Oleh:
Amy J. Jordan
2 Pemetik buah pala di Pulau Banda, sekitar 1875 |
- Kata Pengantar
Pola, gaya dan budaya makan dari suatu masyarakat yang nampak di masa kini, tidaklah terbentuk secara tiba-tiba. Ia mengalami proses “pergulatan” yang panjang seiring berjalannya zaman. Mungkin, bagi kita, budaya makan tersebut tidak memiliki “dasar” historis, namun faktanya tidak sederhana seperti yang kita pahami. Budaya sosial itu, memiliki dasar historis, ia tercipta, terbentuk, dimodifikasi dan diawetkan bersama proses sejarah yang panjang.
Isu “sederhana” ini dikaji dengan menarik oleh Amy .J. Jordan, sarjana Anthropologi dari Universitas of Washington, Amerika Serikat. Wanita berkebangsaan Amerika yang disertasinya tahun 2016 dengan judul The Price of Spice : Ethnogenesis in Colonial Period Banda Islands, Indonesia, atau The Price of Spice : Archaelogical Investigations of Colonial Era Nutmeg Plantations on the Banda Island, Maluku Province, Indonesia dan dibawah bimbingan arkeolog Peter. V. Lape ini, mengkaji tentang pola makan, budaya makan, di antara para pekerja dan perkeniers (pengusaha perkebunan) perkebunan pala di kepulauan Banda. Dengan berbekal bukti-bukti arkeologis dan bahan-bahan material penelitian kehidupan di perkebunan di Amerika, ia mengkaji hal tersebut. Pada akhir kesimpulan, ia menyebut bahwa pola makan, budaya makan yang terjadi di antara budak-budak pekerja di perkebunan, mengalami kreolisasi atau percampuran/penggabungan, adaptasi dari pola makan kaum Eropa dan para perkeniers di perkebunan itu, pada masa kolonial.
Artikel menarik ini berjudul Spice Island Stew : Creolization of foodways on Colonial Era Nutmeg Plantations, Maluku Province, Indonesia, yang terbit dan dimuat pada Journal of Indo-Pacific Archeology, volume 37, tahun 2015, halaman 33 – 48. Artikel sepanjang 16 halaman ini berisikan 2 tabel, 11 gambar, dan 1 halaman referensi.
Kami memberanikan diri menerjemahkan artikel berharga ini, dengan tujuan bisa dibaca untuk memahami proses sosial yang panjang di era kolonial, yang akhirnya nampak di masa kini. Mungkin, dengan membaca artikel ini, kita bisa menyadari bahwa gejala-gejala sosial di masa kini, bisa dilacak kembali ke masa lalu. Artikel terjemahan ini, kami bagi menjadi 2 bagian, agar mudah diikuti dan dinikmati, selain itu, kami juga menambahkan beberapa gambar ilustrasi dan catatan tambahan, jika diperlukan. Akhir kata, selamat membaca... selamat berproses dalam sejarah, sehingga kita tidak melupakan masa lalu.
- Terjemahan : Kutu Busu
Abstrak
Kepulauan Banda, di Provinsi Maluku, adalah satu-satunya sumber pala dunia pada abad ke-16. Kontrol atas perdagangan rempah-rempah adalah tujuan utama bangsa Eropa. Akibatnya, Kepulauan Banda menjadi lokasi awal perselisihan dan eksperimen kolonial. Setelah memberantas sebagian besar penduduk pribumi, Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) mendirikan sistem perkebunan pada tahun 1621 di kepulauan itu (Hanna, 1978). Sistem perkebunan secara mendasar mengubah cara hidup semua penduduk Kepulauan Banda, tetapi hanya ada sedikit bukti mengenai bagaimana perubahan dan adaptasi terjadi atau mengapa. Penggalian di 3 perkebunan pala mengungkapkan bahwa penduduk terlibat dengan berbagai strategi penghidupan dan perdagangan. Dengan memeriksa berbagai bukti termasuk keramik, fauna, dan analisis butiran pati, pemahaman yang lebih komprehensif tentang adaptasi sosial terhadap kolonialisme dapat ditunjukan.
LATAR BELAKANG
Kepulauan Banda dalam konteks regional.
Kepulauan Banda adalah sekelompok 10 pulau vulkanik yang terisolasi di Laut Banda, sekitar 2000 km sebelah timur [pulau] Jawa dan 320 km barat daya Papua (gambar 1). Banda adalah bagian dari Provinsi Maluku, juga dikenal sebagai Maluku atau Kepulauan rempah-rempah. Kepulauan ini merupakan pusat penting dalam jaringan perdagangan yang meluas selama ribuan tahun, baik sebagai pemasok utama lokal pala berkualitas tinggi dan sebagai perusahaan regional untuk barang-barang (Ellen, 2003). Kepulauan Banda pertama kali memasuki catatan sejarah dengan jelas pada tahun 1304 Masehi, melalui penyebutan dalam teks Cina. Bahkan pada masa awal ini, kepulauan itu dikaitkan dengan pala (Ptak, 1992). Bukti arkeologi pertama dari tempat tinggal manusia berasal dari tahun 3150 B.P (Lape, 2000), tetapi bukti “pendudukan” manusia di pulau-pulau lain di provinsi Maluku telah mencapai 32.000 B.P. (Bellwood, 1997 : 87). Kelangkaan penyelidikan arkeologi di Kepulauan Banda menunjukan bahwa penemuan material yang lebih tua dari 3150 B.P. kemungkinan besar akan berlanjut. Penanggalan 3150 B.P. bertepatan dengan perluasan bahan arkeologi yang sering dikaitkan dengan bahasa Austronesia, dan masuknya hewan peliharaan (babi dan ayam) dan tembikar di pulau-pulau terpencil melalui teknologi perahu yang kompleks (Bellwood, 1997).
Sementara bukti tekstual mengisyaratkan bahwa dunia Asia yang lebih luas, mungkin telah menjalin kontak sporadis dengan Kepulauan pada abad ke-9 Masehi, bukti arkeologis menunjukan kontak reguler pasti dilakukan pada abad ke-14 Masehi (Lape, 2000). Menurut Ellen (2003), Kepulauan Banda adalah pusat utama dalam jaringan perdagangan regional yang luas pada abad ke-15, dan bukti arkeologi dari Lape (2000) mendukung hal ini juga. Hanna (1978: 13) mendeskripsikan “ pedagang Cina, Jawa, Bugis, Portugis, dan Arab” yang hadir dan terlibat dalam perdagangan di Banda pada tahun 1599. Ellen (2003) menyatakan bahwa penduduk kepulauan Banda mengimpor sebagian besar karbohidrat, bahan pokok mereka pada abad ke-15, sebagian untuk memaksimalkan hasil pala, tetapi juga karena tanah Banda, tidak cocok untuk menanam sagu (Metroxylon sagu) dan bahan pokok tepung regional lainnya.
Tingkat kreolisasi, menurut catatan sejarah, masih diperdebatkan. Kelangkaan wanita Eropa yang tersedia memastikan bahwa para perkeniers mengambil pasangan nikah dari populasi yang diperbudak, setelah mereka menjadi Kristen, dan “bekas budak [sic] yang mengasuh anak-anak Belanda” (Hanna, 1978: 64). Namun, Loth (1998: 24) menyatakan kreolisasi lambat berkembang karena tingkat kematian yang tinggi dan tingkat pelarian yang tinggi di antara pekerja yang diperbudak.
Sedikit informasi rinci tentang kehidupan sehari-hari para pekerja impor, tersedia di dokumen sejarah. Informasi yang ada menunjukan beban kerja yang relatif rendah (dibandingkan dengan tanaman perkebunan lain, seperti gula atau kapas), dan persaingan antara para perkeniers dan VOC tentang penguasaan tenaga kerja. Misalnya, Winn (2010) mencatat bahwa para perkeniers sering bertukar pekerja yang berusia tua atau pekerja yang memiliki kinerja buruk yang dipekerjakan dalam tugas-tugas kerumahtanggaan dengan pekerja yang berkualitas baik untuk dipekerjakan di perkebunan pala. Pemanenan pala tidaklah bersifat padat karya seperti pertanian berbasis perkebunan lainnya. Sebagai tanaman pohon, pala tidak membutuhkan jenis penanaman dan panen tahunan yang sama seperti halnya gula, kapas, atau beras. Buah pala matang dan menampakan biji yang “daging” buah pala, yang kemudian dapat dipetik dari pohonnya dengan keranjang bambu bergagang panjang. Sedikit pemrosesan selanjutnya diperlukan. Pala dan bunga pala kemudian perlu dipisahkan satu sama lain, dan sisa buahnya dibuang dengan cara dikeringkan. Selanjutnya, pala dan bunga pala dikemas untuk diekspor. Selama musim panen, banyak pekerja yang dibutuhkan untuk mengumpulkan dan mengolah rempah-rempah untuk ekspor, tetapi hanya sedikit pekerjaan yang perlu dilakukan selama waktu non-panen. Jadi para pekerja dipekerjakan untuk proyek kota, digunakan sebagai pelaut untuk ekspedisi perdagangan pribadi (diluar kendali VOC), didorong untuk merawat kebun atau ikan untuk melengkapi jatah VOC, atau pekerjaan lain yang secara langsung menguntungkan para perkeniers dengan mengorbankan VOC (Winn, 2010). Selain itu, karena kecilnya daratan dan lokasi terpencil di kepulauan Banda, para pekerja tidak perlu diawasi secara ketat, karena takut melarikan diri seperti lokasi lain, meskipun pelarian menjadi masalah (Hanna, 1978). Seperti Winn (2010) mencatat, pekerja yang diperbudak, tidak dipisahkan dari populasi non-budak di kepulauan Banda, memungkinkan pertukaran budaya dan percampuran.
VOC bangkrut pada tahun 1800, dan kendali atas kepemilikan perusahaan jatuh ke tangan Pemerintah Belanda. Pengalihan kekuasaan ini pada akhirnya memungkinkan para perkeniers menjadi pemegang bebas dan membuang tanah mereka sebagaimana mereka mau. Pengalihan tersebut juga menghapus semua batasan monopoli, yang memungkinkan pala dijual kepada penawar tertinggi. Persaingan yang semakin ketat dari lokasi penanaman pala lainnya, ternyata tidak meningkatkan prospek perkeniers seperti yang diharapkan. Sebagian besar terus menambah hutang tanpa kemampuan untuk membayarnya kembali. Pemerintah Belanda menghapus perbudakan pada tahun 1860, dan banyak bekas budak meninggalkan Banda untuk mencari pekerjaan di tempat lain (Hanna, 1978). Pekerja kontrak, terutama dari Jawa, diimpor untuk bekerja dengan tunjangan pada masa ini, dan banyak dari pekerja ini tinggal di pulau tersebut ketika kontrak mereka berakhir (Hanna, 1978). Winn (2010) mencatat bahwa sebagian besar sejarah lisan tentang pekerjaan perkebunan di kepulauan Banda, berasal dari periode pekerja kontrak ini. Periode perbudakan di bawah VOC dan pemerintah Hindia Belanda tidak tercantum dalam sejarah lisan penduduk kontemporer yang terkonfirmasi dalam penelitian Winn.
Pada awal abad ke-20, kepulauan Banda dianggap sebagai taman bermain untuk orang kaya yang mengganggur dan efektif dipindahkan dari dunia modern untuk menampung tahanan politik dengan aman, termasuk Mohamad Hatta, Wakil Presiden pertama Indonesia. Perang Pasifik (1941-1945) merusak kebun pala dan dengan kemerdekaan Indonesia, semua tanah milik Belanda di Banda dinasionalisasi, dan sebagian besar perkeniers yang tersisa pindah ke Belanda atau di tempat lain. Saat ini, pemanenan pala telah kembali ke model pra-kolonial dengan individu yang memanen dari pohon yang mereka klaim. Saat ini, ada usaha kolektif yang membeli pala dari pemanen individu dan menjualnya ke pedagang grosir. Sistem modern ini mungkin lebih akurat mencerminkan tradisi panen pra-kolonial (Winn, 2002).
Penelitian arkeologis sejarah sering bergokus pada Amerika Utara, tetapi Deetz (1991) menyerukan lebih banyak studi lintas budaya tentang respon yang berbeda terhadap kolonialisme Eropa. Kepulauan Banda memberikan studi kasus yang sangat baik untuk dibandingkan dengan episode kolonisasi yang lebih dikenal luas di Dunia Baru karena kesamaannya dengan awal perkebunan di Dunia Baru dan mengimpor tenaga kerja yang diperbudak. Sementara banyak pekerjaan arkeologi telah dilakukan di perkebunan Amerika Utara dalam upaya mengidentifikasi adaptasi budaya yang dialami oleh orang-orang yang diperbudak, orang Eropa, dan penduduk pribumi Amerika, hanya ada sedikit materi tentang perkebunan Asia. Karena kekayaan bahan yang tersedia berdasarkan penelitian di Amerika Utara, modelnya dipinjam dari penelitian sebelumnya tentang perkebunan Dunia Baru untuk menyelidiki adaptasi terhadap kolonisasi.
Fokus pada perkebunan di kepulauan Banda, dibandingkan dengan benteng atau pemukiman lain, disebabkan oleh berbagai alasan. Perkebunan, menurut Stoler (1985:2) :
“adalah laboratorium virtual untuk eksperimen teknis dan sosial. Perkebunan juga mikrokosmos dari usaha kolonial... dimana hierarki ras, kelas, etnis dan gender dimanipulasi, diperebutkan dan diubah”
Penelitian sebelumnya tentang etnogenesis dan jalur makanan telah dilakukan di perkebunan era kolonial di Amerika, menjadikan perkebunan sangat berguna untuk perbandingan. Fokus penyelidikan lebih lanjut dipersempit ke jalur malakan karena, seperti yang dicatat Jolley (1983: 71) :
“Perbedaan pola makan mungkin mencerminkan etnis... [dan] Perbedaan dalam sistem sosial dan ideologis tercermin dalam praktik makanan”
Karena hanya menggunakan satu bukti dapat menghasilkan hasil yang bias, baik data fauna maupun tumbuhan dipilih untuk analisis – sisa butiran pati terakhir dari bejana keramik. Kombinasi analisis tumbuhan, fauna (hewan), dan keramik dapat memberikan gambaran ekonomi perkebunan yang lebih komphrensif. Biji pati dipilih sebagi satu-satunya garis bukti botani karena berbagai alasan. Terutama karena makanan pokok bertepung, seperti sagu dan beras, digambarkan disukai oleh populasi etnis yang berbda dalam catatan sejarah (Ellen, 2003), dan ada atau tidaknya mereka dapat dikaitkan dengan pilihan atau ketersediaan ekonomi. Kedua, karena gerabah diharapkan, berdasarkan penggalian sebelumnya, ada dimana-mana dalam catatan arkeologis dan butiran pati cenderung terawetkan dengan baik pada gerabah (Barton dan Torrence, 2006). Pengapungan sampel sedimen tidak realistis di pulau-pulau terpencil ini berdasarkan pengalaman Lape pada tahun 1999 (Peter V Lape, komunikasi pribadi). Air tawar terbatas dan harus disedikan untuk konsumsi manusia. Meskipun air laut dapat digunakan untuk pengapungan di lokasi tepi pantai, akan tidak praktis untuk mengangkut ke lokasi dataran tinggi. Berdasarkan pada kendala logistik, dan juga finansial ini, saya (penulis) merasa akan lebih baik, jika membatasi diri pada satu bukti botani yang tidak memerlukan pemrosesan lapangan, dan yang dapat diambil dari artefak yang digali saat kembali ke Amerika Serikat.
Perken didirikan di 3 pulau Banda, tetapi penelitian ini dilakukan hanya di 1 pulau, yaitu Banda Besar, yang memiliki keuntungan menghilangkan perbedaan lingkungan antar pulau sebagai faktor komplikasi yang potensial. Misalnya, dari 2 pulau yang lain dengan perkebunan pala, Pulau Ay adalah pulau kapur tanpa air tanah, dan Banda Neira sebagai pelabuhan utamanya. Perbedaan tanah di Pulau Ay dapat mempengaruhi ketersediaan tanaman dan kekurangan air dapat mempengaruhi kemampuan memelihara ternak. Pulau Ay juga membutuhkan perjalanan perahu sejauh 15 km di lautan lepas dari Banda Neira, sedangkan Banda Besar hanya berjarak 2,5 km. Jadi, bergantung pada musim, mencapai Pulau Ay adalah perjalanan berbahaya yang dapat memengaruhi akses ke sumber daya yang diimpor. Banda Neira adalah pelabuhan utama dan akan memiliki akses ke semua bahan impor sebelum pulau-pulau lain, yang mungkin mempengaruhi jumlah sumber daya yang tersedia yang dapat mengganggu data.
MODEL
Berbagai interpretasi dari sisa-sisa fauna dan keramik yang terkait dengan pekerja yang diperbudak telah disajikan dalam literatur arkeologi di perkebunan Dunia Baru. Misalnya, Franklin (2001) berpendapat bahwa sisa-sisa hewan buruan di kabin pekerja di perkebunan Rich Neck di Virginia adalah hasil dari orang-orang yang diperbudak yang menyatakan identitas sosial. Di sisi lain, Hilliard (1988) berpendapat bahwa pilihan makanan liar ini adalah akibat dari situasi ekonomi, karena sisa-sisa serupa ditemukan di rumah Anglo-Amerika dari kelas ekonomi yang lebih rendah. Di perkebunan Amerika Serikat bagian tenggara, Reitz et al (1985) menyatakan bahwa binatang buruan kecil dan ikan mendominasi budak-budak pekerja, karena sumber daya ini dapat dengan mudah terperangkap/terjaring dengan jerat tak berawak, dan oleh karena itu memiliki waktu pencarian dan penanganan yang lebih sedikit, sedangkan hewan buruan besar, seperti rusa, tidak ditemukan ditengah-tengah para budak karena kurangnya akses ke senjata api, dan biaya pencarian dan penanganan yang tinggi. Yang lain lagi (misalnya, Scott, 2001: 687), mengaitkan keberadaan spesies hewan buruan kecil yang sama di kelompok budak dan kelompok rumah utama sebagai cerminan “penggabungan sinkretis 2 tradisi makanan”
Dalam konteks ini, tidak jelas apakah pola sumber daya dalam konteks pekerja merupakan hasil dari identitas etnis atau situasi ekonomi. Memperluas ruang lingkup penyelidikan ke perkebunan kolonial di luar Amerika, dapat berkontribusi pada pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana jalur makanan dan etnis berinteraksi. Seperti yang ditunjukan contoh sebelumnya, 3 model utama telah digunakan untuk menjelaskan distribusi budaya material yang terkait dengan makanan di lingkungan perkebunan : efisiensi energi (dari teori mencari makan optimal), kekuasaan/ketahanan, dan kreolisasi. Teori mencari makan optimal adalah model evolusi yang mengasumsikan bahwa pemerolehan hara maksimal, akan meningkatkan reproduksi kebugaran (Winterhalder dan Smith, 2008). Dengan demikian, penambahan hewan buruan untuk melengkapi ransum yang tidak mencukupi akan meningkatkan kebugaran reproduksi para pekerja. Bersumber dari Foucault (1979) dan Wolf (1982), antara lain, beberapa penulis menafsirkan keberadaan hewan buruan kecil di kelompok budak pekerja sebagai hasil dari perlawanan aktif terhadap hegemono dominan dengan menegaskan identitas sosial mereka sendiri (misalnya, Franklin, 2001). Kreolisasi, berasal dari teori linguistik, sering digunakan sebagai sinonim untuk hibriditas, sinkretisasi, atau percampuran budaya, orang, dan bahasa (Khan, 2007; Stewart, 2007). Jalur makanan kreol melibatkan pencampuran budaya dan bahan, seringkali menggunakan teknik memasak tradisional dengan bahan baru atau sebaliknya. Dalam contoh di atas, terlepas dari kemungkinan historisnya, data serupa (sisa-sisa fauna) dalam konteks serupa (perkebunan Amerika Serikat bagian tenggara) dijelaskan oleh 3 model berbeda ini. Scott (2001: 688) mengomentari dilema ini :
“Beberapa skenario yang berbeda dapat menjelaskan perbedaan dalam pola makan.... Baik preferensi ekonomi...dan etnis memaikan peran dalam konsumsi makanan oleh semua kelompok di perkebunan”.
Sisa-sisa fauna tetap menjadi fokus dari banyak studi tentang jalur makanan. Namun, komponen nabati dari pola makan dan teknik memasak merupakan aspek penting yang juga dapat memberikan bukti tentang etnis (misalnya, Diehl et al. 1998; Janowitz, 1993). Sumber daya tanaman, terutama dalam bentuk bahan pokok karbohidrat, juga dapat mencerminkan preferensi rasa, kelas ekonomi, atau hanya ketersediaan wilayah (Janowitz, 1993). Studi etnis yang terkait dengan sisa-sisa fauna mungkin sebelumnya terbukti tidak jelas, karena fokus hanya pada satu bukti. Investigas beberapa bukti akan memperkuat identitas tren atau anomali (Gould, 1980). Penggunaan berbagai bukti dalam menyelidiki jalur makanan di perkebunan dan pengaturan lainnya telah terbukti bermanfaat dalam banyak penelitian (misalnya, Diehl et al. 1998; Janowitz, 1993; Schmitt dan Zeier, 1993; Voss, 2008).
Model kekuasaan/ketahanan dan kreolisasi menganggap identitas etnis ditandai dan ditafsirkan melalui budaya material, khususnya sisa-sisa makanan, termasuk pilihan bahan baku dan teknik pengolahan. Namun, model efisiensi energi mengasumsikan sisa makanan terkait dengan penggunaan waktu yang tersedia secara hukum; hubungan apa pun dengan kelompok etnis adalah sinyal yang tidak disengaja. Hipotesis dan model tidak saling eksklusif dan lengkap, sebagian karena tumpang tindih sumber daya yang tersedia untuk penduduk, dan hipotesis yang harus mencerminkan secara historis perilaku yang diketahui. Jadi, sementara beberapa sumber daya diprediksi menunjukan distribusi serupa di bawah 2 model yang berbeda, penggunaan semua bukti yang akan mengarah pada penerimaan atau penolakan model sebagai alat penjelasan. Berbagai model sedang diselidiki karena diharpkan bahwa kelompok yang berbeda dapat memilih strategi yang berbeda, atau perubahan dalam pasar global mungkin memerlukan negosiasi ulang bentuk sosial berdasarkan model baru.
PREDIKSI
Efisiensi Energetik
KEKUASAAN / PERLAWANAN
Jika model sosial dominasi/ketahanan dapat menjelaskan pilihan makanan, diperkirakan keberlanjutan budaya cara makan dan budaya materia, yang secara khusus mencerminkan jalur makan yang belum tentu efisien secara energi. Para pekerja perkebunan akan menolak pencampuran ke dalam dunia hegemonik, menolak jalur makanan yang diperkenalkan termasuk makanan asing yang diimpor, dan berusaha untuk mempertahankan jalur makanan yang terpisah. Makanan dan barang Eropa diperkirakan dalam konteks Eropa, dan sedikit atau bahkan tidak ada makanan atau barang impor yang diperkirakan di wilayah pekerja. Jika ditemukan barang atau makanan Eropa, kemungkinan besar itu adalah hasil dari pencurian, atau perlawanan yang terjadi tiap hari. Pencurian harus dibatasi pada barang yang mudah diangkut dan disembunyikan. Misalnya, seluruh sapi tidak diperkirakan diambil, tetapi potongan daging dapat dengan mudah diangkut dan dikonsumsi secara diam-diam. Karena tingginya biaya yang terkait dengan pencurian makanan kaum elit (yaitu hukuman mati, [Hanna, 1979]), hal ini diperkirakan tidak dalam model efisiensi energi. Dengan pengecualiaan jatah beras, residu pati diperkirakan sama-sama eksklusif, dengan orang Eropa dan keturunanannya yang memakan gandum atau jagung impor, dan pekerja yang hidup dari sagu, singkong, atau sumber nabati endemik lainnya. Diperkirakan juga bahwa sisa-sisa babi akan terpisah dalam konteks kaum elit, dengan pekerja mengadopsi atau memelihara jalur makanan kaum Muslim untuk menjauhkan diri dari para perkeniers Kristen. Pekerja yang diimpor/diperbudak belum tentu Muslim, dan ada bukti bahwa orang Belanda lebih memilih pekerja non-Muslim dan yang berpindah agama, yang termotivasi secara sosial (Ricklefs, 2001). Jenis keramik juga harus saling eksklusif; orang Eropa harus menggunakan tembikar impor dari Inggris, Belanda, atau negara Eropa lainnya, selain porselin Cina berkualitas tinggi. Pekerja, di sisi lain, harus menggunakan gerabah produksi lokal atau impor daerah yang murah. Jenis keramik juga harus mencerminkan preferens dalam teknik memasak. Karena kategori sumber daya yang sama, banyak dari prediksi untuk model kekuasaan/ketahanan dalam hal sumber daya fauna mirip dengan prediksi mencari makan yang optimal. Para elit memiliki kekuasaan/kekuatan untuk mendistribusikan jatah dan membatasi waktu yang tersedia bagi pekerja untuk mencari makan. Dalam model kekuasaan/ketahanan, diperkirakan lebih banyak [terjadi] pencurian. Misalnya, ikan lokal dalam konteks kaum elit, rata-rata diperkirakan lebih besar daripada ikan dalam konteks pekerja, karena kaum elit yang mengambil alih penangkapan (Loth, 1998). Model kekuasaan/ketahanan diperkirakan lebih menonjol dalam budaya material yang terkait dengan persiapan dan konsumsi makanan, seperti jenis keramik dan barang dagangan, daripada bahan bakunya. Bahan makanan Eropa yang diimpor (misalnya ikan asin, anggur, dan lain-lain) diperkirakan dalam konteks kaum elit. Teknik memasak (misalnya, merebus, memanggang, dan lain-lain) harus menunjukan pemisahan yang berbeda antara perkeniers dan pekerja. Perkeniers akan menerima biaya tambahan dan investasi untuk mengimpor atau melatih pekerja memasak gaya Eropa dan gaya keramik terkaitnya. Harus ada sedikit tumpang tindih dalam distribusi spesies dan elemen sisa fauna (kecuali ayam dan ikan lokal). Keramik mungkin menunjukan elemen dekoratif yang menjauhkannya dari keramik Eropa atau keramik Asia berstatus tinggi. Bentuk Eropa, terutama dalam hal penataan tempat, diperkirakan hanya dalam konteks kaum elit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar