[Hubert Jacobs]
A. Kata Pengantar
Mungkin sebagian besar dari kita di masa modern ini, terkhususnya yang tinggal di kota Ambon atau di Maluku, tidak lagi mengingat, mungkin juga tidak tahu, bahwa sebenarnya kota Ambon adalah kota Portugis. Sebuah kota yang “diciptakan” oleh Portugis hampir 450 tahun yang lalu. Saat mereka meletakkan batu pertama pembangunan benteng Nossa Senhora da Anunciada, yang nantinya berganti nama menjadi Victoria dan Niew Victoria, di saat itulah Ambon sebagai sebuah kota “dilahirkan”.
Melalui tulisan dari almarhum Hubert Jacobs ini kita mengetahui wajah kota Ambon pada 30 tahun pertama sejak “pendiriannya” itu, dari tahun 1576-1605. Tulisan ini berjudul The Portuguese Town of Ambon, 1576-1605, yang awalnya merupakan paper yang dipresentasikan pada The Second International Seminar on Indo-Portuguese History, di Lisbon, Oktober 1980. Paper ini kemudian diterbitkan dalam buku dengan judul II Seminario Internacional De Historia Indo-Portuguesa, dieditori oleh Luis de Albuquerque dan Inacio Guerreiro, dan diterbitkan oleh Instituto de Investigacao Cientifica Tropical Centro de Estudos de Historia e Cartografia Antiga, di Lisboa, pada tahun 1985. Pada buku ini, terdapat 57 tulisan, dimana tulisan dari Hubert Jacobs berada pada halaman 601-614. Selain tulisan dari Hubert Jacobs, ada tulisan dari John Villiersa, George.D. Winiusb, C.R. Boxerc, M.N. Pearsond, G.V. Scammele, Anthony Disneyf, dan lain-lain.
Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa Hubert Jacobs menyajikan wajah kota Ambon 30 tahun pertama sejak pendiriannya. Ia menampilkan wajah kota itu untuk kita ketahui, melalui pemaparannya pada aspek kehidupan masyarakat, aspek kehidupan gerejawi dan kesejarahannya dalam 14 halaman tulisannya, dan 70 catatan kaki ini.
Kami hanya menerjemahkan, menambahkan sedikit catatan tambahan dan beberapa lukisan/gambar dalam tulisan terjemahan ini. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita dalam pemahaman tentang wajah sebuah kota yang kita tempati atau mungkin pernah kita singgahi dalam perjalanan kehidupan kita sebagai orang Ambon.
B. Terjemahan
Tulisan ini membahas tentang kota Ambon di pulau dengan nama yang sama di Kepulauan Maluku, yang terletak di Indonesia antara Sulawesi dan Irian Jaya [Papua]. Sejak didirikan pada tahun 1576 hingga direbut/ditaklukan oleh Belanda pada tahun 1605, kota ini merupakan kota Portugis. Kini, kota ini berpenduduk lebih dari 100.000 jiwag, ibu kota Provonsi Maluku, dan tempat kedudukan uskup Katolik.
1. Sumber dan Literatur
Sumber tentang kota Portugis dan sejarahnya sangat sedikit, masing-masing hanya memuat sedikit informasi. Sumber-sumber Portugis (misalnya Coutoh, Relacao Vasconcelos1, surat-surat Jesuit2), hampir secara eksklusif membahas benteng, eksploitasi perang, perdagangan cengkih, dan misi. Laporan-laporan Belanda menggambarkan kota itu sedikit lebih banyak (Rumphius3, Valentyn4, dan dokumen-dokumen yang dikumpulkan oleh Tiele5), tetapi perhatian mereka terutama difokuskan pada pengontrolan Belanda atas wilayah itu dan pada renovasi-renovasi yang dilakukan untuk mengamankannya. Di antara dokumen-dokumen karya Tiele, ada satu judul “Deskripsi pulau, kota, dan kastil Ambon”, yang ditulis hanya beberapa tahun setelah penaklukan.
Mengenai literatur, satu-satunya sejarahwan yang secara eksplisit mencoba menggambarkan secara tertulis kota Ambon pada masa Portugis adalah – sejauh yang saya ketahui – adalah H.J. de Graaf6. Karyanya berbahasa Belanda; dia sangat ringkas dalam penjelasannya; dan dia tidak menggunakan sumber baru apa pun.
A. Kehidupan Sipil
2. Pendirian
Kekuasaan Portugis di Maluku mulai memudar setelah tahun 1550. Situasi menjadi kritis melalui 2 peristiwa fatal : pembunuhan Sultan Hairun pada tahun 1570i, dan takluknya benteng Portugis di Ternate pada tahun 1575j. Ternate, yang awalnya merupakan pengikut dan sekutu Portugal, menjadi musuhnya yang paling kejam. Pos-pos terdepannya berada di dekat dan di kepulauan Ambon, pertama, di semenanjung kecil paling barat Seram yang disebut Hoamoal (Portugis menyebutnya Veranula) dimana Luhu, Kambelo, dan Lesidi merupakan benteng dan pos perdagangan Ternate; kedua, di semenanjung utara Ambon, yang disebut Hitu, 2 desa Hitulama dan Hitumesing, dimana gabungan federal sekitar 30 desa/negeri atau kampong. Negara federal ini menentang Portugis karena banyak alasan : bersekutu dengan Ternate, beragama Islam, berdagang dengan orang Jawa sehingga merugikan monolopli cengkih Portugis, dan menjadi bagian dari apa yang disebut Ulilima . Ulilima ini merupakan “faksi” atau “kelompok” kuno orang Ambon, yang secara tradisional berlawanan dengan Ulisiwa, yang merupakan bagian dari negeri-negeri Kristen di semenanjung lainnya, yaitu Leitimor. Dalam situasi ini, Portugal membutuhkan pijakan yang kuat di daerah Ambon untuk mempertahankan orang Kristen dan kapal-kapal cengkih yang, sebelum berlayar kembali ke Malacca, harus menunggu musim hujan di teluk yang memisahkan kedua semenanjung tersebut.
Merasakan adanya masalah yang akan datang, penguasa Portugis sebelumnya
telah memberikan perintah untuk membangun benteng lain, dan membangunnya di
Pulau Ambon. Goncalo Perira Marramaquek mendirikan sebuah bangunan
kayu di pantai utara pada tahun 1569. Pada tahun 1572, bangunan tersebut
dipindahkan ke lokasi yang lebih cocok di sisi utara telukl. Sekarang
Sancho de Vasconcelos yang harus memimpin operasi tersebut. Secara
berturut-turut ia membangun benteng sementara di Gelala, benteng yang lebih
tahan lama di Batumerah, keduanya terbuat dari kayu, dan akhirnya benteng
berbatu permanen di tempat yang sama dengan lokasi kota Ambon sekarang. Dan
karena orang-orang Kristen tidak merasa aman di desa-desa yang agak jauh dari
benteng, mereka menetap di sekitarnya. Dengan cara ini benteng dan kota
terbentuk hampir pada waktu yang bersamaan. Benteng tersebut dihuni pada bulan
Juni atau Juli 15767.
3. Benteng
Melalui surat Kapten Estevao Teixeira de Macedo tertanggal 2 Juni 16018, kita mengetahui bahwa benteng itu bernama Nossa Senhora da Anunciada. Mungkin kita dapat menyimpulkan dari kebiasaan Portugis bahwa batu pertama diletakkan pada tanggal 25 Maret 1576, hari raya Kabar Sukacita9.
Ketika, pada bulan Juli 1576, Sancho de Vasconcelos menduduki atau menghuni benteng itu, setelah membakar benteng kayu di Batumerah, tentu saja benteng itu belum sepenuhnya selesai. Sejarahwan Belanda menceritakan bahwa benteng itu belum selesai dibangun hingga tahun 158810. Dari sumber-sumber Portugis, kita hanya mengetahui bahwa penerus Vasconcelos, yaitu Kapten Antonio Pereira Pinto, memperkuat dan menyelesaikannya pada tahun 1592-159311. Jenderal Andre Furtado de Mendonca dilaporkan telah mengecilkannya menjadi ukuran yang lebih kecil pada tahun 160212.
Bentuknya persegi dengan 4 menara atau “benteng” di sudut-sudutnya13, yang menghadap ke arah air [laut] dan lebih kuat daripada yang menghadap ke sisi daratan14. Di antara 2 menara atau “benteng” yang pertama terdapat kediaman kapten dan ruang pertemuan. Alun-alun pusat berisi sebuah sumur, tempat tinggal sederhana untuk para pejabat, dan beberapa gudang.
Lukisan/gambar tangan benteng tersebut disimpan atau tersimpan di Map Library pada The Bristish Library di London15, dan lukisan serupa ditemukan dalam bentuk cetakan di beberapa publikasi16. Karena salah satu hal pertama yang dilakukan Belanda pada tahun 1605 adalah menggali parit di sekeliling tembok, dan karena gambar-gambar tersebut tidak menunjukkan parit seperti itu, maka gambar-gambar tersebut dengan jelas menggambarkan benteng tersebut pada masa sebelum tahun 1605 atau dalam bentuk di masa Portugis. Pada salah satu gambar yang dicetak, disebutkan bahwa benteng ini “dibangun” pada tahun 1607.
Benteng ini sama sekali bukan benteng yang kuat, tetapi selama hampir 30 tahun benteng ini berfungsi sebagai pangkalan yang aman untuk berbagai operasi, baik defensif maupun ofensif, dalam perang melawan pasukan Ternate-Hitu-Jawa. Pastor Lorenzo Masonio pada tahun 1599 menyebut benteng ini “esta minima forteleza”17 [atau benteng yang minim ini].
Salah satu komandan armada Belanda pertama yang tiba di perairan Maluku adalah Steven van der Haghen. Pada tahun 1600, ia berlabuh dengan armadanya di depan benteng ini, mengintai posisi dan kekuatannya, tetapi tidak dapat merebutnyam. 5 tahun kemudian, ia kembali dengan armada yang kuat dan merebutnya, yang secara mengejutkan menyerah tanpa melepaskan satu tembakan pun. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 23 Februari 1605. Ini adalah akhir dari periode Portugis : benteng dan kota tersebut menjadi milik Belanda selama sekitar 350 tahun. Hingga saat ini, benteng tersebut yang telah diperluas tetapi rusak parah selama Perang Dunia II, merupakan pusat kota.
4. Kota
Kota di sekitar benteng membentang di sepanjang pantai selatan teluk besar antara sungai-sungai kecil, [yaitu] Wai Batu Gajah di barat, dan Wai Batu Merah di timur, sementara 3 anak sungai lainnya melintasi kota itu : Wai Tomo, Wai Alat, dan Wai Titar. Situs ini adalah salah satu yang langka dimana alam membentuk daerah datar di antara pegunungan dan teluk. Kota Portugis itu belum “berkembang” ke arah perbukitan Soya, seperti yang ada di kota masa kini. Kota itu juga tidak bertembok18. Para Jesuit harus membangun “benteng” dari tanah di sekitar tempat tinggal mereka dan tembok berbatu di sekitar taman mereka untuk melindungi diri dari serangan tiba-tiba dari beberapa desa musuh mereka19, Meskipun karakternya terbuka, Ambon secara resmi menyandang gelar dan hak istimewa bagi sebuah kota, Cidade de Amboino, sebagai pengakuan atas keberaniannya yang ditunjukkan pada tahun 1600 dalam mempertahankan diri melawan gabungan pasukan Hitu-Belanda20.
Konsep dan penyajian kita tentang kota Ambon didukung oleh gambar kontemporer yang memperlihatkan armada Van der Haghen di depan benteng dan tentara Belanda yang memasukinya. Gambar tersebut menggambarkan benteng, satu gereja di dekatnya, dan -tanda yang tidak terbantahkan dari karakter Portugisnya – 4 salib (cruzeiros) di alun-alun21.
Sejak awal , kota ini dibagi menjadi beberapa wilayah kota menurut kelompok penduduk dari berbagai asal : para casados Portugis, Mardika22, penduduk dari desa Hatiwi, Tawiri, Halong, Nusaniwi, dan Wai. Pada masa Belanda, komposisi penduduk kota ini agak berubah, tetapi nama-nama wilayah kota seperti Mardika, Halong, Hatiwi, dan Nusaniwi bertahan hingga saat ini. Semua penduduk kota beragama Kristen.
5. Otoritas Sipil
Pendiri kota Ambon juga merupakan kapten pertamanya : [yaitu] Sancho de Vasconcelos. Di antara semua pejabat Estado da India, dia mungkin adalah orang yang memecahkan semua rekor dengan masa jabatan paling lama, hampir 20 tahun : 1571-1591. Selama periode kepemimpinannya, terjadi 2 kali penunjukkan pejabat untuk menggantikannya yaitu Agostinho Nunes pada tahun 1579, yang terbunuh di dekat Surabaya dalam perjalanannya menuju pos barunya di Ambon23, dan Goncalo de Sousa de Mendonca pada tahun 1578, yang tidak pernah menjalankan tugasnya karena alasan yang tidak kita ketahui24. Kapten Ambon yang benar-benar menggantikan Vasconcelos adalah Antonio Pereira Pinton, Joao Caiado de Gamboao, Estevao Teixeira de Macedop, dan Gaspar de Meloq, yang menyerahkan benteng tersebut pada tahun 160525.
Secara teoritis Ambon mempunyai pejabat yang lengkap, seperti terlihat dalam peraturan Despezas da Fortaleza de Amboino26. Namun, praktik tidak selalu sesuai dengan teori. Menurut Livro das Cidades, para kapten dibantu oleh para pejabat cargos seperti umumnya : seorang feitor, 2 orang escrivaes yang salah satunya adalah juiz do peso, dan yang lainnya adalah apontador, seorang ouvidor, dan seorang meirinho, dan kadang-kadang capitao-mor-do-mar27. Bahwa pada tahun 1597 dengan keputusan Raja Muda, Matias de Albuquerque, jabatan kapten den feitor digabungkan menjadi satu, yang dapat dianggap sebagai gejala depriasisi benteng Ambon dalam penghormatan oleh kantor pusat di Goa28. De Graaf menunjuk pada penggunaan sebutan orangkaya camera pada masa Belanda, melihatnya sebagai penanda dari dewan kota atau camara yang sudah ada sebelum kekuasaan Portugis29. Setelah merebut kota tersebut, Laksamana Van der Haghen dilaporkan melanjutkan berbagai fungsi pemerintahan sebelumnya : “wali kota”, hakim, dan kantor juru sita yang tugasnya secara tradisional dilakukan oleh orang Jepang30.
Salah satu tugas utama otoritas sipil adalah mengatur layanan, baik sipil maupun militer, yang akan diberikan oleh desa-desa di bawahnya. Belanda menemukan dan membuktikan fakta bahwa organisasi tersebut sudah sempurna. Setiap desa atau pulau mengetahui berapa banyak kora-kora atau kapal perang, dan berapa banyak tentara dan pendayung yang harus disediakannya. Pada gilirannya mereka harus datang dan bekerja di benteng; tahu secara persis di bulan dan minggu apa; dan bahwa jika lalai, mereka akan didenda31. Bahwa di antara para pejabat tinggi benteng dan kota itu terjadi pertikaian serius yang terungkap melalui surat pada tahun 1605 : para Jesuit mendamaikan kedua belah pihak32. Pertikaian dan perpecahan ini mungkin menjelaskan mengapa benteng itu menyerah dengan mudah pada saat kritis.
B. Kehidupan Gerejawi
6. Gereja-Gereja
Pada tahun 1605, kota Ambon memiliki 4 gereja33. Gereja pertama dan tertua adalah gereja paroki atau gereja benteng bagi orang Portugis. Gereja ini dilayani oleh seorang vikaris, seorang pendeta sekuler yang ditunjuk oleh uskup Malacca, yang keuskupannya meliputi seluruh wilayah Maluku. Rumphius menyebut gereja ini bernama Santo Paul34. Menurutnya, gereja ini terletak di sepanjang pantai di sisi barat daya benteng35. Despezas, yang dikutip sebelumnya, juga memuat paragraf tentang “ho vigario da Fortaleza [atau pendeta benteng]” dan pejabat gereja lainnya36.
Gereja kedua adalah gereja Misericordia. Perkumpulan ini didirikan oleh Sancho de Vasconcelos, atas permintaan para pastor Jesuit pada tahun 1579. Perkumpulan ini bertanggung jawab atas sebuah rumah sakit37, dan memiliki sebuah gereja di dekatnya38. Gereja ini terletak di dekat sisi tenggara benteng.
Gereja-gereja lainnya dilayani oleh para Jesuit. Gereja-gereja tersebut, meskipun tidak resmi, merupakan gereja paroki bagi umat Kristen lokal/pribumi, terutama dari Hatiwi dan Halong, karena orang Ambon tidak suka dan merasa malu menghadiri misa suci bersama orang Eropa39. Salah satunya adalah gereja Santiago, yang menyatu dengan kediaman para pastor; gereja lainnya dinamai menurut nama Santo Thomas. Masih diragukan dimana tepatnya gereja-gereja tersebut berasa, dan juga gereja mana yang sering dikunjungi oleh orang-orang Hatiwi dan gereja mana yang sering dikunjungi oleh orang-orang Halong. Pastor Bernardino Ferrari, Pengunjung dan Pimpinan Misi, yang membangun gereja-gereja tersebut pada tahun 158140. Jumlah jemaat paroki berfluktuasi; kedua paroki tersebut berjumlah antara 1600 dan 2200 jiwa41.
Van der Haghen menemukan di Ambon “ 4 gereja yang indah, dihiasi dengan patung dan gambar”. Ketika mengunjungi gereja Jesuit yaitu Santiago, ia mendapati gereja tersebut “dibangun dengan baik dalam bentuk/cara lokal”, yang berarti gereja tersebut tidak terbuat dari batu bata tetapi terbuat dari kayu dan bambu serta beratap daun palem42.
Mari kita tambahkan sedikit tentang rumah sakit. Sebelumnya kita sebutkan persaudaran / perkumpulan Misericordia, yang didirikan pada tahun 1579. Begitu gagasan itu mulai beredar, sedekah mengalir dari semua pihak hingga mencapai jumlah total seribu pardaus. Dengan uang ini, sebuah rumah sakit dibangun untuk merawat orang sakit43. Dalam peraturan Despesaz, rumah sakit itu disebut sebagai “O ospital de Sua Magestade”; rumah sakit itu harus menerima tunjangan tahunan sebesar seratus ribu reis untuk orang sakit, dokter, ahli bedah, dan para pelayan, dan uang ini dibayarkan kepada provedor dan para bruder Misericordia yang mengelola rumah sakit44.
Sumber-sumber Belanda paling awal menyebutkan tentang sebuah gereja di dekat benteng, dimana terdapat juga sebuah rumah sakit, yang disebut Misericordia, tempat orang-orang Portugis yang sakit dan malang dirawat45.
Ketika Andre Furtado de Mendonca tinggal di Ambon pada tahun 1602 dan menaklukan desa-desa yang bermusuhan, ia memerintahkan untuk mendirikan sebuah rumah sakit militer “yang merupakan pengobatan terakhir bagi banyak prajurit yang akan meninggal tanpa pengobatan”. Salah seorang pendeta armada, seorang Jesuit, yaitu Pastor Sebastiao de Veiga, bertanggung jawab atas rumah sakit itu. Tentu saja, rumah sakit itu hanya bersifat sementara46.
Tidak ada sumber Portugis yang secara langsung menyebutkan keberadaan sekolah di kota itu. Dalam surat-surat mereka sendiri, para Jesuit, yang pada masa lampau telah mendirikan sekolah di Ternate47, tidak pernah dilaporkan mendirikan sekolah di Ambon. Namun, karena mereka menganggap doktrin Kristen sebagai tugas utama mereka, mereka mungkin telah memberikan banyak pelajaran. Untuk menyebarkan iman Katolik, mereka mendatangkan anak-anak muda dari semua desa ke kota itu untuk dididik dengan baik. Murid-murid ini dimaksudkan untuk kembali ke rumah mereka sendiri dan mengajar sesama penduduk desa48. Ketika, pada tahun 1607, komandan Belanda di Ambonr bertanya kepada penduduk kota apakah mereka puas dengan kekuasaan Belanda, mereka mengeluh bahwa mereka kehilangan semua pengajaran setelah para Padre pergi49. Pendeta Protestan, Sebastiaen Danckaerts menulis pada tahun 1618 bahwa, secara berkala, Belanda telah mendirikan sebuah sekolah “yang mengikuti gaya dan prinsip Portugis”. Baginya, jelas bahwa sebagai seorang pendeta, ia sendiri harus menyelenggarakan kelas-kelas, mungkin mengikuti contoh para Jesuit50. Semua indikasi menunjukkan fakta bahwa semacam pengajaran di sekolah di praktikan di Ambon, kota [orang] Portugis.
7. Pendeta
Meskipun para pendeta bukanlah orang-orang terpenting di Ambon (meski bukan juga tidak penting), namun kita lebih banyak mendapat informasi tentang mereka daripada tentang banyak orang lainnya.
Gereja paroki atau gereja garnisun memiliki pendeta resmi paroki, yang dikirim oleh uskup Malacca. Ia dapat dibantu oleh satu atau lebih rekan atau pendeta51. Namun selama bertahun-tahun sumber-sumber tidak menunjukkan adanya pendeta Ambon yang sebenarnya. Para Jesuit yang ditempatkan di sana pada awal tahun 1578 harus memberikan sakramen kepada orang Portugis dan penduduk lokal/pribumi karena tidak ada pendeta lain52. Hingga tahun 1587, seorang pendeta pertama disebutkan, namun ia meninggalkan kesan yang buruk. Ia dipenjarakan oleh Komisaris Inkuisisi Suci, Pastor Jesuit, Antonio Marta, karena alasan yang tidak disebutkan dengan jelas53. Kehadiran vikaris terakhir sering disebutkan setelah tahun 1588. Lebih dari sekali terjadi konflik dengan para Jesuit karena pengecualian dan hak istimewa yang tidak ingin diakui oleh para vikaris, suatu situasi dimana biaya yang harus dibayarkan kepada para pendeta sekuler untuk pelayanan pastoral memainkan peran penting54. Pada tahun 1605, Belanda hanya menemukan 2 orang Jesuit tetapi juga seorang vikaris di Ambon55.
Apakah ada seorang pendeta khusus untuk gereja Misericordia? Tidak mungkin, mungkin vikaris atau salah satu pendetanya (jika ada) yang dipercayakan untuk itu. Sumber-sumber tidak melaporkannya.
Sejak zaman Santo Fransiscus Xaverius, para Jesuit telah bekerja di kepulauan Amboina. Lima dari mereka memasuki benteng baru bersama Vasconcelos pada tahun 1576. Setelah itu hanya ada 2 atau 3 orang di sebagian besar waktu. Di kota itu mereka memiliki tempat tinggal dan 2 gereja. Mereka juga bertanggung jawab atas desa-desa Kristen di semenanjung Leitimor dan mereka juga harus mengunjungi orang-orang Kristen di 3 pulau gugusan Lease, yaitu Haruku, Saparua, dan Nusalaut. Kunjungan-kunjungan ini tercatat selama beberapa tahun. Jadi wilayah Ambon merupakan pusat pastoral untuk wilayah yang luas, meskipun dalam beberapa tahun keadaan perang yang terus menerus menghalangi pelayaran para pastor tersebut. Setelah kehilangan Ternate pada tahun 1575 dan sebelum benteng baru di Tidore berdiri, Ambon selama beberapa tahun menjadi markas besar seluruh misi Jesuit Maluku. Setelah itu, pemimpin misi tersebut menduduki jabatannya di Tidore, tetapi jabatannya mengharuskannya untuk mengunjungi wilayah Ambon secara teratur. Meskipuntidak ada vikaris sekuler yang diketahui, nama-nama semua Jesuit yang pernah ditempatkan di Ambon tercantum secara lengkap dalam sumber-sumber tersebut. Orang-orang terkemuka di antara mereka adalah para pemimpin misi Bernardino Ferrari, Antonio Marta, Lorenzo Masonio, dan Luis Fernandes56.
Akhirnya, perlu disebutkan tentang kunjungan singkat 2 orang kaum Fransiskan Portugis di kota Ambon, pada tahun 1592-1593. Kemungkinan besar, karena jumlah kaum Jesuit selalu sedikit, Pemimpin Misi, Antonio Marta, tidak keberatan dengan kedatangan mereka, bahkan mungkin ia menyetujuinya. Di sepakati bahwa para biarawan harus mengambil alih misi di Ambon dari para Jesuit, dan mereka telah melayani gereja paroki, Santo Thomas. Akan tetapi, ketika para Jesuit bersiap untuk pergi, umat, pendeta, dan kapten memprotes penarikan mundur para pemimpin spiritual mereka dalam sebuah demonstrasi niat baik di depan gereja Santiago, dan mereka menurunkan layar dan kemudi kapal yang akan ditumpangi. Para Fransiskan, melihat hal ini, mengambil tindakan yang paling bijaksana dan berangkat ke Malacca. Mereka telah tinggal di Ambon tepat satu tahun. Nama-nama mereka tidak tercatat57.
C. Aspek Kesejarahan
8. Sejarah
Pada bagian sebelumnya, banyak peristiwa sejarah Ambon telah diceritakan. Sejarah 30 tahun kota orang Portugis ini sebelumnya diwarnai oleh perang. Orang Hitu yang beragama Islam di semenanjung utara dulumya merupakan musuh Portugis dan orang Kristen. Mereka didukung oleh Sultan Ternate yang telah mengusir Portugis dari pulau mereka pada tahun 1575. Baik orang Hitu maupun Ternate menerima bantuan dari para penguasa Muslim di negara-negara pelabuhan Jawa, diantaranya adalah Tuban; sejak lama mereka telah memiliki hubungan dagang dengan Ambon dan telah memberikan pengaruh di sana. Sejak tahun 1599, Belanda bergabung dengan musuh-musuh ini.
Lebih dari sekali, perang itu dipentaskan dengan cara yang agung, yang diorganisir oleh para ulama Muslim dengan sumpah khidmat dari semua wilayah vassal Ternate dan menerbitkan “a titulo de su ley”, dengan “pengampunan penuh” bagi mereka yang akan mati di dalam perang58.
Kota Kristen Ambon, di sisi lain, didukung oleh serangkaian desa di Leitimor dan Lease yang pada gilirannya berharap untuk dilindungi oleh benteng tersebut. Kekristenan mereka, karena kurangnya perhatian pastoral dan sering kali hanya sebatas nama saja. Melihat kekuatan Portugis semakin melemah dan bekurang, dan mereka sendiri tidak sebanding dengan musuh, mereka merasa cenderung untuk menjauh dari Portugal dan Gereja. Meskipun kesetiaan heroik dan bahkan kemartiran tidak berkurang, desersi dan kemurtadan sering terjadi. Ini berarti hilangnya dukungan untuk benteng tersebut.
Namun para kapten mampu mempertahankan posisi mereka. Sancho de Vasconcelos adalah seorang laki-laki dengan keberanian yang tidak tertandingi, yang, karena selalu lebih cepat dan lebih licik daripada musuh-musuhnya, tahu bagaimana cara membalas dengan efektif. Kapten lainnya juga mempertahankan benteng tersebut dengan berani dan berhasil, terutama Antonio Pereira dan Estevao Teixeira de Macedo.
Kota ini dikepung oleh armada kora-kora milik komandan Ternate, Rubohongi pada tahun 159159, dan diblokade oleh armada lain selama 8 bulan pada tahun 159360. Pada tahun 1598, orang Jawa, selain “orang Moor”, menutup kota di sisi darat dan laut, sehingga tidak dapat memasok kebutuhannya sendiri61. Akhirnya, pada tahun 1600, musuh, yang didukung oleh kapal-kapal Belanda milik Steven van der Haghen, mengepung benteng dan kota tersebut, tetapi dalam pertempuran laut dan di darat, musuh berhasil dipukul mundur dan setelah 3 bulan, mereka berlayar menjauh62.
Orang Portugis Ambon bernafas lega ketika, pada tahun 1602, armada Andre Furtado de Mendonca tiba. Ia tinggal dari bulan Februari hingga Agustus, menaklukan semua desa Muslim Hitu, yang tampaknya menyerah dan membangun kembali kontrol Portugis. Namun, ketika berlayar ke utara dalam usaha yang sia-sia untuk merebut kembali benteng di Ternate, dan dari sana berangkat pulang ke Malacca, semuanya kembali ke situasi dan status semula.
Bagi penduduk kota, hidup adalah perjuangan terus-menerus melawan kelaparan atau dibunuh. Bahkan para pendeta bergantian berjaga di malam hari dan para Jesuit terpaksa menyimpan senjata dan perlengkapan di kediaman mereka untuk melindungi diri dari kejutan di malam hari.
Situasi yang berbahaya memaksa pihak berwenang untuk mengirim, 4 utusan ke Goa darimana semestinya bantuan selalu diharapkan tetapi jarang diberikan. Mereka menemui Matias de Albuquerque dan meminta bantuan melawan kaum Muslim63. Hasil dari misi ini tidak terbukti.
Akhirnya, pada tahun 1605, saat kedatangan kedua Van der Haghen, kota itu jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 23 Februari. Kapten Gaspar de Melo bukanlah sosok yang energik; ia menyerahkan benteng itu tanpa melakukan perlawanan, sangat bertentangan dengan pendapat Pastor Masonio64, namun dengan pesetujuan sekelompok casados dan pedagang Portugis yang mementingkan diri mereka sendiri65.
9. Pentingnya
Setelah benteng di Ternate jatuh ke tangan Sultan pada tahun 1575, Portugal tidak memiliki tempat berpijak lain di Maluku selain benteng Ambon. Di sanalah para pelarian dari Ternate mencari perlindungan, Sultan Tidore datang untuk menawarkan persahabatan kepada Vasconcelos, dan dari sanalah kaum awam dan para pastor dikirim ke Tidore untuk membangun bentengs dan gereja baru. Selain Tidore, Ambon tetap menjadi wilayah kedua selama 30 tahun, tempat wilayah kedua kehadiran Portugis di wilayah Maluku.
Tempat itu sangat penting karena 2 alasan. Pertama, di teluk Ambon yang besar, di depan kota dan di bawah naungan benteng, kapal-kapal cengkih kerajaan tahunan harus menunggai hingga musim hujan berakhir sebelum berlayar kembali ke Malacca. Kapal itu tiba dari Tidore pada akhir Februari dan berlayar lagi pada bulan Mei atau Juni. Begitu pula kapal-kapal yang berlayar dari Malacca yang mengambil rute Jawa, yaitu di sepanjang Pantai timur Sumatera dan utara Jawa, tiba di Ambon sekitar pertengahan Februari. Pada kapal-kapal ini, yang sarat dengan cengkih, dan pada saat mereka kembali dengan selamat ke Indonesia dari Ambon, sebagian besar kesejahteraan finansial Estado da India bergantung. Kehilangan Ambon akan berarti pukulan telak bagi kendali Portugis di Asia Tenggara.
Kedua, benteng dan kota itu sangat penting bagi pelestarian dan perlindungan agama Kristen di kepulauan Ambon. Agama Kristen mulai berkembamg dibawah pimpinan Kapten Ternate, Antonio Galvao, “Rasul Maluku” di tahun 1538, ketika 3 desa : Hatiwi, Amantelo, dan Nusaniwi, memeluk agama Kristen66. Semua desa Kristen di semenanjung Leitimor dan 3 pulau di gugusan Lease menerima kunjungan Santo Fransciscus Xaverius pada tahun 1546. Ia adalah pendiri misi Jesuit yang selanjutnya harus mengurus gereja Ambon. Meskipun karena kekurangan pendeta atau karena ketidakmungkinan untuk dikunjungi secara teratur selama masa peperanga, orang-orang tidak dapat dilayani atau diajarkan iman dan praktik kehidupan Kristen secara memadai, namun mereka tetap setia kepada Gereja dan Portugal. Baru setelah tahun 1560an, ketika pertentangan Muslim di Hitu dan Ternate berkembang menjadi penganiayaan nyata dan bahaya yang mematikan, banyak yang murtad, sebagian besar dibawah tekanan dan sering kali hanya berpura-pura.
Mereka yang memeluk agama Kristen, masih berjumlah sekitar 25.00 jiwa pada tahun 158767 dan membutuhkan lebih banyak lagi untuk dilindungi dan didukung oleh pusat yang kuat. Benteng Portugis dan kota Ambon-lah yang melestarikan gereja Kristen di pulau-pulau tersebut, sebuah gereja yang kemudian dialihkan oleh Belanda untuk menjadi Protestan. Orang-orang tetap beragama Kristen, Sebagian Reformasi, hingga saat ini.
10. Pengaruh yang berkesinambungan
Kota itu sendiri, yang didirikan oleh Portugis dan berkembang selama 30 tahun dibawah kekuasaan Portugis, masih ada hingga saat ini. Kota itu dulu dan sekarang adalah satu-satunya kota yang layak menyandang nama ini di seluruh provinsi Maluku, yang beribukota di sana. Di bagian tengahnya, benteng yang diperluas, diubah, dirusak, dan digunakan sebagai barak, terus menjadi ciri khasnya.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, agama Kristen juga berlanjut selama berabad-abad. Sebelum Perang Dunia II, 60% penduduk kota itu beragama Kristen, 40% beragama Islam. Saat ini proporsinya terbalik. Pemerintah Indonesia di satu sisi takut akan kemerdekaan Maluku Selatan, dan di sisi lain lebih menyukai Islam, mengirim banyak orang asing, kebanyakan orang Jawa, ke kota itu. Sebuah masjid berkubah besar, hibah dari mendiang Presiden Sukarno, berdiri di kota itu sekarang. Sebagian besar umat Kristen adalah anggota Gereja Reformasi, hanya sekitar 6.000 orang beragama Katolik. Kota Ambon merupakan tempat kedudukun kegubernuran provinsi Maluku, Sinode Gereja Protestan Maluku, dan Keuskupan Katolik.
Pengaruh bahasa Ambon Portugis yang bertahan lama dapat ditemukan terutama dalam nama dan bahasanya. Banyak keluarga di kepulauan tersebut memiliki nama, yang kurang lebih “bentukan kembali”, yang berasal dari bahasa Portugis, misalnya Lopes, da Silva, Carvalho, Coelho, de Sousa, de Freitas.
Secara umum diketahui bahwa bahasa Melayu-Indonesia mengandung sejumlah besar kata serapan dari bahasa Portugist. Daftar terbaru dari kata-kata ini disusun oleh Luigi Santa Maria68. Dalam beberapa dialek lokal, istilah-istilah ini bahkan lebih banyak jumlahnya, seperti, misalnya, dalam bahasa Tetum (Timor) dan bahasa Ambon. Dalam Ambones Vocabularium yang cukup ringkas, yang disusun oleh Van Hoevell69, orang dengan mudah menemukan beberapa istilah yang berasal dari Portugis yang bahkan tidak dicantumkan oleh Santa Maria, misalnya, forsa (artinya : dengan kekuatan), kampindjan (lonceng dengan pemukul atau lonceng kecil/lonceng gereja), kastigar (mengganggu, khawatir), stradu (sofa besar), dan tiu (paman dari pihak ibu). Hal ini tidak mengherankan, karena bahasa resmi kota Ambon adalah bahasa Portugis. Penduduk wilayah Mardika dilaporkan menggunakan bahasa ini hingga abad ke-1870.
Penutup
Kota Ambon, dengan sejarah Belanda-nya yang panjang serta kisahnya selama 30 tahun, singkat tetapi tidak terganggu, di Republik Indonesia, mengalami nasib yang tampaknya tidak pernah dipedulikan oleh seorang pun, tidak ada seorang pun sejarahwan, yang tertarik pada 30 tahun pertama keberadaan kota itu, pada tahun-tahun di bawah kekuasaan Portugisu. Sumber-sumbernya kurang atau sulit diakses. Orang-orang Portugis sendiri kurang tertarik setelah mereka kehilangan kota itu, dan orang-orang Belanda lebih condong melangkah ke masa depan yang mereka ciptakan daripada masa lalu yang asing bagi mereka dan yang telah mereka tutup.
Periode Portugis di kota itu memiliki sejarah yang cukup bergejolak. Tragisnya, Ambon tampaknya lahir hanya untuk jatuh ke dalam penderitaan yang lambat dan tanpa ampun. Namun, hidupnya lebih ulet daripada yang diduga musuh-musuhnya. Mati sebagai kota Portugis, kota itu bertahan di bawah kekuasaan asing selama berabad-abad hingga saat ini. Meskipun Belanda mengubahnya menjadi kota koloni Belanda, mereka tidak boleh lupa bahwa mereka mewarisinya dari Portugis dan melanjutkan penciptaan kota itu dari Portugis. Dari kota-kota Portugis di sekitar benteng di Ternate dan Tidore, tidak ada jejak yang tersisa, hanya Ambon yang mampu bertahan menghadapi semua badai.
Selama berabad-abad di semua tempat lain tempat VOC berdiri, Belanda menolak untuk menerima penduduk lokal dan lembaga-lembaga lokal ke dalam administrasi pemerintahan mereka sendiri, tetapi mereka melakukannya di Ambon, melanjutkan dan mengadopsi cara-cara dan pola-pola Portugis dalam berurusan dengan penduduk lokal. Status khusus orang Ambon ini mungkin menjelaskan klaim-klaim orang Maluku Selatan modern.
Setelah masa kolonial berakhir, kota Ambon di Indonesia seharusnya bangga dengan asal-usul Portugisnya yang kaya.
=====
selesai =====
Catatan Kaki
1. “Relacao dos feitos eroicos em armas que Sancho de Vasconcelos fez nas partes de Amboyno e Maluco…..”, di dalam A.B. de Sa, Documentacao ……Insulinda, IV, Lisboa, 1956, halaman 165-454. Dokumen yang luas dan berharga ini juga disebut Historia do Maluco, dan kadang-kadang dikaitkan dengan Antonio Bocarro, tetapi hal itu tidak benar
2. Documenta Malucensia, ed. H. Jacobs, volume I, Rome, 1974, volume II sedang diterbitkan, volume III sementara dipersiapkan [Monumenta Historica Societatis Iesu] (pada tulisan ini disingkat saja sebagai Doc. Mal.)
3. G.E. Rumphius, De Ambonsche Historie, 2 bagian, dimuat dalam Bijdragen Koninklijk Instituut, volume LXIV, 1910
4. Francois Valentyn, Oud en Nieuw Oost-Indien, 5 vol. Dordrecht-Amsterdam, 1724-1726
5. P.A. Tiele, Documenten voor de geschiedenis der Nederlanders in het Oosten, di dalam Bijdragen en Mededeelingen Historisch Generaal, Utrecht, VI, 1883, 222-376, halaman 342
6. H.J. de Graaf, De geschiedenis van Ambon en de Zuid-Molukken, Franeker, 1977
7. Kajian tentang pendirian [benteng] di Ambon dipublikasikan dalam H. Jacobs, Wanner werd de stad Ambon gesticht? Di Bijdragen Kon. Instit, 131, 1975, 427-460
8. Dipublikasi dalam H. Jacobs, New Sources for the History of Portuguese Maluku, dalam Aufsatze zur portugiesischen Kultuugeschicte, Bd. 16, 1980, 217-260
9. Peletakan Batu pertama dari benteng Santo John di Ternate pada tanggal 24 Juni 1522, bersamaan dengan perayaan Santo Johanes Pembaptis, sedangkan benteng “dos Reiges Magos” di Ternate pada tanggal 6 Januari 1578, pada perayaan para Majus.
10. Rumphius, I, 11
11. Joao Rebelo, Ambon, 27 April 1593, dalam Doc. Mal, II, halaman 368-369
12. Tiele, Documenten, 342
13. Rumphius, I, 11; Relacao Vasconcelos, 320
14. De Garaf, 137
15. King,s Topographical Collection, vol CXVI, map 51
16. E.g. Atlas historique, Amsterdam, 1732, v,n. 48 (after p. 128); De Graaf, 48-49
17. Lorenzo Masonio, Ambon, 10 Mei 1599, Doc. Mal, II, halaman 470
18. Valentyn, IIa, 125; Tiele, Documenten, 341
19. Doc. Mal, II, 348, 350
20. Tiele, Documenten, 341; Boletim da Filmoteca, I, 530, King Philip, 26 Januari 1601 : “Se concedam determinados privilegios aos moradores da Fortaleza de Amboino” Hak istimewa tertentu diberikan kepada penghuni Benteng Amboino
21. Begin ende Voortgangh, Amsterdam, 1646, II, 2nd piece, p. 36, picture no 12; De Garaf, 47; Luis Silvera in Ensaio de iconografia das cidades portuguesesa do Ultramar, vol III, 493-495, hanya memiliki 2 gambar Ambon, keduanya merupakan produk abad ke-18 yang menggambarkan kota yang telah meluas dalam perkembangannya
22. Kata Melayu Merdeka = free. Mardikas (Belanda; Mardijkers) adalah penduduk Kristen yang datang Bersama Portugis dari Ternate dan Tidore. Mereka menikmati beberapa keistimewaan, misalnya mereka tidak diwajibkan untuk bekerja dalam layanan wajib pemerintah. Banyak dari mereka menjadi serdadu. Lihat De Graaf, 131
23. Lihat H. Jacobs, Un regalement de comptes entre Portugais et Javanais dans les mers de L’ Indonesie en 1580, in Archipel, 18, 159-173
24. A. B. de Sa, Documentacao … Insulinda, V, 276; Doc. Mal, II, 5*
25. Doc. Mal, II, 4* - 5*
26. Sa, op. cit. V, 265
27. Livro das Cidades, in Studia 6, f. 74 compared to 71 dan 70
28. Archivo Portuguez-Oriental, III, 2a parte, Nova Goa, 1861, 7640767, n. 276, 17 April 1597
29. De Graaf, 34, 52
30. Tiele, Documenten, 291
31. Tiele, Documenten, 345
32. Doc. Mal, II, 726, Pietro Eutizio, Cochin, 15 Oktober 1605
33. Tiele, Documenten, 325, 342, 362
34. Rumphius, I, 25
35. Rumphius, I, 53
36. Sa, V, 268
37. Doc. Mal, II, 49, Lourenco Pinheiro, Goa, 14 November 1579
38. Tiele, Documenten, 362
39. Doc. Mal, II, 100, Bernardino Ferrari, Ambon, 12 Mei 1581
40. Ibid
41. Doc. Mal, II, 365, Joao Rebelo, Ambon, 27 April 1593
42. Tiele, Documenten, 291, 342, 362
43. Doc. Mal, II, 49
44. Sa, V, 268
45. Tiele, Documenten, 362
46. Doc. Mal, II, 563, Bricio Fernandes, Ambon, 1 Mei 1602
47. Doc. Mal, I, 748, s.v. School
48. Doc. Mal, II, 446, Lorenzo Masonio, Ambon 12 Mei 1596
49. Rumphius, I, 27; Tiele, De Europeers in den Maleischen archipel, 7+2 parts, in Bijdragen Kon. Inst, XXV-XXXVI, 1877-1887, VII, 70; De Graaf, 56
50. Bijdragen Kon Instit, VI, 1859, 129
51. Doc. Mal, II, 439, Antonio Pereira, Ambon, 13 Mei 1597
52. Doc. Mal, II, 49
53. Doc. Mal, II, 199, Antonio Marta, Ambon 30 Mei 1587. Dikutip juga pada hal 196
54. Lihat, H. Jacobs, Brief Notes on the Vicars and other Secular Clerics of the Portugueses Fortresses in Maluku up to 1605, in Neu Zeitschrift fur Missionswissenschaft, 31, 1975, 207-222, 271, 286
55. Tiele, Documenten, 289, 363
56. Untuk kehidupan mereka, lihat Doc. Mal, II, 29* - 45*
57. Doc. Mal, II, 336, Lorenzo Masonio, Ambon 15 Juni 1592, 347-349; Masonio, Ambon, 15 Mei 1593; A. Meersman, The Franciscans in the Indonesian Archipelago, Louvain, 1956, 40-42
58. Doc. Mal, II, 307, Antonio Marta, Tidore, Juli 1591
59. Doc. Mal, II, 293, Joao Rebelo, Ambon, Mei 1591, 367; Rebelo, Ambon, 27 April 1593
60. Doc. Mal, II, 350, Lorenzo Masonio, Ambon, 15 Mei 1593
61. Doc. Mal, II, 456, Lorenzo Masonio, Ambon, 1 Mei 1598
62. Doc. Mal, II, 495-496, Lorenzo Masonio, Ambon, 23 Agustus 1600; juga hal 521; Valentyn, IIb, 18-19
63. Cf. Doc. Mal. II, 452, catatan kaki nomor 1
64. Doc. Mal, II, 679-680, Lorenzo Masonio, Cebu, 20 Juni 1605 : “Con tudo se podia pelear algunos dias y provar le mano con ellos, como yo y los naturales christianos bradavamos por las calles”
65. Doc. Mal, II, 688, Gabriel da Cruz, Cebu, 22 Juni 1605; Tiele, Documenten, 284
66. Doc. Mal. I, 13*
67. Doc. Mal, II, 208, Pero Nunes, Ambon, 5 Juni 1587
68. I prestiti portoghesi nel Malese-Indonesiano, Napoli, 1967
69. G. Van Hoevell, Vocabularium van vreemde woorden voorkomende in het Ambonsch-Maleisch, Dordrecht, 1876
70. De Graaf, 131 - 132
Catatan tambahan
a. John Villiers, As derradeiras do mundo : The Dominicans mission and the sandalwood trade in the lesser Sunda Island in the Sixteenth and Seventeenth centuries (hal 571 – 600)
b. George. D. Winius, Francisco Rodrigues de Silveira, the forgotten Soldado Practico (hal 773 – 786)
c. C.R. Boxer, Casados and Cabotagem in the Estado da India, 16th/17th centuries (hal 119 – 136)
d. M.N. Pearson, The Indian Ocean and the Portuguese in the sixteenth century (hal 101 – 118)
e. G.V. Scammel, England, Portugal and the Estado da India c. 1500 – 1635 (hal 443 – 458)
f. Anthony Disney, The viceroy count of Linhares at Goa, 1625-1635 (hal 301 – 316)
g. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk kota Ambon untuk tahun 2024 adalah 362.639 jiwa.
h. Diogo de Couto, Da Asia, Década 4-12, 15 dln. Lisboa 1778-1788.
i. Menurut sumber Hubert Jacobs, Sultan Hairun terbunuh pada tanggal 28 Februari 1570 oleh Martim Afonso Pimentel, keponakan Diogo Lopes de Mesquita
§ Hubert Jacobs, Documenta Malucensia I, hal 580 catatan kaki no 8, hal 592 catatan kaki no 22, Roma, 1974
j. Benteng Portugis di Ternate yang ditaklukan oleh Sultan Ternate pada tahun 1575 bernama São João Baptista
§ Manuel Lobato, From European-Asian Conflict to Cultural Heritage : Identification of Portuguese and Spanish Forts on Ternate and Tidore Islands, dipublikasi oleh Laura Jarnagin (ed), Portuguese and Luso-Asian Legacies in Southeast Asia, 1511 – 2011, volume 2 : Culture and Identity in the Luso-Asian World : Tenacities and Plasticities, Institute of Southeast Asian Studies, 2012, hal 179 – 207
§ Manuel Lobato, Fortificações portuguesas e espanholas na Indonésia Oriental. Lisboa: 2009
k. Menurut sumber Manuel Lobato, ekspedisi Goncalo Perira Marramaque meninggalkan Goa sekitar April 1566 dan baru tiba di Maluku pada tahun 1567. Tetapi sumber dari Hubert Jacobs, ekspedisi ini meninggalkan Goa pada 1 Mei 1566, ia tiba di Ambon pada tahun 1568. Huberts mengutip sumber dari Josef Wicki, SJ yang dalam sumber itu melampirkan surat dari wakil raja Don Antao de Noronha kepada Queen Regent Catarina pada tanggal 22 Desember 1566.
§ Hubert Jacobs, Documenta Malucensia I, General Introduction, hal 60*, hal 496 catatan kaki no 10, hal 500 catatan kaki no 2, Roma, 1974
§ Hubert Jacobs, Wanner werd de Staad Ambon gesticht? Bij een vierde eeuwfeest, dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde volume 131, no 4, terbitan Leiden tahun 1975, pada halaman 427 – 460.
§ Manuel Lobato, The Moluccan Archipelago and Eastern Indonesian in the second half of the 16th century in the light of Portuguese and Spanish accounts, dipublikasi dalam F.A. Dutra and J.C. dos Santos (ed), Proceedings of the International Colloquium on the Portuguese and the Pacific, 1995, halaman 38-63
l. Tentang pendirian benteng oleh Goncalo Perira Marramaque, bisa dilihat pada sumber Hubert Jacobs
§ Hubert Jacobs, Wanner werd de Staad Ambon gesticht? Bij een vierde eeuwfeest, dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde volume 131, no 4, terbitan Leiden tahun 1975, pada halaman 427 – 460.
m. Armada Steven van der Haghen tiba di Ambon [khususnya di Pantai Hitu] pada Mei 1600
§ Hubert Jacobs, SJ, Documenta Malucensia, Vol 2 (1577-1606 ), Jesuit Historical Institute, Roma, 1980, chapter V (Documents), hal 693 – 699
n. Antonio Pereira Pinto menjadi kapten benteng Nossa Senhora da Anunciada [Ambon] pada periode 1591 - 1596
o. Joao Caiado de Gamboa menjadi kapten benteng Nossa Senhora da Anunciada [Ambon] pada periode 1596/1597 – 2 Maret 1599
p. Estevao Teixeira de Macedo menjadi kapten benteng Nossa Senhora da Anunciada [Ambon] pada periode 2 Maret 1599 - 1602
q. Gaspar de Melo menjadi kapten benteng Nossa Senhora da Anunciada [Ambon] pada periode 1602 – 23 februari 1605
r. Komandan Belanda yang dimaksud bernama Cornelis Matelieef.
s. Benteng Portugis di Tidore bernama “dos Reiges Magos”
t. Kajian tentang penyerapan Bahasa Portugis ke Bahasa Melayu-Ambon, misalnya
§ Paramita. R. Abdurachman, 1972, Some Portuguese loanwords in the vocabulary of speakers of Ambonese Malay in Christian villages of Central Moluccas, Seri Lembaran Khusus No 1. Jakarta : Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LIPI)
§ J.T. Collins, 1980, Ambonese Malay and Creolization theory. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka
§ Don van Minde, 2002, European loan words in Ambonese Malay, dimuat oleh K. Alexander Adelaar and Robert Blust (ed), Between worlds : linguistic papers in memory of David John Prentice, halaman 193 – 216
u. Sependek yang kami ketahui kajian tentang kota Ambon khususnya pada periode kekuasaan Portugis, setelah Hubert Jacobs meninggal, adalah Manuel Lobato [meskipun hanya beberapa tulisan]
§ Manuel Lobato, 2011, Lusofonia desaparecida e identidade no arquipélago malaio-indonésio. Génese e marginalização das comunidades de origem portuguesa: O caso de Amboino, dipublikasikan oleh Ana Maria Correia dan Ivo Carneiro de Sousa (ed), Lusofonia. Encruzilhadas Culturais, Saint Joseph Academic Press, halaman 34 – 54
§ Manuel Lobato, 2011, Forte de Nossa Senhora da Anunciada [Kota Ambon Military Architecture, Fort of Our Lady of Anunciation] dipublikasi oleh Walter Rossa (ed), Portuguese Heritage Around the World: architecture and urbanism. Volume III : Asia and Oceania, halaman 445 – 447
Manuel Lobato, Fortificações portuguesas e espanholas na Indonésia Oriental. Lisboa: 2009, hal 51 - 55
Keren. Sy baca sampai selesai. 👍👍
BalasHapusterima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca artikel terjemahan kami... semoga bisa bermanfaat...
Hapus