[Fridus Steijlen]
A. Kata Pengantar
Fridus Steijlen, seorang sejarahwan Belanda dalam artikel yang berjudul In and Out of Uniform : Moluccan Soldiers in the Dutch Colonial Army ini mengupas tentang “sejarah” umum keterlibatan serdadu asal Maluku dalam dinas ketentaraan kolonial Belanda, yaitu KNIL. Artikel ini dimuat dalam buku berjudul Colonial Soldiers in Europe , 1914 – 1945 : “Aliens in Uniform” in Wartime Societies yang diedit oleh Eric Storm dan Ali Al Tuma, dan diterbitkan oleh penerbit Routledge pada tahun 2016. Artikel milik Fridus Steijlen ini ditempatkan pada bagian III, artikel ke-11, di halaman 229 – 248.
Artikel sepanjang 20 halaman ini mengisahkan secara garis besar “sejarah” terlibatnya orang Maluku dalam dinas ketentaraan kolonial Belanda. Steijlen mulai dari kisah tentang Kapitan Jonker, perekrutan orang Maluku pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 dalam dinas ketentaraan KNIL, proses demobilisasi para serdadu Maluku, keberangkatan mereka ke Belanda pada tahun 1951, dinamika kehidupan mereka di tanah asing, protes mereka terhadap pemerintah Belanda hingga terjadi kesepakatan antara orang-orang Maluku dan pemerintah Belanda pada tahun 1986. Membaca kajian ini, paling tidak membuat kita memahami sejarah orang Maluku, yang pada akhirnya menjadi komunitas “pendatang” di negara Belanda. Kita juga akan lebih memahami, mengapa para serdadu KNIL asal Maluku mendukung gerakan separatis RMS. Intinya adalah tentang kisah kita sendiri sebagai manusia yang terwakili oleh mereka sebagai seorang tentara, tentang sikap oportunis, tentang dibutuhkan dan akhirnya “ditinggalkan”.
Pada artikel asli, ada 2 gambar/foto dan 1 buah peta yang dimuat oleh penulis. Pada artikel terjemahan ini, kami menambahkan beberapa gambar tambahan dan catatan tambahan. Semoga kajian dari sang penulis, bisa membuat kita lebih bersejarah, khususnya tentang sejarah kita sebagai orang Maluku.
B. Terjemahan
Pada awal abad ke-21, ada sekitar 50.000 orang Maluku yang tinggal di Belanda1. Kecuali sangat sedikit orang Maluku yang bertugas di ketentaraan kolonial Belanda, dan/ atau istri mereka yang datang ke Belanda pada tahun 1951 setelah dekolonisasi Indonesia, mereka ini adalah keturunan tentara Maluku ini. Selama akhir era kolonial, tentara Maluku telah menjadi “tentara etnis” yang paling dihargai dalam ketentaraan kolonial. Dalam gejolak politik dekolonisasi dan akibatnya, posisi – sebagian – para serdadu Maluku ini menjadi problematis. Pada tahun 1951, meskipun solusi yang paling tidak diinginkan, 3.500 tentara Maluku dan keluarga mereka (total berjumlah 12.500 orang) dikirim ke Belanda, dimana mereka seharusnya tinggal sementara2. Kurang lebih pada saat kedatangan, orang Maluku ini diberhentikan dari dinas ketentaraan, menjadikan mereka orang tanpa status dan pengangguran di negara asing. Tulisan ini membahas tentang sejarah orang Maluku ini : bagaimana mereka masuk dinas ketentaraan, bagaimana mereka datang ke Belanda dan menunggu lama pengakuan mereka di era kolonial oleh pemerintah Belanda.
Orang-orang Maluku ini berasal dari Kepulauan Maluku di bagian timur Indonesia (lihat peta 11.1). Secara sederhana, kita dapat membedakan 3 wilayah di Maluku : pertama, Maluku Tengah dengan pulau-pulau besar Buru dan Seram serta pulau Ambon, Haruku, Saparua, dan Nusa Laut. Kedua, Maluku Tenggara dengan gugusan pulau Tanimbar, Kai, dan Aru. Ketiga, Maluku Utara dengan Halmahera, Tidore, dan Ternate. Dalam perjalanan waktu, Maluku disebut dengan istilah yang berbeda : Ambon, Maluku Selatan dan Maluku. Yang pertama, Ambon, mengacu pada pulau dan/atau kota Ambon yang merupakan pusat resmi kepulauan Maluku pada masa kolonial. Dari bagian Maluku manapun seseorang berasal, mereka disebut orang Ambon, baik di daerah jajahannya, Hindia Belanda, maupun setelah mereka tiba di Belanda. Karena alasan politik, yaitu menekankan relasi mereka dengan Republik Maluku Selatan (RMS) yang merdeka, orang Maluku di Belanda pada tahun 1960-an mulai menyebut diri mereka sebagai orang Maluku Selatan. Nama yang berasosiasi decara politis ini digantikan menjadi orang Maluku yang lebih netral pada tahun 1980. Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan orang Maluku dan Ambon secara bergantian.
Adalah di Kepulauan Maluku, satu-satunya tempat di dunia, dimana rempah-rempah seperti cengkih dan pala tumbuh, dimana proyek kolonial Belanda dimulai. Untuk mencari rempah-rempah tersebut, Belanda bersaing dengan Portugis yang telah mendirikan pos perdagangan dan benteng di kepulauan Maluku. Didukung oleh kesultanan lokal, Ternate, pada tahun 1605 Belanda berhasil mengalahkan Portugis dan mengambil alih perdagangan rempah-rempah. Berawal dari kepulauan Maluku, Belanda memperluas kekuasaan kolonialnya atas apa yang sekarang dikenal sebagai Indonesia. Setelah perdagangan rempah-rempah hancur, Belanda untuk waktu yang lama mengabaikan kepulauan Maluku dan penduduknya, hingga abad ke-19, ketika mereka “terlahir kembali” sebagai pendukung setia Belanda. Meskipun petualangan kolonial Belanda di kepulauan Indonesia telah dimulai pada awal abad ke-17, hal itu baru menjadi koloni formal 2 abad kemudian. Adalah Perusahaan Hindia Timur Belanda (atau VOC) yang memulai usaha kolonial ketika mengambil alih kepulauan rempah-rempah, Maluku, dari Portugis. Ketika VOC bangkrut pada akhir abad ke-18, perusahaan dagang dengan kepemilikannya dinasionalisasi oleh pemerintah Belanda sebagai Republik Batavia. Karena perkembangan politik di Eropa, termasuk pendudukan Belanda oleh Prancis, pemerintah Belandan kehilangan kendali atas koloni tersebut ke Inggris. Pada tahun 1815, setelah kekalahan Napoleon, Inggris menyerahkan Hindia Belanda kepada Kerajaan Belanda yang baru.
Tentara Koloni
Meskipun VOC dikenal sebagai perusahaan dagang, ia bertindak sebagai negara kolonial yang mengendalikan koloni yang berkembang melalui politik dan terlebih lagi melalui kekuatan militer3. Orang Ambon aktif dalam militer VOC sejak awal. Mereka berpartisipasi dalam kegiatan militer yang mencakup ekspedisi hukuman ke pulau-pulau dan desa-desa yang tidak mematuhi monopoli perdagangan rempah-rempah yang dipaksakan oleh VOC. Ekspedisi hukuman paling terkenal terjadi pada tahun 1621 dan menargetkan pulau-pulau kecil di Banda, tempat hampir seluruh penduduknya terbunuh. Partisipasi mereka dalam ketentaraan VOC membawa serdadu Ambon ke seluruh Nusantara. Ada laporan dari tahun 1656, serdadu Ambon di Batavia, ibukota Hindia Belanda, yang membuat orang terkesan dengan penampilan mereka yang garang dan suka berperang4. Pada periode ini juga muncul tokoh mitos Maluku yang terkait dengan Belanda : Tete Jonker. Jonker adalah Achmad, putra tetua desa dari pulau kecil Manipa. Setelah direkrut sebagai serdadu VOC, dia dikirim ke Ceylon, dimana dia memimpin sebuah kompi tentara dan diberi nama Kapitan Jonker. Dibawah kepemimpinannya, kompi tentara Ambon menunjukan tindakan kepahlawanan dalam konfrontasi kekerasan VOC. Kapitan Jonker dikenal sebagai petarung legendaris yang memiliki kesaktian. Pada tahun 1689, ia menentang beberapa keputusan VOC, dan ketika memberontak terhadap keputusan tersebut, ia meninggal dunia karena dicurigai bersekongkol melawan VOC5. Tete Jonker menjadi tokoh mitos yang diyakini muncul bersama istrinya sebagai 2 ekor merpati putih atau sendirian sebagai orang tua untuk melindungi orang Maluku6.
Pada pertengahan abad ke-18, tentara VOC dapat dikatakan menjadi “tentara reguler”. Gubernur Jend VOC saat itu, Van Imhoff, merumuskan aturan khusus untuk tentara kompeni, membuatnya sebanding dengan tentara biasa. Peraturan ini tidak hanya disetujui oleh manajemn VOC tetapi juga oleh pemerintah Republik Belanda7. Saat itu, tentara VOC terdiri dari 13.000 orang Eropa dan 3.000 orang pribumi8. Diantaranya adalah orang Bali, Ambon, Bugis, dan orang-orang dari Makassar, serta tentara dari Filipina dan bekas budak9.
Setelah Inggris mengembalikan kekuasaan atas Hindia Timur kepada Belanda pada tahun 1815, pasukan militer dikirim dari Eropa ke Nusantara untuk mengambil alih kendali. Pasukan ini Tentara Indies dan merupakan bagian dari angkatan bersenjata di metropolis. Karena pada tahun 1820an ikatan antara tentara di koloni dan di metropolis mulai longgar, tentara kolonial yang terpisah dibentuk di bawah komando Gub Jend, otoritas tertinggi di koloni, yang bertanggung jawab kepada Menteri Koloni, di negeri Belanda. Tentara kolonial, sejak saat itu disebut KNIL – Koninklijk Nederlandss Indisch Leger / Tentara Kerajaan Hindia Belanda – merupakan bagian dari struktur kekuasaan kolonial10.
Total kekuatan KNIL pada awalnya adalah 20.000, 13.000 diantaranya adalah orang Eropa. Jumlah orang Eropa turun drastis selama tahun-tahun pertama menjadi 7.000 dan kemudian turun lagi. Rasio orang Eropa dengan tentara pribumi menjadi 1 : 4, dan tetap demikian sampai tahun 1930an11. Pada tahun 1927, KNIL terdiri dari 37.000, 18% diantaranya adalah orang Eropa12. Diantara personel pribumi, orang Jawa adalah kelompok tenis terbesar. Tidak kurang dari 45% adalah orang Jawa, ditambah 5% orang Soenda (juga dari pulau Jawa). Jadi setengah dari personel KNIL berasal dari Jawa. Berikutnya adalah orang Menado dari bagian utara pulau Sulawesi dengan 15%, diikuti oleh orang Ambon sebanyak 12% dan orang Timor sebanyak 4%13.
Kelompok etnis di KNIL dihargai secara berbeda untuk ketrampilan yang berbeda. Heshusius, bekas Kolonel KNIL dan kemudian menjadi penulis sejarah KNIL, menjelaskan perbedaan ini pada tahun 1988 dalam sebuah buku tentang KNIL dari masa lalu14. Orang Jawa adalah Muslim dari latar belakang orang miskin. Menurut [buku] manual KNIL, mereka [orang Jawa] dapat menggunakan sebagian besar senjata dan merupakan pengemudi yang baik (kuda dan mobil). Tentara Menado orang Kristen, cocok untuk sebagian besar senjata dan pengendara dan pengemudi yang baik. Orang Ambon juga beragama Kristen dengan naluri perang yang bagus, terkadang suka memberontak. Mereka paling cocok sebagai infantri tetapi kurang cocok untuk menunggang kuda atau mengendarai mobil. Orang Menado dan Ambon memiliki banyak kesamaan, untuk beberapa waktu orang Menado dipandang sebagai orang Ambon, tetapi banyak juga perbedaannya. Menurut Heshius, orang Menado suka minum sebanyak orang Ambon tetapi tidak terlalu berisik. Orang Menado lebih terkendali daripada orang Ambon dan menghilang di sektor pegawai negeri setelah karir militer mereka. Menurut pada ide-ide KNIL, orang Ambon sangat tertarik dengan status militer15.
Tentara KNIL itu dwibahasa. Personel pribumi berbicara bahasa Melayu, sedangkan bahasa pertama sebagian besar perwira adalah bahasa Belanda, mengakibatkan beberapa masalah bahasa16. Ada perbedaan yang jelas dalam perlakuan terhadap personel Eropa dan pribumi. Personel Eropa tidur di boks besi dengan kasur jerami, sedangkan personel pribumi dan istri mereka tudur di atas meja kayu. Kain-kain atau tekstil disiapkan untuk membuat ruang improvisasi dan setidaknya memberikan privasi. Kemudian hal ini diganti dengan partisi kayu dan batu. Anak-anak yang lahir di barak, ditidurkan di sebuah lubang di bawah tempat tidur orangtuanya : yaitu disebut kolong, membuat mereka (anak-anak) disebut anak-anak kolong (hole children). Pada abad ke-20, kamar-kamar asli dibangun, dan para perwira Eropa didorong untuk tinggal di luar barak di rumah-rumah kecil. Hubungan antara personel Eropa dan pribumi tidak selalu baik. Menurut Lanzing, seorang perwira KNIL dari tahun 1885-1911, para perwira Eropa dan Indo-Eropa pada umumnya tidak memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan, karena mereka memperlakukan rekrutmen pribumi tanpa rasa hormat. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki pengetahuan tentang budaya atau adat (kebiasaan personel pribumi)17.
Sejak awal, KNIL digunakan oleh pemerintah kolonial untuk memperluas kekuasaannya di Nusantara. Antara tahun 1873 dan 1913, KNIL berperang di Bali, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Lombok dan khususnya di Aceh, wilayah paling utara pulau Sumatera. Sebagian besar pertempuran ini disebut aksi-aksi pengamanan. Perang di Aceh adalah salah satu yang paling krusial. KNIL membutuhkan waktu 40 tahun, hingga tahun 1913, sebelum menguasai daerah tersebut. Yang menentukan dalam “pasifikasi” Aceh adalah korps elit Polisi Milite yang dibentuk pada tahun 189018.
Setelah kemenangan di Aceh, KNIL semakin berubah menjadi tentara polisi : bertindak setiap kali terjadi kekacauan di Nusantara. KNIL tidak diperlengkapai dan dilatih untuk mempertahankan perbatasan koloni dari serangan musuh. Ini berubah pada tahun 1936 ketika, sebagian karena meningkatnya ketegangan internasional, KNIL mulai mereformasi dirinya menjadi tentara pertahanan.
Memenangkan Orang Maluku untuk KNIL
Berlawanan dengan citra orang Maluku sekarang sebagai tentara etnis yang setia kepada Belanda, sejak lama orang Maluku tidak mau menjadi tentara kolonial. Riedel, yang pernah menjadi administrator kolonial di Ambon antara tahun 1880 dan 1883, menulis, “Sudah diketahui bahwa orang Ambon tidak suka menjadi tentara. Julukan “laskaar kompania” – artinya budak kompeni atau administrasi kolonial – yang digunakan oleh penduduk lokal cukup jadi petunjuk”19. Riedel menjelaskan keengganan ini dengan merujuk pada eksploitasi paksa sebelumnya oleh VOC dan pemerintah. Penguasa tentara kolonial lebih memilih tentara Maluku, terutama Kristen, karena mereka dianggap sebagai etnis pejuang dan dapat berfungsi untuk mengimbangi sejumlah besar tentara Islam pribumi dari Jawa. Untuk menarik lebih banyak rekrutan dari kepulauan Maluku, bonus bagi mereka 2 kali lipat dari rekrutan dari pulau Jawa. Perbedaan hadiah sudah terjadi pada tahun 1832, tetapi itu tidak cukup untuk menarik cukup banyak tentara Maluku. Selama perang Aceh (1873-1914), bonus untuk orang Maluku semakin dinaikkan. Hadiah ekstra untuk kepala desa untuk setiap anak laki-laki dari desa mereka yang menandatangani kontrak dengan KNIL diperkenalkan untuk meningkatkan tekanan pada calon yang potensial melalui pemerintah daerah. Ketika semua tindakan ini tidak menghasilkan cukup rekrutan, tentara Maluku diberi lebih banyak hak istimewa daripada sesama tentara pribumi. Orang Maluku menerima pembayaran yang lebih baik. Di Jawa didirikan sekolah khusus untuk anak-anak tentara Maluku, dan tentara Maluku diberi sepatu, sedangkan tentara pribumi lainnya harus bertelanjang kaki. Pada awalnya rekrutmen di antara orang Maluku ditujukan untuk orang Kristen. Namun sejak tahun 1879, perekrutan juga terbuka untuk non-Kristen20. Semua ini tidak membantu mencapai jumlah orang Ambon yang diinginkan oleh tentara kolonial. Sejenak, pada tahun 1880, jumlah orang Ambon tampak bertambah. Ini, bagaimanapun, adalah hasil dari meningkatnya jumlah orang Menado yang direkrut, orang-orang Kristen dari Minahasa di pulau Sulawesi, yang diberi label orang Maluku dan yang sering disebut-sebut dalam satu nafas dengan mereka21.
Di puncak upaya untuk merekrut orang Maluku pada akhir abad ke-19, citra orang Maluku yang setia kepada tujuan Belanda selama berabad-abad dan sebagai ras pejuang diciptakan. Saat itulah pemerintah Hindia Belanda sangat membutuhkan mereka, karena perluasaan perang untuk “mempasifikasi” Aceh semakin sulit. Dalam sebuah artikel tahun 1896 di Indisch Militair Tijdschrift, sebuah jurnal untuk militer Hindia, dijelaskan perbedaan karakter etnis dalam tentara kolonial. Orang Maluku bersama orang Menado adalah yang pertama untuk dibahas. Dari 2 kelompok tersebut, orang Maluku adalah pejuang yang paling sengit, menurut sang penulis. Moral orang Maluku lebih unggul, dekat dengan Belanda karena Kekristenan, dan rasa kehormatannya membuatnya menjadi kandidat terluar untuk mengabdi di bawah perintah militer. Tentu saja kartu sejarah dimainkan juga :
Dalam
ekspresi cinta dan keterkaitannya dengan rumah kerajaan kita, yang berarti
mereka kadang-kadang hanya memiliki gagasan yang kabur, mereka melampaui orang
Belanda (...........). Hal ini dapat kita amati juga di Ambon dan keterkaitan
rakyat pada kekuasaan kita, mungkin berasal dari relasi lama, yang kita miliki
di sana (perusahaan dagang kita yang pertama dan terpenting didirikan di
Ambon), adalah fakta yang tidak terbantahkan22.
Dan meskipun penulis menyadari bahwa tentara Ambon terkadang tidak galak dan mungkin sama mengecewakannya dengan tentara pribumi lainnua, hal itu harus dimaklumi karena “ bukankah pasukan terbaik di dunia pun akan memiliki kelemahan juga?”23.
Citra tentara etnis yang setia dipoles lebih jauh. Peran penting dikesampingkan bagi orang Maluku seperti J. Thenu yang bertugas di KNL saat perang Aceh sebagai pendeta. Pada tahun 1901, ia menerima penghargaan kerajaan yang tinggi, Knight of the Order of Orange-Nassau, karena pengaruhnya terhadap moral pasukan. Pesan Thenu kepada tentara Maluku adalah mengabdi pada House or Orange. Antara lain ia menggubah lagu-lagu yang mengagungkan keberanian rakyat Maluku dan kesetiaan mereka untuk perjuangan Belanda :
Anak Ambon gagah berani
Anak Ambon b’rani di moeka
Toeroet hati orang serani
Ta takoet mati atau loeka24.
Kompi militer terpenting dalam Perang Aceh adalah Marechaussee (secara harfiah adalah Polisi Militer, tetapi pada waktu itu lebih merupakan korps elit). Berkat metode tempur yang baru Marechaussee, akhirnya Aceh takluk. Banyak orang Maluku bertugas di Marechaussee, dan mereka bahkan menjadi personifikasinya. Simbol Marechaussee yang garang nampak pada Renjaan dari pulau Maluku Tenggara, Kei Besar25. Foto Renjaan sebagai Marechaussee yang galak dengan kumis mengesankan itulah yang dijadikan ilustrasi bagi prajurit KNIL pribumi (lihat gambar 11.1).
Menariknya, Renjaan adalah seorang dardanel, pengawal pribadi seorang perwira. Dalam syairnya untuk Aceh dan Marechaussee, wartawan H.C. Zentgraaff adalah orang pertama yang mempublikasi dardanel Renjaan. Zentgraaff, yang sendiri bertugas dalam perang Aceh, menulis sebuah penghormatan kepada KNIL di Aceh26. Ia menggambarkan divisi pertama Marechaussee yang ia sebut Matatoela, seorang tokoh sentral, sebagai orang penting. Tapi, tulis Zentgraaff, “yang lebih kuat adalah Renjaan, dardanel Kapten Gortman”27. Kesetiaan dardanel Maluku kepada perwiranya juga menjadi pembuka cerita “Om KNIL Ambon”, sebuah ode untuk prajurit Maluku yang diterbitkan setelah dekolonisasi28. Aspek yang menarik dari “dardanel yang setia” adalah bahwa hal itu juga tercermin secara positif pada perwira Belanda karena kesetiaan seorang bawahan memang pantas didapatkan. Selama seorang perwira itu kerap adil, dia akan mendapatkan kepercayaan dan dedikasi dari para dardanel. Melalui perayaan eratnya ikatan antara perwira dan dardanel, keganasan orang Maluku juga terpancar pada pihak Belanda. Pada saat yang sama, ikatan antara orang Maluku dan Belanda dapat dirayakan berbeda dengan hubungan antara orang Belanda dan kelompok pribumi lainnya. Hal itu menggarisbawahi “dedikasi” yan telah dibangun ketika Belanda pertama kali menginjakkan kaki di tanah Maluku pada tahun 1605.
Padahal di satu sisi citra orang Maluku sebagai tentara etnis dan ikatan eksklusif antara orang Maluku dengan Belanda dan khususnya dengan keluarga kerajaan dipelihara lebih jauh, otoritas tentara kolonial, di sisi lain, mengubah sikap mereka terhadap orang Maluku. Ini terjadi pada awal abad ke-20, setelah perang Aceh usai dan kebutuhan tentara Maluku berkurang. Tentunya mereka masih dihargai sebagai prajurit setia, tetapi tidak terlalu dibutuhkan keistimewaan khusus untuk menarik mereka ke KNIL. Muncul suara-suara yang menanyakan mengapa orang Maluku diberi posisi yang berbeda dibandingkan tentara pribumi lainnya29. Di latar belakang, muncul gerakan nasionalis di Indonesia yang semakin kritis terhadap sistem kolonia. Upaya untuk mengurangi perlakuan istimewa terhadap orang Maluku, misalnya dengan memotong gaji mereka yang lebih tinggi, menuai banyak protes.
Bahwa kesetiaan tentara Maluku kepada Belanda tidak dapat diterima begitu saja menjadi fakta, ketika tentara Maluku “mendukung” gerakan nasionalis Indonesia. A.J. Patty, seorang intelektual Maluku dan nasionalis Indonesia, mengorganisir sebuah platform khusus orang Maluku pada tahun 1920 : Sarekat Ambon. Karena berbagai alasan, diantaranya pencabutan keistimewaan prajurit Maluku, Sarekat Ambon banyak diminati pra prajurit tersebut. Mayoritas orang yang menghadiri pertemuan pertama Sarekat Ambon adalah tentara Maluku30. Tanggapan otoritas militer adalah melarang anggota militer dan bahkan istri mereka untuk menghadiri pertemuan Sarekat Ambon dan Patty diasingkan. Menariknya, Richard Chauvel mengamati bahwa otoritas KNIL tidak memainkan “kartu loyalitas” untuk menjauhkan tentara Maluku dari gerakan nasionalis Indonesia. Memainkan kartu itu berarti menghadapkan tentara Maluku dengan pilihan antara Indonesia dan Belanda, dan itu bisa beresiko. Karena citra tentara Maluku sebagai tentara etnis dan setia, pemerintah kolonial sangat memprihatinkan untuk menjaga tentara Maluku tetap ikut-ikutan, lebih dari tentara pribumi lainnya, yang diberi lebih banyak ruang (dibandingkan dengan tentara Maluku) untuk berafiliasi dengan organisasi politik31.
Dekolonisasi/Datang ke Belanda
Setelah serangan di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941, Perang Dunia II berlangsung sepenuhnya. Pada bulan Mei 1940, Belanda telah diduduki dengan cepat oleh militer Jerman, dan pada tanggal 10 Januari 1942, Jepang mulai menginvasi Hindia Belanda. Kekuatan Jepang terbukti terlalu kuat, memaksa KNIL menyerah dalam waktu 2 bulan pada tanggal 8 Maret. Semua personel militer dijadikan tawanan perang. Namun, tentara pribumi segera dibebaskan. Hanya tentara Maluku dan Menado yang dianggap terlalu loyak kepada Belanda dan ditahan sebagai tawanan perang. Partisipasi kuat orang Maluku dan Menado dalam perlawanan melawan Jepang memperkuat keyakinan ini.
Pendudukan Hindia Belanda oleh Jepang merupakan awal dari dekolonisasi yang sebenarnya. Setelah sebagian laki-laki Eropa dan Eurasia yang telah dimobilisasi sebelum invasi dipenjarakan, pemerintah Jepang menginternir semua orang Eropa. Orang Eurasia, yang dapat membuktikan bahwa mereka memiliki leluhur Indonesia, diizinkan untuk tidak ikut kamp interniran. Selama tahun-tahun pendudukan, tekanan Jepang terhadap Eurasia untuk menyatakan kesetiaan mereka kepada Jepang semakin meningkat; dan karena banyak dari mereka menolak untuk melakukannya, semakin banyak dari mereka juga berakhir di kamp. Dengan menginternir orang Eropa, Jepang mengambil seluruh elit kolonial dan menggantikannya dengan orang Indonesia dari gerakan nasionalis yang sudah muncul sejak awal abad ini.
Ketika perang berakhir dengan Kapitulasi Jepang pada 15 Agustus 1945, kaum nasionalis Indonesia mengambil momentum untuk mendeklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus. Yang terjadi selanjutnya adalah perang dekolonisasi selama 4 tahun32. Ketika pasukan Sekutu-Inggris datang ke Indonesia untuk mengambil alih kendali dari Jepang, kelompok anak-anak muda menyerang mereka. Namun mereka juga menyerang warga sipil Eropa yang mulai meninggalkan kamp-kamp Jepang, serta warga Indo-Eropa yang diduga gagal mendukung republik baru tersebut. Selama periode kekerasan pertama ini, pemuda Eropa, Indo-Eropa dan tentara KNIL Maluku mengorganisir diri dalam milisi untuk membela orang Eropa dan Indo-Eropa. Dalam upaya mengembalikan kekuasaan kolonial, Belanda mereorganisasi KNIL dan mengirimkan sekitar 150.000 tentara dari Belanda yang baru saja dibebaskan ke Indonesia. Banyak rekrutan baru dalam KNIL yang baru diorganisir berasal dari kepulauan Maluku, karena Belanda dapat menegakkan kembali kekuasaannya di bagian Indonesia ini segera setelah Jepang menyerah33. Meskipun banyak orang Maluku yang bergabung dengan kelompak nasional, dukungan yang (dalam banyak hal) kuat dari tentara KNIL Maluku yang ditunjukan kepada pihak Belanda, sekali lagi memperkuat citra orang Maluku yang setia kepada perjuangan Belanda. Mereka dianggap sebagai Andjing NICA (Administrasi Sipil Hindia Belanda) : Anjing-anjing (the dogs) dari pemerintahan kolonial Belanda yang telah kembali.
Di bawah tekanan internasional, perang dekolonisasi berakhir pada bulan Desember 1949 dengan penyerahan kedaulatan kepada sebuah federasi : Indonesia Serikat, yang Republik Indonesia sendiri adalah salah satu negara federal. Hampir seketika, struktur federal mulai runtuh, dengan negara federal bergabung dengan Republik Indonesia dalam proses kembali ke Negara Kesatuan yang telah diproklamirkan pada tahun 1945. Tentara KNIL Maluku memainkan peran penting dalam 3 upaya yang gagal untuk menghentikan proses ini. Yang pertama adalah upaya kudeta pada Januari 1950 dibawah komando bekas kapten pasukan Belanda. Intervensi kedua adalah pemberontakan di Makassar, ibukota Negara Federal Indonesia Timur, pada bulan Maret 1950 dan yang terakhir terjadi gerakan separatis di pulau Ambon Maluku setelah proklamasi kemerdekaan Republik Maluku Selatan (RMS) pada tanggal 25 April 1950. Ini merupakan upaya terakhir untuk menjauhkan kepulauan Maluku dari Negara Kesatuan Indonesia. Para penggagas RMS, para intelektual Maluku dan bekas militer KNIL, takut harus membayar kesetiaan mereka sebelumnya kepada Belanda. Meskipun RMS dengan cepat dikalahkan oleh Tentara Indonesia, pemerintah RMS berhasil mengorganisir perlawanan bersenjata di pedalaman pulau Seram hingga tahun 1963.
Dengan dekolonisasi Indonesia, tentara kolonial, KNIL, menjadi tidak berguna dan harus direkstrukturisasi. Personel Eropa dipulangkan ke Belanda, dan personel pribumi di mutasi ke ketentaraan Indonesia atau didemobilasasi. Prajurit KNIL berhak didemobilisasi di tempat asalnya, yaitu untuk prajurit Maluku di kepulauan Maluku. Pada saat proklamasi RMS, masih ada pasukan terakhir sekitar 3.500 prajurit KNIL Maluku di pulau Jawa yang menunggu untuk dimobilisasi. Sebagian besar prajurit ini mendukung gerakan RMS dari jarak jauh. Karena memiliki hak untuk diangkut kembali ke tempat asalnya, demobilisasi terakhir mereka menjadi bermasalah. Pemerintah Indonesia, seperti halnya Belanda, tidak menginginkan personel militer terlatih dikirim ke Maluku, dimana mereka dapat bergabung dengan gerakan separatis. Demobilisasi mereka di wilayah-wilayah yang dikuasai Indonesia juga bukan solusi karena permusuhan antara tentara RMS yang berpikiran RMS dan orang Indonesia. Pemerintah Belanda masih menjadi majikan resmi para serdadu Maluku, yang untuk sementara diberi status anggota Tentara Kerajaan Belanda ketika pada Juni 1950, KNIL resmi dibubarkan. Status sementara ini diperlukan pemerintah Belanda agar mereka tetap berada di bawah komando militer.
Saat dalam perjalanan tahun 1951, menjadi jelas bahwa tidak ada solusi sederhana, pemerintah Belanda membawa tentara Maluku ke Belanda, yang dalam persepsi orang Maluku, sebagai hasil komando militer. Namun, menurut pemerintah Belanda, hal itu terjadi karena pilihan orang Maluku sendiri. Ini adalah hasil dari perkembangan yang sangat kompleks. Para prajurit Maluku diberi 3 pilihan : dimutasi ke dalam TNI, didemobilasi di tempat (Jawa) atau dikirim ke Belanda. Orang Maluku tidak mau memilih tetapi bersikeras mereka harus dikirim pulang ke Maluku atau ke Nuigini Belanda (Papua), dekat dengan Maluku. Untuk memecahkan kebuntuan ini, pemerintah Belanda mengancam akan memberikan perintah berangkat ke Belanda. Pada saat yang sama, delegasi Maluku yang berada di Belanda menyarankan tentara Maluku di Indonesia untuk memilih pergi ke Belanda. Tidak jelas seberapa besar pengaruh saran ini. Segera setelah perkembangan ini, tentara Maluku diangkut ke Belanda34.
Antara tanggal 21 Maret dan 21 Juni, 12.500 orang Maluku pergi ke Belanda. Menurut pemerintah Belanda dan para pemimpin Maluku, ini hanyalah pengaturan sementara. 6 bulan, kata mereka. Di Belanda, warga Maluku dibawa ke kompleks militer di Amersfoort untuk diperiksa kesehatannya sebelum dibawa ke pemukiman masing-masing. Pemukiman ini, umumnya disebut “Kamp Maluku”, terdiri dari barak militer berusia tua, 2 bekas kamp konsentrasi NAZI, biara, dan kamp kerja paksa berusia tua. Setibanya di Belanda, para prajurit diberhentikan dari dinas ketentaraan, mengubah mereka dalam waktu sekejap dari personel militer menjadi warga sipil tanpa status apa pun.
Dengan memecat orang Maluku dari tentara, pemerintah Belanda menambahkan konflik mendasar kedua dengan orang Maluku. Dalam pandangan orang Maluku, pemerintah Belanda bertanggung jawab membawa mereka ke Belanda karena mereka, orang Maluku, diberi perintah, suatu dalil yang dibantah oleh pemerintah Belanda. sejalan dengan tanggung jawab itu, orang Maluku tidak menerima pemecatan dari tentara, karena mereka berhak untuk dibawa kembali ke pulau asalnya, yaitu Maluku, atau RMS, istilah lain yang digunakan oleh orang Maluku. Dengan dicabutnya orang Maluku dari status militer mereka, hubungan berubah 180 derajat : bertentangan dengan upaya di tahun-tahun sebelumnya yang berusaha menarik orang Maluku menjadi tentara, sekarang mereka harus disingkirkan.
Di luar pakaian dinas
Alasan penempatan orang-orang Maluku di kamp-kamp adalah karena mereka hanya diharapkan tinggal sementara waktu, meskipun tidak ada yang tahu bagaimana mereka nantinya akan kembali ke Indonesia atau Maluku. Hingga tahun 1956, orang Maluku mendapat perawatan penuh di kamp-kamp, terdiri dari makanan dari dapur terpusat, pemanas, voucher pakaian, dan uang saku mingguan. Awalnya juru masaknya adalah orang Belanda, dan mereka tidak mempertimbangkan selera dan keinginan makan orang Maluk, yang sering menimbulkan pertengkaran soal makanan. Jika seseorang ingin mengunjungi kerabatnya di kamp lain, ia harus melapor ke administrasi kamp untuk mengatur perbekalan dari dapaur dan, tentu saja, untuk mengontrol keberadaan orang Maluku. Sebagian besar kamp relatif terisolasi dari masyarakat Belanda. sebuah komisi khusus dari Kementerian Kesejahteraan Belanda, Commissariaat Ambonezen Zorg (CAZ; komisioner untuk kepedulian orang Ambon) bertanggung jawab atas kamp-kamp tersebut. Kamp-kamp ini dijalankan oleh pejabat dan staf kecil, tergantung pada ukuran kamp dan fasilitasnya. Kamp yang lebih besar bahkan memiliki sekolah kecil dan rumah sakit. Pertama pemerintah ingin menjauhkan anak-anak Maluku dari sistem pendidikan Belanda, dan memberi mereka pendidikan khusus dalam bahasa Indonesia dan Belanda yang akan terhubung dengan sistem di Indonesia. Ide pendidikan khusus ini ditinggalkan setelah orang tua dan organisasi orang Maluku menolaknya dan menuntut pendidikan Belanda untuk anak-anak. Inspektur dan pekerja kesejahteraan CAZ bertanggung jawab atas kesejahteraan warga Maluku, dan akan mengendalikan sebagian besar hidup mereka. Misalnya, pengawas CAZ yang akan memutuskan pendidikan : sekolah mana yang boleh dikunjungi anak-anak Maluku dan apakah prestasi mereka cukup untuk melanjutkan pendidikan. Untuk orang dewasa, kursus khusus diselenggarakan untuk membantu mereka mempelajari berbagai ketrampilan yang dapat membantu ketika mereka kembali ke Maluku.
Di kamp-kamp, muncul komunitas-komunitas kecil dengan beberapa institusi mereka sendiri. Institusi yang penting adalah Gereja Maluku. Mayoritas warga Maluku beragama Protestan (93 %, dengan Katolik 5% dan Muslim 2%). Pendeta-pendeta Maluku yang datang bersama militer mengorganisir sebuah gereja yang mandiri. Hal itu merangsang lembaga lain seperti dewan-dewan gereja, paduan suara dan organisasi pemuda. Kelembagaan lain didasarkan pada asal desa atau pulau : yang disebut kumpulan. Kumpulan ini menyatukan orang-orang dari desa yang sama dan dapat bertindak sebagai wakilnya bila diperlukan, misalnya pada upacara perkawinan atau pada upacara kematian. Institusi dengan dimensi politik adalah Dewan Kamp. Untuk mengatur komunikasi dengan orang Maluku, CAZ tidak mau berurusan dengan orang Maluku secara individual; mereka harus memilih suatu Dewan Kamp. Meskipun dewan-dewan ini seharusnya bertindak sebagai perantara, mereka [akhirnya] menjadi komite kepentingan35. Dewan kamp bergabung dengan organisasi kepentingan nasional orang Maluku yang didirikan pada periode yang sama, menjadi eselon terendah mereka. Sejak awal, posisi organisasi-organisasi nasional orang Maluku ini sangat kuat, karena CAZ terlebih dahulu mendiskusikan semua kebijakannya dengan pengurus organisasi-organisasi ini. Semua peraturan baru dikomunikasikan melalui struktur CAZ itu sendiri, tetapi juga melalui organisasi orang Maluku. Karena berbagai organisasi kepentingan orang Maluku bersaing memperebutkan kekuasaan yang mengakibatkan konflik di kamp-kamp, CAZ memindahkan orang-orang Maluku ke kamp-kamp, membawa sebanyak mungkin anggota dari 1 organisasi kepentingan di kamp yang sama. Hasilnya adalah rangkaian kamp-kamp orang Maluku di seluruh Belanda, masing-masing ditempati oleh orang-orang dari organisasi kepentingan yang sama. Perkembangan ini menciptakan dasar bagi masyarakat Maluku di Belanda.
Dengan perawatan penuh dan perumahan di kamp-kamp, pemerintah Belanda bertujuan untuk memfasilitasi tinggal sementara orang Maluku di Belanda. Masalah pemecatan dari ketentaraan, bagaimanapun, tidak terselesaikan dengan langkah-langkah ini dan ditinjaklanjuti dengan beberapa cara. Pertama, secara simbolis. Meskipun tentara Maluku diberitahu selama proses debarkasi bahwa mereka diizinkan untuk mengenakan seragam militer mereka sampai mereka diberi pakaian sipil, tentara Maluku tetap mengenakan seragam mereka, bahkan setelah tersedianya pakaian sipil. Lebih buruk lagi, selama bulan-bulan pertama (di beberapa kamp bahkan setiap bulan) mereka mengadakan absen berseragam secara teratur, sebagai penghormatan kepada warna-warna RMS. Ini adalah cara untuk menunjukan bahwa mereka tidak setuju dengan demiliterisasi mereka, dan bertekad untuk menjaga tanggung jawab pemerintah Belanda terhadap tentara Maluku36.
Cara kedua, orang Maluku memprotes pemecatan mereka melalui proses hukum. Sudah pada musim gugur tahun 1951, orang Maluku membawa pemerintah Belanda ke Pengadilan Tata Usaha Militer menuntut agar tentara Maluku diizinkan untuk mempertahankan status Tentara Kerajaan sampai mereka tiba di lokasi akhir pilihan mereka, yang merupakan hak mereka sebagai bekas tentara KNIL. Pengacara pembela pemerintah Belanda itu pada gilirannya menganggap undang-undang militer tidak berlaku bagi tentara Maluku, karena menurutnya mereka bukan lagi militer dalam pengertian yang dipahami oleh undang-undang tersebut setelah pembubaran tentara kolonial. Dia juga ragu, apakah pemerintah Belanda harus bertanggung jawab membawa orang Maluku ke lokasi pilihan mereka sendiri sebelum mereka bisa dipulangkan. Pada tanggal 26 November, Pengadilan Tata Usaha Militer memutuskan melawan pemerintah dan menyatakan pemecatan tentara Maluku batal demi hukum. Sebagian besar faksi-faksi orang Maluku menyambut baik putusan tersebut, meskipun ada yang takut remiliterisasi akan berdampak negatif pada perjuangan RMS37.
Pemerintah Belanda naik banding ke pengadilan yang lebih tinggi. Karena kemungkinan akan kalah di pengadilan, pemerintah memmutuskan untuk mempersiapkan kemungkinan terburuk. Itu adalah memerintahkan persiapan untuk remiliterisasi orang Maluku, jika perlu. Skedul bersama seluruh bekas tingkatan, dan lokasi bekas porsonel militer Maluku sekarang disatukan. Perintah berbaris tertulis dalam putusan hakim, di pengadilan banding, memutuskan melawan negara Belanda. Bahkan stok seragam sudah lengkap untuk melayani seluruh warga Maluku dengan seragam baru, bila diperlukan. Semua dilakukan untuk membawa 3.500 orang Maluku kembali menjadi tentara dengan satu sinyal. Bahkan perintah berbaris tertulis untuk menyambut kembalinya orang Maluku menjadi tentara sudah disiapkan. Akan tetapi, keputusan pengadilan yang lebih tinggi memihak negara Belanda : memutuskan bahwa kasus tersebut tidak termasuk dalam yuridiksi Pengadilan Administratif Militer yang lebih rendah38. Orang Maluku, pada satu sisi, enggan mencoba pendekatan hukum lain, misalnya, melalui pengadilan sipil untuk membawa kasus mereka. Mereka takut jika pendekatan hukum lain ternyata berhasil dan orang Maluku masuk kembali ke dalam ketentaraan, ini akan melemahkan kemungkinan mereka untuk mendukung RMS. Di satu sisi, alasan ini bertepatan dengan alasan pemerintah Belanda, yang tidak ingin orang Maluku kembali menjadi tentara untuk mencegah mereka kehilangan kewarganegaraan Indonesia dan dengan kemungkinan untuk kembali ke Indonesia. Alasan lain, jika orang Maluku juga kalah dalam pengadilan sipil, posisi mereka berhadapan dengan pemerintah Belanda sebagai bekas majikan mereka, akan sangat lemah. Selama tanggung jawab yang tepat tidak jelas, orang Maluku memiliki argumen moral untuk mengingatkan negara Belanda tentang tugas dan tanggung jawabnya sebagai bekas majikan.
Di pihak pemerintah Belanda, ada yang menganggap remiliterisasi adalah solusi terbaik. Namun, pemerintah memutuskan tidak ingin menempuh jalan itu, tetapi bersedia membawa kembali orang Maluku ke dalam wilayah militer tanpa menjadikan mereka tentara yang sebenarnya lagi. Alasan pemerintah bersedia melakukannya bukan karena kasihan, tetapi karena menghadapi masalah kekacauan yang semakin meningkat di kamp-kamp. Membawa mereka kembali ke hierarki seperti militer bisa menjadi solusinya39. Idenya adalah untuk membentuk Korps Pengawas Sipil yang diawaki oleh orang Maluku yang dapat mengambil alih tugas pengawasan tentara. Korps akan diorganisir seperti kesatuan tentara untuk memenuhi keinginan orang Maluku untuk kembali menjadi tentara, tetapi akan disebut sipil untuk memastikan orang Maluku tidak kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Reaksi dari Dewan Lokal Maluku adalah positif40. Organisasi-organisasi orang Maluku yang beroperasi secara nasional juga menyambut langkah tersebut, tetapi mengajukan tuntutan tambahan. Mereka ingin korps itu diberi nama “Korps Pengawas Sipil Maluku Selatan” dan menuntut fasilitas untuk memindahkan sebagian uang yang diperoleh dengan melayani korps ke dana yang mendukung perjuangan RMS. Dan mereka menuntut agar pemerintah Belanda tetap mengakui hak demobilisasi kolonial bekas tentara Maluku, artinya pemerintah harus membawa mereka kembali ke kepulauan Maluku. Sebagai imbalan atas dukungan mereka, mereka mengajukan tuntutan-tuntutan yang berhubungan dengan RMS dan juga hak-hak bekas KNIL41. Pemerintah Belanda tidak menerima tuntutan-tuntutan ini dan mengedarkan seruan untuk mendaftar di Korps Pengawas Sipil. Pada akhirnya hanya 39 calon yang mendaftar, membuat upaya untuk menyelesaikan masalah pemecetan ini gagal. Perselisihan antara bekas tentara Maluku dan pemerintah Belanda tentang pembebasan ini menemui jalan buntu. Dan meskipun perselisihan itu tidak selalu disebutkan, itu menentukan cara orang Maluku mendekati otoritas Belanda.
Prosepek orang Maluku untuk kembali ke Indonesia, bagaimanapun, diperparah karena hubungan pemerintah Belanda dan Indonesia memburuk. Mereka berselisih tentang Nuigini Belanda (Papua) yang masih berada di tangan Belanda. Sementara itu, pemerintah Belanda tetap mengurus sepenuhnya orang-orang Maluku di kamp-kamp tersebut. Semakin banyak orang Maluku mulai bekerja di industri dan di sektor pertanian. Menurut aturan yang disebut aturan 60%, mereka harus membayar 60% dari penghasilan mereka ke CAZ untuk perumahan dan perawatan yang mereka terima. Kebanyakan orang Maluku menolak melakukannya, menghadapi inspektur CAZ dengan penolakan mereka. Karena masalah-masalah ini, serta yang lainnya, pada tahun 1956 pemerintah Belanda memutuskan bahwa perawatan penuh tidak lagi diinginkan. Sejak saat itu, orang Maluku seharusnya menjaga diri mereka sendiri. Mereka harus mencari pekerjaan, membayar listrik, batu bara, dan sebagainya. Jika mereka gagal mendapatkan pekerjaan, mereka dapat meminta tunjangan keamanan. Distribusi makanan secara terpusat juga berakhir, karena orang Maluku juga harus memasak sendiri. Di beberapa kamp, dapur-dapur individu baru harus dibangun. Jadi posisi orang Maluku yang relatif terisolasi sebagian telah berakhir, tetapi terutama karena alasan ekonomi.
Orang Maluku memprotes “peraturan perawatan diri” ini karena mereka melihatnya sebagai upaya pemerintah Belanda untuk menarik diri dari tanggung jawabnya atas orang Maluku. Dapur-dapur yang baru dibangun dihancurkan sebagai protes. Di Westkapelle, sebuah desa kecil di provisi selatan Zeeland, terjadi bentrokan antara orang Maluku dan polisi. Di sana, orang Maluku memprotes peraturan baru tersebut dengan cara demonstratif mengunjungi toko-toko lokal dan setelah mengambil barang, mereka menyarankan kepada pemilik toko untuk mengirimkan tagihan kepada Ratu. Protes melalui “belanja proletar” ini menyebabkan pengepungan kamp-kamp Maluku oleh polisi dan penangkapan sekelompok besar laki-laki. Protes terhadap “perawatan diri” terutama bersifat simbolis. Ini memberi orang Maluku waktu untuk mengulangi ketidaksetujuan mereka atas pemecatan dari dinas ketentaraan dan memberi mereka panggung untuk menyatakan bahwa mereka masih menganggap pemerintah Belanda bertanggung penuh atas kehadiran mereka di Belanda.
Pada akhir tahun 1950-an, pemerintah Belanda memutuskan untuk memindahkan orang-orang Maluku dari kamp-kamp ke tempat-tempat yang dibangun khusus di kota-kota Belanda. Kondisi kehidupan di kamp dianggap tidak layak untuk tinggal lama, padahal orang Maluku sudah hampir 10 tahun tinggal di sana, dan pemerintah ingin mendekatkan orang Maluku dengan kesempatan kerja. Sekali lagi, kebijakan baru ini digunakan oleh orang Maluku untuk menunjukan ketidakpuasan mereka terhadap otoritas Belanda dan untuk menekankan bahwa pemerintah Belanda bertanggung jawab atas orang Maluku yang diperlakukan secara tidak adil sebagai bekas pegawai tentara kolonial Belanda. Meskipun (kadang-kadang) protes keras, semua orang Maluku dipindahkan ke bangsa baru orang Maluku dalam 18 tahun42.
Butuh waktu hingga tahun 1986 sebelum perselisihan antara orang Maluku dan pemerintah Belanda tentang pemecatan dari dinas ketentaraan itu berakhir. Pada tahun 1970-an, posisi orang Maluku di Belanda dan hubungannya dengan masyarakat Belanda semakin memburuk. Secara sosial-ekonomi, posisi mereka buruk karena meningkatnya pengangguran dan penyalahgunaan narkoba. Pada saat yang sama, generasi kedua orang Maluku meradikalisasi dalam ide-ide mereka tentang perjuangan untuk RMS, mengakibatkan aksi pembajakan dan penyanderaan pada pertengahan tahun 70-an43. Pada akhir tahun 1970-an, dominasi cita-cita politik RMS mulai memudar, karena reorientasi orang Maluku tentang situasi mereka di Belanda dan hubungannya dengan kepulauan Maluku. Baru pada saat itulah, bagi sebagian besar orang Maluku untuk tinggal di Belanda untuk sementara memberi ruang bagi gagasan tentang tinggal permanen. Sedikit banyak, orang Maluku berubah dari orang buangan menjadi pendatang. Sebuah proses integrasi dalam masyarakat Belanda akhirnya dimulai44.
Perubahan pada tahun 1986 terjadi setelah masalah perumahan yang parah di kawasan Maluku. Karena pemeliharaan yang buruk, rumah-rumah di lebih dari ¼ total menunjukan kerusakan. Pada tahun 1984, hal ini menimbulkan protes, dan dalam beberapa kasus, penolakan untuk membayar sewa, yang menyebabkan upaya otoritas lokal untuk memindahkan penyewa asal Maluku secara paksa. Karena orang Maluku mendukung sesama orang Maluku melawan polisi, terjadilah pertempuran di jalan-jalan di beberapa tempat di kawasan Maluku. Dalam laporan berita, generasi kedua mulai menghidupkan kembali klaim orang tua mereka sebagai eks tentara kolonial. Mereka mengajukan gagasan bahwa pemerintah Belanda, sebagai bekas majikan orang tua mereka, bertanggung jawab atas perumahan warga Maluku. Singkat kata, mereka mengklaim hak bekas KNIL untuk dipulangkan ke tempat asalnya. Dengan masalah perumahan, masalah pemecatan dan tanggung jawab pemerintah Belanda kembali menjadi agenda. Para pemimpin muda Maluku memanfaatkan situasi ini. Orang Maluku telah menjadi minoritas kecil di Belanda, kalah jumlah dengan kelompok lain seperti orang Suriname, Maroko dan Turki, dan para pemimpin muda Maluku menyadari bahwa tidak akan lama lagi pemerintah Belanda akan mengakhiri hubungan khusus dengan orang Maluku, paling tidak karena generasi pertama orang Maluku semakin “menghilang”.
Para pemimpin Maluku dan pemerintah Belanda sama-sama menyadari dalam “ pernyataan bersama”, dengan maksud untuk menyelesaikan semua masalah dan persoalan sejarah dalam satu nafas. Pada tanggal 21 April 1986, 35 tahun setelah orang Maluku tiba di Belanda, PM Belanda, Ruud Lubbers dan Samuel Metiarij, Ketua Organisasi Orang Maluku terbesar di Belanda, menandatangani apa yang kemudian dikenal sebagai perjanjian bersejarah (lihat gambar 11.2). Perjanjian ini memuat pengaturan untuk meningkatkan posisi sosial ekonomi orang Maluku dengan menciptakan 1000 pekerjaan, pendirian Museum Sejarah Maluku dan gerakan untuk mengakui kontribusi tentara Maluku selama era kolonial dan Perang Dunia II. Isyarat ini terdiri dari tunjangan tahunan untuk generasi pertama orang Maluku dan medali kehormatan. Sebagai balasannya, orang Maluku harus bekerja sama dengan pemerintah Belanda untuk memecahkan masalah perumahan, dan mereka harus setuju bahwa dengan sikap yang disebutkan di atas terhadap generasi pertama, tanggung jawab pemerintah Belanda vis-á-vis terhadap bekas tentara kolonialnya telah berakhir.
Kesimpulan
Sejarah orang Maluku sebagai prajurit etnis dalam tentara kolonial adalah kisah penciptaan, atau lebih tepatnya mistifikasi, dari sebuah kesetiaan. Terciptanya citra tentara Maluku sebagai sosok yang sangat loyal kepada Belanda muncul ketika pemerintah kolonial Belanda membutuhkan mereka untuk perluasan wilayah jajahan pada abad ke-19. Mengapa orang Maluku dipandang sebagai kelompok yang setia di koloni, itu tidak jelas. Untuk waktu yang lama, orang Maluku dan Menado tampaknya dapat dipertukarkan, bahkan lebih banyak orang Menado daripada orang Maluku dalam tentara kolonial. Dalam mistifikasi tentara yang setia, kontribusi serdadu Maluku dalam perang “heroik” untuk menaklukan wilayah Aceh ke dalam kekuasaan kolonial Belanda dan terutama sebagai pengawal pribadi perwira Eropa, memainkan peran penting. Keengganan orang Maluku untuk mendaftar sebagai KNIL pada abad ke-19 juga merusak citra prajurit Maluku yang setia sejak lama.
Sejarah prajurit KNIL juga merupakan kisah oportunisme. Setelah perdagangan cengkih ambruk, fokus proyek kolonial Belanda bergeser dari kepulauan Maluku ke bagian lain kepulauan Indonesia. Maluku dilupakan sampai abad ke-19, ketika mereka dibutuhkan kembali. Mereka dibujuk untuk masuk tentara kolonial dengan bonus dan hak istimewa. Segera setelah ekspansi kolonial terwujud, keistimewaan dan karunia dianggap tidak diperlukan lagi. Proses normalisasi posisi orang Maluku di KNIL diambil alih oleh Perang Dunia II dan Revolusi Indonesia segera setelah perang itu. Tentara KNIL Maluku kembali berperan penting bagi Belanda dalam usahanya memulihkan kekuasaan kolonial.
Setelah kekalahan dari upaya ini, tentara Maluku, seperti semua prajurit pribumi lainnya, harus dikembalikan, dipindahkan ke ketentaraan Indonesia atau didemobilisasi di tempat lain di Indonesia. Sekali lagi, sejarah mengambil alih proses demobilisasi dan membawa rombongan 3.500 tentara beserta keluarganya ke Belanda. Ini berubah menjadi tragedi sejarag dimana tentara Maluku diberhentikan dari ketentaraan dan dikesampingkan sambil menunggu kepulangan mereka. Itu menyakitkan, paling tidak karena tidak ada gagasan yang jelas bagaimana pengembalian seperti itu harus diatur. Para prajurit Maluku dipindahkan ke Belanda karena pemerintah Belanda merasa bertanggung jawab terhadap mereka sebagai majikan mereka, dan keputusan untuk mengisolasi mereka dari masyarakat Belanda terutama merupakan tindakan pragmatis. Pemberhentian dari dinas ketentaraan pada saat kedatangan bukanlah pelepasan tanggung jawab otoritas Belanda vis-á-vis dengan orang Maluku. Dalam proses yang panjang, pemerintah Belanda menghapus tanggung jawabnya terhadap orang-orang ini dengan menghentikan perawatan penuh, dan kemudian memindahkan mereka dari kamp ke tempat tinggal, dimana interaksi dengan masyarakat Belanda lebih muda. Pemerintah Belanda membutuhkan waktu 35 tahun, dari tahun 1951 sampai tahun 1986, sebelum dapat menutup/mengakhiri bab tanggung jawab moralnya terhadap bekas tentara KNIL Maluku.
====== selesai ======
Catatan Kaki
1. Ini adalah perkiraan, jumlah pastinya tidak mungkin karena orang Maluku tidak bisa diekstrak dari database demografi pegawai. Lihat Gijs Beets et. al., “Demografische ontwikkeling van de Molukse bevolkingsgroep in Nederland,” CBS Maandstatistiek van de Bevolking, no. 6 (2002): 13–7. Bagian dari 50.000 orang Maluku ini adalah anak-anak keturunan campuran, dimana banyak dari mereka menganggap diri mereka sebagai orang Maluku
2. 3.500 tentara dan keluarga mereka lainnya, sekelompok kecil orang Maluku datang ke Belanda, beberapa dengan keluarga mereka. Ada 69 orang Maluku yang bertugas di Angkatan Laut Belanda dan lebih dari 1000 warga sipil, 65 anggota polisi khusus datang sebagai penumpang gelap. Lihat Henk Smeets and Fridus Steijlen, In Nederland gebleven: de geschiedenis van Molukkers 1951–2006 (Amsterdam/Utrecht: Bert Bakker/ Moluks Historisch Museum, 2006), 76. Kajian ini hanya menyangkut tentara KNIL Maluku dan bukan kelompok lainnya.
3. See also Gerrit Knaap, De core business van de VOC: Markt, macht en mentaliteit vanuit overzees perspectief (Utrecht: University of Utrecht, 2014).
4. F. Witkamp, ed., Gedenkboek van het K.N.I.L.,1911–1961 (Amersfoort: Vereniging van Oud-Onderofficieren van het Koninklijk Nederlands-Indische Leger ‘Madjoe’, 1961), 40.
5. Witkamp, Gedenkboek K.N.I.L., 40.
6. Smeets and Steijlen, In Nederland gebleven, 100.
7. Witkamp, Gedenkboek K.N.I.L, 35.
8. Ibid.
9. Ibid., 39–41.
10. C.A. Heshusius, Het KNIL van Tempo Doeloe (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 1988), 8.
11. C.A. Heshusius, KNIL cavalerie 1814–1950; geschiedenis van de cavalerie en pantsertroepen van het Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) (Den Haag: Koninklijke Landmacht, Sectie Krijgsgeschiedenis, 1978), 11.
12. Heshusius, Het KNIL van Tempo Doeloe, 20.
13. Ibid., 20–21.
14. Ibid., 20–21.
15. Ibid., 21.
16. Di Indonesia, ratusan bahasa digunakan. Bahasa Melayu digunakan sebagai lingua franca di seluruh nusantara untuk perdagangan dan komunikasi lainnya. Bahasa Melayu ini berasal dari Malaka dan Kepulauan Riau di bagian barat nusantara. Bahasa Indonesia masa kini adalah bentuk bahasa Melayu yang diformalkan
17. Fred Lanzing, Soldaten van smaragd: mannen, vrouwen en kinderen van het KNIL 1890–1914 (Amsterdam: Augustus, 2005), 29.
18. C. van den Hoogenband, “Het koninklijk Nederlands Indisch Leger (voornaamste verrichtingen tot aan het uitbreken van de 2de wereldoorlog),” in Witkamp, Gedenkboek K.N.I.L, 99.
19. Riedel quoted in Ben van Kaam, Ambon door de eeuwen (Baarn: In den Toren, 1977), 40.
20. About 50 per cent of the Moluccans were Christian and 50 per cent was Muslim.
21. Van Kaam, Ambon door de eeuwen, 43 and Rido, “De Inlandsche Landaarden in het Nederlandsch Indisch Leger en hun militaire waarde (1),” Indisch Militair Tijdschrift 27 (1896): 182.
22. Rido, “De Inlandsche Landaarden,” 185.
23. Rido, “De Inlandsche Landaarden,” 186.
24. Richard Chauvel, Nationalists, Soldiers and Separatists. The Ambonese Islands from Colonialism to Revolt, 1880–1950 (Leiden: KITLV Press, 1990), 47.
25. Bahwa Renjaan menjadi simbol itu agak sinis. Sebagian besar orang Maluku di KNIL berasal dari Maluku Tengah. Mereka memandang rendah orang-orang Maluku yang berasal dari wilayah kepulauan tenggara.
26. H.C. Zentgraaff, Atjeh (Batavia: De Unie, 1938)
27. Zentgraaff, Atjeh, 188.
28. G.W.T. Dames, Oom Ambon van het K.N.I.L. (Den Haag: s.n., 1954).
29. Van Kaam, Ambon door de eeuwen, 49.
30. Chauvel, Nationalists, Soldiers and Separatists, 60.
31. Ibid., 61–2.
32. See George Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca, NY: Cornell Southeast Asia Program Publications, 2003); William Frederick, Visions and Heat: The Making of the Indonesian Revolution (Ohio: Ohio University Press, 1989) and Joop de Jong, Avondschot: hoe Nederland zich terugtrok uit zijn Aziatisch imperium (Amsterdam: Boom, 2011).
33. Fridus Steijlen, “Molukse militairen; Een nuancering,” Vraagstelling 1–2 (1994): 71.
34. See also: Fridus Steijlen, RMS; Moluks nationalisme in Nederland, 1951–1994. Van ideaal tot symbool (Amsterdam: Spinhuis, 1996), 54–5 and Smeets and Steijlen, In Nederland gebleven, 64–9.
35. Tamme Wittermans, Social Organization among Ambonese Refugees in Holland (Amsterdam: Spinhuis, 1991) and Fridus Steijlen, “Shifting to the core of the Ethno-Cultural Position; Moluccan camps and wijken revisited,” in Migration and Integration Research; Filling in Penninx’s Heuristic Model, Anja van Heelsum and Blanca Garcés-Mascareñas (eds) (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2013), 152–68.
36. Steijlen “Molukse militairen,” 73.
37. Smeets and Steijlen, In Nederland gebleven, 114–5.
38. Ibid., 115.
39. Steijlen RMS; Van ideaal tot symbool, 90.
40. Wittermans, Social Organization among Ambonese Refugees, 114.
41. Ibid., 114–9; and Steijlen, RMS; Van ideaal tot symbol, 91.
42. Ada satu pengecualiaan, yaitu kamp Lunetten di Vught. Sebagian orang Maluku yang tinggal di kamp ini menolak pindah ke tempat tinggal. Pada awal 1990-an, Lunetten direnovasi
43. Ini adalah aksi penyanderaan pada Agustus 1970 di kediaman Duta Besar Indonesia di Wassenaar (1 polisi tewas); Desember 1975 terjadi pembajakan kereta api di Wijster, diikuti aksi penyanderaan di Konsulat Indonesia di Amsterdam (3 tewas di dalam kereta api, 2 diantaranya dieksekusi, dan 1 tewas di konsulat saat korban melompat dari jendela), Juni 1977 aksi gabungan dari pembajakan kereta api di De Punt dan aksi penyanderaan di sekolah dasar di Bovensmilde (aksi ini diakhiri dengan aksi militer, menewaskan 7 pembajak dan 2 sandera). Aksa penyanderaan terakhir pada Maret 1978 di pemerintahan provinsi di Assen (1 tewas). See also Fridus Steijlen, “Hostage Taking Actions by Moluccans in the Netherlands,” Ethnos-Nation, no. 4 (1996): 97–111.
44. Fridus Steijlen, “Moluccans in the Netherlands: From Exile to Migrant,” Review of Indonesian and Malaysian Affairs 44, no. 1 (2010): 143–62.
Catatan Tambahan :
a. Menurut I.O. Nanulaita, namanya adalah Achmad Sangaji. Sedangkan menurut F. de Haan namanya seperti tertulis dalam sebuah akta tahun 1664 bernama “Joncker Jouwa de Manipa”.
§ Lihat I.O. Nanulaita, Timbulnja Militerisme Ambon: Sebagai Suatu Persoalan Politik Sosial–Ekonomis, Bharata, Djakarta, 1966
§ Lihat F. De Haan, Oud Batavia (Gedenkboek naar aanleiding van het driehonderdjarig bestan der stad in, Batavia, G Kolff, 1920, hlm. 228-229.
§ Lihat Petrik Matanasi, Kapitan Jonker : Sang Legenda, Sibuku, Yogyakarta, 2014
§ Lihat J.A. van der Chijs, Kapitein Jonker 1630? – 1689
b. Ayah Jonker bernama Kawasa
c. Kapitan Jonker meninggal dunia pada 24 Agustus 1689
d. Heshusius bernama lengkap Carel Albert Heshusius, lahir pada 29 April 1916 di Den Haag dan meninggal pada 22 Januari 2005 di Den Haag. Ia adalah putra dari Albert Carel Alphonsus Heshusius.
e. Riedel yang dimaksud adalah Johan Gerhard Friedrich Riedel. Ia menjadi Resident van Ambon pada periode 25 April 1880 – 25 Juni 1883
Tidak ada komentar:
Posting Komentar