiah yang sangat bagus” dan pada tanggal 15 November 1621 diberangkatkan dengan [kapal] Hollandia ke Belanda. Saya [penulis] tidak bisa menemukan informasi lanjutan tentang anak ini dalam sumber-sumber. Maklum mahasiswa muda di Belanda cukup banyak menyedot perhatian. Pada tanggal 6 November 1622, Christiaan Brinckg, walikota Harderwijk, meminta mereka menuliskan sesuatu kedalam buku miliknya, yang menurut kolektor terkenal, Aernout van Buchel, bermanfaat untuk dimasukan kedalam catatan. Hal itu adalah kata-kata berbahasa Latin, kurang lebih berhubungan dengan nasib kaum muda. MARCUS DE ROY, yang menulis serta menandatanganinya sebagai Marcus natus rex Kylangih, misalnya telah menulis Amsal pasal 21 ayat 1, yang [jika] diterjemahkan ke bahasa Belanda (atau dalam bahasa Indonesia) : Tuhan memiliki hati raja di tangan-Nya; sedangkan Tack menulis : Karena pemberani, setiap tanah adalah tanah air/sebuah negara, dan Roma pasal 3, ayat 29 : Tuhan juga adalah Tuhan dari bangsa-bangsa; Ducot (yang menandatangani tidak dengan nama Pieter, tetapi dengan nama Johannes) : Di mana tidak ada tempat untuk kebajikan, di situ ada kekerasan, dan Efesus pasal 2, ayat 13 : Kita yang telah jauh menjadi dekat oleh darah Kristus.
Dapat diasumsikan bahwa mereka mendapat bantuan dalam mencari kata-kata tersebut oleh pendeta Wassenbergh, yang mengajari mereka agama Kristen dan Bahasa Latin. Pada tanggal 28 Juli 1627, pendeta ini menghadirkan mereka pada pertemuan Heeren XVII, dan meminta agar mereka diizinkan mengunjungi kota-kota utama Belanda sebelum mereka kembali pulang. Tidak hanya permintaan ini segera diterima dengan baik, tetapi para Tuan itu dengan senang hati melakukan tindakan yang sangat murah hati dengan memberikan 250 gulden untuk tujuan itu.
Surat dari 2 Raja Ambon kepada Raja Belanda |
LAURENS COELIO meninggal di Amersfoort, tetapi lain tetap hidup. Pada akhir Agustus 1629i, hanya 9 tahun setelah keberangkatan mereka dari Batavia, mereka kembali ke tanah air merekaj, lagi-lagi dibawah pengawasan Artus Gijsels, yang sekarang berangkat dengan status sebagai anggota Raad van Indie, sebagai komandan armada keberangkatan.
Surat 2 Raja Ambon kepada Raja Belanda |
Sayangnya, kita harus mengakhiri cerita ini dengan informasi kecil. Heeren XVII tidak menikmati hasil pekerjaannya. Philip Lucaszoon, Gubernur van Amboinak, dengan gaya renaisansnya yang kaku, harus melaporkan tentang “karakter” orang-orang muda itu, bahwa baik serigala atau pun macan tutul, tidak mungkin kehilangan sifat kurang ajar mereka... Dia (Philip Lucaszoon) sekali atau sekali lagi menasehati agar tidak lagi mengirim para pangeran Ambon ke Belanda !!!
==== Selesai ====
Catatan Tambahan :
a. Cees van Dijk, 1600 – 1898 : Gezanten, Slaven, een Schilder en enkele Scholieren (dimuat dalam Harry. J. Poeze, In Het Land Van de Overheerser : Indonesiers In Nederland 1600 – 1950, Dordrecht, Foris Publication, 1986, hal 2 – 4
§ Cees van Dijk menyebut bahwa orang Nusantara pertama yang datang ke Belanda adalah orang Aceh. Mereka adalah duta besar Kesultanan Atjeh, yaitu Abdul Zamat (Abdul Hamid), Seri Mahomat (Sri Muhammad), dan Meras San (Mir Hasan)
b. Pada halaman 13 dari jurnal/majalah Amstelodamum, jaargang 39 (1952), halaman 13....adalah artikel pendek oleh I.H.v.E.
c. Halaeni atau Halaene adalah putra atau anak dari Tepil, Kapitan van Hitu. Menurut sumber dari Rumphius, ketiga anak ini berangkat dari Ambon paada tanggal 3 Mei 1607
§ Rumphius, De Ambonse Historie........deel 1, hal 28
§ Francois Valentijn, Oud en Nieuwe Oost Indien, deel 2, bag 2 (ambonsche zaaken), eerste boek, eerste hoofdsttuk, Dordrecht, Joannes van Braam, 1724, hal 32 - 33
d. Armada ini atau kapal Het Wapen van Amsterdam tiba di Banten pada 19 Desember 1610
§ Lihat, Bijdragen tot de Taal,- Land en Volkenkunde van Netherlandsch Indie, deel XXXV, hal 257
§ M.A. van Rheede van der Kloot, De Gouverneurs-Generaal en Commisarissen-Generaal van Netherlandsch Indie 1610 -1880, s’Gravenhage, W.P. van Stockum & zoon, 1891 hal 23
e. Menurut sumber Valentijn, namanya MARCUS QUELJOS
§ Francois Valentijn, Oud en Nieuwe Oost Indien, deel 2, bag 2 (ambonsche zaaken), eerste boek, eerste hoofdsttuk, Dordrecht, Joannes van Braam, 1724, hal 45
f. Lihat catatan tambahan (a) di atas
g. Menurut sumber dari Wikipedia, namanya Ernst Brinck. Lahir tahun 1582 di Durlach, meninggal pada 4 Desember 1649 di Harderwijk. Putra dari Alphert Brinck junior dan Christina Boss. Ia menjadi burgemeester van Harderwijk pada 1619 – 1649.
§ https://nl.wikipedia.org/wiki/Ernst_Brinck
h. Namanya lengkapnya ds (pendeta) Petrus Wassenburg/Wassenberg
i. W.Ph. Coolhas agak berbeda informasinya soal periode kembalinya Artus Gijsels ke Hindia Timur yang notabene membawa para pangeran Ambon ini kembali pulang. Pada sumber yang satunya lagi Coolhas menyebut pada awal Desember 1629, sedangkan pada artikel ini, Coolhas menyebut akhir Agustus 1629
§ W.Ph. Coolhas, Generale Missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heeren XVII VOC, deel I, s’Gravenhage, Martinus Nijhoof, 1960, halaman 279, catatan kaki no 6 dan 7
j. Menurut sumber Rumphius, para pangeran Ambon ini telah tiba di Ambon pada tahun 1631. Informasi ini mungkin bisa disimpulkan bahwa para pangeran Ambon tiba bersama Artus Gijsels di Ambon pada 24 Maret 1631, dan pada tanggal 23 Mei 1631, Artus Gijsels secara resmi menjadi Gubernur van Amboina
§ Rumphius, De Ambonse Historie........deel 1, hal 44
§ Doren, van J.B.J. De Moluksche Laandvoogden van het jaar 1605 tot 1818, J.D.Sybrandi, Amsterdam, 1808 (hal 35-59)
§ Ludeking, E.A.W. Lijst van Gouverneurs van Ambon, (dimuat pada Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 14 (1864), pp. 526)
k. Philip Lucaszoon menjadi Gubernur Ambon pada 16 Juni 1628 – 23 Mei 1631
l. Catatan tambahan untuk lukisan yang tertulis : Vijf zonen van vorsten uit Indiƫ bij Maurits op audientie...........lukisan ini dilukis oleh Bernadus Mourik pada sekitar tahun 1775
Tidak ada komentar:
Posting Komentar