(bag 2)
[J.B.J. Van Doren]
Komisaris Pengambilalihan Wilayah Maluku, Van Middelkoop dan Engelhard menuju Ambon
Saat pengambilalihan wilayah Maluku dari tangan pemerintah sementara Inggris atas nama Raja Belanda pada tahun 1817, tugas ini diserahkan oleh Komisaris Jenderal Hindia Belandaa kepada Tuan Jacobus Albertus van Middelkoop dan Nicolaus Engelhard, yang menjabat sebagai Komisaris Pengambilalihan, menaiki kapal Z.M. “Admiraal Evertsen”, yang dikomandoi oleh Tuan Dietzb, Kapten Laut semasa hidupnya, berangkat dari Surabaya, ditemani oleh para istri merekac, serta beberapa perwira, wanita dan anak-anak, sedangkan pasukan lain yang berangkat didistribusikan secara proporsional ke kapal-kapal dalam skuadron militer.
Kapal-kapal lain yang dimaksudkan untuk tujuan itu, berada dibawah komando kapten laut tersebut di atas, kapal Z.M. “de Nassau” dikomandani oleh Kapten Laut Sloterdijkd, dan fregat “de Maria Reigersbergen” dikomandoi oleh Letnan kapten laut Groote.
Pada tanggal 21 Februari 1817, skuadron mengangkat sauh/jangkar, dan dengan kesejukan cuaca, mengarungi laut, bergerak menuju arah utara barat laut; kemudian ke timur laut dan lebih jauh ke timur. Didukung oleh angin yang menguntungkan, mereka melihat kepulauan besar Selombof, menjelajahi kepulauan Toning, Tannakeke dan Celebes pada tanggal 28 [Februari], berlayar menyusuri pantai pulau terakhir pada tanggal 1 Maret dan membuang sauh di lepas pantai Boelocomboh, keesokan harinya untuk menyenangkan Nyonya Engelhard, seorang wanita pribumi namun manisi – kata Q.M.R Verhuell1. Wanita ini, terbiasa mengunyah sirih, sangat membutuhkan daun sirih dan buah sirih, dan karena dia tidak bisa hidup tanpa ramuan harum ini, Kapten Dietz yang berhati baik tidak menolak untuk menunda beberapa jam, sehingga memuaskan keinginan Nyonya Engelhard.
Benteng Victoria dan Kapal Evertsen,ca. 1818 |
Keesokan harinya mereka berlayar lagi, dan pada tanggal 5 Maret skuadron tersebut berlayar di sepanjang sisi utara teluk Dwaalj. Pada tanggal 6 Maret, mereka sudah bisa melihat dataran tinggi [pulau] Boeroe (Buru) pada jarak 11 mil, namun mereka terpaksa berbelok karena gelombang laut yang tinggi dan ganas, membuat kapal bergerak dengan sulit. Kemudian mereka melanjutkan lagi, dan pada tanggal 7 Maret pagi mereka melihat pulau Amboina dan pada tanggal 8 Maret, dipiloti/dipandu oleh Syahbandar Inggrisk, mereka berlabuh di perairan sedalam 30 depa di depan kastil/benteng “Nieuw Victoria”.
Ketika skuadron berlabuh, mereka bertukar tembakan penghormatan seperti biasa dengan tempat penembakan di benteng yang disebutkan di atas, yang ditentukan ketika kapal perang berlabuh di tempat utama.
Sementara itu, persiapan sedang dilakukan sehubungan dengan pengambilalihan Amboina dan pulau-pulau di sekitarnya2. Kapten Laut Dietz, sesuai dengan pasal 4 instruksi tersebut di atasl, diangkat menjadi Komisaris Pengambilalihan wilayah kepulauan Banda, namun karena sakit mendadak, dia tidak bisa langsung melaut. Namun, mengingat beratnya beban yang ditanggungnya, ia memutuskan untuk mengangkat sauh secepatnya, dan meski tidak sehat, segera bergerak. Setelah Resident Banda yang baru diangkat, yaitu Tuan Berkhoffm, pejabat-pejabat lain dan pasukan yang akan ditempatkan di garnisun telah berada di kapal “admiraal Evertsen”, mereka segera menuju Banda.
Seolah-olah Kapten Dietz telah diramalkan tentang awan gelap yang menggantung di atas kepalanya, dia baru saja mencapai tanjung Nusa-Nivel, dan tiba-tiba mengalami stroke, dan akhirnya meninggal dunia. Letnan Kapten Laut, Q.M.R. Verhuell, yang menggantikannya sebagai perwira pertama komandan “de Eversten”, tentu saja mengambil posisi sebagai Komisaris untuk pengambilalihan wilayah Banda, dan memutuskan mengirim jenazah almarhum kembali ke Ambon dengan sekoci ditemani oleh seorang jurumudi dan beberapa orang, agar tidak menyebabkan penundaan perjalanan mereka ke Banda. Tuan Berkhoff, yang kepadanya disampaikan niat ini secara rinci, tampaknya tidak setuju dengan hal itu, karena menurutnya akan lebih baik untuk kembali ke Amboina. Verhuell, bagaimanapun, menyadari pentingnya datang ke Banda secepatnya, karena dia sadar bahwa berdasarkan instruksi yang disebutkan di atas dan perjanjian yang dibuat dengan pemerintah Inggris, keuntungan dari kepulauan Banda akan dipertimbangkan oleh pemerintah Belanda sejak awal ketika para Komisaris akan mengambil tindakan untuk pengambilalihan, terus bertahan dalam keputusannya. Oleh karena itu, dia segera menuju ke kepulauan Banda, dimana pada tanggal 26 Maret, tanpa menemui kesulitan sedikit pun, membuang sauh di kota Banda-Neira, kemudian memberikan penghormatan kepada bendera Inggris yang berkibar di rumah Resident dengan jumlah yang biasa dari artileri kapal “Evertsen”.
Resident Berkhoff dan Letnan Kapten Laut Verhuell menuju ke darat dan diterima dengan hangat serta ditempatkan di sana; sementara pasukan yang akan menuju garnisun turun keesokan harinya, berbaris ke barak dan mulai melakukan pengambilalihan. Sementara itu, fregat “de Maria Reigersbergen” telah berlayar ke Ternate untuk mengambil alih wilayah tersebut dari tangan pemerintah Inggris atas nama pemerintah Belanda. Letnan Kapten Laut Verhuell, setelah menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya3, mengangkat sauh pada tanggal 30 April [1817] dan menyusuri Lonthoir dan “meninggalkan” Goenong-Api di belakangnya. Didukung oleh layar yang kokoh dan gagah, dia melihat Amboina keesokan harinya, dan pada tanggal 4 Mei dia membuang sauh di depan benteng “Nieuw Victoria”. Di sini dia menemukan, selain banyak kapal pribadi, juga ada kapal “Nassau” yang dikomandani oleh Kapten Laut Sloterdijk, menggantikan Kapten Laut almarhum Dietz sebagai komandan skuadron angkatan laut di perairan Maluku, serta korvet “de Iris” yang dikomandani oleh Letnan Kapten Laut Pooln yang sedang berlabuh.
Awal Pemberontakan
Pemerintahan Maluku baru saja diambil alih dari pemerintah Inggris oleh Van Middelkoop, sebagai Gubernur pemerintah Belanda, ketika ketidakpuasan yang sudah lama membara dari beberapa pemberontak mulai terlihat dengan segala kekejamannya. Darah orang Belanda harus dikorbankan, dan korban pertama dari pemberontak yang marah adalah Resident Saparua, Van den Berg, istrinya, dan 2 orang anaknya (anak yang ketiga selamat secara kebetulan) dan para pelayannya, segera disusul oleh kekalahan yang mengerikan dari Mayor Beetjeso dan anak buahnya.
Bukan penduduk negeri, yang menjadi beban wajib militer yang melakukan pemberontakan, melainkan mereka yang disebut sebagai kaum burger, yang telah kita bahas di atas, termasuk bekas pelayan pribumi dari Syahbandar Inggris di Ambon yang bernama White, yang saudara perempuannyap pernah menjadi pelayan rumah tangga syahbandar itu, dan kemudian “menikah” dengan pemimpin utama pemberontakan, Matulesia, ada di sana : suatu keadaan yang menyebabkan kegemparan yang tidak kecil.
Suasana jalan di Ambon, ca 1817 (Verhuell) |
Bahwa penduduk desa/negeri Alang, Lillebooy dan Hatoe, yang termasuk dalam wilayah Amboina, tidak mengetahui rencana para pemimpin pemberontakan, terbukti dari dokumen resmi yang telah kita baca. Regent Lahaq juga merupakan orang yang tidak layak dipercaya; karena, ternyata, dia dari waktu ke waktu menerima utusan dari para pemberontak, dan tidak hanya memberi mereka sagu dan perbekalan lainnya, tetapi selain itu, penduduk pribumi yang dia kirimkan kepada mereka di hutan memiliki tanda-tanda khusus yang telah disediakan untuk mereka memilikinya.
Van Middelkoop, setelah mendengar hal ini, memanggil regent tersebut untuk menanyakan kepadanya tentang tindakan ini. Ia meminta maaf, meskipun ia tidak dapat menyangkal bahwa para pemimpin pemberontakan telah datang kepadanya untuk membujuknya, dan bahwa ia telah memasok mereka dengan sagu, namun hal itu dilakukan tanpa niat jahat, melainkan hanya dengan maksud agar tetap bebas dari segala gangguan. Bahwa dia, pada bagiannya, juga telah mengirimkan orang-orang kepada mereka dengan niat baik, yaitu untuk menjalin korespondensi dengan pemimpin pemberontakan, untuk membujuk mereka agar datang ke rumahnya, dan untuk menyerahkan mereka ke tangan kepala pemerintahan di Amboina.
Para regent Amboina pada umumnya mendukung pemerintah, namun lemah dan bimbang dalam segala tindakannya, sedangkan regent negeri Alangr dan Lillebooys tidak independen, dan sebaliknya regent Noesa-Nivelt dan Latoehalau. Licik dan sangat tidak bisa dipercaya.
Orangkaya desa Batoe-mejrahv, seorang penganut agama Islam yang taat, meskipun sangat aktif dalam pekerjaaannya dan tidak menarik, juga harus dianggap sebagai tersangka, bukan hanya karena ia tampaknya mendapat kepercayaan dari para pemberontak, tetapi juga karena ia pasti turut andil dalam kegagalan ekspedisi Mayor Beetjes, yang akan kami uraikan lebih lanjut. Menurut dokumen resmi, alih-alih ikut serta dalam aksi itu, ia dan awak arumbainya harus terjun ke laut dan melarikan diri; sedangkan dari jumlah senjata yang diterimanya hanya 10 yang dikembalikan, tanpa peluru apa pun. Hakim (magistraat) Amboinaw juga menemukan pistol Prancis yang hilang di kapal “Nassau” milik salah satu orang negerinya; karena itu ketidakpercayaan yang ada di regent itu bukannya tidak berdasar/tanpa alasan.
Resident Saparua, Van den Berg, telah mendengar ketidakpuasan penduduk Saparua selama beberapa hari mengenai isu-isu tertentu mengenai pemerintahan, namun ia yakin bahwa dalam melaksanakan tugasnya ia akan mematuhi perintah Gubernur Maluku yang menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk mempercayai pembicaraan pasar/gosip seperti itu. Namun, Pieter Matheus Souhoka datang kepadanya secara rahasia dan menyampaikan rumor ini kepadanya, setelah itu dia menyelidiki masalah tersebut sendiri. Dia memanggil regent Booyx dan Nolloth; dan atas pernyataan kedua Radja ini bahwa tidak benar rumor itu, kecuali bahwa itu adalah pembicaraan atau isu yang jahat, Souhoka dihukum dengan dipukuli rotan di rumah resident. Beberapa hari kemudian, nyora (istri) dari Radja negeri Nolloth, dalam kepolosannya, memberitahu Nyonya Van den Berg, ketika dia sedang minum kopi bersamanya, bahwa Soehoka mengatakan kebenaran, dan karena itu dia dihukum secara tidak adil, karena setiap hari ada pertemuan di Nolloth dan orang-orang negerinya sedang mempersiapkan senjata mereka. Sepertinya Saparua ditakdirkan untuk melakukan pemberontakan, karena seperti halnya di Amboina, rumor tersebut diabaikan oleh Van den Berg, seperti yang diasumsikan sebagai berikut.
Radja Sory Sory Seraniy, Johannes Salomon Kiraulyz, regent yang setia pada pemerintah Belanda, juga pernah mendengar rencana pemberontakan, namun enggan memberitahukannya kepada Resident karena dia takut bahwa Resident akan mengungkapkan kalau dia adalah sumbernya, sehingga dia dan seluruh keluarganya pasti akan dibunuh oleh penduduk pulau itu. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk menyampaikan rumor yang tidak jelas ini secara langsung kepada Gubernur di Amboina; tetapi dia sangat kecewa dengan harapannya, karena baik Gubernur Van Middelkoop maupun Engelhard, salah satu Komisaris itu, tidak mau mempercayai informasi ini dan menahannya dalam tahanan kota di Amboina.
Resident van Haroekoe, Uytenbroekaa, juga diperingatkan tentang pemberontakan yang membara oleh Raja-raja yang telah diberhentikan pada masa pemerintahan peralihan Inggris, yaitu Radja negeri Pilau, Latukomabb, Radja negeri Oma, Silvester Pattinamacc, dan Radja negeri Aboro, Jacob Benjamin Fernandusdd. Resident van Haruku memanggil Radja Sametiee, dan memerintahkan dia untuk secara diam-diam menyelidiki berita tersebut. Beberapa waktu kemudian Radja tersebut meyakinkan Resident bahwa rumor tersebut tidak benar dan bahwa itu hanya fiksi dari orang-orang tersebut di atas [para bekas Radja di atas], yang membuat Resident Uytenbroek membawa orang-orang tersebut ke hadapannya dan mengirim mereka ke Amboina dimana, seperti Radja negeri Sory Sory Seranie, mereka tetap berada dibawa pengawasan ketat polisi.
Sementara orang-orang di Amboina nampaknya sangat cemas mengenai hal ini, obor pemberontakan telah menyala. Pada tanggal 15 Mei 1817, dini hari, Resident Van den Berg mengetahui bahwa portero (penjaga), yang telah diutus olehnya ke Porto, untuk mengirim arumbai yang penuh dengan pagar kayu akan pergi secepatnya ke Ambon bersama dengan arumbai itu untuk menyampaikan secara lisan kepada Gubernur mengenai rumor yang beredar di kalangan penduduk Saparua, telah dianiaya dan ditangkap. Mendengar berita yang tidak terduga ini, Resident Van den Berg pergi menunggang kuda ke [negeri] Porto untuk menyelidiki masalah tersebut secara langsung, tetapi sesampainya di sana, dia dihentikan oleh penduduk Porto dan Haria dan dihina serta dimaki, dan meskipun mereka awalnya bermaksud untuk mencoba untuk membunuhnya, diputuskan dalam rapat umum bahwa lebih baik membiarkan Resident kembali ke [negeri] Saparua, karena mereka sendiri, penduduk [negeri] Porto dan Haria, dan tidak semua penduduk yang bersalah akan disalahkan atas pembunuhan itu. Desas-desus segera menyebar di Saparua bahwa Residen telah ditangkap dan ditahan di Porto, kemudian seorang juru tulis bernama Ornek pergi menunggang kuda ke Porto, dan jika itu benar, untuk membebaskan Resident. Di Hitoopeff, dekat Porto, tangannya terkena peluru senapan, kemudian dia segera kembali ke Saparua untuk mendapatkan bala bantuan dan menggunakan senjata untuk menghentikan kekerasan.
Benteng Duurstede dan Rumah Resident di Saparua |
Ditemani oleh sekitar 20 warga sipil bersenjata, seorang kopral dan 12 serdadu Jawa, ia kembali ke Porto, tetapi ketika ia tiba di Hitoope, salah seorang seorang serdadu Jawa lengannya hancur terkena peluru senapan, sekelompok besar penduduk pribumi bersenjata mendekati mereka, akhirnya mereka memutuskan untuk mundur dan kembali ke Saparua. Sore harinya, Resident Van den Berg dipulangkan ke Saparua, ditemani rombongan penduduk pribumi Porto. Diantaranya Pattij [negeri] Haria, Jeremous Leihoto, Guru Djemaat Rissakotta dan Strudiek, semua Kepala Soa Porto dan Haria, juga Salemba Latoechamala, bekas Radja [negeri] Ullath, yang diberhentikan dan diasingkan ke Jawa pada masa pemerintahan Inggris yang kemudian menetap/tinggal di Porto, bersama dengan Thomas Matulesia, yang kemudian terpilih sebagai pemimpin pemberontak, menyebabkan begitu banyak kerusakan pada pemerintah Belanda.
Ketika rombongan ini sudah mendekati benteng [Duurstede], semua penduduk pribumi, kecuali Matulesia, yang kembali ke Porto, berdiri diam, sementara Pattij Haria dan Guru Djemaat Strudiek mengantar Resident ke tangga benteng dan membiarkannya menaiki tangga dan masuk ke dalam benteng sendirian. Di sini Resident Van den Berg menemukan istri dan anak-anaknya, juru tulis Ornek, para pelayannya dan sekitar 30 hingga 40 orang burger yang datang ke benteng bersama istri dan anak-anak mereka berdasarkan rumor yang mengganggu. Jumlah pemberontak menjadi semakin banyak ketika ada berita bahwa Resident telah memasuki benteng, dan mereka akan menyerang benteng pada malam itu juga, jika bukan karena kegelapan malam dan ketakutan terhadap persenjataan benteng telah mencegah mereka.
Sekitar jam 20.00 (jam 8) malam Resident mengetahui bahwa Anthony Rhebok4 yang ditemani Latoemahina telah memasuki benteng, bahwa ketidakpuasan tersebut bermula dari desa/negeri Sory Sory Slam [Islam], karena penduduknya menginginkan regent yang beragama Islam daripada yang beragama Kristen, dan sejumlah besar penduduk pribumi dari pesisir Hitu telah datang untuk membantu mereka. Oleh karena itu Resident menyarankan untuk tidak menggunakan kekerasan, namun menyelesaikan masalah secara damai melalui tindakan yang lembut. Resident Van den Berg, senang dengan kedatangan Rhebok, menjabat tangannya, menyatakan penyesalan atas hukuman yang harus dijatuhkan kepadanya, dan minum segelas anggur bersamanya dengan orang yang menemaninya. Rhebok, menyadari bahwa Resident menerima nasihatnya dengan rasa terima kasih, dengan sukarela menyerahkan dengan tangannya sendiri surat yang akan ditulis Resident kepada penduduk Sory Sory, dan kemudian meninggalkan benteng5; sedangkan Latoemahina bermalam di benteng bersama Resident.
Keesokan harinya, sekitar jam 10.00 pagi, Resident mengibar bendera putih di benteng, namun hal ini tidak memberikan efek yang menenangkan, tetapi situasinya malah menjadi lebih bersifat perang. Bendera putih baru saja dikibarkan ketika terdengar para pemberontak yang menabuh tifa tjakaleli dan meniup kuli bia (atau tahuri) – Buccinum Tritonis – sebagai isyarat perang; para pemberontak bertambah banyak seperti kumpulan nyamuk dan semakin mendekat ke benteng. Sementara itu, sekitar 50 pemimpin pemberontak berkumpul di balik tembok rumah resident, untuk memilih salah satu pemimpin di antara mereka dan menyusun rencana penyerangan benteng, sedangkan sisanya menyibukkan diri dengan membuat tangga bambu untuk menaiki tembok benteng. Namun para pemimpin yang berkumpul di sana tidak dapat menyepakati pemilihan pemimpin, hingga akhirnya Kepala Soa [negeri] Tuhaha, juga kapten/pemimpin kaum burgergg, mengusulkan untuk memilih Thomas Matulesia sebagai pemimpin utama, karena ia dalam pertemuan tersebut telah berdoa di Porto untuk itu. Usulan ini disetujui dengan suara bulat, dan 4 orang dipilih di antara mereka sendiri, dikirim sebagai utusan/delegasi mewakili pertemuan itu ke Matulesia, untuk mengundangnya segera datang ke Saparua.
Matulesia menghadiri pertemuan tersebut, dengan suara bulat dinyatakan sebagai Kapten Poeloe (Pemimpin/Kepala Pulau), yang penunjukannya dia terima dengan gelar “Panglima Perang atas Pulau Honimoa, Haroeka, Noessa-Laut, Amboina, Seram dan pesisir sekitarnya”hh. Namun, dia menerimanya dengan syarat ketat bahwa orang-orang akan mematuhinya dalam segala hal dan mengikuti semua perintahnya secara membabi buta dan tanpa pertimbangan sedikit pun, sedangkan mereka yang tidak mau, jika ada, akan dipaksa untuk melaksanakan hal itu dengan paksaan. Syarat ini telah diterima dan ditegaskan dengan/melalui sumpah, Matulesia memberikan perintah untuk menyerang benteng, dan mengangkat dirinya sebagai pemimpin penyerangan. Perlu disebutkan di sini sekilas bahwa Thomas Matulesia, seorang Amboon dan menganut agama Reformed, adalah burger Saparua dan menjabat sebagai Sersan Mayor milisi pribumi pada masa pemerintahan Inggris. Usianya sekitar 34 tahun, bertubuh tinggi, berpenampilan kurus, dan berkulit gelap. Ia menikmati pendidikan yang sangat beradab, berpengalaman dalam membaca dan menulis, dan memiliki ketrampilan militer, yang berarti ia terpilih sebagai pemimpin utama pemberontakan. Dan meskipun penampilan luarnya tidak memperlihatkan kecerdasan, dia memiliki penilaian yang cerdas, dan dengan energi mental khusus yang dimilikinya, dia berhasil menciptakan rasa hormat pada orang-orang sebangsanya dan bawahannya yang bodoh, sehingga tidak ada seorang pun dengan reputasi apa pun yang berani mengikuti perintahnya dengan acuh tak acuh atau berani untuk melawannya.
Residen yang mengamati pergerakan para pemberontak, dan menyadari bahwa mereka bermaksud mencoba menyerang benteng, pergi ke tembok pembatas dengan sapu tangan putih di tangannya, yang dia lambaikan ke depan dan ke belakang sebagai anda perundingan persahabatan/perdamaian; sekaligus memerintahkan bawahannya untuk tidak memberikan perlawanan apa pun. Kapten Matulesia menembakkan senjatanya dan mengenai paha kanan Resident, menyebabkan dia terjatuh. 12 serdadu Jawa – kekuatan garnisun benteng – membayangkan Resident terbunuh, segera melompati benteng, jatuh ke tangan para pemberontak dan dibantai dengan kejam. Para pemberontak memanjat benteng dari segala sisi, sementara kaum burger yang sampai saat itu tetap setia kepada Resident, juga melarikan diri. Juru tulis Ornek juga melarikan diri dari benteng dengan menggunakan perahu, tetapi dia dikejar ke laut dan dibunuh dan kemudian dibawa kembali ke darat, dimana dia dipenggal. Frederik dan Raja [negeri] Amethii, saudaranya sendiri, yang juga tinggal bersama Resident, dibunuh seperti yang lainnya ketika mereka meninggalkan benteng6.
Cara pembunuhan Resident dan rekan-rekannya sangat mengerikan dan belum pernah terjadi sebelumnya. Seorang saksi mata yang saya ajak bicara saat berada di Saparua menceritakan kejadian menyedihkan berikut ini. Resident yang malang itu, katanya, dibiarkan menghadapi nasib yang tidak bedaya setelah terjatuh dari benteng, diseret oleh massa ke tiang tempat lonceng benteng digantung dan diikat, sementara seorang Guru Djemaat pribumi berjalan di dekatnya dan berdoa singkat, setelah itu Resident yang malang itu ditembak. “Istri Resident yang putus asa dalam jiwanya, dikelilingi oleh anak-anaknya yang tidak bersalah, mendengar suara tembakan; dia berkeringat dingin, penuh ketakutan akan apa yang akan terjadi padanya, sendirian dibiarkan menghadapi nasib buruknya!!!. Dia mendengar suara serak dan liar berteriak di luar, mendekat, lalu satu kelompok makhluk tidak manusiawi, bersenjatakan klewang berdarah dan rambut tergerai, memasuki kamarnya dan mendatanginya dengan marah. Tidak ada air mata, hari ini pun tidak bisa menyelamatkannya. Dia dan anak-anaknya, berteriak ketakutan, diseret ke jenazah suaminya yang terbaring tanpa nyawa di dalam darah, dimana anak-anak kesayangannya yang tidak bersalah dipotong-potong sambil para pemberontak memuntahkan kutukan yang paling mengerikan7. Karena putus asa, ibu yang sedang hamil besar itu tertelungkup, sementara orang-orang yang beringas itu menyerangnya dan menindihnya seperti harimau kelaparan, memotong anggota tubuhnya, memotong jari-jarinya, demi menguasai cincin yang dikenakannya, dan ...............”kesenangan iblis” ini melarangku untuk menggambarkan kekejian ini lebih lanjut”. Siapa yang tidak bergidik mendengar kekejaman seperti itu, yang hampir sama dengan keganasan binatang liar??? Dan mereka adalah orang-orang yang dianggap sebagai orang Kristen, namun telah dirusak oleh keinginan untuk membalas dendam !!!. Sungguh suatu kesalahan besar jika kita membayangkan hal-hal baik yang dilakukan orang-orang Kristen seperti itu, yang hanya sekedar nama saja!
Resident van Saparoea bersama istri |
Saudara laki-laki Resident, Christiaan van den Berg, termasuk di antara korban, seorang pelayan wanita, seorang sersan Eropa, komandan benteng, 2 kopral orang Eropa, seorang penembak dan pendamping Eropa, seorang kelahiran Polandia. Setelah adegan pembunuhan ini, para pemberontak meninggalkan benteng, pergi menuju ke rumah Resident, yang kemudian dijarah dan dikuasai sepenuhnya. Keesokan harinya, di pagi hari, sisa-sisa serdadu yang malang dikuburkan tepat di tangga benteng Duurstede, sementara anak yang selamat dari kematian ditemukan di antara mayat-mayat8/jj. Pieter Matheus Soehoka mengambil anak itu dan melindunginya, membawanya ke penjaga utama dan melaporkan kepada Thomas Matulesia, yang memerintahkan anak itu untuk dibawa kepadanya. Massa menginginkan kepala anak tak berdosa ini dipenggal, namun Matulesia tidak menyetujuinya, karena menurutnya, itu adalah bukti nyata bahwa Tuhan tidak ingin anak tersebut dibunuh dalam dosa, dan jika, meskipun ada perintah darinya, mereka membunuh anak tersebut, mereka pasti akan mendatangkan murka Tuhan, sehingga mereka memutuskan untuk mengampuni nyawa anak tersebut. Arnold Pattywaal, yang menonjol saat mendaki tembok pembatas tembok, memperoleh hak istimewa bahwa anak itu akan dititipkan kepada saudaranya, Salomon Pattywaal – yang nantinya diangkat menjadi Radja van Tiouw – yang tinggal di Riclakk, dimana anak itu tetap tinggal sampai kedatngan Laksamana Muda dan Komisaris Jenderal Buijskes.
===== bersambung =====
Catatan Kaki:
1. Dalam buku karangannya “Herinneringen van eene reis naar de Oost-Indien”
2. Lihat Lampiran A dan B, diterjemahkan dari bahasa Inggris
3. Sesuai dengan instruksi, lihat salinan Surat Resident Inggris, Martin, kepada Komisaris untuk pengambilalihan pemerintahan Maluku, Lampiran A
4. Beberapa waktu sebelumnya, ia pernah dihukum dengan pukulan rotan karena perkelahian. Ia merupakan keturunan salah satu keluarga tertua di Saparua, dan kemudian terpilih sebagai pemimpin kedua pemberontak
5. Belakangan ternyata surat itu ia tempelkan pada sebuah tiang di bazar atau pasar
6. Ada anggapan yang salah bahwa mayat tanpa kepala yang ditemukan di rumah Resident oleh letnan laut kelas II, Boelen, adalah jenazah juru tulis Ornek. Lihat deskripsi dari Verhuell, volume I, halaman 195
7. Karena keadaan/situasi inilah, salah satu anak Resident lolos dari kematian
8. Karena itikad baik kepada pemerintah Belanda, ketika rencana orang Ambon untuk menghancurkan benteng “Nieuwe Victoria” diketahui pada tahun 1829, ia dianugerahi sertifikat kepuasan dan diangkat menjadi Kepala Soa di negeri/desa Haria.
Catatan Tambahan:
a. Komisaris Jenderal Hindia Belanda untuk pengambilalihan wilayah kekuasaan Hindia Belanda dari tangan Inggris pada tahun 1817, terdiri dari 3 orang yaitu Cornelis Theodorus, Mr Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen dan Laksamana Muda Arnold Adriaan Buijskes. Komisi ini berangkat dari Amsterdam pada tanggal 29 Oktober 1815, dan tiba di Batavia pada 11 Mei 1816.
b. Tuan Dietz bernama lengkap Dirk Hendrik Dietz, lahir tahun 1766 di Bemmel, menikah dengan Jacoba Susana van der Poel di Kapstad pada 20 Mei 1792. Sebelum menjadi Komandan kapal “De Evertsen”, Dietz menjadi komandan kapal “De Maze” dengan pangkat Kapten Laut pada periode 1 Oktober 1814 – 20 September 1815. Menjadi komandan kapal “de Evertsen” sejak 20 September 1815 – 24 Maret 1817. Kapten Laut Dirk Hendrik Dietz juga adalah komandan utama skuadron yang berangkat dari Surabaya itu dan sekaligus panglima angkatan laut untuk perairan Maluku. Dietz meninggal di atas kapal “De Evertsen” pada tanggal 24 Maret 1817 di perairan Tanjung Alang (Nusaniwe) saat menuju ke kepulauan Banda.
c. Istri Jacobus Albertus van Middelkoop bernama Catharina Gasparina Beijlon (istri kedua) yang dinikahi di Batavia pada 19 November 1816. Istri dari Nicolaus Engelhard bernama Maria Welhelmina Senn van Basel yang dinikahi pada 8 Maret 1784.
d. Kapten Laut Sloterdijk memiliki nama lengkap Jacobus Slotterdijk, lahir di Makkum pada 7 Juli 1766. Sebelum menjadi komandan kapal “De Nassau”, ia menjadi komandan kapal “De Zeemeeuw” dengan pangkat Letnan Kapten Laut pada periode 1 April 1814 – 30 September 1814, dan menjadi komandan kapal “De Nassau” pada periode 6 April 1815 – 30 September 1817. Setelah kematian Kapten Laut Dirk Hendrik Dietz, Slotterdijk ditunjuk menggantikan Dietz sebagai panglima angkatan laut untuk perairan Maluku. Ia meninggal bunuh diri di atas kapal pada pagi hari tanggal 30 September 1817.
e. Letnan Kapten Laut Groot memiliki nama lengkap Jan Groot, lahir di Hoorn pada 10 April 1777. Sebelum menjadi Komandan kapal “De Maria Reigersbergen”, ia bertugas di kapal “de Evertsen” sebagai perwira pertama pada periode 4 Desember 1814 – 26 Juli 1816 dengan pangkat Letnan Kapten Laut, kemudian menjadi komandan korvet “De Iris” pada periode 1 Oktober 1815 – 8 Januari 1816. Kemudian menjadi komandan kapal “De Maria Reigersbergen” pada periode 14 Januari 1817 – 25 Agustus 1819, dimana sejak 25 Maret 1817, pangkatnya dinaikan menjadi Kapten Laut.
f. Kepulauan besar Selombo, mungkin maksudnya kepulauan Masalembo
g. Kepulauan Tonin dikenal juga sebagai Pulau Bankulan, terletak di sisi barat daya Sulawesi Selatan
h. Boelocombo, maksudnya adalah Bulukumba
i. Q.M.R. Verhuell menyebut istri Nicolaus Engelhard (Maria Welhelmina Senn van Basel) sebagai wanita pribumi, dikarenakan istri Engelhard itu memiliki garis darah “pribumi” yang berasal dari neneknya, yaitu Susana van Makassar. Lebih jelasnya bisa disampaikan sebagai berikut : M.W. Senn van Basel lahir pada 28 Mei 1770, putri dari Huibert Senn van Basel dan Susana Maria Grebel. Ibunya ini adalah putri dari Benjamin Grebel dan Susana van Makassar. Setelah ayahnya, yaitu Huibert Senn van Basel meninggal, ibunya, yaitu Susana Maria Grebel menikah lagi dengan Willem Arnold Alting. Nicolaus Engelhard yang merupakan suaminya adalah putra dari Nicolaus Engelhard (senior) dan Maria Alting. Maria Alting adalah adik perempuan dari Willem Arnold Alting. Jadi, M.H. Senn van Basel menikah dengan sepupu “jauhnya” sendiri.
j. Teluk Dwaal terletak di sisi timur kepulauan Buton
k. Syahbandar Inggris yang dimaksud bernama Joseph White.
l. Pasal 4 dari instruksi yang dimaksud berbunyi “Mereka akan dapat menunjuk komisaris yang dianggap perlu untuk mengambil alih pulau-pulau kecil dan memberi mereka instruksi yang diperlukan, sesuai dengan instruksi yang diberikan kepada mereka”.
m. Tuan Berkhoff memiliki nama lengkap Willem Berkhoff. Ia menjadi Resident van Banda dengan waktu singkat pada periode 2 April 1817 – 12 Mei 1817.
n. Letnan Kapten Laut Pool memiliki nama lengkap Johannes Marinus Pool, lahir di Texel pada 28 September 1778. Menjadi komandan korvet “De Iris” pada periode 1 Januari 1817 – 1819 dengan pangkat Letnan Kapten Laut.
o. Mayor Beetjes memiliki nama lengkap Pieter Jacobus Beetjes. Pangkatnya naik menjadi Mayor pada Agustus 1816. Mayor Pieter Jacobus Beetjes meninggal di pantai Waisisil (Saparua) pada 20 Mei 1817.
p. Saudara perempuan yang dimaksud bernama Elisabeth Gassier. Chr. Fr. van Fraasen menyarankan agar nama Elisabeth Gassier “sebaiknya” dibaca sebagai Elisabeth Gaspersz.
q. Regent negeri Laha pada periode ini bernama Adim Mewar yang menjabat pada 2 Oktober 1795 – minimal 1817
r. Regent negeri Alang pada periode ini bernama Pieter Pattij yang menjabat pada 20 Oktober 1812 – minimal 1817
s. Regent negeri Lillebooy pada periode ini bernama Awamas Castanja/Kastanya yang menjabat pada 2 September 1811 – minimal 1817
t. Regent negeri Noesa-Nivel pada periode ini bernama Jacob de Soijsa yang menjabat pada 3 Oktober 1797 – minimal 1817
u. Regent negeri Latoehala atau Latuhalat pada periode ini bernama Isak Salhuteru yang menjabat sejak 1 Januari 1817 – minimal 1830
v. Orangkaya desa Batoe-mejrah pada periode ini bernama Talib Waliulu yang diangkat pada 1 Maret 1814. Berdasarkan Laporan dari Nicolaus Engelhard per tanggal 31 Mei 1818, ada 2 regent van Batumerah, yaitu Abdul Kahar dengan pangkat Radja, serta Talib Waliulu dengan pangkat Orangkaija. Jadi jika merujuk pada tulisan Van Doren yang menulis Orangkaija, maka mungkin figur yang dimaksud adalah Talib Waliulu
w. Hakim (magistraat) Amboina pada tahun 1817 adalah Cateau Roseveld
x. Regent negeri Booi pada periode ini adalah J.M. Pattiasina
y. Pada tahun 1817, belum ada negeri Sory Sory Seranie secara hukum, yang ada hanyalah desa/negeri Sory Sory. Pada tahun 1829/1830 negeri Sory Sory secara hukum pemerintahan dibagi menjadi 2 yaitu Sory Sory Seranie (Kristen) dan Sory Sory Slam (Islam). Jadi penulisan yang dilakukan oleh Van Doren dan kemudian diterbitkan pada tahun 1857 ini, otomatis negeri Sory Sory telah “ada”, dan sesuai dengan fakta berdasarkan kronologi penulisan dan penerbitan bukunya.
z. Johannes Salomon Kesaulija atau Kesaulya. Ia pernah menjadi Regent negeri Ihamahu pada periode ??? – 12 Desember 1804.
aa. Resident van Haroekoe, Uytenbroek memiliki nama lengkap Arnoldus Uytenbroek
bb. Bekas Radja negeri Pilau, Latukoma, yang dimaksud bernama Patijhena Latuconsina yang memerintah pada November 1803 – sebelum 1817
cc. Bekas Radja negeri Oma, Silvester Pattinama, yang memerintah dalam tahun 1803 – sebelum 1817
dd. Radja negeri Aboro, Jacob Benjamin Fernandus, sebenarnya bernama Philipus Benjamin Ferdinandus, menjadi Radja negeri Aboru pada ??? – sebelum tahun 1817
ee. Radja Sameti pada tahun 1817 belum diketahui identitasnya.
ff. Pada peta Pulau Saparua yang dimuat dalam publikasi tahun 1875, 1905 dan 1927, kami “tidak” menemukan wilayah Hitoope yang dimaksud, tapi mungkin wilayah ini “berdekatan” dengan Aer Raja
gg. Di setiap desa/negeri yang memiliki penduduk burger, kelompok burger ini “dipimpin” oleh figur yang bisa berpangkat kapten atau Letnan
hh. Dalam bahasa Melayu Ambon, gelar yang disandang oleh Thomas Matulesi adalah : Panhoelo Prangan di atas poelo Honimoa, Haroeka, Noessa Laut, Hila (Ambon), Ceram, dan lain jang berikot
ii. Raja [negeri] Ameth pada tahun 1817 ini, identitasnya tidak/belum diketahui
jj. Pada catatan kaki nomor 8 di atas, disebutkan bahwa : ia dianugerahi sertifikat kepuasan dan diangkat menjadi Kepala Soa di negeri/desa Haria. Figur ia yang dimaksud oleh Van Doren mungkin adalah Pieter Matheus Souhoka. Menariknya bahwa berdasarkan arsip tahun 1829, salah satu kepala Soa negeri Haria bernama Pieter Souhoka.
kk. Ricla, mungkin maksudnya adalah Rila, di petuanan negeri Saparua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar