[Jacky Doumenjou]
Terjemahan (Inggris) : Cathy Gaboreau
- Pengantar
Kora-kora atau dalam kosakata orang Maluku lebih familiar dengan nama Arumbai/Orembai. Namun melalui artikel yang ditulis oleh Jacky Doumenjou sepanjang 15 halaman ini, arumbai atau kora-kora bukan satu-satunya alat transportasi yang digunakan oleh orang Maluku, khususnya di wilayah pesisir Ceram atau oleh orang Papua.
Artikel yang ditulis oleh sang penulis ini, menggunakan Relacion atau laporan dari perjalanan Miguel Roxo de Brito, yang melakukan perjalanan “menemukan” wilayah Raja Ampat di kepulauan Papua, dan juga Seram Laut pada tahun 1581-1582. Berdasarkan perjalanan inilah, de Brito menyaksikan beberapa jenis alat transportasi orang-orang Timur Nusantara yang digunakan dalam perdagangan maupun peperangan di antara mereka.
Artikel ini berjudul asli Kora-Kora, Junks And Baroto: Insulindian Boats In Portuguese Warfare And Trade According To The Relaçion Of Miguel Roxo De Brito (1581-1582), yang dimuat dalam Jurnal Anais De Historia De Alem-Mar (AHAM) atau Annals of Overseas History, volume XII, tahun 2011, halaman 123-137. Selain artikel dari Jacky Doumenjou ini, ada juga artikel dari Gregor.M. Metzig (tentang penembak artileri asal Jerman dan Belanda di kerajaan Portugis), Alan Strathern (tentang Srilangka dalam gambaran misionaris pada tahun 1540an), dan artikel-artikel dari beberapa sejarahwan Spanyol dan Portugis. Artikel milik Doumenjou ini terdiri dari 15 halaman, 5 gambar, 40 catatan kaki, dan 1 halaman berisi bibliografi.
Artikel yang kami terjemahkan ini, kami tambahkan dengan beberapa gambar ilustrasi untuk “melengkapi” gambar yang telah ada pada artikel aslinya. Akhir kata, selamat membaca, semoga pengetahuan kesejarahan kita semakin luas.
- Terjemahan
Banyak sejarahwan telah melakukan penelitian pada kapal-kapal berpapan tinggi, seperti carracks, yang digunakan selama ekspansi Portugis di Asia dan yang karakteristiknya relatif terkenal. Namun, mereka menghabiskan lebih sedikit esktu untuk meneliti kapal-kapal lokal, yang memungkinkan eksplorasi menyeluruh dari setiap sudut dan celah kepulauan Nusantara dan berkontribusi pada perdagangan antar pulau dan di seluruh Asia. Portugis dan khususnya para pedagang-petualang1 sering menganggap kapal-kapal lokal sebagai kunci keberhasilan mereka dalam mengintegrasikan pesisir laut yang luas, yang geografinya sebagian besar tidak diketahui selama paruh kedua abad ke-16. Para saudara Portugis berdagang secara lokal menggunakan perahu kecil yang membawa mereka ke kota-kota pelabuhan di selat Malaka, dan kadang-kadang lebih jauh ke timur di kepulauan itu2.
Kita tidak dapat cukup menekankan pentingnya pelayaran penjelajahan ini untuk eksplorasi dunia timur seperti juga sejarah orang Portugis. Penemuan “Kepulauan Rempah-rempah”, pelabuhan perdagangan besar di Nusantara, dan rute perdagangan yang lebih umum didokumentasikan dengan baik, tetapi kurang diketahui tentang wilayah-wilayah terpencil. Kita memiliki sedikit rincian tentang pelayaran pertama eksplorasi wilayah timur Kepulauan Maluku (sekarang dikenal sebagai Kepulauan Raja Ampat), dan pantai barat New Guinea yang pada masa itu disebut “Kepulauan Papua”.
Sumber tulisan tangan yang tersedia tentang belahan dunia ini sangat sedikit, dengan sifat yang beragam dan tidak banyak yang memuat deskripsi rinci tentang perahu-perahu yang pertama kali ditemui orang Eropa. Akibatnya, kita harus mengandalkan catatan-catatan pribadi yang dikirimkan oleh penulis Eropa, seperti Pigafetta arat Argensola, untuk mendapatkan gambaran tentang bentuk perahu-perahu yang berlayar di seluruh Nusantara, yang berubah sesuai dengan pergerakan komersial atau budaya, dimana Portugis adalah penemu pertama. Rincian perjalanan-perjalanan ini pada dasarnya dihubungkan oleh para penulis sejarah Portugis dan oleh beberapa pernyataan pendek, di antaranya adalah perjalanan orang Portugis, Miguel Roxo de Brito, yang terkenal dengan judul Relaçion que miguel roso de brito da de la nueva guinea. Manuskrip tersebut, saat ini disimpan di Lilly Library of Indiana University, dan disimpan oleh orientalis terkenal, Charles R. Boxer3, hingga kematiannya pada bulan April 2000.
Berkat Charles R. Boxer dan Pierre-Yves
Manguin, kita dapat mengenal Relaçion
milik Miguel Roxo de Brito, melalui artikel yang diterbitkan pada tahun 1979 di
jurnal Archipel dengan judul Miguel Roxo de
Brito’s narrative of his voyage to the Rajat Empat, May 1581-November 15824. Pada tahun 1994,
seorang mantan perwira di angkatan laut Belanda, J.H.K. Sollewijn-Gelpke,
menerbitkan di jurnal KITLV, sebuah artikel berjudul The Account of Miguel Roxo de Brito of his Voyage in 1581-1582 to the
Rajat Empat, the MacCluer Gulf and Ceram5.
Manuskrip Relaçion terdiri dari 20 folio, diberi nomor dari folio 139 (sisi pertama halaman) sampai folio 149 (belakang halaman). Manuskrip ini telah diekstrak dari kodeks Sino-Hispanik yang ditulis dalam bahasa Castilia dan disusun di Manila sekitar tahun 1590. Mungkin ini telah disalin dari versi aslinya dalam bahasa Portugis kemudian diterjemahkan dan disalin lagi dengan banyak kesalahan transkripsi, mungkin selama paruh pertama abad ke-16 dan sekali lagi pada abad ke-19. Seluruh kodeks terdiri dari berbagai dokumen, bersama dengan gambar berwarna-warni Kepulauan Filipina.
Penaklukan Malaka pada tahun 1511 membuka pintu bagi jalur-jalur navigasi utama di timur jauh. Dari pintu gerbang ini, kapal-kapal Portugis, yang selalu dinakhodai oleh orang-orang timur, datang lebih dekat ke pusat-pusat pasokan utama Asia, dan khususnya, “Kepulauan Rempah-rempah” yang terletak di Kepulauan Maluku. Pada April 1581, selama pertemuan Cortez di Tomar, Philip II diakui sebagai Raja Portugal. Di bawah penyatuan 2 kekaisaran ini, satu bulan kemudian, pada Mei 1581, Miguel Roxo de Brito melakukan perjalanan eksplorasi. Dia meninggalkan pulau Batjan di Maluku menuju pulau Waigeo, Misool dan Seram dan pantai barat New Guinea. Kabar terpilihnya Raja Spanyol menjadi Raja Portugis baru sampai di Maluku pada Maret 1582.
Kepulauan dalam satu Kepulauan: nao, kora-kora, junks dan baroto
Bagan rute pertama dan catatan pelayaran memberikan deskripsi rinci tentang fitur alam maritim yang begitu spesifik untuk kepulauan kaum pribumi : labirin-labirin pulau, pulau-pulau dan kepulauan yang membentuk kepulauan yang lebih besar. Banyak waktu sebelum kedatangan orang Eropa pertama, laut kaum pribumi, seperti Laut Banda, Seram dan Timor, semuanya berfungsi sebagai jembatan dan persimpangan jalan antara banyak populasi Nusantara (Jawa, India, Bugis, Timor, Maluku, Arab, Tionghoa, Papua, dll).
Portugis dan Spanyol dihadapkan pada kekhususan geografis yang tidak mereka persiapkan : pengelompokan kepulauan yang terdiri dari banyak pulau, pulau kecil, terumbu karang, dasar laut dalam, dll. Batas-batas zona maritim ini, masih belum ditentukan pada abad ke-16, membentuk penghalang yang sulit ditembus. Selain itu, kapal-kapal berpapan tinggi milik Portugis kurang cocok untuk eksplorasi dan pengawasan lingkungan baru ini. Dalam kroniknya, Conquista de las islas Malucas, Leonardo de Argensola dari Spanyol, memberi kita gambaran geografis Maluku : “Dari utara, ada Ternate, Tidore, Motiel, Maquien dan Bacham. (.....) Bacham terbagi menjadi banyak pulau yang terpisah dengan bentangan laut yang hanya dapat dilalui oleh perahu berbobot ringan/kecil”6.
Di New Guinea, pulau-pulau dan pantai, sama sekali tidak ramah untuk navigasi; rawa-rawa bakau mengalir di atas tanah padat, muara dangkal dan kondisi pasang surut memicu lubang berbahaya yang mampu mengakibatkan perahu terbalik; pantai dihiasi dengan terumbu dan dasar laut yang dalam; arus kuat mengalir di antara pulau-pulau; angin berubah-ubah dan populasi tidak ramah dan sering bermusuhan. Dalam rekomendasinya kepada Raja Philip II di akhir narasinya, Brito menekankan pentingnya kesulitan-kesulitan ini : “ Di tanah New Guinea, untuk sebagian dan untuk rute yang saya lalui, ada banyak hamparan dangkal, gumuk pasir dan bebatuan dan banyak rawa bakau, arus di antara banyak pulau. Air juga menciptakan banyak pusaran air; inilah alasan mengapa kapal-kapal berpapan tinggi tidak dapat melayari rute ini di New Guinea”7.
Orang-orang Eropa pertama yang menjelajahi wilayah kepulauan ini untuk pertama kalinya mengalihkan perhatian mereka ke kapal-kapal lokal, yang banyak jenisnya, besar dan kecil dan dengan karakteristik khusus untuk maritim; semuanya sangat cocok untuk transportasi serdadu dan barang, navigasi pantai dan antar pulau dan muara. Pelayaran eksplorasi kepulauan memaksa orang Eropa untuk beradaptasi dengan praktik navigasi lokal dan dengan demikian menyesuaikan diri dengan budaya maritim yang baru.
Pada Mei 1581, dengan 2 kora-kora, Brito berangkat bersama 40 orang dari Obi dan kepulauan Tapat, yang terletak dekat dengan pulau Batjan. Tujuannya untuk menjelajahi pulau-pulau dan pantai New Guinea yang disebut “ Tanah Orang Papua”. Namun, baru beberapa jarak saja, dia harus menurunkan orang-orang yang lebih muda demi hombres de fuerça, “orang-orang kuat” yang lebih mampu untuk mendayung. Pilihan perahu itu bukan tanpa alasan. Brito memilih kapal lokal terbesar. Kora-kora umumnya digunakan, untuk mengangkut muatan di kepulauan Maluku. Brito memahami ini dengan sempurna. Dia menggunakan kora-kora untuk misinya menjelajahi pulau-pulau untuk mencari tempat perdagangan lokal yang berpengaruh, rempah-rempah yang terkenal, produk baru yang menjanjikan, dan, tentu saja, emas dan budak.
Ketika Brito berlabuh di pulau Misool, raja bersumpah setia kepadanya dan meletakan “kalung emas” di sekitar haluan kora-koranya : “ [Dia] menyambut saya, menawarkan saya banyak hadiah, dan memasang kalung emas di sekitar haluan kapal kora-kora saya, yang pastinya bernilai 90 ducat”8.
Orang Portugis sangat tertarik dengan karakteristik teknis kapal-kapal lokal ini. Karena jumlah pendayungnya yang banyak, kora-kora menjadi kapal yang sangat cepat. Fakta teknis ini merupakan sumber keheranan yang terus menerus : “Dan saat saya berada di atas salah satu perahu ini, saya tidak dapat berdiri karena ringannya perahu, dan pada setiap hentakan mendayung, seluruh tubuh kehilangan keseimbangannya”9.
Cadik yang mengesankan ini, jelas bukan kapal lintas samudra, karena tidak bisa menjelajah ke laut lepas; itu hanya terbatas untuk tetap menjadi perahu “ penghubung” lokal yang berharga, yang disesuaikan dengan geografi pribumi dan memungkinkan kontak antara pulau-pulau, membawa sejumlah besar pendayung yang, jika perlu, menjadi prajurit cadangan.
Di pulau Batjan, yang terletak di Maluku, Brito menyewa kedua kora-kora, “dengan uang sendiri”. Tidak ada yang mengejutkan dalam fakta ini. Kita sebenarnya tahu, bahwa orang Maluku memiliki galangan kapal besar yang dirancang untuk membuat kora-kora perang yang besar bagi armada raja-raja Maluku. Jenis kora-kora ini adalah kano bagi pelayaran jauh khas Maluku, yang identik dengan fusta besar yang dilengkapi dengan cadik tempat duduk barisan pendayung, dan mirip dengan galey perdagangan Mediterania. Jenis ini bisa membawa sekitar 70 pendayung yang disebut oleh Brito sebagai “chiourma”. Dalam Relaçion-nya, chiourma merujuk pada “budak-budak kapal” atau “pendayung”, dan dalam hal apapun pastilah “orang-orang yang kuat”.
Jenis kora-kora ini memiliki lambung utama yang dilengkapi dengan dek tengah, yang menutupi seluruh panjang kapal. Penumpang dan barang terlindung di bawah dek yang terletak di tengah kapal, sedangkan para pendayung berada di sisi luar. Di setiap sisi lambung utama, para pendayung duduk di bangku berangkap. Perahu-perahu ini bisa berbobot sekitar 4 ton dan yang terbesar bisa membawa hingga 200 pendayung. Namun, menakhodai perahu semacam itu, terkadang berbahaya dalam kondisi cuaca buruk. Selama pengejaran di pantai utara Seram, hampir setahun setelah dia berangkat, Brito mengamati bahwa kora-kora menjadi sangat berat dan sulit untuk dikendalikan : “ (.......) Saya berharap saya punya waktu untuk beristirahat karena kedua kapal yang saya bawa ke Maluku sangat berat – kapal tersebut telah berada di laut hampir 1 tahun – dan chiourma telah habis”11.
Tidak ada informasi pasti tentang organisasi internal sebuah kora-kora. Awak kapal terdiri dari pendayung, pilot dan kapten. Seperti yang ditunjukkan oleh beberapa gambar dari abad ke-1712, artileri sederhana berupa jenis-jenis ringan seperti berços – culverin kecil – dan harquebus yang mungkin ditempatkan di atas dek. Dek kora-kora tidak bisa menampung artileri yang lebih berat. Karena kapal ini memiliki garis terapung rendah yang khas, kapal ini tidak dapat mengangkut beban artileri berat seperti meriam, yang harus ditempatkan di atas geladak dan bukan orlop atau penempatan darurat. Jenis artileri ringan, seperti culverin dan harquebus, dapat dibawa ke darat jika terjadi pertempuran darat.
Adalah mungkin untuk menemukan deskripsi rinci tentang kapal dayung besar ini dalam kesaksian Francesco Carletti, seorang pengelana Italia. Dalam Third Reasoning on Oriental Islands, yang ditulis selama perjalanan keliling dunia (1594-1606)13, ia mengamati bahwa orang Sumatra juga menggunakan kapal dayung yang disebut caracoli :
(.......) kami menggunakan perahu dayung tertentu, yang akan saya sebutkan untuk keunikan perahu mereka. Perahu itu disebut caracoli tetapi kita bisa menyebutnya brigs karena bentuk lambung dan ukurannya. Namun, metode mendayungnya sangat berbeda : 3 atau 4 pendayung per bangku, masing-masing memegang dayung yang menyerupai dayung kayu. Mereka mencelupkan dayung ke dalam air seperti kita melakukannya dengan sekop, duduk berjajar di cadik yang mencuat dari perahu, wajah mereka menghadap ke depan, mereka mendayung dengan cepat seperti satu kesatuan, sambil bernyanyi dengan gaya mereka sendiri. Kapal-kapal tersebut memiliki bentuk luar biasa, mengambil bentuk hewan dan burung yang fantastis dan unik, diukir dengan halus dan sangat ringan sehingga seolah-olah terbang di atas laut. Keseimbangan orang-orang yaitu para pendayung mempersulit kapal untuk oleng karena dengan duduk di atas cadik, dapat menyesuaikan kembali keseimbangannya”14.
Tentang subjek-subjek “bentuk-bentuk luar biasa” dari hewan dan burung yang fantastis, kita harus mengacu pada ukiran yang mengilustrasikan karya Jacob Cornelisz van Neck, yang diterbitkan di Middelburg pada tahun 160115, yang mana haluan dan buritan melambangkan ular naga. Kapal jenis ini memang menarik minat orang Eropa, dan kemudian pada abad ke-17, mereka menggunakan bentuk kapal ini untuk diilustrasikan pada beberapa buku16 tentang kapal-kapal dari Maluku dan Kepulauan Banda.
Rincian peristiwa yang diceritakan oleh Carletti cukup dekat dengan Brito sehingga mencengangkan. Brito juga menekankan ringan dan kemampuan manuver kapal. Dia tampak bingung pada fakta bahwa seseorang tidak dapat berdiri karena kecepatan kapal. Dia mengamati bahwa 70 pendayung bergerak dengan kecepatan luar biasa saat mendayung : “ (............) mereka membuat kapal yang sangat ringan yang menempuh lebih dari 12 liga17 dalam 1 hari dan memuat 4 baris pendayung : 1 baris di dalam lambung dan 3 baris di luar”18.
Masih pada waktu yang sama, dari tahun 1606 hingga 1609, Bartolomé Leonardo de Argensola, menulis sebuah teks dalam bahasa Castilia untuk Raja Philip III dari Spanyol, berjudul Conquista de las islas Malucas19. Karya ini menyebutkan, pada beberapa kesempatan, penggunaan carcoa oleh orang Maluku : “Mereka mencapai Kalimantan dan dari pantai ini datang ke arah mereka armada carcoa yang dicat, yang haluannya berbentuk kepala ular emas”20.
Ringan, cepat dan dengan angin yang cepat : itulah 3 kualitas utama kora-kora. Brito menyadari hal itu, ketika dia berlayar di sepanjang pulau kecil untuk mendapatkan persediaan air segar. Dia kemudian memimpin armada 13 kora-kora yang dia putuskan untuk berlabuh : “Di pulau ini, kami melabuhkan armada yang terdiri dari 13 caracoa (......)21.
Di lingkungan maritim Nusantara, hanya kapal-kapal besar China dengan lambung tunggal yang dapat menyaingi kapal-kapal berpapan tinggi Portugis untuk pengangkutan barang ke India, Siam, Champa dan Jepang. Tonasenya relatif besar dibandingkan dengan kapal-kapal Eropa pada waktu itu. Bentuknya terangkat di bagian belakang dan tiang-tiangnya yang berat membuatnya menyerupai kapal besar Eropa pada waktu itu. Junk-junk China memliki dek dan pegangan datar untuk memungkinkan muatan kargo yang besar. Umumnya memiliki tiga tiang, dan kemudi yang terletak di bagian belakang memudahkan untuk berlayar dan memungkinkan di banyak titik untuk menyaingi di laut lepas dengan sebagian besar kapal dagang Eropa22. Namun, kepulauan Maluku adalah tempat bagi kapal-kapal besar. Junk-junk Jawa digunakan untuk perdagangan antar kepulauan rempah-rempah dan Jawa. Brito tampaknya mengetahui jenis junk ini dengan sangat baik, saat mengunjungi sebuah pulau di lepas pantai New Guinea, markas besar komunitas perdagangan penting, ia mengamati dengan takjub : “Orang-orang Serdanha ini berlayar di antara semua kepulauan Timor melalui jalur-jalur internal, di atas kapal yang dibuat dengan baik dan mirip dengan junk-junk Jawa (......)”23.
Pedagang asli Papua, yang berasal dari pulau Cerdenha yang tidak teridentifikasi24, mengarungi seluruh nusantara – Jawa, Bali, Timor, Bima – untuk mencari emas, lilin, amber dan kayu cendana. Mereka pergi ke pantai timur Sulawesi untuk mencari besi, yang mereka tukar dengan kulit massoy, yang kemudian dikirim ke Jawa untuk memasok pantai barat New Guinea.
Penduduk daerah ini memperdagangkan kayu cendana, emas, kain, lilin, damar, dan besi. Mereka melakukan perjalanan ke Jawa dan Bali, Sumbawa dan pantai timur Sulawesi, dimana mereka membawa kembali besi dari wilayah itu, untuk ditukar di New Guinea dengan kulit massoy25, bahan yang sangat dicari di bidang pengobatan timur. Nusantara menghasilkan rempah-rempah yang paling berharga, yang dicari di Eropa tetapi juga di India, Persia dan Cina. Di Maluku, pohon cengkih tumbuh liar seperti halnya pohon pala di kepulauan Banda. Orang jawa menyediakan pasokan bagi rempah-rempah ini, yang mereka tukar dengan beras dan kapal, dan mengirimnya ke luar negeri. Tanaman obat dan aromatik, seperti kulit kayu massoy, terkenal karena khasiatnya dan diekspor ke Jawa; kayu cendana putih, yang memiliki banyak kegunaan, dimuat di Timor dan dikirim ke pulau Jawa.
Perdagangan rempah-rempah, cengkih, pala dan fuli memberikan kemakmuran bagi masyarakat Maluku yang memeluk Islam. Dari kepulauan Maluku hingga Sumatera, di seluruh nusantara, koloni Arab, tersebar di sepanjang pantai, berkembang berkat aktivitas perdagangan mereka dan eksploitasi lalu lintas laut yang menghubungkan mereka. Orang Maluku berdagang di pelabuhan-pelabuhan nusantara, tempat banyak komunitas Tionghoa menetap, yang pada abad ke-16 tertarik oleh kekayaan kerajaan-kerajaan Jawa.
Selama persinggahan di pulau Serdenha, yang lokasi persisnya hingga saat ini masih belum diketahui, Brito mengagumi keberanian para pedagang dan pengorganisasian jaringan perdagangan mereka di seluruh nusantara. Brito menunjukan bahwa penduduk pulau Serdenha ini, telah mengatur diri mereka sendiri ke dalam komunitas perdagangan yang berkontribusi pada perdagangan nusantara, dan mereka berlayar di atas kapal besar, identik dengan “junk-junk Jawa”. Mereka berlayar ke Timor, Bali dan pulau Jawa menggunakan jalur laut yang disebut banda de dentro, yang berarti “rute dalam”, baik dengan mengikuti laut Banda antara pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecil Sonde, berlawanan dengan “rute luar”, yang melewati Kalimantan utara dan akhirnya ditinggalkan demi “rute dalam”26.
Berdasarkan sumber-sumber produksi kulit kayu massoy di Tierra Firme New Guinea, para pedagang dai kepulauan Serdenha berlayar ke pantai timur pulau Sulawesi, dimana mereka menukarnya dengan besi27, yang kemudian didistribusikan kembali di New Guinea. Tampaknya ketrampilan maritim dan keberanian berdagang penduduk pulau Serdenha membuat Brito kagum, yang menemukan di sana jaringan pelayaran perdagangan aktif.
Pertempuran laut, senjata api
Setibanya mereka di perbatasan akhir dunia nusantara, Portugis mencoba untuk menegaskan diri meskipun jumlah mereka sedikit, dilindungi oleh senjata dan teknis perang Eropa : harquebus. Namun, metode pertempuran laut yang digunakan oleh orang Papua mengejutkan mereka, dan mereka menemukan orang-orang itu sangat terorganisir : “Mereka segera berlayar ke arah kami dalam bentuk setengah lingkaran, memiliki sekitar 35 kapal di setiap ujungnya; dan semua orang ini berada dalam kesiapan bertempur, tidak seperti orang barbar, tetapi sebagai orang yang terampil dan bijaksana. Ini menakutkan saya dan alasan untuk ini adalah karena menyaksikan begitu banyak [kapal] yang menutupi laut”28.
Pesisir ini adalah tempat yang tidak nyaman, di tengah-tengah antara perlindungan yang diberikan oleh kora-kora dan navigasi yang berbahaya, bercampur dengan daya tarik pantai yang belum ditemukan di pantai New Guinea dan kemungkinan permusuhan dari penduduk pribumi.
Saat berlayar di sepanjang pantai selatan di teluk MacCluer, armada Brito disergap dengan hujan panah dan lembing yang ditembakkan oleh lebih dari 3000 prajurit Papua, yang berdiri di air setinggi pinggang mereka, semuanya berwarna merah dan dengan bulu di atas kepala mereka, “seperti kebiasaan di Guinea”29, demikian kata Brito. Orang-orang Portugis berada dalam bahaya besar, karena secara tidak sengaja mereka berlabuh terlalu dekat dengan pintu masuk desa tepi danau penyerang mereka. Kedua kora-kora diserang dan terkena tembakan orang Papua. Portugis, dalam jumlah kecil, dan terutama karena mereka tidak sadar, membalas dengan menembakkan harquebus dari kora-kora mereka. Dalam kepanikan, para penyerang lari ke arah gunung, seolah-olah setan mengejar mereka (“como si el diablo fuera atras ellos”)30. Seorang Papua yang malang tertembak di satu kakinya oleh peluru yang ditembakan dengan harquebus dan Brito menangkap dan membawanya ke atas kapal. Teman-temannya yang telah berlindung di gunung, tergugah rasa ingin tahu, berbalik dan kembali ke pantai untuk meminta rekan mereka yang malang itu denda tuak dan unggas. Menanggapi sikap damai ini dan dengan bantuan raja Waigeo, Brito memberi mereka sebotol “campane”31, sebagai tanda persahabatan. Niatnya adalah untuk menarik kebaikan orang Papua dan untuk mendapatkan beberapa informasi karena mediasi raja Waigeo, yang merupakan sosok yang dihormati di antara penduduk yang tidak ramah. Tidak diragukan lagi bahwa misi penjelajahan Brito di teluk MacCluer dipermudah dengan kehadiran raja Waigeo, yang betugas sebagai pilot dan perantara, dan juga melalui senjata api, culverine, dan harquebus, yang semuanya merupakan bagian dari ekspedisi. Orang Maluku dan Papua menciptakan kondisi yang menguntungan bagi terjalinnya hubungan antara dunia Papua dan Portugis. Brito melihat dan memahami pengetahuan maritim orang Asia dan Eropa saling melengkapi. Dia tidak pernah merendahkan dalam setiap deskripsinya tentang perahu lokal. Ia merasakan keingintahuan terhadap kapal-kapal pribumi, yang memungkinkannya untuk memenuhi misi eksplorasinya.
Menyusul insiden malang di pantai selatan teluk MacCluer, armada kora-kora terus berlayar di sepanjang pantai menuju semenanjung di pantai utara New Guinea. Setelah menghabiskan sepanjang hari mendayung, Brito memutuskan untuk membuang sauh, agar krunya, yang kelelahan dan kelaparan, dapat menangkap ikan untuk di makan oleh mereka sendiri. Asap api yang mereka nyalakan menandakan kehadiran mereka, dan dari ujung lain daratan, 160 kapal muncul. Terkejut dengan asap, orang-orang Papua yang juga terdampar, kembali ke perahu mereka dan berlayar di sepanjang jalur. Saat itu, mereka tercengang, menemukan surga tempat berlabuhnya armada kecil Portugis. Skuadron Papua terdiri dari 70 pendayung di depan, yang bermanuver untuk membalas dan memposisikan diri dalam setengah lingkaran, 35 perahu di setiap ujung setengah lingkaran ke arah armada Portugis yang siap untuk konfrontasi. Tata letaknya memungkinkan untuk mengitari kapal-kapal Portugis sambil membentuk lengkungan pertahanan yang kokoh. Di atas armada yang berjumlah 160 perahu ini, 7000 orang Papua yang berlayar untuk melaksanakan upacara keagamaan : “ Armada ini menampung 7000 orang yang sedang santai untuk membantu mereka pulih dan mengusir kesedihan mereka setelah kematian ratu mereka; tampaknya itu adalah bagian dari adat istiadat mereka”32.
Dari dek atas kora-korany, Brito, yang ditemani oleh raja Waigeo, sempat melihat manuver musuh-musuhnya dan melihat begitu banyak kapal, dia menyadari bahaya di depan dan takut akan ketidakseimbangan kedua kekuataan : “ Mereka berlayar ke arah kami dalam formasi setengah lingkaran, terdiri dari sekitar 35 kapal di setiap ujungnya; dan semua orang ini berada dalam sikap bertempur, bukan seperti orang barbar, tetapi sebagai orang yang terampil dan bijaksana”33.
Armada kecil kora-kora yang dipimpin oleh Brito jumlahnya sedikit. Dia memutuskan untuk menyerang, menggunakan taktik yang sama yang sebelumnya digunakan di pantai teluk yang sama. Dari dek atas, dia menembak dengan 2 culverin dan 2 harbeques. Sekali lagi, senjata api menghasilkan efek yang diharapkan. Dalam ketakutan, orang-orang Papua terjun ke air: “(.........) mereka semua terjun ke air, tidak satupun dari mereka yang tetap berada di atas kapal”34.
Dalam kebingungan, para penyerang yang diteror meninggalkan kapal di tempat dan pergi mencari perlindungan di gunung. Melihat hal ini, raja Waigeo, yang menemani Portugis, bertindak sebagai pilot dan mediator, dan memimpin armada kora-koranya sendiri, memutuskan untuk membantu mereka dan menyelamatkan beberapa di atas baroto kecil, sebuah kapal kecil yang digunakan sebagai perahu untuk menuju ke darat: “(.........) raja Waigeo naik ke sebuah baroto kecil dan membantu mereka naik ke atas kapal”35.
Baroto, kadang-kadang dieja baloto36, merujuk pada kano kecial bertiang satu di dunia maritim Filipina37. Istilah ini sering digunakan dalam teks-teks Spanyol abad ke-16. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika penulis naskah lebih menyukainya, karena istilah itu sudah digunakan di kalangan pelaut Filipina dan langsung dapat dipahami oleh pembaca Castilia.
Penerjemah dan perantara
Perjalanan Miguel Roxo de Brito memberikan banyak contoh peran yang lebih besar yang dimainkan oleh para penerjemah. Beberapa mungkin berdarah campuran atau mestizo; yang lainnya adalah orang Maluku yang telah mempelajari satu atau beberapa bahasa dalam upaya beradaptasi dan menyesuiakan diri dengan budaya baru. Bahasa Melayu kemudian menjadi bahasa yang digunakan di sebagian besar Kepulauan Maluku, dengan sejumlah idiom yang dipinjam dari bahasa Arab dan bahasa Maluku. Dominasi Islam di kesultanan-kesultanan pesisir, menjadikan bahasa Arab, di atas lainnya, sebagai bahasa budaya. Banyaknya bahasa yang ditemui di pulau-pulau Papua, memaksa Portugis untuk menggunakan mediator lokal yang direkrut di antara sekutu mereka, dan salah satu dari mereka adalah raja Waigeo. Saat meninggalkan Pulau Batjan, pada awal ekspedisinya, Brito merekrut seorang mediator di pulau Tamilonga, yang pada naskahnya disebut sebagai “naguatato”38. Istilah naguatato yang digunakan dalam narasi berasal dari Nahuatl. Untuk penduduk New-Spanyol, itu menggambarkan sebagai seorang penerjemah India-Mexico yang berbicara bahasa Nahuatl dan Castilia39.
Kita tidak tahu persis bahasa asli dari naguatato yang dipekerjakan oleh Brito. Kita tahu bahwa Brito memecat naguatato yang malang setelah belajar dan menguasai bahasanya dalam beberapa bulan, yang cukup untuk berbincang-bincang dengan raja Waigeo. Bahkan, sumber tidak menyebutkan bahasanya, mungkin bahasa Melayu. Pemecatan tiba-tiba naguatato dapat dijelaskan oleh saling berbagi informasi pribadi antara raja Waigeo dan Brito. Posisi naguatato sering menimbulkan kecurigaan selama perjalanan eksplorasi. Miguel Roxo de Brito, mungkin tergoda untuk tidak mempercayai seorang mediator yang tahu terlalu banyak dan bisa mengkhianatinya saat kembali ke pulau mediator itu.
Kesimpulan
Ternyata melalui penjelajahan ke perbatasan kepulauan ini pada tahun 1581, Miguel Roxo de Brito, yang telah lulus secara de facto untuk melayani raja Spanyol, memiliki alasan mendesak dan mungkin pribadi untuk mengidentifikasi pulau-pulau di sebelah timur Maluku, dan untuk menjelajah ke Tierra Firme New Guinea. Kita sekarang tahu bahwa dia ingin pergi ke sana dan mampu melakukannya karena dia tahu rutenya, berkat keterlibatan kontak dekatnya dengan raja-raja Batjan, Misool dan kepulauan Waigeo. Perahu lokal yang digunakan oleh Brito, dan khususnya kora-kora, membentuk hubungan antara dunia Asia dan Eropa. Mereka dikemudikan pada banyak kesempatan dan oleh para petualang, yang menganggapnya sebagai instrumen penetrasi istimewa yang cocok untuk lingkungan geografis perahu-perahu sederhana.
Pelayaran eksplorasi Miguel Roxo de Brito melibatkan misi tidak resmi, karena melakukannya “dengan biaya sendiri”. Apakah dia berharap untuk membuka hubungan diplomatik dengan raja-raja lokal, yang dapat memastikan prioritas Portugis pasti untuk menetap dan berdagang???. Bagaimanapun, misi Miguel Roxo de Brito juga melibatkan rencana-rencana lain. Haruskah kita percaya bahwa armada kecil kora-kora Brito, yang disertai oleh sekutu setianya, raja Waigeo, dipersenjatai hanya untuk tujuan perdagangan???. Kehadiran armada raja Waigeo dari Papua, sebagian membenarkan hipotesis ini.
Jelas bahwa raja Waigeo bertindak sebagai pengintai untuk Brito. Kora-kora adalah alat favorit dalam perjalanan eksplorasi yang dipimpin oleh Miguel Roxo de Brito. Fakta maritim ini mengundang kita untuk percaya bahwa Brito memimpin atas inisiatifnya sendiri, sebuah armada pengintaian, yang misinya adalah untuk mengumpulkan informasi komersial dan militer tentang orang dan barang yang ditemui dan untuk memperluas pengetahuan bahari dan geografis mereka di negara-negara ini, yang hanya mereka ketahui melalui sebagian peta laut yang salah40. Sekembalinya dari Maluku, Brito secara sukarela memberi tahu raja Philip II tentang penemuannya. Catatan-catatan dari Relacion-nya sepenuhnya didedikasikan untuk raja. Perjalanan eksplorasi atau perdagangan???. Intinya, bukan untuk memilih di antara 2 hipotesis, tetapi untuk menggarisbawahi bahwa tujuan-tujuan ini, jauh dari ketidaksesuaian, adalah dua sisi mata uang yang sama.
Tepat sebelum perjalanan Brito pada Mei 1581, klaim Spanyol atas bagian kepulauan ini adalah fakta. Pantai-pantai New Guinea telah terlihat sekilas, tetapi belum diketahui dan dikenali. Tidak ingin disajikan dengan fait acomply, penting bagi Brito untuk mendahului armada-armada Castilia, yang baru saja bermarkas di Manila, yang selalu memperlihatkan minat pada Kepulauan Maluku dan suatu saat nanti akan menjelajah lebih jauh ke timur, di luar “kepulauan rempah-rempah” yang telah mereka kunjungi.
Seperti kebanyakan orang sezamannya, Brito menunjukan minat yang besar pada kekayaan materi yang bisa dibawa oleh ekspedisi ini. Di antara negeri-negeri yang baru dikunjungi ini, pulau-pulau dan pantai barat New Guinea, tidak segera menarik perhatian raja Castilia yang terlalu jauh dari jalur perdagangan yang ada, dihuni oleh orang-orang yang suka berperang, dan akses mereka dengan perahu terlalu sulit untuk dicapai untuk menciptakan frekuensi perdagangan yang menguntungkan, yang menggunakan kapal berpapan tinggi. Fokusnya adalah pada pulau-pulau “kecil” Kepulauan rempah-rempah, terutama Ternate, Tidore dan Banda, yang memiliki kemudahan pada kontrol militer dan perdagangan serta jaringan perdagangan Asia yang mapan.
=== Selesai ===
Catatan Kaki
1. Charles R. Boxer, Francisco Vieira de Figueiredo: A Portuguese Merchant-Adventurer in South Asia (1624-1667), ’s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1967.
2. Fernando Radin, “Metamorphosis of the Luso-Asian Diaspora in the Malay Archipelago, 1640-1795”, in Peter Borschberg (ed.), Iberians in the Singapore-Melaka Area (16th to 18th Century), South China and Maritime Asia, Wiesbaden, Harrassowitz, 2004, p. 163.
3. Disebutkan untuk pertama kalinya pada April 1950 pada artikel yang ditulis oleh Prof. Charles R. Boxer: “A Late Sixteenth Century Manuscript”, Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, April 1950.
4. Charles R. Boxer and Pierre-Yves Manguin, “Miguel Roxo de Brito’s narrative of his voyage to the Raja Empat, May 1581-November 1582”, Archipel, n.° 18, 1979, pp. 175-194.
5. J. H. F. Sollewijn-Gelpke, “The Report of Miguel Roxo de Brito of his Voyage in 1581-1582 to the Raja Ampat, the MacCluer Gulf and Seram”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, n.° 150 (1), 1994, pp. 123-145.
6. Nicole Biros, “‘La conquête des Iles Maluques’ (1609) par Bartolomé Leornardo de Argensola”, Cahiers de l’Asie du Sud-Est, n.° 21, 1987, p. 115.
7. Ms. fol. 149r, l. 29-30; fol. 149v, l. 1-5: “Tiene esta tierra de la Nueva Guinea por la parte e camino por donde anduve [fol. 149v] ve munchas bajas y coronas de arena e piedra y munchas restingas y corrientes por entre las yslas porque son munchas. Tanbien ay munchas rolleras de agua por que no pueden por este camino yr navios de alto bordo a la Nueva Guinea”.
8. Ms. fol. 139v, l. 13-15: “(…) me recibio haziendome munchos regalos y echandome une cadena de oro al cuello de la caracoa en que yo venia que pesaria 90 ducados”.
9. Ms. fol. 140r, l. 17-19: “(…) y andando yo en ellas por ninguna manera podia tener en pie, por ser muy ligeros y a cada vogada hurtan el cuerpo al hombre”.
10. Pelayaran kedua ke Indonesia, dipimpin oleh Jacob van Neck dan Wijbrant van Warwick, sangat sukses. Pelayaran ini dimulai pada Mei 1598 dan tiba di Banten pada akhir tahun itu. Di Banten, pelayaran ini “dipecah"” 4 kapal berlayar menuju Maluku. Bagian dari pelayaran ini dikomandani oleh Wijbrant van Warwick dan Jacob van Heemskerck.
11. Ms. fol. 148v, l. 1-6: “(…) porque ansi tuviese yo tiempo para me recojer porque los dos navios que yo llebe del Maluco eran muy pesados por auer casi un año que andavan en el agua, y la chusma cansada y trabalada de vogar, (…)”.
12. Jacob Cornelisz van Neck, Het tvveede boeck, iournael oft dagh-register, Middelburg, 1601. This book described the second voyage to the East Indies by Jacob van Neck and Wijbrand van Warwijck.
13. Francesco Carletti, Voyage autour du monde (1594-1606), Paris, Chandeigne, 1999.
14. Idem, pp. 233-234.
15. J. C. van Neck, op. cit.
16. Isaac Commelin, Begin ende Voortgangh, van de Vereenighde Nederlandsche Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie, [Amsterdam], [J. Jansonius], 1646. J. C. van Neck, op. cit.
17. Kira-kira 76 kilometers.
18. Ms. fol. 140r, l. 14-17: “(…) por lo qual hazen unas embarcaçiones muy ligeras que cada jornada andan mas de doze leguas y traen en ellas quatro ordenes de remos, una por dentro en el cuerpo del navio y tres por fuera (…)”.
19. Bartolomé Leonardo de Argensola, Conquista de las islas Malucas, Madrid, A. Martin, 1609.
20. N. Biros, op. cit., p. 126.
21. Ms. fol. 142r, l. 19-20: “En esta ysla varamos el armada la qual era de treze caracoas (…)”.
22. L. Audemard, Les Jonques Chinoises, Rotterdam, Publicaties van het Museum voor Land- en Volkenkunde en het Maritime Museum Prins Hendrik, 1957, p. 15.
23. Ms. fol. 141v, l. 1-3: “Navegan estos de Serdanha en sus navios los quales hazen muy buenos como juncos Javos por todas la yslas de Timor por la banda de dentro (…)”.
24. Dalam teks ini, pulau ini adalah sesuatu yang paling misterius. Pulau ini dalam beberapa kesempatan disebutkan dengan ejaan yang berbeda (Serdena, Serdenha, Cerdenha, Serdanha, Cerdeña); Berdasarkan pada deskripsi Brito, kita mengetahui bahwa pulau ini berdekatan dengan Pulau Ceram dan memiliki populasi lebih dari 5000 orang. Penduduk pulau ini memegang posisi kunci dalam perdagangan antara kepulauan Maluku dan pulau-pulau utama Papua yang dalam manuskrip disebut tiera firma. Beberapa petunjuk yang dibuat oleh Brito membuat kita menduga bahwa pulau Cerdenha ini merujuk pada pulau yang disebut Seram Laut di masa kini
25. Ms. masol: massoy (Massoia aromatica Becc.). Potongan kayu harum massoy, juga disebut dalam bahasa Prancis “masoi” atau “masoyi”, yang telah dibentuk dalam farmasi atau ritual tertentu. Massoy sangat berharga, dimana dapat ditukar dengan keramik Cina dan Eropa, dan juga dengan besi, seperti yang disebutkan dalam Relaçion-nya Brito
26. Pada abad ke-16, adalah sangat memungkinkan untuk mencapai Maluku mengunakan banda de dentro, atau “rute dalam”, yang menyusuri Laut Banda diantara Pulau Celebes dan Kepulauan Sunda Kecil, daripada menggunakan “rute luar”, yang melalui Brunei dan utara Borneo. Rute langsung dari Maluku ke Malacca melalui Brunei, “dimulai” oleh orang Portugis pada tahun 1526, namun para pedagang Portugis lebih menyukai rute panjang melalui kepulauan Banda, Jawa dan Sumatera. Rute ini, dimana kapal dapat berlayar di sepanjang pesisir pantai dari pelabuhan ke pelabuhan sehingga memungkinkan para pedagang dapat memperoleh barang-barang berharga yang dapat ditukar. Magellan, Le voyage de Magellan (1519-1522); la relation d’Antonio Pigafetta & autres témoignages, Paris, Chandeigne, 2007, p. 824
27. Lihat catatan kaki nomor 25.
28. Ms. fol. 144r, l. 14-21: “(…) se enbarcaron todos y vinieron luego a la mar descubriendo la punta y tanto que reconoçieron nuestros navios y estuvieron parados como hombres que se querian determinar, luego se vinieron hazia nosotros en una media luna trayendo en cada cuerno treynta e çinto navios y todo lo demas conpuesto no como barbaros sino como gente diestra y de razon. Lo que me puso espanto y temor fue por ver tantos que cubrian la mar (…)”.
29. Ms. fol. 143v, l. 23: “(…) asi de la manera que lo usan en Guinea”.
30. Ms. fol. 143v, l. 27.
31. Gong-gong tembaga (ms. “campanas”) mungkin dari Jawa, digunakan sebagai komoditas perdagangan. C. R. Boxer and P.-Y. Manguin, op. cit.
32. Ms. fol. 144v, l. 11-15: “Serian en esta armada siete mill hombres los quales se salian a holgar y a desechar la tristeza que tenian por la muetre de su Reyna que parece ser aquella su constumbre”.
33. Ms. fol. 144r, l. 13-16: “(…) luego se vinieron hazia nosotros en una media luna trayendo en cada cuerno treynta e çinto navios y todo lo demas conpuesto no como barbaros sino como gente diestra y de razon”.
34. Ms. fol. 144r, l. 20-21: “(…) se lansaron todos en la mar sin quedar ninguno en sus navios”.
35. Ms. fol. 144r, l. 22-23: “(…) despues el Rey de Bayceo se metio en un baroto pequeno y los hizo enbarcar (…)”.
36. Magellan, op. cit., p. 129.
37. Idem, p. 393.
38. Ms. fol. 147r, l. 13.
39. J. H. F. Sollewijn-Gelpke, op. cit., p. 141.
40. Ms. fol. 145r, l. 26-28.
Printed Sources and Bibliography
§ Argensola, Bartolomé Leonardo de, Conquista de las islas Malucas, Madrid, A. Martin, 1609.
§ Audemard, L., Les Jonques Chinoises, Rotterdam, Publicaties van het Museum voor Landen Volkenkunde en het Maritime Museum Prins Hendrik, 1957.
§ Biros, Nicole, “«La conquête des Iles Maluques» (1609) par Bartolomé Leonardo de Argensola”, Cahiers de l’Asie du Sud-Est, n.° 21, 1987.
§ Boxer, Charles R., “A Late Sixteenth Century Manuscript”, Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, April 1950.
§ Boxer, Charles R., Francisco Vieira de Figueiredo: A Portuguese Merchant-Adventurer in South Asia (1624-1667), ’s-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1967.
§ Boxer, Charles R. and Manguin, Pierre-Yves, “Miguel Roxo de Brito’s narrative of his voyage to the Raja Empat, May 1581-November 1582”, Archipel, n.° 18, 1979.
§ Carletti, Francesco, Voyage autour du monde (1594-1606), Paris, Chandeigne, 1999.
§ Commelin, Isaac, Begin ende Voortgangh, van de Vereenighde Nederlandsche Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie, [Amsterdam], [J. Jansonius], 1646.
§ Magellan, Le voyage de Magellan (1519-1522); la relation d’Antonio Pigafetta & autres témoignages, Paris, Chandeigne, 2007.
§ Radin, Fernando, “Metamorphosis of the Luso-Asian Diaspora in the Malay Archipelago, 1640-1795”, in Peter Borschberg (ed.), Iberians in the Singapore-Melaka Area (16th to 18th Century), South China and Maritime Asia, Wiesbaden, Harrassowitz, 2004.
§ Sollewijn-Gelpke, J. H. F., “The Report of Miguel Roxo de Brito of his Voyage in 1581-1582 to the Raja Ampat, the MacCluer Gulf and Seram”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, n.° 150 (1), 1994.
§ van Neck, Jacob Cornelisz, Het tvveede boeck, iournael oft dagh-register, Middelburg, 1601
Tidak ada komentar:
Posting Komentar