(bag 1)
[Maarten Vanhaverbeke]
- Pengantar
Tulisan yang kami sajikan ini adalah Tesis dari Maarten Vanharverbeke dengan judul Amboina De VOC op Ambon in 1732 : een socio-economische analyse, dari Ghent University atau Universitas Ghent, Belanda. Tesis dari Maarten Vanharverbeke ini dipertahankan untuk memperoleh gelar master dalam bidang sejarah pada tahun 2007 dan dipromotori oleh Dr. Jan Parmentier. Tesis ini sendiri terdiri dari 233 halaman (berdasarkan file bereksistensi pdf), 7 bab dan beberapa sub bab di dalam masing-masing bab, 6 peta, 14 lampiran, 25 tabel, 6 ilustrasi/gambar/lukisan, serta ratusan catatan kaki.
Secara umum dalam tesis ini, sang penulis yaitu Maarten Vanharverbeke, mengkaji tentang dimensi sosial dan ekonomi pada kegubernuran Amboina pada tahun 1732 berdasarkan pada arsip-arsip VOC dan referensi yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Tidak perlu banyak disampaikan dalam pengantar ini tentang isi tesis, pada intinya begitu banyak informasi yang bisa dapati dalam tesis ini, dan semuanya bisa dibaca dan dipahami sendiri.
Cover depan Tesis Maarten Vanharverbeke
Penerjemahan yang kami lakukan memiliki “hambatan“ moral. Sebagai tesis tentunya ini merupakan karya ilmiah dan pastilah mengandung hak paten atau kekayaan intelektual yang dimiliki oleh penulis tesis. Kami mencoba mengontak penulis untuk “buang suara” dalam hal meminta izin untuk menerjemahkan tesis miliknya ini, dan sayangnya kami belum berhasil mengontaknya. Namun pada sisi lain, tesis ini kami dapati di internet, yang berarti dalam pemahaman kami yang terbatas, bahwa tesis ini telah menjadi “milik” publik dan secara fakta bebas untuk diunduh oleh siapa pun. Kondisi ini yang membuat kami percaya bahwa tesis ini bisa digunakan untuk keperluan dan kebutuhan sejarah tanpa syarat, yang mungkin juga bisa diterjemahkan.
Bertolak dari pemahaman demikian, kami “memberanikan” diri untuk menerjemahkan tesis berharga ini, meski resikonya nanti akan menimpa kami. Alasan penerjemahan yang kami lakukan, seperti yang disampaikan sendiri oleh penulis, bahwa kajian-kajian tentang Amboina pada abad ke-18 masih kurang banyak, jika boleh dikatakan hampir tidak ada. Kami hanya ingin menyajikan tulisan atau analisa mendalam tentang situasi sosial, politik, ekonomi orang Ambon pada abad ke-18, hampir 1 abad setelah masyarakat Ambon ditaklukan oleh VOC. Tentunya penerjemahan ini tidaklah sempurna, namun minimal ini sedikit usaha yang dilakukan untuk menghadirkan tulisan-tulisan bermutu tentang sejarah Ambon.
Perlu kami jelaskan bahwa terjemahan tesis ini kami bagi menjadi 9 bagian, menambahkan sedikit ilustrasi dan catatan tambahan saja. Semoga kajian yang berharga ini bisa bermanfaat buat kita semua, dalam pemahaman tentang Ambon dan seluruh pergulatannya pada abad ke-18, yang nantinya turut menjadi proses pembentukan manusia Ambon di masa kini.
- Terjemahan
- Pernyataan masalah.
Ambon, sebuah pulau seluas sekitar 760 km2 di Maluku bagian selatan, Indonesia Timur, Asia Tenggara (lihat peta 1 dan 2). Bagi saya, Ambon membangkitkan rasa samar-samar – mungkin sebagian besar dibangun secara retrospektif berdasarkan foto – kenangan masa kecil. Namun, pulau ini tidak akan banyak bicara kepada orang lain. Mungkin sebagian orang akan ingat tentang konflik kekerasan antara orang Kristen dan Muslim di Ambon pada akhir tahun 1990-an. Yang lain mungkin tahu bahwa Belanda mendirikan monopoli cengkih di kepulauan Ambon pada abad ke-17. Hanya sedikit yang akan membuat hubungan antara konflik masa kini dan masa lalu, karena asal usulnya harus ditelusuri kembali 2 abad, dengan kedatangan orang Eropa pertama di Maluku. Siapapun yang membicarakan Ambon, membicarakan tentang cengkih : sampai hari ini, barang ini adalah produk perdagangan kepulauan Ambon. Siapa pun yang menyebut cengkeh, kata VOC : bagaimanapun, kesuksesan kompeni sebagian besar didasarkan pada monopoli rempah-rempah dan kemudian terutama pada monopoli cengkih. Dan siapapun yang membicara VOC, juga membicarakan Kristen : setelah diperkenalkan oleh Portugis, agama Kristen menyebar di kalangan orang Belanda di kepulauan Ambon. “Cengkih dan Kristen”, dengan 2 kata ini, sejarahwan Gerrit Knaap menangkap esensi dari semua upaya kolonial Belanda di kepulauan Ambon sepanjang abad ke-17 dan ke-18.
Menurut Els Jacobs, seluruh petualangan Belanda di Asia, pendirian VOC dan perluasan jaringan perdagangan Asia, pada mulanya dimulai tidak lebih dari perdagangan rempah-rempah yang sangat menguntungkan1. Leonard Andaya mengatakannya sebagai berikut :
“Penyebutan nama “pulau rempah-rempah” membangkitkan citra romantis dari hari-hari awal petualangan orang Eropa di perairan Pasifik. Trinitas rempah-rempah yang sangat diinginkan – cengkih, pala, dan fuli – yang memikat orang Eropa dan orang asing lainnya ke Moluccas atau Maluku di Indonesia bagian timur”2.
Ambon akan menjadi “koloni” Belanda pertama : pada tahun 1605 Portugis menyerahkan benteng mereka di Ambon (kemudian menjadi Kastil Victoria)a kepada Belanda tanpa perlawanan. Kepulauan Ambon dengan demikian menjadi wilayah pertama dimana VOC menjalankan hak berdaulat. Namun demikian, otoritas VOC di kepulauan Ambon belum terbentuk dan tidak ada masalah monopoli cengkih sama sekali. Diperlukan waktu hingga sekitar tahun 1656 sebelum kepulauan Ambon ditaklukan sepenuhnya secara militer dan monopoli yang dibayangkan atas produksi dan perdagangan cengkih tercapai sepenuhnya. Setelah ½ abad peperangan berdarah, kepulauan rempah-rempah Maluku tunduk pada otoritas VOC. Wilayah “Maluku” dibagi menjadi 3 gubernemen/provinsi : Amboina, Banda (di sini kompeni memiliki monopoli produksi pala dan fuli) dan Ternateb. Kepulauan Ambon akan tetap berada dibawah kekuasaan VOC selama 2 abad dan Belanda memegang monopoli cengkih sampai tahun 1865.
Kajian ini akan membahas tentang VOC di Ambon pada tahun 1732. Pertama kata tentang demarkasi geografis : ketika kita berbicara tentang “Ambon”, ini berarti mengacu pada apa yang digambarkan VOC sebagai pemerintah/gubernemen atau daerah atau “provinsi” Amboina. Kegubernuran Amboina meliputi Pulau Ambon, Kepulauan Lease [Haruku, Saparua, dan Nusalaut], Kepulauan Barat Buru, Ambelau, Manipa, dan Boano (lihat peta 3). Selain itu, pantai Seram Barat Daya juga termasuk wilayah yang secara efektif dikuasai VOC. Penduduk Seram Selatan, Timur dan Utara mengakui kekuasaan VOC, tetapi sebagian besar independen3.
Pilihan untuk tahun 1732, pertama-tama merupakan pilihan eksplisit untuk abad ke-18. Sebagian besar studi tentang VOC berfokus pada abad ke-17 yang “keemasan”. Penulis yang memperlakukan abad ke-18 adalah minoritas. Pengecualian untuk ini adalah Koopman in Azie karya Els Jacobs, yang menggambarkan perdagangan VOC di Asia pada abad ke-18. Dia berpendapat bahwa citra kompeni memiliki cap abad ke-17 yang jelas :
“asap mesiu dan deru senjata mendominasi cerita. Periode dimana Belanda secara paksa merebut tempat dalam sistem perdagangan Asia telah mendapat perhatian lebih besar dibandingkan abad ke-18 yang “panjang”, hampir satu setengah abad dimana VOC beroperasi sebagai pedagang di Asia”4.
Sedikit yang telah dipublikasikan tentang Ambon pada abad ke-18 juga. Banyak karya umum menggambarkan pembentukan otoritas Belanda di Maluku dan penaklukan berdarah monopoli cengkih pada paruh pertama abad ke-17, namun perkembangan selanjutnya masih belum diketahui. Untuk sejarah Ambon pada paruh kedua abad ke-17, ada Kruidnagelen en christenen : de VOC en de bevolking van Ambon 1656 – 1696, karya Gerrit Knaap. Dalam karya ini, Gerrit Knaap mencoba mencari tahu apa pengaruh VOC terhadap masyarakat pribumi. Akan tetapi, ia tidak menyelidiki hal ini dari sudut pandang VOC, melainkan dari sudut pandang masyarakat Ambon dan mengkaji reaksinya terhadap proses pembentukan dan pemeliharaan otoritas dan eksploitasi ekonomi oleh VOC5. Ia melakukan ini atas dasar analisis sosial politik, agama, demografi dan ekonomi kehidupan sosial di Kepulauan Ambon. Karya ini bernuansa gambaran umum tentang sejarah Maluku pada masa pemerintahan VOC. Ini sebenarnya adalah salah satu citra kompeni yang agresif, yang untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah, menggunakan kekuatan politik-militernya melawan penduduk pribumi, sehingga menyebabkan kehancuran dan depopulasi6. Namun, citra umum ini hanya berlaku untuk paruh pertama abad ke-17, setelah tahun 1656 situasi “ketertiban dan ketenangan” yang dipaksakan, atau apa yang disebut Knaap sebagai “Pax Neerlandica”7. Kruidnagelen en christenen-nya Knaap tidak diragukan lagi merupakan karya standar tentang sejarah Amboina pada abad ke-17. Namun, karyanya terbatas pada tahun 1696. Hampir tidak ada yang dipublikasikan tentang pemerintahan VOC yang berlangsung tepat 1 abad di kepulauan Ambon.
Hanya ada 4 publikasi dimana kita mempelajari sesuatu tentang Amboina pada abad ke-18. Pertama, ada kontribusi lagi oleh Gerrit Knaap dalam sebuah karya tentang sejarah Maluku dalam sumber-sumber Belanda8. Dalam hal ini dia mencurahkan satu bab tentang sejarah umum kepulauan Ambon antara tahun 1500-18009. Dia memberi kita gambaran singkat tentang periode (atau sekelompok periode) terpenting yang menandai titik balik dalam sejarah Ambon. Namun, periode yang dikutip Knaap adalah pada abad ke-16 dan ke-17. Kemudian ia menyimpulkan bahwa abad ke-18 jelas merupakan periode yang tidak terlalu bergejolak. Juga ditulis oleh Knaap adalah gambaran singkat tentang sejarah ekonomi Ambon dari tahun 1656-1863 di Van Tjengkeh tot kruidnagel10. Publikasi lain dimana kita mendapatkan gambaran yang jelas dari evolusi budidaya cengkih sepanjang abad ke-18, adalah karya yang telah di sebutkan di atas oleh Els Jacobs, Koopman in Azie. Dia juga menyebutkan dalam karyanya bahwa sedikit yang telah diterbitkan tentang Ambon pada abad ke-18; gambarannya tentang sejarah Ambon abad ke-18 terutama didasarkan pada penelitian dari sumber-sumber. Terakhir, ada karya Hermanus de Graaf, De Geschiedenis van Ambon en de Zuid-Molukken, dimana kita mendapatkan, antara lain, gambaran umum yang sangat umum tentang perkembangan Ambon pada abad ke-18. Dia juga menggambarkan abad ke-18 sebagai abad yang cukup tenang. Karyanya, yang mencakup seluruh sejarah Ambon – dari peradaban paling awal hingga 1970an – berfokus terutama pada peristiwa dan orang-orang penting dan tidak selalu berguna. Atau, seperti yang dikatakan Knaap : De Graaf terutama ingin menulis “buku bacaan” untuk khayalak yang lebih luas11.
Jadi, tampaknya sejarah VOC di Ambon pada abad ke-18 adalah halaman yang agak kosong. Dengan kajian ini, kami ingin memberikan kontribusi bagi pengetahuan VOC tentang Ambon pada abad ke-18 dan lebih khusus lagi pada tahun 1732. Pilihan studi kasus hanya 1 tahun berkaitan dengan banyaknya sumber bahan yang tersedia untuk rekonstruksi sejarah VOC di Ambon. Untuk alasan praktis dan untuk mempertahankan kedalaman yang diinginkan, oleh karena itu dipilih untuk studi hanya 1 tahun.
Lalu mengapa tahun 1732? Pilihan terakhir untuk tahun 1732 sangat ditentukan oleh fakta bahwa jumlah sumber-sumber yang lebih besar dan lebih beragam tersedia untuk tahun itu dibandingkan tahun-tahun lainnya. Namun, kami akan menjelaskan tentang sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian ini di bagian tersendiri. Kami hanya menyebutkan di sini bahwa selain jumlah sumber, daftar keberadaan hari untuk tahun itu juga merupakan itu juga merupakan faktor penentu. Kebetulan, tahun yang dipilih berada dalam periode yang menarik dari sudut pandang ekonomi. Kita tahu dari publikasi-publikasi di atas bahwa budidaya cengkih berada dalam situasi krisis pada tahun 1730. Seteleh periode produksi berlimpah yang sangat besar pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18, kompeni berhasil mengurangi produksi. Namun, tindakan tersebut terbukti terlalu drastis dan sejak tahun 1720, panen mulai menurun dengan cepat12. Lagi pula, sejak tahun 1692 ada larangan menanam pohon cengkih, sehingga pada tahun 1720-an hanya tersisa pohon-pohon tua – dan karenanya semakin berkurang produksi – yang ada di Ambon. Pada tahun 1727 produksi cengkih telah menurun sedemikian rupa sehingga VOC mencabut larangan menanam dan mengeluarkan perintah untuk menanam lagi13. Namun, karena pohon cengkih yang baru menghasilkan panen pertamanya setelah 7 tahun, tindakan ini tidak serta memperoleh hasil yang diinginkan. Oleh karena itu, panen tetap rendah pada tahun 1730-an. Bahkan akan memakan waktu hingga sekitar tahun 1760 sebelum produksi cengkih mencapai standar lagi14.
Oleh karena itu, dalam kajian ini kami ingin melakukan analisis/studi sosio-ekonomi tentang kegubernuran Amboina pada tahun 1732. Kami tidak akan fokus secara eksklusif pada VOC, tetapi juga tentang penduduk pribumi Ambon dibahas. Ini ada hubungannya dengan karya Gerrit Knaap Kruidnagelen en christenen. Seperti disebutkan, Knaap memperlakukan sejarah Amnon dari sudut pandang masyarakat pribumi Ambon daripada sudut pandang VOC (walaupun ia melakukannya, tentu saja, berdasarkan sumber-sumber VOC). Namun, karyanya menawarkan bahan perbandingan yang sangat berharga. Karena itu – jika memungkinkan – kami akan selalu mencoba membandingkan dengan situasi di akhir abad ke-17. Dalam kajian ini, referensi akan dibuat beberapa kali menyangkut Kruidnagelen en christenen-nya Knaap.
Untuk mengolah bahan sumber yang sangat beragam menjadi satu kesatuan yang terorganisir dengan baik, struktur tematik digunakan dalam kajian ini. Berdasarkan tema-tema yang dibahas dalam 6 bab terpisah, kami berharap mendapatkan gambaran tentang Ambon pada tahun 1732.
Sebelum kita melanjutkan pembahasan tentang Amboina pada tahun 1732, pada bagian pertama kita akan mengkaji sejarah Ambon dan VOC secara lebih rinci, sebelum dan juga (segera) setelah tahun 1732. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas tentang peristiwa-peristiwa dan evolusi di kepulauan Ambon. Jelas bukan maksud di sini untuk menjadi lengkap : kami akan menyoroti beberapa periode dan peristiwa lebih kuat daripada yang lain. Sebagai contoh, kita akan berkutat sedikit lebih lama pada masyarakat pribumi Ambon sebelum kedatangan orang Eropa pertama. Penulis seperti Gerrit Knaap dan Roy Ellen15 menekankan bahwa masyarakat pribumi Ambon ini sebagian besar terus ada dibawah VOC dan masih bertahan sampai sekarang. Kita akan membahas secara singkat bagian lain dari sejarah Ambon yang cukup terkenal, seperti penaklukan berdarah monopoli cengkih. Perhatian juga akan diberikan pada sejarah VOC yang lebih umum.
Ini diikuti oleh bagian tentang Amboina pada tahun 1732. Dalam bab pertama, tenaga kerja kompeni di Amboina pada tahun 1732 dibahas. Kami tidak hanya membahas angka/jumlah (analisis kuantitatif), tetapi kami juga akan membahas berbagai kategori pekerjaan secara terpisah dalam hal kualitas. Berdasarkan data (yang agak kurang) mengenai asal-usul geografis personel VOC dari sumber-sumber itu, akan dicoba pula untuk menyajikan gambaran kebangsaan pegawai-pegawai kompeni. Akhirnya, bab ini juga berhubungan dengan gaji.
Bab dua membahas hubungan antara kompeni dan aparat administrasi pribumi. Dalam sumber-sumber kita sering melihat VOC muncul dalam peran sebagai penunjuk pemimpin/kepala negeri/desa di satu sisi dan mediator dalam segala macam konflik adat/pribumi di sisi lain. Perilaku kompeni selalu didominasi oleh ketertiban dan ketenangan yang diinginkannya.
Dalam bab ketiga kita akan melihat lebih dekat kepada wilayah “tetangga” VOC atau yang disebut Gerrit Knaap sebagai wilayah pinggiran. Wilayah pinggiran yang kami maksud pertama-tama pedalaman dan pesisir utara pulau Seram. Penduduk daerah-daerah yang sering menyerang penduduk pantai selatan Seram. Jadi mereka membentuk ancaman terhadap ketertiban dan perdamaian di Amboina, yang menjelaskan keterlibatan VOC. Selain penduduk Seram, apa yang disebut “bajak laut Papua” juga merupakan ancaman bagi otoritas VOC. Setelah serangkaian serangan “orang Papua” di Seram pada akhir tahun 1732, kompeni terpaksa mengambil tindakan.
Bab empat membahas keadaan kekristenan pribumi di Amboina. Kami melakukan ini berdasarlam laporan dari apa yang disebut “kunjungan gereja dan sekolah”. Di sini kami menemukan data berharga untuk analisis Kekristenan dan sistem sekolah. Sejauh bahan sumber memungkinkan, kami mencoba menguraikan evolusinya antara tahun 1696 dan 1732.
Bab kelima memberikan gambaran demografis singkat baik pendatang (ini tidak hanya menyangkut orang Belanda) dan masyarakat pribumi. Perbudakan di Amboina juga akan dibahas. Ini adalah bab yang agak tidak biasa dalam sebuah karya tentang VOC. Ini semua berkaitan dengan fakta bahwa “deskripsi jiwa” telah dipertahankan sebelum tahun 1732. Sumber yang agak langka ini sangat berguna untuk analisis penduduk Ambon. Gerrit Knaap juga membuat analisis demografi berdasarkan sumber-sumber ini dalam bukunya Kruidnagelen en chistenen. Oleh karena itu, karyanya menawarkan bahan perbandingan yang berharga.
Bab enam menjelaskan tentang perdagangan dan pelayaran di Amboina pada tahun 1732. Dalam bab ini kita akan mengkaji kegiatan perdagangan VOC pada tahun 1732. Kami akan mencoba untuk mendapatkan gambaran tentang ekspor dan impor pada tahun 1732. Setelah diskusi umum tentang ekspor dan impor, berbagai barang ekspor dan impor akan dibahas sendiri.
Terakhir, bab ketujuh membahas tentang budidaya cengkih. Karena pentingnya budidaya ini, dibahas secara terpisah dan tidak dibahas dalam bab sebelumnya. Selain produksi dan ekspor cengkih tahun 1732, pelayaran hongi (atau pelayaran inspeksi pemerintah) tahun 1732 juga akan dibahas. Pemusnahan atau pemberantasa pohon cengkih yang tumbuh di tempat-tempah ilegal pada tahun 1732 juga dibahasa di sini. Kami juga akan mencoba menempatkan angka produksi tahun 1732 dalam konteks yang lebih luas dengan membahas budidaya cengkih pada paruh pertama abad ke-18.
Keenam bab ini diikuti oleh bagian penutup dimana kami akan merumuskan beberapa komentar penutup dan membahas secara singkat hasil penelitian.
- Diskusi tentang sumber
Koleksi arsip di het Nationaal Archief di Den Haag tentang VOC berisi bahan sumber yang hampir tidak ada habisnya untuk studi tentang pembentukan/pendidiran perdagangan VOC. Dalam kajian ini, kami telah memilih kumpulan/koleksi overgekomen brieven dan papieren uit Indie aan de Heeren XVII en de Kamer Amsterdam16. Arsip VOC di Den Haag juga berisi arsip dari kamar (cabang) Zeeland, Delft, Rotterdam, Hoorn dan Enkhuizen. Namun, arsip kamar Amsterdam adalah yang paling luas dan ini juga kamar yang paling penting. Arsip yang sama telah disimpan dari arsip kamar Zeeland, tetapi arsip ini kurang dapat diakses dan, terlebih lagi, seringkali merupakan duplikasi arsip dari kamar Amsterdam. Arsip dari kamar-kamar yang lainnya hanyalah potongan-potongan arsip yang terpelihara. Itulah sebabnya kami membatasi diri di sini – kecuali 1 item arsip dari kamar Zeeland (lihat infra) – untuk dokumen dari arsip kamar Amsterdam.
Setiap tahun cabang-cabang VOC di Asia mengirimkan ratusan missiven, rapporten, brieven, daftar segala macam, dan lain-lain kepada Pemerintah Tertinggi di Batavia untuk mendapatkan informasi dan mempertanggungjawabkan kebijakan yang mereka ambil/buat. Salinan-salinan ini dikumpulkan setiap tahun per cabang/wilayah VOC dalam apa yang disebut Batavia ingekomen brievenboek (buku surat masuk Batavia). Brievenboeken ini dikirim ke Heeren XVII dan Kamar Amsterdam dan dengan demikian menjadi kumpulan/koleksi overgekomen brieven dan papieren. Jadi kami memiliki koleksi tahunan semua jenis dokumen yang dikirim ke Batavia oleh dewan pemerintah di Amboina. Setiap kali dilakukan, register de papieren juga dibuat, atau daftar singkat isi dokumen yang tiba pada saat itu. Daftar isi ini tersedia dalam bentuk diketik di Nationaal Archief dan dapat berfungsi sebagai inventaris dari brievenboeken (buku-buku surat).
Setelah penyelidikan awal daftar isi ini, tampak bahwa jumlah bahan sumber yang jauh lebih besar tersedia untuk periode tahun 1728-1743. Sebelum dan khususnya setelah periode ini, jauh lebih sedikit dokumen yang dikirim ke Batavia. Periode tahun 1728-1743, kira-kira sesuai dengan masa jabatan Gubernur Ambon [yaitu] Johannes Bernardc, David Joan Baked dan Jacob de Jonge. Jumlah bahan sumber yang tersedia untuk tahun 1732 dan 1738 sangat mencolok17. Pada akhirnya, tahun 1732 dipilih karenan pencatatan harian disimpan pada tahun ini. Ini adalah sumber yang sangat berguna, tetapi sayangnya juga sangat langka untuk Amboina. Lagi pula, hanya 4 catatan harian (dagregister) yang ditemukan untuk periode yang disebutkan di atas. Ini terhubung satu sama lain dan dengan demikian memberikan gambaran sehari-hari dari semua peristiwa antara September 1731 dan April 1733 di kegubernuran Amboina.
Terdiri dari pakah bahan sumber untuk tahun 1732 sekarang?18. Pertama-tama, kita harus mencatat bahwa untuk mempelajari tahun 1732 kita harus menggunakan brievenboeken tahun 1733 (dan 1734)19 yang tiba di Batavia. Pertama ada missiven ke Batavia dari Gubernur dan de Raad van Politie (Dewan eksekutif yang bertanggung jawab atas kebijakan bersama Gubernur). Ini memberikan gambaran tentang semua hal/peristiwa yang dianggap penting dan oleh karena itu harus dilaporkan kepada Pemerintah Tertinggi di Batavia.
Semua hal-hal penting yang disebutkan dalam missiven itu sering dapat ditemukan secara lebih rinci dalam resolutie [resolusi], keputusan de Raad van Politie. Bahkan lebih rinci, tentu saja, afgaande en aankomende brieven dari buitencomptoiren (gubernur atau kegubernuran tetangga). Demikian korespondensi atau surat menyurat kantor-kantor cabang dengan kantor pusat pemerintah daerah yang berlokasi di Benteng Victoria di kota Ambon. Dalam banyak surat ini kita dapat mengikuti jalannya peristiwa dengan baik, surat-surat ini sebenarnya adalah catatan dari segala sesuatu yang dapat menjadi penting bagi pemerintah dan produksi cengkih.
Kekurangannya adalah surat keluar dan surat masuk terpisah satu sama lain. Dagregister (catatan harian) menarik dalam hal ini. Catatan harian Amboina sebenarnya adalah catatan tertulis harian tentang “peristiwa paling penting di Amboina”. Selain ringkasan singkat dari keputusan/resolusi (ketika pertemuan dewan), peristiwa tertentu di kota Ambon itu sendiri dan data tentang pelayaran, daftar harian juga mencatat inti dari apa yang ada dalam surat masuk dan surat keluar. Bahkan, sebagian besar daftar harian terdiri dari semacam ringkasan korespondensi dengan wilayah “tetangga”. Hal yang menarik dari hal ini adalah bahwa dalam daftar harian surat-surat tersebut telah dilucuti dari tugasnya yang sering. Selain itu, karena merupakan laporan tertulis sehari-hari, orang dapat juga langsung melihat apakah surat balasan dikirim dari kota Ambon dan dengan demikian menindaklanjuti masalah tertentu dengan lebih baik. Itulah sebabnya kami menggunakan register catatan harian di sini sejak awal dan, pada tingkat yang lebih rendah, surat masuk dan surat keluar. Lagi pula, segera menjadi jelas bahwa isinya hampir sepenuhnya sesuai dan, seperti yang disebutkan di atas, daftar harian jauh lebih muda dibaca. Surat asli dicari untuk hal-hal penting tertentu, tetapi jarang ditemukan lebih banyak daridapa di daftar harian. Kadang-kadang juga disebutkan bahwa ada surat yang datang, yang isinya bisa dibaca di surat yang bersangkutan. Surat-surat ini juga dicari, tetapi harus dikatakan bahwa surat-surat itu sering kali kurang menarik, yang mungkin juga menjadi alasan mengapa surat-surat itu tidak dimasukan dalam daftar harian. Selain surat menyurat, surat keputusan, surat keluar dan surat masuk dan daftar harian, buku-buku surat masih memuat banyak item terpisah. Ini sering kali sangat menarik, laporan, pernyataan, daftar, dan lain-lain20.
Dalam kajian tentang Amboina pada tahun 1732 ini kami juga akan menggunakan satu dokumen arsip dari kamar Zeeland. Ini adalah deskripsi jiwa dan cengkih atau daftar penduduk dan pohon cengkih di Amboina pada tahun 1732. Ini adalah sumber yang cukup langka dan fakta bahwa deskripsi jiwa dari tahun 1732 telah dilestarikan adalah salah satu alasan mengapa kami memilih tahun ini untuk studi kasus kami21. Oleh karena itu, ini merupakan sumber yang bersifat demografis, dengan data tentang komunitas penduduk pribumi dan pendatang. Informasi demografis yang disajikan di sini tentang populasi non-barat sangat langka untuk abad ke-17 dan ke-1822.
Alasan terakhir mengapa tahun 1732 adalah tahun yang menarik dalam hal bahan sumber yang tersedia adalah kenyataan bahwa tahun berikutnya Gubernur Johannes Bernard akan berhenti/dimutasikanf. Setiap Gubernur membuat nota serah terima jabatan (Memorie van Overgave) setelah kepergiannya. Laporan ikhtisar ini di satu sisi berfungsi untuk memberi tahu penggantinya tentang keadaan di pemerintahan dan di sisi lain untuk memberikan pertanggungjawaban kepada atasannya di Batavia. Berbeda dengan surat-surat yang disusun oleh Raad secara keseluruhan, nota serah serah terima jabatan ditulis hanya oleh Gubernur, yang memberi nota tersebut karakter yang agak pribadi. Juga Johannes Bernard membuat nota serah terima jabatan seperti itu pada keberangkatannya pada Mei 1733. Nota serah terima jabatan itu diterbitkan oleh Knaap sebagai sumber publikasi23.
Sumber publikasi lain yang kami gunakan adalah Generale Missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heeren XVII24. Sumber ini, yang dibuat di Batavia dan dimaksudkan untuk administrasi kompeni di Republik [Belanda], membentuk semacam inventaris hal-hal yang dibahas secara lebih rinci dalam korespondensi dengan semua kantor VOC di Asia, dan karena itu juga dengan Amboina.
Kami telah menunjukkan di atas bahwa surat-surat yang dikirim ke Batavia oleh dewan pemerintah sebenarnya memberikan gambaran tentang perkembangan terpenting di Amboina selama periode tertentu. Pada tahun 1732, 2 surat dikirim : satu pada tanggal 26 Mei [1732] dan satu lagi pada 25 September [1732]. Dalam surat pertama kita menemukan catatan peristiwa antara September 1731 dan Mei 1732. Peristiwa di bulan Oktober, November, dan Desember 1732 dapat ditemukan dalam surat per tanggal 26 Mei 1732. Ketiga surat ini dengan demikian membentukan gambaran umum dari semua – dianggap penting oleh pemerintah – peristiwa, perkembangan, keputusan dan lain-lain antara September 1731 dan Mei 1733. Karena ini adalah sumber yang sangat berharga dan berguna yang mencerminkan esensi dari segala sesuatu yang dapat dibaca secara lebih rinci di bagian lain dari buku-buku surat, kami telah memilih untuk menggunakan sumber ini, yang sepenuh telah ditranskripsi, sebagai lampiran terpisah sumber yang dibundel untuk kajian ini. Ketika dalam kajian ini kita mengacu pada surat, kami akan selalu merujuk dalam tanda kurung ke nomor halaman lampiran sumber.
Pernyataan terakhir tentang surat-surat ini menyangkut kutipan dari surat-surat Generale missiven van de Heren XVII in’t patria aan haar Edelens den Gouverneur Generaal en de Raden van India tot Batavia, yang kita temukan di sini. Dalam surat-surat per Mei 1732 dan Mei 1733, generale missiven Heeren XVII bulan September 1730 dan 1731 dijawab masing-masing. Di kolom kanan generale missiven ditampilkan, di sebelah kirinya – jika dianggap perlu – jawaban dirumuskan oleh administrasi pemerintahan. Jawaban atas generale missiven ini juga termasuk dalam lampiran sumber, dengan ini dipisahkan dari surat-surat tersebut secara keseluruhan. Sumber-sumber ini memberikan gambaran yang menarik tentang pandangan Heeren XVII tentang pemerintahan di Amboina, meskipun ini adalah penilaian yang tertunda : butuh 2 tahun sebelum generale missiven ini akhirnya dijawab di Amboina.
Terakhir, sekilas tentang nama pulau Ambon dan banyaknya negorijen [negeri] atau desa. Ejaan yang digunakan oleh Gerrit Knaap digunakan untuk nama tersebut. Ejaan lain sering ditemukan di sumbernya (yang tidak selalu diterapkan secara konsisten). Namun untuk memperjelas, kami akan menggunakan nama yang sama dengan yang digunakan Knaap, namun pada fragmen sumber yang disisipkan dalam teks dan lampiran sumber, kami menemukan ejaannya seperti yang ditemukan.
SEJARAH AMBON dan VOC
- Ambon dan Maluku pada Abad XVI.
Sekitar tahun 1500, tiga peristiwa besar terjadi di Ambon, Maluku. Pertama, masuknya budidaya cengkih yang membawa perubahan penting dalam struktur ekonomi kepulauan Ambon : mereka terlibat dalam perdagangan rempah-rempah antar pulau dengan orang Jawa. Para pedagang ini membawa perubahan dalam bidang keagamaan : Islam datang bersama mereka dan banyak pemimpin negeri/desa berpindah agama. Peristiwa penting ketiga adalah kedatangan bangsa Portugis di Maluku, pertama di Ternate dan kemudian di kepulauan Ambon. Awalnya Portugis hanya tertarik pada perdagangan, namun tidak lama kemudian mereka mencoba melakukan monopoli dan membangun pemukiman serta mencoba mempengaruhi penguasa lokal. Selain itu, mereka juga membawa agama baru dan menunjukkan semangat yang besar untuk melakukan dakwah. Pada abad ke-16, Maluku menjadi medan pertempuran antara Portugis, pedagang Jawa dan Sultan Ternate.
1.1. Munculnya budidaya cengkih
Berabad-abad sebelum orang Eropa pertama di Maluku, sudah ada perdagangan dunia rempah-rempah Maluku yang berkembang pesat. Cengkih, pala dan fuli sudah digunakan pada abad ke-2 SM, tersedia dari Asia Tenggara dan Cina di Timur Jauh hingga Aleksandria, Antiokhia, Bizantium, dan Roma di barat25. Namun, sebelum tahun 1500, wilayah Ambon, Maluku, tidak berperan dalam perdagangan rempah-rempah antar pulau ini. Pala dan fuli dibudidayakan di kepulauan Banda dan cengkih hanya ditemukan di dan sekitar Ternate di utara Maluku26.
Sampai awal abad ke-16, ekonomi tradisional kepulauan Ambon difokuskan pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Itu terutama tentang produksi pangan yang tetap ada dalam komunitas itu sendiri. Ekonomi tradisional itu terdiri dari 3 elemen. Ekonomi pengumpulan, pengumpulan produk tumbuhan dan hewan di alam dan penangkapan ikan, adalah elemen tertua. Selain ekonomi pengumpulan, masyarakat juga mempraktekkan pertanian : hortikultura. Bentuk pertanian ini dipraktekkan dalam skala kecil di sekita desa, di kebun atau hutan. Orang Ambon lebih menyukai tanaman umbi-umbian karena tanahnya tidak cocok untuk menanam tanaman biji-bijian seperti pada. Elemen ketua dalam ekonomi tradisional Ambon, Silvikultur, terkait dengan holtikultura ini. Bentuk pertanian ini sebenarnya cukup “merepotkan” untuk tanah yang sebenarnya tidak terlalu subur. Oleh karena itu, kebun yang digunakan untuk ditanami pohon. Misalnya, Silvikultur memberi tanah kesempatan untuk pulih, sedangkan nilai produktif tanah untuk manusia. Pohon sagu terutama tumbuh di kebun atau dusun yang ditanam secara permanen ini. Pohon ini sangat berguna : kayunya digunakan untuk membangun rumah dan tepung dari batangnya digunakan untuk membuat tepung yang diolah menjadi bubur sagu atau gulungan sagu. Tepung sagu membentuk (dan sampai batas tertentu masih membentuk) basis pasokan makanan di kepulauan Ambon27.
Perekonomian tradisional Ambon memenuhi persyaratan swasembada, kelangkaan hanya terjadi selama perang. Bersama dengan fakta bahwa tanah itu tidak cocok untuk bentuk-bentuk pertanian lain, inilah alasan mengapa tidak ada insentif untuk kemajuan ekonomi. Produk-produk yang dihasilkan ekonomi ini khusus untuk masyarakat lokal, tidak ada permintaan untuk wilayah lain Maluku atau kepulauan Indonesia lainnya. Ada beberapa perdagangan barter lokal yang terbatas, tetapi tidak ada perdagangan antar pulau dalam skala besar28.
Namun, pada abad ke-16, hal ini berubah dengan munculnya budidaya cengkih. Sekitar tahun 1500 tanaman cengkih pertama dari Maluku bagian utara dipindahkan ke kepulauan Hoamoal dan Hitu (lihat peta 3). Budidaya cengkih terus berkembang di kepulauan Ambon. Hitu dan Hoamoal tetap menjadi sentra budidaya cengkih sejak lama, misalnya pada awal abad ke-17 cengkih belum ditanam di pulau Saparua dan Nusalaut. Daeran produksi baru cengkih sangat disambut baik oleh para pedagang Jawa dan Melayu, karena mereka sangat terhalang oleh monopoli Portugis ketika membeli di Maluku bagian utara (bandingkan infra). Namun, tidak demikian halnya dengan cengkih yang masuk ke kepulauan Ambon karena kedatangan Portugis. Ini adalah 2 peristiwa kuasi-simultan tetapi independen. Perdagangan cengkih di Hitu dan Hoamoal oleh para pedagang Jawa akan menyebabkan intensifikasi hubungan perdagangan dan kontak budaya dengan Jawa dan dengan dunia Muslim pada umumnya, sehingga memulai proses Islamisasi29.
1.2. Kebangkitan Islam
Islam masuk ke Nusantara melalui jalur perdagangan. Pada abad ke-14 dan ke-15, Islam kemudian masuk ke Maluku bagian utara melalui meningkatnya jumlah pedagang Jawa yang datang membeli cengkih di Maluku bagian utara. Jalur perdagangan antara Cina dan Maluku bagian utara harus kehilangan arti penting karena dibuat tidak aman oleh bajak laut dan orang Jawa mengambil alih perdagangan ini semakin banyak. Kontak perdagangan yang meningkat dengan Jawa ini membawa pergeseran keseimbangan kekuatan regional : Ternate dan Tidore menjadi pusat kekuasaan di Maluku. Banyak pedagang Jawa menetap di Ternate dan Tidore dan membawa penduduk ke dalam kontak dengan budaya dan agama baru. Untuk pertimbangan diplomatik dan ekonomi, pertama penguasa Ternate dan tidak lama setelah itu penguasa Tidore memeluk Islam30.
Sama seperti di Maluku bagian utara, Islam masuk ke kepulauan Ambon melalui pedagang Muslim Jawa. Bersamaan dengan perdagangan cengkih pertama di Hoamoal dan Hitu sekitar tahun 1500, kita melihat pengaruh Islam pertama muncul. Di sini juga, pemimpin negeri dan kaluarga mereka adalah yang pertama memeluk agama baru ini. Agaknya ada juga ikatan perkawinan antara pedagang Muslim dan para pemimpin Ambon31. Islam pada awalnya hanya menjangkau segelintir kaum elit tetapi segera mendapat pengaruh dalam kehidupan sosial orang Ambon. Islam adalah agama yang menunjukkan perbedaan mendasar dengan agama tradisional orang Ambon.
Orang Ambon adalah penganut etno-agama politeistik, suatu bentuk animisme. Agama ini hanya ditujukan untuk masyarakat Ambon dan dengan demikian tidak memiliki tujuan misionaris atau klaim sebagai satu-satunya kebenaran. Selain itu, pengajaran tidak dikodifikasi, sehingga menghasilkan variasi lokal yang kuat. Agama ini adalah agama politeistik dengan 4 dewa yang dipersonifikasi oleh langit, bumi, matahari dan bulan. Selain itu, ada berbagai macam dewa kecil dan makhluk dan roh non-ilahi. Perdukunan tampaknya sudah menjadi hal yang lumrah32.
Banyak unsur dari etno-agama tradisional orang Ambon ini dimasukkan ke dalam praktik keagamaan baru. Seperti halnya di seluruh Nusantara, Islam di kepulauan Ambon berkarakter sinkretis. Kebetulan para guru Jawa itu sendiri sudah banyak memasukan unsur Hudha-Hindu ke dalam Islam. Kepercayaan orang Ambon terhadap segalam macam makhluk halus, misalnya, diintegrasikan ke dalam kepercayaan Islam terhadap setan, malaikat, dan hantu. Contoh lain adalah pengayauan, praktik tradisional orang Ambon untuk memperoleh “kekuatan hidup”. Praktik seperti itu, tentu saja, tidak dapat diterima dalam Islam, namun tengkorak masih digantung, meskipun dari domba dan kambing. Ziarah ke Mekah juga bukan pilihan bagi orang Ambon. Tapi ada semacam pengganti untuk hal ini : orang-orang mengunjungi makam seorang “orang suci” Islam di Lease. Dengan kata lain, ada ruang untuk penyimpangan dari doktrin murni. Islam juga membawa beberapa aturan hidup yang sama sekali baru. Ini terutama menyangkut kewajiban agama seperti shalat 5 waktu, sunat dan larangan makan babi. Tak perlu dikatakan bahwa ajaran-ajaran ini tidak selalu mudah diterima33.
Elemen yang sangat penting dari Islam adalah literasi. Dalam pekerjaan konversi, Islam menggunakan bentuk pendidikan yang bertujuan membaca dan menghafal Al-Quran34. Orang Ambon, bagaimanapun, tidak berbicara bahasa Arab dan pedagang Jawa menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi. Akibatnya, bahasa Melayu berkembang dari bahasa umum perdagangan menjadi bahasa agama dan budaya pada umumnya35.
Islam diadopsi cukup cepat di Maluku dan ketika orang Eropa pertama datang sudah banyak yang memeluk agama ini. Agama juga menjadi unsur dalam pertikaian antara Portugis yang Katolik dan Ternate yang Islam
1.3.
Kedatangan Portugis di Maluku
1.3.1. Portugis di Ternate
Sampai abad ke-16, perdagangan rempah-rempah antara Asia dan Eropa terutama melalui perdagangan Genoa dan Venesia di Levant. Namun, pada abada ke-15, raja-raja Spanyol dan Portugis mulai memperlengkapi ekspedisi untuk menemukan rute laut alternatif ke Hindia. Penemuan itu terjadi satu demi satu. Pada tahun 1492 Columbus mencapai Karibia, ini adalah awal dari penaklukan Spanyol di Amerika Tengah dan Selatan. Portugislah yang pertama mencapai Hindia melalui laut : pada tahun 1497 Vasco da Gama mengitari Tanjung Harapan dan menjadi orang Eropa pertama yang berlayar ke Samudera Hindia menuju India. Portugis menetap di pantai barat India di Kalikut dan Goa. Dari sini, mereka bergerak semakin jauh ke timur dan pada tahun 1511 Alfonso de Albuquerque menaklukan Malaka. Pelabuhan ini selalu menjadi pusat perdagangan dengan India dan Cina36.
Setelah 1 tahun, armada 3 kapal di kirim dari Malaka ke Maluku untuk membeli pada dan fuli dari Banda dan kemudian berlayar ke Maluku untuk membeli cengkih. Namun, karena musim hujan, kapal-kapal itu tidak bisa bergerak lebih jauh dari Banda. Dalam perjalanan pulang, kapal yang dipimpin Francisco Serrão karam di kepulauan penyu di selatan Ambon. Namun, orang-orang yang karam ini berhasil mencapai Hitu dengan bantuan nelayan yang lewat. Kedatangan mereka menimbulkan kehebohan – lagi pula, orang-orang Hitu belum pernah melihat orang kulit putih sebelumnya – dan ketika Sultan Ternate dan Sultan Tidore mendengar ini, mereka berdua mengirim kapal ke Hitu untuk mengundang Portugis dan membentuk aliansi. Kapal-kapal dari Ternate tiba di Hitu sedikit lebih awal dan membawa Serrão ke Ternateg. Kontak pertama ini tidak serta merta mengarah pada pemukiman permanen orang Portugis di Ternate. Namun pihak Ternate terus menekan Portugis untuk mendirikan pos-pos dagang permanen di Ternate. Bagaimanapun, Sultan Ternate sangat terkesan dengan keunggulan persenjataan mereka dan juga berharap dengan membawa Portugis sebagai pesaing baru dalam perdagangan cengkih, harga cengkih akan naik tajam. Dan setelah beberapa misi diplomatik ke Malaka dan pemberian hak istimewa penting dalam perdagangan cengkih kepada Portugis dimulai pada tahun 1522 hingga pembangunan benteng Portugis di Ternate37.
Dari pendirian ini, Portugis berdagang rempah-rempah selama sekitar ½ abad. Seperti disebutkan, orang-orang sangat terkesan dengan orang-orang asing ini karena teknologi senjata mereka yang unggul, kapal-kapal yang lebih besar, dan benteng-benteng yang tidak dapat ditembus/ditaklukan. Oleh karena itu, Portugis memiliki pengaruh besar pada peradaban pribumi. Namun, kerjasama dengan pihak Ternate tidak selalu berjalan mulus. Konfliknya ada dua. Pertama, ada banyak konflik dalam perdagangan rempah-rempah. Ini sering melibatkan perbedaan pendapat tentang harga atau kualitas rempah-rempah. Selain itu, Portugis semakin berusaha untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah dengan menggunakan pengaruh politik. Tapi batu sandungan terbesar dalam hubungan antara Portugis dan Ternate adalah kontradiksi antara Kristen dan Islam dan khususnya semangat konversi Portugis. Portugis merasa terdorong untuk menyebarkan iman Katolik di antara “Moor”. Misionaris-misionaris Jesuit segera mengambil tugas ini. Misionaris terkenal Franciscus Xaverius, misalnya, tinggal sebentar di Ambon dan Ternate pada tahun 1546 dan 1547. Walaupun Islam masih merupakan agama yang masih baru di Maluku bagian utara, namun telah merasuk jauh dalam kehidupan, dan Portugis segera menyadari bahwa sangat sulit untuk mengubah orang Islam menjadi Kristen (sesuatu yang juga diperjuangkan oleh Belanda di kemudian hari)38. Para misionaris menuduh Sultan Ternate menghalangi dan mengadu kepada Raja Portugis sendiri. Misalnya, pada tahun 1565 diputuskan untuk membangun benteng baru Portugis di Ambonh. Perdagangan cengkih yang berkembang pesat telah berkembang di sana (lihat supra) dan Portugis diharapkan memiliki lebih sedikit masalah dengan otoritas lokal. Di Ternate, sementara itu, konflik muncul dan setelah upaya Portugis yang gagal pada tahun 1570 untuk mematahkan kekuasaan Sultan, pengepungan benteng mereka terjadi. Pada tahun 1575, Portugis akhirnya menyerah dan terpaksa melepaskan hak istimewa perdagangan cengkih mereka dan meninggalkan Ternate. Mereka memindahkan kegiatan mereka ke lokasi mereka di Ambon, di Maluku bagian selatan39.
1.3.2. Portugis di Kepulauan Ambon.
Budidaya cengkih yang diperkenalkan ke kepulauan Ambon pada awal abad ke-16 menjadi semakin penting setelah pemukiman Portugis di Ternate. Bagaimanapun, mereka mencoba untuk mendapatkan seluruh produksi cengkih. Semakin banyak pedagang Jawa yang mengungsi ke Hitu, Hoamoal, dan Ambon karena tidak memperhitungkan keistimewaan yang diberikan Sultan Ternate kepada Portugis. Dengan berkembangnya produksi cengkeh di kepulauan Ambon, Sultan Ternate dan Portugis menjadi lebih tertarik pada daerah ini40. Setelah tahun 1558, Hoamoal bahkan menjadi semacam koloni Ternate41. Setelah kedatangan pertama Portugis di Hitu pada tahun 1512 (lihat supra) hubungan baik berkembang antara orang Portugis dan orang Hitu. Namun, ini berakhir sekitar tahun 1524 karena alasan yang mirip dengan yang ada di Ternate. Hubungan dengan orang-orang Hitu menjadi rusak karena minuman keras dan perilaku buruk mereka terhadap wanitai. Apalagi Portugis memusuhi Islam dan para pedagang Jawa. Portugis diusir dari Hitulama dan menetap di dekat negeri/desa Hatiwe yang masih “kafir” di pantai selatan Hitu. Banyak desa di wilayah ini yang memeluk agama Kristen dan jelas-jelas memihak Portugis42.
Nossa Senhora da Annunciada (Victoria), ca. 1600
Kita telah membahas munculnya budidaya cengkih, kedatangan Islam, dan orang Eropa pertama – terutama Portugis – di kepulauan Ambon secara rinci. Namun, 2 perkembangan pertama adalah salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan Ambon. Ini hanya diperkuat dengan kedatangan Portugis dan Kristen. Tanpa cengkih, dengan kata lain tidak ada Islam, tidak ada Portugis, atau Kristen, atau Belanda di kepulauan Ambon.
- Kepulauan Ambon di bawah kekuasaan VOC selama dua abad: 1605-1796.
Setelah pengambilalihan benteng Portugis di Ambon pada tahun 1605, VOC akan memerintah Ambon selama sekitar 2 abad. Kami telah menyebutkan dalam pendahuluan bahwa upaya kompeni di kepulauan Ambon dapat diringkas sebagai “cengkih dan Kristen”. Kekristenan menempati urutan kedua. Hal itu merupakan “warisan Portugis”, tetapi segera menjadi jelas bahwa Kekristenan adalah alat yang berguna dalam praktik untuk mengikat penduduk yang ditundukkan dengan penguasa Belanda yang baru43.
2.1. Pembentukan monopoli cengkih dengan senjata (1605-1656)
2.1.1. Pendirian VOC (1602)
Pada tahun 1581 provinsi utara Belanda, yang bersatu dalam Persatuan Utrecht, mendeklarasikan kemerdekaannya dari Spanyol. Maka lahirlah Republik Belanda. Belanda segera menjadi pedagang utama Eropa Utara. Hal ini terutama disebabkan oleh perdagangan Laut Baltik yang sangat menguntungkan dan penutupan pelabuhan Antwerpen pada tahun 1585, yang menyebabkan relokasi modal dan pengalaman perdagnagn dari utara ke selatan Belanda. Orang Spanyol dan Portugis (Portugis telah berada di bawah kekuasaan Spanyol pada tahun 1580) tidak lagi melakukan bisnis langsung dengan rumah dagang Eropa Utara dan harga rempah-rempah meroket. Baik Inggris maupun Belanda sekarang memiliki pengalaman dan modal perdagangan yang cukup dan memutuskan untuk mengambil sendiri perdagangan rempah-rempah. Namun, ekspedisi Inggris dan Belanda pertama ke Hindia, dibawah Lancaster (1591) dan De Houtman (1595), tidak terlalu berhasil dan hampir tidak menghasilkan apa-apa44.
Meskipun mengalami banyak kemunduran, ekspedisi de Houtman memiliki efek psikologis yang sangat penting : dia telah menunjukkan bahwa Belanda juga bisa berlayar ke Asia. Reaksi tidak lama datang dan di berbagai tempat perusahaan didirikan, yang sekarang disebut “voorcompagnien”. Dengan harapan mendapatkan keuntungan besar, investasi besar dilakukan di mana-mana dalam ekspedisi baru ke Hindia. Ada ledakan nyata dalam pelayaran di Asia : antara tahun 1595 dan 1602, ada 65 kapal Belanda berangkat ke Asia. Sebagai perbandingan, Portugis, yang hingga saat itu merupakan pemimpin Hindia Timur, hanya mengirimkan 46 kapal antara tahun 1591 dan 1601. Segera menjadi jelas bahwa Portugis tidak mampu menahan pendatang baru yaitu Belanda) untuk keluar dari perairan Asia45.
Namun, ledakan pertumbuhan perdagangan di Hindia menyebabkan meningkatnya persaingan di antara para pedagang Belanda, yang mengurangi keuntungan. Namun, inisiatif kerjasama dan akhirnya bersatu menjadi satu perusahaan tidak muncul secara spontan, tetapi dipaksakan oleh pemerintah. De Staten van Holland, yang dipimpin oleh Johan van Oldenbarnevelt, bertujuan untuk menyatukan perusahaan-perusahaan dagang itu berdasarkan motif ekonomi (menghilangkan persaingan dagang) dan militer. Bagaimanapun, satu perusahaan yang bersatu bisa menjadi senjata militer dan ekonomi yang kuat dalam perang melawan Spanyol dan Portugis. Setelah negosiasi yang sulit, Staten-Generaal mengeluarkan paten (oktroi) pada tanggal 20 Maret 1602, yang mendirikan VOC (atau Perusahaan Hindia Timur Belanda)46.
2.1.2. Pengusiran Portugis dari kepulauan Ambon dengan mudah
Pada bulan Februari 1605, Portugis menyerahkan benteng mereka di Leitimor tanpa perlawanan kepada 9 armada kapal Belanda yang dipimpin oleh Steven van der Haghen. Ini membuat kepemilikan kolonial pertama Belanda di luar negerinya menjadi fakta. Bahkan, Belanda mengambil alih posisi yang sebelumnya dimiliki oleh Portugis di kepulauan Ambon. Bagi desa-desa orang Ambon yang sebelumnya berada dibawah kekuasaan Portugis, kedatangan VOC hanya berarti pergantian kekuasaan. Orang Katolik Ambon yang dipertobatkan oleh Portugis harus pindah agama ke Protestan47.
Perusahaan (kompeni) juga melakukan aliansi dengan Hitu. Dalam perjanjian persahabatan ini, antara lain, Belanda diberikan hak eksklusif untuk membeli cengkih. Orang Hoamoal dibawah kekuasaan Ternate juga memberi Belanda monopoli ekspor cengkih melalui perjanjian. Namun, hubungan baik antara VOC dan orang Ambon yang terjalin ketika Belanda pertama tiba di kepulauan Ambon tidak akan bertahan lama. Setelah hilangnya musuh bersama, yaitu Portugis, orang Ambon juga akan berselisih dengan orang-orang Eropa baru ini. Desa-desa tersebut menolak banyak layanan berat dan tidak dibayar yang dituntut Belanda dari mereka48.
2.1.3. Pembentukan akhir monopoli cengkih : dari Perjanjian hingga penaklukan
Meskipun Belanda telah diberikan hak eksklusif atas perdagangan cengkih, namun dalam praktiknya hal ini seringkali tidak berarti apa-apa. Kesulitan dalam memenuhi monopoli cengkih yang dijanjikan kepada VOC akan menyebabkan konfrontasi militer antara VOC dan daerah-daerah Islam yang merdeka di bawah kekuasaan Ternate. Konflik politik terjadi dan karenanya semakin memiliki dimensi keagamaan. Perusahaan/kompeni akan memulai dengan pendekatan yang lebih mendasar terhadap Kristenisasi di wilayah Kristen Ambon. Hal ini terjadi melalui pengenalan sistem sekolah desa dengan kepala sekolah pribumi yang dilatih oleh pendeta-pendeta VOC dan dibayar oleh VOC49.
Dalam sejumlah konflik bersenjata yang lebih dikenal dengan Perang Ambon, wilayah-wilayah yang merdeka dan berada dibawah kekuasaan Ternate akan dimasukan ke dalam wilayah VOC. Sekitar tahun 1646 orang-orang Hitu ditaklukan. Di pantai Hitu, VOC membangun benteng-benteng dimana desa-desa di pantai Hitu diawasi dengan ketat. Setelah pemberontakan melawan VOC, wilayah Hoamoal juga berada dibawah kekuasaan VOC sekitar tahun 1656. Ini menandai berakhirnya secara definitif pengaruh Ternate di Ambon. Pembentukan otoritas Belanda disertai dengan depopulasi Hoamoal dan Kelang. Penduduk pulau-pulau ini terpaksa bermigrasi ke Manipa dan Ambon50.
VOC akan memanfaatkan pemberontakan dan penaklukan orang Hoamoal untuk mengakhiri semua perlawanan terhadap monopoli cengkih. Sejak saat itu, tidak hanya perdagangan cengkih tetapi juga produksi cengkih berada dibawah kendali VOC. Budidaya cengkih terbatas hanya di pulau Ambon, Haruku, Saparua dan Nusalaut. Di luar wilayah ini, budidaya cengkih dilarang, VOC memerintahkan agar pohon cengkih ditebang atau dimusnahkan di seluruh pulau-pulau Ambon lainnya51.
2. 2. Paruh kedua abad ke-17: budidaya cengkeh di bawah monopoli.
Ketika VOC akahirnya memiliki monopoli dalam perdagangan dan produksi cengkih pada tahun 1656, produksi ternyata telah jatuh ke tingkat yang terlalu rendah. Lagi pula, VOC telah melumpuhkan pusat-pusat produksi lama di Maluku bagian utara dan Hoamoal sepenuhnya oleh perang dan larangan produksi. Selain itu, pohon cengkih yang ditanam di Leitimor dan Lease sekitar tahun 1620 mulai mati karena usia tua. Oleh karena itu, antara tahun 1663 dan 1666, VOC mewajibkan setiap rumah tangga di Ambon, Haruku, Saparua dan Nusalaut untuk menanam 20 pohon setahun. VOC memantau secara ketat pelaksanaan perintah ini, jika tidak mematuhinya, mereka didenda52.
Tetapi bahkan sebelum lebih dari 300.000 pohon ini tumbuh sepenuhnya, tingkat produksi yang diinginkan telah tercapai : sejak tahun 1677, stok yang tersedia di Republik untuk cengkih dengan harga tetap langsung dari gudang. Peningkatan yang lebih cepat secara tak terduga ini adalah hasil dari tindakan-tindakan yang telah dilakukan VOC sebelum tahun 1663 tetapi dianggap tidak berhasil. Namun, sejak tahun 1680, VOC semakin dihadapkan pada kelebihan produksi akibat dari penanaman besar-besaran pada tahun 1663-1666. Pada pertengahan tahun 1680an, produksi tahunan rata-rata sekitar 800.000 pon diproduksi, hampir 2 kali lipat permintaan di pasar dunia pada saat itu. Apalagi, orang Ambon sekarang memiliki lebih dari cukup bahan tanaman. Karena memproduksi lebih banyak adalah satu-satunya cara bagi penduduk untuk mendapatkan lebih banyak karena harga cengkih yang tetap (56 rijksdaalder per bahar untuk 550 pon; 50 rijksdaalder untuk produsen biasa), areal pohon cengkih masih terus bertambah53.
Awalnya, VOC tidak tahu bagaimana menghadapi situasi kelebihan produksi. Pada tahun 1686, Heeren XVII mengeluarkan larangan penanaman. Namun, pemerintah di Amboina bereaksi negatif terhadap hal ini dan larangan tersebut kurang lebih tidak berarti apa-apa. Sebuah diskusi muncul di kalangan VOC di Ambon dan Batavia tentang bagaimana produksi harus dibatasi. Dikhawatirkan tindakan yang terlalu keras dapat memicu pemberontakan. Adalah Gubernur Nicolaas Schaghenj yang akan mengakhiri diskusi ini pada tahun 1692 dengan menyatakan kurang lebih atas inisiatifnya sendiri kepada orang Ambon bahwa semua pohon cengkih yang ditanam setelah tahun 1686 adalah ilegal dan oleh karena itu harus dimusnahkan atau ditebang. Pada tahun 1692, lebih dari 200.000 pohon akan dimusnahkan. Namun tindakan tersebut hanya akan berpengaruh dalam jangka panjang karena pohon cengkih yang berbuah dibiarkan begitu saja, sehingga terus berproduksi54.
Pemerintah Tertinggi awalnya akan bereaksi negatif dan bahkan marah terhadap keputusan Gubernur Schaghen. Namun terlepas dari kritik dari Batavia terhadap pemusnahan, Schaghen tetap sebagai Gubernur, jadi tidak semua administrator begitu tidak senang dengan keadaan itu. Selain itu, larangan menanam tahun 1686 secara tegas ditegaskan kembali. Orang Ambon berusaha menghindari larangan ini dengan menanam tanaman cengkih di tempat-tempat terpencil. Jika ditemukan oleh kompeni, pohon-pohon itu ditebang55.
2.3. VOC dan produksi cengkeh pada abad ke-18.
Seperti disebutkan, sedikit literatur yang tersedia tentang Ambon pada abad ke-18. Berikut ini kami akan mencoba melukiskan gambaran produksi cengkih sepanjang abad ke-18. Pembahasan lebih rinci tentang adanya budidaya cengkih pada paruh pertama abad ke-18 akan disajikan di bab 7.
2.3.1. Fluktuasi produksi cengkih
Seperti disebutkan sebelumnya, langkah Gubernur Schaghen untuk mengurangi produksi hanya berdampak dalam jangka panjang. Baru setelah tahun 1720 terjadi keseimbangan antara penawaran dan permintaan di pasar dunia. Sementara itu, produksi cengkih tahunan mendekati 1 juta pon pada dekade pertama abad ke-18. VOC mencoba dengan segala macam tindakan tambahan (selain larangan menanam) untuk memperlambat produksi. Pada musim panen, perjalanan hongi yang ekstensif (perjalanan inspeksi dengan armada kapal di sepanjang pulau-pulau di wilayah gubernemen)k diselenggarakan untuk mengurangi potensi tenaga kerja. Dan untuk mencegah pemetik cengkih pergi ke tempat lain untuk membantu pemetikan cengkih, lalu lintas penumpang antar pulau dilarang selama bulan-bulan panen. Larangan penyiangan diberlakukan dengan harapan pohon cengkih akan tumbuh terlalu banyak sehingga produksinya akan berkurang. Bahkan dianggap untuk sementara waktu melarang panen cengkih dan membayar ganti rugi sepertiga dari hasilnya kepada orang Ambon. Namun, hal itu tetap menjadi bahan pertimbangan karena adanya kekhawatiran akan penyelundupan dan pertumbuhan alami pohon cengkih yang tidak terkendali dari pohon cengkih yang tumbang dan bertunas56.
Larangan menanam yang berlaku sejak tahun 1686 pada akhirnya akan berbalik melawan VOC sendiri. Dalam perjalanan tahun 1720-an, kompeni tidak mampu lagi memenuhi permintaan cengkih di pasar dunia. Karena larangan penanaman, sebagian besar pohon cengkkih terdiri dari pohon yang cukup tua, yang semakin banyak pada tahun 1720-an mulai mati. Untuk mempertahankan jumlah pohon cengkih dan untuk menghindari bencana total dalam produksi, VOC akan mengubah larangan menanam menjadi perintah menanam pada tahun 1727. Setiap rumah tangga di daerah penghasil cengkih harus menanam 25 pohon cengkih. Para kepala desa wajib berjanji bahwa jika terjadi kelebihan produksi baru, mereka tidak akan mempermasalahkan pemusnahan yang dilakukan VOC. Namun penanaman ini tidak cukup untuk mengatasi banyaknya pohon yang terus mati. Panen tidak akan turun lebih jauh pada tahun 1730-an, tetapi cukup rendah. Oleh karena itu, pada tahun 1740-an dan 1750-an, perintah penanaman terus berlangsung sampai ada sekitar 800.000 pohon cengkih di kepulauan Ambon. Sejarah tahun 1686 dan 1692 akan terulang kembali : kelebihan produksi baru akan menyebabkan larangan penanaman baru dan pemusnahan sejak tahun 1770. Dengan demikian, pada akhir abad ke-18, hanya tersisa 300.000 pohon cengkih57.
2.3.2 Pencarian alternatif untuk budidaya cengkeh.
Karena permasalahan dalam budidaya cengkih pada awal abad ke-18, Pemerintah Tertinggi mulai mencari alternatif ekonomi untuk budidaya cengkih. Sekitar tahun 1710 dilakukan upaya untuk membangun budidaya nila di Hitu dan Buru. Awalnya, budidaya nila – tanaman yang menghasilkan pewarna biru – diselenggarakan dengan cara yang sama seperti budidaya cengkih dan didorong dengan segala cara. Tetapi kemudian Pemerintah Tertinggi memutuskan untuk bertindak sedikit lebih moderat dan budidaya itu dihapus dari layanan wajib. Budidaya harus dilanjutkan, tetapi tanpa paksaan. Produksi nila tetap dibawah standar karena hama, kondisi iklim yang tidak menguntungkan dan penipisan tanah. Lagipula, budidaya nila cukup melelahkan dan tanah di kepulauan Ambon tidak terlalu subur. Dari tahun 1753, budidaya nila hanya ditemukan di Buru dan pada tahun 1757 diputuskan untuk meninggalkan sepenuhnya. 2 tahun kemudian, atas perintah Heeren XVII, dilakukan upaya untuk memperkenalkan budidaya itu di pulau-pulau lain. Tetapi upaya baru ini juga gagal, karena kompenih membayar terlalu murah untuk nila. Ternyata perlawanan orang Ambon terhadap budidaya ini sudah terlalu kuat58.
Alternatif lain adalah budidaya kopi. Budidaya ini sudah diwajibkan pada awal abad ke-18, tetapi berbeda dengan budidaya nila, budidaya ini dimulai dengan baik. Dan pada tahun 1727, sekitar 175.000 pohon telah ditanam bersama di semua pulau di kepulauan Ambon (kecuali Seram). Penanaman ini menghasilkan sekitar 10.000 pon tahun itu. Tetapi kualitas kopi Ambon ini jauh lebih rendah daripada kopi Jawa, dan VOC menurunkan harganya dari 8 menjadi 2 stuiver per pon. Akibatnya, budidaya kopi tidak lagi cukup menguntungkan bagi orang Ambon dan terbengkalai dan akhirnya hilang sama sekali59.
Pada akhir abad ke-18, upaya juga dilakukan untuk memproduksi pala di Leitimor. Budidaya ini sebenarnya hanya terdapat di Banda dimana kompeni telah memonopoli produksi pala. Tetapi produksi di Banda berkurang drastis oleh gempa bumi besar pada tahun 1763 dan badai dashyat pada tahun 1778l. Untuk menyelaraskan kembali produksi dengan permintaan pasar dunia, diputuskan pada tahun 1785 untuk menanam 10.000 pohon pala di Leitimor. Jumlah ini tercapai sekitar tahun 180360.
Meskipun beberapa keberhasilan sederhana, upaya VOC untuk memperkenalkan budidaya lain gagal. Ada 2 kemunginan alasan untuk ini. Penyebab utamanya adalah tanah Ambon : sebenarnya tidak cocok untuk pertanian ekspor skala besarm. Tanpa pemupukan, hanya kultur pohon yang tumbuh subur di tanah ini karena tidak terlalu mempengaruhi kesuburan. Kedua, kompeni/perusahaan memiliki kebijakan yang buruk terhadap budidaya baru tersebut, misalnya dengan budidaya kopi61.
2.3.3 Runtuhnya VOC (1795)
Di sini kita tidak akan masuk ke pembahasan tentang sebab-sebab runtuhnya VOC, ini akan membawa kita terlalu jauh. Faktanya adalah bahwa perusahaan hampir bangkrut sekitar tahun 1695. Pada tanggal 24 Desember 1795, VOC dinasionalisasi. Semua hutang, aset, dan haknya dialihkan ke negara Belanda62.
2.3.4 “Penaklukan” Inggris atas Kepulauan Ambon (1796)
Setelah Perang Inggris-Belanda IV yang menghancurkan Republik (1780-1784), Stadtholder William V hanya bisa bertahan dengan dukungan Inggris dan Prusia. Ketika pasukan Perancis memasuki Belanda pada awal tahun 1795, ia melarikan diri ke Inggris dan para patriot memproklamirkan Republik Bataaf. Republik Bataaf ini adalah negara satelit Perancis dan karena itu berperang dengan Inggris. Untuk mencegah wilayah koloni Belanda di luar negeri jatuh ke tangan Perancis, William V menulis surat kepada semua kapten Belanda di Asia dengan perintah untuk menerima semua pasukan dan kapal Inggris sebagai sekutu. Wilayah koloni Belanda akan diserahkan “untuk diamankan” kepada Inggris dan begitu otoritas pemegang kekuasaan yang sah dipulihkan di Republik, wilayah-wilayah ini akan dikembalikan ke Belandan. Bekas pos-pos VOC di Tanjung Harapan, pantai Hindia Timur, di Malaka, di Padang dan Ceylon satu per satu berpindah tangan ke tangan Inggris pada tahun 1795 dan 1796. Pada tanggal 16 Februari 1796, Inggris muncul di Ambon, keesokan harinya Gubernur menyerahkan Ambon kepada Inggriso. Banda menyusul tak lama kemudianp dan Ternate akhirnya jatuh ke tangan Inggris pada tahun 180163/q.
Para Direktur Inggris yang baru menawarkan kesempatan kepada bekas pegawai VOC/perusahaan untuk bergabung dengan EIC. Demikianlah terjadi bahwa aparat pemerintahan Belanda yang lama sedikit banyak terus ada di Maluku, tetapi dibawah kepemimpinan Inggris. EIC mempertahankan pasokan wajib cengkih kepada pemerintah tetapi dihadapkan pada penyelundupan melalui pedagang swasta Inggris. Tindakan tegas diambil terhadap hal ini64.
3. “Sejarah” singkat
Setelah Perdamian Amiens antara Inggris dan Perancis, kepulauan Ambon dikembalikan ke Republik Bataaf pada tahun 1803. Dengan pengecualian Ceylon, Belanda mendapatkan kembali semua wilayah koloni seberang laut mereka. Pada tahun yang sama, bagaimanapun, perang lain pecah dengan Inggris dan pada tahun 1810 Inggris menaklukan kepulauan Ambon untuk kedua kalinyar. Belanda kembali pada tahun 1816s dan tinggal di sana sampai kemerdekaan Indonesia pada tahun 195065.
Budidaya cengkih terus memburuk pada abad ke-19. Selama periode Inggris pertama, cengkih sudah ditransfer ke Benkulen di Sumatera, yang menjadi pesaing tangguh di abad ke-19. Namun Zanzibar-lah yang akan melampaui produksi dari kepulauan Ambon : jutaan pon diproduksi di wilayah ini setiap tahunnya, sementara Ambon diperkirakan menghasilkan ratusan ribu pon. Agaknya orang Arablah yang memperkenalkan cengkih ke Zanzibar. Pada tahun 1818, mereka memindahkan budidaya ini dari Mauritius dimana orang Perancis, Poivre, telah merencanakan selundupan tanaman cengkih dari Maluku pada tahun 1770, tetapi tidak banyak berhasilt. Akibat persaingan global, harga cengih turun drastis dan tidak ada gunanya mempertahankan budidaya wajib tersebut. Oleh karena itu, pemerintah Belanda memutuskan untuk menghapusnya pada tahun 1864. Setelah lebih dari 2 abad dibawah monopoli cengkih oleh Belanda, orang Ambon sekarang bebas memproduksi cengkih atau tidak dan memasoknya sesuai keinginannya66.
Akhirnya, sangat mengejutkan bahwa dalam suatu rasa kehidupan saat ini di kepulauan Ambon masih berkisar pada “cengkih dan kristen”. Cengkih masih menjadi produk ekspor utama di Maluku berkat popularitas rokok kretek atau kretek yang luar biasa. Konflik berdarah di Ambon antara Muslim dan Kristen pada akhir tahun 1990-an membuktikan warisan yang berbeda dari periode Belanda. Kontradiksi-kontradiksi lama sebelum kedatangan VOC masih hidup dalam konflik-konflik ini. Akan tetapi dibawah VOC, kontradiksi-kontradiksi antara kelompok-kelompok penduduk yang berbeda ini mengambil dimensi keagamaan dari suatu kontradiksi antara Muslim dan Kristen67.
=====
bersambung ===
Catatan Kaki
1. Jacobs, Koopman in Azië, 19.
2. Andaya, The World of Maluku, 1.
3. Knaap, Kruidnagelen en christenen, 1.
4. Jacobs, Koopman in Azië, 18.
5. Knaap, Kruidnagelen en christenen, 335.
6. Ibidem, 2.
7. Ibidem, 344.
8. Knaap, Manuhutu & Smeets (red.), Sedjarah Maluku; Molukse geschiedenis in Nederlandse bronnen.
9. Knaap, 'Tjengkeh, kompeni, agama; Hoofdlijnen uit geschiedenis van de Ambonse eilanden 1500-1800', in:
Knaap, Manuhutu & Smeets (red.), Sedjarah Maluku; Molukse geschiedenis in Nederlandse bronnen.
10. Knaap, 'Monopolie en monocultuur; Economische geschiedenis van Ambon van 1656 tot 1863', in: Knaap,
Chauvel & Van Fraassen, Van Tjengkeh tot kruidnagel.
11. Knaap, Kruidnagelen en christenen, 2.
12. Jacobs, Koopman in Azië, 23.
13. Knaap, 'Tjengkeh, kompeni, agama', in: Knaap, Manuhutu & Smeets (red.), Sedjarah Maluku, 13.
14. Jacobs, Koopman in Azië, 23.
15. Ellen, 'Sago subsitence and the trade in spices' in: Burnham & Ellen (ed.), Social and Ecologival Systems.
16. Lihat bagian belakang untuk daftar rinci bahan sumber yang digunakan.
17. Pada tahun-tahun tersebut, total lebih dari 1.200 dan 1.050 folio surat dan kertas dikirimkan ke Batavia; Sebagai perbandingan, pada tahun 1727 dan 1744 masing-masing hanya terdapat 144 dan 335.
18. Lihat Lampiran 13 & 14 untuk daftar isinya.
19. Buku surat masuk tahun 1733 memuat dokumen-dokumen periode September 1731 sampai dengan Agustus 1732 ; buku surat tahun 1734 untuk periode September 1732 sampai Agustus 1733.
20. Lihat Lampiran 13 & 14.
21. Ook de ziel- en nagelbeschrijvingen van 1731, 1733 en 1734 zijn overigens bewaard gebleven.
22. Knaap, Kruidnagelen en christenen, 4.
23. Knaap, Memories van overgave van gouverneurs van Ambon in de zeventiende n achttiende eeuw.
24. Goor, Generale missiven van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie. Deel IX: 1729-1737.
25. Boelens, Fraassen & Straver, Natuur en samenleving van de Molukken,168.
26. Fraassen & Straver, De Ambonse eilanden onder de VOC, 52.
27. Knaap, 'De komst van de kruidnagel', in: Van Tjengkeh tot kruidnagel, 3-7.
28. Ibidem, 7-8.
29. Boelens, Fraassen & Straver, Natuur en samenleving van de Molukken,195 / Fraassen & Straver, De Ambonse eilanden onder de VOC, 52.
30. Boelens, Fraassen & Straver, Natuur en samenleving van de Molukken,173.
31. Knaap, Kruidnagelen en Christenen, 95.
32. Ibidem, 89-91.
33. Ibidem, 95-97.
34. Ibidem, 124.
35. Boelens, Fraassen & Straver, Natuur en samenleving van de Molukken,173.
36. Ibidem, 169 & 174-175.
37. Ibidem, 174-175.
38. Graaf, De geschiedenis van Ambon en de Zuid-Molukken, 25-27.
39. Boelens, Fraassen & Straver, Natuur en samenleving van de Molukken,175.
40. Knaap, 'De komst van de kruidnagel', in: Van Tjengkeh tot kruidnagel, 8.
41. Boelens, Fraassen & Straver, Natuur en samenleving van de Molukken, 182.
42. Ibidem, 182-183.
43. Knaap, Kruidnagelen en christenen, 1.
44. Boelens, Fraassen & Straver, Natuur en samenleving van de Molukken, 197-198.
45. Gaastra, De geschiedenis van de VOC, 16-17.
46. Ibidem, 19-20.
47. Boelens, Fraassen & Straver, Natuur en samenleving van de Molukken, 197 & 202-203 / Knaap, 'Tjengkeh, kompeni, agama', in: Knaap, Manuhutu & Smeets (red.), Sedjarah Maluku, 12.
48. Idem.
49. Knaap, Kruidnagelen en christenen, 35 / Knaap, 'Tjengkeh, kompeni, agama', in: Knaap, Manuhutu & Smeets (red.), Sedjarah Maluku, 12.
50. Boelens, Fraassen & Straver, Natuur en samenleving van de Molukken, 205 / Knaap, 'Tjengkeh, kompeni, agama', in: Knaap, Manuhutu & Smeets (red.), Sedjarah Maluku, 12.
51. Idem.
52. Knaap, 'Monopolie en monocultuur', in: Van Tjengkeh tot kruidnagel, 19.
53. Jacobs, Koopman in Azië, 22 / Knaap, 'Monopolie en monocultuur', in: Van Tjengkeh tot kruidnagel, 19-20.
54. Knaap, 'Monopolie en monocultuur', in: Van Tjengkeh tot kruidnagel, 20.
55. Knaap, Kruidnagelen en christenen, 323.
56. Jacobs, Koopman in Azië, 22 / Knaap, 'Monopolie en monocultuur', in: Van Tjengkeh tot kruidnagel, 20.
57. Knaap, 'Monopolie en monocultuur', in: Van Tjengkeh tot kruidnagel, 20-21 / Jacobs, Koopman in Azië, 23 / Knaap, 'Tjengkeh, kompeni, agama', in: Knaap, Manuhutu & Smeets (red.), Sedjarah Maluku, 12.
58. Knaap, 'Monopolie en monocultuur', in: Van Tjengkeh tot kruidnagel, 21 / Graaf, De geschiedenis van Ambon en de Zuid-Molukken, 191.
59. Knaap, 'Monopolie en monocultuur', in: Van Tjengkeh tot kruidnagel, 21-22.
60. Ibidem, 22.
61. Ibidem, 25.
62. Boelens, Fraassen & Straver, Natuur en samenleving van de Molukken, 225.
63. Knaap, 'Monopolie en monocultuur', in: Van Tjengkeh tot kruidnagel, 22-23 / Boelens, Fraassen & Straver, Natuur en samenleving van de Molukken, 228 / Graaf, De geschiedenis van Ambon en de Zuid-Molukken, 196-197.
64. Boelens, Fraassen & Straver, Natuur en samenleving van de Molukken, 228.
65. Knaap, 'Monopolie en monocultuur', in: Van Tjengkeh tot kruidnagel, 22-23 / Boelens, Fraassen & Straver, Natuur en samenleving van de Molukken, 228.
66. Knaap, 'Monopolie en monocultuur', in: Van Tjengkeh tot kruidnagel, 24-25.
67. Boelens, Fraassen & Straver, Natuur en samenleving van de Molukken, 296 & 336-337.
Catatan Tambahan
- Benteng Portugis yang dimaksud bernama Nossa Senhora da Annunciada, setelah direbut oleh Belanda/VOC pada Februari 1605, benteng/kastil tersebut diganti namanya menjadi Victoria.
- Gouvernment van Ambon dibentuk pada tahun 1605, Gouvernment van Molukken/Ternate dibentuk pada tahun 1608, dan Gouvernment van Banda dibentuk pada tahun 1609.
- Johannes Bernard menjadi Gubernur van Ambon pada periode 29 Mei 1727 – 26 Mei 1733
- David Joan Bake menjadi Gubernur van Ambon pada periode 26 Mei 1733 – awal Juni 1738
- Jacob de Jong menjadi Gubernur van Ambon pada periode Juni 1738 – Juni 1743
- Lihat catatan tambahan huruf c, setelah diberhentikan pada tahun 1733 Johannes Bernard menjadi anggota Raad van Indie hingga kematiannya pada tahun 1735.
- Tulisan yang mengkaji kedatangan orang Eropa pertama di Maluku, bisa dilihat misalnya Manuel Lobato, A Man in the Shadow of Magellan : Francisco Serrão the first European in the Maluku Island (1511 – 1521)
- Tentang pembangunan benteng Portugis di Ambon, misalnya lihat Hubert Jacobs, Wanner werd de stad Ambon gesticht? Bij een veirde eeuwfeest
- Menurut Adolf Heuken SJ: “Seorang tentara Portugis yang mabuk menganiaya putri cantik kepala suku Jamilu dan menampar wajah ayahnya ketika dia menegurnya”. Lihat Adolf Heuken SJ, Catholic Converts in the Moluccas, Minahasa and Sangihe-Talaud, 1512 – 1680, dimuat dalam Jan Aritonang dan Karel Steenbrink (ed), A History of Christianity in Indonesia, Brill, Leiden, 2008, hal 23 – 71, khusus halaman 33.
- Nicolaas Schaghen menjadi Gubernur van Ambon pada periode 19 Mei 1691 – 7 Juli 1696.
- Pelayaran Hongi atau Hongitochten biasa dilakukan pada periode Oktober – Desember setiap tahun. Misalnya untuk tahun 1732, pelayaran hongi dilakukan pada periode 18 Oktober – 1 November 1732 (lihat lampiran ke-11 pada tesis ini)
- Gempa bumi besar yang terjadi di kepulauan Banda terjadi pada 12 September 1763 dan 12 Februari serta 2 April 1778
- Lihat, misalnya A.J. Koens dalam Soerabaiaans Handelsblad, 28 Januari 1929
- Surat yang ditulis oleh William V ini dikenal sebagai “Warkat Kew” ditulis pada 7 Februari 1795
- Gubernur van Ambon saat penyerahan wilayah Ambon kepada Inggris pada tanggal 17 Februari 1796 adalah Alexander Cornabe, yang berkuasa pada periode 31 Desember 1794 – 17 Februari 1796
- Kegubernuran Banda diserahkan pada tanggal 8 Maret 1796. Gubernur van Banda pada saat penyerahan ini adalah Francois van Boeckholtz (1794 – 8 Maret 1796)
- Kegubernuran Molukken/Ternate diserahkan pada tanggal 21 Juni 1801. Gubernur van Ternate pada saat penyerahan ini adalah Willem Jacob Cranssen (1799 – 1801). Mengenai penyerahan Ternate kepada Inggris tahun 1801, lihat misalnya P.A. Leupe, Stukken betrekkelijk de verdediging van Ternate door Gouverneur Willem Jacob Cranssen, 1800 – 1801, en de Overgave van het Gouvernement aan de Engelsche op den 21 Junij 1801 door den Raad van politie aldaar, dimuat Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde van Nederlansch-Indie, 17de Deel [3e Volreeks, 5e Deel] (1870), halaman 215 – 338
- Wilayah Ambon diserahkan kembali ke Inggris untuk kedua kalinya pada tanggal 19 Februari 1810. Gubernur (Prefek) van Ambon pada saat penyerahan ini adalah Levinus Heukevlugt (1 Januari – 19 Februari 1810). Mengenai penaklukan dan penyerahan Ambon tahun 1810, lihat misalnya W.Ph. Coolhas, De Overgave van Amboina in 1810 en De Executie van Kolonel Filz
- Pemahaman tahun 1816 ini bukan tahun penyerahan wilayah Ambon dari tangan Inggris ke Belanda, melainkan kronologis dari penyerahan wilayah Hindia Belanda dari tangan Inggris ke Belanda, dimulai dengan tibanya 3 Komisaris Jenderal yang tiba di Batavia pada 27 April 1816. Wilayah Ambon secara resmi diserahkan ke Belanda pada 24 Maret 1817.
- Tentang upaya Perancis menyelundupkan tanaman cengkih dari Maluku tahun 1770, lihat tulisan Dorit Brixius, A hard nut to crack: nutmeg cultivation and the application of natural history between the Maluku islands and Isle de France (1750s–1780s)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar