VINCENT C. LOTH
[University of Nijmegen, Belanda]
V.
Semua ini menggambarkan akhir nyata pengaruh Inggris di Banda. Pada titik ini, sejarahwan biasanya menyelesaikan deskripsi mereka tentang kehadiran Inggris, dan mengabaikan keterlibatan mereka selanjutnya dalam perdagangan pala dan bunga pala. Memang benar, tahun 1621 menandai titik balik dalam sejarah Banda, terutama yang berkaitan dengan kehancuran penduduk, tetapi juga ketika kita melihat tentang perdagangan. Hal ini, tentu saja, berlanjut, karena itulah tujuan pertama dan akhir kehadiran Belanda di Banda. Sebagai hasil dari penaklukan, total area produksi pala dan bunga pala, kini menjadi milik VOC, dan monopoli yang telah lama diinginkan terwujud. Seperti yang diharapkan, Belanda area tersebut, dan mencoba untuk menjaga produksi di bawah kendali mereka. Namun, Inggris, tetap menjadi pesaing dalam perdagangan ini. Hal ini disebabkan oleh 2 ciri : penyelundupan pala dan bunga pala di perairan Nusantara, serta perjanjian tahun 1619.
Pentingnya [ciri] yang pertama sulit untuk dinilai. Cara termudah untuk mendapatkan barang-barang monopoli di belakang “punggung” Belanda adalah melalui Makasar. Dianggap oleh Belanda sebagai benteng utama penentang kebijakan perdagangan mereka di perairan Maluku dan Indonesia Timur, Makasar adalah pasar terbesar di luar pengaruh Belanda. Di sini, para pedagang Indonesia, Portugis, Denmark dan Inggris mencoba membeli barang-barang yang ditolak Belanda, terutama cengkih, pala, dan bunga pala yang dimonopoli. Rempah-rempah yang dipanen dan diselundupkan secara diam-diam ini, diperoleh melalui perdagangan “ilegal” dengan penduduk pribumi Maluku, atau melalui pejabat VOC yang korup, kebanyakan dalam perjalanan ke Batavia dengan kapal Belanda68, yang pasti termasuk penyuapan besar-besaran. Tetapi jumlah rempah-rempah yang muncul di pasar Makasar, tidak lebih dari “tetesan” dibandingkan dengan volume yang sampai di Batavia melalui jalur legal, dan hampir tidak terlayani untuk ditempatkan di pasar Eropa dengan harga bersaing. Meskipun demikian, VOC selalu mengkhawatirkan hal itu. Dalam jangka panjang, “kebocoran” ke pasar Makasar itu dianggap memiliki kepentingan strategis, yang merupakan salah satu alasan mengapa VOC memutuskan untuk menaklukannya pada tahun 1660an.
Cara legal yang terbuka bagi Inggris untuk mendapatkan rempah-rempah ini adalah perjanjian yang prioritaskan. Seperti yang kita lihat, Inggris memiliki hak atas 1/3 dari total panen rempah-rempah Maluku. Coen bertekada untuk tetap berpegang pada ini, dan melaksanakan perintah atasannya sesuai dengan kesepakatan itu, tetapi dia memastikan untuk menerapkannya dengan cara yang terbukti hanya kontra-produktif bagi Inggris. Sejak saat dia diberitahu tentang isi perjanjian, Coen merumuskan kebijakan yang sama seperti dalam kasus [kapal] Bull, yang dijelaskan di atas69. Dia bertekad untuk menuntut 1/3 bagian penuh sebagai kontribusi untuk biaya perbentengan, kapal, dan orang-orang yang dia anggap perlu untuk melindungi 2 perusahaan di Asia. Dengan demikian, ia mengaitkan dukungan defensif yang telah diwajibkan Inggris, dengan kontrolnya yang hampir total atas produksi rempah-rempah. Oleh karena itu, Coen dengan cerdik menggunakan argumen yang berdasarkan hukum untuk mendukung keengganannya menyerahkan 1/3 bagian dari total tanaman rempah-rempah. Setiap kali Inggris meminta bagian mereka, Belanda membalas dengan memberi mereka tagihan biaya yang dibuat untuk mempertahankan benteng mereka, dan perairan di sekitar Kepulauan rempah-rempah dan Jawa. Ini terdiri dari setiap gulden yang dihabiskan untuk garnisun, makanan dan pakaian untuk tentara, pelaut dan personil VOC lainnya, dan penyediaan semua yang diperlukan, mulai dari bubuk mesiu hingga kain yang digunakan untuk barter. Belanda bahkan menuntut bagian yang sama dari pajak yang dikenakan di Maluku. Di sisi lain, setiap kali Inggris merogoh sisa uang mereka dan membayar apa yang diminta, atau sebagian darinya, VOC memastikan bahwa bagian yang setara dalam rempah-rempah telah diserahkan.
Jadi tidak pernah bisa dikatakan bahwa Belanda-lah yang tidak memenuhi kesepakatan tersebut. Dengan mengingat hal ini, marilah kita melihat lebih dekat pada beberapa sumber yang relevan, catatan tentang biaya yang dikeluarkan di Maluku, yang dimaksudkan untuk mencairkan 1/3 bagian itu dari Inggris. Sumber itu bertanggal dari tahun 162270, suatu periode cepat setelah penaklukan Lonthor pada tahun 1621, dan dari tahun 162971, ketika eksploitasi Belanda telah dilaksanakan secara penuh.
Yang pertama adalah “ekstraksi” dari semua biaya yang dibuat oleh Belanda selama 12 bulan pada tahun 1621/1622, ditambah dengan catatan tentang semua rempah-rempah yang dikirim, untuk dibagi antara Belanda dan Inggris sesuai dengan perjanjian (lihat tabel 1). Semua jumlah ada dalam gulden, stuiver dan penningen.
Ditambahkan ke subtotal ini adalah biaya penyewaan toko dan gudang selama 12 bulan dengan jumlah 360 gulden, sehingga totalnya menjadi 280, 539’’07’’15.
Dari jumlah ini, Inggris harus membayar 1/3, [sehingga] menjadi 93, 531’’02’’10. Mereka sebenarnya menyumbang 77,045’’04’’09 untuk biaya yang dibuat untuk Neira, dan 16,358’’07’’15 untuk Ay, sehingga berjumlah 93,403’’12’’08. Pada gilirannya mereka menerima 10,818 5/12 cati bunga pala dan 33,237 cati kacang-kacangan72.
Perhitungan ini merupakan bukti yang jelas dari pelaksanaan Belanda pada perjanjian di Asia. Seperti yang kita ketahui, sebagian biaya berasal dari ekspedisi penaklukan kepulauan, operasi murni Belanda, logistik serta penggunaan aparat dan personil militer. Tampaknya Inggris terbukti benar dalam kecurigaan mereka terhadap kontribusi pada operasi militer yang pertama dan terutama [bahwa] Belanda yang mendapat keuntungan.
Perahu dan tinggan memperbesar perhitungan “ekstra” selama periode ini; inilah yang mungkin alasan objek-objek itu dipesan secara terpisah. Orang Inggris menganggap agak sinis terhadap Belanda untuk meminta pertanggungjawaban mereka, dan juga bertanggung jawab atas biaya penaklukan kepulauan itu. Bagaimana pun, pemimpin “gudang” Inggris, Richard Welding (Welden) menolak untuk membayar 1/3 bagian dari biaya kapal-kapal ini, sambil mengeluhkan [bahwa] sisa perhitungan tidak dibuat dengan benar73. Terdapat keluhan terhadap 36 pasal yang menyatakan (diantara hal-hal lain) ketidaktransparanan penghitngan, serta penolakan mereka untuk membayar kapal74. Laporan [perhitungan] yang kami amati – yang tertanggal setidaknya pada Februari 1622 – tidak memperbaiki banyak hal [yaitu] : tidak menjelaskan asal usul total biaya, juga tidak meyakinkan Inggris mereka akan berkontribusi untuk pembayaran kapal. Mereka [Inggris] benar, tentu saja, dalam keberatan bahwa laporan itu tidak memberikan banyak pemahaman. Mereka menyatakan bahwa itu bisa dibuat atas dasar perkiraan kasar. Mereka bahkan mungkin curiga, Belanda telah menaikan biaya ke tingkat yang terlalu tinggi, meskipun mereka tidak sampai hati untuk “memperdebatkannya”. Memang, tidak ada cara untuk mengontrol buku-buku yang menjadi dasar penyusunan total; dimana untuk ini, proses itu berada di bawah kekuasaan Belanda.
Protes mereka tidak berpengaruh apa-apa. Kami [penulis] tidak memiliki [catatan] reaksi yang sebenarnya terhadap 36 pasal itu, tetapi ada draft pertama dari jawaban untuk Inggris, yang menunjukan pandangan Coen tentang masalah ini75. Belanda cenderung melakukan semua aritmatika (atau perhitungan) lagi, mengakuinya – meskipun tidak harfiah – bahwa dapat dibayangkan beberapa ketidakakuratan telah “menyelinap” ke dalam laporan. Tetapi mengenai prinsip kontribusi, menyerah tidak menyerah sedikit pun; mereka dengan tegas menyatakan bahwa di bawah perjanjian itu, Inggris harus membayar bagian mereka dari setiap gulden, stuiver dan penning yang dibelanjakan. Maka Inggris menuruti, atau setidaknya membayar hampir jumlah total76, bahkan ketika mereka (Inggris) harus meminjam uang untuk kepentingan dari para perkeniers (pengelola perkebunan)77, akibatnya, Belanda dengan tepat melengkapi bagian setara mereka dalam [bentuk] hasil pala dan bunga pala.
Begitulah situasi Inggris pada tahun-tahun pertama perjanjian, pada masa-masa awal pendudukan Belanda di Banda. Melihat sumber kedua, kami melihat bahwa itu mencakup urutan bulan yang sama, kali ini dari awal Maret 1627 hingga akhir Februari tahun berikutnya (atau 1628). Subtotal untuk Neira dan Lonthor berjumlah 183,081’’14”06, dan untuk Ay dan Run berjumlah 54,460”07”00. Selain itu sejumlah 6,435”11”10 ditambahkan untuk [biaya] makanan dan sandang dari 540 tahanan di Ay dan Run selama periode 18 Agustus 1627 hingga akhir Februari (1628). Secara keseluruhan, total biaya untuk Banda berjumlah 243,977”16”10, dimana Inggris harus membayar 81,325,”16”10.
Ketika kita membandingkan hal ini dengan data dari tahun 1621/1622, kita melihat bahwa uang yang dihabiskan untuk Neira dan Lonthor pada tahun 1627/1628, secara substansial kurang dari 6 tahun sebelumnya yaitu : 183,081 berbanding 231,968 untuk tahun 1622, selisih sekitar 49,000 gulden atau kira-kira 21%. Untuk Ay, perbandingannya sedikit sulit, karena angka untuk tahun 1627 termasuk biaya untuk Run, sehingga subtotal dari 54,460 untuk Ay dan Run dibandingkan dengan 48, 265 pada tahun 1622 untuk Ay saja. Karena angka Neira dan Lonthor pada tahun 1628 secara substansial lebih kecil daripada tahun 1622, kita bisa menduga bahwa biaya eksploitasi [pulau] Ay turun menjadi sekitar persentase yang sama, yang secara teoritis dapat berarti sisanya dihabiskan untuk eksploitasi [pulau] Run. Dengan demikian, menurut pendapat saya, subtotal dari 54,460 pada tahun 1627 untuk Ay dan Run, tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan 48, 265 yang dihabiskan untuk Ay saja pada tahun 1621. Tetapi sekali lagi, angka tahun 1621 mungkin tidak sebanding, karena termasuk biaya yang timbul dari penaklukan, hampir tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai biaya dasar eksploitasi. Namun, ketika kita mengaitkan total Banda pada tahun 1627 dengan bagian lain di Maluku selama periode waktu yang sama, kita melihat bahwa Banda, meskipun kecil, bahkan pada saat itu merugikan VOC lebih dari misalnya, Amboyna, wilayah utama produksi cengkih : 230, 571”13”04 pada tahun 1628.
Lukisan Gunung Api Banda oleh Louis le Breton (1846) |
Sumber ini memberi kita lebih banyak informasi tentang pengeluaran orang Belanda daripada yang pertama. Ditambahkan adalah rekening biaya pembayaran dan makanan untuk personil VOC yang dikirim ke Maluku, [saat] di atas kapal dan tinggal di kepulauan. Tanpa menjelaskan secara rinci, jelas bahwa selama periode ini, 70 tentara dan pelaut dikirim ke Banda untuk mendirikan garnisun, masing-masing dari mereka dibukukan dengan gaji 25 gulden; semuanya berjumlah 21, 000 gulden dalam pembukuan. Bagi sekitar 30 orang lainnya, yang kontraknya telah habis dan yang dipulangkan kembali ke Batavia dan selanjutnya ke Eropa, gaji dan asrama mencapai 9,000 gulden.
Nilai rempah-rempah yang berasal dari Banda pada periode tersebut adalah 81,269”06”08. Inggris berhak atas bagian mereka yaitu 8.007 cati bunga pala dan 24, 202 5/6 cati pala, masing-masing bernilai 20, 418 “01”01 dan 6,71”14”07 , dengan nilai total 27, 089”15”08.
Jika kita mengingat 1/3 bagian dari total biaya yang harus dibayarkan kepada Inggris yaitu 81,325”16”14, dan ditambah 1/3 dari biaya pembelian pala dan bunga pala, dinyatakan sebagai 27,089”15”08 (untuk perkeniers harus dibayar juga), bersama dengan biaya personel, dan jumlah yang cukup besar yang ditambahkan untuk pertahanan angkatan laut Maluku, mudah untuk melihat bahwa segala sesuatu yang diperhitungkan oleh Inggris memiliki tawaran yang sangat buruk. Tentu saja, di Eropa khususnya bunga pala nilainya jauh lebih tinggi78. Tetapi pasar Eropa dengan kuat berada di tangan Belanda, dan harus ditunggu apakah keuntungan yang banyak, yang kelihatannya menjanjikan, akan benar-benar terwujud. Tetapi bahkan jika EIC siap untuk mengambil resiko komersial seperti itu, atau jika mereka memutuskan untuk menukar rempah-rempah ini di Asia untuk memperoleh komoditas lain yang lebih dapat dipasarkan di Eropa, mereka masih harus membayar jumlah yang sangat besar sebelum mereka bisa memperoleh barang dagangan itu. Dan tentu saja, terlepas dari semua pertimbangan lainnya, ada masalah utama : aliran uang tunai EIC di Asia jauh dari cukup untuk membiayai transaksi semacam itu; dengan kata lain, mereka kekurangan uang79.
Ketidaksesuaian dari seluruh kesepakatan menjadi jelas ketika kita melihat total untuk rempah-rempah Maluku secara keseluruhan : Inggris harus membayar 308,772”11”13 (!), untuk mendapatkan pala dan bunga pala dari Banda, serta cengkih dari Amboyna dan pulau-pulau Maluku lainnya dengan nilai sekitar 45, 07380. Rempah-rempah yang bagus dan berharga, tentunya dapat dipasarkan dengan harga yang bagus, bahkan di Eropa. Tetapi EIC tidak dapat mengumpulkan 308,772 gulden untuk memenuhi kewajiban kontrak mereka. Dan kita harus ingat, bahwa ini hanya jumlah yang diperlukan untuk membiayai periode 12 bulan; untuk menjamin aliran rempah-rempah yang dapat dipasarkan secara terus menerus, [maka] lebih banyak uang yang harus diproduksi.
Lukisan kepulauan Banda oleh Lucas Tettoni (abad 19) |
Selama bertahun-tahun, seandainya Inggris tidak membayar, Belanda hanya menahan rempah-rempah, atau menyediakan tidak lebih dari yang layak mereka dapatkan. Bertahun-tahun Inggris mencoba membayar sebagian dari jumlah itu, untuk mendapatkan setidaknya beberapa rempah-rempah. Namun apa yang mereka dapatkan tidak seberapa dibandingkan dengan apa yang dibawa pulang oleh Belanda. Akibatnya, cengkeraman Belanda yang sudah kuat di pasar rempah-rempah Eropa menjadi stabil.
Apa yang bisa dikatakan tentang kejujuran laporan Belanda ini? Melihat besarnya jumlah uang yang terlibat, kita akan cenderung menganggap bahwa eksploitasi kepulauan rempah-rempah sama sekali tidak menguntungkan. Tapi seperti yang kita lihat, Belanda bisa menentukan harga rempah-rempah, meski elastisitasnya terbatas. Dengan demikian, VOC, tidak seperti EIC, dapat secara otomatis mengantisipasi keuntungan untuk biaya investasi yang tinggi.
Namun, ada pertanyaan tentang realitas antisipasi ini, dan keseimbangan antara keuntungan dan biaya eksploitasi. Selama bertahun-tahun, sejarahwan ekonomi mencoba mengurai tentang pendapatan dan pengeluaran VOC, untuk melihat lebih baik keadaan sebenarnya dari aktivitas perdagangan Hindia Timur. Dengan kata lain, apakah perdagangan VOC di Hindia Timur menguntungkan seperti yang diperkirakan para pejabat, atau untuk semua orang atas hal tersebut? Ini adalah pertanyaan yang sulit dijawab, karena baru saat ini kita mengetahui sedikit lebih banyak tentang akuntansi perseroan (perusahaan)81. Tampaknya ini tidaklah semodern organisasi itu sendiri. Di satu sisi, wawasan kita tentang ukuran pendapatan dan laba tidak terlalu buruk, dan memang, hal itu besar, bahkan terkadang sangat besar, terutama di Belanda. Tetapi dari biaya sebenarnya yang kita ketahui, jauh lebih sedikit. Biasanya, VOC tidak menyimpan catatan rinci tentang semua biaya. Khususnya biaya infrastruktur yang signifikan, seperti untuk perlindungan angkatan laut dan militer, hampir tidak terpisah masuk dalam neraca. Oleh karena itu, masih menjadi misteri apakah pos perdagangan individu, gudang atau koloni seperti Banda, menghasilkan keuntungan, atau merugi selama bertahun-tahun. Faktanya, VOC sendiri pada saat itu tidak memiliki wawasan yang rinci tentang hal ini, dan tampaknya juga tidak tertarik.
Perhitungan dan analisis modern82 telah menghasilkan setidaknya keraguan yang masuk akal, apakah bisnis VOC, lokal atau umum, selalu menguntungkan. Justru entri-entri yang hilang dalam rekening perusahaan, dalam pembukuan modern akan mengandung jumlah yang sangat besar, jumlah yang terkadang muncul dalam korespondensi reguler Heeren XVII dan Pemerintah Agung di Asia. Dalam hal ini, semakin dapat dimengerti bahwa para direktur dan pejabat tinggi di Batavia selalu menekankan pada prinsip ekonomi dan penghematan, karena tampaknya dalam setiap tahapan dari sejarah keuntungan perusahaan yang terus menerus, dan secara struktural berkurang dengan biaya eksploitasi yang semakin tinggi; dan lebih penting lagi dalam dalam kasus “koloni penuh” seperti Banda.
Secara keseluruhan, tidak ada alasan serius untuk meragukan angka-angkah tinggi yang dikutip oleh Belanda untuk mendapatkan uang mereka kembali dari Inggris. Tidak ada bukti nyata bahwa angka-angka itu telah “dimanipulasi”, meskipun ada banyak contoh sikap negatif terhadap Inggris, dan kesiapan untuk mengembalikan keadaan kepada mereka, jika memungkinkan83. Tetapi apa yang diungkapkan oleh sumber-sumber orang Banda adalah kekhawatiran terus menerus untuk tidak membiarkan biaya eksploitasi lepas kendali. Terutama tingginya investasi pada tahun-tahun awal setelah 1621 di benteng-benteng, gudang, tempat tinggal, rumah, gereja, bak air, oven kapur, dermaga dan fasilitas infrastruktur lainnya benar-benar mengganggu Batavia dan Heeren XVII. Surat-surat Gubernur Banda tentang kegiatan pembangunannya hampir selalu bersifat apologetik, sedangkan di sisi lain atasan tidak henti-hentinya menghimbau agar tidak berlebihan, atau memarahi mereka yang menurut pandangan mereka menghabiskan uang terlalu banyak. Hal yang sama berlaku untuk biaya garnisun, personel angkatan laut dan karyawan VOC lainnya. Tidak pernah ada masanya, misalnya, atasan VOC tidak berusaha mengurangi jumlah orang yang diperlukan untuk melindungi “benteng” atau koloni. Ini adalah tema yang selalu berulang dalam korespondensi Banda. Sementara pada tahun-tahun setelah penaklukan, semua orang berpendapat bahwa begitu investasi struktural dilakukan, biaya variabel produksi aktual pala dan bunga pala akan sangat rendah, dan dengan demikian dapat diterima secara komersial, yang tidak pernah menjadi kenyataan di Banda. Selama beberapa dekade setelah penaklukan, bahkan ketika produksi dan transportasi yang berkelanjutan telah lama dibawa ke tingkat yang tinggi dan ancaman dari luar hampir disingkirkan, VOC masih harus menginvestasikan sejumlah besar uang untuk perlindungan dan infrastruktur koloni mereka, yang seringkali menyebabkan mereka mengungkapkan rasa frustrasi mereka.
Kesimpulan
Dengan mengaitkan kewajiban Inggris untuk berkontribusi dalam biaya pertahanan, tol, dan infrastruktur dengan transfer rempah-rempah, Coen dan penerusnya memojokan Inggris dengan cara yang membuat mereka tidak punya pilihan. Kontrol Belanda yang hampir total atas area produksi, Inggris tidak memiliki alternatif nyata selain menyerah pada tuntutan Belanda untuk mendapatkan bagian mereka, dan memberikan dukungan material, atau membayar. Dalam prakteknya, bagi Inggris, tidak ada pilihan lain yang layak : yang pertama karena dapat dimaklumi bahwa mereka tetap enggan untuk berpartisipasi dalam operasi militer dan angkatan laut yang terutama untuk kepentingan Belanda; yang kedua karena betapapun kerasnya mereka merogoh sisa uang mereka, EIC di Asia hanya kekurangan uang tunai untuk membayar hak mereka. Maka dari itu, terlepas dari syarat-syarat perjanjian tahun 1619 yang menguntungkan, sejak awal Inggris hampir menutup diri perdagangan rempah-rempah Maluku, bukan hanya karena Belanda pada saat itu telah memperketat cengkeraman mereka di daerah itu, tetapi juga karena interpretasi yang diberikan pemerintah VOC di Asia pada teks-teks surat. Penilaian Coen tentang posisi Belanda dan Inggris masing-masing di tahun 1620, memungkinkan dia untuk memberikan persetujuan yang tidak terpikirkan oleh siapa pun di Eropa, meninggalkan gudang-gudang Inggris dan para pemimpinnya marah, tetapi hampir dengan tangan kosong. Dengan melakukan itu, dia segera mendapatkan kembali inisiatif yang sesaat telah diambil darinya. Jadi, sebagai gantinya mengurangi dengan diplomatik berarti posisi Belanda yang hampir maha kuasa menjadi partisi yang kurang lebih sama dari rempah-rempah Maluku, perjanjian tersebut disajikan, melalui penerapan praktisnya, sebagai penguatan legal dan formal kekuasaan Belanda di Indonesia. Inggris hanya bisa mematuhinya, karena di bawah perjanjian itu mereka sebenarnya memiliki sarana yang lebih sedikit daripada sebelumnya untuk menyelesaikan hal-hal yang mereka sukai. Dari perspektif politik kekuasaan dan kepentingan strategis, kebijakan Coen memang merupakan pukulan administrasi yang brilian.
Jika dikatakan bahwa Inggris sudah tertinggal,maka Belanda memang yang pertama membuka hubungan dagang, membangun benteng dan gudang, dengan demikian mendirikan otoritas mereka lebih cepat dan lebih efektif, dengan cara yang lebih terstruktur daripada yang pernah bisa dilakukan oleh Inggris, yang akan mengurangi pentingnya dan mengurangi dampak dari perjanjian 1619, serta pentingnya pelaksanaan oleh Coen. Meskipun saya setuju bahwa posisi sekunder Inggris setelah 1620 membentuk kontinum dengan situasi sebelumnya, saya tetap mempertahankan bahwa perjanjian tersebut tidak hanya sangat merekonstruksi hubungan Inggris-Belanda di Asia, tetapi juga dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perdagangan itu sendiri, seandainya itu dilaksanakan dengan cara yang diharapkan oleh mediator Eropa dan Inggris di Asia.
Fort Belgica di Banda (1824) oleh Q.M.R. Verhuell |
Jelaslah bahwa Inggris sebelum 1620 tidak bisa “sejajar” dengan Belanda dalam perdagangan rempah-rempah Maluku. Mereka kekurangan sumber daya dan dukungan organisasi dari tanah airnya. Apa yang mereka dapatkan tidak cukup untuk bersaing dengan Belanda yang lebih agresif dan lebih siap. Perjanjian tahun 1619, yang dimaksudkan untuk memberi Inggris 1/3 bagian, bisa saja memperbaiki kekurangan ini; dalam menghentikan persaingan sengit, persaingan terbuka, agresi dan kekerasan, hal itu bisa saja menyelematkan keuangan mereka yang sudah menipis, untuk digunakan dengan cara yang lebih produktif. Diharapkan bahwa sebagai konsekuensi dari perjanjian tersebut, lebih sedikit penekanan yang harus diberikan pada pembiayaan pasukan, senjata dan kapal, uang yang ditarik dari dana yang diperlukan untuk membiayai alasan sebenarnya dari EIC, perdagangan di Asia. Sekarang ancaman langsung dari pengaruh Portugis dan Spanyol dihancurkan, tampaknya sudah tiba waktunya untuk perdamaian dan berbagi yang akan menguntungkan kedua belah pihak. Seandainya, di atas semua ini, perjanjian tersebut dilaksanakan dengan cara yang mungkin diharapkan Inggris (pembagian rempah-rempah dan pasar sebelum pembayaran, yang memang akan memungkinkan mereka untuk memasarkan bagian mereka dengan cara yang menguntungkan, dan dengan demikian mendapatkan pendapatan untuk membayar haknya di Asia), maka EIC akan memiliki kesempatan untuk tetap berada di atas perairan laut Banda (asalkan, menurut pendapat saya, ini akan digabungkan dengan organisasi perusahaan yang lebih bijaksana, dan kebijakan deviden yang moderat di Inggris!). Namun ekspetasi tersebut gagal karena hanya kondisi eksternal yang diubah, sedangkan niat dan pretensi kedua belah pihak tetap sama. Hubungan yang dibuat Belanda menyentuh titik menjengkelkan yang sama, yang telah mengganggu mereka sebelumnya : kurangnya organisasi dan kontinuitas di Asia dan (yang lebih penting dalam konteks ini) kekurangan dana. Dengan demikian, perjanjian itu berfungsi untuk menunjukan kelemahan struktural dari posisi Inggris di Asia. Tampaknya apakah Inggris dan Belanda sedang berperang atau berdamai satu sama lain, kerugian besar Inggris di Asia tidak dapat diatasi.
Tetapi ada aspek lain yang menambah pentingnya perjanjian itu : hal itu memberi Belanda waktu untuk mengkonsolidasikan posisi mereka yang sudah kuat, karena selama itu, perjanjian itu memungkinkan mereka untuk menjauhkan Inggris dari bisnis rempah-rempah sampai setidaknya tahun 1639, suatu kerugian strategis yang tidak dapat diperbaiki lagi oleh Inggris. Dalam jangka waktu yang lama, perjanjian tersebut memberi Belanda waktu untuk menstabilkan kekuasaan mereka di perairan Indonesia, dengan cara yang dalam jangka panjang terbukti sangat menentukan. Melalui pelaksanaan perjanjian, sehubungan dengan persaingan Eropa, monopoli rempah-rempah Maluku diberlakukan. Di Eropa, kendali Belanda sekarang hampir tidak terbantahkan, paling tidak karena saingan mereka di pasar itu, Inggris, dengan melalui traktat menjadi korban pengaturan yang kelihatannya menarik, tetapi pada dasarnya melumpuhkan. Situasi buntu ini berlangsung selama bertahun-tahun, menyebabkan Inggris kehilangan kontak sama sekali dengan perdagangan rempah-rempah Maluku yang sangat penting pada tahap ini, dan secara bertahap dengan perdagangan Indonesia pada umumnya. Akibatnya, saat mereka memperluas hubungan perdagangan dan pengaruh mereka di anak benua India selama periode ini, semacam pembagian geografis mengkristal (mengerucut), dimana EIC mulai menganggap status quo di perairan Indonesia sebagai fakta yang mapan. Makanya, mereka semakin fokus pada Persia dan India, serta meninggalkan kepulauan Indonesia kepada Belanda. Menurunnya signifikansi perdagangan rempah-rempah pada akhir abad ke-17, tidak mengubah fakta bahwa bukan karena ketidaktertarikan, atau karena alasan sukarela, mereka (Inggris) melepaskan perdagangan rempah-rempah Maluku, dan akhirnya seluruh Nusantara, tetapi [karena] pertama dan sebagian besar sebagai konsekuensi dari kegagalan total mereka untuk bersaing di bidang ini, suatu kegagalan yang diilustrasikan oleh implementasi perjanjian tahun 1619.
===== selesai =====
Catatan Kaki
- Terdapat bukti perbedaan yang signifikan antara berat pala dan bunga pala yang dimuat di Banda dan angka yang didaftarkan pada saat kedatangan kapal-kapal tersebut di Batavia. Bahkan ketika otoritas VOC di ibukota mengeluhkan hal ini, perbedaan tersebut biasanya dikaitkan dengan leckagie (kebocoran), atau fakta bahwa bunga pala yang dikemas setelah ditaburi air asin (untuk mencegah perusakan oleh cacing dan serangga), dan mengering dalam perjalanan ke Batavia, sehingga beratnya berkurang.
- Untuk penjelasan yang lebih jelas tentang kebijakannya terhadap Inggris, lihat VOC 1077, folio 41/54 tertanggal 31 Januari 1623, terkhususnya pasal 62. Instruksi yang ditinggalkan Coen ketika di sini beralih ke Republik mencerminkan ketidakpercayaan dan keengganan. Pada saat yang sama, ia menekankan sikap yang benar sehubungan dengan kewajiban perjanjian. Inggris akan memiliki bagiannya, tetapi hanya jika mereka memenuhi kewajiban mereka : “dan selain itu, mereka tidak memiliki apa-apa untuk berpura-pura selain membayar tol ini, mengebulkan 1/3 dari perdagangan ini, atau begitu banyak yang mereka bayar, untuk menghindari perselisihan ini”
- VOC 1077, s.f (4 volume): “Ekstrak”
- VOC 1094, folio 423-427
- Setiap cati Banda memiliki berat 51/2 Hollandsche ponden (pon Belanda), Hollandsche Ponden lebih sedikit kurang dari metrik pon saat ini
- Lihat VOC 1074, surat tertanggal 3 Juli 1621
- VOC 1077, s.f. (5 volume) : “Beclagh”, 9 Januari 1622
- VOC 1077, s.f. (5 volume) : “ Project ban antwoort”, 3 Februari 1622
- Mungkinkah perbedaan antara jumlah yang diminta dalam tagihan, dan jumlah sebenarnya yang dibayarkan oleh Inggris karena penghitungan ulang yang disetujui Belanda????
- Lihat VOC 1076, folio 171/180
- Bunga pala secara kebetulan menghasilkan harga di pasar Amsterdam sekitar 2 atau 3 ratus kali dari harga pembelian
- Ada banyak bukti bahwa Inggris tidak mampu membayar. Lihat misalnya, VOC 1074, surat tertanggal 30 Agustus 1621; VOC 1076. Folio 152/154; folio 169/170; pada folio 171/180, Sonck melaporkan bahwa ketika dia memberikan laporan Inggris pada bulan Maret dan April 1622, Welding secara tervuka mengakui bahwa dia tidak punya uang sama sekali
- Perbandingan nilai pala dan bunga pala di satu sisi dan cengkih di sisi lain menurut saya menekankan pentingnya hasil bumi Banda : berjumlah 27, 084 gulden dengan total 45, 073
- Lihat, untuk penjelasan masalah yang terlibat, serta gambaran umum hasil penelitian terbaru, F.S. Gaastra, Geschiedenis VOC, hal 130 – 133
- Lihat, misalnya J.P. de Korte, De Jaarlijkse financiale verantwoording in de VOC (Leiden, 1983)
- Bukti paling nyata dari upaya untuk menyajikan angka-angka yang menguntungkan Belanda ada di VOC 1076, folio 171/180 : Sonck ke Coen, d.d. 14 Mei 1622 : “ Yang Mulia perlu ketahui bahwa kami telah menempatkan biaya setinggi mungkin, dan buahnya sesedikit mungkin dengan cara apa pun”
References to primary sources
Algemeen Rijksarchiefs-Gravenhage
(General State Archives, The Hague), eerste afdeling:
VOC 1073:
fols. 7/14: 'Originele missive van Jan Pietersz. Coen ende Martinus Sonck uijt
het schip Nieuw Hollandia op de rede voor 't fort Nassauw opt eijlant Nera in
Banda aen bewinthebberen in dato 6 Meij 1621'.
VOC 1074:
(s.f.) 'Copie missiven van gouverneur Martinus Sonck uijt casteel Nassauw op Nera
in Banda aen den
gouverneur generael in datis 6 Junij, 3 Julij, 18 Augustij en 30 Augustij 1621'.
VOC 1076:
fols. 152/154: 'Acte van protestatie wegen d'Engelsen over 't verlaten van 't
eijlant Naijlackij aen 't eijlant Poulorun gedaen alsmede 't protest van
d'Engelsen over betalinge van de galleije en 29 tingans'.
fols. 155/168: 'Acten van't gepasseerde tusschen d'onse ende d'Engelsen in
Banda'
fols. 169/170: 'Originele missive van Martinus Sonck uijt het fort Revengie op Poulowaij
aen Coen in dato 29 Meij 1622'.
fols. 171/180: 'Copie missive van Martinus Sonck uijt 't casteel Nassauw op
Neira in Banda aen Coen in dato 14 Meij 1622'.
fols. 198/201: 'Engelse papieren over oneenigheden in de Molucques'.
fols. 202/203: 'Protest aen d'Engelsen gedaen nopende de betalingen van de maenden
Junij en Julij'.
fols. 289/291: 'Extract van de reeckeninge tusschen 't comptoir Batavia en d'Engelsche
Compagnie'.
VOC 1077:
fol. 41/54: 'Advijs door den gouverneur generael Coen in Indien gelaten in dato
31 Januari 1623'.
(s.f.) 'Extract van de lasten in de Molucques, Amboijna ende Banda gevallen
ende wat specerijen daer tegens becomen zijn 't sedert 1 Maert 1621-1 Maert 1622'.
(s.f.) 'Beclagh van de Engelsen van't gene daerinnen sij seggen over seeckere
lasten van de Molucques, Anboijna, en Banda ten onrechten bewaert zijn'.
(s.f.) 'Project van antwoort op voorschreven clachten van d'Engelsen in 36 artijckelen
bestaende'.
VOC 0o8o:
(s.f.) 'Paspoort aen mr. Welding verleent'.
(s.f.) 'Copie missiven van Isacq de Bruijne uijt casteel Nassauw op Nera in
Banda aen den gouverneur generael de Carpentier in datis 30 Augustij 1623 en 16
Meij 1623'.
VOC 1094:
fols. 423/427: 'Summarium van d'ongelden 't sedert 1 Maert 1627-28 Februarij 1628
in de Moluccus, Amboijna ende Banda gevallen waervan d'Engelsen 1/3 moeten betalen'
etc.
VOC 1121:
pp. 848/882: 'Copie missive van gouverneur Cornelis Acoleij aen den gouverneur
generael van Diemen in dato 18 Meij 1636'. pp. 883/91: 'Als vooren in dato 12
September 1636. Appendix'.
VOC 1126:
fol. 382/611: 'Vervolch van't journael acten ende resolutien gehouden op den tweeden
tocht van den
gouverneur generael van Diemen naer d'eijlanden van Amboijna, Banda etc.'
VOC 1257:
p. 358: 'Accoort wegens het overgeven van het eijlant Rhun. 10 December 1665'. pp.
359/362: 'Inventaris van de goederen bij 't overnemen vant eijlant Rhun daerop
bevonden. 2 Junij 1666'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar