(bag 1)
[James T. Collins]
- Kata Pengantar
Artikel yang kami terjemahkan ini adalah kajian dari James Thomas Collins, seorang Profesor bahasa, yang banyak menulis tentang bahasa Melayu-Ambon dengan segala “pernak-perniknya”. Kajian dari James. T. Collins ini berjudul A Book and a Chapter in the History of Malay : Brouwerius’s Genesis (1697) and Ambonese Malay, yang dimuat atau dipublikasikan di Jurnal Archipel, volume 67, tahun 2004, halaman 77-127.
Kajian sepanjang 51 halaman, 84 catatan kaki, 5 ilustrasi, 6 tabel, 4 chart, referensi (menghabiskan 5 halaman) dan 2 lampiran ini membahas tentang terjemahan Alkitab, khususnya Kitab Kejadian (Geneis) yang dilakukan oleh pendeta Daniel Bouwerius ke dalam bahasa Melayu. Collins mengkaji tentang bahasa Melayu, khususnya Melayu Ambon yang dimuat atau yang ditulis pada terjemahan Kitab Kejadian tersebut. Ia menyebut bahwa bahasa Melayu Ambon pada terjemahan itu, banyak menggunakan kata serapan dari berbagai bahasa yang telah dikenal dan digunakan atau minimal telah dimengerti oleh masyarakat Ambon pada akhir abad ke-17 itu.
Bahasa Melayu Ambon yang dipercakapkan oleh masyarakat Ambon masa kini, memiliki “leluhur” yang panjang, rumit, dan bisa ditelusuri jauh ke belakang. Dengan membaca kajian berharga ini, minimal kita bisa mengerti, tahu, dan memahami lebih jauh tentang “akar” dari bahasa sosial yang kita gunakan sehari-hari di masa sekarang. Apa yang terjadi dan terbentuk di masa kini, tidak terbentuk dari angkasa, tetapi berasal dari pergulatan, dinamika, tarik-menarik, diantara banyak variabel, yang pada akhirnya membentuk hal itu dan bisa terlihat di masa sekarang.
Pada terjemahan ini, kami membaginya menjadi 3 bagian, menambahkan sedikit catatan tambahan, dan sedikit ilustrasi untuk melengkapi apa yang ada pada naskah aslinya. Terjemahan yang kami lakukan, pastilah tidak sempurna, tetapi paling tidak berusaha “mendekati” apa yang dimaksud oleh penulis dalam kajian ini. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
- Terjemahan
Pendahuluan
Pada tahun 1650, penduduk negeri/desa Kaibobo/Kaibobu1 yang beragama Kristen di barat daya Seram memutuskan untuk mengirim anak-anak mereka ke dukun desa untuk mendapatkan petunjuk dan inisiasi ritual leluhur Seram; Gubernur di Ambona menanggapinya dengan mengirimkan pasukan yang menyandera orang-orang untuk menegakkan ketertiban, jika bukan agama Kristen. Pada tahun 1653, hukum [negeri] Hatiwe di teluk Ambon, Jan Paysb, dipenggal dan dipotong empat karena meskipun sebelumnya ia dihormati oleh VOC, dia dituduh sebagai seorang “Muslim dalam hatinya”, pengkhianat dan “Kristen palsu”2. Pada tanggal 10 Januari 1656, penduduk negeri Waai (Ambon bagian timur) mendirikan sebuah lingga kayu besar untuk menjamin kesuburan istri-istri merekac. Pemimpin negerid dan 13 tetua dipanggil ke Ambon, dimana mereka digiring melintasi kota, dicambuk dengan kejam dan dilumuri kotoran yang dilemparkan ke arah mereka; mereka dijatuhi hukuman pembuangan permanen ke Banda, dengan tanda di dada mereka : “Ini adalah penyembah berhala”3.
Benteng Victoria, ca. 1651 |
Berbeda dengan perpindahan agama Saulus dalam perjalanan ke Damaskus, Kristenisasi di Ambon tidak tercapai dalam ledakan cahaya yang menyilaukan. Khususnya, Calvinisasi umat Kristen di Ambon merupakan tugas yang lambat dan menuntut, penuh dengan kemunduran dan kemerosotan, kemurtadan, penyembahan berhala dan amoralitas. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar, tidak hanya di kalangan masyarakat Ambon yang bandel, namun juga di kalangan masyarakat Belanda yang gigih. Dalam 100 tahun pertama Protestan di Ambon, tidak kurang dari 1/3 pendeta Belanda yang ditugaskan di sana meninggal dalam perjalanan menuju atau di Ambon dan Uliasse, biasanya hanya setelah beebrapa bulan bertugas4.
Namun, para pendeta Belanda abad ke-17 dipanggil untuk melayani di Ambon5, mungkin tidak gentar, tekun dalam melakukan kebaktian, menyampaikan khotbah, mengajarkan katekismus, mengecam orang yang berdosa, dan – yang paling penting bagi sejarah Melayu dan Maluku – menulis, menerjemahkan dan menerbitkan buku-buku dalam bahasa Melayu. Bukan suatu kebetulan jika Ambon menjadi pusat dakwah dan penerbitan. Pada tahun 1652, VOC telah memutuskan bahwa produksi cengkeh akan dipusatkan secara eksklusif di Ambon, yang merupakan tanaman asli di Maluku bagian utara, ditanam secara luas di Seram bagian barat pada awal abad ke-17, dihancurkan di tempat-tempat tersebut dan hanya dibudidayakan di Ambon dibawah pengawasan ketat benteng di teluk Ambon. Monopoli cengkeh yang terfokus di Ambon pulau yang terpencil ini diambil alih suatu kepentingan dalam struktur VOC yang tidak sebanding dengan ukuran, lokasi, atau jumlah penduduknya. Perampasan bahasa Melayu oleh kolonial6 berhubungan langsung dengan perampasan perdagangan cengkeh secara paralel dan simultan. Seperti yang dirulis oleh Eric Jones (komunikasi pribadi, 5 Mei 2003) : “Ambon tidak hanya memonopoli cengkih tetapi juga bahasa Melayu itu sendiri”. Dengan kata lain, politik bahasa pada era ini sangat erat kaitannya dengan kebijakan ekonomi.
Buku-buku berbahasa Melayu abad ke-17 yang diproduksi oleh para pendeta Belanda, terutama dicetak di Amsterdam tetapi sebelumnya telah diedarkan secara luas sebagai naskah pra-publikasi, ada 2 jenis : 1. Terjemahan berbagai kita dalam Alkitab; dan, 2. Komposisi didaktik seperti katekismus, risalah keagamaan, dan kumpulan khotbah7. Rupanya para pendeta menulis dalam bahasa Melayu yang mudah dipahami oleh jemaatnya yang berasal dari Ambon dan Banda8. Memang benar, setidaknya ada satu buku, yang tulis oleh para pengarang klasik yang terkenal di Batavia, ditolak oleh orang-orang gereja di Ambon karena dianggap tidak dapat dipahami oleh jemaat mereka di Ambon (lihat Valentyn, 1726a : 57).
Oleh karena itu, sejak awal, terbitan-terbitan rohani Kristen disusun dalam varian atau varian bahasa Melayu yang dianggap dapat diakses oleh umat Kristiani di Ambon dan Banda. Meskipun demikian, para penulis dan penerjemah ini harus bergulat dengan masalah komunikasi yang sangat besar. Penerjemah Kitab Suci dan teologi Calvinis bukanlah titik awal yang mudah bagi para penutur bahasa Melayu yang masih pemula, baik mereka yang menjadi pendeta yang menerjemahkan dan menulis, atau mungkin juga para pendengarnya, yaitu jemaat di Maluku. Meskipun begitu, publikasi awal berbahasa Melayu yang dihasilkan dari upaya yang beragam dan tulus ini memainkan peran penting dalam pembentukan masyarakat Kristen Ambon, bahkan dalam pembentukan bahasa Melayu, terutama yang dulu dan digunakan di pulau Ambon dan sekitarnya.
Meskipun penyebaran bahasa Melayu di Ambon kadang-kadang dilihat sebagai sebuah fait accompli (keadaan yang harus diterima) pada era Portugis (Grimes, 1991), sebaliknya, seperti Kristenisasi di Maluku yang merupakan sebuah proses yang rumit dan melelahkan, penyebaran bahasa Melayu, bahkan evolusinya, bersifat berlapis dan lambat, jika mungkin tidak dapat dihindari. Karena peran gereja dan pendidikan gereja di Ambon dan Uliasse, salah satu lapisan sejarah bahasa Melayu di Maluku ini sangat dipengaruhi oleh publikasi berbahasa Melayu yang ditulis oleh pendeta Belanda abad ke-17 (lihat Collins, akan terbit a).
Dalam beberapa generasi setelah penyerahan benteng Ambon oleh Portugis kepada Belanda tahun 1605, dampak teknologi zaman Renaisans akhir dan munculnya sistem sekolah barat9 sudah terlihat jelas di Ambon. Namun keterkaitan antara teknologi dan birokrasi dengan mandat Protestan untuk membiarkan setiap orang Kristen memamahi kitab sucilah yang membuat perbedaan historis. Einstein (1983) menggarisbawahi ketergantungan Protestan pada media cetak untuk memberdayakan umat beriman dan memungkinkan terjadinya “perjumpaan dengan firman”. Insentif Protestan untuk membaca dan “meletakkan Injil langsung ke tangan orang lain” telah mengubah Eropa, sebagaimana diutarakan oleh Eisenstein, namun hal ini juga mengubah dunia Melayu secara mendalam, khususnya di Ambon dan Maluku.
Misalnya, laporan resmi kunjungan pendeta F. Valentyn pada tahun 1708 (kira-kira 100 tahun setelah berdirinya kekuasaan Belanda di Ambon) ke 23 desa/negeri kristen di pulau Ambone saja mencatat bahwa masing-masing gereja dan sekolah-sekolah yang berdekatan telah dilengkapi dengan 7 sampai 11 judul buku-buku keagamaan berbahasa Melayu yang sudah dicetak, sebagian besar dalam bentuk salinan ganda dan sudah banyak digunakan (Valentyn 1726a : 119-130). Selain itu, Valentyn memberikan penjelasan rinci tentang kemampuan siswa Ambon tahun 1708 dalam menghafal katekismus, membaca buku agama, dan menulis bahasa Melayu. Tidak mengherankan jika pada tahun 1780-an sebagian besar guru yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah Batavia berasal dari Ambon!10.
Karena kepedulian pedadogis dan misiologis yang nyata untuk menyebarkan pengetahuan, publikasi berbahasa Melayu abad ke-17 memang mencerminkan varian bahasa Melayu kontemporer yang digunakan di Ambon. Teks-teks ini bukanlah rekaman audio sehingga tidak menduplikasi persis varian bahasa Melayu tersebut; namun mereka mencerminkannya, betapapun tidak sempurnanya, dan dengan demikian memberikan salah satu pembuka terbaik untuk varian sosial bahasa Melayu yang digunakan 350 tahun lalu11. Pada saat yang sama, karena penyebarannya yang luas dan banyaknya penggunaan, tidak ada keraguan bahwa buku-buku tersebut berkontribusi terhadap evolusi, penguatan dan penyebaran dialek Melayu yang digunakan di Ambon. Waktunya telah tiba bagi para ahli bahasa untuk mengkaji bahasa dari buku-buku luar biasa ini. Penjelasan apa yang dapat mereka berikan mengenai jenis bahasa Melayu yang digunakan di Ambon 350 tahun yang lalu ?. Berapa banyak informasi yang dapat diambil dari teks-teks ini, yang begitu esoteris menurut standar saat ini?.
Penyelidikan awal yang dipaparkan di sini merupakan sebuah langkah yang ragu-ragu untuk melihat bahasa Melayu dengan mempelajari kekayaan buku-buku Calvinis, pamflet, dan manuskrip-manuskrip yang ditulis dalam bahasa Melayu pada abad ke-17 yang sampai saat ini banyak diabaikan12. Sebagai langkah awal, terjemahan buku pertama dalam Alkitab, Kejadian (Genesis), dipilih13. Kajian ini dibagi menjadi 2 bagian dan kesimpulan. Bagian pertama menyajikan gambaran umum penerjemah dan penerjemahan dalam konteks lingkungan sosial dan linguistiknya. Bagian kedua membahas 2 aspek leksikon terjemahan ini : kata pinjaman dan kata ganti. Kesimpulan tersebut dimaksudkan sebagai peninjauan kembali terhadap metode dan model penulisan sejarah bahasa Melayu.
Bagimanna dia mau bernamma dia orang (Kejadian 2: 19) : Penerjemah dan terjemahan
Teks yang dibahas di sini adalah Kitab Kejadian, salah satu kitab terpanjang dalam Perjanjian Lama, ditulis dan diedit dalam bahasa Ibrani dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani dan, kemudian, dalam bahasa Latin. Terjemahan selanjutnya ke dalam bahasa-bahasa daerah di dunia sangat banyak dan terus meningkat. Kitab Kejadian mencakup berbagai topik dalam beragam gaya, mulai dari narasi dan kata-kata mutiara hingga silsilah dan puisi. Seorang sarjana Perjanjian Lama abad ke-20, Gerhard von Rad (1962) mencatat perbedaan antara didaktik dan himne, dan antara “berkontur jelas” dan kiasan dalam Kitab Kejadian. Von Rad bersikukuh bahwa Kitab Kejadian merefleksikan kemunculan bersama dari “bentuk pemikiran yang sama sekali berbeda” – “hasil dari refleksi teologis dan kosmologis yang terkonsentrasi’ (Von Rad, 1962: 141). Jelasnya, penerjemahan komposisi yang rumit, berlapis, simbolis, dan padat secara epistemologis ini bukanlah tugas yang mudah.
Namun, tugas ini menjadi lebih muda pada abad ke-17. Ilmu pengetahuan Latin dan Yunani pada akhir Renaisans dibarengi dengan meninatnya minat terhadap bahasa-bahasa Semit, khususnya bahasa Ibrani. Eisenstein (1983: 68) mencatat bahwa di Eropa “antara tahun 1500 dan 1800 lebih dari 70 leksikon yang ditujukan hanya untuk bahasa Ibrani” diterbitkan. Di Belanda, tradisi studi kritis Alkitab dimulai dengan karya sarjana Katolik, Erasmus, dan berlanjut hingga periode awal Calvinis. Pada awal abad ke-17, pembaca Belanda telah menggunakan terjemahan bahasa Belanda dari terjemahan Alkitab bahasa Jerman karya Martin Luther, namun pada tahun 1637 terjemahan Alkitab bahasa Belanda yang benar-benar baru, berdasarkan pada karya ilmiah selama 20 tahun dengan bahasa Ibrani dan Yunani asli (“uyt de oorsroncenlijke talen”) diterbitkan di Leiden. Statenbijbel, demikian sebutan terjemahan ini “memiliki pengaruh yang besar terhadap bahasa dan budaya Belanda selama berabad-abad berikutnya” (Schenkeveld, 1991: 39).
Sarjana-sarjana lain telah menarik perhatian pada peran khusus Perjanjian Lama di kalangan Protestan di Belanda. Schama menulis (1984: 94-95) :
“Penolakan terhadap hagiografi pasca-Alkitab serta otoritas hukum penerus Santo Petrus di Roma merupakan ciri utama Reformasi, dan hal ini memberikan status yang lebih tinggi pada kita suci........Selain itu, perbedaan antara sifat Perjanjian Baru yang sepenuhnya sakral dan karakter Perjanjian Lama yang “duniawi”, jika dikaitkan dengan obsesi kaum Calvinis terhadap perilaku yang benar, berarti bahwa sifat yang terakhir ini tersedia sebagai sumber kebijaksanaan yang patut dicontoh dan kebenaran sejarah tanpa sedikit pun penistaan”.
Memang Schama (1988: 97) menyatakan bahwa di republik Belanda abad ke-17 terdapat “citra diri Ibrani”.
Jadi, dalam konteks kebudayaan Protestan Belanda pada puncak sejarah kegembiraan dan keyakinan itulah Genesis [Kejadian], kitab pertama Perjanjian Lama, diterjemahkan oleh seorang pendeta Belanda ke dalam bahasa Melayu, hanya 20 tahun setelah penerbitan Statenbijbel yang bersejarah; Kitab Kejadian berbahasa Melayu kemudian dicetak hanya 5 tahun kemudian pada tahun 1662 di Den Haag dibawah naungan dan dengan dana VOC. Dari seluruh kitab dalam Alkitab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, hanya 4 Injil dan Kisah Para Rasul yang dicetak lebih awal; lihat Landwehr (1991).
Penerjemah Kitab Kejadian adalah pendeta Daniel Brouwerius, lahir di Yhorst (Overijssel)f dan kemudian dipanggil untuk melayani di Hellevoetsluis pada bulan Juli 1649 (Troostenburg de Bruin, 1893: 60). Baru 2 tahun kemudian, 6 Juli 1651, ia tiba di Batavia; 6 bulan setelah itu, berdasarkan keputusan dewan gereja di Batavia pada tanggal 10 Januari 1652 (Mooij, 1927-1931: 222), ia diutus melayani gereja di Ambon. Brouwerius tiba di Ambon pada puncak perang Hoamoal yang mengerikan yang dilancarkan oleh Arnold de Vlaming dari tahun 1651 hingga 1656 (Collins 2003; Rumphius 1910b). Konflik ini meliputi pemindahan 12.000 penduduk desa/negeri di Seram bagian barat, eksekusi Jan Paijs pada tahun 1653 dan kampanye perbaikan terhadap kemerosatan Kaibobu. Rupanya de Vlaming memainkan peranan penting dalam urusan gereja di Maluku. Dialah yang mengarahkan Brouwerius ke Banda, tetapi Brouwerius menolaknya dan, karenanya dikirim kembali atas arahan de Vlaming ke Batavua pada bulan Juni 1654 (Valentyn 1726a: 56). Setelah beberapa kali tampil di hadapan dewan gereja Batavia dan berbagai perundingan (Mooij, 1927-1931)14, Brouwerius menyetujui pengangkatannya di Banda dan bertugas di sana hingga Agustus 1656 (Troostenburg de Bruin, 1893: 60)15. Ia muncul kembali di Batavia di hadapan dewan gereja dan pada akhir tahun 1656 ia dikirim untuk bertugas di Ambon dimana ia bekerja hingga tahun 165816, ketika ia menghadap dewan gereja Batavia dalam perjalan ke Belanda.
Rupanya sebelumnya Brouwerius telah meninggalkan Ambon untuk pergi ke Belanda, ia telah menerjemahkan Kitab Kejadian ke dalam bahasa Melayu (Valentyn, 1726a: 58). Bagaimanapun, pada bulan Agustus 1661, telah didistribusikan contoh-contoh terjemahan Kitab Kejadian (serta bagian-bagian dari Kitab Keluaran, Kitab Hosea, dan Surat kepada Jemaat di Efesus, serta Surat Yakobus); lihat Mooij, 1927-1931: 70). Setelah mengajukan petisi kepada dewan direksi VOC, baik secara tertulis maupun langsung di Belanda, pada akhir tahun 1661 Brouwerius membujuk mereka untuk mencetak terjemahan Kitab Kejadian miliknya. Dia juga meyakinkan mereka untuk untuk menyetujui penugasan keduanya ke Hindia Timur. Edisi pertama terjemahan Kitab Kejadian diterbitkan pada tahun 1662 di Den Haag. Ia tinggal di Belanda selama 4 tahun lagi, tetapi segera setelah persetujuan penerbitan terjemahan Perjanjian Baru pada tahun 1668, Brouwerius berlayar ke Batavia dan tiba di sana pada bulan Februari 1669.
Brouwerius kemudian diangkat pertama kali sebagai “een behulp” (“asisten/pembantu”), kemudian pada tahun 1670 sebagai “Prop.” (“pendeta muda, calon pendeta penuh”)17 kepada jemaat berbahasa Melayu di Batavia (Valentyn, 1726b: 126). Catatan dewan gereja di Batavia banyak dimeriahkan oleh laporan-laporan tentang tindakan Brouwerius di Batavia: keberhasilannya dalam mempertobatkan banyak budak dan orang Asia lainnya, skorsing sementara, petisi berikutnya dan penerimaan kenali serta perselisihannya dengan anggota gereja lain (Mooij 1927-1931). Memang, Troostenburg de Bruin (1893: 60) bahkan menulis bahwa Brouwerius dikenal sebagai orang yang pemarah dan mudah marah (“een driftig en oploopend mensch”). Pada bulan November 1671 Brouwerius diutus untuk melayani gereja di Ternate dimana ia meninggal pada bulan Januari 1673.
Apapun perkiraan kontemporer dan kemudian mengenai kepribadian dan metode dakwahnya18, warisan Brouwerius terhadap proses perkembangan gereja Kristen, khususnya di Ambon, sangat mendalam. Selama lebih dari 60 tahun, buku ini merupakan satu-satunya terjemahan Kitab Kejadian dalam bahasa Melayu yang dicetak. Termasuk, buku lain dari Perjanjian Lama yang diterbitkan dalam bahasa Melayu sebelum tahun 1733 adalah buku Mazmur (Heurnius 1689); lihat Landwehr, 1991). Selain itu, terjemahan Perjanjian Baru karya Brouwerius (1668) adalah satu-satunya terjemahan bahasa Melayu yang dicetak hingga tahun 1731. Seperti yang diharapkan dalam tradisi keunggulan kitab suci Calvinis, buku-buku ini didistribusikan secara luas dan digunakan. Misalnya, pada tahun 1708, Valentyn (1726a: 119-130) menghitung setidaknya 28 eksemplar terjemahan Kitab Kejadian milik Briuwerius digunakan di 23 sekolah desa yang ia kunjungi di pulau Ambon saja. Pada masa ketika buku-buku sangat langka, jarang dan berharga, terutama di kepulauan Asia Tenggara, akumulasi 28 eksemplar di beberapa desa di Ambon ini merupakan statistik yang luar biasa.
Terjemahan yang luar biasa dan sangat berguna ini, “[e]ditio princeps Kitab Kejadian dalam bahasa Melayu” (Landwehr, 1991: 435), dicetak dalam edisi bilingual, dengan teks bahasa Belanda dalam tipe Gotik di kolom sebelah kiri dan teks Melayu dalam tipe hurur Romawi pada halaman yang sama di kolom sebelah kanan19. Format setiap bab terjemahan ini terdiri dari abstrak pendahuluan dengan font yang lebih kecil20, diikuti dengan teks kitab suci itu sendiri dengan setiap ayat diberi nomor dan diperlakukan sebagai paragraf tersendiri. Setiap bab diakhiri dengan catatan akhir, paling sering bersifat leksikal, namun terkadang penolakan dan penjelasan yang bersifat teologis.
Sebagaimana disebutkan di atas, edisi yang menjadi sandaran kajian ini adalah edisi tahun 1687 yang merupakan kali ketiga buku ini dicetak21. Landwehr (1991) menulis bahwa edisi pertama tahun 1662 di Den Haag dicetak ulang tanpa perubahan pada tahun 1673 di Amsterdam. Namun, terbitan tahun 1697 di Amsterdam menggunakan kumpulan tipe baru dan oleh karena itu dianggap sebagai edisi kedua. Dalam ilustrasi nomor 122, halam judul edisi 1697 direproduksi. Perhatikan bahwa judul berbahasa Belanda mendahului judul berbahasa Melayu; penerbit dan tempat penerbitan hanya muncul dalam bahasa Belanda. Setelah halaman judul, terdapat 6 halaman, dedikasi berbahasa Belanda kepada para direktur VOC, diawali dengan inisial ukiran kayu (gbr 2). Ilustrasi nomor 3 menampilkan halaman pertama terjemahan dengan inisial ukiran kayu yang muncul satu-satunya di lain waktu dalam buku ini.
Jika kita membandingkan isi abstrak berbahasa Belanda dengan abstrak berbahasa Melayu pada Ilustrasi nomor 3, kita langsung mengamati bahwa abstrak berbahasa Melayu menempati ruang yang kira-kira sama (3 cm dalam teks asli) dengan abstrak berbahasa Belanda tetapi memuat jauh lebih sedikit informasi; versi berbahasa Melayu disingkat dan rincian ayat tidak disertakan. Abstrak berbahasa Melayu berakhir pada hari ke-6 penciptaan dan tidak ada 4 baris informasi terakhir yang ditemukan dalam abstrak berbahasa Belanda. Dalam Kejadian terbitan 1697, abstrak berbahasa Melayu, yang tampaknya merupakan terjemahan bebas dari abstrak berbahasa Belanda, disingkat. Rupanya Brouwerius sedang memadatkan abstrak yang dicetak dalam Statenbijbel tahun 1637.
Berbeda dengan perlakuan terhadap abstrak pendahuluan, terjemahan teks kitab suci tidak pernah disingkat. Karena formatnya memperlakukan setiap ayat sebagai paragraf, teks berbahasa Melayu yang lebih panjang dilengkapi dengan spasi tambahan pada latar teks berbahasa Belanda. Dalam Ilustrasi nomor 3, kita mengamati hal sebaliknya; teks berbahasa Belanda ayat 1 dan ayat 4 lebih panjang satu baris dibandingkan versi berbahasa Melayu. Singkatnya, nampaknya teks tulisan suci itu sendiri tidak pernah disingkat agar sesuai dengan panjang kolom yang telah ditentukan dalam bahasa mana pun.
Brouwerius tidak menjelaskan secara eksplisit dalam bukunya bagaimana terjemahannya dilakukan. Pada halaman judul (Ilustrasi nomor 1) kita membaca bahwa buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Melayu menurut sumber asli yang sebenarnya23 (“Na de oorspronckelycke waerheydt over-geset in de Nederduytsche ende Maleytsche tale”). Hal ini kontras dengan informasi mengenai terjemahan Perjanjian Baru yang dilakukannya kemudian (Brouwerius 1668), yang halaman judulnya menyatakan secara eksplisit bahwa teks tersebut diterjemahkan dari bahasa Yunani, Latin, dan Belanda ke dalam bahasa Melayu [derri bassa Greeco, Latino daen Hollanda bersalin betul, adil, daen benar dalam bassa Maleyo]. Saya belum mengungkap apa pun tentang pendidikan Brouwerius dalam sumber yang tersedia bagi saya. Jika, kemungkinan besar, dia pernah belajar teologi sebelum menjadi pendeta di Hellevoetsluis pada tahun 1649, dia bisa saja belajar di Leiden atau Utrecht24. Dalam kedua kasus tersebut, dia akan mempelajari bahasa Latin dan Yunani sebagai bagian pendidikannya; memang, Brouwerius dikatakan “cepat dalam bahasa Latinnya” (Troostenburg de Bruin, 1893: 61). Terlebih lagi, dalam Kitab Kejadian terbitan 1697, beberapa catatan akhir secara eksplisit merujuk pada bahasa Ibrani; lihat Ilustrasi nomor 4. Tiga kata bahasa Melayu dihilangkan dengan mengacu pada kata-kata Ibrani (“Hebr”), meskipun hanya satu dari kata-kata Ibrani tersebut yang benar-benar dikutip25. Lebih sering, catatan akhir memperluas arti kata bahasa Melayu yang disorot dengan angka superskrip26 dalam teks kitab suci dengan menawarkan sinonim atau definisi.
Selain catatan akhir setiap bab, pada halaman terakhir dari Kitab Kejadian terbitan 1697 (Ilustrasi nomor 5), ada tambahan singkat berjudul NOTA. Catatan yang sangat ringkasi ini menjelaskan 3 aspek terjemahan yang berbeda. Pertama, 6 kontraksi atau singkatan yang umum digunakan dalam teks disediakan dengan bentuk yang lengkap dan tidak terdefinisi banyak varian ejaan (hanya 7 item leksikal) yang dikemukakan, termasuk 3 ejaan berbeda dalam bahasa Indonesia modern [yaitu] belum. Akhirnya, 3 kata yang sering muncul didefinisikan : annac soulong, bongsou, dan jouw/djouw; lihat bagian 2.1. di bawah.
Sebagaimana diklaim di atas, rupanya Brouwerius telah menyelesaikan Kitab Kejadiannya sebelum meninggalkan Ambon untuk terakhir kalinya, ia telah tinggal di Hindia Timur, terutama di Ambon dan Banda, selama 6 tahun (1652-1658). Ini adalah waktu yang cukup bagi seseorang yang setiap hari bekerja sama dengan penutur bahasa Melayu dalam konteks kosial dan lingkungan mereka sendiri untuk menguasai bahasa Melayu sehingga sebuah teks yang berat seperti Kitab Kejadian dapat dibacakan. Hanya monografi lengkap yang dapat menjelaskan kompleksitas terjemahan Brouwerius terhadap teks Kitab Kejadia. Sejauh ini kita hanya mencapai pencapaian ini dengan membahas penerjemah dan formatnya. Pada bagian kedua kajian ini, bagian-bagian kosakata Kitab Kejadian disurvei untuk memberikan gambaran umum tentang teks ini dan kontribusi apa yang dapat diberikan dengan mempelajarinya terhadap studi sejarah bahasa Melayu yang sedang berlangsung
Orang orang bernamma dia pounja namma Babel (Kejadian 11 : 9) : Kata serapan dan kata ganti
Kesan pertama saat membaca Kitab Kejadian karya Brouwerius adalah rasa bertentangan akan eksotismenya dan, pada saat yang sama, akan aksesibilitasnya; kitab itu aneh sekaligus dapat dipahami. Meskipun kata-kata bahasa Melayu kuno, banyak serapan dari bahasa Portugis, dan bahkan satu atau 2 kata bahasa Jawa muncul di halaman-halamannya, bagian akhir Kitab Kejadian tidak sulit dipahami, terutama bagi pembaca yang memiliki latar belakang bahasa Melayu Ambon kontemporer. Akan tetapi, rasa aksesibilitas yang eksotis ini agak menyesatkan. Pertama-tama, keanehan teks tersebut bergantung pada beberapa kata, namun sebagaian berasal dari bahasa donor yang umum digunakan, yaitu bahasa Melayu; mungkin 85% kosakatanya sama dengan kosakata bahasa Melayu modern. Kedua, meskipun kosakatanya sama, kejelasan teks tersebut sebagian berasal dari keakraban pribadi seseorang dengan kisah-kisah dalam Kitab Kejadian; struktur yang digunakan dalam terjemahan itu sendiri sering kali tidak dapat dipahami. Pada tahap awal studi etimologi bahasa Melayu dan rekonstruksi bahasa Melayu kuno (Collins 2001), sulit untuk menyediakan studi komprehensif tentang leksikon Kitab Kejadian karya Brouwerius. Selama para leksikografer bahasa Melayu gagal untuk mengeksplorasi sejarah kata-kata bahasa Melayu yang dapat dilacak dan didokumentasikan, hanya pernyataan awal yang disajikan di sini yang dapat dibuat. Jadi, dalam kajian ini hanya 2 topik yang akan diselidiki : menelusuri kata-kata serapan dan menampilkan susunan kata ganti.
===== bersambung ====
Catatan Kaki
1. Tampaknya Kaibobo baru memeluk agama Kristen pada tahun 1645 (Niemeijer 2001 : 269).
2. dalam esai ini, semua terjemahan Alkitab dalam bahasa Inggris, baik yang aslinya berbahasa Melayu maupun Belanda, adalah terjemahan versi King James (Bible Society 1992), kecuali dinyatakan lain. Teks berbahasa Melayu lainnya dan, saya khawatir, teks berbahasa Belanda lainnya juga, adalah terjemahan saya.
3. Tinjauan tentang peristiwa-peristiwa ini, termasuk pendapat kolonial kontemporer tentang Pays ("Moorsch in zyn hert", "valsch Christen"), dapat ditemukan dalam Valentyn (1726a : 56-57). Tinjauan singkat Coolsma tentang Kekristenan di Seram (1901 : 21-22) melaporkan kemurtadan sebelumnya di Kaibobo. Lihat juga kutipan Troostenburg de Bruijns (1884 : 381-382) tentang Kekristenan di Ambon, khususnya laporan tahun 1664.
4. Ini adalah perkiraan kasar berdasarkan daftar Valentyn (1726a : 140-141) tentang pendeta yang ditugaskan ke Ambon, Saparua, dan Haruku. Daftar ini mencakup mereka yang tampaknya meninggal dalam perjalanan ke Ambon. Dari 112 pendeta yang disebutkan yang ditugaskan ke tiga tempat ini sebelum tahun 1700, total tiga puluh enam meninggal di Maluku atau dalam perjalanan ke sana — sebanyak 32%, yang harus ditambahkan dengan D. Brouwerius, yang karyanya kita pelajari di sini, yang setelah bertugas di Ambon, meninggal pada tahun 1673 di Ternate; lihat Troostenburg de Bruijn (1884 : 412) dan Bagian 1 dari kajian ini.
5. Kita harus ingat bahwa para pendeta di Hindia Timur, termasuk Ambon, adalah bagian dari aparat administratif VOC. Kebijakan praktis proselitisme sedang ditinjau dan sering ditetapkan oleh pejabat VOC. Niemeijer (2001 : 275), misalnya, mengomentari "kebijakan keagamaan" VOC; lihat juga Collins (2003).
6. Dengan perampasan, saya maksudkan "kepemilikan dan manipulasi bahasa Melayu" (Collins 1998 : 42) untuk mencapai tujuan VOC.
7. Untuk tinjauan yang lebih komprehensif, tetapi masih belum lengkap, lihat Landwehr (1991).
8. Banyak teman telah menunjukkan bahwa bahasa Melayu dalam terjemahan-terjemahan ini, khususnya bahasa Melayu dalam terjemahan Kitab Kejadian tahun 1697 yang dibahas di sini, mungkin tidak mencerminkan jenis bahasa Melayu yang sebenarnya digunakan oleh orang-orang Ambon. Ini adalah poin yang diterima dengan baik dan akan dibahas dalam Kesimpulan esai ini.
9. Pentingnya kebijakan dan teknologi era kolonial Belanda awal terhadap sejarah bahasa Melayu di seluruh nusantara digambarkan dalam Collins (1994, 1998).
10. Saya menarik kesimpulan ini berdasarkan nama-nama orang Ambon dari enam orang yang mengajar bahasa Melayu di sekolah Batavia, yaitu: Pelopessie, Polonaya, Tahalele, Maitimoe, Patty dan Ferdinandusz; lihat Rapport der Bataviasche-Scholen dalam Diehl (1990: 99-101).
11. Seperti yang ditegaskan Uri Tadmor (p.c, 16/1/2003): "Para penulis Belanda mencoba meniru bahasa yang mereka dengar tetapi tentu saja ada unsur-unsur yang tidak mereka ketahui, atau yang mereka ciptakan, atau kesalahan yang umum terjadi pada semua pembelajar bahasa...". Apakah kesalahan dan kesalahpahaman para penulis Belanda tersebut melebihi kesalahan dan revisi yang dilakukan oleh para juru tulis Melayu yang menyalin teks-teks bahasa Melayu "klasik" dari era sebelumnya masih belum jelas.
12. Ini tidak memperhitungkan proyek-proyek mengesankan H. Niemeijer yang membahas materi-materi ini secara rinci tetapi berfokus terutama pada sejarah, bukan bahasa. Meskipun beberapa sejarawan gereja telah membahas secara sepintas jenis bahasa Melayu yang digunakan dalam terbitan-terbitan abad ketujuh belas, pembahasan-pembahasan ini bersifat dangkal, remeh, dan tidak tepat (misalnya, Swellengrebel (1974: 12-13), yang secara khusus membahas terjemahan Kejadian karya Brouwerius), atau singkat dan terpisah-pisah (Mooij 1923: 259-264). Sepengetahuan saya, satu-satunya deskripsi ilmiah yang dipublikasikan tentang bahasa Melayu yang digunakan dalam terbitan-terbitan Melayu awal ini dapat ditemukan dalam 24 baris karya Steinhauer (1991) yang ditujukan untuk khotbah-khotbah Caron dan Collins (1992a) juga tentang karya Caron dan beberapa paragraf dalam karya Collins (1992b) yang membahas secara singkat tentang Kejadian 1697. Akan tetapi, karya Waruno Mahdi (yang sedang dalam proses penerbitan) yang baru dan sangat terperinci, menggantikan karya singkat ini. studi; kami sangat menantikan penerbitan esai Mahdi yang luar biasa. Esai terbaru yang ditulis oleh de Vries (2004) juga membahas beberapa aspek karya Brouwerius.
13. Dalam Lampiran 1, sejarah penelitian saya sendiri tentang Kejadian (1697) yang agak tidak disengaja diuraikan secara singkat.
14. Lihat Knaap (1991 : 114) untuk penjelasan tentang "tradisi konflik antara menteri dan Dewan Politik" sepanjang abad ketujuh belas di Hindia Timur.
15. Dalam kasus tersebut, Brouwerius berada di Banda ketika keempat belas penduduk desa Waai dibuang ke sana.
16. Dalam daftar pendeta yang bertugas di Ambon dari tahun 1615-1722 karya Valentyn (1726a : 140), nama Daniel Brouwerius muncul dua kali, yaitu tahun 1652-1654 dan 1657-1658.
17. Pengaturan administratif tampaknya serupa dengan yang dijelaskan oleh Balmer (1989) di New York pada abad ke-17. Pendeta hanya dapat ditahbiskan di Belanda, tetapi hanya disetujui untuk diangkat oleh dewan gereja setempat. Jadi, meskipun pada tugas kedua di Hindia Timur, Brouwerius telah dikirim oleh dewan gereja di Rotterdam dengan surat kepercayaan lengkap, dewan gereja di Batavia yang harus menyetujui pengangkatannya, oleh karena itu, ia disebut "magang".
18. Dalam pesan e-mail (13/10/02), Lourens de Vries menunjukkan bahwa sebagian besar sejarawan gereja percaya bahwa dalam tradisi Calvinisme abad ke-17, "pemberitaan agama dan misi TIDAK dipandang sebagai tugas Gereja, mengikuti penafsiran Calvin atas Matius 28:19-20..." Namun ini bertentangan dengan apa yang kita ketahui tentang kehidupan Brouwerius dan karyanya. Banyaknya pertobatan lain yang tercatat di Ambon (lihat Knaap (1991), misalnya) atau seluruh desa (Kaibobo, misalnya) juga menunjukkan perspektif lain dari Calvinisme abad ke-17, setidaknya seperti yang dipraktikkan di Indonesia timur. Namun, saya mungkin bersalah karena menafsirkan peristiwa-peristiwa ini dan memproyeksikan praktik-praktik selanjutnya ke masa lalu VOC.
19. Sebagian besar terjemahan kitab-kitab dalam Alkitab berbahasa Melayu abad ke-17 yang telah saya teliti adalah edisi dwibahasa dalam bahasa Belanda dan Melayu. Biasanya kolom kiri (Belanda) menggunakan huruf Gotik dan kolom kanan (Melayu) menggunakan huruf Romawi. Meskipun beberapa terjemahan tidak dilengkapi dengan catatan akhir bab, sebagian besar dicetak dengan abstrak pengantar dalam bahasa Belanda dan Melayu. Lihat misalnya terjemahan Injil Matius dan Markus (van Hasel 1638), keempat Injil dan Kisah Para Rasul (Heurnius (ed.) 1651) dan Kitab Mazmur (Heurnius 1689). Akan tetapi, terjemahan Perjanjian Baru lengkap karya Brouwerius (1668), menurut saya, merupakan terjemahan satu bahasa pertama Alkitab yang diterbitkan dalam bahasa Melayu.
20. Abstrak pengantar yang menjadi judul kolom bahasa Melayu dicetak miring, sedangkan abstrak dalam bahasa Belanda menggunakan huruf Romawi yang lebih kecil.
21. Perpustakaan Universitas Leiden memiliki salinan edisi 1662 (meskipun Landwehr (1991) tidak melaporkan fakta ini); KITLV memiliki salinan edisi 1697. Seperti yang tercantum dalam Lampiran 1, Institut Dunia dan Peradaban Melayu (ATMA), Universitas Kebangsaan Malaysia, juga memiliki salinan edisi 1697 dan esai yang disajikan di sini didasarkan pada sumber Malaysia tersebut.
22. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada staf Pusat Teknologi Pendidikan, Universitas Kebangsaan Malaysia, yang pada tanggal 7 Januari 2003 mengambil foto-foto yang menjadi dasar semua ilustrasi di sini.
23. Pada tahun 2002 saya secara tentatif menerjemahkan waerheydt sebagai 'sumber yang benar', meskipun dalam bahasa Belanda modern biasanya mengandung arti 'kebenaran, kejujuran'. Lourens de Vries (e-mail 8/10/03) mengonfirmasikan makna waerheydt pada abad ke-17 ini, dengan merujuk pada kejadian-kejadian dalam Statenbijbel seperti Hebreeuwsche waerheyt 'sumber-sumber Ibrani'.
24. Pekerjaan Brouwerius sebagai seorang pendeta yang mencari orang-orang kafir, Muslim, dan Tionghoa dan tampaknya berkhotbah di jalan-jalan dan sering mengunjungi rumah-rumah semua penduduk di daerah-daerah yang berada di bawah pengawasannya mungkin menunjukkan latar belakang Pietis; lihat, di antara penulis lain, Schenkeveld (1991 : 48-49) dan Balmer (1989 : 108) tentang Utrecht dan Voetius.
25. Dalam teks Melayu (23 : 15), makam Sarah (dan kemudian makam Abraham) di Hebron, Palestina yang saat ini dilanda pertikaian (lihat Szulc 2001 : 128)), dibeli seharga ampat rattous soukou pera 'empat ratus syikal perak'; catatan akhir memberi tahu kita bahwa soukou pera dalam bahasa Ibrani adalah siekel.
26. Dalam Kitab Kejadian 1697, angka Arab superskrip langsung mendahului, bukan mengikuti, item yang disorot.
Catatan Kaki
a. Gubernur van Ambon pada periode ini (tahun 1650) adalah Arnold de Vlaming van Oudsthoorn (September 1647- Agustus 1650) dan Simon Cos [Penjabat] pada periode Agustus 1650- April 1651. Melihat konteks peristiwa yang terjadi di negeri Kaibobo/Kaibobu, maka kemungkinan yang menjadi Gubernur van Ambon pada peristiwa yang dimaksud adalah Arnold de Vlaming van Oudsthoorn.
b. Berdasarkan arsip-arsip gereja, Jan atau Joan Paays/Paaijs, telah disebutkan menjadi pemimpin negeri Hatiwa dengan gelar Hukum, dalam tahun 1645. Jan Paays mungkin menggantikan Gaspar de Fretis/De Fretes, Hukum van Hative, yang telah disebut sebagai Hukum van Hative dalam tahun 1637 - . Gaspar de Fretis mungkin menggantikan Manuel Castanja/Kastanya, Hukum van Hative, yang telah disebut sebagai Hukum van Hative dalam tahun 1611 – 1629. Manuel Castanja meninggal di Batavia pada tahun 1629. Jan Paays sendiri dalam tahun 1637 telah disebut sebagai Sekretaris Landraad van Ambon.
c. Francois Valentyn menyebut lingga ini sebagai Boetoh Oelisiwa.
d. Joan Backerbessij atau Bakarbessy, telah disebutkan telah menjadi Pattij van Waai dalam tahun 1627 – 1650an
e. Kunjungan Francois Valentyn ini pada 17 Oktober hingga November 1708. 23 Negeri/desa yang dimaksud adalah :
1. Soya Atas (guru : Simon Latuheru)
2. Hatalai (guru : Dirk Frans Pati)
3. Naku (guru : Mattheus Raphael)
4. Kilang (guru : Laurens de Fretis)
5. Hukurila (guru : Pieter Heherehoe)
6. Ema (guru : Joseph de Queljoe)
7. Leahari (guru : Bartholomeus Lopies)
8. Rutong (guru : Francisco Sawaytoe)
9. Soya Bawah (guru : Simon Tempesi)
10. Halong (guru : Simon Tempesi)
11. Hutumuri (guru : Daniel Rehatta)
12. Mardika (guru : Simon Tempesi)
13. Passo Baguwala (guru : Julius de Lima)
14. Suli (guru : Jan Sylvester Pieris)
15. Tial (guru : Andries Gomies)
16. Waay (guru : Pieter Saleman)
17. Larike (guru : tidak diketahui)
18. Alang (guru : Andries Pesiloehoe)
19. Lilibooy (guru : Pieter Majari)
20. Hatu (guru : Livinus Muskitta)
21. Nusaniwe (guru : Jacob Tempesi)
22. Latuhalat (guru : Jacob Tempesi
23. Hatiwe (guru : Jacob Tempesi)
f. Daniel Brouwerius lahir sekitar tahun 1625, putra dari Conradus Brouwerius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar