A. Pengantar
“Sejarah adalah rekonstruksi pikiran atas catatan-catatan masa lalu. Obyektivitas sejarah kerap menjadi polemik dari pihak-pihak yang berkepentingan atas konstruksi tersebut. Sebab itu, sejarah punya banyak versi. Versi satu dengan versi lain saling berseteru menganggap dirinya yang paling obyektif dan terbenar. Masing-masing versi punya data dan fakta-fakta yang sama-sama meyakinkan1.
Demikianlah
kalimat pembuka seorang peresensi saat meresensi sebuah buku berjudul Destiny
Disrupted: A History of the World through Islamic Eyes yang dikarang
oleh Tamim Ansary dan terbit di Amerika pada tahun 2009. Buku ini telah dialih
bahasakan kedalam bahasa Indonesia dengan Judul Dari Puncak Baghdad:
Sejarah Dunia Versi Islam, (Jakarta : Penerbit Zaman, 2010).
Maka tidak
terlalu salah, jika historiografi adalah sebuah rekonstruksi, sebuah tafsiran
“baru”, sebuah intepretasi dari penulis meski tulisannya menggunakan
sumber-sumber tertulis yang bisa diperiksa, dikritisi atau sumber-sumber yang
berasal dari tradisi lisan/oral.
Hal itu juga
yang terjadi pada dokumen yang didalamnya berisikan narasi dengan judul besar :
“Tjeritera/Sedjarah
Pisarana Hatusiri Amalatu”.
Narasi sejarah ini secara umum menceritakan/mendeskripsikan tentang asal usul kedatangan para leluhur ke suatu tempat, yang nantinya menjadi cikal bakal sebuah negeri bernama Saparua serta cerita-cerita lain yang berkaitan dengan keturunan mereka.
Dokumen yang
dipunyai penulis adalah produk “duplikasi” dari duplikasi sebelumnya. Pada
awalnya, dokumen ini dimiliki oleh keluarga Simatauw yang bernama Fredrik
Simatauw (oom Ef). Dokumen ini dipinjam oleh Fredrik Lamberth Anakotta (kakak
penulis) dan diduplikasi (fotocopy) dalam bentuk kopian untuk kepentingan
penulisan skripsi pada Fakultas Hukum, program studi Hukum Perdata, Universitas
Pattimura tahun 1992.
Arsip/Dokumen
“pribadi” milik Fredrik Lamberth Anakotta ini cukup lama disimpan, hingga
sekitar September-Oktober 2018, dokumen itu digandakan dan dikirim ke beberapa
orang, salah satunya kepada Ferdy Lalala (adik penulis). Sang adik kemudian
“mendigitalisasikan” dokumen ini dengan cara di scan lembar per lembar dan
hasilnya dikirim melalui email kepada penulis.
Penulis kemudian mendigitalisasikan dan menggabungkan lembar-lembar itu menggunakan aplikasi, sehingga berbentuk file bereksistensi pdf (portable document file) yang jumlahnya 12 halaman folio.
Pembacaan yang
berulang-ulang secara hati-hati, cermat, dan berniat jujur maka munculnya
pikiran untuk menulis catatan kritis terhadap narasi sejarah ini. Artikel
ini berisikan catatan kritis yang dimaksud. Catatan kritis ini dilakukan dengan
pemahaman bahwa sejarah adalah sebuah rekonstruksi pikiran, sebuah tafsiran.
B. Gambaran Umum
Tjeritera/Sedjarah
Pisarana Hatusiri yang ditulis/dikutip itu terdiri dari 12 halaman berukuran
folio, dan berisikan 7 sub judul. 7 sub judul itu dimulai dari “Hal datang
orang-orang ke Pulau Saparua” hingga “Tjeritera Lamber Nitalessy”. Narasi
sejarah ini ditulis dengan menggunakan campuran ejaan van Ophuijsen/ejaan
lama/ejaan Balai Pustaka2 dan ejaan Soewandi/ejaan Republik3 serta
diketik.
1. Narasi sejarah para leluhur di
negeri asal (Souhuku – pada dokumen tertulis Sauku), kedatangan para
leluhur ke pulau Saparua hingga “penataan” sebuah negeri
2. Kisah Raja Majasang Simatauw
3. Kisah Lamber Nitalessy
Tema pertama
mengambil sekitar 75% (9 halaman), tema kedua 16,7% (2 halaman) dan tema ketiga
8,3% (1 halaman) dari keseluruhan narasi.
Tema pertama
dimulai dari halaman 1-9, tema kedua pada halaman 10-11 dan tema ketiga pada
halaman terakhir atau halaman 12.
Tema pertama
menceritakan kisah dari para leluhur di tempat asalnya (hal 1-2), “proses”
berpindah ke Pulau Saparua (hal 3-4), saat mereka tiba dan “asal mula”
munculnya nama Saparua (hal 5-6), “penataan” sebuah negeri,
batas-batas negeri hingga penyebutan family Simatauw sebagai kepala
pemerintahan (raja?) dari Adjelis Simatauw sampai Radja Majasang Simatauw (hal
7-9).
Tema kedua
menceritakan kisah Radja Majasang Simatauw, salah satu kejadian yang terjadi di
masa pemerintahannya (legenda durian sandar nona/nyonya) (hal 9-10), kisah
tentang “transisi” pemerintahan dari radja Majasang ke pemerintahan sementara
oleh Pattij Tiouw hingga pemerintahan yang dipegang oleh family Titaley (hal
10-11).
Tema 3
menceritakan tentang kisah Lamber Nitalessy yang “diangkat” menjadi Radja
Saparua.
C. Catatan Kritis
Pembacaan
terhadap seluruh narasi itu secara cermat dan berusaha seobyektif mungkin,
meskipun haruslah disadari bahwa sikap objektif itu tidak mungkin tercapai,
menimbulkan beberapa catatan kritis. Catatan kritis ini tentunya didukung oleh
sumber-sumber untuk mengkaji, membedah serta menganalisa lebih jauh.
Catatan kritis
ini akan disusun berdasarkan “kronologis” cerita dimaksud agar tersusun secara
sistematis dan bisa dipahami dengan jelas.
1. Latar belakang dokumen
a. Penulis dokumen
Narasi sejarah seperti dimaksud dimulai dengan
sepotong kalimat4 :
“Tjeritera ini diambil di Mesium Djakarta dengan katja pembesar atau Microschop, karena kertasnja sudah rusak”
Memahami isi kalimat pembuka
diatas sangatlah mudah, bahwa cerita yang kita baca saat ini merupakan salinan
dari salinan sebelumnya. Salinan sebelumnya yang pernah ditulis dan
keberadaannya disimpan di Mesium di Jakarta. Pertanyaan “kritis” yang menjadi
implikasi dari kalimat di atas adalah apa nama Mesium yang dimaksud? Bukankah
begitu banyak mesium yang berada di Jakarta? Seluruh narasi di atas tidak
menjawab pertanyaan ini, sehingga sulit untuk penulis memverifikasi informasi
ini. Usaha memverifikasi ini, hanyalah untuk melihat apakah salinan yang kita
baca sekarang ini, “asli” sesuai salinan yang disimpan itu, ataukah salinan ini
hanyalah merupakan “intepretasi” dari orang yang mengutipnya?. Pertanyaan ini
muncul karena, penulis merasa ada nada “kurang objektif” pada salinan ini. Ada
nada “mengkultuskan” faam/marga tertentu dibandingkan faam/marga
lain. Meskipun, pada halaman 12 tertulis secara eksplisit: “pada salinan
yang sama bunyinya” yang berarti dokumen yang kita baca ini adalah “sama”
dengan apa yang tertulis pada kertas yang sudah rusak itu.
Penggunaan kalimat “pada salinan
yang sama bunyinya” juga menimbulkan pertanyaan kritis lainnya, yaitu tulisan
yang tertera di kertas rusak itu adalah tulisan tangan atau tulisan yang telah
diketik? Apakah kita harus menerima bahwa dokumen yang kita baca
ini, adalah penyalinan yang “ketat” dari tulisan yang ada di kertas rusak itu?
Penyalinan abjad demi abjad, tanda baca demi tanda baca, kalimat demi kalimat
tanpa ada kekeliruan? Atau dokumen yang kita baca ini telah “direvisi” atau
malah lebih “buruk” lagi adalah hasil “intepretasi” dari orang yang menyalinnya
yaitu Josef Buang Marlissa itu?
Jika kita “dipaksa” untuk
mempercayai secara membabi buta bahwa semua isinya benar-benar sesuai dengan
tulisan yang ada di kertas rusak itu, maka kita juga bisa “terpaksa”
meragukannya. Kita semua bukanlah saksi mata pada saat proses penyalinan itu
dan tidak ada “arsip” kertas rusak itu untuk kita lihat dan
bandingkan.
Pertanyaan kritis berikutnya,
siapa penulis salinan sebelumnya yang dikutip itu? Apakah penulis salinan itu
adalah orang pribumi? Orang pribumi yang notabene adalah orang negeri Saparua
(Pisarana Hatusiri Amalatu) sendiri? ataukah malah orang luar, yang berarti
bisa memiliki kemungkinan adalah orang Eropa? Pada tahun berapa tulisan
itu dibuat?
Pertanyaan inipun tidak terjawab
dengan membaca seluruh narasi pada salinan ini. Jika demikian, maka tidaklah
salah jika penulis menggunakan pengandaian dalam hal siapa penulisnya.
Dilihat dari “konteks” salinan
ini, yaitu lokasi keberadaaannya, maka penulis hanya menduga, penulisnya
kemungkinan adalah orang Eropa. Jika kemungkinan penulisnya adalah orang
Belanda, siapa namanya?
Berdasarkan sumber-sumber yang
dipunyai penulis, orang Belanda yang pertama kali menulis sejarah negeri
Saparua adalah Asisten Residen van Saparua, Willem Jan Maurits van Schmid (1806
– 18845/18856) yang memerintah pada 1840 – 18427
Jika orang ini, adalah penulis
Belanda yang menulis salinan sebelumnya yang dikutip itu, maka ada perbedaan
“mendasar” pada isinya.
Tulisan yang dibuat oleh W.J.M.
van Schmid tidak seterperinci bila dibandingkan dengan salinan yang kita baca
ini.
Tulisan W.J.M. van Schmid yang dimaksud adalah berupa artikel berjudul Aanteekeningen nopens de zeden , gewoonten en gebruiken , benevens de vooroordeelen en bijgeloovigheden der bevolking van de eilanden Saparoea , Haroekoe , Noessa Laut , en van een gedeelte van de' zuid - kust van Ceram, dan dimuat dalam Tijdschrift voor Nederlands Indie vijfde jaargang, yang diterbitkan di Batavia pada tahun 18438.
Artikel panjang ini terbagi
menjadi “2 bagian” dan dimuat pada halaman 491-530 (bag 1) dan 583-622 (bag 2).
Secara umum artikel ini berisikan
kehidupan “sosial” yaitu berupa kebiasaan para penduduk negeri-negeri yang
berada di wilayah Afdeling Saparua. Misalnya saja kebiasaan para nelayan,
kebiasaan para ibu saat melahirkan dan lain-lain.
Narasi tentang sejarah negeri
Saparua, tidaklah panjang dan mendetail seperti salinan yang kita baca. Sejarah
negeri Saparua hanyalah terdiri dari 3 halaman, dan berupa penceritaan tentang
sebuah legenda.
Pada artikel bagian kedua inilah
(hal 619-621), ia menulis tulisan pendek yang diberi judul De Draak
van Saparoea (Sang Naga Saparua).
Tulisan pendek itu tentang
legenda Negeri Saparua, tentang Kapitan Rian Santuwa Titaleij, Njai Sahele
Simatauw, Nahuwerij Simatauw, Leluhur Ana Kota, Simatauw dan Ririnama. Juga
tentang “negosiasi” penjualan tanah yang akan menjadi lokasi berdirinya Benteng
Duurstede.
Selain W.J.M. van Schmid, ada
juga penulis lain berkebangsaan Jerman yaitu Adolp Bastian. Orang ini juga
menulis tapi lebih pendek dari tulisan W.J.M. van Schmid, hanyalah terdiri dari
1 alinea saja9. Tulisan dimaksud ada dalam bukunya yang
berjudul Indonesien oder Die Inseln Des Malayischen Archipel, bag I
Lieferung : Die Molukken.
Kedua penulis ini menyebut
figur-figur yang sama seperti juga disebutkan oleh narasi sejarah Pisarana.
Perbedaaanya hanyalah nama nama saudara laki-laki Nyi Sahele. Schmid dan
Bastian menulis namanya adalah Nahuwerij Simatauw, sedangkan salinan sejarah
Pisarana menulis Adjelis Simatauw.
Schmid dan Bastian
menulis Nyi/Nyai Sahele adalah zuster atau schwester (sister) dari
Nahuwerij Simatauw.
Menurut penulis mungkin
kedua nama ini, Nahuwerij Simatauw dan Adjelis Simatauw adalah
“identik”.
Jika membandingkan ketiga sumber
ini, maka salinan sejarah Pisarana itu bukanlah mentah-mentah “berasal” dari
kedua sumber ini, yang berarti pula “berasal” dari sumber lain. Masalahnya
sumber “lain” itu tidak bisa diverifikasi oleh penulis untuk melihat, membaca
dan membandingkannya.
Hal ini, bukan berarti bahwa
penulis menganggap tulisan Schmid dan Bastian adalah paling benar dibandingkan
salinan sejarah Pisarana.
Lagipula tulisan Schmid adalah
penulisan ulang atas apa yang didengar dari cerita yang telah “hidup” di
masyarakat negeri Saparua. Sedangkan, Bastian hanyalah mengutip sebagian dari
sumber Schmid saja.
Jadi kesimpulannya, tulisan
“asli” yang dikutip oleh Josef Marlissa dengan menggunakan kaca pembesar itu
bukan mentah-mentah ditulis oleh W.J.M. van Schmid atau Adolf Bastian, tulisan
itu berasal dari orang lain, yang sayangnya tidak bisa diverifikasi oleh
penulis.
b. Masalah ejaan
Seperti yang disebutkan
sebelumnya bahwa narasi sejarah Pisarana yang kita baca itu ditulis/diketik
menggunakan campuran ejaan van Ophuijsen/ejaan lama/ejaan Balai Pustaka
dan ejaan Soewandi/ejaan Republik. Masalah ejaan pada narasi ini bisa
membuka cakrawala berpikir kita untuk memahami dokumen ini lebih jauh.
Dokumen narasi sejarah Pisarana
itu dalam bentuk ketikan mesin ketik. Menarik membaca pernyataan dari Josef
(Buang) Marlissa pada akhir halaman 12. Ia menulis : “Pada salinan jang sama
bunjinja”.
Kalimat ini bisa dimengerti bahwa
dokumen ketikan itu isinya “sama bunyinya” dengan tulisan yang ada pada kertas
rusak itu. Ini berarti bahwa baik huruf, tanda baca bahkan ejaannya semuanya
sama.
Jika kita percaya pernyataan ini,
maka kita bisa menganalisis lebih jauh masalah ejaan pada narasi sejarah
Pisarana.
Ejaan van Ophuijsen/ejaan
lama/ejaan Balai Pustaka mulai berlaku secara resmi sejak tahun 1901-17 Maret 194210, sedangkan ejaan
Soewandi/Republik mulai berlaku sejak 17 Maret 1942-23 Mei 197211.
Ciri-ciri ejaan van Ophuijsen
adalah abjad y ditulis dengan abjad j, abjad u ditulis oe, abjad j ditulis dj,
abjad c ditulis tj.
Ciri-ciri ejaan Soewandi adalah
abjad oe ditulis u, kata-kata ulang boleh ditandai dengan angka 2 misalnya kata
orang-orang ditulis sebagai orang2.
Jika kita memeriksa dengan cermat
dokumen sejarah Pisarana, kita dapat melihat kata-kata dalam ejaan yang
digunakan adalah campuran dari 2 ejaan ini.
Misalnya kata Tjeritera/Sedjarah,
Djakarta, Tjuju, Katja, kertasnja, djauh, mentjari, menutju, djuga, musjawarah,
jang, hudjan, supaja, menjiapkan, berlajar, mempunjai, namanja, Njai, hanjut,
dan banyak kata-kata lain. Kata-kata yang ditulis dalam bentuk seperti itu
adalah bentuk ejaan van Ophuijsen.
Ada juga kata-kata seperti Anjo2,
banjak2, kora2, pulau2, melihat2, tjoba2, ketjil2, anak2, anak laki2, bapa2,
sungguh2, bini2, pembatja2, bini2nja, saudaranja2 dan lain-lain. Kata-kata yang
disebutkan di atas adalah bentuk ejaan Soewandi tapi juga ejaan Ophuijsen atau
beberapa kata di atas adalah bentuk campuran 2 ejaan ini, misalnya Anjo2,
banjak2, tjoba2, ketjil2, pembatja2 dan lain-lain (campuran Ophuijsen +
Soewandi), kata-kata misalnya sungguh2, bapa2, anak2, pulau2, melihat2 (ejaan
Soewandi).
Dari pemahaman ini, maka kita bisa menduga secara
“umum” bahwa tulisan pada narasi dalam dokumen itu ditulis pada abad XX
(1901-1972) sesuai periodesasi 2 ejaan.
Jika ejaan pada dokumen itu
ditulis secara “ketat” menggunakan ejaan Ophuijsen maka tulisan itu ditulis
pada periode 1901-1942, atau jika kita mau bertoleransi, tulisan itu dibuat
sebelum tahun 1900, yaitu tahun 1800an (abad 19). Namun, faktanya tidak seperti
itu.
Sang “penulis asli” tulisan jika
menggunakan setiap kata pada seluruh narasi sejarah itu dengan ejaan van
Ophuijsen, maka kita bisa berkesimpulan periode penulisannya adalah pada tahun
1901-1942 atau tahun 1800an.
Orang yang menulis dengan ejaan
van Ophuijsen adalah orang yang terbiasa, mengerti aturan-aturan ejaaan dan
“hidup” dalam periode itu atau “hidup” sebelum ejaan itu diberlakukan secara
resmi.
Tapi, faktanya adalah dokumen itu
berisikan campuran ejaan, ejaan van Ophuijsen dan ejaan Soewandi. Itu berarti
“sang penulis” adalah orang yang terbiasa, paham dengan 2 ejaan ini atau
“hidup” dalam periode 2 ejaan ini.
Hal ini sulit dibantah, maka
kesimpulan yang bisa diambil adalah tulisan “asli” itu dibuat pada periode
1901-1972 atau 1800an-1972.
Kesimpulan ini, juga akan
mengakibatkan kesimpulan lain, yaitu bahwa tulisan asli yang ada di kertas
rusak itu, adalah tulisan yang dibuat oleh orang lokal yang bisa saja adalah
anak negeri Saparua sendiri.
Agak meragukan kalau tulisan asli
ini ditulis/dibuat oleh orang Eropa, misalnya orang Belanda.
Jika ditulis oleh orang lokal,
maka kecurigaan lain akan timbul, bahwa tulisan asli di kertas rusak itu bukan
tulisan “asli” yang ditulis pada periode kedatangan para leluhur tapi hanyalah
“reproduksi” dari tradisi lisan yang telah lama “hidup” ditengah masyarakat
kedalam bentuk tulisan.
Jika demikian adanya, maka
tulisan asli itu juga memuat hal yang subjektif, bertendensi, memuat
kepentingan-kepentingan dan “mengkultuskan” suatu family saja daripada family
lainnya.
2. Kronologis Sejarah Pisarana
Secara umum, penulisan sejarah
Pisarana itu berdasarkan kronologis, yang jika mau disamakan dengan salah satu
alur dalam penulisan cerita fiksi yaitu menggunakan alur maju. Kronologis
sejarah itu bermula dari narasi tentang para leluhur di negeri asal mereka,
proses kedatangan mereka ke pulau Saparua, penataan suatu negeri, pemerintahan
raja yang memerintah negeri.
Meskipun ditulis secara
kronologis, narasi ini jarang menulis tentang waktu (era, abad, tahun) kejadian
sebuah peristiwa dengan eksplisit. Misalnya saja tentang kehidupan para leluhur
di negeri asal, keberangkatan para leluhur, kedatangan para leluhur di pulau
Saparua, pemerintahan “radja” Adjelis Simatauw, pemerintahan “radja” Majasang
Simatauw, proses transisi pemerintahan hingga penunjukan Lamber Nitalessy
menjadi radja negeri Saparua. Semua poin ini tidak ditulis waktunya, kapan itu
terjadi, pada abad keberapa, tahun berapa.
Waktu yang tidak ditulis secara
eksplisit ini membuat kita hanya bisa menduga-duga dan berusaha “menganalisa”
kapan sebuah peristiwa itu terjadi, dengan catatan jika ada “konteks” latar
belakang atau cerita disekeliling dari cerita utama yang bisa membantu.
Misalnya dalam kasus penunjukkan Lamber Nitalessy, periode transisi pemerintahan
setelah kematian “radja” Majasang Simatauw.
Pada beberapa bagian juga ditulis
tahun secara eksplisit, misalnya tentang kedatangan bangsa Eropa ke Pulau
terkhususnya negeri Saparua, pembagian/penataan wilayah kepada (keturunan?)
dari para leluhur itu, serta kematian “radja” Majasang Simatauw.
Poin-poin yang waktunya tidak
ditulis secara eksplisit, sejujurnya penulis tidak bisa memberikan catatan
kritis, terkecuali dalam kasus pemerintahan Majasang Simatauw, proses transisi
pemerintahan dan penunjukan Lamber Nitalessy.
Sedangkan poin-poin yang waktunya ditulis dengan eksplisit dan terbaca di dokumen, penulis akan memberikan catatan kritis.
a. Periode kedatangan bangsa Belanda (Portugis)
Pada subjudul “kedatangan orang
Belanda jang pertama kali ke Saparoea (Bangsa Potugis)” di halaman 8,
tertulis pada tepi kiri dari kertas secara eksplisit sebuah tahun yaitu 1533.
Ini berarti kedatangan orang Belanda/Portugis ke
Saparua itu terjadi pada tahun 1533.
Subjudul diatas sedikit
bermasalah dan juga benar pada sisi lainnya. Jika merujuk pada tahun 1533, maka
bukan kedatangan orang Belanda yang dimaksud melainkan orang Portugis,padahal
pada isi narasi itu, tidak ada satu kata Portugis pun yang tertulis, meskipun
pada subjudul itu dalam tanda kurung tertulis Bangsa Portugis.
Subjudul itu juga benar, karena
isi dari narasi subjudul itu semuanya tentang kisah orang Belanda yang datang
dan bertemu dengan Kapitan Riang (salah satu leluhur) yang berujung pada
pembelian tempat hunian Kapitan Riang.
Jika kita tidak dibekali dengan
pemahaman yang baik tentang kronologis sejarah resmi, maka kita terjebak dengan
narasi yang “kacau” ini. Kita akan menganggap dan percaya bahwa orang Belanda
datang itu pada tahun 1533.
Implikasi dari catatan kritis ini
akan berhubungan dengan dugaan penentuan waktu atau periode kedatangan para
leluhur ke pulau Saparua.
Untuk memahami kronologisnya,
maka kita perlu mengetahui latar belakang sejarah tentang kedatangan bangsa
Eropa, terkhususnya Portugis ke “nusantara”.
Setelah Malaka ditaklukkan oleh
Alfonso de Albuquerque pada tanggal 1 Juli 151112, Ia kemudian.
Beberapa bulan kemudian, 3 Armada dikirim ke wilayah Banda. 2 Armada (kapal)
kembali ke Malaka dalam bulan November 1512 tanpa mencapai Ternate13.
1 Armada yang dikomandani oleh Fransisco Serao terdampar di pulau Nusa Penyu.
Sumber Portugis menyebut pulau ini sebagai baixos de Lucupino/
Lucepinho14. Di tempat ini, armada ini dibajak dan dibawa ke
Nusa Telo dan akhirnya di bawa ke Hitu15. Kedatangan “orang asing”
ini terdengar oleh Sultan Ternate, Sultan Bayanullah (1500-1522), segera
mengirimkan juanga (perahu tempur) untuk menjemput dan membawanya ke Ternate16.
Sumber Portugis menyebut nama Sultan ini sebagai Abu Lais atau Boleif17.
Dimulai dari periode ini, hingga
20an tahun selanjutnya, bangsa Portugis lebih banyak “berdiam” di wilayah Utara
(Maluku Utara sekarang). Beberapa tahun setelah tahun 1512 itu
(terdamparnya Fransisco Serao), orang Portugis menjadikan Hitu sebagai tempat
pengisian air dan tempat menunggu musim yang baik untuk kembali ke Malaka18. Awalnya
hubungan Portugis dengan Hitu berjalan baik, dan awal tahun 1520, mereka
membangun sebuah “benteng” kecil disitu. Beberapa tahun kemudian mereka
“bergerak” masuk menuju “kota” Ambon, dan menempati wilayah yang bernama
Hukunalo (sekarang bernama Rumah Tiga)19. Melalui eskalasi “politik”
yang didalamnya melibatkan unsur-unsur seperti Patasiwa – Patalima
dan konflik dengan kekuataan Islam Ambon, Portugis secara perlahan-lahan mulai
menanamkan kukunya di dalam kota Ambon. Pada periode ini, para misionaris Katholik
Portugis mulai berdatangan ke pulau Ambon dan melakukan tugas agama,
meskipun frekuensinya jarang, namun mereka telah memiliki “markas besarnya” di
kota Ambon.
Pada 14 Februari 154620,
sang Misionaris terkenal Fransiscus Xaverius tiba di Ambon. Ia bekerja di Ambon
dalam periode Februari-Juni 154621.
Sejak itulah, selalu dikirim para misionaris dari kaum
Jesuits. Menurut sebuah sumber, dalam rentang periode 1546-1577 telah dilakukan
pengiriman para Misionaris sebanyak 36 kali 22.
Pekerjaan menyebarkan injil yang
dilakukan oleh para misionaris ini, hambatan, deskripsi wilayah-wilayah baru
tempat mereka bekerja dan hasil pekerjaan mereka, disampaikan lewat surat
kepada markas besar mereka di Goa India.
Seperti yang disebut diatas,
Fransiscus Xaverius bekerja di wilayah Ambon dan sekitarnya pada periode
Februari-Juni 1546, serta periode Januari-April 154723. Pada periode
pertama ini, ia berkunjung ke beberapa negeri di Pulau Ambon, begitu juga di
Seram (Negeri Tamilou24), di Pulau Nusalaut dan Pulau Saparua. Di
Pulau Saparua, ia disebut berkunjung ke negeri Ullath25.
Jadi dari latar belakang
kesejarahan ini, kita bisa “menyetujui” apa yang ditulis pada dokumen narasi
sejarah Pisarana itu, meskipun pada sumber-sumber Portugis tidak menyebutkan
secara eksplisit tahun mereka datang ke pulau/negeri Saparua. Jika orang Portugis
yang dimaksud dalam dokumen sejarah Pisarana adalah para misionaris, maka tahun
1533 itu “keliru” karena yang tepat adalah tahun 1546, meskipun Xaverius tidak
berkunjung/datang ke negeri Saparua, tetapi lebih tepatnya ke negeri Ullath.
Penulis bisa “menerima” tahun 1533 itu, dengan mempertimbangkan bahwa pada periode “1512-1546”, mungkin saja ada orang-orang Portugis yang datang ke pulau Saparua, meski sekali lagi informasi itu tidak disebutkan dalam sumber-sumber Portugis secara eksplisit.
b. Periode kedatangan Orang Belanda
Persentuhan orang Belanda dengan
orang-orang Lease, terkhususnya Pulau Saparua bermula setelah takluknya benteng
Portugis di kota Ambon pada tanggal 23 Februari 160526. Kontak
pertama dengan para penguasa Pulau Saparua yang langsung ditandai dengan suatu
hubungan kontrak dimulai pada tanggal 16 Mei 161727. Dari Saparua,
“wakili” oleh penguasa dari Iha-Mau (Iha Islam dan Mau atau Mahu yang beragama
Kristen) serta Soresorij (Siri Sori)28. Pada kontak di tanggal ini
hadir juga penguasa dari Seram yaitu dari dari Pantai Selatan Seram, antara
lain Cameryen (Kamarian), Chijcolaly (Tihulale), Loemekay (Rumakay), Latoo
(Latu), Hooloy (Hualoi), Macrica (Makariki), Amahee (Amahai) dan Saoucou
(Souhuku)29
Kontrak pertama ini kemudian
dilanjutkan atau diperbaharui lagi pada tanggal 7 Juni 162130. Kali
ini semua penguasa (orang kaija, patih, radja) pulau Saparua31 hadir
dan menandatangani kontrak ini.
Para Penguasa Pulau Saparua yang
melakukan kontrak dengan orang Belanda (VOC) dan menandatangani kontrak itu
dilakukan di benteng Victoria, benteng Portugis yang telah ditaklukkan pada 23
Februari 1605 itu. Jadi bukan orang Belanda (VOC) yang datang, tetapi para
penguasalah yang berkunjung ke benteng Victoria.
Haruslah secara jujur dikatakan
bahwa sumber-sumber VOC awal ini tidak menyebutkan tentang nama negeri Saparua
yang kita pahami sekarang secara eksplisit. Sejak tahun 1605-1670, tidak ada
sumber-sumber VOC yang menulis nama negeri Saparua, hingga barulah pada tahun
167132, negeri Saparua disebutkan/ditulis secara eksplisit pada
dokumen, itupun pada dokumen-dokumen gereja yaitu laporan kunjungan DS Jacobus
Montanus tertanggal 11 September 1671.
Jadi kita tidak tahu dengan
pasti/persis kapan orang Belanda (VOC) bersentuhan pertama kali dengan
orang-orang negeri Saparua.
Pada narasi sejarah Pisarana itu
ditulis bahwa mereka (orang Belanda) datang dan bertemu dengan Kapitan Riang di
atas batu (tempat hunian Kapitan Riang) dan berakhir pada proses jual beli
tempat hunian itu.
Hingga sekarang, dengan jujur
penulis mengakui bahwa penulis belum menemukan arsip-arsip VOC yang
menceritakan hal ini.
Namun, ada sumber lain yang isinya menyinggung hal ini, yaitu sumber dari W.J.M. van Schmid, seorang Asisten Residen Saparua (1840-1842).
Pada sumber itu, van Schmid menulis demikian33 :
Toen ter tijd bestond er nog geen
fort te Saparoea, maar wel te Siwij Sowj, hetwelk echter door den Admiraal
Arnoldus de Vlaming werd afgebroken, omdat aldaar gene geode ankerplaats voor
de schepen der Compagnie was. Hij beproefde een nieuw fort te Paperoe te
bouwen, doch aldaar werd op de eene plaats geen en op de andere brak of zout
water aan getroffen.
Gemelde Admiraal verzocht daarna
Rian Santuwa Titaley om aan hem den grond aftestaan, hetwelk hij deed, en
waarvoor hij ten geschenke kreeg 9 stukken wit linen, 9 stukken rood linen, 9
vaten rijst en 9 schotels
Terjemahan “bebas” dari tulisan van Schmid itu adalah :
Admiraal Arnoldus de Vlaming
ingin membangun benteng baru di Saparua yang akan menggantikan benteng di Siri
Sori (benteng Hollandia), sebagai tempat berlabuh armada VOC. Ia telah
menemukan sebuah lokasi yaitu di negeri Paperu, namun disitu tidak ada sumber
air yang dibutuhkan (untuk memenuhi kebutuhan akan sebuah benteng). Ia kemudian
bertemu dengan Rian Santuwa Titaley dan (melakukan pembicaraan) serta
mengajukan rencana pembelian lokasi itu yang harganya di “konversi” dalam
bentuk barang yaitu 9 potong kain putih, 9 potong kain merah, 9 (barel) beras
dan 9 buah piring.
Jika kita membaca narasi ini
dengan sekilas, kita akan dengan gampang menyebut bahwa periode Arnold de
Vlaming van Oudshoorn “seusia” dengan Rian Santuwa Titaley, yang juga berarti
“seusia” dengan saudara-saudaranya juga (seperti tertulis secara
eksplisit pada dokumen sejarah Pisarana).
Admiraal Arnold de Vlaming yang
dimaksud pada sumber van Schmid adalah Arnold de Vlaming van
Oudshoorn, seorang Gubernur VOC Ambon yang berkuasa 2 kali, yaitu 4 September
1647-21 Agustus 165034 dan 29 Februari 1654-23 Mei
165635.
Hal ini berarti bisa dikatakan
bahwa peristiwa bertemunya Arnold de Vlaming van Oudshoorn dengan Rian Santuwa
Titaley itu, terjadi mungkin diantara 2 periode ini.
Kesimpulan ini sangat benar, jika
kita hanya membaca narasi ini saja, namun pada sisi lain akan menimbulkan
implikasi “gawat” terhadap periode hidup Rian Santuwa Titaley, Adjelis Simatauw
serta saudara-saudara yang lain serta permasalahan pada periode kedatangan para
leluhur di Pulau Saparua.
Maka dengan gampang, kita bisa
menyebut bahwa para leluhur datang ke pulau Saparua pada tahun 1600, dengan
asumsi para leluhur telah berada selama 40-50an tahun sebelum peristiwa diatas.
Jika begini, bagaimana dengan
tahun 1533 itu? Bagaimana lagi dengan tahun 1436 yang dianggap sebagai tahun
kedatangan para leluhur?
Dari tahun 1533 hingga
1640-1650an itu berjarak 100 tahun lebih, apakah mungkin Rian Santuwa berusia
100 tahun lebih? Begitu juga dengan tahun 1436, yang berarti berjarak 200
tahun lebih hingga peristiwa itu. Apakah mungkin Rian Santuwa berusia 200 tahun
lebih?
Ini sesuatu yang tidak logis dan sulit diterima.
Maka “sebaiknya” narasi sejarah
Pisarana dan sumber van Schmid dibaca dengan perspektif lain. Tidak dibaca
dengan “ketat” berdasarkan kronologis resmi, namun haruslah dibaca/dianggap
bahwa narasi itu adalah tulisan ulang atas cerita yang sebenarnya telah lama
“hidup” dalam masyarakat negeri Saparua.
Itu lebih kepada tradisi
oral/lisan yang tentunya “terbatas” dari historiografi. Hal ini bisa diterima
dan dipahami bahwa orang yang bercerita seringkali melakukan kesalahan
identifikasi dan sering “menghubungkan” sebuah peristiwa dengan figur sejarah
yang keliru periode hidupnya.
--- bersambung ---
Catatan Kaki:
1. Seta
Basry dalam sebuah blog, di akses pertama kali pada tanggal 03
Mei 2015 dan kedua kali pada tanggal ……
2. https://id.wikipedia.org/wiki/Ejaan_Van_Ophuijsen
§ Ridiawan,
Arif. Makalah Bahasa Indonesia Perkembangan Ejaan Bahasa
Indonesia Mulai Ejaan Ophusyen Hingga Eyd, INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI SULTAN THAHA SAIFUDIN, JAMBI, 2012 (dimuat
pada https://ridiawan.blogspot.com/2012/02/perkembangan-ejaan-bahasa-indonesia.html
§ http://catatanpringadi.com/sejarah-ejaan-bahasa-indonesia/
3. https://id.wikipedia.org/wiki/Ejaan_Republik
§ Ridiawan,
Arif. Makalah Bahasa Indonesia Perkembangan Ejaan Bahasa
Indonesia Mulai Ejaan Ophusyen Hingga Eyd, INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI SULTAN THAHA SAIFUDIN, JAMBI, 2012 (dimuat
pada https://ridiawan.blogspot.com/2012/02/perkembangan-ejaan-bahasa-indonesia.html
§ http://catatanpringadi.com/sejarah-ejaan-bahasa-indonesia/
4. Marlissa,
Buang (Josef). Tjeritera/Sedjarah Pisarana Hatusiri Amalatu, hal 1, Ambon, Juli
1972 (arsip pribadi)
5. Familieberichten
(dimuat pada Mandblaad de Nederlands Leeuw 2 jaargang, 1884, no 7 Hal 59)
Ø Haags Gemeentearchief, BS Overlijden Burgerlijke
Stand Overlijden 1884, 's-Gravenhage, aktenummer 1171
6. Fraasen,
Chr. Fr, Bronen Betreffende Midden Molukken 1796 – 1902, Register
Naam Schmid, Willem Jan Maurits van
7. Almanak
van Nederlands Indie voor het jaar 1841, Batavia, 1841, hal 54
Ø Almanak van
Nederlands Indie voor het jaar 1842, Batavia, 1842, hal 54
8. Tijdschrift
voor Nederlands Indie vijfde jaargang, Landsdrukerij Batavia,1843 (hal 491-530
dan 583-622)
9. Bastian,
Adolf. Indonesien oder Die Inseln Des Malayischen Archipel, bag I Lieferung :
Die Molukken, Harrwitz und Gossman, Berlin, 1884, hal 155
10. Catatan
Kaki no 1
11. Catatan
kaki no 2
12. Lobato,
Manuel, A Man in the Shadow of Magellan : Fransisco Serao, the first European
in the Maluku Island (1511-1521), Revista de Cultura / Review of Culture,
International Edition, série 111, 39, 2011, pp. 104
§ Guedes, Pedro,
Becoming Other, 2nd SEAARC Symposium, National University of Singapore,
5-7 January,
2017, preprint
13. Lobato,
Manuel, A Man in the Shadow of Magellan : Fransisco Serao, the first European
in the Maluku Island (1511-1521), Revista de Cultura / Review of Culture,
International Edition, série 111, 39, 2011, pp. 105
14. Idem
(hal 105-106)
15. Idem
(hal 106)
16. Amal,
M. Adnan, Kepulauan Rempah-rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950,
Hal 7
17. Idem
(hal 40)
18. Heuken,
Adolph, Catholic converts in the Mollucas, Minahasa and Sangihe Talaud,
1512-1680 (dimuat dalam buku : A History Christianity in Indonesia, dieditori
oleh Jan.S.Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill, Leiden Boston, 2008, hal 33)
19. Argensola,
Bartholemew Leonardo, The Discovery and Conquest of The Molucco and Philipine
Island, hal 30 –
20. Hubert
Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 1 (1542-1577 ), Institutum Historicum
Societatis Iesu, Roma, 1974, chapter IV, hal 15
§ Heuken, Adolph, Catholic
converts in the Mollucas, Minahasa and Sangihe Talaud, 1512-1680 (dimuat dalam
buku : A History Christianity in Indonesia, dieditori oleh Jan.S.Aritonang dan
Karel Steenbrink, Brill, Leiden Boston, 2008, hal 34)
21. Heuken,
Adolph, Catholic converts in the Mollucas, Minahasa and Sangihe Talaud,
1512-1680 (dimuat dalam buku : A History Christianity in Indonesia, dieditori
oleh Jan.S.Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill, Leiden Boston, 2008, hal 36)
22. Hubert
Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 1 (1542-1577 ), Institutum Historicum
Societatis Iesu, Roma, 1974, chapter IV, hal 18
23. Hubert
Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 1 (1542-1577 ), Institutum Historicum
Societatis Iesu, Roma, 1974, chapter IV, hal 19
24. Heuken,
Adolph, Catholic converts in the Mollucas, Minahasa and Sangihe Talaud,
1512-1680 (dimuat dalam buku : A History Christianity in Indonesia, dieditori
oleh Jan.S.Aritonang dan Karel Steenbrink, Brill, Leiden Boston, 2008, hal 37)
25. Tiele,
Pieter Antonie, De Europeers in den Malaischen Archipel, deerde deel (1541 –
1555), 1880, hal 329
§ Visser, B.J.J.
Onder Portugeesch-Spaansche vlag : de Katholieke missie van Indonesie
(1511-1605),Amsterdam, 1925, hal 45-47
§ Wessels, C. De
Geschiedenis der RK Missie in Amboina (1546 – 1605), Nijmegen Utrecht, 1926,
hal 14 - 15
26. J.
Keuning, ‘Ambonese, Portuguese and Dutchmen: the history of Ambon to the end of
the seventeenth century,’ in Meilink-Roelofsz,
Opstall, and Schutte (eds.), Dutch authors on
Asian history(Leiden: KITLV, 1988), 368.
§ De scheepstogt onder
bevel van den Admiraal Stevenvan der Hagen. December, 1603. (dimuat oleh
J.K.J. de Jonge dalam De Opkomst van Het Nederlands Gezag In Oost-Indie (1595 –
1610), vol 3, S’Gravenhage, Martinus Nijhoff, Amsterdam, Fredrik Muller,
1865, Hal 36)
§ Uittreksels uit нет
dagboek gehouden door Hendrik Jansz.Craen, aan boord van неt schip gelderland,
gezeildop den 18 december 1603 шt texel, in ebne vlootvan 12 schepen, onder
bevel van den Admiraal Steven van der Hagen en den viceadmiraal Cornelis
Bastiaensz. (dimuat oleh J.K.J. de Jonge dalam De Opkomst van Het
Nederlands Gezag In Oost-Indie (15951610), vol 3, S’Gravenhage, Martinus
Nijhoff, Amsterdam, Fredrik Muller, 1865, Hal 185-186)
27. Corpus
Diplomaticum Neerlando - Indicum versameling van politieke contracten en
verdere verdragen door de Nederlanders in het oosten gesloten, van
privilegebrieven aan hen veerlend, enz (1596-1650) (vol 1), Mr. J.E.
Heeres, s’Gravenhage Martinus Nijhof, 1907. Kontak awal ini dimuat pada bagian
LV , hal 130-132
28. Idem
29. Idem
30. J.E.
Heeres ,Corpus Diplomaticum Neerlando - Indicum versameling van politieke
contracten en verdere verdragen door de Nederlanders in het oosten gesloten,
van privilegebrieven aan hen veerlend, enz (1596-1650) (vol
1), s’Gravenhage Martinus Nijhof, 1907. Kontak awal ini dimuat pada bagian
LXXI, hal 170 - 172
31. Idem
(Pada catatan kaki, J.E. Heeres
menjelaskan tentang para penguasa pulau saparua yang hadir, ia mengutip
deskripsi Valentijn. Valentijin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan para
princapalien (penguasa), yang hadir adalah dari Radjas van Oelath (4 negeri),
van Toehaha, van Paperoe, hoofden van Haria, van Tiow, van Boi, van Sirisori,
van Ihamahoe (Iha dan Maoe, 8 negeri). Maksud dalam kurung adalah jumlah
negeri-negeri (petuanan) yang masuk dalam “yuridiksi” wilayah kekuasaan Negeri
itu dimasa itu).
Catatan tambahan :
Penulis belum menemukan data,
sumber maupun referensi untuk menjelaskan daerah2 yang dimaksud oleh Valentyn
yang masuk dalam kekuasaan negeri Ullath, sedangkan untuk Iha-Mahoe, 8 “negeri”
yang dimaksud adalah Iha, Matalete, Hatala, Mahu, Hatulesi, Soulima, Pia/Hukom,
Ohoe (Koelor) atau menurut Arnold de Vlaming van Oudshoorn : Iha, Mahu,
Nolloth, Kulor, Pia, Sirisori, Matalete dan Hatala.
Lihat sumber :
v https://magdapattiiha.com/2015/05/05/ihamahu-een-kleine-geschiedenis/
v Valentyn, Francois.
Oud en Nieuw Oost Indie (twede deel) Beschyving van Amboina Vervattende.......,
Joannes van Braam, Dordrecht, 1724, bag 1 (hal 86)
v Memorie van Overgave
Arnold de Vlaming van Oudshoorn tanggal 24 Mei 1656 (dimuat oleh Gerrit. J.
Knaap dalam Memorien van Overgave van Gouverneurs van Ambon in den
zeventiende en achtiende eeuw, S’Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1987, Hal 198)
32. Rapport
betreffende een visitatie van kerken en scholen op Ceram, Haruku, Saparua en
Nusa laut door ds. Jacobus Montanus. Ambon, 11 September 1671 NA, VOC 1286 I,
fol. 525-533. Afschrift (in Niemeijer, Hendrik.E, End, Th van den,
Schutte, G.J. Bronnen Betreffende Kerk en School in de gouvernementen Ambon,
Ternate en Banda ten tijde van de VOC (1605-1791), Eerste deel eerste band,
HUYGENS ING (KNAW), Den Haag, 2015, hal 349-356)
33. Tijdschrift
voor Nederlands Indie vijfde jaargang, Landsdrukerij Batavia,1843 (hal 619-620)
34. Rumphuijs,
Georgius Everhardus, De Ambonsche Historie behelsende een kort verhaal Der
Gedenkwaardigste Geschiedenissen zo in Vreede als oorlog voorgevallen sedert
dat de Nederlandsche Oost Indische Comp: Het Besit in Amboina Gehadt Heeft.
"s-Gravenhage, Martinus Nijhoff (eerste deel), caput 26, hal 262
§ Valentyn, Francois.
Oud en Nieuw Oost Indie (twede deel) Beschyving van Amboina Vervattende.......,
Joannes van Braam, Dordrecht, 1724
§ Doren, van J.B.J. De
Moluksche Laandvoogden van het jaar 1605 tot 1818, J.D.Sybrandi, Amsterdam,
1808 (hal 84-85)
§ Ludeking,
E.A.W. Lijst van Gouverneurs van Ambon, Tijdschrift voor Indische
Taal-, Land- en Volkenkunde 14 (1864), pp. 528
§ Niemeijer,
Hendrik.E, End, Th van den, Schutte, G.J. Bronnen Betreffende Kerk en School in
de gouvernementen Ambon, Ternate en Banda ten tijde van de VOC (1605-1791),
Eerste deel (bijlagen halaman 30) HUYGENS ING (KNAW), Den Haag, 2015
35. Valentyn,
Francois. Oud en Nieuw Oost Indie (twede deel) Beschyving van Amboina
Vervattende......., Joannes van Braam, Dordrecht, 1724
§ Doren, van J.B.J. De
Moluksche Laandvoogden van het jaar 1605 tot 1818, J.D.Sybrandi, Amsterdam,
1808 (hal 84-85)
§ Ludeking,
E.A.W. Lijst van Gouverneurs van Ambon, Tijdschrift voor Indische
Taal-, Land- en Volkenkunde 14 (1864), pp. 529-530
§ Niemeijer,
Hendrik.E, End, Th van den, Schutte, G.J. Bronnen Betreffende Kerk en School in
de gouvernementen Ambon, Ternate en Banda ten tijde van de VOC (1605-1791),
Eerste deel (bijlagen halaman 30) HUYGENS ING (KNAW), Den Haag, 2015
§ Knaap, Gerrit.J.
Memorie van Overgave van Gouverneur van Ambon in de zeventiende en achtiende
eeuw, ‘S Gravanhage, Martinus Nijhoff, 1987 (hal XVI-XVII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar