(bag 2)
[Michael Prager]
Feses [kotoran] dan bau
Kode lain yang mencirikan mitos yang bersangkutan beroperasi dengan motif feses dan bau. Dalam versi pertama dari mitos beras, bau kotoran sang pahlawan disamakan dengan “kematian”. Dalam versi kedua secara eksplisit dinyatakan bahwa kotoran orang-orang dunia atas terdiri dari “piring-piring indah”, yaitu benda-benda yang oleh masyarakat Wemale dan masyarakat Seram lainnya dianggap berasal dari luar wilayah dan yang biasanya dpindahkan dari pengambil-istri ke pemberi-istri3. Piring-piring seperti itu juga bisa menggantikan kepala manusia (ibid : 160). Makna kosmologis benda-benda ini akan segera menjadi jelas dalam konteks analisis mitos Hainuwele.
Penting untuk ditekankan fakta bahwa dalam mitos yang menghubungkan gagasan pencurian beras dengan gambar Setengah-Manusia, motif bau feses [kotoran] sama sekali tidak ada. Akan tetapi, hilangnya bau busuk feses bukanlah suatu kebetulan, karena Setengah-Manusia dan pahlawan mitos beras berbeda dalam hal detail yang penting. Sedangkan pahlawan mitos memasuki dunia atas sebagai manusia yang lengkap, yang awalnya hanya terdiri dari sisi bagian kanan. Dalam versi pertama dari mitos beras, pahlawan yang terdiri dari tubuh yang lengkap tampaknya telah memasuki alam kematian setelah mencapai dunia atas. Bau busuk kotorannya membuatnya memenuhi syarat sebagai orang mati, menyiratkan pada saat yang sama bahwa dia pasti “pernah” hidup sebelumnya. Setengah-Manusia, bagaimanapun, tidak mati atau hidup, dia berada antara dan di antara. Terdiri dari sisi sebelah kanan saja, ia menyerupai batu dalam mitos asal Wemale yang keberadaannya abadi tetapi tidak dapat berkembang biak dan bertambah, karena ia belum mengalami proses hidup dan mati. Berbeda dengan pahlawan lengkap dari mitos beras, Setengah-Manusia tidak memiliki kotoran, dia tidak memiliki bau, karena dia tidak lengkap. Menyerupai batu, dia tampaknya belum termasuk dalam kategori manusia.
Mitos Setengah-Manusia yang dikumpulkan oleh Adolf Jensen menekankan fakta bahwa Taunala hanya terdiri dari sebelah kanan. Dalam mitos asal yang dibahas di atas, sisi/sebelah kanan diwujudkan oleh batu yang keberadaannya dikaitkan dengan gagasan tentang keabadian dan non-prokreasi. Untuk memahami nilai-nilai deferensian yang atribut Wemale ke sisi/sebelah kanan dan kiri tubuh dan orang, kita bergantung pada beberapa komentar yang dikemukakan Adolf Jensen dalam etnogeografinya. Menurut para informannya setiap manusia terdiri dari sisi kanan dan kiri (leini wanane; leini ukale). Sisi kanan disediakan oleh orang tua, sedangkan sisi/sebelah kiri berasal dari suatu tempat “di luar” (Ibid : 211). Adolf Jensen tidak melanjutkan maslah ini lebih jauh, tetapi dalam konteks mitos Setengah-Manusia menjadi jelas bahwa sisi kiri disediakan oleh Duniai (yaitu oleh kosmos), karena itu adalah dunia atas kosmik tempat Setengah-Manusia harus melakukan perjalanannya agar selesai. Mengingat narasi tentang batu dan pohon pisang : jika sisi/sebelah kanan dikaitkan dengan batu, dengan orang tua dan masyarakat setempat, domain sosial seperti itu tampaknya tidak memberi manusia kemampuan untuk berkembang biak dan mati. Hanya dalam hubungannya dengan sisi/sebelah kiri, prinsip kosmik, yang memungkinkan manusia dan masyarakat berkembang biak4
Pencurian dan Tipuan
Komentar terakhir menyangkut motif pencurian dan tipu daya. Taunala, Setengah-Manusia, dalam keadaan antara dan di antara, tidak mati atau hidup, menyerupai para penipu, untuk hadiah penyelesaian yang diberikan oleh Duniai dengan pencurian beras. Sehubungan dengan motif pencurian beras, Adolf Jensen menarik paralel antara Setengah-Manusia dan mitos Prometheus. Dugaan kesamaan antara 2 tokoh mitos ini harus ditentukan, bagaimanapun, dengan menekankan fakta bahwa Prometheus dihukum karena tipu dayanya dengan fragmentasi terus menerus dari tubuhnya, sedangkan Setengah-Manusia [asal] Seram harus diselesaikan terlebih dahulu, sebelum ia dapat mencuri beras. Selain itu, Adolf Jensen bertanya-tanya tentang alasan mengapa makhluk mitos separuh badan ini diberkahi dengan “bentuk kekuatan tertentu” yang bahkan memungkinkannya untuk menjadi lawan para dewa dan secara sadar menentang kehendak mereka. Menurutnya kita lebih suka berasumsi bahwa mitos menekankan kecacatan dan kurangnya kekuatan tubuh yang tidak lengkap (1950: 32). Ia lupa di sini bahwa Setengah-Manusia mendapatkan kekuatan spesialnya hanya setelah selesai. Dia kuat dan menjadi berbahaya bagi makhluk spiritual bukan dalam keadaan saat berbadan separuh/setengah, tetapi karena kesempurnaannya.
Jika kita menggambar paralel dengan mitologi Yunani, itu adalah mitos Platon tentang “Setengah-Manusia” daripada mitos Prometheus yang memiliki kemiripan yang mencolok dengan narasi Seram-barat. Platon meriwayatkan dalam Symposion-nya bahwa pada awalnya setiap manusia adalah satu kesatuan yang bulat, dengan 4 tangan dan 4 kaki, dan 2 wajah yang identik. Makhluk-makhluk ini memerintahkan kekuatan sedemikian rupa sehingga mereka bahkan berani menyerang para dewa. Sebagai hukuman, Zeus memutuskan untuk memotong makhluk ini menjadi 2 bagian untuk membuat mereka lebih lemah. Mulai sekarang mereka harus berjalan tegak dengan 2 kaki. Jika mereka akan menentang para dewa lagi, Zeus mengamcam akan membelah mereka untuk kedua kalinya, sehingga memaksa mereka untuk melompat dengan 1 kaki.
Salah satu titik fokus narasi Platon adalah kekuatan yang dikaitkan dengan manusia selama keadaan kesempurnaan tubuh mereka sebelumnya. Dalam kelengkapannya, mereka hampir menyerupai dewa. Dalam mitos Setengah-Manusia Seram, gambaran tubuh lengkap juga dikaitkan dengan gagasan tentang kekuatan dan kekuasaan, kekuatan yang akhirnya memungkinkan sang pahlawan menjadi lawan dari makhluk spiritual dunia atas. Dengan demikian dalam pemikiran mistik Wemale, gagasan tentang kelengkapan/kesempurnaan, yang dihasilkan dari konjungsi sisi/sebelah kanan (sosial) dengan sisi/sebelah kiri (kosmis), tampaknya dikaitkan dengan nilai kesadaran diri dan kecerdasan licik yang bahkan dapat diarahkan melawan alam semesta para dewa. Menjadi “lengkap” dengan demikian tidak hanya berarti dapat berkembang biak, mencerna, dan mengalami proses hidup dan mati, tetapi juga mengacu pada kapasitas untuk pergi ke domaian di luar masyarakat lokal, untuk berburu kepala, dan untuk menghilangkan dunia luar dari objek-objek yang dibutuhkan masyarakat untuk reproduksinya sendiri.
Mitos Hainuwele
Sampai saat ini, narasi Setengah-Manusia telah dibandingkan dengan mitos beras dan mitos asal-usul. Menjadi jelas bahwa mitos-mitos ini, khususnya mitos asal-usul dan mitos Setengah-Manusia, mencerminkan seperangkat gagasan ontologis spesifik tentang kelengkapan tubuh manusia dan pribadi, gagasan yang pada gilirannya terkait dengan representasi tentang kematian, prokreasi, dan hubungan dengan domain kosmologis yang terletak di luar masyarakat lokal.
Pada titik ini, mitos Hainuwele harus dibawa ke dalam diskusi, karena memberikan narasi dimana tubuh tidak selesai, seperti dalam kasus mitos Setengah-Manusia akan menghasilkan wawasan lebih lanjut ke dalam makna kosmologis dari 2 sisi tubuh, terutama tentang cara ide pembelahan tubuh perempuan bertemu dengan asumsi kosmologis dasar tentang makna “dalam” dan “luat” dalam tatanan sosio-kosmik Wemale. Terlebih lagi, dengan mitos Hainuwele, prasyarat hubungan pertukaran antara “di dalam” dan “luar” ditetapkan. Berikut ini adalah sinopsis mitos Hainuwele yang dibawakan oleh Adolf Jensen :
[Mitos Hainuwele dimulai pada saat Duniai (atau Tuwale) menciptakan 9 keluarga pertama dari pohon pisang, dan gadis Mulua Satene yang muncul dari pisang mentah dan seharusnya menjadi penguasa 9 keluarga. Kemudian ke-9 keluarga ini pindah ke bawah dari gunung ke tempat yang disebut “Tamene siwa” (tempat yang disebut tarian maro dilakukan)].
Suatu hari seorang laki-laki bernama Ameta, yang belum menikah dan tidak memiliki anak, pergi berburu dengan anjingnya. Anjing itu tertarik dengan bau babi hutan dan mengejarnya ke kolam tempat babi itu tenggelam. Ameta menarik babi keluar dari kolam dan terkejut menemukan kelapa tertusuk di gadingnya. Ameta membungkus kelapa dengan kain (sarung potola) dan menanamnya di kebunnya. Setelah 6 hari, pohon kelapa telah tumbuh tinggi dan berbunga. Ameta ketika mencoba mengambil beberapa buah kelapa, terpotong jarinya dan darahnya menetes ke bunga dan bercampur dengan getahnya. 9 hari kemudian seorang gadis muda tumbuh dari bunga itu. Ameta menutupinya dengan sarung dan membawanya ke rumahnya. Dia menamainya Hainuwele. Setelah 3 hari, Hainuwele telah dewasa dan bertumbuh menjadi perempuan yang dapat dinikahi (mulua). Kotorannya terdiri dari benda-benda berharga, seperti piring dan gong Cina. Pada saat ini, ke-9 keluarga sedang mempersiapkan tarian maro yang akan berlangsung selama 9 hari 9 malam di Tamene siwa. Saat tarian dipentaskan, Hainuwele berdiri di tengah lapangan tempat tarian mempersembahkan sirih kepada para penari. Pada malam kedua, Hainuwele berdiri di tengah, tetapi ketika penari meminta sirih, dia memberi mereka karang. Pada malam ketika dia memberikan piring-piring Cina, dan dari malam ke-5 hingga ke-8 memberi pisau dan gong. Orang-orang menjadi semakin curiga dan marah tentang hadiah-hadiah Hainuwele dan memutuskan untuk membunuhnya. Mereka menggali lubang di tengah-tengah lapang tempat tarian, dan pada malam ke-9 mereka melemparkan Hainuwele ke dalam lubang dan menari-nari menginjak tanah di atasnya. Ameta, bagaimanapun, menggalinya dan memotong mayatnya menjadi 2 bagian5. Dari bagian-bagian inilah muncul umbi-umbian pertama, bentuk dasar makanan di Seram. Ketika Mulua Satene mengetahui pembunuhan Hainuwele, dia sangat marah sehingga membuat gerbang besar di tempat tarian. Di depan gerbang ini dia meletakan batang pohon. 9 keluarga diperintahkan untuk berkumpul di sisi depan gerbang dan Mulua Satene memberi tahu mereka bahwa karena pembunuhan Hainuwele, dia akan pergi dari dunia ini. Orang-orang sekarang diperintahkan untuk berjalan melalui pintu gerbang. Mereka yang tidak berhasil melewati gerbang berubah menjadi binatang dan roh. Mereka yang memasuki gerbang dengan melewati batang pohon di sisi kiri menjadi Patalima (masyarakat lima), dan mereka yang masuk dari sisi kanan menjadi Patasiwa (masyakat sembilan). Mulua Satene memberi tahu mereka bahwa mulai saat ini dan seterusnya, Manusia harus mati terlebih dahulu sebelum dia dapat menghubunginya lagi. Dengan kata-kata ini dia pergi ke gunung Salahua, gunung kematian, dimana “jiwa” harus melakukan perjalanan setelah kematian. Sejak itu, penduduk terbagi menjadi fraksi/kelompok Patalima dan Patasiwa (Jensen 1939: 59-64).
Mitos dimulai pada saat 9 keluarga telah dibuat di gunung Nunusaku. Dalam konteks ini masyarakat setempat telah menyaksikan segmentasi tingkat pertama (9 keluarga yang terdiri dari pasangan laki-laki dan perempuan), tetapi dengan tercapainya tingkat itu, proses penciptaan tampaknya telah berakhir sebelum waktunya. Tidak ada prokreasi, tidak ada kelahiran atau pernikahan, tidak ada kematian atau pertukaran, tidak ada makanan, dan karena itu, tidak ada pencernaan. Tampaknya masyarakat lokal masih kehilangan hubungan dasar yang memungkinkan prokreasi dan diferensiasi sosial internal lebih lanjut.
Ini adalah keadaan dimana mitos Hainuwele terbuka. Ini menetapkan bagaimana dalam kerangka proses yang berkelanjutan untuk menggabungkan dan mengubah elemen dari “dunia luar”, masyarakat lokal itu sendiri akhirnya berubah dan dengan demikian membalikkan hubungan aslinya ke luar. Berbagai langkah dari proses penggabungan dan transformasi ini dapat dibedakan sebagai berikut. Langkah pertama ditunjukkan ketika Ameta menanam kelapa di kebunnya. Ini diikuti oleh hubungan darah Ameta dengan getah pohon kelapa yang darinya gadis bernama Hainuwele berevolusi. “Ayahnya” menutupinya dengan sarung dan membawanya ke rumahnya. Ini adalah langkah kedua dari penggabungan. Ada yang ketiga, ketika tubuhnya dilemparkan ke dalam lubang di tanah tempat tarian, yang keempat ketika tubuhnya dipotong menjadi 2 bagian yang sisi/sebelah kanannya lebih lanjut terfragmentasi dan “ditanam”, dan yang kelima ketika bagian-bagian tubuh berkembang menjadi tumbuhan dan, sebagai akibatnya, Manusia menjadi fana dan mencapai kapasitas untuk berkembang biak dan mencerna.
Sebelum membahas kemungkinan makna dari proses transformasi itu, perlu disebutkan bahwa Adolf Jensen sendiri mengemukakan beberapa penjelasan yang pada dasarnya diarahkan pada korespondensi antara berbagai elemen mitos dan kehidupan ritual Wemale. Dalam mitos, misalnya, Hainuwele ditutupi sarung dan dibawa Ameta ke rumahnya. Tindakan serupa dapat diamati selama ritual kelahiran, ketika anak yang baru lahir juga ditutupi dengan sarung dan dibawa dari gubuk menstruasi, tempat kelahiran tradisional, ke rumah orang tua (Jensen 1948a: 128-129).
Jensen juga menemukan persamaan antara pembunuhan pada mitos Hainuwele dan praktik perburuan kepala [suku] Wemale sebelumnya. Dalam pandangannya, perburuan kepala di antara orang-orang Wemale tidak lain adalah ritual dramatisasi dari pembunuhan Hainuwele yang dengannya kematian pertama diperkenalkan kepada manusia (Ibid: 253). Sebagai bukti, dia menekankan fakta bahwa Hainuwele terbunuh dalam tarian maro dan dia ditempatkan di tengah-tengah para penari, seperti yang terjadi dengan kepala yang telah terpotong. Penekanan pada paralelisme antara mitos dan ritual perburuan kepala [suku] Wemale, bagaimanapun, hanya sebagian benar. Memang benar bahwa tarian maro dilakukan setelah serangan perburuan kepala yang sukses. Kepala diletakan di tengah-tengah, dan laki-laki dan perempuan menari 9 malam mengelilingi kepala dengan membentuk spiral (idealnya) 9 baris. Setelah itu kepala digantung di suane, rumah ritual komunal (Ibid: 65, 176).
Namun, berbeda dengan Adolf Jensen, yang lebih menekankan kesamaan antara mitos dan ritual, kita harus menyadari fakta bahwa sikap Hainuwele terhadap para penari ditandai dengan kebalikan yang jelas dibandingkan dengan hubungan ritual yang tepat antara kepala yang terpotong dan para penari. Dahulu, setelah kepala dipotong berhasil dibawa ke desa, diberikan hadiah seperti sirih dan pinang atau tembakau (Streseman 1923: 318; Jensen 1948a: 245). Hadiah-hadiah seperti itu, seperti yang telah ditunjukan Valerio Valeri dalam kasus [suku] Huaulu di Seram Tengah, berfungsi untuk “mempermalukan” kepala agar secara ritual menundukannya kepada masyarakat sendiri (Valeri 1990: 71). Hainuwele, bagaimanapun, berperilaku sebaliknya. Selama 9 malam dia memberi penarinya sirih dan pinang dulu, kemudian fesesnya sendiri, yaitu piring-piring Cina, gong dan lain-lain. Bukannya menerima dan malu dengan hadiah-hadiah, justru Hainuwele yang mempermalukan para penari, karena mereka tidak punya apa-apa untuk membalas. Hainuwele memberi mereka hadiah dari “luar negeri”, yaitu hadiah yang dikualifikasi sebagai harta, benda yang bernilai tinggi yang harus dibalas dengan pemindahtanganan produk lokal, tetapi belum ada hubungan tukar menukar dan benda lokal. Dengan demikian, “kotoran” Hainuwele adalah hadiah tanpa nilai.
Jika kita berasumsi bahwa perbedaan antara perilaku Hainuwele dan perlakuan biasa terhadap kepala selama ritual perburuan kepala memainkan peran penting dalam mitos, dan jika kita lebih jauh berpendapat bahwa perburuan kepala bukanlah pengulangan dramatis dari mitos seperti itu, tetapi sarana untuk menegakan tatanan kosmologis yang pertama0tama harus diciptakan oleh tindakan mitos, menjadi jelas bahwa dengan mitos Hainuwele, orang Wemale mencoba untuk memecahkan paradoks ontologis. Setelah 9 keluarga telah dibuat di gunung Nunusaku, ia akan membutuhkan kehadiran item pertukaran untuk membangun hubungan dengan “dunia luar”. Barang-barang ini, bagaimanapun, hanya dapat diproduksi jika masyarakat “lengkap”, ketidaklengkapan yang ditunjukkan oleh non-prokreasi dan kurangnya pencernaan dan kematian. Kelengkapan pada gilirannya, seperti yang dijelaskan oleh mitos, itu sendiri tergantung pada hubungan yang sudah ada dengan dunia luar, pada elemen atau item yang harus dimasukkan ke dalam masyarakat, untuk mengubahnya menjadi obyek budaya lokal yang dapat dipertukarkan benda-benda berharga dari luar negeri. Prasyarat internal untuk bertukar dengan dunia luar dengan demikian hanya dapat ditetapkan dengan perampasan kekerasan dari sesuatu dari dunia luar ini yang belum dapat diperoleh sebagai gantinya.
Seperti yang ditunjukkan oleh asalnya di hutan dan sifat kotorannya, Hainuwele jelas diasosiasikan dengan “domain di luar” masyarakat lokal, dengan “hutan belantara”, asing, atau bahkan dengan dunia atas, karena kotorannya mirip dengan makhluk spiritual dari dunia atas dalam mitos beras. Seperti yang ditunjukkan di atas, mitos Hainuwele, orang asing dimasukkan melalui berbagai langkah penggabungan :
Penanaman Kelapa di kebun ---à Penggabungan Hainuwele ke dalam rumah Ameta -----à Penggabungan Hainuwele selama tarian maro ----à Penggabungan Hainuwele ke dalam bumi lokal
Langkah-langkah penggabungan yang berurutan menggambarkan suatu proses dimana Hainuwele secara bertahap dipindahkan dari domain luar ke dalam, sampai dia mencapai pusat masyarakat selama tarian maro dimana dia akhirnya bersatu dengan bumi lokal. Proses penggabungan ini pada gilirannya disertai dengan berbagai tahap transformasi dimana unsur asing diubah menjadi produk lokal :
[menanam] kelapa à pohon [darah + bermekaran] à Hainuwele/Feses [memasukan ke dalam rumah]---à piring cina, dll [memasukan ke dalam bumi/bagian tubuh/sebelah kanan] ------à tanaman -à pencernaan/prokreasi/kematian.
Pembunuhan terakhir Hainuwele dapat diartikan sebagai hanya mewakili satu kemungkinan bentuk transformasi. Seperti yang ditetapkan oleh mitos Hainuwele di bagian akhir, proses transformasi yang berurutan tidak hanya mengarah pada asal usul tanaman yang dapat dimakan, tetapi juga memperkenalkan kematian dan kapasitas prokreasi. Kapasitas yang terakhir pada gilirannya mempengaruhi diferensiasi lebih lanjut dari masyarakat menjadi 2 “bagian” patasiwa dan patalima, masyarakat sembilan dan masyarakat lima6. Ketika tubuh Hainuwele terfragmentasi menjadi 2 bagian, masyarakat secara keseluruhan dibagi menjadi 2 komponen dasar.
Dengan tercapainya langkah terakhir dari proses transformasi, masyarakat lokal telah mencapai kapasitas prokreasi, kematian, dan produksi tanaman. Mulai sekarang dapat berkomunikasi dengan dunia luar dengan menukar produk lokalnya dengan benda-benda bernilai dari luar negeri.
Dengan kata lain, sebelum pembunuhan, kotoran Hainuwele tidak dapat dibalas karena Manusia tidak memiliki pencernaan sendiri karena kurangnya tanaman. Dengan pembalikan tatanan itu, yang dicapai dengan pembunuhan Hainuwele, Manusia dapat menghasilkan tanaman dan kotoran sendiri, tetapi mulai sekarang ia pasti akan memperoleh objek-objek nilai dalam komunikasi dengan domain-domain di luar negeri, yaitu sebagai ganti -bahkan bisa dikatakan – produk mentah miliknya sendiri yang “tidak tercerna”. Dengan mengubah bagian/sebelah kanan Hainuwele menjadi tanaman yang dapat ditukar dengan benda-benda dari luar negeri, sifat memalukan dari hadiah-hadiah aslinya akhirnya berubah : asimetri telah berubah menjadi simetri
Dari Tubuh ke Tumbuhan
Akhirnya, jika kita membandingkan mitos Hainuwele dengan mitos Setengah-Manusia, mudah untuk menunjukkan bahwa kedua mitos harus dianggap mewakili transformasi logis satu sama lain, bahwa yang satu adalah bayangan cermindari yang lain. Himpunan relasional dari homologi dan inversi yang berkaitan antara kedua mitos tersebut dapat digambarkan dalam bentuk 2 kolom :
Ruang tidak memungkinkan saya untuk masuk ke dalam sikusi rinci tentang semua homologi dan inversi yang terlibat. Apa yang muncul, bagaimanapun, jika kedua mitos dikontraskan sedemikian rupa, adalah seperangkat ide dasar tentang konsekuensi yang dihasilkan dari konjungsi dan pemisahan bagian-bagian tubuh. Kedua mitos tersebut menggambarkan suatu proses yang mengarah pada asal-usul tumbuhan, tetapi dalam perjalanan kedua narasi tersebut, tujuan yang dicapai dengan cara yang berlawanan. Sedangkan dalam mitos Hainuwele asal umbi-umbian akibat terbelahnya separuh/sebelah bagian kanan dan kiri tubuh perempuan, dalam mitos Setengah-Manusia asal usul padi dikaitkan dengan konungsi separuh bagian kanan dan kiri tubuh laki-laki. Proses konjungsi dan disjungsi ini dilakukan baik dengan “memasak” tubuh (Taunala) atau dengan “menanamnya” ke dalam tanah (Hainuwele). “Memasak” 2 sisi tubuh Taunala mendekati logika transformasional yang dijelaskan Claude Lévi-Strauss dalam The Raw and the cooked (1969), ketika Taunala dalam keadaan “mentah”, sosio-kosmiknya berubah menjadi makhluk budaya yang lengkap. Ritual kelahiran Wemale dapat dianggap mewakili konteks yang mungkin di sini, dengan anak yang diselesaikan seperti 2 bagian kelapa dan setelah itu secara ritual dimasukan ke dalam desa7.
Terinjak-injaknya tubuh Hainuwele ke dalam bumi, pembelahannya, dan penanaman belahan bagian kanannya juga menunjukkan proses transformasi. Di sini kita menemukan paralel yang dekat dengan urutan dalam ritual kematian [suku] Wemale. Sebelum jenazah dikeluarkan dari desa, para laki-laki yang membawa jenazah berkumpul di rumah almarhum dan menyiapkan sejumlah pinang yang dipotong menjadi 2 bagian. Beberapa bagian pinang diletakan di lantai di “arah darat”, bagian lainnya di “arah laut”. Setelah itu, pinang dikunyah dengan wadah (Jensen 1948a: 150). Meskipun Adolf Jensen tidak mengajukan interpretasi apapun dalam hal ini, itu adalah dugaan yang masuk akal untuk mengasumsikan bahwa orang yang meninggal dibagi menjadi 2 bagian, bagian kanan (sosial) dan bagian kiri (kosmis), sehingga komponen sosio-kosmik yang telah digabungkan selama ritual kelahiran akhirnya dipisahkan lagi dalam kasus kematian, yang terakhir ditunjukkan dengan membagikan 2 bagian pinang di sepanjang 2 arah yang berlawanan dari “laut” dan “darat”. Tindakan mengunyah bagian-bagian pinang dapat dianggap mengacu pada proses transformasi sedemikian rupa sehingga pemisahan akhir dari 2 bagian tubuh dan “daur ulang” sosio-kosmik akhir mereka tercapai8.
Lebih jauh, kedua mitos tersebut tampaknya berkaitan dengan 2 nilai yang berbeda mengenai hubungan masyarakat dengan dunia luar. Pada awal mitos Hainuwele, unsur laki-laki lokal (darah laki-laki yang belum bisa bereproduksi) bercampur dengan unsur asing dari hutan (getah bunga). Makhluk perempuan yang berkembang dari konjungsi ini secara ritual tergabung dan terfragmentasi menjadi setengah bagian kanan dan kiri. Bagian kanan berubah menjadi tanaman dan melalui proses itu Manusia menjadi fana dan mulai bertukar dengan dunia luar. Jenis tindakan mistis ini dapat diidentifikasi sebagai mengacu pada nilai timbal-balik. Asimetri asli antara bagian dalam dan luar telah diubah menjadi hungan timbal balik :
Setengah kiri/kanan --à Fragmentasi setengah tubuh -----à asal umbi-umbian -à timbalik balik
[simetri tubuh sebelumnya -à asimetri tubuh -à simetri antara dalam dan luar ]
Dalam konteks mitos Setengah-Manusia tampaknya ada nilai yang dipertaruhkan yang mengacu pada citra superioritas “dalam” atau “luar”, dan sebaliknya. Dalam konteks ini, asimetri sebelumnya dari Setengah-Manusia diubah menjadi simetri yang pada gilirannya mengarah pada tipu daya dan pencurian beras dari domain di luar masyarakat lokal. Yang ditekankan di sini adalah hubungan non-timbal balik antara bagian dalam dan luar, hubungan yang merupakan bagian dari “rantai konsumsi” kosmologis.
Separuh kanan (sosial) + separuh kiri (kosmik) ----à penyelesaian à pencurian beras ---à non-timbal balik
[bekas asimetri tubuh --à simetri tubuh-> asimetri antara dalam dan luar ]
Jadi dalam pemikiran sosio-kosmit [suku] Wemale, tubuh menjadi metafora bagi masyarakat secara keseluruhan dan untuk 2 modalitasnya dalam berhubungan dengan dunia luar. Mitos tidak hanya mengatakan komponen tubuh apa yang secara sosial dan kosmologis dianggap perlu, sehingga orang dan masyarakat dapat “hidup”, bahwa manusia dapat dengan kejam berpaling ke luar dan merampasnya dari benda-benda berharga (untuk mensubordinasi asing ke lokal), tetapi juga bagaimana dalam konteks lain keseluruhan sosial harus terfragmentasi untuk memungkinkan diferensiasi internal lebih lanjut dan komunikasi timbal balik dan pertukaran dengan dunia luar. Gambar simetri dan asimetri dengan demikian memainkan peran yang berbeda dalam kedua mitos, dan kedua gambar tersebut terhubung dengan proses transformasi yang mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Apakah salah satu dari 2 citra tersebut dapat dikaitkan dengan status nilai superior dalam sistem gagasan dan nilai-nilai [suku] Wemale (Dumont 1986) sulit untuk dinilai pada keadaan penelitian saat ini.
Dalam membandingkan konotasi yang terkait dengan pengertian simetri dan asimetri Roger Caillois (1973) pernah berpendapat bahwa gambar simetri biasanya mengacu pada ketidakterubahan dan keteraturan yang kaku, sedangkan asimetri cenderung menekankan ide perubahan dan gerakan. Kualifikasi seperti itu paling baik diterapkan pada ide-ide yang mencerminkan kanon estetika Barat. Namun, dalam kasus mitos Seram yang dibahas, simetri dan asimetri keduanya terkait dengan gagasan tentang “pergerakan”, yang terakhir ditunjukan baik oleh masuknya beras dan putusnya komunikasi antara manusia dan orang-orang dunia atas, atau dengan penggabugan ritual dan transformasi elemen asing yang mengarah pada pengenalan kematian, prokreasi, dan segmentasi masyarakat.
❖
Mitos yang berhubungan dengan citra setengah tubuh, termasuk versi dari Seram Barat, biasanya tidak hanya menceritakan kejadian yang mengarah pada pembentukan parsial tubuh protagonis, seringkali mereka juga menetapkan proses transformasi yang diperlukan oleh tubuh dan orang tersebut, akhirnya selesai (Platenkamp, 2004). Berurusan dengan pertanyaan kelengkapan ontologis daripada dengan masalah fragmentasi, narasi yang dipertanyakan mendekati apa yang pernah disebut Marcel Mauss sebagai “fakta sosial total”.
Di sisi lain, tidak semua mitos tentang setengah tubuh dan makhluk sepihak yang dikumpulkan hingga saat ini disusun sedemikian rupa sehingga mereka segera dapat memberikan wawasan menyeluruh tentang ideologi masyarakat. Kadang-kadang hanya dibandingkan dengan motif-motif mistis lainnya wawasan semacam itu dapat dicapai. Dalam konteks ini muncul sebagai masalah khusus bahwa mitos tentang setengah tubuh sering diperlakukan oleh berbagai sarjana seolah-olah mereka akan membentuk kategori narasi tertentu yang dapat dipisahkan dari jenis mitos lainnya, dan dengan demikian segera diteliti dalam kerangka perbandingan antar budaya, atau bahkan lintas budaya (Szabo 1941; Jensen 1950; Needham 1980). Lebih dari siapa pun, Claude Lévi Strauss, bagaimanapun, telah mengajarkan kita bahwa tidak ada satu mitos pun, tidak ada satu kategori mitos pun yang dapat berdiri sendiri. Mitos merupakan bagian dari beberapa rantai transformasi. Dalam kasus Wemale, misalnya, akan sulit untuk memilih mitos Setengah Manusia dan membandingkannya secara langsung dengan mitos lain tentang setengah tubuh, baik itu dalam konteks masyarakat Maluku lainnya, atau dalam konteks masyarakat Indonesia yang lebih luas. Kunci untuk memahami mitos Wemale tentang Setengah- Manusia tidak begitu banyak terletak pada versi lain yang dikumpulkan di antara masyarakat tetangga, tetapi pada mitos Hainuwele (dan sebaliknya).
Penekanan pada “hubungan dekat” antara dua mitos, bagaimanapun, tidak berarti bahwa langkah terakhir dari analisis telah tercapai. Jika kita mengingat, misalnya, bagian pembuka dari mitos Hainuwele di mana babi dikatakan telah tenggelam di kolam, jelas bahwa kejadian ini dicerminkan oleh nasib Hainuwele sendiri ketika dia tenggelam ke dalam tanah. Ini akan membawa kita ke sejumlah mitos Seram yang menggambarkan bagaimana babi berubah menjadi manusia. Selain itu, mitos Setengah-Manusia dapat dibandingkan dengan narasi lain dari Wemale yang tidak membahas pembelahan atau penyelesaian tubuh manusia, tetapi di mana Duniai, dewa tertinggi, harus membangun kembali tubuh manusia protagonis yang menderita karena penisnya yang sangat panjang (Jensen 1939 : 371-372). Ini pada gilirannya akan mengarah pada analisis mitos di mana protagonis lain diperkenalkan yang menderita baik karena kelebihan atau kekurangan fungsi tubuh tertentu. Dengan melakukan prosedur komparatif seperti itu, kita mungkin akan sampai pada kesimpulan bahwa mitos-mitos Seram yang dibahas tertanam dalam jaringan transformasi yang jauh lebih luas dan kompleks. Pembukaan jaringan transformasional ini, bagaimanapun, adalah tugas yang saya harap dapat dicapai di tempat lain.
====selesai =====
Catatan Kaki
3. Di antara piring-piring Cina, suku Alune [yang] patrilineal yang berdekatan dan benda-benda "asing" lainnya berfungsi (d) sebagai barang-barang penting dari hadiah pengantin. Wemale [yang] matrilineal, bagaimanapun, merupakan pengecualian dari aturan ini, karena setelah menikah laki-laki menjadi anggota klan matrilineal (nuru) dari istri mereka. Oleh karena itu, tidak ada hadiah yang dialihkan dari si pengambil-istri kepada si pemberi-istri. Di antara Wemale …/…[suite de la note 3] benda-benda seperti itu disimpan, bagaimanapun, sebagai harta yang tidak dapat dicabut di rumah leluhur mataluma di mana nuru lebih lanjut tersegmentasi (Jensen 1948a, Grzimek 1991). Kemungkinan benda-benda tersebut masuk ke pedalaman Seram pada awal abad ke-13 melalui berbagai hubungan perantara dengan perdagangan rempah-rempah (Andaya 1993).
4. Mitos Wemale, Setengah-Manusia dengan demikian memberikan contoh yang menunjukkan bahwa citra unilateralitas tidak selalu dikaitkan dengan gagasan tentang perbedaan antara jenis kelamin, terutama dengan “superioritas prokreasi laki-laki” (Héritier 1996). Sisi kanan tidak berasal dari salah satu jenis kelamin saja, tetapi dari kedua orang tua, i. e. dari ranah sosial. Setengah-Manusia [suku] Wemale tidak lengkap bukan karena ia tidak memiliki laki-laki tetapi komponen kosmik. Dalam konteks ini orang harus menyebutkan informasi tambahan tentang ritual kelahiran Wemale yang Jensen berikan dalam etnografinya, tanpa menarik hubungan apa pun dengan mitos Manusia Setengah dalam hal ini. Ketika seorang anak telah lahir, sang ayah harus memetik kelapa yang dipotong menjadi dua bagian. Setelah itu daging buah kelapa dikeluarkan dan dicampur dengan air. Dalam cairan ini anak dimandikan secara ritual dimana dua bagian kelapa disatukan lagi dan digantung di rumah (Jensen 1948a : 127). Jika orang berasumsi bahwa kelapa melambangkan anak, jelaslah bahwa anak – yang dicitrakan oleh dua bagian kelapa – selesai dalam proses ritual. Ini jelas dicapai dengan memandikan tubuh dalam cairan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa setiap manusia dilahirkan sebagai setengah tubuh yang harus diselesaikan dalam proses ritual kelahiran.
5. Motif pemotongan tubuh Hainuwele menjadi dua bagian berasal dari mitos Hainuwele versi kedua. Dalam versi pertama hanya disebutkan bahwa tubuhnya terfragmentasi menjadi beberapa bagian tanpa menyebutkan jumlahnya (Jensen 1939 : 66).
6. Dulu masyarakat Maluku bagian tengah dan selatan termasuk golongan siwa atau lima. Orang siwa dikaitkan dengan indeks angka 9, orang lima dengan angka 5. Di Seram, kedua indeks numerik ini diawali dengan kata pata (“batang”, “suku”), sedangkan di Ambon dan Kepulauan Maluku Selatan, Aru, Kei, dan Banda, pengertian siwa dan lima dihubungkan dengan kata uli ( uli siwa, uli lima), atau uri. Selama penelitian lapangan Jensen sebagian besar desa Wemale termasuk dalam fraksi patasiwa (Jensen 1948a : 18). Sebuah analisis canggih dari sistem siwa-lima telah dikemukakan oleh Valerio Valeri (1989).
7. Lihat n. 3 : hal. 110-111.
8. Penafsiran seperti itu relatif cocok dengan informasi yang diberikan Adolf Jensen tentang konsep Wemale tentang “jiwa”. Seperti yang dia nyatakan, Wemale menganggap orang itu terdiri dari dua “jiwa” yang dilambangkan sebagai Walui dan Tunui (1948a : 156). Menurut penilaiannya, bagaimanapun, arti dari istilah-istilah ini jauh dari jelas, karena Wemale sendiri …/…[suite de la note 8] tidak dapat dengan jelas membedakan antara dua «jiwa» dan tidak dapat mengajukan pernyataan yang masuk akal tentang nasib jiwa setelah kematian. Namun, kemungkinan besar Adolf Jensen sendiri tidak dapat memperoleh data yang dapat dipercaya tentang masalah ini karena singkatnya penelitian lapangannya. Sekurang-kurangnya kita diberitahu bahwa salah satu arwah pergi ke gunung Salahua yang berhubungan dengan “arah laut”, sedangkan ruh lainnya tetap berada di sekitar desa (ibid. : 166-167). Kedua “jiwa” dengan demikian dapat dihubungkan dengan bagian kanan (sosial) dan kiri (kosmik) dari tubuh dan pribadi.
Bibliografi
§ Andaya, Leonard Y. 1993 The World of Maluku. Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu, University of Hawaii Press.
§ CA Book Review 1965 Book Review of A. E. Jensen, Myth and Cult among Primitive Peoples (Current Anthropology 6 : 199-215).
§ Caillois, Roger 1973 La Dissymétrie. Paris, Gallimard.
§ De Vries, Gijsbert 1927 Bij de Berg-Alfoeren op West-Seran. Zeden, gewoonten en mythologie van een oervolk. Zutphen, W. J. Thiem & Cie
§ Dumont, Louis 1986 Essays on Individualism. Chicago, University of Chicago Press.
§ Grzimek, Benno 1991 Social Change on Seram. A Study of Ideologies of Development in Eastern Indonesia. PhD., University of London.
§ Héritier, Françoise 1996 Masculin/Féminin : la pensée de la différence. Paris, Odile Jacob.
§ Jensen,Adolf E. 1939 Hainuwele. Volkserzählungen von der Molukken-Insel Ceram. Frankfurt, Klostermann.
§ 1948a Die drei Ströme. Züge aus dem geistigen und religiösen Leben der Wemale, einem Primitiv-Volk in den Molukken. Leipzig, Harrassowitz.
§ 1948b Das Weltbild einer frühen Kultur. Stuttgart, Schröder.
§ 1950 « Die mythische Vorstellung vom halben Menschen », Paideuma 5 : 23-43.
§ 1963a « Prometheus- und HainuweleMythologem. Ein Apologie », Anthropos 58 : 145-186.
§ 1963b Myth and Cult among Primitive Peoples. Chicago, University of Chicago Press.
§ Lévi-Strauss, Claude 1969 The Raw and the Cooked. New York, Harper & Row.
§ Mühlmann,Wilhelm Emil 1962 « Erkenntnis des Mythos -Mythos und Erkenntnis », in W. E. Mühlmann, éd., Homo Creator. Abhandlungen zur Soziologie, Anthropologie und Ethnologie. Wiesbaden, O. Harrassowitz Steiner : 67-71.
§ Needham, Rodney 1980 Reconnaissances. Toronto, University of Toronto Press.
§ Platenkamp, Jos D. M. 1993 « Transforming Tobelo Ritual » in Daniel de Coppet, éd., Understanding Rituals. London, Routledge : 74-96.
§ 2004 « From Partial Persons to Completed Societies », Zeitschrift für Ethnologie 129 : 1-28.
§ Schmitz, Carl A. 1960 « Die Problematik der Mythologeme “Hainuwele” und “Prometheus” », Anthropos 55 : 215-238.
§ Stresemann, Erwin 1923 « Religiöse Gebräuche auf Seran », Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde 62 : 305-424.
§ Szabo, Arpàd 1941 « Der halbe Mensch und der biblische Sündenfall », Paideuma 2 : 96-100.
§ Valeri,Valerio 1989 « Reciprocal Centers. The Siwa-Lima System in the Central Moluccas », in D. Maybury-Lewis & U. Lamagor, eds, The Attraction of Opposites. Thought and Society in the Dualistic Mode. Ann Arbor, University of Michigan Press.
§ 1990 « Autonomy and Heteronomy in the Kahua Ritual. As Short Meditation on Huaulu Society », Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 146 : 56-73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar