(bag 1)
[James.T. Colins]
A. Kata Pengantar
Jika kita membaca kajian dari James T. Collins, seorang Profesor Linguistik di Universitas Chicago ini, kita akan menemukan bahwa ada begitu banyak bahasa yang pernah digunakan oleh penduduk Maluku, dalam hal ini penduduk di wilayah Maluku bagian tengah pada masa kolonialisasi Portugis hingga paruh pertama abad ke-17 di masa kolonialisasi VOC (Belanda). Berdasarkan sumber-sumber tertulis dari Portugis dan VOC, Collins menyebut hal itu dan menjelaskan bahwa kebijakan VOC pada tahun 1650an yang akhirnya membuat banyak bahasa di Maluku akhirnya punah.
Kajian dari James T Collins ini berjudul Language death in Maluku; The impact of the VOC, dimuat pada jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, volume 159, nomor 2/3, tahun 2003, pada halaman 247 – 289. Artikel sepanjang 43 halaman ini terdiri dari 57 catatan kaki, 3 gambar peta, kajian (30 halaman), 3 lampiran (7 halaman), dan referensi/bibliografi (6 halaman).
Ada beberapa informasi menarik jika kita membaca kajian yang lumayan panjang ini, salah satunya adalah informasi tentang pendeta Justus Heurnius yang menulis surat dari negeri Ullath (di pulau Saparua) kepada para Direktur VOC di Amsterdam tentang usahanya untuk menerjemahkan teks Injil Matius ke dalam bahasa Saparua. Pendeta Heurnius menulis surat tersebut pada tanggal 19 Agustus 1633 dan 30 September 1634, namun sayangnya menurut Collins, bahan-bahan dari penerjemahan Heurnius tersebut tidak ditemukan dan tidak ada bukti bahwa bahan-bahan itu telah diterbitkan.
Kami menerjemahkan kajian dari Collins ini dan membaginya menjadi 2 bagian, disertai dengan menambahkan beberapa gambar ilustrasi dan catatan tambahan. Semoga artikel ini akan bermanfaat bagi kita semua.
B. Terjemahan
Pendahuluan
Pertemuan budaya di banyak era globalisasi tidak selalu saling
menguntungkan, baik bagi masyarakat maupun bahasa yang terlibat1.
Tentu saja ada model dari Australia, seperti yang dirasakan oleh Nettle dan
Romaine. (2000:121):
Penduduk asli mana pun hanyalah hama yang harus disingkirkan ... Orang Tasmania ditembak di tempat mereka ditemukan, atau dikumpulkan ke kamp penjara, di mana yang selamat mendekam dalam kondisi yang menyedihkan. Yang terakhir dari mereka, seorang wanita bernama Trucanini, yang telah diperkosa oleh narapidana kulit putih dan kemudian digunakan oleh pihak berwenang sebagai pion untuk membawa orang-orangnya, meninggal pada tahun 1876. Dengan demikian, cabang unik di pohon bahasa dunia dihancurkan. beserta rakyatnya.
Pada awal abad ke-17, VOC melakukan kampanye teror yang brutal dengan tujuan melenyapkan kelompok etnis di Kepulauan Banda, Maluku2, dimana kehancurannya lebih cepat daripada kolonialis Inggris di Tasmania. Penaklukan Banda pada tahun 1621 tidak tertandingi dalam seluruh sejarah kolonial Indonesia karena kebrutalan dan ketidak manusiawiannya yang menyeluruh. Catatan saksi mata yang diterbitkan lebih dari 220 tahun setelah kejadian (Leupe 1854; Tiele 1886) sama mengerikannya dengan statistik. Ada yang memperkirakan bahwa populasi Banda sebelum kampanye teror VOC itu adalah 15.000 orang, tetapi kurang dari 1.000 orang setelah penaklukan itu (Hanna 1978: 55). Ini berarti tingkat kelangsungan hidup kurang dari 7%. Selain itu, dengan metode pembukuan, tahun demi tahun, VOC “membersihkan/menghilangkan” catatannya dengan cara mengirimkan beberapa penduduk Banda yang selamat dari Banda ke Batavia untuk bekerja sebagai budak yang membangun kanal dan tembok-tembok benteng hingga mereka terserang penyakit malaria atau karena kekejaman kompeni.
Penghapusan bahasa Tasmania di Australia telah disebut sebagai pembunuhan Bahasa (oleh Muhlhauser 1996: 121-129). Namun, bahasa Banda dan orang Banda sendiri selamat dari pembunuhan dan pemindahan pada abad ke-17. Sekelompok kecil orang Banda yang selamat berhasil lolos dari serangan VOC dan banyak pengungsi ini menuju ke Kepulauan Kei yang berjarak 400 km melintasi laut terdalam Indonesia (lihat peta 1). Di sana, mereka secara hati-hati dan diam-diam berkumpul kembali, dan membentuk setidaknya 2 pemukiman kecil3 dengan bahasa mereka, tetapi tampaknya bukan “organisasi sosial yang kompleks” yang dapat bertahan (Aveling 1967: 352). Saat ini bahasa Banda masih bertahan, meskipun telah berubah, di 2 jalur pantai yang sempit, dimana 4000 orang keturunan yang bertahan hidup dalam lingkungan multi bahasa, yang sekarang secara sosial kompleks dan berlapis-lapis dengan cara yang berbeda (Collins dan Kaartinen 1998).
Jika kita ingin memperluas terminologi Muhlhauser yang keras dan agak antropomorfik pada kasus “pencabutan dari akar” dan penghancuran orang Banda, kita mungkin tergoda untuk menyebut efeknya sebagai percobaan pembunuhan, yang masih merupakan kejahatan berdarah, meskipun dihalangi. Namun nyatanya, penghapusan bahasa Banda tidak pernah menjadi tujuan VOC. Tujuan mereka hanyalah mengamankan monopoli komoditas (pala) dengan membunuh dan memperbudak produsen pribumi – sebuah manuver bisnis sederhana dimana kelangsungan hidup atau kematian bahasa tidak masuk ke dalam perhitungan. Kalau dipikir-pikir, gesekan bahasa hanyalah, katakanlah, kerusakan tambahan.
Pada abad ke-17, zaman keemasan Belanda, penuh dengan kampanye VOC. Teror, pemukiman kembali dan eksekusi massal di kepulauan Asia Tenggara, tidak berbeda dengan hukuman dan kesengsaraan yang dilakukan oleh Spanyol di wilayah mereka di Low Countries (negara-negara berdataran rendah) selama abad sebelumnya. Eropa telah mengekspor budayanya ke Asia. Sejalan dengan kejahatan terhadap kemanusian di tempat yang sekarang disebut Indonesia, ada banyak penyerangan, kebanyakan tidak langsung seperti dalam kasus orang Banda, terhadap bahasa juga. Kejahatan ini – terhadap keragaman dan kompleksitas bahasa manusia – jarang berhasil seperti penindasan orang Tasmania dan penghapusan bahasa mereka. Namun keputusan-keputusan yang dibuat oleh VOC, baik yang dibuat dengan dendam dan bahkan yang lain dengan niat yang paling mulia dan rasional, memiliki dampak yang terus bertahan dan memberikan pengaruh yang merusak bahkan sampai sekarang, lebih dari 200 tahun setelah VOC tidak ada lagi.
Pada kajian selanjutnya, dampak VOC terhadap bahasa-bahasa di Maluku akan dibahas secara singkat. Saya berpendapat bahwa keputusan yang dibuat pada abad ke-17 dan ke-18 memiliki – memang terus memiliki – implikasi serius pada salah satu ekologi bahasa yang paling kompleks dan beragam di dunia. Selanjutnya, pada bagian pertama, keputusan brutal yang dimaksudkan sebagai tindakan masa perang 300 tahun yang lalu ditinjau untuk implikasi kontemporer. Pada bagian kedua, keputusan-keputusan rasional, penganggaran, dan administratif dipertimbangkan mengingat bahaya yang terus berlanjut, dan bahkan hilangnya, banyak bahasa di Maluku
Pembersihan Etnis dan kemunduran bahasa
Dari tahun 1651 hingga tahun 1656, Arnold de Vlaminga mengobarkan perang, ganas dalam intensitas destruktifnya, melawan rakyat Hoamoal. Pada akhir perang itu, 12.000 orang Seram dan pulau-pulau di sebelah baratnya dipindahkan dari desa mereka atas perintah VOC yang menang (Keuning 1956) (lihat peta 2). Tiga (3) pemukiman kembali bertahap dari populasi yang kalah diorganisir oleh para pemenang. Pertama, seluruh semenanjung Hoamoal dikosongkan, kecuali pemukiman padat dan miskin yang berasa langsung di bawah pengawasan garnisun VOC di Luhu. Kedua, penduduk pulau Boano, Kelang dan Ambelau dipindahkan ke wilayah sekitar benteng yang dibangun di pantai selatan pulau Manipa (Valentijn 1724-1726, II: 202-203). Ketiga, para pemimpin dan kaum elit pulau Seram serta beberapa keluarganya ditempatkan (dibuang) tepat di sekitar tembok benteng di kota Ambon, di lingkungan yang kemudian dikenal sebagai Batumerah.
Di tanah kelahiran penduduk yang diasingkan, desa-desa yang dikosongkan di Semenanjung Hoamoal, Pulau Kelang dan Boano, dibakar habis, dan kebun-kebun cengkih dan sagu benar-benar dihancurkan untuk memberi ruang bagi tatan sosial-ekonomi baru, dimana penanaman cengkih sangat terbatas di Ambon dan Kepulauan Uliasse. Bahkaan saat ini, sebagian besar Hoamoal dan seluruh Pulau Kelang dihuni oleh suku lain, pendatang dari Halmahera dan Sulawesi. Baik penduduk asli Hoamoal dan Kelang dari abad ke-17, maupun bahasa mereka, tidak pulih dari kebijakan abad ke-17 milik De Vlaming yaitu pembalasan, pemindahan dan pemukiman kembali. 3 varian bahasa, yaitu bahasa Kelang, Batumerah dan Piru, akan dibahas di sini sebagai contoh dampak dari kebijakan pembersihan etnis tersebut. Saat ini semua bahasa ini telah punah atau hampir punah.
Kelang
Pada tahun 1647, Gubernur VOC Amboina Gerard Demmerb (Heeres 1897: 563) menyebut 6 desa di Pulau Kelang, yaitu “Hatiboutjc, Amanitoud, Kelangh, Tono” dan “Salattj”. 10 tahun kemudian, tidak ada lagi yang tersisa atau ada. Penduduk desa Kelang yang selamat dari 5 tahun permusuhan VOC-Hoamoal terpaksa bermukim kembali di pantai selatan Pulau Manipa. Mereka tidak pernah kembali ke Pulau Kelang. Setelah uraiannya yang indah tentang Kelang, Nusa Ial “Pulau Kenari”, tempat penduduk hidup dari hasil kebun mereka, serta beras, umbi-umbian, polong-polongan, pohon kenari mereka dan dari perdagangan damar putih dari gunung Salatti, Georg Rumphius (1983: 185-186) mengakhiri uraiannya dengan pengamatan bahwa karena keterlibatan mereka dalam “Pemberontakan Majira”, orangkaija (pemimpin masyarakat) diasingkan ke Batavia dan semua penduduk Kelang diambil dari tanah mereka dan dipindahkan ke Manipa di samping benteng (“Wantrouw”, sebagaimana Valentijn dan Rumphius menyebutnya)4.
Pada bulan September 1978, saya berjalan dari 1 ujung pantai selatan Pulau Manipa ke ujung lainnya untuk mengumpulkan data bahasa5. Di sekitar reruntuhan benteng abad ke-17 di dekat pusat pantai, saya singgah di sebuah desa bernama Kelang-Asa’ude yang berpenduduk sekitar 600 orang. Menurut seorang pegawai kantor desa, Bapak Usman Kakuwe6, sangat sedikit dari sekitar 600 penduduk desa yang masih bisa berbicara bahasa Kelang; apalagi, sebagian besar, beberapa penutur itu semuanya berusia 60 tahun atau lebih. Orang muda dan anak-anak tidak tahu apa-apa tentang bahasa Kelang; bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Melayu-Ambon.
Jadi saya duduk beberapa jam dengan orang-orang tua itu, yang kenangan tentang pengusiran mereka dari tanah air mereka oleh VOC (“kompeni”, sebagaimana mereka menyebutnya) lebih dari 300 tahun yang lalu masih sangat hidup/teringat7, dan mengumpulkan kosakata sekitar 450 kata dan beberapa contoh sistem penandaan konjugasi dan genitif yang rumit dari bahasa Kelang, serta beberapa bahasa8. Setelah 3 abad pengasingan di Pulau Manipa, tidak mengherankan jika saya mencatat kata-kata pinjaman dari bahasa Manipa dalam tuturan penduduk desa berbahasa Kelang. Tetapi bahasa Kelang pada tahun 1978 tetap berbeda dari bahasa Manipa dan lebih mirip dengan bahasa Luhu9 (lihat lampiran 1 untuk perbandingan singkat). Misalnya, meskipun baik bahasa Kelang maupun bahasa Manipa, seperti bahasa Luhu10 memperlihatkan klitik demonstratif yang memfosil, {-ne}, dalam sistem pronomona persona, [aune] “saya/beta”, bukan [au]; [anene] “kamu”, bukan [ane] dan seterusnya, bahasa Kelang tidak secara teratus menggeser *t menjadi /k/, sebuah inovasi diagnostik dalam bahasa Manipa11. Tercatat :
'eye' [mata] 'stone' [batu] 'shrimp' [udang]
Manipa maka-
haku mekale
Kelang mata- hatu metale
Luhu mata-
hatu metale
Batumerah
Antara tahun 1862 dan 1869, 2 kosakata bahasa Batumerah yang diterbitkan dalam bahasa Belanda (Van der Crabe 1862; Ludekingf 1868) dan 1 kosakata dalam bahasa Inggris (Wallace 1869) (lihat lampiran 2 untuk contoh daftar dari Ludeking). Masing-masing merupakan sumber independen untuk sebuah bahasa yang punah, mungkin pada abad ke-1912. Berdasarkan daftar kata yang dikumpulkan hampir 150 tahun lalu, bahasa Batumerah sangat mirip dengan dialek bahasa Luhu, seperti yang dikemukakan oleh Grimes (1988: 517)13. Dalam Collins (1977-1979) banyak item leksikal menampilkan bentuk-bentuk seperti bahasa Luhu; misalnya mundei [yang berarti] “manusia/laki-laki” (Wallace) atau opo mandai [yang berarti] “anak laki-laki” (Van der Crab) dapat disamakan dengan bahasa Luhu yaitu mandae [yang berarti] “manusia, laki-laki”, berbeda dengan bahasa Manipa yaitu mannai dan bahasa Kelang yaitu mallae (semua berasal dari bentuk sebelumnya yaitu /malana/ yang berarti “manusia, laki-laki, suami” + /e/ “artikel tunggal seperti kata the)14. Di sisi lain, ada alasan fonologis untuk mengasosiasikan varian bahasa Batumerah lebih dekat dengan bahasa Manipa15.
Pada abad ke-17, Batumerah tampaknya telah berfungsi sebagai tempat internal pengasingan di Maluku, terutama bagi umat Islam dari Seram bagian barat. Perhatikan bahwa pada sumber Valentijn (1724-1726, II: 124) pemukiman tersebut diberi label “Den Roodenberg der Mooren”16. Bahasa yang digunakan di sana mungkin mencerminkan berbagai rangkaian sejarah pemukiman dan varian koine Hoamoal yang mungkin telah berkembang. Meskipun demikian, gagasan klasifikasi bahasa Batumerah yang benar-benar jelas, berada di luar jangkauan kami karena sudah punah dan ortografi dokumentasi yang ada tidak sepenuhnya dapat diandalkan.
Piru
Pada awal tahun 1978, saya mengunjungi Piru beberapa kali untuk belajar bahasa di sana, juga melakukan perjalanan ke tempat penelitian lain (Eti, Murikau, Kaibobo dan lain-lain). Setelah beberapa awal yang salah, saya berhasil mengumpulkan kosakata lebih dari 1.200 kata dari bahasa tersebut, tetapi hanya dapat membentuk gagasan yang agak samar tentang sistem konjugasi yang tampaknya telah mengalami kemunduran dan tidak dipahami dengan baik17. Pada saat itu, populasi Piru diperkirakan 5.000 orang, tetapi kurang dari 1000 penduduk mengaku sebagai penduduk asli Piru. Dari jumlah itu hanya ada 40 atau 50 yang mengaku berbicara atau mengetahui bahasa Piru. Sebenarnya, jumlah penutur yang berkompeten mungkin jauh lebih sedikit dari jumlah itu. Bahkan “penutur” yang lebih tua (umur 50 tahun atau lebih) hanya memiliki sebagian pengetahuan tentang bahasa Piru. Informan yang paling dapat dipercaya berusia sekitar 70 tahun18. Pada tahun 1985, Taguchi (1989:40) melaporkan “paling banyak hanya 10 orang penutur asli” bahasa Piru, yaitu kurang dari 1% dari jumlah total penduduk asli Piru.
Sebagaimana dicatat 20 tahun yang lalu (Collins 1983), bahasa Piru berkerabat dekat dengan bahasa Luhu. Sachse (1919:44) menganggap bahasa Piru dan Luhu sebagai 2 dialek “Behasa Loehoe”. Bahkan, bahasa Piru mungkin merupakan titik paling utama dalam rangkaian desa berbahasa Luhu yang tersebar di seluruh Semenanjung Hoamoal sebelum tahun 165019. Ketika kebijakan pemindahan paksa dari De Vlaming mengosongkan semenanjung, mata rantai dalam rantai itu terputus, membuat penutur bahasa Piru terisolasi dari penutur bahasa Luhu, terutama yang tersisa di Luhu sendiri. Sebagaimana dicatat 20 tahun yang lalu (Collins 1983: 79), sejak abad ke-17,
Persimpangan antara kedua desa ini [Luhu dan Piru] sangat minim. Selain itu, masuknya orang luar ke Piru sangat mempengaruhi bahasanya. Hasil yang paling menonjol adalah hampir punah. Tidak mengherankan kemunduran secara bertahap bahasa Piru terlihat pada beberapa kekhasannya.
Peminjaman kosakata, terutama dari Eti, sebuah desa yang secara tradisional berbicara bahasa Teluk Timur Piru yang terkait dengan bahasa Kaibobo, tetapi juga unsur-unsur leksikal dari desa-desa berbahasa Alune di dekatnya, telah membuat bahasa Piru menyimpang dari bahasa Luhu kontemporer. Namun, hubungan bahasa Piru dengan bahasa Luhu mencolok20, bahkan sampai kedua varian menampilkan mandai [yang berarti] “manusia, laki-laki”, dan sima [yang berarti] “siapa”, tidak ditemukan dalam bahasa Teluk Barat Piru lainnya – kecuali Batumerah, seperti yang disebutkan di atas (lihat lampiran 1)
Diskusi
Di bagian ini, 3 bahasa yang terancam atau punah disinggung secara singkat. Saya akan mengklaim bahwa ketiga varian bahasa ini telah mencapai keadaan mereka saat ini pada awalnya karena keputusan masa perang yang dibuat oleh para pejabat VOC pada abad ke-17 untuk mengosongkan Semenanjung Hoamoal dan pulau-pulau sekitarnya dan kemudian karena pergeseran lingkungan ekonomi dan sosial, yang dihasilkan dari pemukiman kembali yang sejak saat itu menyebabkan reinterpretasi identitas dan afiliasi etnis. Pemukiman kembali penduduk Hoamoal menyebabkan kepunahan bahasa Batumerah, hampir punahnya bahasa Kelang, dan keadaan mengkhawatirkan bahasa Piru saat ini. Tentu saja, bahkan sejak tahun 1970-an, banyak bahasa di Maluku yang punah atau terancam punah. Namun, khususnya dalam kasus bahasa Batumerah dan Kelang, varian bahasa Hoamoal ini tidak mengikuti pola umum, bisa dikatakan tipologi, tentang kepunahan bahasa di Maluku Tengah.
Seperti yang akan kita lihat di bagian selanjutnya, di wilayah geografis dan sosiologis ini, bahasa-bahasa yang paling mungkin terancam punah, atau bahkan hilang tidak dapat diperbaiki lagi, adalah bahasa-bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Kristiani, bukan bahasa-bahasa seperti bahasa Batumerah dan Kelang yang ada atau pernah ada yang dituturkan oleh masyarakat Muslim. Fakta bahwa bahasa-bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Muslim di Maluku Tengah telah punah – atau hampir punah – bahkan 25 tahun yang lalu tidak sesuai dengan pola tipologi bahasa yang terancam punah di wilayah tersebut. Dan alasannya harus dicari.
Pada tahun 1978, bahasa Kelang, sebuah bahasa “lambang” – yaitu bahasa yang melambangkan asal-usul sejarah masyarakat yang menggunakannya, diucapkan di desa yang agak terpencil dan belum berkembang21 – dengan cepat digantikan oleh bahasa Melayu-Ambon, padahal tidak ada komunitas bergengsi terdekat yang menggunakan bahasa Melayu Ambon sebagai bahasa pertama mereka22, tidak mudah memperoleh pendidikan sekolah menengah, tidak ada fasilitas komunikasi massa dan tidak ada jaringan transportasi yang dapat diandalkan ke ibukota provinsi, yaitu kota Ambon. Singkatnya, tidak ada faktor sosiologis umum yang dianggap mempengaruhi gesekan bahasa. Kemungkinan besar faktor-faktor yang mempengaruhi hilangnya bahasa di desa Kelang perlu dicari dalam sejarah sosial desa tersebut. Akar hilangnya bahasa terletak jauh di masa lalu desa ini, atau, seperti yang mungkin dirujuk oleh Mufwane (2001: 155),yaitu “sejarah sosial ekonomi pemukiman”.
Dalam kasus bahasa Kelang, pemaksaan pemukiman kembali 6 desa yang cukup besar pada abad ke-17, dengan pemutusan hubungan yang diperlukan dengan tanah leluhur mereka dan sumber daya mereka, terutama satu-satunya sumber mata pencaharian, yaitu perdagangan cengkih dan damar, menyebabkan kemunduran secara bertahap populasi dan bahasa mereka. Perhatikan bahwa Bleekerg (1856: 50) menulis bahwa pada tahun 1629 (25 tahun sebelum pemukiman kembali di Manipa), Pulau Kelang diperkirakan memiliki 400 orang yang mampu “membawa” atau mempergunakan senjata. Bleeker memperkirakan ini berarti total populasi sekitar 1.600 orang. Memang, perkiraan dari Knaap (1987: 100) untuk sekitar tahun 1634 adalah hampir 1.900 penduduk. Namun pada pertengahan abad ke-18, seluruh pulau Manipa dengan 8 desanya (termasuk desa Kelang dekat benteng Wantrouw, tempat penduduk pulau Kelang dimukimkan kembali) memiliki total populasi hanya 700 jiwa. Tahun 1824, populasi dari seluruh pemukiman di Pulau Manipa berkurang hingga 320 jiwa (Bleeker 1856: 49). Meskipun malaria ganas adalah masalah yang terus menerus terjadi di Manipa, kita berasumsi bahwa migrasi dari pulau itu dalam 325 tahun terakhir adalah faktor utama dalam penurunan populasi ini23.
Namun, dalam kasus bahasa Batumerah, semua faktor sosiologis “klasik” umumnya terkait dengan kehilangan bahasa yang terjadi saat sekarang. Jarak Batumerah yang sangat dekat dengan semua sumber daya pendidikan, transportasi, dan komunikasi dengan kota Ambon, tentu saja berkontribusi pada kepunahan bahasanya pada abad ke-19. Selain itu, peran Batumerah yang lebih baru dan modern sebagai salah satu pintu masuk utama bagi para migran Muslim dari bagian lain Maluku dan tempat lain di Indonesia Timur berkontribusi pada hilangnya bahasa, terutama setelah pertumbuhan pesat kota Ambon pada abad ke-19. Tetapi harus ditekankan bahwa alasan bahasa Batumerah dituturkan di “[sebuah] pinggiran kota Amboyna”, seperti yang dijelaskan Wallace (1859), memang merupakan bagian dari “sejarah sosial ekonomi”. VOC memberlakukan pemukiman kembali pada mereka mereka; mereka tidak memilih untuk berada di kota Ambon. Dengan demikian, kebutuhan untuk menemukan kembali diri mereka sendiri merupakan akibat langsung namun perlahan tumbuh dari pengasingan mereka ke pinggiran benteng di Ambon. Pergeseran bahasa adalah bagian dari penemuan kembali identitas mereka.
Dalam kedua kasus yang dibahas di sini, bahasa Kelang dan Batumerah, kami mengamati bahwa varian bahasa Maluku Tengah (bisa disebut bahasa atau dialek Hoamoal) menjadi terancam karena keputusan eksplisit yang dibuat oleh VOC untuk memukimkan kembali dan “mengurangi” penutur bahasa Kelang dan Batumerah tersebut. Dalam bukunya yang terbaru, yaitu Language death, David Crystal menjelaskan hasil sosial dari perpindahan penduduk baru-baru ini di wilayah Sahel di Afrika, tetapi pengamatannya juga relevan dalam pembahasan kita tentang pemukiman kembali di Maluku. Dia menulis (Crystal 2000: 74) :
Migrasi yang tidak terduga terjadi, dimana komunitas merasa sulit untuk mempertahankan integritas mereka, dan ketergantungan budaya tradisional – dan bahasa – menjadi hancur
Rupanya, dalam kasus varian bahasa Piru, dampaknya tidak terlalu langsung, tetapi dikombinasikan dengan faktor lain yang sama kuatnya. Dengan memindahkan dan memukimkan kembali penduduk Semenenjung Hoamoal pada abad ke-17, bahasa Piru dipisahkan dari daerah berbahasa Luhu lainnya, semuanya terkonsentrasi di dekat benteng VOC di desa Luhu. Isolasi sosial bahasa Piru dari semua penutur bahasa Luhu lainnya menyebabkan bahasa terebut mengalami kemunduran. Tentu saja, faktor-faktor selanjutnya juga berperan dalam kemunduran ini, termasuk konversi penduduk Piru menjadi Kristen24, dan selanjutnya di abad ke-20, kampanye militer dan penanaman modal yang dilakukan di Piru sebagai pusat pemerintahan25 dan misionaris26. Tetapi titik awal kemunduran ketahanan bahasa ini adalah isolasi geografis dan sosial yang dipaksakan di Piru oleh pemukiman kembali massal desa-desa berbahasa Luhu lainnya dari lokasi mereka di sepanjang Semenanjung Hoamoal.
Kematian atau kepunahan bahasa seringkali merupakan proses yang kompleks, seperti yang akan kita lihat pada bagian selanjutnya. Tetapi ada kemungkinan kuat bahwa disintegrasi masyarakat Kelang dan komunitas Hoamoal yang diasingkan lainnya yang disebabkan oleh pemukiman kembali yang dipaksakan oleh VOC pada akhirnya menyebabkan hilangnya bahasa di komunitas-komunitas yang diasingkan itu27 dan di tambah lagi dengan faktor-faktor lain, pada bahasa Piru juga.
Kebijakan misi dan kemunduran bahasa
Selama kira-kira 400 tahun terakhir, banyak sekali yang telah ditulis tentang kebijakan misi di Maluku, mulai dari tulisan atau kajian dari Danckaerts (1621) dan monografnya Valentijn (1724-1726, III) hingga ringkasan besar abad ke-19 dan ke-20 (antara lain, Van Boetzelaer van Asperen en Dubbeldam 1947; Coolsma 1901; Mooij 1927-31; Swellengrebel 1974; Troostenburg de Bruijn 1893). Di sini, saya ingin menekankan 2 aspek dari wacana ilmiah yang sudah lama ada pada hal itu.
Pertama, usaha misi Kristen di Maluku merupakan bagian dari keseluruhan usaha VOC. VOC membayar gaji28, menetapkan standar dan membuat keputusan kebijakan. Kedua, seperti yang diharapkan dalam tradisi Protestan, sejak awal ada perdebatan yang berkembang tentang pilihan bahasa dalam upaya misi tersebut.
Pengamatan kedua aspek ini menyiratkan bahwa VOC, melalui “kebijakan agama” (Niemeijer 2001: 275), memikul tanggung jawab – setidaknya sebagian – atas cara-cara, entah baik dan buruk, dimana Gereja Protestan memiliki dampak pada penggunaan bahasa dan pemilihan bahasa di Maluku.
Bahasa dan Kristenisasi Maluku
Dimulai pada awal abad ke-16, pendatang dari barat ke Maluku berulang kali mempelajari sejumlah besar bahasa yang digunakan di Kepulauan Maluku (Collins 1980b). Jika ada, para pengamat awal ini mungkin meremehkan sejumlah bahasa yang digunakan di Maluku Tengah. Misalnya, bahkan pada akhir abad ke-20, setidaknya 2 bahasa yang sebelumnya tidak terdokumentasi dan mungkin tidak dikenal, yaitu bahasa Hulung dan Naka’ela, ditemukan di pantai utara Seram (Collins 1982, 1983). Bahasa lain yang tidak pernah didokumentasikan sebelumnya adalah bahasa Laha, di pulau Ambon itu sendiri (Collins 1980a, 1983). Kita hanya dapat bertanya-tanya berapa banyak lagi bahasa yang digunakan di Maluku Tengah 400 tahun sebelumnya29.
Justru karena banyaknya jumlah bahasa yang disebutkan dan dikenal di Maluku Tengah, misionaris Kristen paling awal, Katolik Roma dibawah perlindungan Portugis, membuat keputusan untuk menggunakan bahasa Melayu dalam upaya misi mereka, terutama setelah kedatangan Francis Xaverius di Ambon30. Pada akhir abad ke-16, tidak kurang dari 600 anak belajar di 2 sekolah gereja di Ambon; pelajaran mereka diajarkan dalam bahasa Melayu (Jacobs 1985: 11). Di antara banyak materi keagamaan tulisan tangan yang disalin dan didistribusikan di Maluku adalah sebuah katekismus yang ditulis oleh seorang Jesuit asal Italia, yaitu Lourenzo Masonioh, pada tahun 1602. Coolsma (1901 : 16) melaporkan bahwa ketika pendeta Belanda pertama tiba di Ambon, mereka menemukan materi-materi agama Katolik yang sudah ditulis (tetapi tidak dicetak) dalam bahasa Melayu. Tidak satu pun dari bahan-bahan ini pernah ditemukan, tetapi dalam bahan-bahan keagamaan Protestan paling awal yang diterbitkan oleh VOC, banyak ditemukan kata-kata pinjaman bahasa Portugis untuk terminologi gerejawi (baptismo, apostolo, sacramento, dan sebagainya), yang menunjukkan perkembangan terminologi teologis dan distribusi terminologi-terminologi ini dalam bahasa Melayu selama periode Portugis31. Bahkan setelah banyak orang masuk Islam melalui perang panjang dengan kesultanan Ternate, masih terdapat 16.000 umat Katolik di Maluku Tengah pada tahun 1606 ketika VOC menaklukan dan menguasai Ambon.
Banyak penulis telah menulis tentang masalah awal yang dihadapi oleh para pejabat VOC dalam memutuskan bahasa apa yang akan digunakan dalam upaya mereka untuk menjelaskan Calvinisme kepada umat Kristiani di Ambon. Diskusi sebagian besar terfokus pada apakah bahasa Belanda atau bahasa Melayu yang akan digunakan, dan berakhir dengan keputusan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar32. Bahkan, pasti ada diskusi tentang bahasa asli Maluku Tengah juga. Namun, bukti yang membuktikan wacana itu terpisah-pisah dan terputus.
Selama penelitian kepustakaan yang mengarah pada penerbitan bibliografinya tentang VOC, J. Landwehr (1991: 420) menemukan jejak wacana ini ketika ia menemukan di antara Resoluties van de Heeren XVII, suatu entri bertanggal 9 Mare 1648 mengenai keputusan mereka memiliki buku cetak Uliasser ABC dan buku doa Uliasser (ABC en gebedenboek in de Uliassere taal overgezet). Namun, Landwehr tidak pernah menemukan jejak atau salinan dari buku-buku tersebut yang telah disetujui untuk dicetak, tampaknya dalam bahasa Saparua.
Yang lebih mencengangkan adalah informasi33 bahwa pada tahun 1634 pendeta Justus Heurnius, menulis dari Ulat, di Pulau Saparua34 (dimana dia ditempatkan pada tahun 1633; lihat Valentijn 1724-1726, III: 49), kepada chamber (kamar) Amsterdam, melaporkan bahwa dia telah mulai menerjemahkan Injil Matius dan bagian kitab lainnya ke dalam Uliassische taal, yaitu bahasa Saparuai. Apalagi, tambahnya, para guru sekolah (meester) yang bekerja di Saparua membacakan Doa Bapa Kami, 10 Perintah dan Pengakuan Iman dalam bahasa Uliasse. Daftar yang termasuk dalam surat ini mencantumkan berbagai bahan yang diterjemahkan dan ditulis dalam bahasa Saparua. Sekali lagi, bahan-bahan tersebut belum ditemukan; tidak ada bukti bahwa bahan-bahan itu pernah diterbitkan.
Faktanya, abad ke-17 menandai era yang luar biasa dalam penulisan dan penerjemahan berbagai teks Kristen untuk digunakan oleh masyarakat Asia Tenggara. Selain itu, banyak dari teks-teks ini diterbitkan di Belanda (dan kemudian di Batavia), biasanya atas biaya VOC, dan disebarluaskan. Tetapi semua teks ini, sejauh yang kami tahu, diterbitkan dalam bahasa Melayu (Collins 1992b, 2000) atau, setelah penaklukan dan akuisisi VOC atas Malaka Portugis, dalam bahasa Portugis, tetapi tidak dalam bahasa lain di kepulauan Asia Tenggara35.
Di sisi lain, keputusan para direktur VOC pada tahun 1648 dan surat Heurnius pada tahun 1634 bukanlah contoh terakhir dalam abad ini, yang mendokumentasikan keprihatinan untuk menginjili dalam bahasa-bahasa lokal di Maluku. Pada akhir abad ke-17, pendeta VOC yang paling lama bertugas di Ambon adalah pendeta Francois Caron36. Dalam kumpulan khotbahnya yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1678 di Amsterdam oleh VOC, ia menekankan pentingnya para pendeta menjangkau masyarakat Maluku, termasuk orang-orang kafir, melalui bahasa lokal mereka (Caron 1693). Dalam khotbahnya yang ketiga tentang Doa Bapa Kami, dengan judul “Rewajat Jang III Pada Mintahan Ca Doa Radjat mou mendatang”, pada halaman 82 dari seri itu, ia menulis :
Cardjahan deri pandita pandita, jang jaddi ancat deri pada Tsaurat Igresia, acan menounggou pada orang Nassarani, seperti Combala pada domba domba.Patut djanja adjar bahassa Malejo, daan djica dapat, bahassa Ambon, rewajat trang, begra hati orang di louar di dalam Igresia [..........] lagi bacatta catta dengan orang hindou daan Caffiri, calou deri pada touloungan Allah bolej menang barang djiwa
[Tugas para pendeta yang ditunjuk oleh Dewan Gereja adaalah menunjukan jalan kepada umat Kristen, seperti seorang gembala kepada domba-dombanya. Dia harus belajar bahasa Melayu, dan kalau bisa berbahasa Ambon, berkhotbah dengan jelas, menggerakan hati baik di dalam maupun di luar Gereja [.......]; selain itu, [dia harus] berbicara dengan orang-orang kafir dan pagan, sehingga dengan bantuan Tuhan, dia dapat memenangkan jiwa-jiwa.
Karya pendeta Caron sendiri yang diterbitkan agak ekstensif semuanya dalam bahasa Melayu, bukan dalam beberapa bahasa lokal di Maluku (Collins 1992a). Namun pembacaan terhadap khotbah Caron (1693) yang cermat menunjukkan pengetahuan tentang bahasa lokal Ambon. Collins (1992a : 111) hanya memberikan satu contoh tekstual :
Dalam penolakannya terhadap dewa-dewa palsu dan demonisme, Rewajat Jang I, Pada Penjouroan Bermoula [hal 5], Caron menggambarkan berbagai praktik penyembahan berhala termasuk 2 kebiasaan masyarakat Ambon sendiri :
...... daan orang Ambon mimpi deri Nitou, hormat pada Lanit Boumi
Baik itu nitu [yang berarti] “roh, jiwa orang mati” dan lanit [yang berarti] “langit, surga” adalah kata-kata asli yang masih digunakan dalam bahasa Ambon yang masih tetap dituturkan37. Hal ini menunjukan bahwa Caron setidaknya mengenal beberapa kosa kata dari bahasa lokal dan, oleh karena itu, pada saat itu, pada akhir abad ke-17, bahasa-bahasa tersebut mungkin masih digunakan dan masih berperan dalam masyarakat Ambon38.
Bagaimanapun juga, sekitar pertengahan abad ke-17 VOC memutuskan untuk hanya menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa gereja dan sekolah gereja. Setelah surat-surat Heurnius, nasehat saleh dari Caron dan resolusi VOC, tidak ada pembahasan lebih lanjut tentang bahasa lokal yang muncul dalam sumber-sumber yang diperiksa sejauh ini. Baru pada akhir abad ke-19 misi Kristen kembali berkaitan dengan bahasa-bahasa di Maluku Tengah.
Dampak penggunaan bahasa dalam lingkungan Calvinis telah dijelaskan oleh sejumlah sejarahwan. Schama (1988: 94) merujuk pada “pembacaan, nyanyian, dan eksegesis yang berlangsung di gereja-gereja Calvinis, sekolah dan rumah”. Schenkeveld (1991: 39) membahas lebih jauh tentang dampak terjemahan Alkitab bahasa Belanda tahun 1637, yaitu Statenbijbel, dan khotbah-khotbah yang didasarkan pada hal itu pada masyarakat Belanda yang dimulai pada abad ke-17. Dia menulis :
Terjemahan Alkitab memiliki pengaruh besar pada bahasa dan budaya Belanda selama abad-abad berikutnya . [.............] orang menghadiri gereja 2 kali pada hari minggu dan sering pergi ke kebaktian ketiga pada hari kerja biasa, setiap kali mendengarkan khotbah dengan detail eksegetis yang kaya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa “bahasa Kanaan” menjadi bahasa kedua bagi banyak orang.
Di Maluku, tradisi penerjemahan Alkitab Calvinis, pembacaan khotbah secara teratur39 dan pengembangan sistem sekolah dimana bahan-bahan yang berhubungan dengan gereja memainkan peran utama adalah ciri-ciri kehidupan sehari-hari orang Ambon yang terdokumentasi dengan baik. Niemeijer (2001: 267) menjelaskan pekerjaan Sebastian Danckaerts, pendeta Belanda kedua yang ditempatkan di Ambon (1618-1622) :
Dia merekrut kepala sekolah orang Maluku dari kepala desa atau orangkaja. Para rekrutan menerima pelatihan selama beberapa tahun di rumah para pendeta. Bekerja di gereja desa, mereka mengajarkan katekismus Heidelberg kepada orang dewasa. Di sekolah-sekolah, mereka mengajar anak-anak menulis, membaca dan katekisasi. Pada kebaktian gereja minggu mereka membaca khotbah dan mengajar orang Kristen bagaimana menyanyikan mazmur dan berdoa.
Sejumlah buku agama yang ditulis atau diterjemahkan dalam bahasa Melayu diterbitkan atas perintah VOC untuk mendukung upaya konsolidasi Calvinis, termasuk terjemahan Danckaerts dari Katekismus Heidelberg tahun 1623 yang dicetak 10.000 eksemplar (Landwehr 1991 : 416). Selain itu, sepanjang periode terakhir pemerintahan VOC di Maluku Tengah, tidak ada bukti bahwa bahasa lain (kecuali bahasa Belanda, terutama di dalam benteng dan untuk pegawai kompeni) pernah digunakan dalam kegiatan gereja40.
Memang intensitas penggunaan bahasa Melayu dari akhir abad ke-17 dan seterusnya didokumentasikan dengan baik. Fakta di lapangan semakin jelas jika kita beralih ke catatan Valentijn tentang sejarah gereja dan agama di Maluku Tengah, Omstandig verhaal van de geschiedenissen en zaken het Kerkelyke den Godsdienst betreffende zoo in Amboina..........Misalnya Valentjin (1724-1726, III: 119 – 130) melaporkan kunjungannya pada tahun 1708 ke 23 sekolah yang berhubungan dengan gereja di pulau Ambon saja. 2.010 siswa di sekolah desa ini menghafal, membaca, dan menulis dalam bahasa Melayu; dan setiap sekolah dilengkapi dengan tidak kurang dari 7 judul buku berbeda yang dicetak dalam bahasa Melayu (Collins 1998), hampir selalu termasuk khotbah-khotbah Caron. Misalnya di Suli, ada 9 judul berbeda dan total 69 buku; di Liliboi ada 7 judul dan 19 buku (2 di antaranya adalah “zeer oud en versletten”); di Soya ada 8 judul dan 36 buku secara keseluruhan. Sekolah gereja, kebaktian gereja dan buku-buku gereja merupakan ciri utama masyarakat Kristen Ambon pada akhir abad ke-17.
Bahkan, buku khotbah Caron yang pertama kali diterbutkan pada tahun 1678 masih digunakan di gereja-gereja desa Ambon bahkan pada awal abad ke-19 (Steinhauer 1991: 200). Khotbah-khotbah telah “melampaui” VOC itu sendiri.
==== bersambung ====
Catatan Kaki:
1. Draf asli kajian ini dipresentasikan sebagai makalah undangan pada Simposium 400 jaar VOC : Wat valt er te vieren?, yang diselenggarakan oleh Dewan Redaksi Marinjo dan Blimbing, di Amsterdam, 13 April 2002. Saya sangat berterima kasih kepada teman saya Herman Keppy dari Marinjo yang mengatur keterlibatan saya dalam kegiatan itu. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada K. Anderson, T.Conners, T. Kaartinen, G.Knaap, S.Koolhof, B. Litamahuputty, P. Martin, H. Niemeijer, U. Tadmor, Waruno Mahdi dan rekan-rekan lainnya yang memberikan saran dan masukan ketika saya merevisi kajian ini untuk dipublikasikan, serta untuk peserta Simposium yang bertemu dengan saya untuk berbicara tentang bahasa Maluku selama Simposium. Utang saya yang terdalam, tentu saja, adalah kepada semua orang Maluku yang telah mendukung penelitian saya tentang bahasa mereka selama 30 tahun terakhir. Banyak dari mereka yang telah meninggal dunia dan, dalam beberapa kasus, jejak terakhir dari bahasa mereka juga punah. Kepada mereka, saya menyampaikan : ulepa aku sou waku imi leke imi sou a
2. Peristiwa kontemporer jauh lebih rumit daripada ringkasan singkat yang disajikan di sini. Gerrit Knaap (komunikasi pribadi tertanggal 24 Mei 2002) mengklarifikasi : “ Dua penyerangan di Banda dan 1 di Ambon (Perang Besar Ambon atau Perang Hoamoalese) berevolusi menjadi perang, dimana “pembersihan” menjadi pernyatan objektif. Akibatnya, perang lebih dari ½ abad di seluruh Maluku dapat dicirkan sebagai perang yang berlarut-larut, kadang-kadang berbentuk genosida”.
3. Masyarakat Banda yang saat ini tinggal di Banda Eli dan Banda Elat, Kei Besar, memiliki tradisi yang sangat kuat tentang perjalanan/perlayaran yang menentukan identitas ini lebih dari 350 tahun yang lalu. Ada banyak cerita tentang pengejaran oleh kapal-kapal perang VOC ke pantai desa mereka sekarang, penyamaran yang digunakan oleh nenek moyang mereka untuk menipu para pengejar, penyerahan tanah oleh penduduk pribumi Kei dan pembentukan mata pencaharian yang rapuh berdasarkan siklus perdagangan ke Kepulauan Aru dan lainnya.
4. Valentijn (1724-1726, II : 33) mengabstraksi dan mengulang pembahasan dari Rumphius, mencatat populasi (“in ouden tyden”, yaitu sebelum pemukiman kembali) sebanyak 720 jiwa
5. Kerja lapangan ini dilakukan sebagai bagian dari penelitian doktoral saya (1977-1979) dibawah naungan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI (Jakarta) dan sponsor dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Jakarta). Pada tahun 1977-1978, sebagian besar penelitian saya didanai oleh program Fulbright-Hays Fellowship dibawah Departemen Pendidikan USA. Analisis awal dari akumulasi data didukung oleh Whiting Foundation Fellowship (1980), yang dikelola melalui University of Chicago
6. Komunikasi pribadi tertanggal 9 Oktober 1978
7. Catatan saya yang sangat singkat (Collins 1977-1979), yang ditulis sebelum saya memiliki akses ke dokumen-dokumen sejarah dan sepenuhnya didasarkan pada tradisi desa, adalah sebagai berikut : Kelang [desa di pulau Manipa] konon berasal dari pulau Kelang, pulau di sebelah utara dari sini. Asa’ude, memiliki tradisi terpisah, mata air [untuk air minum] terpisah, tetapi “raja” yang sama, konon berasal dari Asa’ude. Mereka melarikan diri dari pulau asal mereka (mungkin pada abad ke-17), diusir oleh “kompeni”
8. Ini adalah salah satu daftar kata terkecil yang saya kumpulkan selama kerja lapangan doktoral saya (1977-1979); dalam buku harian saya (tertanggal 16 September 1978) saya menyebutnya sebagai “kosakata awal”. Tapi itu melebihi satu-satunya kosakata bahasa Kelang yang diketahui hanya 32 kata (hampir setengahnya adalah jumlah) yang dicatat oleh Van Doren (1859). Pada tahun 1985, Taguchi (1989 ; 48) “tidak dapat memperoleh daftar kata” dari bahasa Kelang karena alasan yang tidak dapat dijelaskan. (Ia dan peneliti lain dari Summer Institute of Linguistic (SIL) tampaknya belum pernah mengunjungi satu pun pulau di sebelah barat Seram (Taguchi 1989: 18), paling tidak sebelum tahun 1989; lihat peta 2. Satu-satunya data Taguchi menyebutkan salah satu pulau ini dikumpulkan dari 2 penutur bahasa Boano, informan/penutur termuda dari 43 orang yang diwawancarai oleh staf SIL. Kedua pemuda itu tidak diwawancarai di Boano tetapi di suatu tempat yang tidak disebutkan).
9. Lihat Collins (1987: 73-78) untuk pembahasan lebih lanjut tentang hubungan linguistik antara bahasa Manipa, Luhu dan Kelang. Perhatikan juha bahwa Sachse (1919: 44) memberi label bahasa Kelang sebagai “Behasa Hoamoal”. Anehnya, meskipun Taguchi tidak pernah mengumpulkan data tentang bahasa Kelang, dia tidak ragu untuk meragukan klasifikasi yang diajukan dalam Collins (1983)
10. Tabel pronomina bahasa Luhu, baik bentuk bebas maupun klitik, dapat ditemukan dalam Payapo (1980: 48). Almarhum Abdullah Payapo, salah satu ahli bahasa terkemuka Maluku, meninggal dalam kecelakaan tragis hanya beberapa tahun setelah selesainya monograf perintisnya. Kematiannya yang terlalu dini telah menunda kajian serius tentang bahasa asli di kawasan itu oleh penutur asli bahasa itu sendiri.
11. Namun demikian, ada beberapa kata pinjaman dari bahasa Manipa dalam data bahasa Kelang yang saya kumpulkan pada tahun 1978. Misalnya, [kia-] (Kelang), [kia-] (Manipa) 'perut', di mana tia- akan menjadi refleks yang diharapkan dalam bahasa Kelang. Juga terdapat beberapa kasus pengurangan suku kata kedua dari belakang dalam bahasa Kelang yang tampaknya dipinjam dari bahasa Manipa di mana pengurangan tersebut terjadi lebih sering (Collins 1983:77); Misalnya:
Proto-Austronesian Gloss Manipa Kelang
*isi flesh sin si-na
*quZan rain lane lane
*kulit skin li?i li?a
*qulu head lu lu-ku
12. Travis (1989:87) menginformasikan bahwa pada tahun 1984 'kepala desa Batumerah [...] melaporkan bahwa bahasa tersebut tidak digunakan selama lima puluh tahun dan mungkin hanya dua atau tiga orang tua yang masih mengetahui bahasa tersebut'. Jika klaim palsu ini kredibel, orang bertanya-tanya mengapa orang-orang lanjut usia yang berpengetahuan ini tidak diperkenalkan kepada tim peneliti SIL sehingga daftar kata dapat dikumpulkan. Baik Van Hoevell di akhir abad ke-19 maupun Erwin Stresemann di awal abad ke-20 tidak mengumpulkan daftar kata bahasa Batumerah. Stresemann (1927:2-3), pada kenyataannya, menggunakan tiga sumber yang sama pada pertengahan abad ke-19 yang dikutip di sini. Meskipun ini mungkin mencerminkan kelalaian dari para sarjana ini, alasan yang lebih mungkin adalah bahwa bahkan pada saat itu (1875-1915) tidak ada penutur bahasa Batumerah. Kesimpulan Grimes (1988) bahwa bahasa Batumerah 'hampir punah' tampaknya memang meremehkan.
13. Sachse (1919:44), sebaliknya, berpendapat bahwa bahasa Luhu sangat mirip (overeenkomstig) dengan bahasa Batumerah, meskipun tampaknya tidak dianggap identik; artinya, bahasa Luhu dan Batumerah bukanlah dialek satu sama lain.
14. Tentu saja, klaim Stresemann (1927:138) bahwa -ei dan -ai diftong yang dipertahankan adalah keliru. Lihat Collins (1983).
15. Collins 1983:86-7. Data dari bahasa Boano, Luhu, Kelang dan Manipa diambil dari catatan lapangan saya 1977-78 (Collins 1977-79); lihat Lampiran 1 untuk contoh kecil dari data ini.
16. Valentyn (1724-26, 11:124) mengakui: 'Waar oleh nu nog eenige weinige Mohammedaanen (zynde veel oude daar gebannen Hoewamohelesen) die reeds opgebracht zyn, dog nu hier op Leitimor woonen, zouden moeten getelt sipir [...]'. atau “dimana masih ada beberapa orang Mohammedan/Islam (banyak dari orang orang Hoamoal yang dibuang di masa lalu) telah berkembang, dan menetap di Leitimor, harus dihitung [.......]
17. Reduksi dan reinterpretasi sistem morfologis mungkin tidak menandai suatu tahapan kehilangan bahasa. Misalnya, perbandingan morfologi verbal bahasa Inggris dengan bahasa Belanda, atau bahasa Belanda dengan bahasa Jerman, menunjukkan bahwa pengurangan morfologi tidak selalu menandai hilangnya bahasa. Bahkan di Maluku, bahasa Laha dengan morfologinya yang sangat tereduksi dan diinterpretasi ulang merupakan bahasa yang hidup pada saat penelitian saya (1977-79); lihat Collins (1980a). Di sisi lain, seperti yang akan kita lihat di bawah, hilangnya morfologi di AUang hampir pasti menandai tahap pengurangan bahasa; lihat Dressier (1988:185) tentang penurunan produktivitas aturan pembentukan kata.
18. Saya pertama kali bekerja dengan seorang pria berusia 50 tahun yang dipilih justru karena dia adalah 'pembicara' bahasa Piru yang terkenal; namun, selama sesi elisitasi awal dia hanya mengetahui 16 dari 50 kata pertama dari kuesioner kosa kata saya (hanya 32% dari total). Bandingkan catatan Dorian (1986:562-3) dan Evans (2001:250-81) tentang mengidentifikasi dan bekerja dengan penutur bahasa usang. Informan ketiga saya, Ibu Sosana Kekelesi (saat itu berusia 69 tahun), adalah informan yang sangat baik yang memberikan hampir semua data yang membentuk korpus 1.200 kata dalam arsip saya (Collins 1977-79). Namun, perhatikan bahwa bahkan dalam ucapannya konjugasi k- dan t- tidak lagi produktif, dengan bentuk seperti [itapila/] dan [irapila/] 'dia memijat' atau [ukahu] dan [uwahu] 'Aku batuk ' dalam variasi bebas. Lihat Collins (1983), Stresemann (1918) dan lainnya untuk pembahasan sistem infleksi verbal bahasa-bahasa di Maluku tengah.
19. Peta Payapo (1980:62-3) menunjukkan isolasi Piru semacam ini, dengan desa-desa yang tidak berbahasa Luhu, seperti Ariate dan Talaga, mengintervensi antara daerah berbahasa Luhu utama di selatan dan Piru, yang juga disebut Payapo sebagai Luhu berbicara.
20. Taguchi (1989:49) rupanya tidak memahami argumentasi dalam Collins (1983:79-81). Dalam halaman-halaman itu, bahasa Piru dan Luhu dianggap sebagai varian (dialek) dari bahasa Luhu yang sama karena mereka berbagi inovasi fonologis, bukan karena ada tradisi bahwa Hoamoal membentuk satu bahasa. Penegasannya yang belum teruji bahwa kedua 'bentuk ucapan ini mungkin tidak dapat dipahami satu sama lain' sepertinya tidak benar. Informannya, yang baru berusia 45 tahun, mungkin mengalami kesulitan, tetapi penutur bahasa Luhu menganggap bahasa Piru (jika pernah diucapkan di depan umum) mudah dipahami. Tanpa data dari salah satu daftar kata Luhu atau Piru yang digunakan oleh Taguchi, sulit untuk memahami di mana dia melihat masalah dalam kejelasan. Perhatikan bahwa Payapo (1980), seorang penutur bahasa Luhu, menganggap bahasa Piru sebagai varian dari bahasa Luhu. Pembaca dapat merujuk ke daftar kata komparatif singkat, berdasarkan Collins (1977-79), yang ditemukan di Lampiran 1 di sini untuk membentuk pendapatnya sendiri tentang sejauh mana perbedaan antara bahasa Piru dan Luhu.
21. Pada saat kerja lapangan doktor saya di akhir tahun 1970-an, Manipa sulit dijangkau, bukan hanya karena arus yang agak tidak ramah dan garis pantai bertabur karang. Pulau itu memiliki reputasi yang kuat untuk sihir dan ilmu sihir yang menakutkan bahkan bagi para navigator yang paling pemberani sekalipun.
22. Tetapi sebagian kecil dari satu desa, Tumalehu Timur, beragama Kristen, dan masyarakat minoritas itu berbicara bahasa Melayu Ambon sebagai bahasa asalnya (Collins 1982:93); lihat Olivier (1834-37,1) tentang asal usul desa itu. Niemeijer (2001:269) mencatat bahwa pada tahun 1669 'Zacharias Cahing dikirim ke Manipa untuk mengkatekisasi para petobat baru'.
23. Dalam sebuah pesan yang diterima pada tanggal 24 Mei 2002, Gerrit Knaap, berdasarkan penelitiannya selama bertahun-tahun tentang sejarah demografis Indonesia, mengingatkan saya tentang keandalan sumber-sumber tersebut. Ini adalah peringatan yang wajar diambil dengan baik. Namun, angka Bleeker (1856) dari 320 pada tahun 1824 mungkin didasarkan pada angka Olivier (1834-37, 1:119-20), juga dikutip oleh Van Doren (1859). Olivier benar-benar mengunjungi Manipa pada tahun 1824 dan bukunya tahun 1834 berisi jumlah penduduk per desa, memberikan dasar untuk total 320. Olivier (1834-37,1:112) juga mencatat penggerebekan budak oleh armada besar Papua, terbaru pada tahun 1822, dan prevalensi kolera di Manipa. Selain itu, Van Doren menawarkan beberapa wawasan tentang penurunan populasi ini. Dalam tabel demografis komparatif (Van Doren 1859:105), ia memperkirakan jumlah penduduk dewasa desa Kelang di Manipa pada tahun 1840 sebanyak 94 orang, yaitu 32 laki-laki dan 62 perempuan. Proporsi laki-laki (dewasa) terhadap perempuan (dewasa) yang miring ini menunjukkan bahwa laki-laki meninggalkan pulau, • tampaknya untuk mencari penghidupan di tempat lain. Dapat kami sebutkan di sini bahwa pada masa-masa awal VOC dan kampanye militernya di tempat lain, misalnya di Sumatera dan Jawa, pasukan dari Manipa di bawah komando seorang perwira Manipa, Bintang Pelehoewa, yang kemudian dikenal sebagai Kapitein Jonker (lihat Olivier (1834-37, 1:116) antara lain), merupakan segmen penting dalam pasukan VOC. Mungkin pendaftaran awal penduduk pulau Manipa dalam perusahaan VOC di luar negeri juga menjadi pola rasio jenis kelamin yang tidak seimbang seperti yang dicatat oleh Van Doren.
24. Dalam Rumphius (1983:166), kita mengetahui bahwa orangkaya Piru, Rewan, telah menjadi seorang Kristen pada saat itu (“Rewan, namaals geworderi Christian”), tetapi pemilihan Rewan ini mungkin menyiratkan bahwa tidak semua dari perkiraan 344 penduduk Piru pada akhir abad ketujuh belas telah memeluk agama Kristen. Namun, Niemeijer (2001:269) menyebutkan tahun 1672 sebagai tanggal konversi penduduk Piru.
25. Tidak hanya semenanjung Hoamoal yang dibuka untuk kapitalisme perkebunan kelapa dengan masuknya pekerja luar, tetapi, sementara seluruh Eropa terlibat dalam Perang Dunia I, Belanda mempertahankan netralitasnya di Eropa dan menggunakan senjata pemusnah kontemporer untuk mengobarkan perang. melawan masyarakat dataran tinggi Alune, mengatur operasi militer dan logistik dari pangkalan militer kolonial yang didirikan di Piru. LihatCollins (1983). Sachse's (1919) Bab VIII, 'Ratio tot het Nederlandsch-Indisch Gouvernemenf, adalah catatan garis besar tentang pertempuran kecil dan kampanye yang ditujukan ke desa-desa pegunungan di Seram bagian barat antara tahun 1904-1916.
26. Piru telah menjadi pusat pembaharuan dakwah Kristen sejak abad ke-19. H. Krayer van Aalst, seorang misionaris yang ditempatkan di Piru (1897-1913 (Polman 1983: 137)), memberikan beberapa wawasan tentang kehidupan seorang misionaris dan penduduk desa dalam kisah-kisah populernya yang ditulis untuk anggota gereja di Belanda (Krayer van Aalst 1920, 1922).
27. Argumen serupa dikemukakan oleh Grimes (1994) dalam diskusinya tentang hilangnya bahasa di antara komunitas Muslim yang diasingkan di pesisir Buru. Kelompok-kelompok ini juga dipindahkan sebagai bagian dari kampanye abad ke-17 De Vlaming, dan, seperti penduduk pulau Kelang, tidak pernah kembali ke desa asalnya. Grimes (1994:269) menulis: 'terdapat benteng, pemindahan orang dari tempat asalnya, populasi multietnis, multibahasa yang bertahan lama, dan akhirnya - setelah 250 tahun - pergeseran bahasa'.
28. Valentyn (1724-26, III:118-9) memberikan informasi rinci tentang pendapatan para pendeta, termasuk tunjangan anggur Prancis dan kayu bakar lokal; catatan anggur altar dan roti serta tempat lilin perak gereja juga disertakan. Semuanya adalah bagian dari layanan kompeni.
29. Namun, harus diakui bahwa Rumphius (1983:7) menyatakan bahwa meskipun jumlah dialek di Pulau Ambon banyak, semua orang saling memahami satu sama lain. “Hoewel se in soo veel dialectos als negorijen verdeelt is soo konnense malkander evenwel verstaan”
30. Collins 2000:25-6. Tentu saja, keputusan untuk memilih hanya satu bahasa untuk konversi masyarakat Maluku mungkin juga dilatarbelakangi oleh situasi sosial politik di Eropa. Dampak percetakan pada organisasi pengetahuan, penggunaan bahan cetakan dalam perjuangan agama antara Katolik dan Protestan, munculnya pemerintahan monolingual dan penulisan tata bahasa pertama bahasa Eropa modern (Collins 2001) menunjukkan serangkaian faktor (jauh di luar pantai Maluku) yang mungkin berada di balik kebijakan bahasa awal ini. Peran yang berpendidikan tinggi, Basque (bahasa minoritas dalam pengaturan yang sangat Kastilia), kontra-reformasi misionaris Francis Xavier tidak boleh diremehkan.
31. Collins 1998. Dalam Collins (1992a) beberapa perbedaan bentuk bahasa Portugis dan Melayu dicatat.
32. Lihat, misalnya, narasi dan analisis Groeneboer tentang pilihan bahasa di Ambon abad ke-17 (1993:32-40).
33. Informasi ini diberikan oleh kolega dan teman saya, Betty Litamahuputty, dalam pesan yang dikirimkannya kepada saya pada tanggal 7 Mei 2002 dari Jakarta. Saya berterima kasih kepadanya karena telah memeriksa catatan penelitian arsipnya sendiri untuk menemukan potongan penting ini dalam teka-teki tentang penggunaan bahasa pada periode awal misionaris. Pembacaannya yang cermat terhadap draf awal makalah ini sangat membantu saya dalam upaya saya memperbaikinya untuk publikasi.
34. Valentyn (1724-26, 111:49) melaporkan bahwa Heurnius telah ditempatkan di Ulat pada tahun 1633 dimana dia sangat berhasil dalam usaha dakwahnya. Dia juga mencatat bahwa pada tahun 1635 Heurnius dilaporkan telah diracuni oleh umat Islam selama kunjungan gereja dan sekolah terakhirnya di sana, menyebabkan kelumpuhan sebagian.
35. Landwehr (1991) mendaftarkan enam buku yang diterbitkan selama abad ke-17 dan ke-18 dalam bahasa Portugis untuk digunakan oleh banyak penutur bahasa Portugis yang diserap ke dalam wilayah-wilayah yang dikuasai VOC di Asia Selatan dan Tenggara.
36. Ayahnya, seorang pengungsi anak Huguenot, Francois Caron yang terkenal, hidup sebagai pemuda di pabrik VOC di Hirado, Jepang, menulis studi panjang buku pertama tentang Jepang, menjabat sebagai salah satu gubernur VOC terakhir di Taiwan (Formosa) dan memulai Perusahaan Hindia Timur Prancis. Putranya, Pendeta F. Caron, meskipun lahir di Jepang, menghabiskan sebagian besar masa mudanya untuk belajar teologi di Leiden dan Utrecht dan kemudian 12 tahun di Ambon, sebelum kembali ke Belanda di mana dia mengawasi penerbitan khotbahnya; lihat Collins (1992a).
37. Misalnya, di Asilulu, yang dituturkan oleh hampir 10.000 orang di pantai barat laut pulau Ambon, kata-kata ini, [nitu] dan d [lanit], digunakan secara luas (Collins akan terbit). Kedua kata ini merupakan warisan kata Austronesia: *qanitu dan *laNit.
38. Memang, hingga tahun 1678 Rumphius (1983:7) menulis bahwa bahasa Hatiwe di Leitimur adalah yang paling baik/elegan (cirelijkste).
39. Pada tahun 1775 Stavorinus (1969, 11:389) melaporkan tentang praktek membacakan khotbah (ketika seorang pendeta sedang tidak ada): 'Karena orang ini [satu-satunya pendeta Belanda di kota Ambon saat itu] tidak mengerti bahasa Melayu, dan juga sangat sedikit kecenderungan untuk mencapainya, kebaktian yang saat ini diselenggarakan di gereja Melayu terbatas pada pembacaan khotbah, yang ditulis dalam bahasa itu'.
40. Setahu saya, terjemahan materi Kristen ke dalam bahasa Maluku Tengah yang pertama kali diterbitkan adalah Injil Matius yang diterbitkan dalam bahasa Masarete dialek Buru pada tahun 1904 (Indjil daribe fili Matthejoes 1904), lebih dari seratus tahun setelah VOC datang
Catatan Tambahan
a. Arnold de Vlaming bernama lengkap Arnold de Vlaming van Oudsthoorn lahir 1618 di Beverwijk dan meninggal 11 Februari 1662 di lautan bersama istri ketiganya. Arnold de Vlaming van Oudsthoorn adalah anak ke-6 dari 7 anak pasangan Volckert de Vlaming van Oudsthoorn dan Maritge Braems. Ia pertama kali menjadi Gouvernuer VOC van Amboyna pada 4 September 1647 – Agustus 1650, kemudian pada periode 1651 – 1656 ia menjadi komisaris besar untuk 3 gubernemen yaitu Gubernemen Moluccas (Ternate), Ambon dan Banda
b. Gerard Demmer menjadi Gubernur VOC Ambon pada Maret 1642 – September 1647
c. Menurut J.E. Heeres dalam catatan kakinya, Hatiboutij adalah negeri/desa Hatapoetih atau Hataputih atau Hatuputih
d. Amanitou menurut J.E. Heeres dalam catatan kakinya, ia menyebut/menulis mij onbekend yang berarti “saya tidak mengetahuinya” atau J.E. Heeres tidak bisa mengidentifikasi nama desa Amanitou ini.
e. Van der Crab bernama lengkap Petrus van der Crab, pernah bertugas di Maluku sejak 1855 – 1869
f. Ludeking bernama lengkap Everhardus Wijnandus Adrianus Ludeking, pernah bertugas di Maluku sejak 1861 – 1864
g. Bleeker bernama lengkap Pieter Bleeker, ia pernah mendampingi Gub Jend Hindia Belanda, Albertus Jacobus Duymaer van Twist, saat mengunjungi Maluku pada September – Oktober 1855
h. Lourenzo Masonio lahir di Campoliete, Molise, Italia pada tahun 1555 (menurut sumber-sumber Jesuit di Naples dan Goa) atau pada tanggal 27 Februari 1556 (menurut sumber-sumber Jesuit di Filipina). Ia bertugas di Ambon sejak tahun 1589 tepatnya di negeri Wakasihu dan mengakhiri tugasnya di Ambon pada tahun 1605. Ia meninggal pada 19 Juli 1631
i. Menurut sumber-sumber yang dimuat oleh Hendrik Niemeijer dkk, Justus Heurnius menulis kepada chamber/kamar Amsterdam yang membahas soal penerjemahan itu adalah bertanggal 30 September 1634, meskipun ia untuk pertama kali juga telah menyinggung soal penerjemahan dalam suratnya tertanggal 19 Agustus 1633.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar