Senin, 02 Desember 2013

Sepenggal sejarah yang hilang : 4 Soa Pisarana


LATAR BELAKANG
Orang-orang yang belum pernah berkunjung ke pulau Saparua pasti sulit membedakan antara “Negeri Saparua” dan “Pulau Saparua”, selayaknya “Negeri Haruku” dan “Pulau Haruku”, dikarenakan memiliki kemiripan pada nama sehingga sedikit membingungkan. Pertanyaan kepada orang Saparua yang selalu bikin pusing, seperti ini :

Ale asal mana?
Asal Saparua!
Saparua kampung apa?
Dari Saparua!
Bingungkan?
Mungkin orang mengira bahwa Saparua itu hanya nama Pulau!
Tanpa tahu bahwa ada “Negeri Saparua” di dalamnya.

Sejarah Maluku banyak mencatat tentang pulau Saparua, si “Jantung Uliaser” yang menjadi pusat perlawanan rakyat pulau-pulau Lease terhadap kolonialisme di tanah Maluku pada tahun 1817. Perlawanan yang ditandai dengan penyerangan pasukan Pattimura ke benteng Duurstede di pusat Kota Saparua. Benteng Duurstede yang berarti “Kota Mahal dibangun pemerintah kolonial Belanda di atas batu karang petuanan negeri Saparua.
Negeri Saparua adalah negeri adat yang memiliki perjalanan sejarah dan pemerintahan yang jelas. Upu Ama Latu/Upu Ina Latu Pisarana Hatusiri atau disebut juga dengan Radja van Saparoea adalah pemimpin negeri, baik secara kelembagaan adat maupun sipil serta mempunyai petuanan negeri/wilayah adat dengan batas-batas teritorial tersendiri.
Seiring dengan perkembangan jaman negeri Saparua kemudian ditetapkan sebagai pusat pemerintahan/ibukota Kecamatan Lease/Uliase (terdiri dari pulau Saparua, pulau Haruku dan pulau Nusalaut) sehingga lebih dikenal dengan sebutan Saparua Kota.
Melalui Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat 1 Maluku Nomor: PU22/7/17 per tanggal 30 Maret 1965 tentang pemekaran Kecamatan Lease/Uliase maka wilayah ini dimekarkan menjadi 2 kecamatan, yaitu :

1). Kecamatan Saparua (pulau Saparua, pulau Nusalaut) tetap beribukota di negeri Saparua.
Penetapan status Kecamatan Saparua yaitu pada tanggal 30 Juli 1966.

2). Kecamatan pulau Haruku beribukota di negeri Pelauw.
Penetapan status Kecamatan pulau Haruku yaitu pada tanggal 30 Agustus 1966.

Di era otonomi daerah pulau Nusalaut dimekarkan menjadi Kecamatan Nusalaut terlepas dari Kecamatan Saparua dan beribukota di negeri Ameth. Kecamatan Saparua pun dimekarkan lagi menjadi Kecamatan Saparua Timur dan beribukota di negeri Tuhaha.


ASAL  USUL NEGERI SAPARUA (1436)
Adalah lima kapitan Souku (Souhuku) yang menempati hutan Aikasiro, tanah berbukit di pesisir selatan pulau Seram. Menurut sejarah tuturan dan kapata-kapata bahwa pada suatu waktu orang-orang Souku ini turun ke pesisir pantai untuk bameti (mencari hasil laut), mereka terkejut melihat pulau sekitar dan berniat mencari hunian baru di pulau seberang. Mereka lalu bermufakat, membuat perjanjian dengan syarat harus kawin-mawin terlebih dulu, 4 orang Souku yang kawin adalah kapitan Riang Santuwa Titaley beristrikan Nyi Sahele Rekape Simatauw (saudara perempuan Adjelis/Nahuwerij ?), kapitan Adjelis/Nahuwerij (?) Simatauw beristrikan perempuan bermarga Anakotta, kapitan Anakotta Untaune/Hintaune beristrikan Ririnama Kupasila, kapitan Ririnama beristrikan perempuan bermarga Ruhupessy, sedangkan 1 orang Souku tidak/belum mau kawin adalah kapitan Ruhupessy (Urumaenalo?), tetap tinggal menjaga Souku. Tahun 1436 adalah periode yang diperkirakan sebagai waktu migrasi orang-orang Souku ke pulau Saparua. Mereka berangkat dengan menaiki gosepa dari tanjung Pulapa menuju pulau Saparua dibawah pimpinan Adjelis/Nahuwerij Simatauw dan Riang Santuwa Titaley.
Dalam perjalanan mencari hunian baru, ada beberapa tempat yang disinggahi.
Persinggahan pertama (1) yaitu tanjung Hatawano-Itawaka (sekarang) di Saparua sebelah timur, tetapi keputusan dari Adjelis/Nahuwerij (?) Simatauw  sebagai saudara tertua menyatakan bahwa tempat ini adalah labuhan karang, tidak cocok untuk dijadikan tempat tinggal. Sehingga mereka melanjutkan perjalanan menyusuri pesisir pantai ke timur dan selatan melewati 2 tanjung untuk melihat keadaan sekitar, semuanya masih kosong, tidak ada negeri  baru yang ditemui. 
Persinggahan kedua (2) yaitu petuanan negeri Ouw/Ullath (sekarang), dengan mempertimbangkan lokasi yang kurang cocok/kurang strategis, mereka terus berlayar. 
Persinggahan ketiga (3) yaitu petuanan negeri Sirisori (sekarang), di sini orang-orang Souku turun ke daratan dan beristirahat. Tempat ini kemudian diberi nama “Waihenahia”, dusun yang membatasi negeri Saparua dan negeri Sirisori Amalatu (sekarang). Rombongan gosepa Souku lalu melanjutkan berlayar hingga terlihat dari jauh pesisir pantai waisisil, petuanan antara negeri Paperu dan Tiouw (sekarang), mereka terus masuk ke dalam teluk Saparua (sekarang) dan mendaratkan gosepa, mengikatnya di batu besar, di pesisir pantai “Muka Kota” sebagai labuhan terakhir yang mereka pilih, diantara tanjung batu karang yang ditumbuhi katang-katang (tapak kuda) dan pohon bintanggor (kanjoli).
Kapitan Riang Santuwa Titaley dan istrinya Nyi Sahele Rekape Simatauw mengambil tempat di atas batu karang untuk membuat wango-wango (api unggun) dan berjaga, jika nanti ada gosepa lain datang mereka bisa melihat api (sebagai tanda klaim) dan mengetahui bahwa sudah ada orang yang menempati wilayah ini. Sedangkan 3 kapitan lain dan istri-istrinya mengambil tempat di pesisir pantai dekat batu karang.

PENAMAAN SAPARUA
Setelah kedatangan rombongan gosepa Souku ada juga rombongan gosepa lain yang kemudian datang menyusuri tanjung batu untuk mencari tempat hunian. Riang Santuwa Titaley terjaga lalu bercakap-cakap dengan Nyi Sahele Rekape Simatauw, dengan suara keras! supaya terdengar oleh mereka, dan tahu bahwa sudah ada orang di tempat ini.
Terjadilah percakapan antara Riang Santuwa Titaley dengan mereka :

Orang di atas gosepa : “SAPA”
Artinya siapa/berapa?
(ada siapa di situ/berapa orang di atas batu karang)
Riang Santuwa Titaley membalas : “RUA”
Artinya ada dua!
(ada 2 orang di atas batu karang)
Riang Santuwa Titaley  balas bertanya : “SAMPANO”
artinya ada berapa gosepa yang datang?
Dibalas oleh mereka : “RUA”
Artinya ada dua!
(2 gosepa yang datang)

Versi percakapan inilah yang selalu dituturkan turun-temurun lintas generasi, dan “konon” menjadi cikal bakal pemberian nama negeri dimana mereka tinggal. Orang-orang dengan gosepa itu lalu pergi. Untuk beberapa waktu orang-orang Souku tinggal di situ lalu naik ke gunung mencari tempat untuk dibuatkan Amano/Hena. Tempat tinggal pertama orang-orang Souku di pegunungan dipilih oleh Adjelis/Nahuwerij (?) Simatauw dan diberi nama “SAPA RUA LESI” yang mempunyai arti Saparua kecil/permulaan/akan bertambah-tambah. Di sinilah awal kehidupan orang-orang Souku di pulau Saparua.

SAPA RUA LESI
Di hutan Sapa rua lesi terdapat sumber air yang diperusah (diusahakan) oleh keempat orang/kapitan Souku untuk air mandi dan minum mereka, yaitu :

1). Lohonno  (Abu) :  Tempat ambil air dan mandi untuk perempuan Titaley, diperusah oleh Titaley.
2). Wae Marua (Air Nona) :  Tempat ambil air dan mandi untuk perempuan Anakotta, diperusah oleh Anakotta.
3). Tuha (Bore) :  Tempat ambil air dan mandi untuk laki-laki 4 soa (dipakai bersama), diperusah oleh Anakotta.
4). Tintalo (Dibawah gunung):  Tempat ambil air dan mandi untuk laki-laki Simatauw, diperusah oleh Simatauw.
5). Saru (Apa) :  Tempat ambil air mandi untuk perempuan Simatauw, diperusah oleh Simatauw.

Sedangkan untuk perempuan Ririnama bebas ambil air dan mandi di 3 tempat (Wae marua, Saru, Lohonno), laki-laki Ririnama bebas ambil air dan mandi di Tuha.

RUMATAU/SOA SAPA RUA LESI
Pembagian rumatau/soa di negeri Saparua ditandai dengan batu pamali masing-masing yang dibawa 4 soa sejak dulu kala dari Souku, juga sebagai lambang/identitas Souku. Keunikan dari pembagian soa di negeri Saparua adalah karena 1 soa hanya terdiri dari 1 marga/faam, berbeda dengan negeri adat lain di Maluku yang dalam 1 soa terdiri dari beberapa marga/faam.


1).  Rumatau Maralatu - Soa Pelatu (TITALEY)
MARALATU (raja), Soa PELATU --> PEI (perintah), LATU (raja)
PELATU yang artinya diperintahkan/diangkat menjadi Raja. Secara turun-temurun Titaley menjadi Raja atau matarumah perintah negeri Saparua.

2).  Rumatau Soulessy - Soa Latuwaelaiti (SIMATAUW)
SOU (beritahu), LESSY (banyak) --> SOULESSY yang artinya banyak memberitahu. Soa LATUWAELAITI --> LATU (raja), WAE (air), LAI (datang) dan ITI (teriak)
LATUWAELAITI yang artinya Raja Air datang memberitahu sesuai dengan tugasnya sebagai Kewang (pengawas hutan/lautan), sekaligus juga sebagai Marinyo (pemberitahu).

3).  Rumatau Leparissa - Soa Manupalo (ANAKOTTA) 
LEPA (bicara), RISSA (perang) --> LEPARISSA yang artinya bicara perang. Soa MANUPALO --> MANU (burung), PALO (lindung)
MANUPALO yang artinya Burung Pelindung sesuai dengan tugasnya sebagai Kapitan Raja (panglima perang).

4).  Rumatau Souhala - Soa Namasina (RIRINAMA)
SOU (beritahu), HALA (pikul) --> SOUHALA yang artinya memikul tanggung jawab untuk memberitahu sesuatu. Soa NAMASINA --> NAMA (nama), SINA (apa)
NAMASINA yang artinya memberitahu nama sesuai dengan tugasnya sebagai Malessy (penjaga baileu dan wakil kapitan).

BATU PAMALI
1). Batu Pamali Soa Pelatu : Terletak di halaman rumah mantan Radja Negeri Saparua (Bpk Jacob Jopie Titaley).
2). Batu Pamali Soa Manupalo : Terletak di halaman rumah keluarga Noya/Anakotta (depan SD Negeri 1 Saparua).
3). Batu Pamali Soa Latuwaelaiti : Terletak di halaman rumah keluarga Bpk Elly Patty.
4). Batu Pamali Soa Namasina : Terletak di halaman rumah tua Ririnama/rumah Ibu Ester Ririnama/Mami Booi (Tiang Belakang/Soa Baru Negeri Saparua).

Satu batu lagi adalah Batu Meja (batu pengalasan/altar) untuk 4 soa saat melakukan upacara adat. Batu meja ini dipakai untuk menaruh Apapua (sirih, pinang, kapur sirih, sopi, simbol 4 soa) terletak di halaman SD Negeri 1 Saparua bersebelahan dengan Baileu Negeri Pisarana.

Adjelis/Nahuwerij (?) Simatauw kemudian berperan sebagai Upu Ama Latu memimpin saudara-saudaranya. Riang Santuwa Titaley bersama Nyi Sahele Rekape Simatauw tetap mengambil tempat di atas batu karang untuk menandai/mengklaim wilayah pesisir “Muka Kota”  dan sekitarnya, menjadi kepunyaan Titaley. Hal tentang pembagian wilayah masing-masing soa ini juga ditemui dalam catatan seorang Van Schmidt, Etnolog/Sosiolog (Sejahrawan) Belanda. Di tahun 1843 tepatnya tanggal 31 Oktober Van Schmidt, menulis artikel panjang berjudul AANTEEKENINGEN : Nopens de zeden, gewoonten en gebruiken, benevens de vooroordeelen en bijgeloovigheden der bevolking van de eilanden Saparoea, Haroekoe, Noessa Laut, en van een gedeelte van de zuid-kust van Ceram, in vroegeren en lateren tijd.

Artikel ini dimuat dalam Tijschdrift voor Nederlandsch Indie, Vijfde jaargang (Tahun kelima), Tweede Deel (Volume 2), yang diterbitkan oleh Lands Drukkerij Batavia, tahun 1843. 3 halaman terakhir pada bagian kedua (hlm 620-622), Van Schmidt menulis “artikel” yang ia beri judul DE DRAAK VAN SAPAROEA atau SANG NAGA (dari) SAPARUA, THE DRAGON OF SAPAROEA.

waarna zij beiden van het gebergte nederkwamen, en zich vestigden op de rots, war thans het fort van saparua staat, welke door hem beplant werd

(setelah itu, mereka (Kapitan Rian Santuwa Titaleij dan Nji Sahele) turun dari gunung (Rila) dan menempati batu karang, dimana Benteng Duurstede berdiri sekarang)

Rian began zich nu met zijn vrouw in de spelonk, welke zijn ten westen van het bevindt en verdwen met haar 

(Kapitan Rian bersama sang “permaisuri” memulai kehidupan baru dan menghilang di dalam lubang/gua yang terletak disebelah barat batu karang itu)

dit uitende, door bijgeloof ontstaan, bragt te weeg dat men de verdwenen personen daar ter plaatse offerde. Men begaf zich des vrijdags met een witte kip een hoender-ei, een witte pinang en jonge sirih benevens een stuk zilvergeld, naar de spelonk, om tot voedsel voor dezelve te strekken, en brande daarbij damar

(sejarah kuno ini lebih jauh menceritakan tentang pengorbanan/persembahan”sakral” yang dilakukan di tempat yang dipercaya sebagai tempat “menghilangnya” kedua leluhur itu. Pada hari Jumat seseorang akan pergi dengan ayam putih, telur unggas, pinang putih dan sirih muda serta uang perak, ke gua, untuk memberi makan mereka, dan membakar damar).

zij die daarna terug kwamen vertelden, dat hun vader en moeder, op eenen gouden stoel gezeten zich aan hen hadden vertoond, dat zij eenen draak waren veranderd

(orang yang kembali itu menceritakan jika “ayah dan ibu mereka” (leluhur mereka) telah menjadi NAGA dan bertahta di kursi emas)

en van tijd tot tijd de gedaanten aannamen van een groot mensch, eene koe, hond, varken, hartenbeest, boschkat of gans, en dat wanneer er iemand sterven zou, de draak loeide als een os

(dan dari waktu ke waktu sang NAGA itu berubah bentuk menjadi raksasa, seekor sapi, seekor anjing, seekor babi, binatang buas pemakan jantung manusia, serigala, atau angsa, dan jika seseorang akan mati, naga itu akan mengaum seperti seekor banteng yang mengamuk).

Anakotta diangkat menjadi Kapitan Radja, berkembang menjadi banyak kemudian pindah dan membangun benteng di Wae Marua, sebagian lagi tinggal di Morilo, menjadi kepunyaan Anakotta. Ririnama diangkat menjadi Malessy lalu kemudian pindah dan membangun benteng mereka di Launa dan Rila, menjadi kepunyaan Ririnama. Adjelis/Nahuwerij (?) Simatauw dan keluarganya tetap tinggal di  Sapa rua lesi yang menjadi kepunyaan Simatauw. Amano atau Hena-hena kecil ini kemudian berkembang menjadi negeri “PISARANA HATUSIRI AMALATU” yang lebih besar.

Selain itu, pada artikel Van Schmidt ini secara eksplisit, tertulis bahwa leluhur Anakotta (pada teks tertulis Ana Kotta), Simatauw dan Ririnama menempati bukit/gunung Rila yang terletak “di belakang” negeri Saparua dan juga disebut ada 9 negeri di “depan” atau di sekeliling “mereka” (negeri Pisarana).

(tidak disebutkan negeri-negeri apa saja yang dimaksud, ataukah 9 negeri dalam teks ini dimaksudkan sebagai 9 “dati” yang ada dalam petuanan?) 

Inilah kehidupan mereka berpuluh tahun orang-orang Souku di negeri lama sampai dengan kedatangan bangsa Eropa.

KEDATANGAN BANGSA EROPA (1533 – 1600an)
Bangsa Portugis yang pertama kali datang menemui Soa Titaley dan memintanya untuk memberitahukan kepada 3 soa lain di Sapa rua lesi untuk turun gunung dari  Amano/hena masing-masing, dan membangun negeri baru di pesisir pantai. Tawaran itu diterima oleh Adjelis, atas kesepakatan bersama, 3 soa pun turun gunung lalu membangun negeri baru di pesisir pantai, dan tetap memakai nama  “SAPA RUA/SAMPANO RUA”. Hal ini menunjukkan bahwa jauh sebelum adanya instruksi Herman van Speult selaku Gubernur Belanda di Amboina pada sekitar tahun 1640 untuk menurunkan penduduk pribumi dari pegunungan ke daerah pesisir, penduduk negeri Saparua sudah terlebih dahulu menempati negeri baru di pesisir pantai.
Pada akhir abad 15 yaitu sekitar tahun 1599 Belanda mengalahkan Portugis lewat jalan perang dan kemudian mengambil alih seluruh kepulauan Ambon-Lease. Oleh Belanda, petuanan negeri Saparua dibagi menjadi 4 bagian utama sesuai 4 rumatau/soa yang sebelumnya telah dipetakan oleh Portugis pada tahun 1536. Tanah petuanan ini selanjutnya dipergunakan sebagai tempat tinggal dan perkebunan/onderneming, dengan maksud supaya 4 soa dapat mengupayakan menanam cengkeh/pala lalu hasil perkebunannya dijual kepada Kongsi Dagang Belanda (voc). Masing-masing kepala soa juga berfungsi sebagai kepala dati dan bertanggung jawab untuk pekerjaan itu.

Pembagian petuanan negeri Saparua :

1).   Soa Manupalo (Anakotta), mendapat tempat di muka dati negeri saparua.
2).  Soa Latuwaelaiti (Simatauw), mendapat tempat di belakang dati negeri saparua.
3).  Soa Pelatu (Titaley), mendapat tempat di muka negeri saparua.
4). Soa Namasina (Ririnama), mendapat tempat di belakang negeri saparua.

Setelah mendapat bagian tanah dati, 4 soa tinggal bersama dalam satu kesatuan persaudaran yang erat, beranak cucu memenuhi negeri baru sampai sekarang, dan menjadi Hena Pauno/Hena Payari (tuan tanah). Pada awal mula pemerintahan bangsa Eropa di Saparua, menurut tradisi lisan (tuturan) Adjelis /Nahuwerij (?) Simatauw dianggap sebagai Radja pertama yang memerintah/memimpin 3 soa lainnya. Masa-masa selanjutnya setelah Adjelis/Nahuwerij (?) Simatauw dan beberapa keturunannya memerintah/memimpin, pengangkatan dan penetapan Rumatau Latu-Soa Pelatu (marga Titaley) sebagai Raja Negeri Saparua secara turun temurun sampai sekarang adalah berdasarkan campur tangan pihak Portugis dan Belanda, karena jasa Rumatau Latu memberikan hibah atau pembelian (?) tanah berbukit karang di tepi pantai yang menjadi kepunyaannya untuk dibuatkan benteng pertahanan.
Van Schmidt juga menulis dengan jelas dalam bukunya tersebut, tentang tradisi oral dalam konteks asal usul “pembelian” lokasi berdirinya Benteng Duurstede. Di situ disebut jika “harga” tanah tersebut dibeli dengan 9 stukken wit linnen (9 potong kain linen putih), 9 stukken rood linnen (9 potong kain linen merah), 9 vaten rijst (9 barel beras dikonversi kira-kira 1431 Kg beras) dan 9 schotels (9 piring batu/piring porselin).

Arnold de Vlamingh van Ouds Hoorn yang pertama kali membangun Benteng Duurstede pada tahun 1676, kemudian dilanjutkan oleh Nicholaas Paul Schagen pada tahun 1690 untuk memperkuat monopoli perdagangan rempah-rempah di kepulauan Lease/Uliase pada masa itu. Di era Pemerintahan Indonesia melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Maluku, benteng Duurstede dipugar kembali pada bulan Juli 1977-Maret 1982. Hingga saat ini benteng Duurstede masih tetap berdiri kokoh dan menjadi situs peninggalan sejarah kolonial Belanda di Maluku. Benteng ini juga menjadi ikon negeri dan pulau Saparua.

Demikian sekilas tentang asal-usul negeri Pisarana Hatusiri Amalatu Saparua.

CATATAN KAKI
Penulisan penggalan sejarah “PISARANA HATUSIRI AMALATU” tidaklah sempurna, tetapi setidaknya ada upaya untuk merekonstruksi kepingan-kepingan sejarah yang hilang menjadi suatu catatan sejarah yang utuh. Catatan ini akan kembali direvisi apabila menemukan data historis pembanding lainnya guna melengkapi tulisan bersejarah ini, terlebih kepada beberapa poin yang rasanya perlu untuk dikaji kedalam basis ilmiah. Karena negeri yang tidak mengetahui akan sejarah asal-usul seringkali terancam kedaulatan dan kedudukannya. Seperti yang sering terjadi sekarang ini, negeri berperang melawan negeri karena bersengketa masalah batas-batas wilayah. Katong seng mau hal itu terjadi di atas petuanan Negeri Saparua!


Sumber :
1. Skripsi Sarjana Hukum Frederik Lamberth Anakotta berjudul “Tinjauan Tentang Lelepelo Dalam Masyarakat Desa Saparua” (Universitas Pattimura 1993)
2.  Literatur sejarah negeri Saparua dan Souhuku dari berbagai sumber
3. Penuturan sejarah para tetua adat tentang terciptanya hubungan “Pela Gandong” antara “Souhuku dan Saparua” pada saat pelantikan “Radja Negeri Saparua” tahun 2008
4.  Buku karangan “Buang Jozef Marlissa” tentang “4 soa” negeri Saparua Tahun 1972
5.  Artikel majalah “Tabaos” tentang asal usul terbentuknya negeri Saparua
6. Van Schmidt, 31 October 1843, AANTEEKENINGEN : Nopens de zeden, gewoonten en gebruiken, benevens de vooroordeelen en bijgeloovigheden der bevolking van de eilanden Saparoea, Haroekoe, Noessa Laut, en van een gedeelte van de zuid-kust van Ceram, in vroegeren en lateren tijd.

4 komentar:

  1. cool bung aldrin n bung ferix,,,beta senang bisa tau asal usul beta pung moyang.melalui artikel bung samua... artikel ini sangat bermanfaat for beta,,danke jua bung!!!.. trully Titaley

    BalasHapus
  2. Slmt bung Ferdy. Bung ada tulis tentang Pelatu. Kalau dngr sedjara uku lua betul2 Pelatu itu famTatipatta. Soa MAYAWA: dan kepala soa itu Tatipatta, Teunonya Pelatu. Hormate

    BalasHapus
  3. Apakah nama ketjamatan pp.Lease atau Onderafd. th.l945-l966 & dikepalai oleh KPS atau HPB ?Bukankah ketjamatan dibentuk th.l958 seiring dengan Daswati .Maluku Tengah ? Saya mengumpulkan nama2 penguasa/kep.daerah sejak l970an .Data BPS tidak lengkap & banyak y salah.aa sumana251@yahoo.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih untuk atensinya bapak/ibu. Data yang kami peroleh untuk menulis artikel ini bersumber dari Skripsi Sarjana Hukum Frederik Lamberth Anakotta berjudul “Tinjauan Tentang Lelepelo Dalam Masyarakat Desa Saparua” (Universitas Pattimura 1993), mungkin beliau menggunakan data BPS (yang tidak lengkap) seperti yang dimaksud. Jika bapak/ibu punya sumber data yang lebih lengkap dan jelas bisa berbagi dengan kami guna perbaikan artikel ini. Terima kasih.

      Hapus