[Tristan Mostert & Wim Manuhutu]
A. Kata Pengantar
Artikel yang kami terjemahkan ini tulis oleh Dr Tristan Mostert dan Wim Manuhutu dengan judul 1621 : Violence and depopulation on and around Banda, dan dipublikasikan di website https://pala.westfriesmuseum.nl/ dengan tautan artikelnya di https://pala.westfriesmuseum.nl/1621-2/1621-article/?lang=en.
Artikel ini kami temukan tidak disengaja, berawal dari kami menemukan yang juga tidak disengaja naskah disertasi doktoralnya Tristan Mostert dengan judul The Spice War : Ternate, Makassar, the Dutch East India Company and the struggle for the Ambon Islands (ca. 1600-1656), yang dipertahankan oleh beliau pada 28 Maret 2023 di Universitas Leiden. Kami kemudian membaca naskah ini dan menemukan informasi artikel ini di bibliografi dari naskah disertasi tersebut. Dengan penuh rasa penasaran kami mengakses tautan yang dimuat dan akhirnya menemukan artikel dimaksud. Kami membaca dan selanjutnya “mengcopy paste” tulisan itu dan berniat untuk menerjemahkannya. Kami mengontak Dr Tristan Mostert melalui email pada 9 November 2024 untuk meminta izin penerjemahan artikelnya dan diizinkan oleh beliau melalui balasan email tertanggal 11 November 2024, tentunya dengan beberapa “syarat” yang harus kami penuhi. Beliau juga mengontak Cees Bakker dari Museum Westfries sebagai pengelola website tersebut untuk menyampaikan keinginan kami, dan mereka juga tidak memiliki masalah dengan terjemahan Bahasa Indonesia.
Map of Banda. From: De tweede schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indie onder Jacob Cornelisz. van Neck en Wybrant Warwijck, 1598-1600 (coll. Rijksmuseum) |
Berbekal izin itulah kami menerjemahkan artikel ini dan tak lupa mengucapkan terima kasih atas izin, kebaikan hati dan harapan mereka agar penelitian mereka bisa menjangkau (orang) Maluku sendiri. Semoga artikel terjemahan ini sedikit banyak bisa memenuhi harapan mereka. Tulisan ini sendiri memiliki 12 ilustrasi berupa lukisan, referensi dan bacaan lebih lanjut, serta tidak memiliki catatan kaki. Pada terjemahan ini, kami hanya menambahkan sedikit “catatan tambahan” seperlunya. Akhirnya semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita untuk menambah wawasan kesejarahan kita.
B. Terjemahan
Cara VOC mengosongkan pulau utama terakhir di Kepulauan Banda pada tahun 1621 sering dikutip sebagai simbol yang kuat tentang apa yang salah dengan kolonialisme Belanda. Namun, penting untuk dicermati apa yang terjadi pada tahun 1621 dan periode tersebut secara keseluruhan. Hal ini juga menunjukkan bahwa peristiwa tahun 1621 bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, dan tahun 1621 juga bukan titik akhir. Tidak semua orang Banda terbunuh. Dari wilayah sekitar, mereka yang berhasil melarikan diri berusaha merebut kembali tanah air mereka. Pada periode berikutnya, VOC kemudian menerapkan metode yang digunakan di Banda di tempat lain dalam upayanya untuk mendapatkan monopoli atas cengkih juga.
Kapal-kapal Belanda pertama kali mengunjungi Kepulauan Banda pada tahun 1599a, bahkan sebelum VOC didirikan. Mereka bertemu dengan komunitas pedagang yang berkembang pesat di sana. Selama pertemuan pertama itu, mereka berperilaku seperti banyak pedagang lain yang mengunjungi pulau-pulau tersebut. Mereka membayar pelabuhan, mendirikan loji atau “pos dagang”, dan membeli fuli dan pala dari pulau-pulau tersebut dengan imbalan kain katun, tetapi juga, misalnya dengan senjata.
kontak pertama
Namun, hubungan tersebut segera berubah ke dimensi yang lebih politis. Pada tahun 1602, ketika armada Belanda lainnya mengunjungi pulau-pulau tersebutb, Belanda mendapati beberapa orangkaya [Orangkaija] Banda siap untuk bersekutu. Sebagai bagian dari persekutuan ini, Belanda diberi hak pertama untuk membeli pala dan fuli. Bagi Belanda, perjanjian semacam itu segera menjadi inti kebijakan mereka di seluruh Maluku. Meskipun pada awalnya ambisi militer dan politik VOC terbatas, mereka segera menyukai perjanjian yang memungkinkan mereka untuk mengecualikan pesaing Eropa mereka dari perdagangan di sana. Perjanjian serupa dibuat, misalnya, pada tahun 1605 dengan Hituc di Pulau Ambon, tempat VOC, atas undangan orang Hitu, mengusir Portugis dan menguasai benteng dan wilayah mereka – yang juga merupakan wilayah kekuasaan pertama VOC. Sebuah kesepakatan dicapai dengan orang Hitu bahwa cengkih yang mereka hasilkan selanjutnya akan dijual secara eksklusif kepada VOC, dan tak lama kemudian harga tetap ditetapkan untuk cengkih tersebut. Dua tahun kemudian, VOC membangun benteng di Pulau Ternate untuk melindungi Sultan dari Spanyol, yang mencoba menguasai wilayah tersebut dari Filipina. Di sana juga, VOC dijanjikan bahwa, sebagai imbalan atas dukungan militer, semua cengkih dari wilayah Sultan akan dijual secara eksklusif kepada VOC. Dengan demikian, VOC segera berubah menjadi organisasi politik dan militer, dengan benteng, tentara, dan sekutu lokal.
Orang Hitu dan Ternate terlibat dalam pertempuran sengit melawan Portugis dan Spanyol. Oleh karena itu, masuk akal jika mereka ingin bersekutu dengan syarat-syarat tersebut. Namun, sekilas, kurang jelas apa yang diperoleh orang Banda dari perjanjian semacam itu. “Mereka mungkin tidak tahu, apa yang sebenarnya mereka lakukan”, hanya itu yang dapat dikatakan oleh Van der Chijs tentang hal itu pada tahun 1886, dalam studi arsip pertama yang pernah ditulis mengenai penaklukan dan depopulasi penduduk kepulauan tersebut oleh Belanda. Banyak penulis kemudian sampai pada penilaian yang sama. Akan tetapi, sangat diragukan bahwa orang Banda benar-benar naif. Aliansi adalah bagian yang sangat konvensional dari politik Asia Tenggara, dan Belanda, dengan kapal-kapal mereka yang besar dan bersenjata lengkap, pada awalnya dipandang sebagai sekutu potensial yang sangat berharga di Banda dan sekitarnya. Orang Banda, meskipun tidak berperang dengan Spanyol atau Portugis, tahu semua konflik dan ancaman – tidak hanya dengan orang luar yang berada di luar wilayah mereka, tetapi juga di dalam kepulauan kecil mereka.
Meeting of the Bandanese and their allies. From: De tweede schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indie onder Jacob Cornelisz.van Neck en Wybrant Warwijck, 1598-1600 (coll. Rijksmuseum) |
Belanda telah menyaksikan hal ini dengan mata kepala mereka sendiri selama kunjungan pertama mereka ke pulau-pulau tersebut pada tahun 1599. Saat mereka berlabuh di lepas pantai Neira, pos perdagangan ini diserang oleh Labataka, yang terletak sedikit lebih jauh ke utara. Beberapa hari kemudian, penduduk Neira membalas dengan melancarkan serangan balik terhadap Labataka dengan bantuan sekutu mereka. Secara khusus, Labataka dan sekutunya membentuk aliansi dengan Belanda pada tahun 1602. Dapat diasumsikan bahwa kedua belah pihak melihat keuntungan dari perjanjian pertama ini. Pada tahun 1605, Belanda kemudian berhasil membuat hampir semua komunitas di Banda menandatangani perjanjian serupad. Satu-satunya komunitas yang akhirnya tidak berkomitmen pada perjanjian ini adalah Lontor.
ambisi yang gagal
Perjanjian tahun 1605 muncul tepat pada saat VOC semakin bersifat politis dan militer. Sebagai hasil dari penaklukan dan perjanjian tersebut, VOC memperoleh, setidaknya di atas kertas, hak eksklusif untuk membeli cengkih, pala, dan fuli di wilayah yang semakin luas di Maluku. Hal ini segera memberi kesan kepada para Direktur VOC di Belanda, dan beberapa pejabat senior VOC yang menjadi penasehat mereka, bahwa monopoli total atas rempah-rempah ini sudah di depan mata. Perburuan monopoli semacam itu menjadi inti dari kebijakan mereka. Namun, yang membuat mereka frustrasi, mereka segera menemukan bahwa di lapangan, monopoli ini ternyata sangat sulit direalisasikan. Di Banda, misalnya, beberapa komunitas terus berdagang dengan banyak pengunjung ke pulau-pulau tersebut – termasuk orang Inggris, yang juga mulai muncul di Maluku saat itu. Meskipun hampir semua komunitas Banda telah menandatangani perjanjian tahun 1605, lanskap politik tetap terfragmentasi dan sangat tidak jelas bagi Belanda. Oleh karena itu, dalam praktiknya, monopoli yang dibayangkan oleh para Direktur di Belanda tidak banyak membuahkan hasil.
Merchants. From: De tweede schipvaart der
Nederlanders naar Oost-Indie onder Jacob Cornelisz.van Neck en Wybrant
Warwijck, 1598-1600 (coll. Rijksmuseum) |
Akibatnya, VOC segera membayangkan bagaimana situasi di Kepulauan Banda dapat diubah demi keuntungannya. Misalnya, pada tahun 1607, Cornelis Matelieff menganjurkan kerjasama dengan Sultan Makassar, yang pada saat itu masih berhubungan baik dengan VOC, untuk menaklukan Kepulauan Banda. Orangkaya [Orangkaija/Orangkaij] kemudian dapat digantikan oleh bangsawan Makassar, dan seluruh penduduk pulau dapat terkonsentrasi di satu tempat. Hal ini akan membuat perdagangan pala yang sangat mudah dikendalikan dan dipantau, tanpa VOC harus melakukan pendudukan militer yang mahal. Meskipun jika dipikir-pikir kembali, rencana tersebut tampak agak tidak realistis dan tidak pernah ada upaya untuk melaksanakannya, rencana tersebut memberikan wawasan tentang mentalitas yang berkembang di dalam VOC.
eskalasi
Peristiwa memuncak pada tahun 1609, sebagai akibat dari negosiasi perdamaian Eropa antara Spanyol dan Belanda yang akhirnya mengarah pada Gencatan Senjata 12 Tahun. Pada saat itu, Portugis juga berada di bawah kekuasaan Raja Spanyol dan oleh karena itu para Direktur VOC berusaha memperkuat klaim mereka atas sebanyak mungkin wilayah sebelum perdamaian potensial terjadi. Misalnya, dengan “mengikat Kepulauan Banda ke Perusahaan [Kompeni/VOC] melalui perjanjian atau dengan kekerasan” (“mettractaet ofte met gewelt aen de Comp. te verbinden”). Dengan perintah untuk itu, Laksamana VOC Verhoeff berlabuh di Banda Neira pada bulan April 1609. Sementara Van der Hagen telah melakukan perjalanan ke pulau-pulau tersebut dengan 1 kapal 4 tahun sebelumnya, Verhoeff muncul dengan armada yang besar dan bersenjata lengkap. Mereka disambut dengan kecurigaan oleh orang Banda, yang wanita dan anak-anaknya mundur ke dataran tinggi sebagai tindakan pencegahan. Dalam pertemuan dengan orang kaya, Verhoeff membacakan dengan keras surat dari Maurice, Pangeran Oranye: Belanda sangat ingin menjalin aliansi resmi. Sebagai bagian dari aliansi itu, VOC ingin membangun benteng di pulau itu. Orang kaya, yang melihat hal ini sebagai pelanggaran yang tidak dapat diterima terhadap kemerdekaan mereka, menunda waktu sambil mempertimbangkan tanggapan mereka. Pada tanggal 25 April [1609], kesabaran Verhoeff telah habis dan memerintahkan anak buahnya ke darat untuk mulai membangun benteng, meskipun ia belum memperoleh izin.
Portrait of Pieter Willemsz Verhoeff (c. 1573-1609), anonymous, after c. 1607 (coll. Rijksmuseum) |
Penduduk Neira kemudian mengundang Verhoeff untuk datang dan merundingkan kesepakatan. Ketika ia tiba di lokasi yang disepakati, ternyata orang Banda telah menyiapkan penyergapan. Verhoeff dan rekan-rekannya dikepung dan dibunuh; dalam pertempuran berikutnya lebih dari 30 orang Belanda tewas. Pada bulan-bulan berikutnya armada VOC membalas di sepanjang pantai Neira dan Lontor; permukiman hancur menjadi puing-puing dan kapal-kapal dibakar. Baru pada bulan Agustus beberapa orang kaya Banda menyetujui perjanjian baru. Benteng Belanda, yang diberi nama Nassau, telah selesai dibangun, dan VOC kini menganggap Neira sebagai miliknya.
Namun, hal ini tidak membuat VOC lebih dekat ke monopoli yang diinginkan. Pala mudah diangkut tanpa diketahui di kepulauan kecil itu, dan selama periode ini Inggris mengambil posisi di Ay dan Run, 2 pulau kecil yang lebih jauh. Orang Banda tentu saja lebih suka menjual pala mereka kepada Inggris, dan kepada pedagang-pedagang Asia yang masih berhasil datang dan berdagang tanpa masalah, daripada ke benteng VOC. Tindakan VOC tidak hanya tidak terlalu meningkatkan popularitasnya, tetapi juga membayar harga pala yang relatif rendah dan tidak dapat memasok semua barang yang dibutuhkan di kepulauan itu. VOC, pada gilirannya, berkomitmen penuh dengan monopolinya, yang ditegaskannya kembali dalam perjanjian baru setelah setiap konflik di kepulauan itu. Dengan demikian, penaklukan Neira mengawali periode 12 tahun perang berkala di kepulauan itu.
dari ide ke kebijakan
Sebagai akibat dari eskalasi militer, ide-ide dalam VOC tentang apa yang harus dilakukan dengan pulau-pulau tersebut juga menjadi lebih suram. Pada tahun 1612, Jacques L’Hermite, kembali ke Belanda setelah beberapa tahun bertugas di Asia, mengusulkan untuk menebang pohon cengkih dan pala di daerah-daerah yang tidak dikuasai Belanda. Dan untuk melangkah lebih jauh khususnya di Kepulauan Banda, dengan : “tidak mengejar perdamaian apa pun..........sebelum dan sampai mereka benar-benar ditaklukan dan dibawa ke akal sehat atau diberantas sepenuhnya.....Ditaklukan atau diberantas sepenuhnya – yang terakhir adalah yang paling pasti, karena tidak akan pernah mungkin untuk mengendalikan kebiadaban yang jahat ini sebaik yang diinginkan – seseorang harus menemukan cara untuk mengisi kembali pulau-pulau ini dan menyediakannya dengan penduduk, karena tanpa mereka buah-buahan tidak akan dan tidak dapat dipanen, disimpan, atau pulau-pulau itu sendiri tidak dapat digunakan untuk keuntungan [VOC]”. Di sini kita sudah melihat cetak biru dari peristiwa-peristiwa yang akan terjadi pada tahun 1621. L'Hermite bukan satu-satunya yang memiliki ide-ide seperti itu dan secara bertahap para Direktur di Belanda tampaknya telah menerima dengan sepenuh hati. Pada tahun 1615 mereka menulis kepada Batavia bahwa mereka “sekarang akan merasa bijaksana......untuk menaklukan orang Banda, untuk membasmi dan mengusir para pemimpin dan lebih baik mengisi tanah itu dengan orang-orang kafir”. Rencana untuk mengurangi jumlah penduduk pulau-pulau tersebut kemudian berkembang dari ide menjadi kebijakan.
The attack on Labatacka. From: Eylffter Schiffart ander Theil, oder Kurtzer Verfolg vnd Continuirung der Reyse (…), 1613 |
Periode tersebut, pengurangan jumlah penduduk dan penambahan jumlah penduduk pulau-pulau tersebut sebenarnya telah dimulai – awalnya bukan sebagai strategi yang disengaja, melainkan sebagai efek samping dari perang yang sedang berlangsung. Setelah penaklukan Neira, sebagian besar penduduk pulau tersebut tampaknya telah pindah, sehingga memaksa VOC untuk mempertimbangkan skema penambahan jumlah penduduk. Ketika VOC menaklukan Pulau Ay pada tahun 1616, penduduknya melarikan diri sebelum pasukan VOC tiba. Sumber-sumber dengan gamblang menggambarkan eksodus panik yang terjadi. Pada malam hari, sekelompok besar orang mencoba melarikan diri ke pulau-pulau lain dengan perahu yang penuh sesak, dan banyak yang tenggelam. Ketika pasukan VOC akhirnya mendekati kubu pertahanan terakhir penduduk pribumi, penduduk yang bercokol di sana melarikan diri menuruni tebing tinggi ke tempat perahu mereka menunggu. Dalam kekacauan dan kepanikan, banyak yang tewas; sisanya berhasil melarikan diri melalui laut. Yang tersisa adalah pulau yang hampir kosong, yang dihuni kembali oleh VOC dengan campuran orang Mardijk, Gujarat, Solorose, tawanan perang Spanyol dan, yang paling menonjol, 450 orang dari pulau Siau, hampir 1000 km ke arah barat laut, termasuk raja mereka. Raja tersebut telah dipancing naik ke kapal VOC dengan tipu daya, penipuan dan paksaan, dan kemudian diangkut ke Banda untuk tujuan khusus menggantikan penduduk yang telah melarikan diri. Namun, strategi itu tidak selalu berhasil : orang Siau sangat tidak senang dengan pemindahan paksa dan perlakuan buruk berikutnya -ada kekurangan air minum yang parah di Ay, di antara hal-hal lainnya- dan sebagian besar dari mereka berhasil melarikan diri dari pulau itu dengan sangat cepat.
Banda Neira (Coll. Rijksmuseum) |
Coen dan tahun 1621
Setelah 12 tahun bertempur dan berunding di pulau-pulau tersebut, VOC masih belum juga memperoleh monopoli yang diakuinya dalam pembelian pala. 2 dari 5 pulau utama berada di bawah kendali langsungnya. Inggris telah membangun kekuasaan di Pulau Run. VOC tidak memiliki kekuasaan di pulau terbesar, Lontor, maupun di pulau Rosengain yang lebih kecil dan terpencil. Bahkan, banyak penduduk pulau-pulau terakhir telah mengadakan perjanjian dengan Inggris. Dalam lanskap politik yang terpecah-pecah dan tegang, peluang untuk membeli pala sangat kecil, apalagi membangun monopoli. Saat itulah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memutuskan untuk mengakhiri perlawanan orang Banda untuk selamanya. Pada akhir Februari 1621, ia tiba dengan armada yang terdiri dari 15 kapal yang membawa 1.655 orang. Setelah upaya terakhir yang gagal dalam negosiasi atas inisiatif kapitan Hitu, seorang pemimpin Hitu yang bersekutu dengan VOC, ia melancarkan serangan ke Lontor, pulau terbesar. Orang Banda melakukan perlawanan sengit : kota-kota mereka dibentengi dengan baik, dan mereka memiliki artileri milik Inggris yang siap sedia. Serangan Belanda pertama gagal sebagai hasilnya. Namun, akhirnya, VOC berhasil merebut kota Lontor dengan diam-diam mendaratkan pasukan di tempat lain di pulau itu. Mereka tiba-tiba menyerang kota dari sisi daratan yang kurang dipertahankan. Penduduk melarikan diri dan sebagian besar masyarakat lain di pulau itu menyerah kepada Belanda.
depopulasi
Namun, ini ternyata hanya awal dari masalah. Tak lama kemudian, Coen menemukan bahwa banyak penduduk telah melarikan diri ke pedalaman, membangun benteng baru di perbukitan, dan tidak mau untuk tunduk kepada Belanda. Karena itu, ia memutuskan untuk mengosongkan seluruh pulau. Ia melakukannya dalam 2 tahap. Pertama, pada tanggal 20 April, ia mencoba memobilisasi mereka yang telah menyerah kepada Belanda, terutama penduduk Selama. Mereka harus mencoba membuat orang-orang Lontor turun dari benteng mereka di perbukitan, untuk dideportasi ke tempat lain dengan kapal. Tidak ada yang berhasil dari rencana tersebut. Orang-orang Lontar menolak, orang-orang Selama tidak terlalu antusias, sebagian karena, selain orang-orang Lontor, banyak sekutu mereka dari pulau-pulau lain telah mundur ke pedalaman Lontor. Pada tanggal 24 April, Coen dan dewannya memutuskan untuk, dalam kasus itu, mengosongkan seluruh penduduk pulau, dan tentara VOC mengepung Selama. Penduduknya diitawan dan kotanya dijarah dan sebagian dibakar. Hampir 3 dasawarsa kemudian, rasa pengkhianatan dan tipu daya yang dialami penduduk Selama sebagai akibat dari tindakan tak terduga ini masih tergambar jelas dalam teks Hikayat Tanah Hitu. Sekitar 1.200 orang dibawa pergi dari Kepulauan Banda pada akhir April itu.
Portrait of Jan Pietersz Coen by Jacob Waben (coll. Westfries Museum) |
“Hadde liever gehadt dat weygerich bleven…” (“Lebih baik mereka meneruskan perlawanan mereka…”)
Apakah Coen sejak awal berniat untuk mengurangi jumlah penduduk pulau itu? Sebagian besar penulis yakin bahwa ia tidak berniat demikian – dalam tulisan-tulisan awal seperti Discoers-nya, Coen mengambil sikap yang jauh lebih tidak ekstrim daripada, misalnya, L’Hermite, dan hanya menganjurkan “penaklukan” pulau-pulau itu. Bahkan Van der Chijs yang sangat kritis menyimpulkan bahwa, ketika keadaan menemui jalan buntuk di pulau-pulau tersebut setelah penaklukan, Coen kehilangan “bedaardheid, en daarbij alle bezadigdheid” [ketenangan, dan dengan demikian semua ketenangan pikiran], dan “in his ongeduld [dalam ketidaksabarannya] beralih ke tindakan yang semakin ekstrim.
Bandanese warriors. From: De tweede schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indie onder Jacob Cornelisz.van Neck en Wybrant Warwijck, 1598-1600 (coll. Rijksmuseum) |
Namun, tidak semua sumber mengarah ke arah itu. Sementara sekitar tahun 1615 para Direktur adalah orang-orang yang secara terbuka menyebarkan depopulasi Kepulauan Banda dan Coen hanya ingin menaklukannya, pada malam tahun 1621 situasinya tampaknya berbeda. Surat-surat yang ditulis para Direktur pada tahun 1620 dan 1621 tidak lagi menyebutkan depopulasi dan terutama membahas penyelesaian situasi dengan Inggris, yang dengannya aliansi telah terbentuk. Akan tetapi Coen sendiri menulis kepada para Direktur pada bulan Oktober 1620 bahwa lebih baik jika Banda “vermeestert ende met ander volck gepeupleert werde” [“ditaklukan dan dihuni kembali dengan orang lain”]. Ia menambahkan bahwa hal yang sama nantinya harus dilakukan di Ambon dan mengeluh bahwa para Direktur tidak antusias dengan usulannya untuk “menjajah” tidak hanya Batavia tetapi juga Ambon. Dalam suratnya kepada Herman van Speult, Gubernur Ambon, pada bulan Maret dan awal April 1621, ia menulis beberapa kali bahwa akan lebih jika “alle de Bandanesen t’eenenmael van’t landt verdreven” [“semua orang banda diusir dari tanahnya untuk selamanya”]. Ketika, pada minggu-minggu pertama bulan April, tampaknya semua penduduk Lontor siap untuk menyerah, ia mengungkapkan perasaan campur aduk tentang hal ini : Ia berkata : “Hadde liever gehadt dat weygerich bleven, om de Lontorezen met recht uyt het landt te mogen dryven ende verseeckerder staet te becomen” [Saya lebih suka mereka melanjutkan perlawanan mereka, jadi saya akan dibenarkan untuk mengusir orang Lontor keluar dari negara ini dan mendapatkan posisi yang lebih aman”]. Secara keseluruhan, gambaran muncul dari surat-surat ini bahwa Coen lebih dari bersedia untuk mengosongkan pulau-pulau tersebut, tetapi takut bahwa melakukan hal itu tanpa alasan yang jelas tidak akan diterima dengan baik oleh para Direktur. Akhir bulan itu, ketika orang Banda benar-benar ternyata melanjutkan perlawanan mereka, pasti relatif mudah baginya untuk memutuskan untuk meneruskannya.
Mijn heeren, en isser dan geen genaede?’ (‘Tuan-tuanku, apakah tidak ada belas kasihan?’)
Bahkan sebelum keberangkatan Coen, orang kaya Lontor yang telah ditangkap saat itu, berjumlah 47 orang, dituduh melakukan pengkhianatan karena mereka tidak menghentikan perlawanan dan dikabarkan telah merencanakan serangan terhadap Coen. Martinus Sonck, Gubernur baru Bandae, memimpin penyelidikan dan persidangan. Ke-44 orang yang selamat dari interogasi semuanya dinyatakan bersalah dan dieksekusi oleh tentara bayaran Jepang yang digunakan oleh VOC selama operasi militer, pada tanggal 8 Mei 1621, di luar tembok benteng Nassau di Neira. Sebuah catatan saksi mata anonim tentang eksekusi tersebut mencatat bagaimana salah satu orang kaya bertanya dalam bahasa Belanda : “Mijn heeren, en isser dan geen genaede?” [“Tuan-tuanku, apakah tidak ada belas kasihan?”] sebelum algojo Jepang memenggal kepalanya.
Pulu Ai, with on the north side of the island a VOC-fort with the disturbing name of ‘Revengie’ (coll. National Library of Austria) |
Mereka yang bertahan di pedalaman tampaknya menderita jumlah korban terbanyak. Dua benteng utama mereka berlokasi strategis di perbukitan dan hampir tidak dapat ditembus. Ketika musim hujan dimulai pada bulan Mei, Gubernur Sonck melihat tidak ada gunanya mencoba merebut benteng-benteng ini dengan kekuatan senjata. Ia beralih ke strategi kelaparan. Ketika penduduk yang tersisa telah dideportasi dan daerah dataran rendah sepenuhnya berada di bawah kendali VOC, ia mampu memutus pulau itu dari dunia luar sepenuhnya. Baru pada bulan Juli cuaca membaik, dan pada saat itu, orang Banda yang melarikan diri mengorganisasi operasi militer pertama mereka ke Banda dari Seram. Hal ini mendorong Sonck untuk mengambil tindakan cepat terhadap benteng-benteng bukit. Ketika pasukan VOC mencapai benteng pertama di perbukitan dekat Selama, benteng itu dipertahankan dengan sengit oleh orang Banda yang kelaparan; meskipun demikian, pasukan akhirnya berhasil merebut benteng itu. Perlawanan itu tidak berarti apa-apa ketika benteng di Waijer direbut 2 hari kemudian. Ratusan kuburan baru ditemukan di pemukiman berbenteng; perkiraan terkini menunjukkan bahwa mungkin 2.500 orang Banda meningga karena kelaparan dan perampasan. Ratusan orang Banda yang melarikan diri ke hutan sekitar selama serangan dikejar oleh patroli Belanda. Pada pertengahan Juli, 476 orang Banda telah ditawan. Beberapa lebih suka melawan sampai mati atau menjatuhkan diri dari batu-batu curam. Di pulau-pulau yang hampir sepenuhnya kosong, VOC memperkenalkan apa yang disebut sistem perkenierf.
Penganiayaan dan diaspora lebih lanjut
Peristiwa tahun 1621 tidak dapat dipisahkan dari 2 dekade sebelum, dan tidak dapat pula dianggap sebagai titik akhir. Penganiayaan terhadap orang Banda tidak hanya terus berlanjut tanpa henti setelahnya, tetapi sejumlah besar orang Banda juga berhasil melarikan diri dari pulau-pulau tersebut. Peran mereka masih jauh dari selesai. Penganiayaan lebih lanjut terjadi, misalnya, di Batavia, tempat hampir 800 orang Banda yang ditangkap dideportasi. Orang-orang yang selamat dari perjalanan tersebut, yang selama itu disentri dan penyakit menular lainnya merajalela di kapal yang penuh sesak itu, diberi sebidang tanah di dekat kota Batavia yang baru dididirikan. Coen mencatat kemudian pada tahun itu bahwa mereka tampaknya tidak mau menetap di sana secara permanen, dan yang sebenarnya mereka inginkan hanya kembali ke Banda. Ketika 8 orang kaya Banda kemudian melarikan diri, Belanda kembali mulai curiga bahwa orang Banda sedang merencanakan sesuatu. Pada akhir Januari 1622, Coen memanggil lebih dari 500 orang Banda yang selamat ke kastil Batavia dan menahan mereka. Para lelaki dipisahkan dan diinterogasi. Orang kaya disiksa; pengakuan mereka meyakinkan VOC bahwa orang Banda telah merancang rencana besar dan rumit untuk menyerbu dan membakar Batavia bekerjasama dengan musuh-musuh VOC lainnya. Gagasan bahwa orang Banda yang kasar sebenarnya laba-laba dalam jaring konspirasi yang meluas seperti itu tampaknya sangat tidak masuk akal. Jauh lebih mungkin bahwa orang Banda, yang disiksa dengan waterboardingg, pembakaran, dan metode lainnya, mengakui apa yang mereka pikir ingin didengar Belanda. 8 orang kaya dieksekusi dengan berdarah-darah, penduduk lainnya diperbudak. Para lelaki dibelenggu dan tetap tinggal di Batavia Para wanita dan anak-anak dikirim kembali ke Banda, untuk bekerja di perken di sana sebagai budak. Saat itu, pengetahuan mereka terbukti sangat diperlukan untuk budidaya dan pengolahan pala.
The massacre by the Dutch on Banda in 1621. Painting from the museum on Banda, Rumah Budaya |
Momok dan rumor
Pada bulan Juli 1622, skenario yang sangat mirip terjadi di Kepulauan Banda sendiri. Penduduk Pulau Run telah menyerah kepada Belanda pada tahun 1621 dan karena itu terhindar dari perang dan depopulasi. Namun, kini seorang penduduk pulau yang melarikan diri datang dan memberi tahu Belanda tentang rencana untuk melarikan diri dari pulau itu dan membunuh para penjaga Belanda dalam prosesnya. Gubernur Sonck, yang juga memimpin persidangan orang kaya pada tahun 1621, menangkap dan menginterogasi semua orang kaya di Run. Sekali lagi, interogasi dan pengakuan tersebut membuat konspirasi tersebut semakin besar; penduduk Run diduga berencana untuk merebut kembali Kepulauan Banda dari Belanda dengan bantuan armada yang siap di Seram. Sonck sendiri tampaknya benar-benar percaya pada momok yang ditimbulkan oleh interogasi tersebut, dan menempatkan pasukan pertahanan dalam keadaan siaga. Serangan tersebut gagal terwujud, tetapi Sonck menganggap rencana tersebut cukup terbukti. Kali ini, hukumannya bahkan lebih ekstrim; seluruh 160 laki-laki dewasa Run yang bebas dieksekusi pada tanggal 12 September.
Kora-kora, merchant- and warschip of the Bandanese. From:De tweede schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indie onder Jacob Cornelisz.van Neck en Wybrant Warwijck, 1598-1600 (coll. Rijksmuseum) |
Di sisi lain, bagaimanapun, sejumlah besar orang Banda telah berhasil lolos dari jangkauan VOC sebelum atau pada tahun 1621. Kesan Coen mungkin adalah bahwa “seer weinich........op de omliggende landen ontkomen” [“sangat sedikit....yang melarikan diri ke wilayah sekitarnya”], tetapi sumber-sumber VOC kemudian menunjukkan bahwa penilaian ini tidak benar. Mungkin ribuan orang Banda berhasil melarikan diri, seperti yang mulai diperhatikan oleh berbagai pejabat VOC sejak tahun 1624 dan seterusnya. Pada tahun itu menjadi jelas di Ambon, misalnya, bahwa setidaknya 1.500 orang Banda telah tiba di pantai selatan Pulau Seram, dan telah dijemput di sana oleh kapal-kapal Makassar untuk menemukan rumah baru di Makassar. Laporan segera menyusul bahwa orang Banda di sana sedang bernegosiasi dengan Sultan Makassar, yang saat itu sedang berperang dengan VOC dan memelihara hubungan baik dengan Portugis dan Inggris, berencana untuk merebut kembali Ay dari Belanda. Pada tahun-tahun berikutnya, serangkaian rumor serupa terus sampai ke Belanda. Kebetulan, tidak semua orang Banda yang mendarat di dan sekitar Seram tampaknya telah berangkat ke Makassar. Banyak yang tampaknya tetap tinggal di sana. Sumber-sumber VOC dari periode ini mencatat bahwa mereka memainkan peran penting dalam menyebarkan Islam dan memperkuat sentimen anti-Belanda di daerah tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya, desa-desa di pantai selatan Seram akan menjadi batu loncatan penting untuk serangan amfibi di Kepulauan Banda. Orang-orang Banda lainnya yang telah melarikan diri singgah di dan sekitar Kepulauan Kei. Ketika kapal-kapal VOC datang ke wilayah ini pada tahun 1630, mereka menemukan 600 laki-laki Banda di sana, tidak termasuk wanita dan anak-anak mereka. Komunitas Banda di Kei masih ada hingga saat ini. Diaspora Banda membangun jaringan dan kontak politiknya sendiri, bertekad untuk merebut kembali pulau-pulau tersebut, dan tetap terlibat aktif dalam perjuangan melawan VOC.
“Dit Moorse gebroetsel moster t’eenemael uyt gheroyt” (“Hama Moor ini harus dibasmi sepenuhnya”)
Dalam hal lain, depopulasi Banda pada tahun 1621 bukanlah akhir. Yang kurang dikenal daripada peristiwa di Banda adalah perang-perang berikutnya memperebutkan cengkih. Perang-perang ini berlanjut hingga tahun 1660-an di seluruh wilayah timur kepulauan Hindia Timur, tetapi terpusat di sekitar Ambon dan Seram. Di sini, VOC mengembangkan ambisi yang sama, membuat perjanjian yang sama, dan suasana yang sama, yaitu kurangnya pemahaman dan ketidakpercayaan satu sama lain, pun berkembang. Di sini, solusi terbaik sering dianggap sebaagi pembersihan seluruh wilayah dari pohon cengkih atau populasinya. Meskipun beberapa pejabat VOC tampaknya benar-benar terkejut dengan peristiwa tahun 1621, bagi yang lain, peristiwa tersebut tampaknya menjadi sumber inspirasi.
Penaklukan berdarah dan depopulasi Banda pada tahun 1621 tampaknya telah semakin menegangkan hubungan yang sudah memburuk di sekitar Ambon, mendorong para penentang kebijakan VOC, dari Seram hingga Makassar, ke dalam ikatan satu sama lain. Hal ini pada gilirannya berkontribusi pada para pejabat VOC, yang tugasnya adalah untuk mengamankan monopoli, tenggelam semakin dalam ke dalam mentalitas frustrasi dan paranoid. Sejak tahun 1625 dan seterusnya, hal ini menyebabkan perang terbuka, dimana VOC melanjutkan untuk menebang pohon-pohon cengkih di daerah-daerah yang tidak dapat mereka kendalikan. Hubungan dengan bekas sekutu juga menjadi semakin tegang. Hitu, misalnya, sekutu Belanda tetapi awalnya juga merupakan sekutu masyarakat di Kepulauan Banda, menyadari dirinya dalam posisi yang tidak mungkin. Akibatnya, semakin dipandang dengan kecurigaan oleh berbagai komunitas Islam maupun oleh Belanda. Beberapa pejabat VOC mulai berpikir bahwa hubungan mungkin menjadi lebih mudah dikelola jika Hitu tidak ada lagi. Pada tahun 1627, misalnya, Gillis Seys menasehati :
“Het ware te wenschen dat het geheele Eylant van Amboyna onder de ghehoorsaemheydt van de generale Comapgnie conde gebracht werden [.........] ‘t soude een overtreffelijck werck zijn, men soude jaerlijckx uyt gheroyt ende nieuwe Christenen inghevoert werden, als dan soude men die van Ceram beter connen breydelen, de vreemde handelaers van daer weeren, ende het eyndelijcke daer toe connen brengen dat dan alle de nagelen in onse handel vallen ende dat lant van Amboyna in vreede besitten souden”
[“Diinginkan bahwa seluruh Pulau Amboyna (Ambon) dapat dikuasai oleh Kompeni secara umum..... ini akan menjadi hal yang luar biasa, seseorang dapat mengambil sekitar 5 hingga 600 bahar cengkih dari sana setiap tahun; namun hama Moor ini harus diberantas sepenuhnya, dan orang-orang Kristen baru didatangkan, sehingga seseorang akan lebih mampu mengendalikan cengkih dari Seram, mencegah pedagang asing, dan pada akhirnya mampu mewujudkan seluruh cengkih tersebut. Perdagangan akan jatuh ke tangan kita dan kita akan memiliki tanah Amboyna dengan damai”].
The conquering of Loki, an episode from the Hoamal War. In the end the whole peninsula was depopulated by the VOC. (coll. National Library of Austria) |
Menurut Seys, mempertahankan kepemilikan pulau itu akan menjadi yang paling sulit, karena orang Hitu “gelick die van Banda haer oude woonplaetsen niet souden connen vergeten” [“seperti orang Banda, tidak akan bisa melupakan rumah lama mereka”]. Meskipun demikian, ia tampaknya menganggap Banda sebagai contoh yang menginspirasi daripada menakutkan. Sejak tahun 1630-an dan seterusnya, VOC mulai semakin sering menghancurkan tidak hanya pohon cengkih di daerah yang berkonflik dengan mereka, tetapi juga setiap jenis pohon yang dapat berfungsi sebagai sumber makanan bagi orang-orang. Semua itu dengan harapan dapat membawa penduduk pulau-pulau itu, yang sangat sulit mereka kendalikan dan lawan di dunia pulau-pulau berpegununagn yang berubah-ubah yang ditutupi oleh hutan. Hubungan denganHitu runtuh akibat ketidakpuasan dan ketidakpercayaan satu sama lain pada tahun 1630-an, dan perang terus berlanjut hingga VOC merebut benteng terakhir Hitu pada tahun 1646. Struktur negara yang ada dibubarkan dan Hitu dibawa ke bawah kendali langsung VOC.
gurun abadi
Konflik paling keras dan berskala besar atas monopoli cengkih terjadi pada tahun 1650-an, ketika penduduk semenanjung Hoamoal di Seram Barat bergabung dengan Makassar dan beberapa pembangkang dari Ternate, dalam upaya terakhir untuk mengusir VOC dari wilayah mereka. Konflik 5 tahun yang penuh kekerasan berikutnya, yang dikenal sebagai Perang Besar Hoamoal (1651-1656), diperjuangkan dengan kapak dan meriam, pedang, serta senapan. Tujuan VOC adalah mengubah seluruh pulau dan wilayah menjadi “gurun abadi”, sehingga tidak layak untuk dihuni manusia secara permanen. Pada akhir konflik, semua penduduk Hoamoal dan beberapa pulau di sekitarnya dipaksa pindah ke tempat yang lebih dapat dikendalikan oleh VOC. Semenanjung Hoamoal tetap tidak berpenghuni hingga akhir era VOC. Dengan demikian, monopoli cengkih juga akhirnya dilakukan melalui teror, pemaksaan, perusakan ekologi, dan deportasi.
==== selesai ====
Terima kasih kepada Adam Clulow, yang memberi kami akses ke artikel yang belum diterbitkan tentang kasus pengadilan di Batavia dan Banda pada tahun 1622.
bacaan lebih lanjut
Sejarah yang dapat diakses tentang Kepulauan Banda dan penaklukan serta pengusiran penduduk pada tahun 1621 adalah:
1. Willem Oosterbeek, Nootmuskaat: de geschiedenis van een wonderlijk nootje (2017);
2. Giles Milton, Nathaniel’s nutmeg: the True and Incredible Adventures of the Spice Trader Who Changed the Course of History (1999, many reprints). Yang terakhir [Giles Milton] menceritakan kejadian-kejadian terutama dari sudut pandang orang Inggris dan sedikit membesar-besarkan beberapa hal, seperti gagasan bahwa Pulau Run akhirnya ditukar dengan Manhattan, demi cerita.
3. Keahlian lokal Des Alwi di Banda dimanfaatkan oleh, antara lain, Willard Hanna, Indonesian Banda: colonialism and its aftermath in the nutmeg islands (1978), and Charles Corn, The Scent of Eden (1999). Buku terakhir menempatkan peristiwa di Banda dalam konteks Maluku secara keseluruhan, seperti yang dilakukan Ian Burnet’s Spice Islands (2013).
4. Sebagai seorang jurnalis, Tjitske Lingsma meliput kekerasan di Maluku dari tahun 1999 hingga 2003 dan ia menuangkan pengalamannya dalam Het verdriet van Ambon (2008). Ia meneliti sejarah daerah tersebut, dengan memberi perhatian besar pada perang rempah-rempah.
5. Yang lebih tua dan kurang mudah diakses adalah Van der Chijs, De Vestiging van het Nederlandsche gezag over de Bandaeilanden (1886), studi arsip tertua mengenai subjek yang sangat kritis terhadap tindakan Belanda. Lebih dari setengah abad kemudian, Lucas Kiers berusaha melegitimasi tindakan Coen dalam Coen op Banda:: de conqueste getoetst aan het recht van zijn tijd (1943).
6. Biografi Coen oleh Jur van Goor, Jan Pieterszoon Coen: koopman-koning di Azië (2015), memuat catatan ekstensif tentang peristiwa tahun 1621.
7. Karya Martine van Ittersum berfokus pada cara perjanjian digunakan oleh Belanda dan Inggris untuk semakin mengendalikan orang Banda. Lihat, antara lain, Empire by Treaty? the role of written documents in European overseas expansion in: Tristan Mostert and Adam Clulow eds., The Dutch and English East India Companies (2019), pp.153-178.
8. Beberapa karya Adam Clulow berfokus pada suasana paranoia dan frustrasi yang dialami oleh orang Belanda saat beroperasi di Maluku, lihat khususnya: Amboina 1623: fear and conspiracy at the edge of empire (2019).
9. Masih sedikit literatur yang membahas perang cengkih di sekitar Ambon, namun hal tersebut dijelaskan secara singkat dalam karya Gerrit Knaap, misalnya dalam Knaap dan Den Heijer,Oorlogen Overzee: militaire optreden door Compagnie en Staat buiten Europa, 1595-1814. (2015).
10. See also Piet Hagen, Koloniale oorlogen in Indonesië: Vijf eeuwen verzet tegen vreemde overheersing (2018).
References
1. Kutipan Jacques L’ Hermite dari tahun 1612 dikutip dari C. Busken Huet, Literarische Fantasieën en kritieken (1884), vol. 16, halaman 108. Kutipan selanjutnya dari Bewindhebbers dikutip dari Van der Chijs, De vestiging van het Nederlandsche gezag op de Banda Islands (1886), halaman 75.
2. Berbagai kutipan dari surat-surat kepada dan dari Coen yang ditulis antara tahun 1620 dan 1621 diambil dari H.T. Colenbrander and W. Ph. Coolhaas (eds.), Jan Pietersz. Coen: bescheiden omtrent zijn bedrijf in Indië (1919-1953).
3. Kutipan oleh Gillis Seys dari tahun 1627 berasal dari Gillis Seys, Verhael van den tegenwoordigen staet inde quartieren van Amboyna ende omleggende plaetsen, in: Commelin, Begin ende Voortgangh, II, reis 15, 130-150.
4. Selain itu, bahan sumber primer digunakan dari publikasi sumber P.A. Tiele dan J.E. Heeres, Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in den Maleischen Archipel [ (1886-1895) , vols. 1 and 2, and J.E. Heeres, and F.W. Stapel, Corpus diplomaticum Neerlando-Indicum (1907-1955).
Catatan Tambahan
a. Armada Belanda tiba untuk pertama kali di Kepulauan Banda pada hari Senin, tanggal 15 Maret 1599, dengan kapal Geldria dibawah komandan J. van Heemskerck
§ J.A. van der Chijs, 1886, De Vestiging van het Nederlandsche gezag over de Banda-Eilanden (1599-1621), halaman 1
b. Armada tahun 1602 dibawah komandan Wolphert Harmenszoon
§ J.A. van der Chijs, 1886, De Vestiging van het Nederlandsche gezag over de Banda-Eilanden (1599-1621), halaman 18
c. Perjanjian ini dilakukan pada Februari 1605
§ J.E. Heeres, 1907, Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, eerste deel (1596-1650), hal 31 – 33
d. Perjanjian ini dilakukan pada tanggal 13 Juli 1605
§ J.E. Heeres, 1907, Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, eerste deel (1596-1650), hal 36 – 41
e. Martinus Sonck menjadi Gouverneur van Banda pada periode 1621 – akhir 1622
f. Tentang sistem perkenier, lihat tulisan misalnya
§ V.I. van der Wall, 1934, Bijdrage tot de geschiedenis der perkeniers 1621–1671, dimuat di Tijdschrift voor Indische taal-, Land- en Volkenkunde deel 74: halaman 516-580.
§ Vincent Loth, 1995, Pioneers and Perkeniers : The Banda Island in the 17th Century, Cakalele, volume 6, halaman 13-35
g. Waterboarding adalah suatu bentuk penyiksaan, umumnya digunakan sebagai teknik interogasi, di mana seseorang diikat dengan kepala di bawah pada papan miring dengan mulut dan hidung ditutup sementara air dituangkan ke wajah mereka, menyebabkan mereka mengalami sensasi yang mirip dengan tenggelam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar