Sabtu, 05 Oktober 2024

“Pembantaian Amboyna” : Melalui Pandangan Mata Penduduk Ambon (Pribumi)

[SU FANG NG]

 

A.      Kata Pengantar

Tulisan atau artikel dari Su Fang Ng, seorang Profesor dari Universitas Virginia Tech ini, menyoroti tentang “pembantaian Amboyna” dari perspektif orang Pribumi, yaitu orang Ambon. Selama ini tulisan-tulisan mengenai peristiwa yang terjadi pada tahun 1623 itu, banyak yang berasal dari perspektif Eropa. Tulisan dari Profesor Su Fang Ng berjudul “The Amboyna Masacre” Through Native Eyes, dimuat dalam buku berjudul Anglo-Dutch Connections in the early modern world, yang dieditori oleh Sjoerd Levelt, Esther van Raamsdonk dan Michael.D.Rose, serta diterbitkan oleh Routledge Taylor & Francis Group, tahun 2023. Buku ini berisikan 7 part atau “bagian”, dimana tiap bagian terdiri dari 3-4 tulisan/artikel yang ditulis oleh berbagai pakar. Tulisan atau artikel yang kami terjemahkan ini ditempatkan pada part atau bagian II, artikel ke-5, halaman 71-79 pada buku ini, diantara 23 tulisan/artikel yang ada pada buku. 

Sebagaimana yang disebutkan di atas, tulisan mengenai peristiwa pembantaian Amboyna yang membuat relasi Inggris-Belanda memanas, mengambil perspektif dari pandangan orang pribumi yaitu orang Ambon. Meski peristiwa itu melibatkan Inggris-Belanda, namun TKP-nya adalah kota Ambon, sehingga penting untuk mengetahui dan memahami bagaimana pandangan “tuan rumah” terhadap peristiwa tersebut. Seperti yang disebutkan oleh penulis dengan mengutip kajian dari Alison Games dan Adam Clulow, bahwa selama ini pembahasan dan pengkajian mengenai peristiwa di dekade awal abad ke-17 itu, tidak memperhatikan pandangan orang lokal atau menyingkirkan perspektif orang non-Eropa, dan lebih memprioritaskan perspektif Eropa.

Melalui tulisan ini Prof Su Fang Ng mengkaji perspektif itu, dengan menggunakan 2 sumber Melayu yaitu Sejarah dari Imam Ridjali dan Surat dari Kimelaha Salahak Abdul Kadir ibn Syahbuddin tahun 1658. Menariknya bahwa perspektif orang Ambon yang direpresentasikan oleh Ridjali tampaknya seperti “mendukung” klaim Belanda tentang konspirasi untuk menjatuhkan pemerintahan Belanda, meski faktanya Ridjali sendiri anti terhadap Belanda. Ia juga mengkritik tindakan dari Gubernur van Spelt yang memerintahkan eksekusi terhadap orang Inggris, Jepang dan Portugis, dan menyimpulkan bahwa karena van Speult-lah, pecah perang di Ambon.

Membaca tulisan ini, minimal kita memahami dari perspektif lain dibandingkan pengetahuan kita yang selama ini membaca dari perspektif Eropa. Artikel ini “dilengkapi” dengan 26 catatan kaki dari penulis, namun tidak ada gambar, lukisan, peta ilustrasi. Kami menambahkan sedikit catatan tambahan, ilustrasi yang diperlukan dalam terjemahan ini. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita.

 

B.       Terjemahan

Pada tanggal 27 Februari 1623 di Pulau Ambon, Maluku, di Indonesia timur, 10 orang Inggris, termasuk Gabriel Towerson (1576-1623), kepala gudang (factory) Perusahaan Hindia Timur milik Inggris (EIC), 10 orang Jepang, dan seorang Portugis, dieksekusi atas perintah Herman van Speult (? – 1626), Gubernur Belanda dari Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di benteng Victoria, Ambon. Kejahatan mereka adalah : berkonspirasi untuk menggulingkan pemerintahan VOC di Ambon. Pengakuan mereka diperoleh melalui penyiksaan dan, bertentangan dengan proses hukum, kasus mereka diputuskan di Ambon daripada di Batavia. Hampir segera, perang-perang pamflet dimulai. Catatan-catatan yang saling bersaing mengajukan kasus mereka di dalam negeri dan (dalam terjemahan) di luar negeri. VOC menerbitkan pamflet pertama, yang diterjemahkan sebagai A True Declaration of the Newes that came out of the East-Indies (1624), yang memprovakasi sanggahan-sanggahan dari EIC yang terdiri dari pamflet-pamflet, balada broadsidea, lukisan-lukisan (yang hilang), dan sebuah drama1. Insiden itu diangkat berulang kali dalam 3 perang Inggris-Belanda yang terjadi setelahnya, dalam pamflet yang diterbitkan ulang dan sebuah drama oleh John Dryden, Amboyna; atau The Cruelties of the Dutch to the English Merchants (1673), yang terakhir untuk mendukung Perang Kedua. Dijuluki oleh Inggris sebagai “Pembantaian Amboyna” dan oleh Belanda sebagai “Konspirasi Amboina”, insiden ini akan menentukan hubungan Inggris-Belanda untuk sisa abad itu dan seterusnya. 


Perbedaan interpretatif Inggris-Belanda telah sering direplikasi di antara para sejarahwan. Di pihak Inggris, D.K. Basset menganggap pihak Inggris “tidak bersalah”, sementara P.J. Marshall mengecam tuduhan tersebut sebagai “dalih/alasan”; dipihak Belanda, F.W. Stapel dan W.Ph. Coolhaas membela van Speult, menyangkal adanya “pembunuhan yudisial” dan menyatakan bahwa “hakim-hakim [di] Amboina [.........] bertindak dengan itikad baik”2. Baru-baru ini, para sejarahwan telah berusaha untuk bergerak melampaui kebuntuan dengan memperhatikan konteks peristiwa dan signifikansi budayanya. Alison Games menunjukkan bagaimana domestikasi Amboyna ke dalam budaya Inggris mengubahnya menjadi mitos pendirian kekaisaran di India3. Adam Clulow menempatkan kembali persidangan tersebut dalam konteks ketakutan dan krisis yang lebih luas di Ambon yang dipicu oleh desas-desus : alih-alih menjadi simpul kekuatan Belanda yang stabil, tempat itu adalah tempat dengan volatilitasb yang intens yang akan berubah menjadi siklus perang dan perdamaian selama 3 dekade yang dikenal sebagai Perang Ambon” dan “penyelesaian VOC [...........] diguncang oleh gelombang ketakutan”4. Selain itu, Games mencatat bagaimana pembingkaian peristiwa tersebut dalam konteks hubungan Eropa menyingkirkan aktor non-Eropa dari sejarah : tentara Jepang dan pengawas budak Indo-Portugis – semuanya menghilang dalam catatan Inggris tentang episode tersebut, ketidakhadiran yang hanya menjadi jelas selama berabad-abad karena para sejarahwan semakin menekankan dimensi Eropa dari peristiwa tersebut5. Sementara kurangnya perhatian ini sebagain berasal dari kurangnya tanggapan dari otoritas orang Asia seperti Tokugawa, dengan kebijakan non-intervensi mereka, Clulow juga mencatat di antara mereka yang terlibat, “ 3 kelompok orang Asia [.....] sebagian besar telah diabaikan dalam analisis sebelumnya”, kelompok ketiga adalah penduduk pribumi Luhuc, yang diduga bersekongkol dengan Inggris6.

Tidak hanya peran orang non-Eropa telah dihapuskan, tetapi sedikit perhatian telah diberikan pada perspektif penduduk asli (pribumi), khususnya orang Ambon sendiri. Meskipun pengamatan Clulow bahwa “interogasi berlangsung dalam bahasa ketiga, yaitu bahasa Melayu”, yang membuktikan statusnya sebagai lingua franca wilayah tersebut, sumber-sumber Melayu belum banyak digunakan7. Kajian ini mengisi celah tersebut dengan meneliti 2 sumber Melayu-Ambon yang merujuk pada peristiwa tersebut. Meskipun referensi sekilasi ini singkat, sumber tersebut memberi tahu kita sesuatu tentang bagaimana penduduk asli/pribumi memahami hubungan Inggris-Belanda, membantu memulihkan multidimensionalitas peristiwa tersebut. Tidak mengherankan, seperti halnya Inggris dan Belanda, penduduk asli membingkai peristiwa tersebut dalam konteks keprihatinan dan kepentingan mereka sendiri, yaitu hilangnya kedaulatan dan tanah ir mereka ketika Belanda memaksa mereka ke pengasingan. Orang Ambon menganggap peristiwa tersebut berguna secara retoris ketika meminta bantuan dari Inggris. Seperti rekan-rekan Eropa mereka yang menyusup ke politik lokal, mereka juga mengambil keuntungan dari keretakan hubungan antara orang Eropa ketika bernegosiasi dengan EIC. 

Dua [2] rujukan ditemukan dalam sejarah Ambon karya Ridjali, Hikayat Tanah Hitu (Sejarah Hitu, c. 1650). Dari salah satu dari 4 garis keluarga yang membentuk aristokrasi penguasa Ambon, Ridjali (c. 1590 – setelah 1653) adalah cucu Djamilu, Kapitan Hitu atau kepala/pemimpin Hitu di pantai utara Ambon, dari keluarga Nusatapi. Ditulis dalam genre hikayat Melayu, sejarah kronik, karya ini dilestarikan dalam manuskrip unik, Leiden Cod.Or. 5448, ditulis dalam aksara Arab di atas kertas Eropa abad ke-17; lembaran folio terlipat, diberi nomor dari halaman 2 hingga halaman 107 dengan tulisan tangan Eropa kemudian, awalnya dijilid tetapi telah robek di sepanjang lipatan sehingga manuskrip sekarang sebagian besar terdiri dari lembaran lepas berukuran 32 x 20 cm; catatan pinggir yang diulang 2 kali, “milik Bulan Nustapi  ( من بلن نسطفي ), merujuk pada salah satu keponakan Ridjali, Asaukend, yang untuknya naskah itu disalin, dan kematiannya pada tahun 1662 menetapkan terminus ante queme naskah tersebut8. Gelar imām milik Ridjali menunjukkan perannya sebagai pemimpin spiritual Islam. Islam pertama kali datang ke Hitu dari Jawa dan juga melalui Ternate pada awal abad ke-16 melalui hubungan dagang. Orang Portugis tiba sekitar waktu yang sama pada tahun 1512, terdampar di pulau terdekat, sebuah peristiwa yang dilaporkan dalam Ridjali. Pada akhir abad itu, orang Portugis menghadapi persaingan yang semakin ketat untuk perdagangan cengkeh dari pendatang baru Eropa – Inggris, dan, khususnya, Belanda. Bangsa Belanda disambut oleh berbagai bangsa yang berperang melawan Portugis di Maluku, termasuk bangsa Ternate (yang telah berperang semi-permanen dengan Portugis sejak tahun 1570) dan bangsa Hitu. Pada tahun 1605, Belanda berhasi mengusir Portugis dari benteng-benteng mereka, termasuk yang ada di Ambon (berganti nama menjadi Victoria), yang menyerah tanpa perlawanan9. Awalnya, selama pemerintahan Tepil (1602-1633), hubungan sangat baik, tetapi kebijakan Tepil yang pro-Belanda mulai ditentang sekitar tahun 163010. Belanda semakin menekan orang Ambon untuk melakukan wajib kerja, dan pada tahun 1638 pemberontakan pecah, yang oleh ahli botani, Georg Rumphius (1628-1702) disebut sebagai “Perang Ambon Ketiga”, yang terjadi di seluruh Kepulauan Ambon11. Sejarah Ridjali mencakup periode dari pembentukan negara Hitu awal, mulai sekitar tahun 1500, melalui perang mereka dengan Portugis dan hubungan dengan Belanda, hingga berakhir dengan keterlibatan mereka dalam konflik bersenjata untuk mempertahankan pemerintahan mereka pada tahun 1643-1646. Pada akhir perjuangan itu, sebagaimana dicatat oleh para penyunting modern sejarah Ridjali, “para wakil utama elit Hitu telah meninggal dunia, dieksekusi, melarikan diri, atau diasingkan”12. Ridjali sendiri melarikan diri ke Makassar dan menulis di pengasingan di Gowa dibawah perlindungan penguasa Makassar, Karaeng Pattingalloang (1600-1654), yang mungkin telah menugaskan pekerjaan tersebut13. Dengan demikian, perhatian utama Ridjali adalah mendokumentasikan kekalahan Hitu dengan harapan dapat merebut kembali kerajaan tersebut.

Ridjali membahas periode perang yang meningkat yang diidentifikasi oleh Clulow sebagai hal penting untuk memahami pola pikir Belanda di Ambon. Referensi Ridjali terhadap insiden Amboyna menempatkannya dalam konteks kekacauan ini. Referensi pertamanya membingkai “konspirasi” Amboyna dalam kaitannya dengan aliansi Inggris-Belanda yang dibentuk oleh Perjanjian 1619 dan periode perdamaian yang mengikutinya, tetapi juga mengaitkan dimulainya kerusuhan dengan insiden tersebut :

tatkala Herman Aspel ia akan gurendur itu, maka kedua kaum muafakat serta bersakutu bandar Wolanda dan Inggeris itu, maka suatupun tiada hisab lagi. Hatta berapa lamanya serta kehendak Allah taala datang suatu bala Allah. Orang Inggeris dan Jupun endak tipu Wolanda, serta kotanya maka diketahui oleh Wolanda, lalu dibunuh kepada Inggeris dan Jupun semuanya, karena gurendur itu sangat bengis. Daripada ia memulai parang di tanah Ambon14.

 

[Ketika Herman van Speult menjadi Gubernur, kedua bangsa, Belanda dan Inggris, bersepakat untuk bersekutu, dan tidak ada lagi masalah. Setelah beberapa waktu, atas kehendak Tuhan, datanglah malapetaka. Rencana Inggris dan Jepang untuk mengkhianati Belanda dan benteng mereka diketahui oleh Belanda, yang kemudian membunuh mereka semua, karena Gubernur itu sangat kejam. Karena dialah perang di Ambon dimulai]

Ridjali tampaknya menerima klaim Belanda tentang rencana untuk menggulingkan pemerintahan mereka, dengan menggunakan kata tipu, dengan berbagai makna mulai dari menipu hingga mengkhianati, untuk menggambarkan motivasi para konspirator. Namun, tidak seperti catatan Eropa, ia memberikan Jepang bagian yang sama dalam rencana tersebut. Dalam hal ini, pernyataannya menegaskan ketakutan Belanda akan aliansi di antara musuh-musuh mereka, dan khususnya ketakutan penduduk asli/prinumi menerima bantuan dari pesaing Eropa. Pandangan Ridjali konsisten dengan pandangan dari risalah Belanda pertama tentang Amboyna, Waerachtich verhael (1624), yang terjemahan bahasa Inggrisnya disertakan dalam A True Relation (1624) karya Sir John Skinner : karya ini berspekulasi tentang “berbagai korespondensi rahasia antara orang-orang Hindia, dan yang lainnya, yang memberi kita kecurigaan besar” bahwa “sesuatu mungkin direncanakan melawan Negara di Amboyna, dan bahwa orang-orang Hindia (sendiri) tidak berani menawarkan untuk melalukan rencana besar seperti itu, tanpa bantuan besar dari beberapa orang Eropa, baik orang Spanyol, Portugis, atau yang lain”15. Namun, Ridjali bukanlah pendukung Belanda. Dia memandang perintah eksekusi dari Herman van Speult sebagai murder atau killing (dibunuh). Ridjali secara khusus mengkritik Gubernur Belanda, menggambarkannya sebagai orang yang kejam, sesuai dengan stereotip orang Belanda di Hindia Timur sebagai “pembuat onar yang gigih [.........] yang cenderung [.......] melalukan kekerasan pada waktu yang tidak terduga”16. Yang terpenting, Ridjali mengaitkan dimulainya periode peperangan di pulau-pulau tersebut dengan tindakan gubernur.

Referensi kedua Ridjali menekankan interpretasi yang sama : bahwa pengkhianatan adalah alasan Ambon tidak dapat menjadi perantara perdamaian dengan Belanda. Ridjali menceritakan bagaimana sepupunya, Mihirjigunaf, putra Kapitan Hitu, pergi menemui Gubernur Jenderal Belanda, Jan Pieterszoon Coen (1587-1629) di Batavia untuk berunding demi orang Banda. Hanya 2 tahun sebelum Amboyna, Belanda menaklukan kepulauan Banda dan membasmi penduduk asli dalam pembantaian yang sesungguhnya , yang hanya menyisakan 1000 orang hidup dari populasi 15.000 orang17. Mihirjiguna ingin agar orang Banda diizinkan bermigrasi ke Ambon meskipun mereka tidak dapat kembali ke Banda18. Narasi Ridjali menyatakan bahwa Coen memberikan instruksi kepada Tepil, yang saat itu menjadi Kapitan Hitu, dan Van Speult agar keinginan terakhir Mihirjiguna dipenuhi, tetapi Van Speult menolak usulan tersebut :

Pada tatkala itu Kapitan Hitu pun ada di Kota Laha, bicarakan Inggeris dan Jupun endak tipu kepada Wolanda serta kotanya itu. [...........] maka gurendur kata kepada Kapitan Hitu : “Baik juga kata jeneral kepada kita kedua itu kira-kirakan kepada kehendak Mihirjiguna itu, tetapi inilah perbuatan Inggeris dan Jupun, jika datang orang Bandan pula”. Lalu dibunuh Inggeris dan Jupun itu, maka tiada jadi kehendak Mihirjiguna itu sebab perbuatan orang itu19

 

[Ketika itu Kapitan Hitu sedang berada di Kota Laha, membicarakan rencana Inggris dan Jepang untuk melawan Belanda dan benteng mereka. [...........] maka gubernur berkata kepada Kapitan Hitu : “Gubernur Jenderal berpesan kepada kita berdua untuk mempertimbangkan keinginan Mihirjiguna, tetapi ini adalah perbuatan Inggris dan Jepang, dan jika mereka ikut, maka orang Banda juga akan ikut”. Maka terbunuhlah orang Inggris dan Jepang, sehingga keinginan Mihirjiguna tidak jadi terwujud karena perbuatan mereka].

Penolakan Van Speult terhadap instruksi dari Batavia – setidaknya menurut Ridjali – mengungkap meningkatnya kecurigaan di antara orang Belanda di Ambon segera setelah insiden Amboyna. Karena khawatir orang Banda akan membantu musuh mereka untuk menjatuhkan benteng, mereka melihat adanya kemunginan antara pemberontakan di berbagai pulau. Ridjali sekali lagi menyalahkan kegagalan diplomatik pada keteguhan hati dan kebrutalan Van Speult.

Alison Games mencatat bagaimana retorika bergeser seiring waktu ketika orang Eropa berkejaran dengan berita-berita Hindia Timur. Sementara orang Inggris di Hindia Timur menggunakan kata ““pembantaian” segera setelah episode Amboyna terjadi”, ia berpendapat, “orang Inggris di Eropa lebih lambat mengadaptasi terminologi ini” karena berita tersebut berjalan lambat kembali ke Eropa “jadi bahasa awal yang digunakan untuk menggambarkan apa yang terjadi adalah dari sudut pandang Belanda”20. Dari sudut pandang Belanda, Ridjali memulai ketika ia menerima keberadaan plot Inggris-Jepang. Akan tetapi, seperti halnya dengan Inggris, penerimaan penduduk asli/pribumi menyesuaikan peristiwa-peristiwa dengan masalah-masalah lokal, dalam hal ini pengasingan paksa yang disebabkan oleh perang dengan dan di antara orang-orang Eropa. 

Retorika penduduk asli/pribumi mengenai [insiden] Amboyna juga berubah seiring dengan audiensi. Meskipun kritis terhadap Belanda, Ridjali juga tidak berpihak kepada Inggris. Akan tetapi, ketika kebutuhan akan bantuan dari Inggris muncul, retorika orang Ambon selaras dengan masalah-masalah mereka, seperti dalam sumber kedua, sebuah surat tertanggal 23 Mei 1658 dari pemimpin atau king (Raja) Ambon, Kimelaha Salahak Abdul Kadir ibn Syahbuddin kepada EIC di Banten, Jawa. Orang Ambon meminta bantuan untuk mendapatkan kembali pulau mereka dengan menawarkan pembayaran sebesar 500 bahar cengkih, sebuah bujukan yang menarik bagi orang Inggris, yang telah dipaksa keluar dari perdagangan oleh Belanda. Akan tetapi, hadiah tersebut hanya disebutkan secara singkat di bagian akhir. Inti surat tersebut mempermainkan simpati mereka, pertama dengan mengingatkan Inggris akan persekutuan dan kekerabatan (spiritual) mereka sebelumnya, dan kedua dengan menyebut Belanda sebagai musuh bersama :

Kemudian daripada itu maka sebab tatkala dahulu daripada tiga puluh tahun itu raja dari Inggelis dan Kompanyi sudah bersabahat dengan berkasih-kasihan maka [me]mblas dengan kaum orang Ambon. Maka sebab fitnah orang Wolanda itu sebab membunuh orang Inggelis dari Ambon maka jadi bercerailah dengan sahabat kami raja Inggelis dan Kompany. Maka sekarang ini negeri kami punya orang Wolanda maka kita pun hendak dibunuh atau ditangkap. Adapun kit aitu balah[ar] Allah Taalah beri untung ke kita mati atau ditangkap. Maka kita lepas dating dari Mengkasar menghadir kami kepada raja Mengkasar. Ada pun jikalau sahabat kami raja Inggelis ingat kepada perjanjian kamu dahulu baiklah tolong kepada kami jikalau ditolong Allah kerana tanah Ambon ini upama Perempuan lakinya dua orang seorang Inggelis seorang Wolanda. Adapun sekarang ini fitnah orang Wolanda juga maka berverailah dengan sahabat kami. Maka sekarang kemaluan ini sahabat kami juga ampunya kemaluan. Maka sebab sahabat kami sudah lama lupa kepada kami maka kami memberitahu jikalau ada ingat lagi [baklah] baiklah segera membalas kemaluan dan ingatkan perjanjian dahulu jikalau ditolong Allah maka dapat tanah Ambon kembali pada tangan kami […….]21

 

Dokumen The India Office Records menawarkan terjemahan kontemporer sebagai berikut :

About thirty years agoe the King of England and Company became Confederate friends with us of Amboyna till the unchristianlike dealings of the Dutch in murthering the English caused a devorce betweene us, & the King of England & Company, since which our Country of Amboyna remaines in theire possession, Endeavouring to destroy us the Inhabitants but having with gods assistance escaped theire hands are now forced to shelter our selves under protection of the King of Maccassar.

Now theirefor if you our friends will call to minde your former Alliance with us afford us your assistance (if it may be with the Almighty permission) for the Condition of our land att presante may be compaired to a Woman with two Lovers, vizt the one an Englishman the other an Hollander, the latter of which Endeavours to cause a divorce betweene us (the woman) & your worship which will be a dishonour to you.

Wherefor seing you our friends have for a longe time forgotten us wee doe now take upon us to revive the memory of our former alliance, of which if your worship vouthsafe to take notice be pleased to requite the dishonour don you & withal think upon our former friend ship & of the Almighty restore us our Land againe […]22

Dengan daya tariknya yang afektif, surat tersebut menawarkan sekilas dunia mental keterikatan sosial, komersial, dan politik orang Ambon dengan orang Eropa. Dengan menyerukan persahabatan, surat tersebut menekankan, meskipun untuk alasan pragmatis, kedekatan dan keintiman. Frasa “bersahabat dengan berkasih-kasihan” diterjemahkan sebagai “sahabat perseketuan”, tetapi kata Melayu “berkasih-kasihan,” yang berarti “jatuh cinta dengan”, “terus-menerus jatuh cinta/berhubungan baik dengan” atau bahkan “bercinta, berpacaran” merupakan ekspresi keintiman emosional yang lebih kuat daripada yang diberikan oleh terjemahannya23. Selaras dengan keintiman ini adalah bagaimana metafora pernikahan digunakan di sini dengan efek yang mencolok. Meskipun terjemahan modern awal mengartikan kata “laki”sebagai “kekasih”, kata Melayu tersebut dapat berarti “suami”. Makna ini disinggung dalam terjemahan bahasa Inggris dari kata “cerai” sebagai “divorce [bercerai/perceraian]” dan bukan sekedar “terpisah”. Lebih jauh, berbicara tentang perpisahan sebagai “rasa malu” (kemaluan), memberi penekanan pada metafora tersebut. 


Meskipun metafora pernikahan mengingatkan pada wacana kolonialis standar, pada titik ini orang Ambon berada dibawah kekuasaan Makassar dan karenanya hal itu mencerminkan posisi politik mereka yang subordinat. Di Sulawesi Selatan, dominasi politik ditafsirkan dalam hal kepemilikan seksual. William Cummings mencatat, ‘kisah-kisah tentang kecemburuan seksual dan balas dendam adalah media umum yang digunakan orang Makassar untuk mengekspresikan keinginan mereka akan otonomi politik”24. Sebagai bagian dari budaya yang lebih besar, orang Ambon menggunakan kiasan serupa untuk mengisyaratkan kesediaan mereka menerima inferioritas politik sebagai imbalan atas bantuan materi. Namun, subordinasi politik mungkin merupakan interpretasi yang salah. Leonard Andaya menunjukkan bahwa dualisme merupakan inti dari pemikiran politik Maluku : dalam dualitas ini, Tidore adalah “pemberi istri” bagi Ternate; namun, ini tidak berarti subordinasi Tidore, tetapi sebaliknya mencerminkan “superioritas ritual Tidore atas Ternate”25.

Di luar ekspresi kedekatan emosional, surat Ambon mengungkapkan keakraban yang cerdas dengan masalah-masalah Inggris. Alih-alih membuat seruan untuk menghormati Inggris, orang Ambon melakukannya dengan merujuk pada pengalaman umum cedera di tangan Belanda. Surat itu menggunakan retorika Inggris sendiri untuk mengingatkan mereka tentang pembantaian Belanda tahun 1623 terhadap Inggris di Amboyna. Alih-alih bukti ingatan panjang orang Ambon, itu merupakan respons terhadap propaganda Inggris dalam Perang Inggris-Belanda Pertama, yang berlangsung dari Juli 1652 hingga April 1654, yang menjadi insiden Amboyna contoh pengkhianatan Belanda. Berita tentang Perang Dano-Swedia, 1658-1660, sampai ke Makassar melalui laporan Inggris ketika Makassar meminta “berita dari Eropa”26. Sekalipun tidak ada terjemahan yang sempurna, surat Ambon itu mengungkapkan cukup banyak pengetahuan lintas budaya.

Sama seperti peristiwa di Hindia Timur mempengaruhi hubungan luar negeri di Eropa, persaingan Eropa juga mempengaruhi negosiasi politik di Hindia. Alih-alih hubungan biner, hubungan lintas budaya terjadi dalam jaringan aliansi yang kompleks dan terus berubah, seperti yang ditunjukkan oleh sejarah Ridjali. Bahkan satu surat pendek berbahasa Ambon itu mengungkap beberapa partisipan yang disebutkannya – orang Ambon, Makassar, Inggris, dan Belanda. Persepsi penduduk asli/pribumi mungkin telah dibentuk oleh perspektif Eropa, terutama dalam hal pertikaian intra-Eropa, tetapi kedua sumber menggarisbawahi bahwa itu hanyalah titik awal. Penduduk asli/pribumi membingkai peristiwa dari perspektif mereka sendiri untuk memahami kekuatan yang lebih besar yang mempengaruhi masalah politik, ekonomi, dan masalah lainnya. Insiden Amboyna bukan hanya pertikaian Eropa. Dimensi lokalnya juga menuntut perhatian kita.

 

===== selesai ====

Catatan Kaki

1.      Anthony Milton, “Marketing a Massacre: Amboyna, the East India Company and the Public Sphere in Early Stuart England”, dalam The Politics of the Public Sphere in Early Modern England, dieditori oleh  Peter Lake and Steven Pincus (Manchester and New York: Manchester University Press, 2007), pp. 168–190. The traktat aslinya dipublikasi sebagai Waerachtich Verhael vande Tidinghen ghecomen wt de Oost-Indien (Amsterdam, 1624).

2.     D.K. Bassett, ‘The “Amboyna Massacre” of 1623’, Journal of Southeast Asian History, 1 (1960), pp. 1–19 (p. 3); Peter J. Marshall, ‘The English in Asia to 1700’, in The Oxford History of the British Empire, vol. 1, The Origins of Empire, edited by Nicholas Canny (Oxford: Oxford University Press, 1998), pp. 264–285 (p. 271); F.W. Stapel, ‘The Ambon “Massacre” (9 March, 1623)’, in Dutch Authors on Asian History, edited by Marie A.P. Meilink-Roelofsz, Margot E. van Opstall, and Gerrit J. Schutte (Dordrecht: Foris Publications, 1988), pp. 182–195 (p. 194); Willem Ph. Coolhaas, ‘Notes and Comments on the So-called Amboina Massacre’, ibid., pp. 196–240 (p. 215). George Masselman menggambarkan suatu konspirasi Inggris : The Cradle of Colonialism (New Haven: Yale University Press, 1963), pp. 429, 431. Sejarahwan Inggris yang melihat peristiwa ini sebagai pembantaian termasuk George Southgate, The British Empire (London: J. M. Dent, 1936), pp. 175, 363; and Robert M. Rayner, A Concise History of Britain, dengan bab tambahan oleh A.D. Ellis (London: Longmans, Green, 1938, rev. ed. 1965), p. 323.

3.     Alison Games, Inventing the English Massacre: Amboyna in History and Memory (Oxford: Oxford University Press, 2020).

4.     Adam Clulow, Amboina, 1623: Fear and Conspiracy at the Edge of Empire (New York: Columbia University Press, 2019), p. 12.

5.     Games, Inventing, p. 6.

6.     Clulow, Amboina, p. 14; tentang Tokugawa, lihat Adam Clulow, ‘Like Lambs in Japan and Devils Outside their Land: Diplomacy, Violence, and Japanese Merchants in Southeast Asia’, Journal of World History, 24 (2013), pp. 335–358 (p. 356).

7.     Clulow, Amboina, p. 119

8.     Ridjali, Historie van Hitu: Een Ambonse geschiedenis uit de zeventiende eeuw, dieditori oleh Hans Straver, Chris van Fraassen, and Jan van der Putten (Utrecht: Landelijk Steunpunt Educatie Molukkers, 2004); tentang manuskrip, lihat bagian pendahuluan, pp. 18–19; Saya mengutip dari edisi modern.

9.     Untuk rangkuman Sejarah, lihat Adolf Heuken SJ, ‘Catholic Converts in the Moluccas, Minahasa and Sangihe-Talaud’, in A History of Christianity in Indonesia, dieditori oleh Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink (Leiden: Brill, 2008), pp. 23–71, esp. pp. 32–35.

10.   Untuk catatan dari pecahnya pemberontakan dengan Belanda, lihat  Gerrit J. Knapp, ‘Crisis and Failure: War and Revolt in the Ambon Islands, 1636–1637’, Cakalele, 3 (1992), pp. 1–26.

11.    Georgius E. Rumphius, ‘De Ambonsche Historie, behelsende een kort verhaal der gedenkwaardigste geschiedenissen zo in vreede als oorlog voorgevallen sedert dat de Nederlandsche Oost Indische Comp. het besit in Amboina gehadt heft’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 64, 2 vols (’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1910), vol. 1, pp. 80–81, 89, 99, 125.

12.   Ridjali, Historie, p. 65; Terjemahan Inggris adalah milik saya sendiri [penulis]

13.    Ridjali, Historie, introduction, p. 23.

14.   Ridjali, Historie, p. 142; English translations are my own.

15.   Waerachtich Verhael vande Tidinghen ghecomen wt de Oost-Indien (Amsterdam, 1624); Sir John Skinner’s A True Relation of the Unjust, Cruell, and Barbarous Proceedings Against the English at Amboyna (London, 1624), 4, sig. G2.

16.   Clulow, ‘Like Lambs in Japan’, p. 350.

17.   Vincent C. Loth, ‘Pioneers and Perkeniers: The Banda Islands in the 17th Century’, Cakalele, 6 (1995), pp. 13–35 (p. 18).

18.   Ridjali, Historie, p. 156.

19.   Ibid., p. 160; para editor modern mencatat sebuah surat dari Coen kepada Tepil bertanggal 28 Januari 1623 yang mengonfirmasi persahabatan dengan Hitu, tetapi mereka menemukan tidak ada surat atau catatan dimana Coen mengijinkan kembalinya orang Banda ke Ambon (p. 159 n. 167).

20.  Alison Games, ‘Violence on the Fringes: The Virginia (1622) and Amboyna (1623) Massacres’, History, 99 (2014), pp. 505–529 (p. 527).

21.   India Office Records, British Library, BL IOR E/3/25 f. 253, yang mana mencakup transliterasi modern awal. Transliterasi dan pengucapan modern adalah milik saya sendiri.

22.  British Library IOR E/3/25 f. 253. The Java Records terdiri dari terjemahan lain dari surat tetapi bukan salinan versi Melayu  (IOR G/21/3/3 f. 282v–283).

23.   See entry for ‘berkasih-kasihan’, in Alan M. Stevens and A. Ed. Schmidgall-Tellings, A Comprehensive Indonesian–English Dictionary (Athens: Ohio University Press, 2004).

24.  William Cummings, Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2002), p. 70.

25.  Leonard Y. Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period (Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1993), pp. 55, 257 n.28.

26.  British Library IOR G/10 f. 184;  dokumen ini, dari Factory Records: Celebes, adalah ringkasan isi surat yang tidak dapat saya temukan (meskipun ada bantuan dari kurator Studi Asia dan Afrika Richard Morel).

Catatan Tambahan

a.     Balada broadside juga dikenal sebagai broadsheet adalah selembar kertas murah yang dicetak pada satu sisi, sering kali berisi balada , rima , berita , dan terkadang ilustrasi ukiran kayu . Broadside merupakan salah satu bentuk materi cetak yang paling umum antara abad keenam belas dan kesembilan belas, terutama di Inggris, Irlandia, dan Amerika Utara karena mudah diproduksi dan sering dikaitkan dengan salah satu bentuk musik tradisional terpenting dari negara-negara tersebut, balada. Atau sederhananya sebuah syair atau lagu deskriptif atau naratif terutama dari abad ke-16 dan ke-17, biasanya dalam bentuk balada sederhana, pada tema populer (seperti perayaan sebuah acara atau pujian atau serangan terhadap tokoh publik), dan dinyanyikan atau dibacakan di tempat umum atau dicetak pada selebaran untuk dijual di jalanan

b.     Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), volatilitas berarti kemampuan suatu bahan untuk berubah menjadi gas. Jika digunakan dalam konteks kalimat di atas, bisa bermakna kemampuan untuk melakukan perubahan atau berubah-ubah.

c.     Dugaan ini berasal dari informasi yang didapatkan oleh Isaac de Bruijn, advocat fiscal atau semacam “jaksa” yang bertugas di gubernemen Ambon pada periode itu.

d.     Asauken, Orangkaija Bulang di Hila (1637 – 1662), putra dari Latu Lisalaik. Latu Lisalaik sendiri adalah Orangkaija Bulang yang meninggal tahun 1637, dan merupakan salah satu saudara laki-laki dari Tepil, Kapitan Hitu

e.     terminus ante quem maksudnya adalah waktu paling awal terjadinya peristiwa.

f.      Mihirjiguna dikenal juga dengan nama Arinjiguna. Menurut kajian dari Dr. Rakeeman R.A.M. Jumaan, Mihirjiguna meninggal pada 14 Januari 1623

      Rakeeman R.A.M. Jumaan, Hikayat Tanah Hitu dan Kewafatan Mihirjiguna, https://potretmaluku.id/hikayat-tanah-hitu-dan-kewafatan-mihirjiguna/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar