(bag 1)
[Hendrik.E. Niemeijer]
- Kata Pengantar
Berdasarkan judul artikel atau kajiannya, Hendrik E. Niemeijer, seorang sejarahwan yang lebih banyak berkutat dalam sejarah gereja berhasil memaparkan sejarah agama di Maluku. Ia mengkaji tentang agama Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan) yang “bertumbuh” dan “bersaing” pada abad ke-17. Ia mengawali kajiannya dengan agama Islam yang diperkenalkan di kawasan Maluku melalui para pedagang kepada kaum elit, baik Sultan maupun kelompok bangsawan. Ia menjelaskan secara umum bagaimana Islam diperkenalkan dan akhirnya dipeluk oleh masyarakat Maluku, dan ia memulai dari Ternate, Tidore, Bacan, Hitu, Banda, Lease, Seram hingga ke wilayah bagian tenggara dari Maluku. Hal yang sama juga tentang agama Kristen, meski sedikit “mendetil” dalam pengkajiannya.
Kajian dari Hendrik E Niemeijer ini berjudul Dividing The Island : The Dutch Spice Monopoly and Religious Change in 17th Century Maluku, yang pertama kali dipresentasikan pada the 51st Annual Meeting of the Association for Asian Studies at Boston,.MA, USA, 11-14 March 1999. Kajian ini kemudian dipublikasi ulang oleh Alijah Gordon dalam buku yang dieditnya dengan judul The Propogation of Islam in the Indonesia-Malay Archipelago, yang diterbitkan oleh Malaysian Sociological Research Institute, tahun 2001, halaman 251 – 282. Selain kajian dari Niemeijer, ada kajian atau artikel dari C.R. Boxer, Christian Pelras, Pierre-Yves Manguin dan pasangan suami istri, sejarahwan Perancis Denys Lombard dan Claudine Salmon Lombard.
Kajian sepanjang 32 halaman ini terdiri dari 74 catatan kaki, 3 tabel, 1 buah lukisan. Artikel yang kami terjemahkan ini akan dibagi menjadi 2 bagian agar bisa terstruktur dengan baik dan dapat dibaca tidak terlalu panjang. Selain itu kami akan menambahkan beberapa gambar/lukisan serta catatan tambahan yang dianggap perlu. Akhir kata semoga kajian ini akan bermanfaat dalam memperluasa pemahaman kesejarahan kita.
- Terjemahan
Tuhan Menciptakan darat dan laut; darat Ia bagikan pada laki-laki
dan laut Ia bagikan untuk semua orang. Tidak pernah terdengar bahwa
seseorang dilarang untuk menjelajahi laut. Jika anda melakukan itu,
anda merampas roti dari mulut rakyat
[Sultan ‘Alā’ al-Dīna tahun 1615 menanggapi desakan Belanda
bahwa mereka memiliki hak monopoli di Maluku, dan
pedagang Makasar di larang di sana]
kutipan dari F.W. Stapel (1922): 14
Wilayah luas di Indonesia Timur dewasa ini dibagi dalam desa/negeri atau wilayah-wilayah Kristen dan Islam. Dimulai pada Januari 1999, pembagian ini berubah menjadi kekerasan di beberapa pulau-pulau Maluku, termasuk ibu kota Ambon, meskipun Maluku memiliki reputasi hidup berdampingan secara damai. Konflik dewasa ini antara kaum Kristen dan Islam di Maluku memiliki beberapa dimensi yang rumit : sosial, ekonomi, etnis, agama dan politik. Pengabaian yang lama terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah Maluku, dikombinasikan dengan ketiadaan proses demokrasi dimana semua faksi keagamaan bisa terlibat, turut berkontribusi pada meningkatnya ketegangan sosial dan agama.
Tanpa meremehkan masalah-masalah sekuler dalam konflik Maluku dewasa ini, kita tak bisa mengabaikan sejarah panjang dari pembagian agama dan konflik di Maluku, yang secara “kasar” terbagi dalam 4 periode. Fase pertama dari Islamisasi dan Kristenisasi yang terlibat sepanjang “era perdagangan (1450 – 1680) ketika meningkatnya perdagangan Arab-India dan kekuatan Eropa – pertama Portugis, kemudian Spanyol dan Belanda – mencoba untuk menciptakan monopoli rempah-rempah di wilayah Maluku1. Fase kedua dimulai pada awal abad ke-19 dengan kedatangan para misionaris dari Nederlandsch Zendeling Genootschap (Lembaga Misionari Belanda, N.Z.G; didirikan pada tahun 1797) di Maluku Tengah dan Selatan (Tenggara) serta Utrechtse Zendingsvereening (Lembaga Misionari Utrecht, U.Z.V; didirikan pada tahun 1859) di Buru dan Halmahera Utara. Sepanjang puncak era misionari, 1900 – 1940, fase ketiga memprioritaskan konversi suku-suku pedalaman dan aktivitas pengabaran Injil di wilayah-wilayah terpencil. Dalam tahun 1935, Gereja Ambon memperoleh “kemerdekaannya” dari pusat “Gereja Hindia” yang didominasi oleh elit-elit pendeta Belanda. Pendidikan berstandar tinggi dan semangat di antara generasi baru para pendeta Protestan Ambon mengabarkan Injil di wilayah-wilayah terpencil sepanjang tahun 1950an.
Akhirnya, sepanjang fase keempat – orde baru - setiap warganegara [harus] memeluk salah satu agama resmi negara : Islam, Kristen Protestan, Katholik Roma, Hindu atau Buddha. Fase ini merupakan fase “keras”. Ratusan desa yang selamanya atau yang secara kebetulan menerima pendeta Protestan, pendeta Katholik2 atau penyiar agama Islam, menerima dorongan yang kuat untuk membuat pilihan terakhir. Penduduk kepulauan Bacan, sebagai contohnya, masih mempraktikkan kepercayaan leluhur dan ritual sihir sepanjang awal tahun 1960an, tetapi dalam satu dekade, semua penduduk Bacan “memilih” agama yang diakui pemerintah. Misionaris Protestan, suatu waktu pernah membatasi pemukiman lama kolonial di Labuha, membangun 28 gereja di seluruh Bacan. Sementara penyiar agama Islam mendorong pembangunan masjid atau pesantren3. Proses konversi yang cepat ini belum pernah terjadi sebelumnya dan “menembus” pusat Protestan Labuha, yaitu kota utama. Kaum Kristen yang bekerja untuk Bacan Exploitatie Maatschapij sebelum pendudukan Jepang (1942 – 1945) tak pernah membayangkan bahwa 60 tahun kemudian, sekolah-sekolah Islam (pesantren) dapat berdiri di atas reruntuhan benteng tua VOC4 “Barneveld”5.
Meskipun menarik untuk mengkaji fase keempat dari proses konversi dan akibat langsungnya pada konflik masa kini, artikel ini akan berfokus pada akar perubahan agama di abad ke-17 pada bekas gubernemen Ambon dan Banda6. Pertama, saya [penulis] akan berfokus pada pembentukan negara-negara awal yang mempromosikan di seluruh wilayah. Kemudian dilanjutkan dengan jejak-jejak Portugis, kebijakan kolonial Belanda – temasuk misi Protestan – yang meletakan dasar bagi pemisahan agama, memanfaatkan ketidakstabilan sosial yang endemik dan ketidakpastian politik di wilayah pinggiran.
Pembentukan Awal “Negara” dan Islam
Selama periode modern awal, pada abad ke-15 hingga ke-18, perdagangan intensif membawa ideologi baru dari Timur Tengah dan Barat saling bertabrakan. Penguasa lokal mengeksploitasi agama-agama dunia untuk meningkatkan prestise dan otoritas mereka. Setelah jatuhnya Melaka pada tahun 1511, banyak pengungsi dan pedagang Muslim Melayu menetap di tempat-tempat seperti Makasar dan Banda7. Entrepot-entrepot perdagangan regional menyebarkan Islam selama abad ke-16, menyediakan ideologi yang sama untuk melawan ancaman Spanyol dan Portugis.
Empat kerajaan kuno, Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan – pusat politik Maluku – yang paling awal memeluk agama Islam. Konversi Sultan Ternate, Zainal Abidin atau Zayn al-Abidin terjadi sekitar seperempat terakhir abad ke-158. Dua pemukiman paling tua (soa) di Ternate, yaitu soa Jiko dan soa Jawa, adalah desa pertama dengan para Imam9. Diterimanya Islam oleh penguasa Ternate memiliki konsekuensi bagi kerajaan-kerajaan vassal atau “bawahan” di wilayah pinggiran. Wilayah-wilayah vassal Ternate di Semenanjung Hoamoal Seram (Luhu, Kambelo, dan Lesidi) diubah menjadi wilayah Islam dibawah kekuasaan Ternate10. Pulau Buru, Ambelau, Manipa, Kelang, dan Boano juga diperintah oleh Salahakan, gubernur Islam yang ditunjuk oleh Ternate. Pembentukan negara mendorong kerajaan-kerajaan Maluku menjadi Umma Islam : komunitas Muslim di seluruh dunia11.
Waktu atau periode penguasa Tidore, Makian, dan Bacan memeluk agama Islam sulit untuk dikatakan12. Awalnya Islamisasi bergantung pada konversi elit aristokrat, intensitas perdagangan, dan tempat hunian permanen para pedagang Muslim. Peran Tidore yang mengubah wilayah vasal yaitu Halmahera Tenggara dan Kepulauan Papua (Raja Ampat) menjadi Islam juga masih belum jelas, karena laporan ekstensif pertama berasal dari awal abad ke-1813. Sultan Tidore mencoba memperluas kekuasaannya selama abad ke-17. VOC menggunakan otoritas Sultan yang berkembang untuk melawan produksi cengkih di Halmahera Barat Daya dan Gamrange. Ekspansi Tidore ke selatan, ditambah penerapan hukum Islam yang paling radikal di peradilan-peradilan Maluku di manapun, mendorong proses Islamisasi di wilayah-wilayah pinggiran kekuasaan Tidore.
Pulau Makian sudah memiliki kontak dagang yang lama dan sering dengan dunia Melayu. Tingkat produksi cengkih tertinggi di Maluku dicapai selama abad ke-16. Produsen cengkih di Makian melakukan tawar menawar langsung dengan pedagang asing dari Jawa, Semenanjung Malaya, dan Cina di pelabuhan utama Ngofakiaha dan Ngofakita. Laporan Belanda awal abad ke-17 menggambarkan pulau itu sebagai pulau yang sangat Islami14.
Bacan, atau Seki, dikenal sebagai kerajaan paling selatan di Maluku; Rajanya karena itu dinamai Kolano Mahede, “Raja terakhir”. Kunjungan bangsa Portugis pertama ke pulau ini pada tahun 1520 dan 1522 berlangsung dengan kekerasan, memaksa Rajanya lebih dekat dengan Ternate dan Islam15. Beberapa kaum Muslim Bacan mungkin menetap di Ternate di Soa Labuha16. Seperti Ternate dan Tidore, Islam juga mencapai pinggiran Bacan. Sultan Bacan menguasai pulau-pulau terdekat yang kaya sagu dari kelompok orang Obi17. Pengaruh Bacan juga meluas sampai ke Kepulauan Raja Ampat dimana Raja-raja Waigeo, Misool, dan Waigama (bagian barat laut pulau Misool) membentuk 3 kerajaan “satelit”. Laporan awal Belanda menggambarkan ketiga Raja ini sebagai “bawahan” Sultan Bacan. Suku Bacan, yang berstatus tinggi dan kaya akan hubungan perdagangan luar negeri, menganggap penduduk pulau bagian timur terbelakang, kasar dan liar. Pada tahun 1610, Belanda melaporkan bahwa ketiga raja itu setuju untuk disunat karena takut melanggar Hukum Islam dan menghina Sultan Bacan18. Selama periode VOC, Sultan Bacan juga secara berkala mengklaim 9 desa di pantai utara Seram, klaim yang ditolak mentah-mentah oleh Gubernur Belanda di Ternate dan Ambon19.
Semua relasi pusat-pinggiran yang rumit dan lancar ini membentuk kerangka politik yang mendorong konversi ke Islam. Kita seharusnya tidak mengidealkan perpindahan agama ini yang biasanya mengikuti serangan kekerasan dari armada perang kora-kora (proa) yang bersenjata lengkap. Ketundukan militer dan politik menyiratkan konversi ke “agama yang lebih kuat”
Pusat Islam lainnya: Hitu dan Banda
Pusat-pusat Islam lainnya muncul sebagai akibat langsung dari kontak perdagangan. Hitu, bagian barat pulau Ambon, dan kelompok kecil kepulauan Banda cocok dengan pola ini.
Selama masa pra-kolonial, Hitu menjadi federasi desa (uli) dengan badan pemerintahan yang terdiri dari 4 penguasa dari keluarga terkemuka yang mengontrol keadilan dan memungut upeti pada rakyatnya. Letaknya yang strategis dalam jalur perdagangan dari Banda ke Maluku Utara sekitar tahun 1500. Perkawinan antar pedagang Muslim Melayu dan Jawa dengan perempuan lokal memperkenalkan Islam ke wilayah tersebut20. Ketika Portugis melarang para pedagang ini dari perdagangan cengkih di Maluku Utara; budidaya cengkih secara bertahap diperkenalkan di Hitu dan Hoamoal. Setelah Portugis diusir dari Ternate dan membangun kota Ambon pada tahun 1575, operasi kerjasama meningkat dengan populasi animistik (kemudian menjadi Katolik) dari uli lain di Leitimor, yang terletak di sisi lain pulau Ambon21. Sebagai alternatif sentra produksi dan perdagangan cengkih, Hitu banyak diminati pedagang Makassar/Bugis, Jawa, dan Melayu, serta menjadi sentra utama Islam di Maluku Tengah.
Kepulauan Banda di selatan memiliki salah satu pasar rempah-rempah terpenting di Maluku. Gugusan pulau yang kecil namun sangat subur ini juga merupakan penghasil pala dan bunga pala terbesar. Pedagang dari Jawa, Makassar, Melaka, hingga Gujarat lebih suka membeli rempah-rempah, termasuk cengkih, di Banda. Perjalanan pulang-pergi dari Melaka ke Banda, melalui Jawa (Gresik) dan Timor dapat diselesaikan dalam 1 tahun, sementara perjalanan yang sama ke Maluku Utara membutuhkan waktu ½ tahun lagi selama musim timur laut. Kapal juga harus menunggu di Maluku Utara sampai Januari sebelum melanjutkan perjalanan ke Melaka22. Orangkaija Banda juga memiliki armada kapal junk berawak para budak yang berlayar hingga ke Melaka untuk menjual rempah-rempah23.
Perdagangan intensif rempah-rempah dengan Jawa dan Melaka mendukung komunitas asing di Banda sekitar 1.500 orang (kebanyakan orang Jawa) dari total populasi sekitar 15.000 jiwa pada tahun 1600. Tidak seperti Ternate, Tidore, dan Bacan, Banda diperintah oleh sekelompok orang kaya yang berkuasa yang mungkin tidak meninggalkan keinginan kuat untuk ekspansi wilayah di wilayah tersebut. Sebagai pasar sentral, Banda menarik cukup banyak pedagang dari Kepulauan Kei, Aru, dan Tanimnar, serta Kepulauan Seram Laut. Kecuali pulau-pulau di tenggara Seram, daerah pinggiran ini hampir tidak Islami karena para para pedagang Muslim menganggap Banda sebagai wilayah pusat perdagangan tersebut.
Perdagangan dan Pengaruh Islam di Pinggiran
Seperti yang telah kita lihat, Islam mempengaruhi identitas budaya dan politik dari politik terpenting di Maluku. Meski diuji oleh militer Portugis dan ekspansi agama, mereka tetap kuat selama abad ke-16. Tetapi ketika VOC Belanda mendirikan pusat-pusat kekuasaan baru pada awal abad ke-17, pusat-pusat daerah yang lama berhenti berkembang.
Hubungan perdagangan tradisional dengan para pedagang Melayu, Makassar, Jawa, dan Buton juga berkurang, hilang, atau dipaksa ke pinggiran wilayah yang dikuasai Belanda. Tetapi ini hanya terjadi setelah perjuangan yang keras dan panjang dengan kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, yang Rajanya memeluk Islam Sufi pada tahun 1607. Konversi ini merupakan langkah penting bagi keberpihakan politik baru dan Islamisasi lebih lanjut di Indonesia Timur, terutama di Buton24. Kekuatan Kesultanan Islam Sulawesi Selatan selama paruh pertama abad ke-17 semakin mengintensifkan Islamisasi pulau-pulau di pinggiran dari kubu-kubu pertahanan Belanda : Ambon, Ternate dan Banda. Beberapa contoh menunjukkan hal ini.
Di pinggiran timur Maluku Tengah, orang Makassar dan Bugis menukar tekstil, kapak besi, dan pedang Tobungku untuk [mendapatkan] para budak, rempah-rempah, burung cendrewasih, trepang, dan massoi dengan orang kaya dari Seram Timur (Guli-Guli) dan Seram Laut dan Kepulauan Goram. Pada tahun 1657, Gubernur VOC Amboina melaporkan ke Batavia keberadaan armada besar yang terdiri dari 20 sampai 40 junk Makassar di Laut Seram26. Orang Makassar mengeksploitasi hubungan perdagangan lama antara Seram Timur dan orang Papua di Papua barat dan Raja Ampat. Onin dan Seram Timur sangat dekat. Laporan tahun 1657 mencatat kedatangan kapal Belanda dari Banda di Rumbatti dan sambutan penuh kesopanan dari orang kaya. Kapal Belanda, bagaimanapun, kembali dengan tangan kosong setelah mengetahui bahwa para pedagang Seram Timur telah membeli sebagian besar para budak 3 bulan sebelumnya. Orang-orang dari Goram memiliki banyak keluarga yang tinggal di Rumbatti. Perkawinan campur dan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan SeRam Timur menjadikan Rumbatti kerajaan Islam terkuat di Papua Barat selama abad ke-1727.
VOC mencoba dan gagal untuk menghancurkan perdagangan Makassar dengan Seram Timur selama Perang Ambon jilid VI pada tahun 1658. Benteng sementara di Guli-Guli untuk menghalangi semua lalu lintas Makassar dihancurkan hanya 3 tahun kemudian. Namun, relatif tidak pentingnya wilayah tersebut untuk penanaman rempah-rempah, ditambah dengan iklim yang tidak sehat bagi orang Eropa, tidak membenarkan kehadiran tentara Belanda yang permanen dan mahal. Orang Seram Timur terus berdagang dengan orang Makassar, Bugis, Jawa, dan Berau dari timur laut Kalimantan28.
Beberapa daerah di Maluku Tenggara mengalami proses Islamisasi yang serupa. Agresi VOC terhadap orang Makassar di wilayah ini pada awalnya dibatasi. Melukai para pedagang Makassar mengancam hubungan diplomatik dengan penguasa Makassar, Makasar Sultän Hasanuddin [Hasan al-Din]. Komunitas diaspora Banda di Seram Timur, Kei (Banda-Elat), Au (Ujir), Tanimbar, dan Makassar mendorong misi perdagangan tahunan Makassar. Gong dari Macao, aneka kain, kebanyakan dari Salayar, gading dari Siam dan Kamboja, serta pedang dari Tobungku diperdagangkan untuk mendapatkan mutiara, cangkang kura-kura, dan para budak dari Aru, ambergris dari Tanimbar, pala dari Damar, dan lilin dari Weyar, Nila, dan Leti29. Sekitar 20 kapal Makassar berlayar ke pulau-pulau tenggara pada tahun 165830, dan lebih sedikit pada tahun-tahun berikutnya31.
Perang antara VOC dan Makassar pada tahun 1666 meningkatkan permusuhan Belanda terhadap pelayaran tahunan Makassar ke Maluku Tenggara. VOC mengontrak orang kaya dari Damar dan Nila untuk menghancurkan semua pohon pala di pulau mereka32,menghentikan perdagangan dengan negara-negara Eropa lainnya, dan membangun garnisun kecil di Kisar, Leti, dan Damar. Orang kaya menerima uang dan hadiah lain sebagai gantinya. Untuk menunjukkan komitmennya kepada Belanda, seorang Raja di Wetar menamai dirinya Salomon Speelman, sebuah rujukan yang jelas pada kebijaksanaan Raja Yahudi dan keberanian komandan VOC yang telah menaklukkan Makassar. Nama raja melambangkan orientasi politik baru banyak raja lokal setelah Makassar akhirnya takluk.
Komunitas Muslim yang kecil dan terpencar-pencar, yang dulu bergantung pada orang Makassar dan Jawa untuk mempertahankan jaringan perdagangan lokalnya selama paruh pertama abad ke-17, kini harus mencari alternatif untuk mempertahankan identitas mereka. Umat Islam Ujir, sebuah pulau di lepas pantai Aru, adalah contoh komunitas semacam itu. Mereka mencoba mengamankan kontak mereka dengan ulama Islam melalui Hitu. Tetapi pada tahun 1668, ketika orang kaya dari pulau pesisir Ujir meminta pengajar Islam, Gubernur VOC Banda segera mengirim seorang misionaris Protestan ke Wokam untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari Islam. Ini adalah langkah luar biasa bagi VOC, yang membatasi ambisi agamanya pada wilayah penaklukan.
Tujuan Agama VOC :
Ketika VOC atau Kompeni menguasai benteng Portugis, Nossa Senhora de Anunciada, di kota Ambon pada tanggal 23 Februari 1605, mereka mengklaim semua wilayah Portugis termasuk sebagian besar Kepulauan Lease, yaitu Haruku, Saparua dan Nusalaut. 2 tahun kemudian, benteng dibangun di Ternate untuk melawan aliasni Spanyol-Tidore. Bacan dan Makian takluk tidak lama kemudian. Penaklukan Kepulauan Banda oleh Gub Jend VOC, Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1621 mengamankan monopoli pala.
Awalnya, kebijakan VOC bertujuan untuk mendapatkan monopoli rempah-rempah dengan membuat kontrak eksklusif atau dengan penaklukan militer. Dalam kampanye mereka, para komandan militer dan pedagang Belanda menghindari konflik agama dengan Para Sultan Muslim Maluku dan pemimpin desa. Masih berjuang sendiri dalam perang kemerdekaan yang diilhami oleh agama dari Katolik Spanyol, Protestan Belanda menunjukkan kebencian konversi paksa ke Katolik, sikap yang dianut oleh Muslim Maluku. Tanpa ragu, kebenciaan yang sama ini – baik Protestan maupun Islam menganggap penyembahan patung itu menjijikkan – meredakan kerjasama dan membantu dengan cepat menyelesaikan kontrak perdagangan rempah-rempah. Kontrak perdagangan rempah-rempah awal, baik dengan para pemimpin Hitu, Sengadji34 dari Makian atau Sultan dari Ternate dan Tidore, semuanya berisi 1 atau 2 pasal agama yang secara eksplisit melarang otoritas Muslim dan Belanda untuk melakukan konversi agama kepada para “penduduknya” atau subjeknya satu sama lain35. Pelarian, baik dari pemerintahan Islam atau Belanda, harus segera ditangkap dan dikembalikan. Kontrak tersebut menyatakan bahwa “setiap orang akan hidup dengan iman dan hati nuraninya, seperti yang Tuhan berikan di dalam hatinya, tanpa penganiayaan dari satu sisi atau sisi yang lain”. Dokumen-dokumen tersebut menjamin kedaulatan agama kerajaan Maluku Utara. Akibatnya, misionaris Belanda tidak pernah dikirim ke desa manapun di Ternate, Tidore, Makian, Bacan dan lain-lain. Di semua pulau ini, layaranan pastoral Protestan hanya terbatas pada personel VOC yang tinggal di atau di sekitar benteng dan kubu pertahanan masing-masing. Selama abad ke-18, para mullah Islam dari Tidore bahkan diberikan perjalanan ke Malabar dengan kapal VOC untuk melakukan perjalanan Haji atau Hajj ke Makkah36.
Kebijakan agama yang berbeda diikuti oleh VOC di daerah-daerah yang diperoleh dengan penaklukan – Banda, Ambon – atau di pulau-pulau dimana Sengaji menerima kedaulatan kompeni : Babar, Wetar. Bahkan di pulau-pulau yang berada di bawah kendali langsung VOC, Belanda tidak serta merta merasa berkewajiban untuk mempromosikan misi Kristen tetapi , ketika menyangkut desa-desa pagan/kafir yang ingin pindah agama, biasanya atas permintaan eksplisit dari kepala desa/pemimpin desa, kepala sekolah Kristen akan dikirim. Akibat pendekatan politik yang agak formal ini, para pengkhotbah Calvinis Belanda hanya menargetkan populasi Katolik dan animisme di wilayah Gubermen Ambon setelah mendapat persetujuan dari pemerintah. Di Banda, para kolonialis perkebunan, budak dan Mardijker (budak yang dibebaskan, orang Asia yang dimerdekakan) diberikan perawatan/layanan Gereja segera setelah penaklukannya. Di Ternate, sebuah Gereja Protestan dibangun untuk garnisun dan sekelompok kecil pemukim. Para pendeta di Ternate memiliki otoritas atas bekas pemukiman Portugis di Labuha di Bacan dan pos-pos VOC di Makian.
Dengan demikian 3 Gubernemen Belanda di Ternate, Ambon, dan Banda menjadi tempat kedudukan dari 3 Konsili/Dewan Gereja Protestan atau Konsistori yang terdiri dari pendeta, penatua terpilih, dan diaken. Konsistori seringkali berhubungan dengan Konsistori pusat di Batavia dan Sinoda Belanda di Hollan dan Zeeland, tetapi cukup otonom dalam kebijakan gereja mereka. Namun, sebagai pelayan yang dibayar oleh VOC, para pendeta Calvinis memiliki sedikit kebebasan. Selama abad XVII dan XVIII, sekitar 230 pendeta Reformasi Belanda melayani 3 wilayah gereja yang disebutkan di atas. Pentingnya mereka untuk sejarah agama Maluku hampir tidak bisa dibantah.
Dalam pembahasan selanjutnya, saya (penulis) akan menjelaskan upaya misionaris Reformasi Belanda di dalam pemerintahan VOC di Ternate, Ambon, dan Banda. Di masing-masing wilayah, upaya tersebut memiliki karakteristik yang berbeda; konteks politik mereka sendiri, dan kecepatan serta kelajuan mereka sendiri. Di wilayah Ternate (termasuk Sulawesi Utara), konstelasi politik yang luar biasa selama tahun 1660-an dan 1670-an menyebabkan permintaan masyarakat pribumi yang tiba-tiba terhadap perlindungan dari VOC, dan dengan demikian untuk konversi agama. Di wilayah Gubernemen Ambon, Kristenisasi Reformasi Belanda merupakan bagian penting dari kebijakan VOC untuk mengimunisasi wilayah tersebut dari semua kekuatan asing, termasuk Inggris dan Prancis, serta dari beberapa negara perdagangan Muslim di Nusantara sendiri, terutama dari Makassar. Kepulauan Banda, kaya akan perkebunan pala, adalah koloni yang dieksploitasi, dimana agama Reformasi Belanda adalah satu-satunya agama yang diizinkan, menurut agama Republik Belanda Bersatu. Di wilayah pinggiran Gubernemen Banda, Maluku Barat Daya (Maluku Tenggara Jauh) yang terdiri dari apa yang disebut Zuidwestereilanden (Kepulauan Barat Daya, termasuk pulau Wetar, Kisar, Moa, Babar dan Damar) dan Zuidoostereilanden (Kepulauan Tenggara, termasuk Kepulauan Tanimbar, Aru dan Kei) juga akhirnya menjadi bagian dari misi Reformasi, seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.
Ternate, Tidore, dan Pohon Terlarang:
Pendudukan Belanda atas sebagian kecil Ternate (bernama Malayu), dimana Benteng Oranye dibangun pada tahun 1607-an, bukanlah hasil penaklukan melainkan perjanjian dengan seorang bangsawan Ternate. Setelah pengusiran Portugis yang berhasil pada tahun 1575, Sultan Ternate menghadapi kesulitan dari orang Spanyol di Manila di sebelah utara. Pada tahun 1580, kerajaan Portugis bersatu dengan kerajaan Spanyol, dan orang Spanyol sangat ingin mendapatkan kembali kendali atas pusat produksi cengkih yang penting itu. Mereka berhasil merebut kembali benteng Portugis kuno, Gammalammo pada tahun 1606, dan mempertahankan 3 benteng yang kuat di seberang pulau Tidore. Sulawesi Utara, dalam perjalanan ke markas mereka di Manila, memasok garnisun Spanyol dengan budak, minyak kelapa, dan hasil laut.
Dalam situasi tanpa harapan ini, dimana Sultan Ternate, Sultän Muzaffar sendiri terancam membahayakan, bangsawan Ternate tidak punya pilihan lain selain mengirim utusan ke Ambon untuk meminta bantuan militer kepada Belanda; sebagai gantinya, Belanda meminta monopoli eksklusif dalam perdagangan cengkih. Masih berperang dengan Spanyol hingga tahun 164837, Belanda berusaha keras mengisolasi orang Spanyol yang mempertahankan bentengnya di Gammalammo dan Tidore. Karena serangan Tiongkok yang terus menerus di Manila dan masalah logistik, Spanyol secara bertahap melemah dan mundur dari tahun 1662 dan seterusnya.
Perkembangan kedua bahkan lebih menguntungkan VOC. Belanda berhasil merebut Makassar pada tahun 1667. Takluknya kerajaan besar Gowa – yang telah menjadi tujuan dakwah Islam sejak tahun 1603 dan seterusnya – dan penghancuran benteng kuat Sambaopu dekat Makassar, memiliki konsekuensi penting bagi wilayah tersebut. Perjanjian Bungaya (18 November 1667)38 sepenuhnya melarang kehadiran orang Makassar di Maluku, dan penguasa Makassar terpaksa menahan diri dari semua klaim teritorial atas Sulawesi Timur Laut, Sula, dan beberapa kerajaan di Kepulauan Sangihe-Talaud. Pengaruh politik dan agama dari Makassar di pinggiran sangat berkurang.
Menurunnya pengaruh Spanyol dan Makassar membuat kerajaan Maluku, Ternate dan Tidore dalam ruang hampa dan menciptakan peluang yang menguntungkan bagi Belanda. Pada tahun 1652, kebijakan VOC diterapkan dalam sebuah perjanjian dengan Ternate dimana Sultan akhirnya menyetujui pemusnahan pohon-pohon rempah secara sistematis dan berkelanjutan di bawah yuridiksinya. Sebagai kompensasi atas hilangnya pendapatan dari panen cengkih tahunan dari wilayah pegunungan di pulau itu, Sultan menerima pembayaran tahunan, awalnya sebesar 14.000 rijksdaelder. Kesultanan Tidore yang bersaing dengan cepat mengikuti dengan kontrak terpisah pada tahun 1657, menolak sisa orang Spanyol dan menyetujui pemberantasan pohon rempah-rempah di wilayah Tidore, termasuk sejumlah kerajaan di Halmahera Tenggara39. Sejak tahun 1650-an dan seterusnya, VOC hanya tertarik untuk mempertahankan monopolinya. Hoge Regering : Gubernur Jend VOC dan Dewannya di Batavia merasa tidak ada keinginan untuk menguasai wilayah Ternate atau Tidore melalui pendudukan militer yang mahal. Sebaliknya, mereka menggunakan persaingan dan permusuhan yang sedang berlangsung antara Ternate dan Tidore dalam kebijakan perpecahan dan aturan. Produksi cengkih dan pala seluruhnya terkonsentrasi di wilayah Ambon dan di pulau Banda. Sekali lagi, pulau-pulau asli rempah menjadi sasaran kampanye pemberantasan dan kehilangan arti sebagai pusat produksi. Tak perlu dikatakan, hal ini berdampak parah pada penduduk desa yang kehilangan pendapatan tradisional mereka dari kebun-kebun cengkih mereka, karena pohon cengkih secara keras dilarang.
====== bersambung ======
Catatan Kaki
- Reid, Anthony, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450 – 1680 (New Haven/London: Yale .University Press, 1993) II, chapter 3. Lihat juga artikelnya “Islamization and Christianization in Southeast Asia: The Critical Phase, 1550—1650” di dalam Southeast Asia in the Early Modern Era : Trade, Power, and Belief, ed. Reid, Anthony, (Ithaca/ London: Connell University Press, 1993) 151-179.
- Untuk permulaan misi Katolik di akhir abad ke-19, lihat Schreurs MSC, P.G.H, “Terug in het erfgoed van Franciscus Xaverius. Het herstel van de Katholicke missie in Maluku, 1886-1960 (Return to the heritage of Francis Xavier. The testoration of the Katholic mission in Maluku, 1886-1960) ) (Tilburg: Missiehuis MSC, 1992).
- Wawancara dengan Ketua Klasis, Pendeta A.J. Jambormias, Labuha, 14 September 1998. Bacan adalah bagian dari Gereja Protestan Ternate. Sepanjang tahun 1940-an dan 1950-an, Bacan dan Obi secara teratur dikunjungi oleh Pendeta di Ternate, yaitu Pendeta Rieuwpassa (lahir tahun 1912); wawancara dengan Ibu Hetwich, Kainama/Rieuwpassa, Ternate 21 September 1998
- VOC didirikan pada tahun 1602. Kota-kota pelabuhan utama di Belanda seperti Amsterdam, Rotterdam, Middelburgh, Hoorn, dan lain-lain telah berinvestasi di perusahaan-perusahaan yang berbeda sejak tahun 1595. Dibawah tekanan Perang 80 tahun dengan Spanyol; persaingan yang tidak perlu di antara orang Belanda sendiri; hilangnya kapal dan modal secara cepat; dan ketidakpastian keberhasilan di Asia, pada tahun 1602, dengan persetujuan “DPR” Belanda, sebagian besar pedagang setuju untuk menyatukan perusahaan-perusahaan itu. Dewan VOC; Tuan-tuan XVII, terdiri dari perwakilan perdagangan dari kota-kota VOC yang turut terlibat
- Keturunan mereka dengan nama-nama seperti Van Joost dan Klavert masih menjadi anggota Dewan Gereja Lokal dalam tahun 1898
- Untuk perkembangan Gubernmen ke-3 di Maluku, yaitu Gubernemen Ternate dan sekitarnya (Manado dan Sangihe-Talaud), lihat , Hendrik E., “Political Rivalry and Early Outch Reformed Missions in Seventeenth Century North Sulawesi (Celebes)” di dalam Missions and Missionaries. Studies in Church History, Subsidia 13. Eds. Holtrop, P, and Mcleod, Hugh (to be published by Boydell Press, Cambridge, UK)
- Cummings, W., “The Melak Diaspora in Makassar, c. 1500-1669”. JMBRS LXXI, 1 (Juni 1998), hal 107-122
- Fraasen, van-, Ch.F., Ternate, De Molukken en de Indonesische Archipel, Phd Thesis, Leiden University, 1987. Volume I, hal 32-33; Andaya, Leonard Y., The World of Maluku. Eastern Indonesia in the Early Modern Period (Honolulu: University of Hawaai Press, 1993), hal 57
- Fraassen, van-, op. cit.; 21—131.
- Knaap, G.J., Kruidnagelen en Christenen. De VOC en de bevolking van Ambon 1656-1696. Leiden:KITLV, 1987, hal 13
- lbid., 190.
- Penduduk lokal dan Makian percaya bahwa pulau mereka yang pertama kali menerima/memeluk Islam. Menurut legenda, Islam langsung datang dari Baghdad ke Tafasoho, pelabuhan rempah-rempah. Wawancara dengan Kepala Desa Tafasoho; Ade Hi Hasyim, 18 September 1998. Legenda ini diwariskan/diturunkan kepada Ade Hi Hasyim oleh pendahulunya, Hi Hasyim Hersan (lahir dalam tahun 1891)
- Andaya, The World of Maluku..........op.cit, hal 99-110
- ARA, VOC, Archives of the Dutch East India Company at The Haque, 1053, dossier Makian. Surat dari Komandan, Appolonius Scotte kepada Heeren XVII, Tafasoho, 9 Januari 1611. Pedagang Cina dari Banten juga berdagang tekstil dan beras di Tafasoho. Bagi Belanda, posisi perdagangan yang kuat ini adalah alasan yang cukup untuk mendirikan 3 benteng di pulau itu. Pada saat Belanda tiba di Maluku, Makian masih menjadi pulau rempah-rempah yang paling penting, namun merupakan “vassal” Ternate.
- Wessels Sj, C., “De Katholieke Missie in het Sultanaat Batjan (Molukken) 1557-1609, Historisch Tijdschrift, VIII (1929), hal 119
- Fraasen, van-; op.cit, II, hal 230-238
- Kepulauan Obi, yaitu Obilatu atau “Obi kecil”, Gomumu (Obi selatan) dan Tapat dan Bisa (Obi utara) dibeli oleh VOC pada tahun 1682 dengan harga 620 rijksdaalder; nilai rijksdaalder mulai dari 4 shiling, 6 pence hingga 2 shiling, 3 pence. Latalata tetap berada di bawah kekuasaan Sultan
- ARA, VOC,.1053, dossier Bacan. Letter from .Commander Adriaen van der Dussen in the fortress Barneveld to the Gentlemen XVII, 24 Deœmber 1610.
- Wilayah pinggiran kekuasaan kesultanan Bacan membutuhkan penelitian lebih lanjut. Laporan Belanda tahun 1610 membantu memperkuat anggapan Leonard Y Andaya bahwa hubungan Bacan dengan Raja Ampat lebih dulu daripada Tidore. Andaya, The World of Maluku.....op.cit. hal 106. Ini berarti bahwa Islam mungkin pertama kali diperkenalkan di wilayah ini melalui Bacan dan bukan melalui Tidore
- Knaap, Kruidnagelen........., op.cit., hal 75
- Ibid, hal 13
- Villiers, Jhon, “The Cash-crop Economy and State Formation in the Spice Islands in the Fifteenth and Sixteenth Centuries”, di dalam The Southeast Asia Port and Polity : Rise and Demise, eds. Kathirithamby-Wels, J., and Villiers, Jhon, (Singapore : University of Singapore Press, 1990), hal 83-105
- Kepulauan Kei di selatan Banda menyediakan perahu tahan lama dengan berbagai ukuran, lihat Goodman, T., “The Sosolot exchange network of Eastern Indonesia during the seventeenth and eighteenth centuries” di dalam Perspective on the Bird’s Head of Irian Jaya, Indonesia. Eds. Miedema, J, et al (Amsterdam: Rodopi, 1997) hal 421-454
- Andaya, Leonard Y., The Heritage of Arung Palakka : A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century, VKI, 91 (The Haque : M. Nijhoff, 1981) hal 34-35
- Massoia Aromotica : kulit pohon yang ditemukan di Papua, dijual ke Jawa, Bali dan Sumatera untuk tujuan medis
- ARA, VOC, 1221, fol. 176r-184r. Letter of the Political Council (Politieke Raad) of Ambon to the Supreme Government (Hoge Regering: the Governor-General and his Councils) in Batavïa, 6 August 1657.
- ARA, VOC, 1221, fol. 275r-286v. Letter of the Political Council öf Banda to Batavia; 27 May 1657.
- Andaya, Leonard Y., “Local tradde networks in Maluku the 16th, 17th and 18th centuries”, Cakalele, Maluku Research Journal II, 2 (1991), hal 72-74
- Noorduyn, Jacobus., “De handelsrelaties van het Makassaarse rijk volgens de Notitie van Cornelis Speelman uit 1670”, Nederlandse Historische Bronnen (Amsterdam : Verloren, 1983) III, hal 97-121
- Coolhas, W.Ph., Generale Missiven van gouverneur-generaal en raden aan Heeren XVII der Veerenigde Oostindische Compagnie (‘s Gravenhage : M. Nijhoff, 14 Desember 1968), volume III, hal 216
- Dalam tahun 1662 dan 1665, sumber VOC melaporkan 10 atau 12 junk berlayar dari Makassar ke Nila dan Leti, lihat Coolhas..........., op.cit, III (30 Januari 1666), hal 484-485
- ARA, VOC, 1240; föI. 1162—1169; Letter of the Political Council of Banda to Batavia; July 1662.
- ARA, VOC, 1246, fol. 895—937. Letter of the Pölitical Council of Banda t0 Batavia, 1 May 1664.
- Menurut Leonard Andaya, The World of Maluku, hal 284. Sengaji atau Sangaji adalah gelar di Maluku yang berasal dari bahasa Jawa sang, seorang yang terhormat, dan aji, yang berarti “raja”; gelar ini diberikan oleh Sultan kepada kolano (raja, penguasa) yang terpenting yang terus memerintah wilayah mereka sendiri sambil mengakui posisi superior Sultan; gelar ini juga digunakan untuk pemimpin pemukiman/wilayah penting
- Pasal pertama dari kontrak tertanggal 6 Januari 1613 antara Gub Jend VOC, Pieter Both dan perwakilan Sultan Ternate dan Sengaji Makian, dapat dianggap sebagai tipikal kontrak yang berbeda. Bunyinya “bahwa kedua belah pihak akan menghormati satu sama lain dalam kebebasan dan kemandirian dalam keyakinan mereka” (dat voortaen yder malcanderen zullen laten vrij ende liber in haer geloof). Rumusan dalam bahasa Belanda mungkin berbeda, namun paling banyak memuat 2 unsur : pasal 3 : setiap orang akan hidup merdeka dengan keyakinannya sendiri, dan sebagainya; pasal 4: pada pertukaran pelarian, ini adalah untuk mencegah mualaf/pindah agama dari Muslim atau Kristen (baik budak atau subjek/orang lainnya), (lihat Corpus Diplomaticum, yang dikutip di bawah, perjanjian dengan Hitu; Februari 1605). Contoh lain dari aturan agama dapat ditemukan pada kontrak dengan Tidore pada tahun 1657 (Corpus Diplomaticum, II, hal 103) dimana Gubernur berjanji “tidak akan mengganggu agama atau keyakinan mereka, tidak menentang mereka, tidak memaksa mereka menerima ajaran Kristen, tetapi membiarkan mereka apa adanya selama mereka menganggap itu merupakan keselamatan mereka sendiri”. Hukum yang sama juga berkembang di Batavia hingga Banten. Kadang-kadang seorang pegawai kompeni melarikan diri dengan gadis Muslim, atau setelah melakukan kejahatan dan mencari perlindungan di Banten. Kontrak antara Banten dan Batavia termasuk pertukaran pelarian tersebut, konnversi Kristen atau Muslim ke salah satu keyakinan tidak diizinkan.
- ANRI; Government Archives of Ternate, 63, “Alfabet Positive Ordres” (an alphabetical list of former local government decisions), fol. 151 dan 177; Surat dari Dewan Politik Gubernemen Ternate ke Batavia, 31 Desember 1766
- Perdamaian Westphalia mengakhiri Perang 80 tahun antara Belanda dan Spanyol
- See 283 infra
- Andaya, The World of Maluku........, op cit. Hal 167 dan 171. Perjanjian tahun 1657 diperbaharui tahun 1667. Lihat eds Heeres, J.E., dan Stapel, F.W., Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, II, op.cit. Perjanjian antara Tidore dan VOC, 29 Maret 1667, hal 102-104.
Catatan Tambahan :
- Sultan Alā’ al-Dīn adalah Sultan Kerajaan Gowa, ia hidup antara tahun 1586 hingga 15 Juni 1639. Ia memerintah Kerajaan Gowa pada tahun 1593 hingga 15 Juni 1639. Nama lengkapnya adalah Tumamenang ri Gaukanna Sultan Alau’ddin.
§ William. P. Cummings, A chain of Kings : The Makassarese chronicles of Gowa and Talloq, Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- en Volkenkunde Press, Leiden, 2007, hal 109
Tidak ada komentar:
Posting Komentar