Defenisi Baileu
Baileu adalah rumah adat negeri Maluku atau mungkin lebih dikenal
dengan sebutan Balai Desa dalam
perspektif keindonesiaan. Bangunan yang berukuran besar, tidak berdinding,
tampak menonjol dan berbeda dari bangunan kebanyakan setelah Gereja dan Mesjid tentunya,
sekaligus menjadi ciri khas negeri tersebut. Berfungsi
sebagai tempat berlangsungnya upacara adat atau tempat pertemuan masyarakat
adat untuk membicarakan berbagai hal menyangkut permasalahan adat di negeri
tersebut. Negeri Saparua sebagai salah satu negeri adat di Maluku tentunya juga
memiliki Baileu.
Lokasi, Bentuk dan
Pemaparan singkat
Sebagai bagian
dari Persekutuan Patasiwa, Baileu Negeri Saparua berbentuk
menggantung dengan menggunakan penyangga yang memisahkan lantai dasar Baileu dengan
tanah/bumi. Berbeda dengan negeri-negeri adat yang tergabung dalam Persekutuan Patalima, dimana Baileu-nya tidak
memakai penyangga sehingga lantai Baileu langsung
dibangun di atas tanah sebagai lantainya, seperti halnya bentuk Baileu Negeri Tiouw tetangga negeri Saparua. Baileu Negeri Saparua terletak
di negeri Saparua dan berlokasi di halaman SD Negeri 1 Saparua.
Dibangun pertama
kali pada masa pemerintahan Raja Melyanus Titaley sekitar tahun 1514. Letak koordinat
geografisnya (UTM) adalah koordinat x yaitu 0461965 dan koordinat y adalah
9605159. Selain menggantung, Baileu juga
berbentuk persegi panjang berlantai papan kayu dengan 18 tiang penyangga atap,
atapnya berbentuk pelana kuda dan penutupnya menggunakan atap yang terbuat dari
daun rumbia (daun sagu). Dari 16 tiang penyangga atap tersebut terdapat 4 tiang
utama yang terletak pada pintu masuk dan pintu keluar Baileu. 4 tiang
utama tersebut adalah lambang/milik dari 4 soa/fam yang merupakan orang negeri
asli Pisarana Hatusiri Amalatu.
Penjelasan struktur
bangunan Baileu Negeri Saparua adalah sebagai
berikut :
2 tiang utama di
pintu masuk (sebelah barat), 1 tiang sebelah kanan adalah milik Soa Anakotta atau biasa
dikenal dengan nama Tiang Anakotta. 1 tiang sebelah
kiri adalah milik Soa Titaley atau biasa
dikenal dengan nama Tiang Titaley. 2 tiang utama di
pintu keluar (sebelah timur), 1 tiang sebelah kanan adalah milik Soa Ririnama atau biasa
dikenal dengan nama Tiang Ririnama dan 1 tiang
sebelah kiri milik Soa Simatauw atau biasa
dikenal dengan nama Tiang Simatauw. Harus dipahami
kalau penjelasan lokasi 4 tiang tersebut di atas berdasarkan dipandang dari
depan pintu masuk ke arah pintu keluar Baileu, bukan
sebaliknya. Hal ini harus diperjelas agar tidak disalahpahami. Di dalam Baileu terdapat
1 meja berbentuk bulat/bundar dan beberapa kadera/kursi buat Upu Latu/Raja,
namun karena ketidakpedulian dari pemerintah Negeri Saparua sendiri, maka
barang-barang inventaris tersebut sudah rusak/hilang.
Prosesi Acara Tutu Baileu
Pada umumnya
pergantian atap Baileu biasanya
10 tahun sekali, tergantung dari kemampuan/kekuatan/kondisi atap Baileu. Jika
sudah rusak atau bocor maka harus diganti seluruhnya. Jika hanya terdapat
beberapa saja yang bocor/rusak bisa diganti tanpa perlu melakukan sebuah
prosesi adat. Hal itu bisa dilakukan atas kebijakan Raja. Namun jika semuanya telah
rusak/bocor maka harus diganti lewat sebuah prosesi adat yang dikenal dengan
nama Tutu Baileu.
1. Persiapan
Atas kesepakatan
Raja dan para Kepala Soa yang tergabung dalam Saniri Negeri yang menyatakan
bahwa penutup Baileu harus
diganti, maka penutup/atap tersebut dilepas/dibongkar. Acara ini tidak melewati
prosesi adat hanya dilakukan secara biasa dan dilakukan Anak-anak soa (dari
ke-4 soa) dan penduduk pendatang (soa ke-5). Setelah atapnya dibongkar,
kemudian dilihat kondisi rangka penutup dan kondisi Baileu, jika ada
yang rusak dan perlu diganti maka diganti, jika tidak ada maka tidak perlu
diganti. Misalnya jika papan lantai Baileu rusak maka diganti, jika
jeruji-jeruji langkang rusak maka diganti/dibuat baru/diperbaiki. Semua itu
harus diperbaiki terlebih dulu sebelum acara puncak Tutu Baileu.
Sementara yang lain
mempersiapkan atap penutup Baileu, biasanya
daun rumbia/sagu dianyam sendiri (cucu atap), atau dibeli dari para penjual
yang biasanya dari negeri-negeri tetangga. Hal ini dikarenakan negeri Saparua
kekurangan pohon sagu dan alasan efisiensi waktu dan kerja. Pembuatan bumbungan
berjumlah 9 buah mengikuti aturan jumlah Patasiwa,
dan pembuatan Paramasang atau
tiris-tiris utama.
Selain itu juga ada
sumbangan atap dari Negeri Tuhaha/Beinusa Amalatu. Hal
ini dikarenakan perjanjian adat antara dua negeri, sebagai balas budi negeri
Tuhaha kepada negeri Saparua. Ketika terjadi perselisihan batas negeri Tuhaha
dengan negeri Sirisori Amalatu, negeri Saparua yang menjadi saksi kunci
sehingga negeri Tuhaha bisa memenangkan gugatan ketika perselisihan batas
wilayah kedua negeri dibawa ke pengadilan/landraad pada jaman dulu. Sebagai
balas budi itulah, negeri Tuhaha mengadakan perjanjian/angkat sumpah akan
membantu jika ada renovasi Baileu Negeri Saparua.
Sumbangan atap dari negeri Tuhaha biasanya setengah atau bahkan lebih dari jumlah keseluruhan yang
dibutuhkan dalam acara tersebut. Atap tersebut dikirim beberapa hari sebelum
acara itu. Selain sumbangan atap, negeri Tuhaha juga membantu dalam acara
penutupan atap Baileu dengan
mengirim anak/pemuda/orang tua untuk membantu pada acara puncak. Selain
persiapan fisik di atas juga persiapan konsumsi yang dipersiapkan oleh anak-anak
soa dari ke-4 soa. Masing-masing soa mempersiapkan makanan dan dibawa pada
acara puncak, makanan ditaruh di Dulang/Nyiru Besar/Nampan lalu
dijunjung di atas kepala (keku), dan wanitanya menggunakan Baju Cele.
Perempuan Pisarana Keku Dulang
|
Selain persiapan makanan, juga ada latihan tarian sebagai pengiring
naiknya atap bumbungan untuk menutup Baileu. Perlu dijelaskan soal
tarian pengiring ini, tarian ini diperagakan oleh 8 Wanita Bujang/Belum
Pawin/Perawan dari 4 soa. Masing-masing soa diwakili oleh 2 penari dan
berbentuk 2 baris memanjang yang berisi 4 penari. Urutan para penari adalah 2
penari di depan adalah berasal dari Soa Anakotta,
2 penari berikutnya adalah penari yang berasal dari Soa Ririnama, kemudian diikuti di belakangnya 2 penari dari Soa Titaley dan 2 penari terakhir adalah
berasal dari Soa Simatauw, tarian ini
nantinya akan diperagakan untuk mengiringi naiknya atap bumbungan untuk menutup
bumbungan baileu. Pasukan penari ini dikomandani oleh seorang
wanita yang berasal dari Soa Ririnama.
Masing-masing penari memegang setangkai daun/bunga sebagai lambang/simbol soa
mereka di jemari tangan kanan. Lambang/simbol ke-4 soa yang dipakai untuk
menari antara lain sebagai berikut :
a)
Soa
Anakotta memegang Daun Pandusta (Merah Darah)
b)
Soa
Titaley memegang Daun
Kasuari.
c)
Soa
Ririnama memegang Daun Bambu/Bulu
d)
Soa
Simatauw memegang Daun Beringin/Waringing.
Jika semua persiapan di atas telah selesai maka tibalah pada
acara prosesi Tutu Baileu.
Prosesi Adat Tutu Baileu dilaksanakan pada hari selasa atau jumat, namun kebanyakan
pada hari selasa untuk kegiatan-kegiatan adat. Setelah anak-anak negeri Tuhaha
datang ke negeri Saparua. Beberapa hari sebelum acara ini dilaksanakan, Malessy akan pergi meminta
restu para leluhur di Amano/Hena
atau Negeri Lama (Hutan Rila),
negeri lama/negeri mula-mula ini berada di pegunungan. Permintaan restu leluhur
dimaksud agar supaya setiap tahapan prosesi Tutu Baileu dapat
berjalan dengan lancar dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti
kecelakaan kerja sampai pada kematian (Tolak Bala).
Pada keesokan harinya, pada saat yang sudah ditentukan Malessy yang dalam hal ini berasal
dari Soa Ririnama keluar
dari Rumah Tua Ririnama untuk menjemput
Kapitan Anakotta di Rumah Tua Anakotta.
Malessy Ririnama mengawal Kapitan Anakotta menuju Rumah
Raja untuk menjemput Upu Latu/Raja Titaley sambil menari
Cakalele. Setelah penjemputan, Kapitan dan Malessy membawa Upu Latu/Raja
ke lokasi Baileu. Sesampainya di Batu Meja/Batu Pengalasan yang
berdekatan dengan Baileu, dengan memakai Bahasa Tana, Upu Latu/Raja lalu membuka prosesi, tanda
dimulainya prosesi adat Tutu Baileu. Ketika proses penjemputan Upu Latu/Raja, anak-anak Soa dari 4 Soa telah bersiap di atas Baileu dengan Paramasang/atap tiris-tiris utama dan
atap tiris-tiris lainnya. Ketika Upu Latu/Raja selesai membuka acara,
pemuda/anak Soa Simatauw memberikan Paramasang
kepada pemuda/anak Soa Titaley, dan memberikan kepada pemuda/anak Soa Ririnama
dan selanjutnya memberikan kepada pemuda/anak Soa Anakotta untuk memasang
Paramasang pada
tempatnya.
Dalam proses pemasangan Paramasang
ini, masing-masing soa bertugas sesuai dengan tugasnya dan tidak
diperkenankan/diijinkan untuk membantu soa lainnya. Karena merupakan
hak/kehormatan soa masing-masing terhadap tugasnya. Setelah pemasangan Paramasang dilakukan, maka masyarakat
pendatang di negeri Saparua atau soa ke-5 (bebas) diijinkan untuk
bersama-sama membantu memasang tiris-tiris lainnya. Soa ke-5 memasang
atap/menutup hanya ¼ saja (7 bangkawang naik), kemudian dilanjutkan oleh
masyarakat negeri Tuhaha hingga selesai sampai dengan batas bumbungan. Ketika
selesai semua orang di atas Baileu
diminta untuk turun dan membiarkan Baileu
kosong. Tibalah acara puncak yaitu proses menutup bumbungan yang cukup memakan
waktu karena terdiri dari 9 buah bumbungan dan setiap bumbung diiringi oleh
tarian dari pasukan penari 4 soa. Di atas Baileu hanya boleh ada 3 orang
pemuda/anak soa yaitu Soa Anakotta, Soa Ririnama dan Soa Simatauw, sedangkan
Soa Titaley bertugas di bawah di tempat pemasangan bumbungan yang nantinya akan
ditarik dengan menggunakan tali. Soa Anakotta berdiri/berposisi di sepanjang
kayu pijakan/tempat menaruh bumbungan, Soa Ririnama berposisi di dekat Soa
Anakotta dan Soa Simatauw bertugas mengikat bumbungan yang diletakkan oleh Soa Anakotta.
Proses penutupan bumbungan dimulai
dari bawah. Bumbungan 1 diletakkan di atas tali oleh Soa Titaley, mereka merancang atau membuat tali tersebut sehingga ketika
ditarik dari arah puncak Baileu, posisi bumbungan seperti sayap terentang di kedua buah tali
yang dipergunakan. Bumbungan diletakkan di atas tali dan ditarik
perlahan-lahan oleh Soa Ririnama yang berdiri
di samping Soa Anakotta, ketika ditarik
pasukan penari menari menuju Batu Meja, kalau diperhatikan secara cermat
bumbungan seolah-olah menaungi/meneduhi pasukan penari tersebut. Irama naiknya
bumbungan itu harus seirama dengan gerak dan irama para penari, sehingga
prosesi memakan waktu yang cukup lama. Sementara bumbungan terus ditarik, para
penari menari bergerak menuju batu meja/batu pengalasan dengan memegang
daun/simbol masing-masing untuk diletakkan pada bagian sudut batu yang
berbentuk persegi empat tersebut. Jika dilihat dari arah para penari maka sudut
kanan atas adalah milik Anakotta, sudut kiri atas adalah milik Ririnama, sudut
kanan bawah adalah miliki Titaley dan sudut kiri bawah adalah milik Simatauw,
di bagian sudut-sudut itulah akan diletakkan daun oleh para penari tersebut
sesuai asal soa dan tempat masing-masing pada Batu Meja/Batu Pengalasan tersebut.
Menerima 9 Buah Bumbungan
|
Menutup 9 Buah Bumbungan
|
Setelah meletakkan daun tersebut di tempat masing-masing para
penari berbalik arah sambil menari menuju tempat awal menari, dan harus
bertepatan dengan selesainya pengikatan bumbungan. Ketika bumbungan telah tiba
di puncak
Baileu, bumbungan tadi diambil oleh Soa Ririnama kemudian diberikan kepada Soa Anakotta untuk meletakkannya,
arah peletakan bumbungan dimulai dari pintu keluar menuju ke pintu masuk, jadi
bumbungan 1 diletakkan di pintu keluar, bumbungan kedua mengikuti hingga
bumbungan ke-9 tepat pada pintu masuk. Ketika diletakkan bumbungan
tersebut, soa Simatauw yang
bertugas untuk mengikat bumbungan itu agar tidak terlepas. Begitu seterusnya
dari bumbungan 1 hingga bumbungan terakhir. Ketika bumbungan terakhir/ke-9
ditutup, Soa Anakotta yang
menutupnya dan merupakan orang terakhir yang turun dari bumbungan.
Upu Latu Titaley - Malessy Ririnama - Penari 4 Soa
|
Setelah prosesi itu selesai, kedua Upu Latu/Raja negeri Saparua dan negeri Tuhaha bersumpah di depan Batu Meja/Batu Pengalasan dengan meminum Sopi Adat yang telah disediakan, dan kemudian dibagikan kepada masyarakat untuk meminumnya sebagai tanda perjanjian kedua negeri untuk tetap saling mengingat dan saling membantu seperti yang sudah dilakukan dari jaman leluhur terdahulu sampai ke anak cucu nanti.
Salam
Anak Cucu “Leparissa
Manupalo”
bagus :)
BalasHapusBlog ini sangat bagus s'kali, dengan ada blog kaya gni katong jadi mangarti silsilah keturunan dengan asal-usul negeri saparua...
BalasHapusTrima kasih 4 Bu Ferdy jua..
rasa2 beta ada kenal ka deng bung chalvian
BalasHapusBr mangarti skrg. Danke lai
BalasHapusProsesi acara adat perlu dipublikasikan sehingga generasi muda tidak keliru dalam melanjutkan tradisi yang ada. Horomate...
BalasHapusBeta Penasaran kanapa Titaley Pung Simbol Pohon Kasuari, sebab bahasa daerah Maluku, khususnya Ternate,lelei artinya pohon ru atau ( kasuari )
BalasHapusBahasa dimaluku, hanya bahasa Ternate yg memiliki arti pohon kasuari, yaitu lelei' apakah tita lei - Lei asal katanya dari lelei?karna pengertiannya pohon kasuari yg menariknya adalah dari fam titalei memiliki simbol kasuari 😁apakah admin tau arti dari makna simbol tersebut???🙏
BalasHapus