Rabu, 08 Mei 2024

THOMAS MATULESIA Pemimpin Pemberontakan di Pulau Honimoa pasca Pengambilalihan Pemerintahan Maluku oleh Gubernur Jacobus Albertus van Middelkoop pada tahun 1817

 

(bag. 1)

 

[J.B.J. Van Doren]

 
Kata Pengantar

Untuk memperingati perlawanan rakyat Ambon-Lease di tahun 1817 pada tahun 2024 ini, kami melakukan proyek penerjemahan salah satu buku, yang biasanya digunakan oleh para sejarahwan dalam mengkaji pemberontakan/perlawanan/perjuangan yang dipimpin oleh Thomas Matulessy. Buku yang dimaksud berjudul :  THOMAS MATULESIA Het hoofd der opstandelingen op het eiland Honimoa Na de overname van het bestuur der Molukken door den Landvoogd Jacobus Albertus van Middelkoop in 1817.

Buku ini ditulis oleh Joannes Baptistus Josephus van Doren, seorang militer yang pernah bertugas di Ambon pada periode 1836 – 1839, dan diterbitkan jauh setelah ia pensiun (tahun 1839) yaitu pada tahun 1857 di Amsterdam oleh penerbit J.B. Sybrandi. Buku ini terdiri dari hampir 200 halaman dan 1 buah peta.

Cover Buku karangan J.B.J. van Doren (1857)

Tujuan penerjemahan isi buku ini hanyalah sekedar memberikan bacaan tentang peristiwa perlawanan rakyat yang ditulis dan diterbitkan dalam periode yang “tidak terlalu jauh” dari peristiwa di tahun 1817 tersebut. Tentunya kami tidak menerjemahkan keseluruhan dari isi buku ini, kata pengantar dari penulis dan penerbit, lampiran-lampiran-lampiran yang disertakan, tidak kami terjemahkan. Terjemahan yang kami lakukan ini pastilah tidak sempurna, namun ini adalah upaya untuk menghadirkan literasi dalam bahasa yang lebih mudah dipahami oleh pembaca, dibandingkan saat dibaca dalam bahasa aslinya yaitu bahasa Belanda.

Terjemahan isi buku ini akan kami bagi dalam beberapa bagian untuk disajikan, menambahkan beberapa gambar/lukisan/foto serta catatan tambahan. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi pemahaman kesejarahan dalam usaha untuk mengetahui, mengerti, dan memahami tentang peristiwa besar yang terjadi di Ambon pada 207 tahun yang lalu.


Terjemahan

Pendahuluan

Tidak dapat dipungkiri menjadi syarat pertama jika seseorang turut menyumbang pengetahuan di bidang politik atau militer yang berkaitan dengan daerah jajahan Belanda, paling tidak jika menyangkut sejarah serta penilaian terhadap pemerintahan para wakil Raja [Belanda] di daerah tersebut menyampaikan kepada dunia pembaca, seseorang harus bertindak netral/tidak memihak, memperhatikan pepatah “penelitian mengarah kepada kebenaran”, dan mempertimbangkan pro dan kontra. Untuk mencapai tujuan tersebut dan melindungi diri dari sensor yang tidak menyenangkan, selain pengetahuan lokal, seseorang juga harus mempertimbangkan hal tersebut, diberi kesempatan untuk berkonsultasi dengan kebiasaan negara dan dokumen resmi, dan membandingkannya dengan informasi yang diperoleh di tempat untuk tiba pada keadaan yang sebenarnya.

Atas dasar demikian, saya memberanikan diri memberikan sumbangan yang memuat keadaaan sebenarnya Ambon dan wilayah sekitarnya setelah pengambilalihan daerah-daerah tersebut dari tangan Gubernur Amboina, Martina, pada masa pemerintahan peralihan Inggris di tahun 1817, serta kenangan sedih terhadap pemberontakan yang terjadi di Saparua pada masa pemerintahan Yang Mulia Jacobus Albertus van Middelkoop sebagai Gubernur, yang mengakibatkan dia, seperti Yang Mulia N. Engelhardb, menjadi Komisaris bersama untuk pengambilalihan wilayah Malukuc, sedangkan Resident Van den Bergd, bersama istri dan anak-anaknyae, harus mengorbankan nyawanya untuk kemarahan dan balas dendam di sana. Campur tangan dan klarifikasi yang kadang-kadang kami toleransi adalah hasil dari informasi, baik yang kami peroleh dari dokumen resmi selama kami tinggal di Amboina. 

Meskipun dokumen resmi yang dapat kami konsultasikan mengenai hal ini tidak secara jelas mencerminkan semangat yang ada di kalangan penduduk Amboina saat itu (tahun 1817); keadaan ini tampaknya sangat menentramkan bagi penduduk kota itu sendiri. Tidak hanya ada semangat yang baik di antara mereka, tetapi bahkan, seperti yang pernah ditulis oleh Middelkoop dalam sebuah surat kepada Laksamana Muda Buijskes dalam kapasitasnya sebagai Komisaris Jenderal, mengungkapkan kaum pribumi lebih memperhatikan kepentingan Yang Mulia Raja [Belanda] dibandingkan sebelumnya, ketika wilayah jajahan kembali berada dibawah kekuasaan resmi Belanda, dan akibatnya untuk terikat pada pemerintah Belanda; meskipun tidak ada yang perlu ditakutkan dari para Raja dan masyarakat negeri/desa di Amboina, namun sebaliknya mereka dapat mengharapkan bantuan jika mereka hanya didukung dan dilindungi oleh kekuatan militer.

Namun hal ini bukanlah alasan untuk berasumsi bahwa kaum burger Saparua dan sekitar mereka terilhami oleh semangat kebaikan tersebut, dan juga tidak memiliki keyakinan akan niat baik lahiriah mereka, terutama karena penderitaan dan siksaan di masa lalu masih melekat dalam ingatan mereka sebagai duka, ditambah dengan pelayaran Hongi dan perekrutan untuk dinas militer negara tersebut, dibawah Marsekal Daendelsf, yang mengakibatkan penurunan populasi yang nyata, dan pemukiman Soya, yang terletak di sekitar kota, yang pada masa lalu merupakan pemukiman yang paling kuat, berkembang dan terpadat di wilayah itu telah jatuh ke dalam kondisi yang buruk karena hal ini dan siksaan serta penindasan luar biasa lainnya yang harus mereka derita di tangan para kompeni. Dan kami juga menambahkan di sini, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang dirampas oleh beberapa pejabat terhadap diri mereka sendiri. Dari sekian banyak fakta yang bisa dipelajari di Amboina, kami ingin mengutip sedikit saja untuk pembaca. Yang pertama adalah pernyataan dari anggota Raad van Indie, Graafg, yang disebutkan dalam “reizen in den Moluksche archipel, dst....h karya Olivieri (volume I, hal 131) mencatat ada seorang Resident di Amboinaj menyuruh pelayannya dari Eropa, yang tahu cara memotong rambut, membuat wig (rambut palsu) dari bulu kambing, yang kemudian ia persembahkan/berikan kepada para Regent pribumi sebagai penghormatan besar, mereka menukarnya dengan rambut asli kepala mereka sendiri, yang kemudian dipotongnya. Setiap regent terpaksa membayar sejumlah 100 dukat untuk lencana kehormatan yang sangat konyol ini1. Resident yang lain di Saparua menginginkan batu trotoar indah di depan rumahnya, dan karena tidak bisa diperoleh di manapun di pulau itu, ia memindahkan batu nisan yang indah, yang terletak di kuburan untuk mengenang salah satu regent terdahulu, dan meletakan batu nisan itu di depan pintunyak dan l.

Tentu saja, mereka tidak dapat mengingat tindakan serupa dan pemerasan yang luas tanpa rasa marah, dan harus melahirkan balas dendam di dalam hati mereka. Dalam segala hal yang dihasilkan alam, kita menemukan kebaikan dan kejahatan, dan demikian pula halnya dengan manusia!. Di setiap wilayah dan diantara semua bangsa, bahasa, dan penduduk, ada yang merasa puas dan ada yang tidak puas; namun ketika kita meneliti sebab-sebab ketidakpuasan terhadap keberpihakan, seberapa sering kita menemukan bahwa ketidakpuasan tersebut muncul atau berasal dari perilaku mereka sendiri?. Namun berapa kali hal ini dapat dicegah dengan tindakan yang bijaksana???. Begitu pula dengan asal muasal pemberontakan di Saparua. Seekor kuda yang sudah lama tidak terkendali akan sulit untuk terbiasa dengan kendalinya : terlebih lagi orang-orang yang dibiarkan sendiri selama pemerintahan sementara/peralihan Inggris dan yang mampu bertindak sesuka mereka selama 1 tahun. Bagi orang-orang seperti itu, tentu saja, tatanan yang teratur adalah hal yang berat dan tidak dapat ditoleransi, dan betapa pun ringan dan adilnya kuk yang dikenakan pada mereka, mereka berusaha melepaskannya tanpa memperhitungkan konsekuensinya; dan ketika perasaan ini diperkuat dan didorong oleh makhluk-makhluk egois yang, melalui posisi mereka atau sebaliknya, mempunyai pengaruh terhadap masyarakat, maka hal tersebut tidak dapat terjadi sebaliknya, atau memang harus demikian, seperti yang sayangnya kita lakukan! saat ini, terlalu banyak – kadang-kadang – mempunyai konsekuensi yang sangat merugikan, terutama di kalangan masyarakat yang percaya takhayul, fanatik, dan berpikiran sempit, yang menganggap balas dendam dan serangan berbahaya adalah satu-satunya cara yang dapat menenangkan kegembiraan mereka yang haus darah. 

Namun, akan menjadi penilaian yang sangat parsial dan tidak berdasar jika kita menyalahkan penduduk pribumi atas pemberontakan di Saparua. Kami mengulangi kenangan akan tindakan-tindakan masa lalu, yang disertai dengan kebebasan tanpa batas dan tidak teratur yang mereka nikmati dibawah pemerintahan Inggris, setidaknya sejak diputuskan bahwa wilayah-wilayah kekuasaan Belanda di luar negeri (di wilayah seberang) akan dikembalikan ke kekuasaan sah Kerajaan Belanda, menjadi penyebab utama dan satu-satunya yang mendorong mayoritas orang yang tidak puas untuk memberontak. Asumsi ini harus lebih diterima oleh pihak-pihak yang tidak memihak, jika seseorang ingin mempercayai rumor yang beredar pada saat itu dan menggunakannya sebagai kriteria dalam permasalahan sebenarnya.

Bagaimanapun juga, api pemberontakan sudah berkobar di masa pemerintahan peralihan Inggris oleh Thomas Matulesia, pemimpin utama pemberontakan, Antony Rhebok dan Raja Tiouw, Thomas Pattywaalm, kaki tangannya yang setia, jauh sebelum kita [Belanda] kembali ke Jawa. Ketika kami berada di Saparua, kami diberitahu bahwa mantan Radja Nollothn di Hatuwana juga tidak dapat dibebaskan dari tuduhan terlibat, dengan alasan bahwa ia telah melakukan perlawanan ketika Yang Mulia Neijs masih menjadi Resident di Saparuao; dan kami menambahkan juga di sini bahwa penduduk Sory Sory Slam (Islam/Muslim), yang dipimpin oleh seorang regent beragama Kristen, menginginkan seorang regent beragama Muslim seperti merekap, karena usaha mereka untuk mencapai tujuan ini tidak membuahkan hasil, telah memiliki beberapa “perkumpulan” untuk menimbulkan kekacauan, namun hal tersebut padam. 

Mengenai penduduk Sory Sory Seranie (Kristen), perlu disebutkan di sini sepintas bahwa apa yang menjadi penyebab ketidakpuasan mereka, hingga mendorong mereka memberontak, perasaannya berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa mereka jengkel dengan alasan di atas; sementara yang lain mengklaim bahwa pelanggaran yang dilakukan regent tersebut terhadap mereka adalah penyebab ketidakpuasan mereka. Namun apa pun itu, ada satu hal yang pasti, yaitu penduduk Sory Sory Seranie, menurut dokumen/arsip resmi [karesidenan] Saparoea, pernah melakukan pemberontakan pada tahun 1806q dan sejak masa lalu mereka, seperti penduduk [negeri] Paulohyr, dikenal sebagai penduduk yang tidak puas dan pendendam.

Menurut tradisi resmi, penduduk pulau Haruku pun tidak luput memberikan tanda-tanda ketidakpuasan, karena penduduk negeri Oma dan Aboro pernah terlibat perselisihan, dan Gubernur Inggris saat itu, Tuan Martin, yang berselisih dengan pengawas sekolah, Tuan Careys, secara langsung pergi ke sana untuk menyelidiki masalah tersebut dan menenangkan emosi yang sudah bergejolak. Dan meskipun keluhan mereka tidak penting, dan sebagian besar tidak berdasar, Gubernur tetap merasa berkewajiban, atas permintaan mendesak penduduk negeri, agar para radja digantikan oleh radja lainnya dan untuk tinggal di sana beberapa waktu untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Bahwa beberapa bukti yang sudah lama ada dan berisi ketidakpuasan tersebut, tidak dapat diragukan, terutama karena seorang manajer/kepala gudang (pakhuismeester) yang bernama de Keyzert, 8 hari setelah kedatangan Komisaris Pengambilalihan yaitu Middelkoop dan Engelhard, di rumah pendeta Kam saat itu dan berbicara tentang keadaan Maluku, telah berbicara dengan ceroboh, dengan mengatakan :

jangan terlalu percaya pada masyarakat, karena, tambahnya, bisa jadi kejadian yang tidak menyenangkan akan terjadi setelah kepergian Inggris. Dan, lanjutnya, sangat mengejutkan bahwa semua kepala sekolah di Saparoea saling menyikut, dan untuk Matulesia – yang disebutkan di atas – memiliki kegelisahan yang mencolok”

Bahwa pihak berwenang Inggris menyadari ketidakpuasan yang membara di kalangan masyarakat dapat disimpulkan dari upacara luar biasa yang dilakukan oleh Gubernur Martin ketika ia menyerahkan pemerintahan Amboina kepada penguasa penuh pemerintah Belanda, yaitu Middelkoop dan Engelhard. Dan yang lebih memberi alasan bagi anggapan tersebut dan menimbulkan kegaduhan adalah cara beliau menolaknya di hadapan kedua komisaris tersebut, meskipun hal tersebut serius dan mendesak permintaan untuk mengizinkan korps militer Ambon untuk tetap bertugas; dan memberikan surat burger kepada korps ini serta banyak penduduk pribumi lainnya, yang sebagian besar telah diterima pada tanggal 24 Maret [1817] atau sehari sebelum penandatangan penyerahan dan pengambilalihan dilakukan.  Termasuk juga Matulesia, tokoh utama, yang akan kita bahas secara detail mengenai pemberontakan Saparua. Hal ini menurut pandangan kami, tidak berhak dilakukan oleh Gubernur Martin, karena pernyataan/deklarasi yang dibuat oleh Komisaris, berdasarkan pasal 13 instruksi pengambilalihanu, memuat :

bersiap-siap untuk mengambil alih wilayah-wilayah jajahan, dengan syarat segala sesuatunya tetap seperti semula dan pendapatan sejak hari deklarasi ini diserahkan kepada pemerintah Belanda”2

Sebagai tindakan yang merugikan serta salah yang dilakukan oleh Gubernur selama pemerintahan peralihan/sementara Inggris, dapat juga diasumsikan bahwa ia telah mengabaikan kewajiban mengenai pemeliharaan dan penyediaan arumbai; yang secara tradisional dibebankan kepada penduduk, yang, ditambah dengan hasutan pihak Inggris pada awal pemberlakuan kembali ketentuan ini, menimbulkan sejumlah ketidakpuasan, yang akan kita bahas lagi nanti3. Hal ini ditambah dengan percakapan ambigu yang dilakukan para perwira Inggris dengan penduduk pribumi dan mengatakan kepada mereka untuk tidak khawatir tentang apa pun, karena dalam waktu dekat, menurut mereka, bendera Inggris akan berkibar lagi di Maluku dan Jawa; lebih jauh lagi, ejekan mengenai sedikitnya jumlah pasukan Belanda yang dibawa, akibatnya pasukan artileri setengah telanjang, karena kekurangan pakaian, berjaga di benteng dan di dekat puing-puing : semua ini, kami ulangi, menimbulkan kekacauan di Saparua pada tahun 1817. Meskipun situasi dan peristiwa lain yang terjadi di Saparua mungkin telah mempercepat pecahnya pemberontakan, tidak dapat diragukan bahwa kemarahan telah bergejolak sejak awal; dan pemberontakan itu sudah akan pecah pada masa pemerintahan peralihan/sementara Inggris, jika kekuatan militer yang membangkitkan rasa takut tidak mencegah hal ini dan jika tidak ada batasan yang diberikan pada niat para pemberontak.

 

===== bersambung =====

 

Catatan Kaki:

1.        Ketika saya berada di Saparua, Raja [negeri] Nolloth menceritakan kepada saya bahwa dia pernah melihat kakeknya dan para regent lainnya dengan rambut palsu seperti itu menghadiri perayaan atau “pesta”.

2.        Sesuai Instruksi pengambilalihan kepada Komisaris N. Engelhard dan J.A. van Middelkoop

3.       Lihat Prof G. Lauts ”Geschiedenis der Nederlanders in Indie”, volume I, bab VII, halaman 137-140 dst, juga hal 192, 196-197 pada bab X, betapa tidak jujurnya Inggris telah bertindak bersama Belanda sejak masa lalu.

 

Catatan Tambahan:

a.    Martin yang dimaksud adalah William Byam Martin. Dalam struktur pemerintahan Inggris di Maluku, sebenarnya Martin adalah Resident Molukken (1811-1817), dan bukan seorang Gubernur.

b.     N. Engelhard adalah Nicolaus Engelhard. Ia pernah menjadi Gubernur untuk Gubernemen Pantai Utara Timur Jawa (Noordoost kust) pada periode 1801 – 1808.

c.       Jacobus Albertus van Middelkoop dan Nicolaus Engelhard ditunjuk sebagai Komisaris Pengambilalihan wilayah Maluku dari tangan Inggris pada tanggal 31 Desember 1816.

d.    Resident van den Berg yang dimaksud adalah Johannes Rudolph van den Berg, Resident van Saparoea pada periode Maret 1817 – Mei 1817

e.        Istri dari Johannes Rudolph van den Berg bernama Johanna Christina Umbgrove, sedangkan anak-anak mereka adalah Johanes Lubert van den Berg, Johanes Gerardus van den Berg, dan Johanes Rudolph van den Berg (yunior)

f.         Daendels yang dimaksud adalah Herman Willem Daendels

g.        Hendrik Johan van de Graaf, menjadi anggota Raad van Indie pada periode Mei 1820 – Agustus 1826

h.     Buku ini berjudul lengkap Reizen in den Molukschen Archipel naar Makassar, enz in het gevolg  van den Gouvernuer-Generaal van Nederlands Indie in 1824 gedaan en volgens de dagboeken en aantakeningen van onderscheiden reisgenooten. Buku ini terdiri dari 2 volume atau 2 deels, volume pertama terbit pada tahun 1834 oleh penerbit G.J.A. Beijerinck, di Amsterdam

i.         Johanes Olivier Janszoon

j.     Menurut sumber dari buku J. Olivier Jansz pada halaman 131, menulis Resident Cruij. Yang dimaksud adalah Johan Constantijn Cruijpenning. Ia pernah menjadi Resident van Buru (1761 – 1763), Resident van Haruku (1765 – 1773) dan Resident van Saparoea (1773 – 1778).

k.    Menurut sumber dari buku J. Olivier Jansz pada halaman 132, kejadian ini dilakukan oleh bekas Resident van Hila terhadap nisan dari Orangkaija Boelang, Hasan Sulaiman.

§  J. Olivier Jansz, 1834, Reizen in den Molukschen Archipel.........., deel I, G.J.A. Beijerinck, Amsterdam, hal 132

l.      Dari pemahaman dan “penggabungan” tentang informasi yang disampaikan  oleh J.B.J. van Doren (halaman 3) dan J. Olivier (hal 132), yang menyebut seorang Resident Saparua dan seorang bekas Resident van Hila, maka kemungkinan Resident yang dimaksud adalah Jan Willem Burghraef, yang menjadi Resident van Hila/Hitu pada periode 1803 – 1807, 1817 - 1817 dan Resident van Saparua pada periode 1807 – 1810. Karir J.W. Burghraef setelah bertugas di Hitu/Hila adalah di Batavia pada periode 1812 – 1816 serta 1819 -1822, dimana pada periode ini bersamaan dengan periode tugas dari H.J. de Graaf di Batavia pada periode 1816 – 1826.

m.   Thomas Pattywael. Berdasarkan arsip-arsip resmi pemerintah misalnya besluit pengangkatan regent van Tiouw dan besluit hukuman mati, nama regent van Tiouw pada tahun 1817 adalah  Jacobus Pattiwael.  Nama Thomas Pattiwael  mungkin sama orang/figur dengan figur yang tertulis dalam arsip tahun 1825 sebagai Thomas Pieter, yang dihukum pembuangan ke Jawa tahun 1818.

n.       Bekas Radja negeri Nolloth yang dimaksud adalah Izaak Nicolas Huliselan yang memerintah minimal 1803 – 1820

o.       Johanes Alexander Neijs, menjadi Resident van Saparoea di masa pemerintahan Inggris pada Agustus 1816 - ?

p.    Menarik memahami informasi ini, keinginan komunitas Muslim Siri Sori Islam untuk memiliki pemimpin yang seagama dengan mereka, mungkin diwujudkan melalui calon Regent van Siri Sori pada tahun 1804 yaitu Jacob Pattisahusiwa. Figur ini bersama Johanes Salomon Kesaulija, Frans Pelupessij, Jacob Molle dan Cornelis Nikijuluw menjadi calon Regent van Siri Sori setelah Regent sebelumnya Salomon Kesaulija meninggal pada November 1804, namun yang terpilih adalah Johanes Salomon Kesaulija.

q.     Kami belum menemukan arsip yang dimaksud oleh van Doren dalam tulisan ini, sehingga tidak mengetahui tentang pemberontakan yang dimaksud.

r.    Disini, van Doren merujuk pada pergolakan di negeri Paulohy yang dimulai sejak tahun 1832 hingga 1836. Tentang pergolakan negeri Paulohi pada tahun 1832 – 1836

§  Leirissa, R.Z., 1983, Pergolakan di Paulohy (Teluk Elpaputih) 1832 – 1836, dimuat dalam Anhar Gonggong (Ed), Dinamika Masyarakat Pedesaan, Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Jakarta, halaman 1 – 15

s.        Tuan Carey yang dimaksud adalah Jabez Carey seorang penginjil yang bertugas di Ambon pada 1814 – 1818

t.         Jan de Keijser, pakhuismeester atau manajer/kepala gudang di Ambon pada 1817 – 1822

u.    Instruksi ini dikeluarkan pada tanggal 31 Januari 1817  melalui keputusan/besluit dari Komisaris Jenderal bernomor 15. Instruksi ini terdiri dari 40 pasal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar