Oleh
Paul Taucher
Peta Kamp Tawanan Perang Tantui (Ambon) |
A. Kata Pengantar
Pulau Ambon ditaklukan oleh
militer Jepang pada tanggal 3 Februari 1942. Takluknya Pulau Ambon ini,
menandai awal “berakhirnya” kolonialisasi Hindia Belanda yang lama di kepulauan
tersebut. Pendudukan Jepang di pulau Ambon dan sekitarnya selama 3,5 tahun
berikutnya menyajikan kisah-kisah tersendiri yang merupakan bagian dari sejarah
kota Ambon khususnya.
Mungkin banyak dari kita yang
belum mengetahui dengan jelas, bahwa di masa Jepang itulah, di salah satu
kawasan di kota Ambon, telah dibangun atau didirikan sebuah kamp untuk tawanan
perang. Kawasan yang dimaksud adalah kawasan Tantui. Di kawasan inilah, Jepang
mendirikan atau membangun sebuah kamp untuk menahan tahanan perang dari Australia
dan Belanda. Saat Jepang menaklukan kota Ambon, banyak tentara Australia dan
Belanda yang ditangkap dan akhirnya ditawan di kamp ini.
Melalui artikel yang berjudul Tan
Toey of War Camp : The Dilemmas of Comand inilah, Paul Taucher, seorang sarjana
dari National Library of Australia Summer, menyajikan kisah mengenai kamp
tawanan perang tersebut. Artikel ini tidak membahas tentang kisah suka dan duka
yang dialami oleh para tawanan perang di kamp tersebut, melainkan tentang
“kacaunya” pola kepemimpinan, dan berbagai masalah-masalah lain di dalam kamp
Tantui. Kekacauan dan permasalahan inilah yang mengakibatkan timbulnya
kejahatan perang yang dilakukan oleh militer Jepang terhadap para tawanan
perang asal Australia dan Belanda, yang nantinya pada akhir perang, beberapa
militer Jepang diajukan di hadapan peradilan kejahatan perang dan dijatuhi
hukuman mati dan penjara.
Seperti disebutkan di atas,
artikel ini ditulis oleh Paul Taucher dan dimuat dalam buku berjudul
Detention Camps in Asia : The Conditions of Confinement in Modern Asian
History, serta dieditori oleh Robert Cribb, Christina Twomey dan Sandra Wilson
dan diterbitkan pada tahun 2022. Buku ini terdiri dari 4 bagian, dimana artikel
dari Paul Taucher ini ditempatkan pada bagian ke-4, halaman 219-236 dan
merupakan artikel ke-12 dari 15 artikel yang termuat di dalam buku tersebut.
Artikel ini berisi 58 catatan kaki oleh sang penulis.
Kami menerjemahkan artikel ini,
agar menjadi “sumber” sejarah tentang dinamika penjajahan Jepang di kawasan
Maluku yaitu di pulau Ambon. Pada artikel asli, hanya ada 1 gambar peta yang
disajikan, sehingga kami menambahkan beberapa gambar pada artikel terjemahan
ini, serta catatan tambahan yang dianggap perlu. Semoga artikel dan bahasan
yang diulas oleh Paul Taucher ini akan bermanfaat bagi kita.
B. Terjemahan :
Abstraksi
Pada bulan Februari tahun 1942, selama invasi Jepang ke Pulau Ambon di Hindia Belanda, sejumlah besar tentara Australia ditangkap oleh angkatan laut Jepang. Para tahanan ditawan di sebuah kamp di pulau itu, dimana mereka menjadi sasaran pemukulan, perampasan makanan dan perawatan medis, dan, kadang-kadang, eksekusi mati, sampai pembebasan mereka pada akhir perang pada Agustus 1945. Setelah Jepang menyerah, militer Australia menuntut para personel Jepang, baik sebagai anak buah, maupun sebagai komandan mereka, dalam kejahatan yang dilakukan di Ambon. Komandan yang tidak memerintahkan suatu kejahatan, atau turut secara langsung dalam suatu kejahatan, atau turut serta secara langsung dalam suatu kejahatan, dapat diadili atas kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya melalui doktrin tanggung jawab komando. Pengadilan militer dalam pengadilan pasca-perang menggunakan tanggung jawab komando untuk menjawab pertanyaan sulit tentang sejauh mana tanggung jawab seorang komandan atas tindakan bawahannya, dalam keadaan dimana metode hukum tradisional tidak mampu untuk menanganinya. Kajian ini membahas bagaimana pengadilan militer Australia menggunakan doktrin hukum tanggung jawab komando untuk menuntut 2 perwira Jepang yang dituduh bertanggung jawab tidak langsung atas kejahatan yang dilakukan terhadap tawanan di Ambon. Sidang awalnya diadakan di Pulau Ambon, dari 2 – 18 Januari 1946, dan kemudian dipindahkan ke Pulau Morotai, dan dilanjutkan pada 25 Januari dan diakhiri pada 15 Februari 1946.
Pada akhir tahun 1941 dan awal tahun 1942, tentara Jepang bergerak cepat melintasi kawasan Asia-Pasifik. Pasukan Sekutu dengan cepat diserang, hingga 350.000 tentara Sekutu ditangkap oleh pasukan Jepang sebagai tawanan perang (POWa). Banyak dari tahanan ini adalah tentara kolonial Asia, dan dibebaskan tidak lama kemudian1. Menurut angka yang disajikan/ditampilkan di Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh (IMTFEb), sebanyak 132.134 tahanan adalah tentara berkulit putih, yang tetap ditawan hingga akhir perang2. Pada bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya, tawanan perang Sekutu ini ditahan di tempat mereka ditangkap, atau diangkut melampaui [wilayah] kekaisaran Jepang, untuk digunakan sebagai tenaga kerja. Kamp tawanan perang didirikan di tempat-tempat kerja dan tempat lain di seluruh [wilayah] kekaisaran [Jepang]. Kondisinya seringkali sangat buruk : lokasi dan iklim yang tidak bersahabat, makanan dan obat-obatan yang langka, jadwal kerja yang padat, dan pasokan yang tidak memadai. Beberapa staf kamp penjara bersikap brutal terhadap para tahanan; yang lainnya melaukan hal terbaik dalam situasi sulit. Dari 132.124 tahanan yang disebutkan pada IMTTFE, 35.756 orang tewas selama perang, sebagian besar dari mereka berada di kamp tawanan perang3.
Dalam
pengadilan kejahatan perang dari tahun 1945 dan seterusnya, pemerintah sekutu
menahan ribuan personel militer Jepang yang bertanggung jawab atas penderitaan
dan kematian tawanan perang di seluruh sistem kamp4. Para terdakwa
termasuk perwira menengah dan senior yang diadili karena perintah langsung
mereka, dan kegagalan mereka untuk mengendalikan perilaju bawahan mereka. Diadili
di bawah doktrin “tanggung jawab komando” yang relatif baru5, para
komandan kamp sering menerima hukuman berat karena kegagalan mereka untuk
memastikan perlakuan yang tepat terhadap tawanan perang. Dalam artikel ini,
saya akan membahas situasi komando di salah satu kamp tawanan perang di Ambon
di Hindia Belanda, yaitu kamp di Tan Toeyc [atau Tantui].
Setelah pendudukan Jepang di Pulau Ambon pada 3 Februari 1942, sekitar 1000
tahanan Belanda dan Australia ditahan di Tan Toey, dibawah kontrol Angkatan
Laut kekaisaran Jepang. Selama 3, 5 tahun selanjutnya sekitar 400 tawanan
meninggal di kamp, akibat dari penyakit, kerja yang berlebihan, dan perlakuan
buruk6. [Kamp] Tan Toey memberikan contoh yang sangat baik tentang
masalah disiplin, persediaan dan struktur komando yang penuh beban dan tumpang
tindih yang dihadapi oleh perwira-perwira Jepang di kamp-kamp tawanan di
pulau-pulau kecil di Pasifik.
Suasana Saat Peradilan Penjahat Perang di Ambon (Jan 1946) |
Setelah perang, militer Australia mengadakan beberapa peradilan atas kekejaman yang dilakukan oleh tentara Jepang dan warga sipil di Ambon, termasuk kejahatan terhadap tawanan perang di kamp Tan Toey. Catatan persidangan memberikan banyak bukti tentang kondisi di kamp dan bagaimana para komandan menanganinya. Di sini saya fokus pada kasus yang melibatkan Kapten Shirozu Wadamid, perwira Angkatan Laut yang bertanggung jawab atas kamp tersebut7. Saya berpendapat bahwa kondisi di kamp Tan Toey sebagian besar berada di luar kendali Shirozu. Pada saat yang sama, persidangan menunjukan bahwa Shirozu melakukan sedikit usaha untuk memperbaiki kondisi kamp ketika dia berada pada posisi untuk melakukannya. Kegagalan komandan untuk memperbaiki kondisi pada tahanan tidak hanya terjadi di kamp Tan Toey, dan berulang di kamp-kamp penjara di seluruh [wilayah] kekaisaran Jepang.
1. Invasi Ambon dan Kondisi-kondisi di Kamp
Invasi
Angkatan Laut Jepang ke Pulau Ambon dimulai pada tanggal 30 Januari 1942, dan
berakhir 4 hari kemudian pada tanggal 3 Februari 1942. Pada saat pecahnya
perang di Pasifik, Ambon merupakan wilayah koloni Belanda, tetapi militer
Australia juga turut serta dalam pertahanannya, karena [Ambon] memiliki
lapangan terbang dan dekat dengan Australia8. Sekitar 1.100 tentara
Australia berusaha mempertahankan Ambon, melalui formasi pasukan yang dikenal
sebagai Gull Force [pasukan anjing laut]9. Korban jiwa dalam
pertempuran di Ambon pada periode Januari – Februari 1942 relatif sedikit.
Namun, setelah menyerahnya pasukan sekutu di pulau itu, sekitar 300 tawanan
perang sekutu dibantai oleh tentara Angkatan Laut Jepang di lapangan terbang
[di] Laha10. Sisa tawanan perang ditempatkan di kamp Tan Toey, yang
dijalankan oleh 24th Naval Base Force of the 2nd Southern Area
Expeditionary Fleet sejak Februari 1942 hingga Desember 1943, setelah itu
dijalankan oleh 25th Naval Base Force of the 4th Southern Area
Expeditionary Fleet hingga akhir perang. Kapten Shirozu Wadami menggantikan
Kapten Andō Noburo pada Desember 1943 sebagai komandan kamp.
Karena Andō Noburo bunuh diri tidak lama setelah perang berakhir,
maka Shirozu adalah perwira paling senior yang diadili oleh militer Australia
atas kejahatan yang dilakukan di kamp Tan Toey.
Kamp Tawanan Perang Tantui |
Awalnya,
kondisi di kamp relatif baik. Tahanan diizinkan untuk berdagang dengan penduduk
desa setempat untuk mendapatkan makanan dan barang-barang lainnya dan memiliki
pekerjaan yang relatif sedikit atau ringan. Namun, pada akhir tahun 1942,
keadaan telah berubah. Sekitar 500 tawanan perang, termasuk sebagian besar
perwira, dikirim ke Pulau Hainan, di lepas pantai daratan Tiongkok. Bagi
militer Jepang, merupakan praktik umum untuk memindahkan para perwira dari kamp
tawanan perang yang lebih jauh dan mengirim mereka lebih dekat untuk
mengamankan wilayah Jepang11. Hal yang sama terjadi pada waktu yang
hampir bersamaan, misalnya, di kamp tawanan perang Sandakan di Kalimantan Utara12.
Pemindahan para perwira mereka membuat sisa tawanan perang kehilangan perlindungan
yang signifikan. Para perwira memberikan beberapa, meskipun terbatas,
perlindungan dari perlakuan buruk tentara Jepang, dengan [cara] mengeluh secara
resmi kepada para “atasan”, serta mengatur tentara untuk saling mendukung,
sehingga pemindahan para perwira hampir pasti berdampak buruk pada kondisi
tahanan lainnya.
Penganiayaan secara fisik adalah salah satu masalah di
kamp Tan Toey. Frekuensi dan tingkat keparahan hukuman dan penyiksaan tawanan
perang oleh para penjaga Jepang meningkat setelah kepergian para perwira
sekutu. Pada awal November 1942, sekitar 28 tahanan Australia disiksa terus
menerus selama 3 hari oleh para penangkap mereka, setelah meninggalkan kamp
sementara waktu untuk berdagang dan bersosialisasi dengan penduduk setempat di
desa terdekat. Dari 28 tentara, 11 tentara kemudian dieksekusi dengan cepat,
mungkin karena peran mereka dalam “pelarian” itu13. Pada Juli 1943,
beberapa tawanan Belanda yang tertangkap sedang bertukar surat dengan warga
sipil Belanda yang ditahan di kamp terpisah, dipukuli habis-habisan selama
beberapa jam14. Selain peristiwa besar ini, tawanan perang secara
rutin dipukuli karena pelanggaran kecil terhadap aturan kamp.
Kecukupan makanan dan obat-obatan yang dipasok ke tawanan perang menghadirkan serangkaian masalah lain. Seiring berkembangnya perang yang menguntungkan pihak sekutu, perbekalan terus berkurang, karena lebih sedikit kapal pasokan Jepang yang dapat tiba di Ambon dengan aman. Akibatnya, banyak tawanan yang terkena penyakit seperti disentri dan beri-beri, dan banyak yang terjangkit penyakit maag. Penyebab resmi kematian sebagian besar tawanan disebutkan sebagai akibat penyakit beri-beri, penyakit akibat gizi buruk15. Namun, 2 bekas tawanan perang menuduh bahwa penyebab kematian secara resmi ini dicatat atas desakan seorang sipil yang bertugas sebagai penerjemah, Ikeuchi Masakiyoe, untuk menutupi [penyebab] kematian sebenarnya akibat pemukulan dan kelaparan, suatu tuduhan yang dibantah oleh Ikeuchi16. Segera setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945, menurut bukti yang diajukan di persidangan, pasukan Jepang di Ambon “membanjiri” kamp Tan Toey dengan makanan, obat-obatan, dan pakaian bersih, sehingga membuktikan, menurut jaksa, bahwa perbekalan sengaja ditahan selama masa perang17.
Lapangan Terbang di Laha (Ambon) |
Kematian
juga meningkat karena pengeboman sekutu pada tahap akhir perang, dan karena
sifat dan jumlah pekerjaan dimana para tahanan dipaksa untuk terlibat.
Permintaan para perwira sekutu agar kamp tersebut ditandai sebagai kamp tawanan
perang ditolak oleh tentara Jepang. Pada bulan Februari 1943, sekitar 23
tawanan perang kamp Tan Toey tewas ketika tepat pembuangan amunisi diledakan
selama serangan udara tentara sekutu18. Penyimpanan amunisi di kamp
tawanan perang juga ilegal menurut hukum internasional19. Beberapa
tahanan dibunuh ketika, meskipun mereka berkeberatan, mereka dipaksa untuk
menjinakan amunisi yang tidak meledak dengan palu logam, bukan dengan palu kayu
atau karet. Tawanan perang yang sakit yang sedang dalam perawatan di rumah
sakit, dipaksa turun dari tempat tidur untuk bekerja di lokasi konstruksi, dan
secara teratur dipaksa untuk membawa perlengkapan bangunan melewati jarak 8 mil
dengan lokasi yang sulit20.
Seluruh 92 terdakwa tersebut
didakwa dengan kejahatan memperlakukan tawanan perang Australia dan Belanda
dengan memukul dan menyiksa mereka secara fisik, memaksa tawanan perang yang
sakit dan lemah untuk bekerja, gagal memastikan penyediaan pasokan makanan yang
layak, dan gagal memastikan penyediaan pasokan medis dan perawatan medis yang
layak25. Kapten Shirozu didakwa dengan pelanggaran ini, bersama
dengan bawahannya : yaitu, dia didakwa melakukan kejahatan perang secara
langsung. Namun, terbukti bahwa dia benar-benar dianggap bertanggung jawab atas
kejahatan terhadap tawanan perang di bawah doktrin tanggung jawab komando,
meskipun hal ini tidak secara eskplisit dinyatakan selama persidangan. Kecenderungan pengadilan kejahatan perang sekutu untuk mendakwa banyak
tersangka pada saat yang sama, untuk alasan praktis atau alasan lainnya26,
berarti bahwa dakwaan tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya didebatkan
oleh penuntut di pengadilan terhadap para individu terdakwa. Namun, kata-kata
dari rincian dakwaan menunjukan bahwa Shirozu dianggap bertanggung jawab atas
kegagalannya untuk mencegah perlakuan buruk terhadap tawanan perang oleh
bawahan di bawah komandonya27. Dengan demikian, ia secara efektif
dinyatakan bersalah di bawah doktrin tanggung jawab komando, bahkan jika
doktrin itu tidak secara khusus dijelaskan selama persidangan.
Catatan Peradilan Shirozu Wadami |
Shirozu
memimpin kamp [Tan Toey] dari Desember 1943 hingga akhir perang28.
Dia didakwa secara pribadi memukul tawanan perang dan gagal menyediakan makanan
yang memadai. Tidak ada bukti yang diajukan untuk menunjukan bahwa Shirozu
telah memukul tawanan manapun selama ia memimpin. Dinyatakan bersalah atas
kedua tuduhan tersebut, ia dijatuhi hukuman mati oleh regu tembakf, yang
merupakan sebentuk kecil belas kasihan, karena dianggap lebih baik daripada
seorang militer dihukum gantung, suatu metode eksekusi yang lebih umum29.
Meskipun sebagai besar eksekusi hukuman berlangsung relatif cepat setelah
dijatuhi hukuman, Shirozu tidak dieksekusi hingga 25 September 1947g,
sehingga ia dapat hadir atau muncul sebagai saksi dalam beberapa pengadilan
lain untuk kejahatan yang dilakukan di Ambon30.
3. Mendisiplinkan para tahanan : Masalah
Hukuman Fisik
Selama kepemimpinan Shirozu di
Tan Toey, bawahannya menggunakan pemukulan untuk mendisiplinkan tahanan sekutu.
Bentuk hukuman ini telah diprakarsai oleh Kapten Andō Noburo,
komandan kamp sebelumnya. Kapten Andō Noburo telah
memerintahkan, dan memang mengambil bagian dalam pemukulan masal terhadap
tawanan perang Australia pada bulan November 1942, dan pemukulan terhadap
tawanan Belanda pada bulan Juli 1943. Shirozu telah mewarisi kepemimpinan
sebuah kamp dimana sistem pemukulan dan penyiksaan sebagai metode hukuman yang
sudah ada. Selama kepemimpinan Shirozu di kamp, bagaimanapun, tidak ada
pemukulan masal. Bukti menunjukan bahwa pemukulan dilakukan kepada individu
tawanan karena pelanggaran aturan kamp, seperti tidak memberi hormat kepada
para penjaga asal Jepang, atau tidak bekerja cukup keras untuk membangun
pertahanan Jepang, dan ketika penjaga mencurigai bahwa para tahanan
berpura-pura sakit untuk menghindari pekerjaan atau tugas kamp31.
Penggunaan hukuman fisik bukanlah
hal yang aneh di kamp-kamp penjara yang dikelola oleh Jepang, juga tidak di
dalam militer Jepang. Alih-alih mengandalkan peringatan tertulis formal,
pelaksanaan kerja kasar atau pemenjaraan – bentuk hukuman yang biasa dilakukan
tentara sekutu – baik Angkatan Laut maupun tentara Jepang menggunakan pemukulan
singkat oleh bintara dan perwira sebagai bentuk langsung hukuman32.
Di hampir semua pengadilan yang memuat tuduhan pemukulan fisik terhadap
tahanan, pihak pembela menyatakan bahwa perlakuan semacam itu merupakan hukuman
standar di seluruh militer Jepang. Shirozu membuat klaim yang sama dan membuat
satu langkah lebih jauh : dia berargumen bahwa 100 pukulan selama 3 tahun harus
dilihat sebagai 100 kasus tunggal, bukan sebagai bukti pelecahan sistematis33. Melalui
argumen ini, Shirozu jelas berusaha tidak hanya untuk mengecilkan tanggung
jawabnya atas pemukulan, dengan menyatakan bahwa hukuman fisik adalah bagian
inti dari sistem disiplin militer Jepang, tetapi juga bahwa pemukulan tidak
cukup luas atau banyak untuk dianggap sebagai pola perilaku dan oleh karena itu
merupakan kejahatan serius.
Penerapan hukuman fisik, mungkin
juga berasal dari kurangnya pilihan alternatif yang diterima. Para
tawanan perang sudah berada di kamp penjara, jadi hampir tidak mungkin untuk
menyangkal kebebasan mereka lebih jauh. Selain itu, pola makan tahanan sudah
sangat mendasar, sebagian besar terdiri dari tapioka, ubi jalar dan nasi,
dengan sedikit sayuran dan sedikit daging. Oleh karena itu, membatasi tahanan
untuk diet subsisten (makanan pengganti) bukanlah pilihan untuk hukuman : itu
sudah menjadi kenyataan.
4. Pasokan Makanan
Pihak penuntut menyatakan bahwa
pada akhir tahun 1944, jatah para tahanan secara substansial lebih sedikit dari
para penjaga Jepang mereka. Situasi ini merupakan pelanggaran langsung terhadap
Konvensi Jenewa 1929 tentang Tawanan Perang, yang menetapkan bahwa para tawanan
harus diberi makanan dalam jumlah dan kualitas yang setara dengan makanan para
penjaga mereka34. Pada Agustus 1944, Shirozu telah memerintahkan
agar jatah tawanan perang dipotong, menyusul penghancuran toko makanan selama
serangan bom sekutu. Shirozu berpendapat bahwa pengisian kembali persediaan
makanan tidak mungkin karena blokade sekutu di pulau itu, yang berarti bahwa
makanan untuk tawanan perang dan tentara Jepang perlu dikurangi35.
Dalam upaya untuk mencapai swasembada, para tahanan diperintahkan untuk bertani
tanaman mereka sendiri, kebanyakan ubi jalar dan tapioka, praktik yang tersebar
luas di antara garnisun-garnisun di pulau di seluruh [wilayah] kekaisaran
Jepang36. Namun, dengan alat pertanian yang terbatas, dan kekurangan
tenaga kerja yang disebabkan oleh fakta bahwa para tahanan sudah digunakan
sebagai tenaga kerja di tempat lain di pulau itu, maka pertanian tidak cukup
untuk menopang [persediaan makanan] para tawanan tanpa persediaan tambahan.
Shirozu berada dalam posisi dilema : tidak ada cukup makanan untuk menjaga
prajuritnya sendiri dalam kondisi berperang, dan juga memberikan makanan yang
cukup kepada para tawanan. Shirozu memilih untuk menjaga kondisi para
prajuritnya sendiri dengan mengorbankan para tahanan sekutu.
Posisi Shirozu hampir tidak
terelakkan, karena perencanaan yang buruk oleh militer Jepang sebelum pecahnya
konflik di Asia. Pada November 1941, perencana militer Jepang telah
memperkirakan bahwa dari 6,7 juta ton dari pengiriman kapal dagang yang
tersedia, militer membutuhkan hampir 4 juta ton. Namun, ekonomi sipil Jepang
membutuhkan lebih dari 3 juta ton untuk mempertahankan produksi pra-1941. Oleh karena
itu, ekonomi dan militer Jepang tidak mampu untuk menanggung kerugian besar
dari pelayaran, dan kerugian yang diprediksi terlalu optimis37.
Segera setelah pecahnya perang, Angkatan Laut AS memulai kampanye perang kapal
selam tidak terbatas, yang berarti bahwa setiap kapal Jepang, apakah itu kapal
sipil atau militer, dapat dan akan menjadi sasaran. Awalnya kapal selam AS
relatif tidak efektif, karena desain torpedo yang salah. Namun, pada akhir
1943, kapal selam dilengkapi dengan torpedo yang efektif dan andal serta mulai
menenggelamkan sejumlah besar kapal Jepang. Laporan pasca perang oleh kabinet
sipil Jepang menyatakan bahwa penyebab kekalahan terbesar adalah hilangnya
pelayaran, terutama disebabkan oleh kapal selam musuh38.
Letnan Jenderal Tsukadu Osamu |
Perang kapal selam yang tidak
terbatas sangat merusak kemampuan militer Jepang untuk memasok
garnisun-garnisun pulau seperti pulau Ambon. Pada bulan Agustus 1941, jauh
sebelum pecahnya perang di Pasifik, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Letnan
Jenderal Tsukada Osamu, memperingatkan bahwa mendistribusikan tentara ke
seluruh pulau-pulau kecil di Pasifik, akan menyebabkan masalah pasokan yang
serius, saran yang diabaikan39. Selama perang, tentara dan angkatan
laut Jepang terus membangun pulau-pulau yang secara strategis tidak penting
ketika hanya ada sedikit keuntungan militer. Situasi ini menambah ketegangan
pada angkatan laut yang sudah “tercerai berai”. Lahan untuk pertanian terbatas
dan banyaknya tentara di sebuah pulau membuat pertanian terbatas yang dapat
dilakukan seringkali tidak memadai. Jumlah pengiriman yang memasok kekuatan
yang tersebar luas sudah tidak tidak mencukupi, dan pada akhir tahun 1943,
armada kapal selam sekutu adalah kekuatan yang sangat efektif. Akibatnya,
menyediakan perbekalan yang memadai bagi tentara Jepang dan tawanan mereka
adalah tugas yang mustahil bagi militer Jepang40. Militer membayar
harga yang sangat mahal karena ketidakmampuannya untuk memasok pasukannya
sendiri. Satu perkiraan mengaitkan lebih dari 50% kematian orang Jepang selama
perang karena kekurangan makanan dan obat-obatan41. Setelah perang,
tentara Jepang di pulau-pulau kecil menceritakan bahwa meskipun lebih baik dari
warga sipil dan tahanan, mereka masih menderita kelaparan dan penyakit dalam
jumlah besar42.
Kamp tawanan perang Tan Toey,
menurut Shirozu, dimaksudkan sebagai kamp sementara. Kamp itu didirikan tidak
lama setelah Pulau Ambon ditaklukan, dan relatif dekat dengan garis depan
kekaisaran Jepang, yang berarti bahwa tawanan perang terancam oleh operasi
militer, dan, yang lebih mengkhawatirkan bagi militer Jepang, mungkin akan
dibebaskan oleh sekutu. Shirozu juga mengklaim bahwa Angkatan Laut tidak
dimaksudkan untuk menahan tahanan untuk waktu yang lama, tetapi seharusnya
menyerahkan para tahanan kepada tentara Jepang43. Tidak lama setelah
penangkapan mereka, setengah dari tahanan, termasuk sebagian besar perwira,
dipindahkan ke kamp tawanan perang angkatan laut permanen di Pulau Hainan di
China yang diduduki Jepang, dimana kondisinya, meskipun masih keras, lebih baik
daripada di Ambon. Sangat mungkin karena Tan Toey dimaksudkan sebagai kamp
sementara, dukungan logistik dan birokrasi sengaja dibatasi. Kamp-kamp di
pinggiran luar [wilayah] kekaisaran Jepang umumnya mengalami kondisi yang lebih
buruk daripada kamp-kamp lain, dengan pengawasan yang lebih sedikit baik dari
pemerintah Jepang maupun Palang Merah Internasional44.
Setelah Jepang menyerah di Ambon
pada bulan Agustus 1945, tawanan perang sekutu menerima peningkatan jatah
langsung dan signifikan. Penjelasan yang mungkin adalah bahwa para penangkap
waspada terhadap pembalasan di masa depan dari pihak sekutu yang menang, dan
berusaha untuk mendapatkan “hati” atau bantuan dari bekas tawanan mereka.
Penjelasan lain yang mungkin adalah bahwa dengan berakhirnya perang,
garnisun-garnisun pulau tidak lagi bergantung pada cadangan pasokannya, dan
mampu meningkatkan ransum tanpa takut kelaparan jangka panjang.
5. Komando
yang kacau dan tumpang tindih
Kamp Tan Toey memiliki beberapa
masalah dalam struktur komandonya. Shirozu mendelegasikan komando kepada
sub-komandan yang tidak berpengalaman, yang bertanggung jawab atas pasukan yang
tidak disiplin. Lebih lanjut semakin memperburuk situasi, para perwira sekutu
yang tersisa tidak berpengalaman, yang berarti bahwa para tahanan lambat atau
tidak dapat beradaptasi dengan kondisi yang sulit.
Catatan Peradilan Miyazaki Yoshio |
Setelah mengambil alih komando
kamp Tan Toey, Shirozu membuat pernyataan singkat tentang operasional kamp dari
2 bawahannya, Letnan Miyazaki Yishioh, yang bertanggung jawab atas penjaga kamp
dan penerjemah, Ikeuchi. Shirozu mengklaim bahwa dia memerintahkan bawahannya
untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik, sebelum mendelegasikan kegiatan
sehari-hari di kamp kepada mereka45. Bagaimanapun juga, Miyazaki
tidak terlalu memperhatikan tindakan bawahannya, dan dalam hal itu mirip
seperti Shirozu. Ikeuchi dilihat oleh para tahanan sebagai komandan kamp yang
sebenarnya, dan memiliki pengaruh yang cukup besar atas bagaimana mereka
diperlakukan46. Meskipun Shirozu tinggal di kota yang dekat kamp,
dan melewati kamp secara teratur, dia hanya mengunjungi kamp 2 kali selama
kepemimpinannya, mengandalkan laporan dari bawahannya. Selain memimpin kamp Tan
Toey, Shirozu juga menjadi komandan garnisun Ambon, yang bertanggung jawab atas
pertahanan pulau itu47. Terbukti bahwa dia lebih peduli untuk
memimpin pertahanan pulau daripada menjalankan operasional kamp Tan Toey.
Pendelegasian tanggung jawab
Shirozu atas kamp kepada perwira junior dan sipil, berarti bahwa tawanan perang
berada di bawah komando staf yang tidak berpengalaman dan, kemungkinan besar,
kurang terlatih. Staf kamp seringkali diangkat dari antara tentara yang tidak
memiliki kegunaan khusus di tempat lain : tidak masuk akal bagi militer untuk
memutuskan tentara yang sipil dan kompeten untuk tugas menjaga tahanan,
terutama di pulau terpencil48. Selanjutnya, nyaris hampir semua
anggota militer Jepang, terutama yang berada di luar staf umum, seringkali
tidak ada instruksi yang jelas tentang cara memperlakukan tahanan. Dalam
beberapa kasus, staf kamp tawanan perang yang memperlakukan tawanan dengan baik
dicurigai sebagai simpatisan musuh49.
Catatan Peradilan Ikeuchi Masakiyo |
Pendelegasian tanggung jawab
Shirozu dan asumsi yang jelas bahwa perintahnya akan diikuti, bersama dengan
kegagalannya untuk sering melakukan inspeksi sendiri, tidak jarang terjadi di
antara perwira senior yang memimpin kamp tawanan perang. Colin Sleeman, seorang
jaksa penuntut kejahatan perang asal Inggris, selama persidangan terdakwa
penjahat perang Jepang di Hongkong, menyimpulkan bahwa komandan unit di Asia
yang diduduki Jepang, sebagian besar adalah boneka, dengan sebagian besar
pekerjaan aktual yang dilakukan oleh unit garnisun yang dilakukan oleh
non-komisioner senior (NCO) dan perwira rendah50. Di kamp Songkurai
(nomor 2), lintasan kereta api Burma-Thailand, salah satu kamp utama tawanan
perang, dikelola oleh NCO yang berkuasa dan kejam serta petugas berpangkat
rendah, meskipun ada perwira senior yang berulang kali membuat isyarat untuk
memperbaiki kondisi para tawanan51. Jadi, kualitas NCO dan perwira
berpangkat rendah mungkin lebih mempengaruhi perlakuan terhadap tawanan
daripada kualitas seorang komandan.
Kurangnya pengalaman perwira
sekutu juga berkontribusi pada kondisi buruk di kamp Tan Toey. Setelah
pemindahan sebagian besar perwira sekutu yang ditahan dari kamp Tan Toey ke
Hainan, perwira yang tersisa relatif berpangkat rendah, dengan sedikit
pengalaman lapangan. Perwira-perwira ini juga ditempatkan dalam posisi yang
sulit, dimana mereka dituntut untuk menjaga moral dan membatasi paparan pasukan
mereka terhadap pembalasan dari pasukan Jepang. Di Tan Toey, kurungan kecil
dari bambu, yang dirancang untuk menempatkan tawanan perang yang melanggar
aturan kamp ke dalam kurungan isolasi yang menyakitkan, dibangun. Tapi bukan
penjaga Jepang yang menerapkan bentuk hukuman ini, tapi perwira sekutu. Mereka
membenarkan hukuman dengan menyatakan bahwa itu cukup keras untuk memastikan
bahwa penjaga Jepang tidak akan campur tangan dan menuntut hukuman lebih
lanjut, dan bahwa pelanggaran disiplin di antara para tawanan, termasuk upaya
melarikan diri dari pencurian yang dilakukan individu dari jatah kolektif
tahanan, berarti bahwa itu perlu untuk mempertahankan pengawasan52.
Perwira sekutu dilaporkan telah
mengambil jatah tambahan dari pertanian kamp, terutama setelah tahun 1944.
Seringkali, para perwira tidak diharuskan bekerja pada project tenaga kerja
Jepang. Oleh karena itu, mereka dapat menghabiskan lebih banyak waktu mengolah
makanan di pertanian kamp. Setelah perang, para prajurit berpangkat rendah
mengeluh bahwa para perwira itu membenarkan jatah tambahan mereka atas dasar
bahwa mereka telah menanamnya, tanpa menyadari fakta bahwa bagi para prajurit
itu, tidak ada waktu dan seringkali tidak ada energy untuk menanam makanan
tambahan53.
Kondisi di kamp itu bukanlah kesalahan perwira sekutu,
tetapi perilaku mereka dapat memperburuk atau memperbaiki kondisi yang sulit.
Sering terjadi bahwa kepemimpinan petugas tawanan perang merupakan faktor
penting dalam tingkat kelangsungan hidup tahanan. Di perlintasan kereta api
Burma-Thailand, beberapa kamp memiliki perwira yang sangat menyadari
penderitaan bawahan mereka, melakukan pemukulan menggantikan orang-orang mereka
sendiri, dan bekerja keras untuk mendapatkan pasokan tambahan melalui cara
apapun yang diperlukan54. Dalam kasus lain, petugas lebih berfokus
pada kelangsungan hidup mereka sendiri, daripada bencana bagi orang-orang
mereka sendiri55.
Selain unit Shirozu, polisi militer angkatan laut
Jepang, Tokkeitai, juga memiliki beberapa level kontrol formal atas tawanan
perang, yang semakin memperumit struktur komando. Selama pendudukan Jepang di
Asia, Tokkeitai dan mitra militernya, Kenpeitai, memiliki reputasi untuk
interogasi brutal yang melibatkan penyiksaan dan, kadang-kadang, eksekusi cepat
terhadap tersangka gerilyawan dan penerbang yang ditangkap56. Dalam
interogasi pasca perang oleh penyelidik kejahatan perang asal Australia,
Shirozu mengklaim bahwa Letnan Komandan Baron Takasaki Masamitsu, seorang
perwira Tokkeitai, telah bertanggung jawab atas administrasi umum kamp,
termasuk urusan hukum para tahanan. Sementara interogasi Shirozu tidak
menjelaskan secara pasti sifat tanggung jawab Takasaki atau apa urusan hukum
para tahanan itu, pernyataan Shirozu ternyata menyakinkan seorang jaksa
penuntut asal Australia atau penyelidik kejahatan perang. Catatan tulisan
tangan muncul di margin laporan : “Tanggung jawab Takasaki!”57.
Penulis catatan tersebut dengan jelas merasa bahwa Takasaki memiliki peran
dalam membiarkan para tahanan disiksa atau telah gagal dalam tugasnya sebagai
administrator umum dan perwira yang relatif senior untuk mencegah
penyalahgunaan lebih jauh. Setelah perang, Takasaki tidak berhasil dituntut
oleh militer Australia, dan kemudian oleh militer Belanda, atas kejahatan yang
dilakukan di Pulau Ambon. Upaya lebih lanjut dilakukan untuk mengadili Takasaki
pada tahun 1948, mungkin karena hubungannya dengan kejahatan yang dilakukan di
kamp Tan Toey, tetapi pada tahap itu, pengadilan Australia untuk tersangka
penjahat perang berjalan lambat, dan dia dipulangkan ke Jepang58.
Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan ke pengadilan mengenai masalah yang dihadapi Shirozu sebagai komandan, pengadilan mengambil sikap keras. Shirozu dijatuhi hukuman mati, Ikeuchi dan Miyazaki juga dijatuhi hukuman matii, tetapi tidak ada penjaga yang secara aktif yang menyiksa para tahanan yang menerima hukuman mati.
6. Kesimpulan
Berbagai faktor yang sebagian
besar berada di luar kendali Shirozu menyebabkan penyediaan makanan yang tidak
mencukupi bagi para tahanan, serta pemukulan yang meluas dan beberapa kematian.
Para perwira dan NCO di seluruh militer Jepang dimaafkan atas penggunaan
hukuman fisik cepat di antara tentara mereka sendiri. Penggunaan hukuman fisik
pada tawanan perang, bagi rata-rata tentara Jepang, merupakan perpanjangan
logis dari praktik tersebut. Pendahulu Shirozu membawa ini ke level lain dengan
melembagakan penyiksaan berkepanjangan terhadap tawanan perang yang telah
melanggar aturan kamp, tidak diragukan lagi menormalkan perlakuan buruk
terhadap para tawanan. Oleh karena itu, hukuman fisik merupakan kebijakan yang
sudah mendarah daging sebelum Shirozu mengambil alih komando kamp. Militer
Jepang kurang siap untuk memasok tentara dan tawanannya ke seluruh kekaisaran,
apalagi di pulau-pulau yang relatif kecil yang semakin terisolasi dari rute
pasokan ketika sekutu telah menguasai samudera pasifik. Shirozu terpaksa
memilih antara tentaranya sendiri dan tawanan perang. Kemungkinan penurunan
jatah tawanan dilihat oleh tentara Jepang sebagai bentuk keadilan:
bagaimanapun, adalah militer sekutu yang telah menghancurkan depot pasokan
garnisun dan memblokade pulau itu. Kehadiran anggota Tokkeitai yang relatif
senior, Takasaki, yang kemudian dikaitkan dengan berbagai kejahatan perang, kemungkinan
juga berkontribusi pada kondisi yang keras di kamp.
Sampai batas yang wajar, Shirozu
tidak memiliki kendali atas berbagai faktor yang menyebabkan perlakuan buruk
dan kematian tahanan di bawah komandonya. Dia juga telah mengambil
langkah-langkah untuk mendelegasikan tanggung jawabnya kepada bawahannya. Kedua
faktor itu seharusnya mengurangi kesalahannya. Namun, pengadilan dengan jelas
menyatakan bahwa sebagai perwira senior, adalah tugasnya untuk menemukan cara
untuk mengatasi hambatan yang dihadapinya. Shirozu seharusnya memastikan bahwa
baik tahanan dan tentara mendapatkan jatah yang sama, terlepas dari persediaan
yang hancur. Dia seharusnya mengambil langkah-langkah untuk meringankan
penderitaan tawanan perang dengan secara teratur memeriksa kondisi di kamp,
daripada mengandalkan laporan bawahannya yang memiliki riwayat menyalahgunakan
tawanan perang. Pengadilan jelas menyatakan bahwa Shirozu secara kriminal,
melakukan kelalaian. Peran Shirozu sebagai perwira senor adalah untuk
beradaptasi dengan situasi yang dihadapinya. Pengadilan menemukan bahwa dia
telah gagal dalam pekerjaannya sebagai komandan. Lebih jauh lagi, hukuman yang
keras itu menunjukan bahwa pengadilan kemungkinan besar berpandangan bahwa
alih-alih “tidur di belakang kemudi”, Shirozu telah melakukan kebijakan
pengabaian yang direncanakan.
Keputusan pengadilan untuk
memerintahkan eksekusi Shirozu, tetapi bukan dari salah satu penjaga yang
secara langsung berpartisipasi dalam kejahatan terhadap tahanan, menunjukan
bahwa militer Australia melihat perilaku langsung berpangkat rendah sebagai
roda penggerak dalam mesin dengan sedikit agensi atas tindakan mereka.
Kesalahan nyata atas meluasanya kejahatan perang jatuh pada pewira, seperti
Shirozu, yang dianggap memiliki kesempatan untuk melakukan perubahan.
===== selesai =====
Catatan Kaki
1. Adachi
Sumio, ‘Kokusaijin dōhō saininshiki e no michi’, Hō to chitsujo, Vol. 74,
no. 5 (Sept. 1983), p. 25, cited in Aiko Utsumi, ‘Prisoners of War in the
Pacific War: Japan’s Policy’, in Gavan McCormack and Hank Nelson (eds), The
Burma-Thailand Railway: Memory and History (St Leonards, NSW: Allen &
Unwin, 1993), p. 81, n. 6.
2. Utsumi,
‘Prisoners of War in the Pacific War’, p. 68. The IMTFE number does not appear
to include either British Indian soldiers or Philippine soldiers held for the
rest of the war. See G.J. Douds, ‘Indian POWs in the Pacific, 1941–1945’, in
Karl Hack and Kevin Blackburn (eds), Forgotten Captives in
Japanese-Occupied Asia (Abingdon: Routledge, 2008), p. 74; Karl Hack and
Kevin Blackburn, ‘Japanese Occupied Asia’, in Hack and Blackburn (eds), Forgotten
Captives, p. 10.
3. Utsumi,
‘Prisoners of War in the Pacific War’, p. 69. This number includes POWs who
died at sea from friendly fire: see Gavan Daws, Prisoners of the Japanese:
POWs of World War II in the Pacific (New York: William Morrow and Company,
1994), p. 298.
4. Sandra
Wilson, Robert Cribb, Beatrice Trefalt, and Dean Aszkielowicz, Japanese
War Criminals: the Politics of Justice After the Second World War (New
York: Columbia University Press, 2017); Philip R. Piccigallo, The Japanese
on Trial: Allied War Crimes Operations in the Far East, 1945–1951 (Austin:
University of Texas Press, 1979); Yuma Totani, Justice in Asia and the
Pacific Region 1945–1952: Allied War Crimes Prosecutions (New York:
Cambridge University Press, 2015); Georgina Fitzpatrick, Tim McCormack and
Narrelle Morris (eds), Australia’s War Crimes Trials 1945–51 (Leiden:
Brill-Nijhoff, 2016); Suzannah Linton (ed.), Hong Kong’s War Crimes
Trials (Oxford: Oxford University Press, 2013); Barak Kushner, ‘Chinese
War Crimes Trials of Japanese, 1945–1956: a Historical Summary’, in Morten
Bergsmo, Cheah Wui Ling and Yi Ping (eds), The Historical Origins of
International Criminal Law (Brussels: Torkel Opsahl Academic Publisher,
2014), vol. I, pp. 243–266; Barak Kushner, Men to Devils, Devils to Men:
Japanese War Crimes and Chinese Justice (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2015); Neil Boister and Robert Cryer, The Tokyo International
Military Tribunal: A Reappraisal (Oxford: Oxford University Press, 2009);
Yuki Tanaka, Tim McCormack and Gerry Simpson (eds), Beyond Victor’s
Justice: the Tokyo War Crimes Trial Revisited (Leiden: Brill-Nijhoff,
2011); Richard Minear: Victor’s Justice: the Tokyo War Crimes Trial (Princeton:
Princeton University Press, 1971); Yuma Totani, The Tokyo War Crimes
Trial: the Pursuit of Justice in the Wake of World War II (Cambridge, MA:
Harvard University Asia Center, 2008); Timothy Maga, Judgement at Tokyo:
the Japanese War Crimes Trial (Lexington, KY: University Press of
Kentucky, 2001).
5. On
the principle of command responsibility see Guénaël Mettraux, The Law of
Command Responsibility (Oxford: Oxford University Press, 2009); Gideon
Boas and Lisa Lee, ‘Command Responsibility and Other Grounds of Criminal
Responsibility’, in Fitzpatrick, McCormack and Morris (eds), Australia’s
War Crimes Trials 1945–51, pp. 134–174; David Cohen, ‘The Singapore War Crimes
Trials and Their Relevance Today’, Singapore Law Review, Vol. 31
(2013), pp. 7–23; L.C. Green, ‘Command Responsibility in International
Humanitarian Law’, Transnational Law and Contemporary Problems, Vol. 5
(1995), pp. 319–341; W.H. Parks, ‘Command Responsibility for War Crimes’, Military
Law Review, Vol. 62 (1973), pp. 1–104.
6. For
descriptions of the Tan Toey POW Camp, see Peter Henning, Doomed
Battalion: Mateship and Leadership in War and Captivity, The Australian 2/40
Battalion 1940–1945 (St Leonards, NSW: Allen & Unwin, 1995); Roger
Maynard, Ambon: the Truth About One of the Most Brutal POW Camps in World
War II and the Triumph of the Aussie Spirit (Sydney: Hachette Military
Collection, 2014); Joan Beaumont, Gull Force: Survival and Leadership in
Captivity 1941–1945 (Sydney: Allen and Unwin, 1988), Chapters 1–6;
Courtney Harrison, Ambon, Island of Mist: 2/21st Battalion AIF (Gull
Force) Prisoners of War 1941–1945 (Geelong, Vic.: T.W. and C.T. Harrison,
1988).
7. In
this chapter, Japanese names are given with surname first. National Archives of
Australia, MP742/1, 391237, M45: War Crimes Trial of Captain Shirozu Wadami and
92 Others, Ambon from 2 January to 18 January 1946 and Morotai from 25 January
to 15 February 1946, Part One, accessed at [https://recordsearch.naa.gov.au/SearchNRetrieve/Interface/DetailsReports/
ItemDetail.aspx?Barcode=721016&isAv=N]; M45 War Crimes Trial of Captain
Shirozu Wadami and 92 Others, Ambon from 2 January to 18 January 1946 and
Morotai from 25 January to 15 February 1946, Part Two (hereafter M45: Part
Two), accessed at [https://recordsearch.naa
.gov.au/SearchNRetrieve/Interface/ViewImage.aspx?B=1652599].
8. David
Evans, ‘The Ambon Forward Observation Line Strategy 1941–1942: a Lesson in
Military Incompetence’ (Unpublished PhD Dissertation, Murdoch University,
2010), p. 6.
9. On
Gull Force, see Beaumont, Gull Force.
10. Barnett, Ambon,
pp. 173–178; Beaumont, Gull Force, pp. 54–56.
11. Daws, Prisoners
of the Japanese, p. 105.
12. Paul
Taucher, ‘Command Responsibility at the Sandakan-Ranau War Crimes Trials’
(Unpublished Honours Dissertation, Murdoch University, 2016), p. 42.
13. M45: Part
One, Charge Sheet, pp. 2–4.
14. M45:
Part Two, Australian War Crimes Commission Questionnaire, John Charles van
Nooten, pp. 32.
15. M45:
Part Two, Nominal Roll, pp. 229–258.
16. M45:
Part One, Statement of Ikeuchi Masakiyo, p. 446.
17. M45:
Part One, Charge Sheet, pp. 2–4.
18. Beaumont, Gull
Force, pp. 103–105.
19. ‘Convention
between the United States of America and Other Powers, Relating to Prisoners of
War; July 27, 1929 [Geneva Convention]’, Article 9, https://avalon.law.yale .edu/20th_century/geneva02.asp#art9.
20. M45:
Part One, Charge Sheet, pp. 2–4.
21. Wilson,
Cribb, Trefalt, Aszkielowicz, Japanese War Criminals, p. 68.
22. M45:
Part One, Charge Sheet, pp. 2–4.
23. Georgina
Fitzpatrick, ‘The Trials on Morotai’, in Fitzpatrick, McCormack and Morris
(eds), Australia’s War Crimes Trials, pp. 384–388.
24. M45:
Part One, Appendix A, Accused Found Guilty Sentence and Date, p. 8.
25. M45:
Part One, Charge Sheet, p. 2.
26. Wilson,
Cribb, Trefalt, Aszkielowicz, Japanese War Criminals, p. 68.
27. M45:
Part One, Charge Sheet, pp. 3–4.
28. M45:
Part Two, Command Structure of Japanese Forces on Ambon Island, pp. 4–12.
29. Wilson,
Cribb, Trefalt, Aszkielowicz, Japanese War Criminals, pp. 92, 102.
30. M45:
Part One, Warrant of Execution: Captain Shirozu Wadami, p. 97.
31. M45:
Part Two, Australian War Crimes Questionnaire, John Charles van Nooten, pp.
32–33.
32. Gavan
McCormack, ‘Apportioning the Blame: Australian Trials for Railway Crimes’, in
McCormack and Nelson (eds), The Burma-Thailand Railway, p. 87; Colin
Sleeman (ed.), Trial of Gozawa Sadaichi and Nine Others (London:
William Hodge and Company, 1948), xxiv–xxvi; Wilson, Cribb, Trefalt and
Aszkielowicz, Japanese War Criminals, p. 75.
33. M45:
Part One, Defending Officer’s Closing Address, p. 453.
34. ‘Convention
between the United States of America and Other Powers, Relating to Prisoners of
War’, Article 11.
35. M45
Part One, Petition of Captain Shirozu Wadami, p. 24.
36. Aaron
Willliam Moore, ‘An Insatiable Parasite: Eating and Drinking in WWII Armies of
the Asia-Pacific Theatre (1937–1945)’, in Katarzyna J. Cwiertka (ed.), Food
and War in Mid-Twentieth Century Asia (Farnham: Ashgate, 2013), pp.
124–125.
37. Edward
J. Drea, Japan’s Imperial Army: its Rise and Fall, 1853–1945 (Lawrence,
KS: University Press of Kansas, 2009), p. 229.
38. Joel
Ira Holwitt, Execute Against Japan: the U.S Decision to Conduct
Unrestricted Submarine Warfare (College Station, TX: Texas A&M
University Press, 2009), pp. 164–168.
39. Lizzie
Collingham, The Taste of War: World War II and the Battle for Food (New
York: Penguin Press, 2012), p. 285.
40. B.F.
Johnston, Japanese Food Management in World War II (Stanford:
Stanford University Press, 1953), p. 141.
41. Drea, Japan’s
Imperial Army, p. 238.
42. Collingham, The
Taste of War, p. 251.
43. M45:
Part Two, Report of Interrogation of Captain Shirozu Wadami, p. 23.
44. Utsumi,
‘Prisoners of War in the Pacific War’, p. 74.
45. M45:
Part One, Petition of Captain Shirozu Wadami, p. 24.
46. M45:
Part Two, Evidence of VX39263 Captain Gordon Carlyle Marshall, p. 67.
47. M45:
Part Two, Interrogation of Captain Shirozu Wadami, pp. 23–25.
48. Utsumi,
‘Prisoners of War in the Pacific War’, p. 73.
49. Ibid.,
pp. 71–73.
50. Sleeman
(ed.), Trial of Gozawa Sadaichi and Nine Others, xxiv–xxvi.
51. Robin
Rowland, ‘Command Ability and Command Responsibility: Lt. Col. Hirateru Banno
and the “F Force” Trials’ (Unpublished Masters Thesis, York University, 2003);
Sybilla Jane Flower, ‘Captors and Captives on The Burma-Thailand Railway’, in
Bob Moore and Kent Fedorowich (eds), Prisoners of War and their Captors in
World War II (Oxford: Berg, 1996), p. 238.
52. Beaumont, Gull
Force, pp. 132–142.
53. Ibid.,
pp. 184, 212.
54. Flower,
‘Captors and Captives’, pp. 244–246.
55. Hank
Nelson, ‘Measuring the Railway: From Individual Lives to National History’, in
McCormack and Nelson (eds), The Burma-Thailand Railway, pp. 17–18;
McCormack, ‘Apportioning the Blame’, p. 110.
56. Raymond
Lamont-Brown, Kempetai: Japan’s Dreaded Military Police (Stroud:
Sutton, 1998) p. 27.
57. M45:
Part Two, Report of Interrogation of Captain Shirozu Wadami, p. 23.
58. Paul Taucher, ‘Escape From Justice: The Failed Prosecutions of Baron Takasaki Masamitsu’, War in History, forthcoming [https://doi.org/10.1177%2F0968344518804839]; National Archives of Australia, MP742/1, 336/1/1608, 392849, Commander Baron Takasaki Masamitsu, Army External Affairs to Australian Consul General, Batavia, 1 September 1948, pp. 16–17; Dean Aszkielowicz, The Australian Pursuit of Japanese War Criminals 1943–1957: From Foe to Friend (Hong Kong: Hong Kong University Press, 2017), p. 59.
Catatan Tambahan
a. POW
adalah singkatan dari Prisoner of War
b. IMTFE
adalah singkatan dari International Military Tribunal for the Fast East
c. Tan
Toey atau kemudian dalam pelafalan di masa kini yaitu Tantui, sebenarnya adalah
nama orang. Tan Toey adalah nama imigran Taiwan yang lahir pada tahun 1894 dan
di masa anak-anak merantau ke Pulau Ambon. Di Ambon ia menikah dengan Welmance
Simauw, menjadi pedagang dan pemilik tanah. Tanah inilah yang nantinya
dianugerahkan dengan nama pemiliknya sebagai Tan Toey atau Tantui, yang kita
kenal di masa kini.
§ Lihat Paul Anthony
Rosenzweig, Ziarah : The Gull Association Pilgrimages to Ambon, Thesis
Master, Northern Territory University, Juli 2000, hal 78
d. Kapten
Shirozu Wadami, lahir sekitar tahun 1896 - 1898. Pada tahun 1943 ia disebutkan
berusia 45 tahun, tetapi pada tahun 1946 ia disebutkan berusia 50
tahun.
§ Lihat M41-8
§ Suleski,
Ronald. I Cannot Forget, The Humanist, edisi 1 Januari 1998
e. Ikeuchi
Masakiyo lahir sekitar tahun 1893. Pada tahun 1942 ia disebut berusia 49 tahun.
§ Suleski,
Ronald. I Cannot Forget, The Humanist, edisi 1 Januari 1998
f. Kapten
Shirozu Wadami dijatuhi hukuman mati pada tanggal 15 Februari
1946 oleh peradilan penjahat perang yang diadakan di Morotai.
g. Kapten
Shirozu Wadami dieksekusi (atau ditembak oleh regu tembak) pada tanggal 25
September 1947 di Rabaul.
h. Letnan
Miyazaki Yishio lahir sekitar tahun 1917 - 1920. Pada tahun 1946 ia
disebutkan berusia 29 tahun dan pada tahun 1943 ia disebutkan berusia 23 tahun.
§ Lihat M41-8
§ Suleski,
Ronald. I Cannot Forget, The Humanist, edisi 1 Januari 1998
i. Letnan
Miyazaki Yishio dijatuhi hukuman mati pada tanggal 15 Februari 1946 dan dieksekusi
pada tanggal 25 September 1947 di Rabaul. Ikeuchi Masakiyo dijatuhi
hukuman mati pada 15 Februari 1946.
References
§ Adachi, Sumio,
‘Kokusaijin dōhō saininshiki e no michi’, Hō to chitsujo, Vol. 74, no. 5
(Sept. 1983).
§ Aszkielowicz,
Dean, The Australian Pursuit of Japanese War Criminals 1943–1957: From Foe
to Friend (Hong Kong: Hong Kong University Press, 2017).
§ Beaumont,
Joan, Gull Force: Survival and Leadership in Captivity 1941–1945 (Sydney:
Allen and Unwin, 1988), Chapters 1–6.
§ Boas, Gideon, and
Lisa Lee, ‘Command Responsibility and Other Grounds of Criminal
Responsibility’, in Georgina Fitzpatrick, Tim McCormack and Narrelle Morris
(eds), Australia’s War Crimes Trials 1945–51 (Leiden: Brill-Nijhoff,
2016), pp. 134–178.
§ Boister, Neil, and
Robert Cryer, The Tokyo International Military Tribunal: A
Reappraisal (Oxford: Oxford University Press, 2009).
§ Cohen, David, ‘The
Singapore War Crimes Trials and Their Relevance Today’, Singapore Law
Review, Vol. 31 (2013), pp. 3–38.
§ Collingham,
Lizzie, The Taste of War: World War II and the Battle for Food (New
York: Penguin Press, 2012).
§ Daws, Gavin, Prisoners
of the Japanese: POWs of World War II in the Pacific (New York: William
Morrow and Company, 1994).
§ Douds, G.J., ‘Indian
POWs in the Pacific, 1941–1945’, in Karl Hack and Kevin Blackburn (eds), Forgotten
Captives in Japanese-Occupied Asia (Abingdon: Routledge, 2008), pp. 73–93.
§ Drea, Edward
J., Japan’s Imperial Army: its Rise and Fall, 1853–1945 (Lawrence,
KS: University Press of Kansas, 2009).
§ Evans, David, ‘The
Ambon Forward Observation Line Strategy 1941–1942: a Lesson in Military
Incompetence’ (Unpublished PhD Dissertation, Murdoch University, 2010).
§ Fitzpatrick,
Georgina, ‘The Trials on Morotai’, in Georgina Fitzpatrick, Tim McCormack and
Narrelle Morris (eds), Australia’s War Crimes Trials (Leiden:
Brill-Nijhoff, 2016), pp. 373–407.
§ Fitzpatrick,
Georgina, Tim McCormack and Narrelle Morris (eds), Australia’s War Crimes
Trials 1945–51 (Leiden: Brill-Nijhoff, 2016).
§ Flower, Sybilla
Jane, ‘Captors and Captives on The Burma-Thailand Railway’, in Bob Moore and
Kent Fedorowich (eds), Prisoners of War and their Captors in World War
II (Oxford: Berg, 1996), pp. 227–252.
§ Green, L.C.,
‘Command Responsibility in International Humanitarian Law’, Transnational
Law and Contemporary Problems, Vol. 5 (1995), pp. 319–341.
§ Hack, Karl, and
Kevin Blackburn, ‘Japanese Occupied Asia’, in Karl Hack and Kevin Blackburn
(eds), Forgotten Captives in Japanese-Occupied Asia (Abingdon:
Routledge, 2008), pp. 73–93.
§ Harrison,
Courtney, Ambon, Island of Mist: 2/21st Battalion AIF (Gull Force)
Prisoners of War 1941–1945 (Geelong, Vic.: T.W. and C.T. Harrison, 1988).
§ Henning,
Peter, Doomed Battalion: Mateship and Leadership in War and Captivity, the
Australian 2/40 Battalion 1940–1945 (St Leonards, NSW: Allen & Unwin,
1995).
§ Holwitt, Joel
Ira, Execute Against Japan: the U.S Decision to Conduct Unrestricted
Submarine Warfare (College Station, TX: Texas A&M University Press,
2009).
§ Johnston,
B.F., Japanese Food Management in World War II (Stanford: Stanford
University Press, 1953).
§ Kushner, Barak,
‘Chinese War Crimes Trials of Japanese, 1945–1956: a Historical Summary’, in
Morten Bergsmo, Cheah Wui Ling and Yi Ping (eds), The Historical Origins
of International Criminal Law (Brussels: Torkel Opsahl Academic Publisher,
2014), vol. I, pp. 243–265.
§ Kushner,
Barak, Men to Devils, Devils to Men: Japanese War Crimes and Chinese Justice (Cambridge
MA: Harvard University Press, 2015).
§ Lamont-Brown,
Raymond, Kempetai: Japan’s Dreaded Military Police (Stroud: Sutton,
1998).
§ Linton, Suzannah
(ed.), Hong Kong’s War Crimes Trials (Oxford: Oxford University
Press, 2013).
§ Maga, Timothy, Judgement
at Tokyo: the Japanese War Crimes Trial (Lexington, KY: University Press
of Kentucky, 2001).
§ Maynard,
Roger, Ambon: the Truth About One of the Most Brutal POW Camps in World
War II and the Triumph of the Aussie Spirit (Sydney: Hachette Military
Collection, 2014).
§ McCormack, Gavin,
‘Apportioning the Blame: Australian Trials for Railway Crimes’, in Gavan
McCormack and Hank Nelson (eds), The Burma-Thailand Railway: Memory and
History (St Leonards, NSW: Allen & Unwin, 1993), pp. 85–119.
§ Mettraux,
Guénaël, The Law of Command Responsibility (Oxford: Oxford University
Press, 2009).
§ Minear,
Richard, Victor’s Justice: the Tokyo War Crimes Trial (Princeton:
Princeton University Press, 1971).
§ Moore, Aaron
William, ‘An Insatiable Parasite: Eating and Drinking in WWII Armies of the
Asia-Pacific Theatre (1937–1945)’, in Katarzyna J. Cwiertka (ed.), Food
and War in Mid-Twentieth Century Asia (Farnham: Ashgate, 2013), pp.
109–130.
§ Nelson, Hank, ‘Measuring
the Railway: From Individual Lives to National History’, in Gavan McCormack and
Hank Nelson (eds), The Burma-Thailand Railway: Memory and History (St
Leonards, NSW: Allen & Unwin, 1993), pp. 10–26.
§ Parks, W.H.,
‘Command Responsibility for War Crimes’, Military Law Review, Vol. 62
(1973), pp. 1–104.
§ Piccigallo, Philip
R., The Japanese on Trial: Allied War Crimes Operations in the Far East,
1945–1951 (Austin: University of Texas Press, 1979).
§ Rowland, Robin,
‘Command Ability and Command Responsibility: Lt. Col. Hirateru Banno and the “F
Force” Trials’ (Unpublished Masters Thesis, York University, 2003).
§ Sleeman, Colin
(ed.), Trial of Gozawa Sadaichi and Nine Others (London: William
Hodge and Company, 1948).
§ Tanaka, Yuki, Tim
McCormack and Gerry Simpson (eds), Beyond Victor’s Justice: the Tokyo War
Crimes Trial Revisited (Leiden: Brill-Nijhoff, 2011).
§ Taucher, Paul,
‘Command Responsibility at the Sandakan-Ranau War Crimes Trials’ (Unpublished
Honours Dissertation, Murdoch University, 2016).
§ Taucher, Paul,
‘Escape From Justice: The Failed Prosecutions of Baron Takasaki
Masamitsu’, War in History, forthcoming
[https://doi.org/10.1177%2F0968344518804839].
§ Totani, Yuma, Justice
in Asia and the Pacific Region 1945–1952: Allied War Crimes Prosecutions (New
York: Cambridge University Press, 2015).
§ Totani, Yuma, The
Tokyo War Crimes Trial: the Pursuit of Justice in the Wake of World War
II (Cambridge, MA: Harvard University Asia Center, 2008).
Wilson, Sandra, Robert Cribb, Beatrice Trefalt and Dean Aszkielowicz, Japanese War Criminals: the Politics of Justice After the Second World War (New York: Columbia University Press, 2017).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar