(bag 3)
[Maarten Vanhaverbeke]
1. Relasi dengan aparatur pemerintahan negeri/adat : penunjukan dan “intervensi”
Sepanjang abad ke-17, “negara VOC” didirikan di Amboina, Maluku. Negara kolonial ini secara teritorial merupakan unit politik terbesar yang pernah ada di kepulauan Amboina hingga saat itu. Kekuasaan VOC didasarkan pada 4 unsur/elemen : superioritas militer yang besar, pemukiman penduduk di lokasi/wilayah yang mudah dikontrol/diawasi, eskploitasi divisi internal, dan tingkat konsensus tertentu dengan rakyat1. Unsur pertama -militer- sudah dibahas di bab sebelumnya dan kita bisa berpindah ke unsur kedua. Untuk meningkatkan keefektifan penempatan pasukan VOC pada abad ke-17, orang Ambon dipaksa dan terpaksa meninggalkan pemukiman lama mereka yang berbenteng di pegunungan dan perbukitan dan menetap di pesisira. Lagipula mereka dapat diawasi dengan lebih baik di tempat tersebut2. Dalam bab ini, kami akan membahas secara khusus 2 unsur pengelolaan VOC yang terakhir, yaitu devide et impera dan penciptaan/pembangunan konsensus.
![]() |
Ambon, ca. 1735 oleh Jacob van der Schley |
Situasi administrasi yang ideal di mata kompeni adalah situasi dimana banyak entitas politik kecil dan kurang lebih setara itu berperan. VOC lebih menyukai pengaturan administrasi pemerintahan pribumi berdasarkan kelompok negeri-negeri [atau desa-desa]. Tingkat tertentu pembagian antara berbagai desa/negeri tidak diterima oleh VOC. Bagaimanapun, ini mencegah pembentukan asosiasi politik yang lebih besar. Suatu konflik harus dapat dikendalikan setiap saat, karena jika tidak, VOC harus melakukan terlalu banyak upaya untuk mencapai rekonsiliasi antara pihak-pihak tersebut. Toh, konflik antar negeri/desa bisa berlarut-larut dalam waktu yang lama. Di sinilah kita melihat VOC muncul dalam peran mediator, sebagai “hakim/arbiter” yang berdiri di tingkat administrasi tertinggi. Konflik tertentu dianggap tidak diinginkan dan VOC biasanya berusaha menyelesaikan konflik tersebut sedemikian rupa sehingga kepentingannya tidak terancam. Tujuan akhir VOC tetap mempertahankan monopoli cengkih. Atau dengan kata lain, mempertahankan status quo kolonial. Pertama-tama, mereka ingin memelihara dan menjaga ketertiban dan perdamaian, atau yang disebut “Pax Neerlandica” yang muncul setelah tahun 1658 di Amboina3
Dalam membangun tingkat konsensus tertentu dengan penduduk yang dominan, VOC memusatkan perhatian terutama pada level elit (administratif). Pertama-tama kompeni berusaha mengikat para kepala/pemimpin negeri/desa, dengan memberi mereka tempat/posisi dalam hierarki pemerintahan. Hal ini memberi VOC kendali atas penunjukan kepala/pemimpin negeri/desa yang bersumpah setia kepada VOC. Seiring waktu, kekuasaan pengambilan keputusan untuk mengangkat kepala/pemimpin negeri yang baru sepenuhnya berada di tangan VOC dan mereka juga menentukan prosedur pengangkatan. Harus dikatakan bahwa aparatur pemerintahan pribumi/adat masih memiliki suara penting dalam hal ini. Kepala/pemimpin negeri menjadi penghubung terpenting antara pemerintah dan rakyat di negara VOC. Kontak antara pemerintah kolonial dan penduduk dilembagakan dan disusun melalui sistem landraad. Beberapa landraad kecil, bersama dengan 1 landraad besar dan dibawah pengawasan Raad van Justitie VOC, memastikan terselenggaranya peradilan di kepulauan Amboina. Namun, kami tidak akan membahas secara detail tentang sistem landraad ini di sini4
2.1. Penunjukan [pengangkatan] kepala/pemimpin negeri
Negeri-negeri Ambon semuanya dipimpin oleh seorang kepala/pemimpin negeri. Ada 3 tingkatan di antara kepala/pemimpin negeri : suatu negeri memiliki Radja [gelar tertinggi], atau Pattih, atau Orangkaija [gelar terendah]5. Ketika negara VOC berkembang secara maksimal, para kepala/pemimpin negeri menjadi lebih dan lebih banyak sebagai alat administrasi kolonial. Mereka adalah perantara antara pemerintah kolonial dan penduduk. Bagi VOC, tugas kepala/pemimpin negeri yang paling penting adalah melaksanakan tugas-tugas tentang budidaya cengkih dan pengerahan wajib militer6. Itulah sebabnya VOC sangat berkepentingan dalam pengangkatan mereka dan juga ikut campur jika posisi tersebut kosong. Kompeni memberlakukan persyaratan tertentu pada calon kepala/pemimpin negeri. Misalnya, dalam hal komunikasi, seseorang harus memiliki pengetahuan bahasa Melayu, karena ini adalah bahasa pemerintah7. Tetapi di atas semua itu, seseorang harus dapat mengandalkan tingkat kekuasaan dan otoritas yang adil di antara rakyatnya. Prosedur penunjukan/pengangkatan yang digunakan VOC cukup beralasan untuk itu. Awalnya, negeri/desa itu sendiri diizinkan untuk mengajukan 1 atau lebih calon. Misalnya, tradisi suksesi, kompetensi calon dan kedudukan mereka di antara penduduk negeri/desa diperhitungkan. Setelah mencalonkan calon, Gubernur memerintahkan “penyelidikan” atas alasan pencalonan ini. Setelah itu, calon yang paling memenuhi syarat diangkat menjadi kepala/pemimpin negeri dan diberikan “akta pengesahan”. Preferensi masyarakat lokal sebagian besar diperhitungkan dalam keputusan. Jarang sekali VOC menyimpang dari rekomendasi penduduk8.
![]() |
Besluit Pengangkatan Orangkaija van Hitumesing [Maradja Patty Peloe] tahun 1841 |
Juga pada tahun 1732, beberapa kepala/pemimpin negeri baru diangkat dan diberikan akta pengesahan oleh VOC. Dalam missive pemerintah gubernemen di Amboina kepada Batavia pada bulan September 1732, kami mendapatkan daftar kepala/pemimpin negeri yang diangkat sejak September 17319. Fakta bahwa ini disebutkan dalam korespondensi dengan Batavia berarti bahwa pengangkatan kepala/pemimpin negeri tetap dianggap sebagai masalah yang cukup penting. Di Ambon diharapkan bahwa penunjukan dan pengangkatan tersebut akan tampak menyenangkan bagi Pemerintah Tertinggi, karena kepala/pemimpin negeri yang baru “tidak hanya menjadi orang yang paling sah untuk menduduki jabatan tersebut, namun juga memiliki kapasitas yang diperlukan untuk mengatur komunitas dan masyarakat yang dipimpinnya”10. Hal ini menunjukkan bahwa selain asal, kompetensi juga menjadi kriteria dalam prosedur pengangkatan. Kompetensi itu juga terlihat ketika kita melihat keputusan-keputusan yang diambil terkait pengangkatan kepala/pemimpin negeri. Misalnya, karena kematian Orangkaija negorij [negeri] Leliali di Buru, Gubernur memerintahkan untuk menyelidiki “siapa di antara para penggugat yang paling dekat dan paling cocok untuk menduduki jabatan kehormatan itu”11. Jabatan kehormatan itu akhirnya jatuh ke tangan penduduk pribumi bernama Oessin. Fakta “bahwa dia adalah seorang laki-laki yang berperilaku tenang” juga merupakan “bonus yang bagus”. Tabel di bawah ini memberikan gambaran tentang kepala/pemimpin negeri yang diangkat oleh VOC pada tahun 1732. Kepala/pemimpin negeri yang telah diangkat pada tahun 1731 dan yang disebut dalam surat/missive bulan September 1732 juga termasuk di dalam tabel ini.
Data yang diolah pada tabel 10, tidak hanya berasal dari surat yang dibahas di atas, karena di surat tersebut kita tidak mendapatkan lebih dari sekedar daftar nama dan tempat. Sebagaimana telah disebutkan, kami juga menemukan resolusi/keputusan raad untuk semua penunjukan/pengangkatan12. Biasanya resolusi ini juga mencakup “laporan penyelidikan” VOC. Sebagai gambaran, laporan seperti itu telah disisipkan di bawah ini, menyangkut penyelidikan terhadap kekosongan jabatan Pattij negeri Halong di Leitimor.
“Tuan-tuan Yang Mulia, atas perintah Yang Mulia Gubernur, kami yang bertanda tangan di bawah ini telah memeriksa dengan cermat permohonan yang diajukan oleh para pemohon jabatan Pattij negeri Halang [Halong] yang kosong, dan telah melihat dari permohonan tersebut bahwa setiap orang berusaha semaksimal mungkin untuk menunjukkan legalitas dan kesesuaiannya untuk jabatan terhormat ini, namun tampaknya tidak seorang pun pemohon yang memiliki hak lebih untuk itu selain 2 bersaudara, [yaitu] Hendrik dan Alexander Ancotta Halang [Halong]. Sebab meskipun Theodorus Lekehenila, putra bungsu dari Pattij van Halong yang telah meninggalb, penduduk pribumi Kilang [yaitu] Marcus de Rooij, Nicolaas de Silva van Soija [Soya], Anthonij Toepenalaij, dan Eduart Toepenalaij, keduanya dari Halang [Halong], masing-masing atas nama sendiri dengan rendah hati memohon agar dianugerahi kehormatan yang luar biasa ini oleh Yang Mulia, kami tetap menemukan bahwa semua klaim atas hak dan dugaan yang mereka buat untuk jabatan kepala/pemimpin negeri ini tidak dapat dengan cara apa pun mengalahkan tuntutan Hendrik Ancotta Halang yang juga memohon jabatan kepala/pemimpin negeri ini. Karena dia, bersama saudara laki-lakinya, merupakan keturunan dari garis keturunan bekas Pattij van Halang [Halong], dan keluarganya tidak pernah menduduki jabatan ini lagi sejak tahun 1687, dengan alasan bahwa cabang-cabang keturunan berasal dari pihak yang sama dan suksesi diwariskan dari satu garis keturunan ke garis keturunan lainnya. Juga pada tahun 1692, sesuai dengan kutipan dari resolusi gubernemen yang terhormat ini tertanggal 24 Juni, kakek mereka [yang bernama] Salvador Ancotta Halang [Halong]c dilaporkan sebagai seorang laki-laki nakal atau” [playboy]”, yang mana tidak seorang pun dapat membuktikannya dengan dasar apa pun, tetapi diketahui umum bahwa kakek dan nenek mereka menikah secara sah satu sama lain, serta kakek buyut mereka [yaitu] Don Andrea Ankotta Halangd juga berperilaku sebagai pelayan kompeni yang baik dan setia. Selain itu, seluruh penduduk Halang dengan suara bulat menginginkan Hendrik Ankotta Halang ini menjadi pemimpin/penguasa negorij mereka. Oleh karena itu, para penandatangan di bawah ini, berdasarkan pertimbangan bijaksana Yang Mulia, menyatakan bahwa Hendrik Ankotta Halang ini sebaiknya diutamakan dibandingkan yang lain dan diangkat menjadi Pattij van Halang. Sementara kami tetap dengan ketundukan penuh kepada Tuan-tuan yang mulia, hamba-hamba anda yang taat dan setia, ditandatangani oleh C.G.H. Krause dan Jan Jochemszf, di Victoria, Amboina, 18 Juli 1732”13.
Penggalan sumber ini mungkin tidak terlalu menarik, namun merupakan ilustrasi yang sangat bagus tentang seberapa dalam keterlibatan VOC dalam politik lokal. Meskipun mempertahankan monopoli cengkeh selalu menjadi tujuan akhir, penggalan ini menunjukkan sekali lagi bahwa kompeni lebih dari sekedar perusahaan dagang. Fakta bahwa keinginan penduduk desa yang muncul dalam laporan ini memang diperhitungkan, terlihat dari sisa resolusi di atas. Kita membaca bahwa Raad “mempertimbangkan” bahwa penduduk Halang [Halong] ”sama sekali tidak ingin orang asing seperti Marcus de Rooij dari Kilang dan Nicolaas de Silva dari Soija memerintah mereka”14. Oleh karena itu, meskipun ada argumen yang diajukan oleh para calon lain mengenai lemahnya pikiran kakek Hendrik Ancotta Halang, ia tetap terpilih. Namun, putra mendiang Pattij van Halang [yaitu Theodorus Lekehenila], karena pengabdian ayahnya selama bertahun-tahun, “bermanfaat demi kelangsungan suksesi dalam jabatan Pattij van Halang setelah meninggalnya Pattij Hendrik Ancotta Halang yang baru terpilih, jika keluarga terdekat ditemukan ada di sana”15. Apabila Pattij baru berhalangan, Theodorus juga dapat bertindak sebagai wakilnya atau penggantinya.
Laporan di atas juga memberi kita gambaran tentang kriteria suksesi yang digunakan dalam masyarakat adat. Tabel 10 menunjukkan hubungan antara kepala/pemimpin negeri yang baru dengan pendahulunya. Namun, tidak ada prinsip umum yang dapat diambil dari hal ini : 2 orang disebutkan adalah saudara laki-laik, 2 orang disebut anak laki-laki, 2 orang disebutkan sepupu, dan 3 orang disebutkan “garis keturunan orangkaija/pattij”. Jelas bahwa prinsip anak tertua, atau suksesi oleh putra tertua, tidak selalu berlaku. Gerrit Knaap menekankan dalam karyanya bahwa, bertentangan dengan pandangan yang lebih “aktual atau saat ini”, pemilihan seorang kandidat tidak selalu berpedoman pada prinsip anak tertua, namun lebih pada prinsip keturunan/hereditas yang lebih umum16. Ia juga mencatat kriteria “kepastian/jaminan”suksesi : yang menjadi kepala/pemimpin negeri bukanlah anak laki-laki tertua dari almarhum, melainkan saudara laki-laki dari almarhum atau putranya17. Hal serupa juga terjadi pada tahun 1732, seperti yang baru saja kita lihat. Bentuk suksesi yang khusus adalah pergantian antar 2 keluarga atau cabang keluarga18. Hal terakhir ini terlihat dalam pengangkatan Pattij van Halang yang dibahas di atas. Setelah suksesi “diwariskan dari satu garis kepastian ke garis kepastian lainnya”19 selama beberapa waktu, seseorang dari cabang keluarga lain dipilih menjadi pattij.
Catatan terakhir yang dapat kita sampaikan mengenai kepala/pemimpin negeri pada tahun 1732 berkaitan dengan fakta bahwa posisi/atau jabatan tersebut tidak selalu kosong karena adanya kematian. Dalam kasus untuk negeri Haria dan Boano, kepala/pemimpin negeri sendirilah yang meminta pergantiannya. Misalnya, patih van Hariag menunjukkan “bagaimana dia tidak mampu, bukan hanya karena usia tua, tetapi juga karena kebutaan dan ketulian, untuk terus melakukan pelayanan kepada kompeni dan administrasi negorij”20. Dan Orangkaija van Buanoh meminta agar diberhentikan dari “jabatan kehormatan” ini “karena usia tua dan sudah lemah”21.
2.2 Konflik dalam masyarakat adat.
Berikut ini kita akan mendalam lebih dalam 2 konflik di negeri/desa tertentu yang disebutkan beberapa kali dalam sumber tahun 1732. Selain kedua konflik tersebut, juga disebutkan beberapa konflik kecil yang tidak akan kita bahas lebih jauh. Konflik pertama terjadi di Leitimor, dekat kota Ambon, konflik kedua di Seram, di perbatasan wilayah yang dikuasai VOC. Dalam perselisihan ini kita akan merujuk pada [istilah] “corvee” beberap kali. Apa yang dimaksud dengan hal ini di kepulauan Ambon???
Gerrit Knaap menyebut corvee sebagai “pajak dalam bentuk tenaga kerja” atau “wajib kerja” bagi masyarakat Ambon. Ada 3 jenis pelayanan corvee : pelayanan untuk masyarakat negeri/desa itu sendiri, untuk elit lokal, dan untuk VOC. Layanan yang dapat diklaim oleh kompeni terbagi menjadi 2 jenis. Pertama, orang Ambon harus melakukan “layanan negara” kepada VOC dengan biaya sendiri selama 1 bulan setiap tahun. Hal ini mencakup mendayung hongi atau segala macam pekerjaan untuk benteng VOC. Pelayaran hongi tahunan akan kita bahas lebih lanjut pada bab budidaya cengkih. Pelayanan yang paling umum adalah jenis kedua : yang disebut kerja kuarto [atau kwartodiensten]. Penduduk pribumi harus secara tetap/permanen menyediakan beberapa orang untuk melaksanakan segala macam tugas agar infrastruktur VOC tetap berjalan. Misalnya, 8 desa di sekitar kota Ambon harus bergiliran mengirimkan 30 pekerja kuarto ke benteng Victoria selama 2 kali setiap bulannya. Para pekerja kuarto ini misalnya harus mengangkut atau memuat surat, pegawai VOC dan ransum dan membongkar kapal. Sejak paruh kedua abad ke-17, orang Ambon menerima imbalan berupa barang atau uang. Melalui sistem ini, seluruh pos administratif VOC di kepulauan Ambon mempunyai akses tetap terhadap sejumlah pekerja kuarto22.
Keputusan tanggal 7 November 173223 menunjukan bahwa penyediaan pekerja kuarto tidak selalu berjalan mulus. Kita membaca yang berikut ini :
“dinyatakan lebih lanjut oleh Tuan Gubernur bahwa meskipun Yang mulia telah memaafkan penduduk pribumi di wilayah kecil dari kastil utama ini, para kepala/pemimpin negeri pribumi sangat lalai dalam mengurus masyarakat biasa, akibatnya pekerjaan umum kompeni sebagian besar terbengkalai, dan oleh karena itu perlu secara tegas mengatasi kecerobohan yang sangat besar ini”24.
Seluruh Radja, Pattij, dan Orangkaija di kepulauan Ambon akan diberitahukan melalui pemberitahuan bahwa jika mereka tidak memenuhi tugas mengirimkan pekerja kuarto, mereka harus membayar denda sebesar 25 rijksdaalder. Dan yang lebih penting lagi, untuk setiap “pekerja kuarto yang cacat mendapat tambahan 8 rijksdaalder agar bisa mempekerjakan orang lain untuk tujuan itu”25. Dan koreksi arbitrase lainnya juga bisa diharapkan. Tindakan VOC sebagai mediator dalam konflik-konflik yang dibahas di bawah ini sebagian besar bertujuan untuk menjamin lancarnya pelayanan kuarto. Ketertiban dan ketenteraman serta terjaminnya administrasi yang teratur, itulah yang selalu diupayakan kompeni.
2.2.1 Perselisihan antara Radja van Kilang dan van Nusaniwe dan Orangkaija van Hatalai, van Naku dan van Hatu.
Dalam resolusi tanggal 23 Juni 173226 dan dalam missive ke Batavia tanggal 25 September 173227, kita membaca bahwa terjadi perselisihan antara Radja van Kilang [Jeremias de Rooiji] dan Radja van Nusaniwe [Anthonij d’Soijsaj] dan orangkaija negeri-negeri bawahan mereka, yaitu negeri Hatalai, Naku dan Hatuk telah ditangani oleh Landraad besar [Grote Landraad]28. Radja van Kilang dan Radja van Nusaniwe mengeluh bahwa “para kepala/pemimpin negeri kecil ini tidak melaksanakan layanan negara sebagaimana mestinya dan akibatnya, menurut pendapat mereka, raja tersebut bertindak kurang bijaksana”29. Perselisihan ini awalnya dibahas di Landraad besar, namun pada titik tertentu kasus ini dilimpahkan ke Raad van Politie, karena Orangkaija van Hatalail dan Orangkaija van Nakum akhirnya mengajukan permintaan “untuk dipisahkan sepenuhnya dari Raja yang lebih besar [di Kilang]30. Pengambilan keputusan seperti itu ternyata berada di luar lingkup Raad van Politie. Raad atau Dewan Politik ini kemudian mempertimbangkan rekomendasi Pemerintah Tertinggi mengenai permohonan “pemisahan” ini. Surat-surat yang telah dibaca sebelumnya31 mendiktekan hal-hal berikut :
“agar orang pribumi itu harus diperlakukan dengan hati-hati dan tidak diberikan pelayanan yang tidak biasa, demikian pula berkenan dengan pelaksanaan layanan negara, kebiasaan lama tidak boleh berubah. Selain itu, semua hal baru yang diminta oleh penduduk pribumi untuk pemisahan negorij/negeri dan perubahan dalam kerja kuarto harus ditolak, kecuali dalam kasus-kasus yang sangat tidak adil atau alasan-alasan lain yang memaksa, yang kemudian harus dikirim ke rapat tertinggi di Batavia untuk diputuskan”32.
Di Batavia mereka bersikap tegas : hanya “dalam kasus-kasus yang tidak adil atau alasan-alasan yang memaksa lainnya”, hak untuk meminta maaf diberikan. Namun di Ambon mereka percaya bahwa, mengingat “kebencian dan kekacauan yang tidak dapat didamaikan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun di antara Kilang, Hatala [Hatalai] dan Nako [Naku], Nussanive dan Hatoe, mereka tidak akan pernah dapat meredakannya dengan cara apapun”33. Oleh karena itu diputuskan untuk mengajukan permohonan tersebut kepada Pemerintah Tertinggi di Batavia dan untuk sementara waktu menghentikan kasus tersebut. Ditekankan bahwa Orangkaija van Hatalai, Naku dan Hatun “akan tetap terikat dan berkewajiban untuk memastikan bahwa pelayanan yang biasa dilakukan kompeni – yang tidak memberikan toleransi terhadap perubahan sedikitpun- dilakukan oleh masyarakat pribumi”34. Bagaimanapun, tujuan utama dari mediasi konflik yang dilakukan oleh VOC adalah untuk melindungi kepentingannya sendiri, dalam hal ini corvee.
Mengakhiri permasalahan ini dalam surat resmi tertanggal September 1732, pemerintah gubernemen menyatakan bahwa –“dibawah kehormatan Yang Mulia [Pemerintah Tertinggi] diterima dengan baik”- “solusi terbaik adalah pemisahan sepenuhnya kepala sekolah antara kepala sekolah Kielang, Hatola [Hatalai] dan Nako”35. Namun, kita tahu kemudian bahwa usulan ini tidak diterima dengan “persetujuan yang baik” dari Pemerintah Tertinggi melalui surat ke Batavia36. Pernyataan ini menyatakan bahwa gubernur “sesuai dengan perintah Yang Mulia dan luhur, telah menolak mentah-mentah permintaan yang diajukan kepada Raja Kilang dan Raja Nussanive, bersama dengan Orangkaija bawahan mereka yaitu Hatala, Nako dan Hatoe, mengenai permintaannya untuk dipisahkan dari pemerintahan dan administrasi raja seperti biasa”37. Situasi ini harus tetap seperti “adat istiadat di masa lalu”38 dan siapa pun yang mengganggu perdamaian akan mendapat hukuman. Yang terasa aneh adalah disebutkan bahwa para pihak “dengan rela tunduk untuk mengembalikan perbedaan mereka ke dalam keharmonisan yang diinginkan”. Kerukunan ini akan dibawa ke ”kesempurnaan yang sempurna”. Lagi pula, setahun sebelumnya masih ada perbincangan tentang kebencian yang tidak dapat didamaikan di antara pihak-pihak yang konon tumbuh dari banyak konflik selama bertahun-tahun. Apakah realistis jika masalah terselesaikan begitu tiba-tiba? Entah para Orangkaija memang menerima keputusan Batavia, atau aparatur pemerintah menganggap masalah ini terlalu berlebihan karena penolakan Batavia secara terang-terangan.
2.2.2 Orangkaija van Elpaputih dan penduduk desanya yang melarikan diri
Selama ekspedisi hongi tahun 1732 di sepanjang pantai Seram Barat Daya (lihat infra), wilayah ini “ditemukan dalam keharmonisan yang baik”, seperti yang kita baca dalam surat kepada Batavia tertanggal 26 Mei 173339. Kecuali di negorij Elpaputih40, dimana Orangkaija [yaitu Simon Supuanam] telah hidup dalam pertikaian dan perselisihan dengan penduduk negerinya untuk beberapa waktu. Bahkan sampai pada titik dimana sebagian besar penduduk negeri, “melalui segala macam pertengkaran dan pemaksaan upeti yang tidak terbatas”41, telah meninggalkan rumah mereka dan mencari perlindungan di pegunungan. Gubernur kemudian memutuskan untuk mengirimkan beberapa kepala/pemimpin negeri dari Saparua ke Elpaputih untuk menyelidiki perselisihan yang muncul. Laporan para kepala/pemimpin negeri ini membenarkan kesalahan orangkaija itu dalam konflik ini. Melalui keputusan dewan [raad van politie] tertanggal 17 November42 kemudian diputuskan untuk membagi pemerintahan atas Elpaputih, “untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan ini dengan cara yang paling mudah dan memulihkan kedamaian dan ketenangan dalam masyarakat tersebut”43. Bekas Orangkaija van Elpaputih tetap menjadi Kepala Soa Samasuru, dan Pieter Poilessij Talarima ditunjuk sebagai Orangkaija soa Pauluhy [Paulohy]. Untuk kepuasan kompeni, penduduk negeri yang melarikan diri kembali melakukan hal ini : mereka akan “bekerja dalam kedamaian dan keharmonisan yang diinginkan demi melayani kompeni dan bagi masyarakat mereka sendiri”44. Dalam konflik ini, Raad van Politie di Amboina oleh karena itu memutuskan sendiri untuk membagi administrasi penyelesaian. Hal ini terjadi tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan Pemerintah Tertinggi. Perlu dicatat bahwa konflik ini “hanya” terjadi di Seram, sedangkan konflik yang dibahas sebelumya terjadi di Leitimor, lebih dekat dengan pusat pemerintahan. Terlebih lagi, konflik ini terjadi antara Orangkaija dengan penduduknya dan bukan antara kepala/pemimpin negeri itu sendiri, seperti yang terjadi di Leitimor. Dari tata cara pengangkatan yang telah dibahas tadi, kita tahu bahwa VOC cukup banyak mempertimbangkan “keinginan” penduduk negeri. Bagaimanapun, mereka harus hidup “harmonis” dengan kepala/pemimpin negerinya, sehingga tercipta ketertiban dan kedamaian, atau dengan kata lain “Pax Neerlandica” yang diinginkan. Konflik ini juga menunjukkan sekali lagi bahwa perhatian utama kompeni adalah mengamankan corvee. Dalam resolusi tanggal 7 November yang disebutkan di atas, kita membaca bahwa kedua kepala/pemimpin negeri “melalui tindakan bersama untuk mengikat dan berjanji dengan cara yang semaksimal mungkin [..........] untuk dengan setia mengelola layanan kompeni sejauh dalam kekuasaannya” 45. Jika salah satu dari mereka gagal memenuhi janjinya, mereka akan dicopot dari jabatannya dan dijatuhi hukuman membayar denda sebesar 100 rijksdaalder atas nama pelayanan kaum miskin. Fakta bahwa negeri-negeri yang tidak mematuhi VOC akan dihukum juga terlihat dari permasalah yang dibahas di bawah ini.
2.3 Permintaan sebagian orang Iha dan Kulor [Kulur] yang dibuang ke Buru.
Selain 2 konflik yang telah dibahas di atas, ada kasus ketiga yang menarik perhatian kita, yaitu permintaan sebagian orang Iha dan Kulore [Kulur] yang dibuang/diasingkan kepada VOC agar diizinkan untuk pindah. Karena ini sebenarnya bukan konflik, pembahasannya dilakukan secara terpisah di bagian tersendiri. Persoalan ini disebutkan secara singkat dalam surat ke Batavia tertanggal Mei 173246, dan informasi lebih lanjut mengenai hal ini dapat kita peroleh dalam resolusi tertanggal 7 November 173247.
Sebagian penduduk negeri Iha dan Kulor di Seram Harukuo diasingkan ke Buru oleh VOC pada tahun 1721 karena pada saat itu mereka telah meninggalkan negerinya itu. Mereka diduga melakukan ini karena beberapa Alfuren48 telah membunuh seorang perempuan di dekat negeri mereka. Namun hal ini ditepis oleh VOC dan dianggap sebagai kepura-puraan yang tidak terlalu penting. Sayangnya, kami tidak mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai alasan pembuangan mereka. Totalnya melibatkan kelompok sekitar 500 orang yang tersebari 14 negeri di Buru. Namun masyarakat Iha dan Kulor tidak memiliki “tanah” apa pun di wilayah Buru tersebut, sehingga “tidak mungkin bagi mereka untuk memperoleh penghidupan yang layak”49. Itulah sebabnya mereka mengajukan permohonan kepada aparat pemerintah pada bulan September agar diizinkan pindah ke Luhu, agar “dengan penuh semangat melaksanakan pengabdian dan pelayanan kepada kompeni bersama orang-orang Luhu asli di sana”50. Permintaan ini telah dikirim oleh pemerintah kepada Pemerintah Tertinggi di Batavia dan sedang dipertimbangkan sambil menunggu tanggapan. Pada tanggal 11 Maret 1732, jawaban positif diterima dari Batavia melalui kapal Boekenrode. Pada pertemuan Raad van Politie tanggal 20 Maret, kepala/pemimpin negeri dari orang-orang buangan ini dipanggi dan permintaan mereka disetujui. Hal ini menyatakan “dengan rekomendasi yang serius bahwa mulai sekarang kami akan mematuhi tugas-tugas kami dengan ketat, jika tidak, kami akan dikenakan hukuman berat jika kami gagal melakukannya tanpa kepatuhan lebih lanjut”51. Sebagai persiapan keberangkatan mereka dari Buru,orang Iha dan Kulor dibebaskan dari tugas layanan negara. Hal serupa juga terjadi di Luhu sampai mereka membangun pemukiman sendiri di sana.
![]() |
Peta oleh Johannes Hogeboom, ca. 1660 |
Anehnya, penduduk pribumi Seram ini meminta pindah ke Luhu dan bukan ke tempat sebelumnya. Tidak sepenuhnya jelas Luhu mana yang dimaksud, karena ada 2 negeri bernama Luhu : 1 di semenanjung Hoamoal dan 1 lagi di Manipa. Tapi itu mungkin Luhu yang di Manipa, karena dalam resolusi tertanggal 17 Oktober 173252 disebutkan bahwa ”bekas Raja Polillij, menurut keterangan Opperhoofden Jan van Oordt, dalam surat tertanggal 30 September lalu, menunjukkan ketekunan dan semangat yang luar biasa untuk segera membangun pemukiman baru di sana”53. Kita tahu bahwa Jan van Oordt adalah Opperhoofden karesidenan Hila (yang mungkin berhubungan dengan wilayah Hitu). Karena Hoamoal benar-benar tidak berpenghuni, kecuali Luhu, negeri ini kemungkinan besar berada di bawah yuridiksi Hitu. Dalam resolusi tanggal 17 Oktober 1732 ini, diputuskan bahwa bekas Raja Iha (disebut Poillilij) ”karena kebaikannya selama pengasingannya dan semangatnya dalam membangun pemukiman baru di Loehoe, sekali lagi jabatan rajanya atas Iha diampuni dan dipulihkan”54. Oesman terpilih sebagai Orangkaija Kulore [Kulur] setelah penyelidikan terhadap pencalonannya dilakukan oleh 2 orang pegawai kompeni. Seperti biasa, VOC sekali lagi mengingatkan mereka akan tugas mereka : “dengan rekomendasi yang serius, pertama-tama, bersama-sama satu sama lain, untuk membuat 1 kora-kora baru selama ekspedisi hongi yang akan datang, dan kemudian untuk melakukan layanan kuarto seperti biasa bersama-sama dengan orang-orang Loehoe”55.
2.4 Bagian akhir.
“Aparat di Maluku harus
memenuhi tujuan pendirian kompeni/perusahaan : untuk mencapai keuntungan setinggi
mungkin demi kepentingan pemegang saham. Memelihara ketertiban dan perdamaian
memiliki tujuan finansial : semakin sedikit konflik, semakin sedikit biaya yang
ditanggung kompeni dan semakin besar manfaat yang bisa dihasilkan di Maluku”56.
Dengan ini para penulis Natur en samenleving van de Molukken, merangkum
dengan sangat ringkas apa yang harus dilakukan kompeni/perusahaan adalah ketika
mereka bertindak sebagai mediator dalam konflik masyarakat pribumi dan gangguan
suksesi kepala/pemimpin negeri. Bagaimanapun, konflik merupakan ancaman
terhadap ketertiban dan perdamaian, dan oleh karena itu, terhadap produksi
cengkih, yang menjadi landasan segalanya. Bagaimanapun, mengamankan budidaya
cengkih -dan monopolinya- adalah tujuan utama dibalik semua tindakan
yang diambil oleh kompeni. “Pax Neerlandica”, yang didirikan oleh militer
sekitar tahun 1656, harus dijaga setiap saat. Namun, pada bab berikutnya, kita akan
melihat bahwa ancaman terhadap ketertiban dan perdamaian di kepulauan Ambon
tidak hanya datang dari dalam.
===== bersambung ====
Catatan Kaki
1. Knaap, Kruidnagelen en christenen, 37.
2. Boelens, Fraassen & Straver, Natuur en samenleving van de Molukken, 215, Knaap, Kruidnagelen en christenen, 39-40.
3. Knaap, Kruidnagelen en christenen, 38, 41 & 65.
4. Ibidem, 41-44, 49-53 & 65.
5. Knaap, Kruidnagelen en christenen, 381-387.
6. Ibidem, 43.
7. Idem.
8. Ibidem, 44.
9. VOC 2235a, missive, folio's 865-867 (35).
10. Idem.
11. VOC 2283a, resolutie 17-12-1732, folio's 192-193.
12. Lihat daftar sumber pada tabel 10 untuk referensi ke seluruh resolusi ini.
13. VOC 2235a, resolutie, folio's 923-927.
14. VOC 2235a resolutie, folio 926.
15. VOC 2235a resolutie, folio's 926-927.
16. Knaap, Kruidnagelen en christenen, 44.
17. Ibidem, 44-45.
18. Ibidem, 45.
19. VOC 2235a resolutie, folio 925.
20. VOC 2235a resolutie, folio's 162-163.
21. VOC 2235b resolutie, folio 7
22. Knaap, Kruidnagelen en christenen, 177 & 204-205 / Boelens, Fraassen & Straver, Natuur en samenleving van de Molukken, 208.
23. VOC 2283a resolutie, folio's 171-172.
24. Idem.
25. VOC 2283a resolutie, folio's 172.
26. VOC 2235a resolutie, folio's 914-917.
27. VOC 2235a missive, folio's 886-889 (42-43).
28. Negeri Kilang, Nusaniwe, Hatalai dan Naku terletak di jazirah Leitimor, negeri Hatu terletak di Seberang teluk Ambon di jazirah Hitu; lihat peta 4
29. VOC 2235a missive, folio 886 (42).
30. VOC 2235a resolutie, folio 915.
31. Referensi dibuat untuk surat-surat dari 23-02-1695, 27-02-1699, 27-01-1701 dan 31-01-1705
32. VOC 2235a, missive, folio 887 (43).
33. VOC 2235a resolutie, folio 916.
34. Idem.
35. VOC 2235a missive, folio 888 (43).
36. VOC 2283a missive 25-09-1733, folio's 82-83 (60).
37. VOC 2283a missive, folio's 82-83 (60).
38. VOC 2283a missive, folio's 83 (60).
39. VOC 2283a missive, folio's 66-68 (55-56).
40. Negeri Elpaputih berada dalam yuridiksi Seram Saparua; lihat peta 3
41. VOC 2283a missive, folio's 66 (55).
42. VOC 2283a resolutie, folio's 168-171.
43. VOC 2283a missive, folio's 67 (55).
44. VOC 2283a missive, folio's 67-68 (56).
45. VOC 2283a resolutie, folio's 170.
46. VOC 2283a missive, folio's 66-68 (55).
47. VOC 2283a resolutie, folio's 168-171.
48. Penduduk Seram Utara dan Timur, wilayah yang tidak berada dalam pengawasan VOC; Lihat bab 3
49. VOC 2235a resolutie, folio's 184
50. Idem.
51. VOC 2235a, resolutie, folio's 185.
52. VOC 2283a resolutie, folio's 158-162.
53. VOC 2283a resolutie, folio's 161.
54. VOC 2283a resolutie, folio's 161-162.
55. VOC 2283a resolutie, folio's 162.
56. Boelens, Fraassen & Straver, Natuur en samenleving van de Molukken,168.
Catatan Tambahan
- Pada tahun 1647, di masa pemerintahan Gubernur van Amboina, Gerard Demmer, masyarakat mulai diperintahkan untuk menetap di wilayah pesisirr agar mudah diawasi oleh VOC
- Pattij van Halong yang meninggal, kemungkinan besar bernama Pedro Lekehenila yang juga adalah ayah dari Theodorus Lekehenila. Ia telah disebut sebagai Pattij van Halong dalam tahun 1699 – 1706. [Berdasarkan informasi lanjutan dari resolusi tersebut, dinyatakan bahwa karena pengabdian ayahnya selama bertahun-tahun……dst….. maka kemungkinan Pedro Lekehenila masih menjadi Pattij van Halong beberapa tahun setelah tahun 1706 hingga ia meninggal. Ini berarti bahwa “rentang waktu” antara Pedro Lekehenila meninggal dengan proses pencalonan Pattij van Halong di tahun 1732 itu ada dalam rentang yang tidak terlalu jauh, antara “10an-20an tahun” saja dan ini berimplikasi pada kemungkinan besar dan logis bahwa Pedro Lekehenila adalah ayah dari Theodorus Lekehenila]
§ Gerrit Knaap, Memories van overgave van Gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw, hal 304
§ Hendrik Niemeijer, dkk, Bronnen betreffende Kerk en School in de gouvernmenten………..eerste deel, tweede band, hal 200 dan 235
§ Francois Valentijn, Oud en Nieuwe Oost Indische, deel 3, [Omstandig Verhaal van de Geschiedenissen en Zaaken het Kerkelyke ofte den Godsdienst betreffende zoo in Amboina……..], Eerste boek, vyfde hoofdstuk, hal 145
- Figur Salvador Ancotta Halang ini dugaan kami mungkin sama dengan figur yang disebut oleh Francois Valentijn yaitu Don Salvador Janszoon sebagai Pattij van Halong yang menjadi ouderling sepanjang tahun 1665 – 1674
§ Francois Valentijn, Oud en Nieuwe Oost Indische, deel 3, [Omstandig Verhaal van de Geschiedenissen en Zaaken het Kerkelyke ofte den Godsdienst betreffende zoo in Amboina……..], Eerste boek, vyfde hoofdstuk, hal 142 – 143
§ [dugaan kami ini berdasar dengan memperhatikan dan mempertimbangkan informasi dari Francois Valentyn serta isi resolusi di atas, dimana disebutkan bahwa keluarga Ancotta Halang tidak lagi menjabat sejak tahun 1687, dan informasi dari Francois Valentyn yang menyebut bahwa Don Salvador Janszoon diberhentikan sebagai Ouderling pada tahun 1674. Ini berarti jarak antara 1674 ke 1687 adalah 13 tahun, dimana bisa saja Don Salvador Janszoon masih menjadi Pattij van Halong beberapa tahun setelah tahun 1674. Selain itu, Salvador Ancotta Halang yang dikatakan sebagai kakek dari Hendrik dan Allexander Ancotta Halang, bisa dianggap “sebaya” dengan Don Salvador Janszoon itu]
- Figur Don Andrea Ankotta Halang, mungkin juga adalah figur yang sama dengan figur yang disebutkan oleh arsip-arsip VOC yaitu Don Andres atau Don Andrea atau Don Andries sebagai Pattij Halong pada tahun 1605 - 1627
§ Gerrit Knaap, Memories van overgave van Gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw, hal 10, 16
§ Francois Valentijn, Oud en Nieuwe Oost Indische, deel 2, [Ambonsche Zaaken], Eerste boek, vierde hoofdstuk, hal 38, 39, 46, 47,67
- C.G.H. Kraus atau Christoffel Godloff. H. Kraus adalah sekretaris Raad van Politie [lihat artikel bag 2a]
- Jan Jochemsz adalah seorang onderkoopman yang juga anggota Raad van Politie [lihat lampiran 1]. Pada akhir tahun 1734, ia menjadi Opperhoofden van Wayer di Banda
- Patih van Haria yang dimaksud kemungkinan besar bernama Cornelis Tarahate sesuai arsip gereja atau Cornelis Jan Talehatua sesuai arsip VOC. Cornelis Tarahate telah disebutkan sebagai Pattij van Haria dalam tahun 1695
§ Hendrik Niemeijer, dkk, Bronnen betreffende Kerk en School in de gouvernmenten………..eerste deel, tweede band, hal 116
§ [dugaan kami didasarkan pada informasi di atas yang menyebutkan bahwa Pattij van Haria meminta berhenti karena usia tua dan………seterusnya….. ini berarti bahwa Pattij van Haria tersebut menjabat posisi itu bertahun-tahun lamanya, sehingga figur Cornelis Tarahate atau Cornelis Jan Talehatua bisa dianggap logis sebagai figur yang dimaksud]
- Orangkaija van Buano yang dimaksud mungkin bernama Titameten yang telah disebut sebagai orangkaija van Buano dalam tahun 1709
§ Francois Valentijn, Oud en Nieuwe Oost Indische, deel 2, eerste boek, derde hoofdstuk, hal 185
§ [dugaan kami serta alasannya sama dengan penjelasan kami mengenai Pattij van Haria pada catatan tambahan huruf g]
- Jeremias de Rooij masih disebut sebagai Radja van Kilang dalam tahun 1740 – 1743
§ Hendrik Niemeijer, dkk, Bronnen betreffende Kerk en School in de gouvernmenten………..eerste deel, tweede band, hal 378, catatan kaki nomor 992
§ Gerrit Knaap, Memories van overgave van Gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw, hal 342
- Anthonij d’Soijsa telah disebut sebagai Radja van Nusanive dalam tahun 1691
§ Francois Valentijn, Oud en Nieuwe Oost Indische, deel 3, [Omstandig Verhaal van de Geschiedenissen en Zaaken het Kerkelyke ofte den Godsdienst betreffende zoo in Amboina……..], Eerste boek, vyfde hoofdstuk, hal 144
- Menurut sumber Francois Valentijn, negeri Hatalai dan Naku berada “dibawah” yuridiksi Negeri Kilang, sedang Negeri Nussanive membawahi negeri Amahusu, Pauta, Cappa, Seri, Hatoe, dan Sima
§ Francois Valentijn, Oud en Nieuwe Oost Indische, deel 2, tweede boek, vierde hoofdstuk, hal 47
- Orangkaija van Hatalai mungkin bernama Pieter Lopies yang telah disebut sebagai orangkaija van Hatala [Hatalai] dalam tahun 1709
§ Francois Valentijn, Oud en Nieuwe Oost Indische, deel 3, [Omstandig Verhaal van de Geschiedenissen en Zaaken het Kerkelyke ofte den Godsdienst betreffende zoo in Amboina……..], Eerste boek, vyfde hoofdstuk, hal 146
- Orangkaija van Naku mungkin bernama Abraham Muskita, yang disebut sebagai Orangkaija van Naku dalam tahun 1743
§ Gerrit Knaap, Memories van overgave van Gouverneurs van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw, hal 342
- Kami belum mengetahui identitas Orangkaija van Hatu pada periode tahun 1732 itu.
- Pengertian Seram Haruku adalah wilayah atau dalam hal ini negeri-negeri di pesisir selatan pulau Seram yang “masuk” dalam yuridiksi administratif karesidenan Haruku. Sedangkan wilayah atau negeri di pesisir Selatan pulau Seram yang “masuk” dalam yuridiksi administratif karesidenan Saparua disebut Seram Saparua. Wilayah pesisir selatan pulau Seram yang masuk dalam yuridiksi karesidenan Haruku adalah dari negeri Latu – Rumahkai.
§ Knaap, Gerrit. J, Kruidnagelen en christenen; De VOC en de bevolking van Ambon 1656-1696. Leiden 2004, hal 106
Fraasen, Chr. Fr. Bronnen Betreffende Midden Molukken 1796 – 1902 (Register name Saparua Residentie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar