Selasa, 24 Desember 2024

Pencarian Rijali: Pengalaman seorang buangan di Hindia Timur kolonial

 

[Hans Hägerdal]


A.      Kata Pengantar

Membaca atau hanya mendengar kata Hikayat Tanah Hitu, maka kita akan langsung tahu bahwa tulisan itu adalah sejarah tentang negeri Hitu, di Pulau Ambon. Hal demikian tidaklah salah, karena memang isinya tentang sejarah wilayah tersebut yang ditulis oleh Imam Ridjali.

Namun membaca artikel yang ditulis oleh Hans Hägerdal ini, kita seolah-olah memperoleh perspektif baru yang mungkin selama ini jarang dipikirkan. Tulisan Hans Hagerdal berjudul Rijali’s quest : Experience of a refugee in the colonial East Indies, dimuat dalam Litteraturen i arbete: Vänskrift till Peter Forsgren, yang dieditori oleh Jörgen Bruhn; Åsa Nilsson Skåve; Piia K Posti; Anna Salomonsson, Växjö: Trolltrumma, 2022, halaman 45-58. Melalui tulisan 14 halaman ini, Hagerdal menyajikan perspektif bahwa selain berisikan tulisan sejarah, Hikayat Tanah Hitu adalah “curhat” dari orang buangan atau pengungsi, yang dalam hal ini Imam Ridjali sendiri, yang mengalami kesulitan dan perjuangan dari negeri asalnya, melarikan diri ke negeri asing, terisolasi, dan kemudian mendengar kehancuran negeri yang dicintainya dalam perang Ambon. Hikayat Tanah Hitu juga berisi kekecewaan Imam Ridjali terhadap persatuan Islam, yang diharapkan bersatu dalam perjuangan, namun faktanya impiannya itu hancur.

Seperti yang disebutkan di atas, tulisan ini terdiri dari 14 halaman, 31 catatan kaki, dan halaman bibliografi, namun tidak ada peta, gambar, tabel, atau diagram. Kami menerjemahkan, menambah sedikit gambar dan catatan tambahan jika dirasa perlu. Akhirnya, semoga tulisan ini bisa bermanfaat.

 

B.      Terjemahan

Pendahuluan

Pengungsi yang melarikan diri dari kondisi yang tidak dapat ditoleransi – baik itu peperangan, bencana alam, atau kemiskinan yang parah – ditemukan di hampir setiap masyarakat manusia yang memiliki catatan sejarah. Dalam kebanyakan kasus, banyak sekali laki-laki dan perempuan yang meninggalkan rumah mereka untuk kehidupan yang lebih dapat ditoleransi, yang tidak diketahui oleh kita. Di era sebelum jurnalisme dan televisi, dorongan untuk mendokumentasikan pengalaman orang-orang yang terusir bersifat sporadis, terutama ketika menyangkut para migran di luar wilayah Eropa. Jejak migrasi historis Amerika, Afrika, Asia, dan Osenia dapat ditemukan dalam serangkaian tradisi lisan, kronik, dokumen, dan sisa-sisa arkeologi. Yang terpenting, Asia Tenggara adalah wilayah historis yang telah mengalami sejumlah migrasi dari waktu ke waktu, dari pergerakan suku pra sejarah hingga penderitaan modern para pengungsi Tiongkok-Vietnam dan Rohingya1

Dalam esai ini saya akan membahas teks luar biasa yang sering luput dari perhatian para sejarahwan maritim Asia Tenggara, karena beberapa alasan. Naskah tersebut tidak diterbitkan sampai akhir-akhir ini, dan itu pun hanya dalam terjemahan bahasa Belanda2. Naskah tersebut mungkin juga berada di latar belakang kesadaran kesarjanaan karena banyaknya catatan kolonial yang menceritakan peristiwa yang sama3. Hikayat Tanah Hitu (Kisah Tanah Hitu) ditulis beberapa waktu sebelum tahun 1653 oleh Imam Rijali alias Sifarijali (c. 1590 – setelah 1657). Berasal dari Ambon, sebuah pulau di Indonesia bagian timur, ia menulis karya tersebut setelah perang kolonial yang menghancurkan memaksanya melarikan diri ke emporium terpenting, yaitu Makassar di Sulawesi. Hikayat, yang ditulis dalam bahasa Melayu menggunakan aksara Jawi yang berasal dari bahasa Arab, hampir unik dalam konteks geografisnya. Tidak ada kronik lokal lain sebelum abad ke-19 yang diketahui dari dunia kepulauan yang dikenal sebagai kepulauan rempah-rempah atau Maluku (Moluccas), meskipun penting secara ekonomi selama berabad-abad, sebagai pusat perdagangan cengkih dan pala dan kontak mereka dengan dunia luar. Lebih jauh, buku ini menyajikan kasus yang luar biasa tentang cara kerja dan konsekuensi kolonialisme Eropa, dilihat dari sudut pandang saksi mata lokal yang menjadi pusat peristiwa. Akhirnya, kronik ini diakhiri dengan kisah otobiografi tentang pelarian dari kekacauan yang diciptkan oleh intrusi kolonial Belanda pada tahun 1640-an. Otobiografi adalah hal yang sangat langka di Asia Tenggara pra-modern. Sebagai narasi tandingan terhadap sumber-sumber Eropa, Hikayat Tanah Hitu karenanya layak untuk dipelajari. Berikut ini, pertama-tama, saya akan menempatkan kronik dan penulisnya dalam konteks, dan kedua, membahas trauma yang dialami oleh Rijali karena kehilangan rumah dan pencariannya akan rasa aman dan solidaritas budaya.

 

Ambon dan Perdagangan rempah-rempah

Ambon adalah pulau yang relatif kecil di provinsi Maluku, Indonesia, yang luasnya tidak lebih dari 743 km2. Dalam tulisan-tulisan Eropa yang lebih tua, pulau ini sering disebut Amboina. Pulau ini terdiri dari 2 semenanjung, Hitu yang lebih besar dan Leitimor yang lebih kecil, yang dihubungkan oleh tanah genting yang sempit. Meskipun ukurannya kecil, pulau ini telah memegang posisi sentral di wilayah tersebut selama berabad-abad karena pelabuhannya yang bagus, populasi yang padat, dan produksi cengkih yang menghasilkan keuntungan besar di pasar dunia pada awal modern. Tidak seperti masyarakat di Jawa, Bali, Siam, Vietnam, dan lain-lain, ekonomi lokal tidak didasarkan pada sawah basah, melainkan sagu (pati yang diekstraksi dari pohon sagu), penangkapan ikan, dan perdagangan rempah-rempah. Ambon memiliki pembagian sosial-politik dalam kelompok-kelompok yang ditentukan secara geneologis pada 3 tingkatan, yaitu aman (ikatan suku), uku (suku), dan ruma tau (klan patrilineal) yang menjadikan masyarakat sengat terdesentralisasi4. Dengan berkembangnya perdagangan jarak jauh di wilayah pesisir Asia pada abad ke-15, kepulauan rempah-rempah tumbuh dalam kepentingan dan menerima masuknya budaya dari Cina, Jawa, dan dunia Melayu. Islam membuat terobosan pada akhir abad ke-15 ketika anggota elit lokal menerima agama tersebut, sebagian mencampurnya dengan kepercayaan lama di dunia roh5

Menjelang kontak dengan Eropa, pulau-pulau utara di wilayah tersebut, “Maluku” asli dalam persepsi geografis lokal, didominasi oleh 4 kesultanan yang disebut Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan. Dari semua itu, Ternate adalah yang paling berkuasa, meskipun sultannya tidak memerintah negara yang terbirokratisasi, tetapi memimpin jaringan wilayah-wilayah vasal dan aliansi6. Pusat-pusat lainnya adalah Ambon dan Kepulauan Banda pengekspor pala yang terletak sedikit lebih jauh ke selatan. Ambon dan beberapa masyarakat pulau lainnya melibatkan dualisme ritual-sosial dengan pembagian menjadi 2 ikatan yang disebut Ulisiwa dan Ulilima yang seringkali bermusuhan satu sama lain.

Hikayat Tanah Hitu menceritakan secara rinci bagaimana berbagai klan tiba di Hitu, dari Seram, jawa, Halmahera, dan Gorom, dan sepakat untuk membentuk semacam republik federal. Dunia hikayat lebih merupakan dunia kaum laki-laki; perempuan hanya muncul sebagai objek pernikahan, tetapi berfungsi untuk mengikat klan-klan tersebut. Empat penguasa yang disebut perdana akan memerintah Hitu dengan hak prerogatif yang sama. Mereka kemudian berteman dengan para penguasa Muslim Ternate, dan aliansi formal pun berakhir pada abad ke-16. Pengaturan ini menentang gagasan Barat tentang kekuasaan negara : Hitu secara nominal dimasukkan dalam struktur pemerintahan formal sultan sebagai salah satu soa (unit pemukiman) tetapi pada kenyataannya dibiarkan sepenuhnya otonom7. Ini lebih merupakan kemitraan untuk mengamankan rute perdagangan. Jauh kemudian, semacam kepala eksekutif yang disebut Kapitan Hitu, yang ditunjuk untuk mewakili seluruh federasi Hitu. Gelar itu sebenarnya adalah berbahasa Portugis (capitão), yang menunjuk pada pengaruh awal dari dunia luar. 

Pada tahap ini orang Eropa memang telah memasuki tempat kejadian. Harga yang meningkat yang diperoleh cengkih, pala, lada, dan kayu manis di pasar Eropa dan Asia membuat akses ke kepulauan rempah-rempah menjadi prioritas perusahaan pelayaran. Sejak tahun 1512, Portugis muncul di Maluku, diikuti oleh Spanyol pada tahun 1521. Berbagai tahap eksploitasi kolonial dijelaskan dengan fasih oleh Hikayat : pada awalnya komunikasi yang aneh dan ramah, kemudian perilaku kejam oleh orang kulit putih – penjarahan dan konflik – yang merusakan relasi, dan akhirnya perang habis-habisan antara para pahlawan. Bagi Imam Rijali yang saleh, faktor agama penting di sini : perang yang dilancarkan orang Hitu dengan Portugis digambarkan sebagai “perang suci” dan musuh adalah “kafir terkutuk”. Identitas Katolik yang kuat dari orang asing kulit putih yang tidak sopan memberikan perjuangan aspek yang sangat intens di wilayah dimana agama Kristen sampai saat ini sama sekali tidak dikenal sebagai jalur aman dalam Al-Qur’an. Terlepas dari semua upaya, Portugis tidak dapat diusir karena mereka menjalin hubungan dengan desa-desa tertentu di Ambon. Catatan Rijali dapat dibandingkan dengan kronik Portugis yang menegaskan garis-garis besar konflik dan sangat mengagung-agungkan tentara kulit putih dan misionaris. Meskipun Rijali tidak secara eksplisit mengatakannya, banyak orang Ambon yang memeluk agama Kristen pada tahun-tahun tersebut, dan kesenjangan agama sebagian besar tumpang tindih dengan dualitas ritual Ulisiwa-Ulilima8.

Tahap baru dimulai dengan kedatangan Belanda secara tiba-tiba pada tahun 1599. Sebagai bangsa pelaut Protestan yang menentang keras kekaisaran Spanyol (yang saat itu merupakan bagian dari Portugal), Belanda segera mengorganisasi diri mereka ke dalam VOC yang berusaha keras untuk mengendalikan rute perdagangan di sebagian besar wilayah maritim Asia9. Dalam Hikayat, para pendatang baru pada awalnya tampaknya menawarkan janji kondisi yang teratur. Ketika VOC mengusir Portugis dari benteng mereka pada tahun 1605, para pemimpin Hitu dengan ragu-ragu menerima bahwa Belanda mengambil alih benteng Portugis di kota Ambon masa kini di semenanjung Leitimor. Sebuah bagian yang panjang dari Hikayat secara menarik menggambarkan bagaimana orang Belanda dan Hitu terlibat dalam musyawarah panjang tentang harga rempah-rempah. Bagian lain merinci semacam perjalanan wisata ke India yang dilakukan oleh bangsawan Mihirjiguna di atas kapal VOC pada tahun 1622-1623, ditemani oleh sang penulis, yaitu Rijali10.

Awan gelap berkumpul

Namun, seperti yang diamati Rijali, orang Ambon segera menemukan sisi gelap dari kehadiran orang Eropa. Mereka menyaksikan bagaimana VOC menekan dengan kejam kepulauan Banda di dekatnya (1621) dan membunuh saingan Inggris yang dituduh melakukan intrik (1623). “Cara bertindak mereka salah”karena mereka membangun gudang dan benteng di tempat yang seharusnya mereka lakukan dan mengirim kapal ke pulau-pulau di sekitar yang membangkang di lingkungan tersebut. Setelah tahun 1623, “perselisihan meningkat pesat karena perdagangan; karenanya, Kimelaha Luhu, Kimelaha Leliato dan semua orang di tanah Ambon berperang; hanya Hitu yang tidak melakukannya. Baik Muslim maupun Kristen saling berperang, menang, menderita kekalahan, dan seterusnya”11.

Hal-hal menjadi sangat serius ketika Kakiali, pemegang gelar Kapitan Hitu dan sepupu Rijali, mengunjungi Makassar, pelabuhan dagang Muslim yang penting, pesaing serius ambisi Belanda untuk mempertahankan perdagngan rempah-rempah di bawah kendali VOC dengan cara apa pun. Seseorang – Rijali tidak mengatakan siapa – menuduh Kakiali mencoba menghasut penguasa kerajaan Makassar untuk menyerang Belanda dan dengan demikian memutuskan aliansi12. Tak lama setelah ini, pertemuan damai dengan Gubernur Belanda di Ambon berakhir dengan Kakiali dipenjara, dan pesan ancaman dikirim ke berbagai pemimpin (orangkaya) : “...........tanah Hitu dan Belanda seperti suami istri. Ketika istri berbuat salah, suami akan menegurnya”13. Orang Hitu tidak yakin, dan serangkaian konflik yang rumit dimulai pada tahun 1634. Meskipun Kakiali dibebaskan 3 tahun kemudian, ketidakpuasan orang Hitu terhadap VOC yang memonopoli menyebabkan pecahnya kekerasan baru di tahun-tahun berikutnya. 

Tidak ada ruang di sini untuk menggambarkan rincian Perang Ambon yang terkenal yang berlangsung hingga akhir tahun 1650-an, dan membawa kehancuran di sebagian besar Maluku Tengah14. Cukuplah untuk mengatakan bahwa VOC akhirnya mengamankan kendali atas produksi dan penjualan cengkih, sementara secara efektif mengurangi Maluku menjadi daerah terpencil secara ekonomni seperti yang terjadi sejak saat itu. Cengkih hanya dapat ditanam di bawah kendali kolonial yang ketat di Ambon dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, Haruku, Saparua, dan Nusalaut15. Yang menarik bagi kita di sini adalah perspektif perjuangan yang dilakukan oleh Rijali. Catatannya tentang aliansi dan pertempuran yang berubah-ubah, yang agak membingungkan orang luar karena banyaknya nama gelar para pemimpin, menunjukkan kerentanan masyarakat dengan tingkat integrasi yang rendah yang mencoba menghadapi organisasi kolonial yang mujarab. Pertama, selalu ada perpecahan dan dan pemisahan di dalam barisan mereka sendiri. Rijali suka berpikir bahwa Ulisiwa-Ulilima yang lama dapat digantikan oleh front persatuan yang dipimpin Muslim melawan Belanda Kristen yang tamak, tetapi bahkan pemukiman-pemukiman individu tidak mampu membuat front seperti itu :

Di tanah Hitu, pemukiman Hila dan Hitulama – yang lain tidak saya sebutkan – bersama dengan pemimpin Bulan dan pemimpin Tanahitumesen, berpihak pada Belanda. Mengenai pemukiman Hitu di Wawani, pemukiman Asilulu, Alang, dan Liliboi – yang lain tidak saya sebutkan – mereka berperang melawan Belanda bersama dengan Kapitan Hitu, Patih Tuban, Tubanbesi dan Kimelaha Luhu. Mereka saling menghancurkan dan saling menyerang seakan-akan perang suci di Ambon tak kunjung berakhir16.

Kedua, aliansi-aliansi itu berubah-ubah dan tidak stabil. VOC memiliki kontrak dengan Hitu, tetapi Sultan Ternate masih memiliki semacam kedaulatan atas wilayah Ambon dan pada gilirannya bersekutu erat dengan Belanda. Pemain lain adalah Makassar, wilayah komersial ekspansionis yang sia-sia mengirim armada ke Ambon untuk membantu meningkatkan posisi para penganut agama yang sama. Selain itu, orang Hitu tidak memiliki ikatan yang saling silang dengan pulau-pulau di dekatnya, terutama Seram ke arah utara. Di dunia yang tidak stabil ini, kolonialisme Eropa memiliki banyak peluang untuk memancing di air yang bermasalah. Meskipun Hikayat Tanah Hitu ditulis dengan gaya yang agak apa adanya, kepahitan Rijali tentang ketidakmampuan dan bahkan keengganan kaum Muslim untuk membendung gelombang kolonialisme (dalam istilahnya, adalah kaum kafir) tampak jelas.


Kisah seorang pengungsi

Halaman terakhir dari catatan Rijali adalah kisah tentang kesengsaraan dan pengkhianatan. Pada tahun 1634, bangsawan utama Hitu, Kakiali, dikepung oleh VIC di pemukiman perbukitan Wawani ketika 2 orang Spanyol bergabung dengan pasukannya dan memenangkan kepercayaan semua orang – Belanda dan Spanyol adalah musuh pada saat itu. Namun, mereka ternyata pengkhianat; suatu malam mereka masuk ke rumah Kakiali dan menikamnya hingga tewas17. Tak lama kemudian, desa tersebut diserbu oleh pasukan VOC, dibantu oleh beberapa penduduk lokal. Para penyintas, termasuk Rijali sendiri, berhasil melarikan diri ke daerah pedalaman perbukitan yang berlantara. Para pemimpin terakhir perlawanan menghadpi prospek yang curam : jika mereka tetap tinggal di daerah terpencil, para pengikut mereka akan keluar, dan jika mereka mendekati sebuah desa, kehadiran mereka akan diketahui oleh Belanda. Akhirnya, Telukabesi, yang sebelumnya netral, penguasa desa Kapahaha, setuju untuk membantu kelompok tersebut. Setelah mengalami beberapa kemunduran, para pemimpin pemberontak menyadari kecilnya peluang untuk melanjutkan perang, terutama karena sebagian besar pembantu mereka dari Makassar telah berlayar pulang ke Sulawesi. “Kemudian para pemimpin itu pergi ke gubernur dan membawa 3.000 Real [koin Spanyol] sebagai honararium, untuk meminta pengampunan bagi kami. Gubernur mengambil Real tetapi tidak memaafkan orang-orang ini”18.

Tindakan pengkhianatan ini diikuti oleh pemanggilan umum para pemimpin Hitu : siapa pun yang gagal melapor adalah musuh kompeni. Semua desa menyerah kecuali satu desa, Kapahaha, yang pemimpinnya yaitu Tulakabesi akhirnya memutuskan untuk melawan orang Eropa dan mengumpulkan para pemberontak di pemukimannya yang tinggi dan sulit dijangkau. 300 pejuang yang sebagian bersenjata dengan senapan memukul mundur serangan berturut-turut oleh tentara Belanda dan dengan bangga menolak tawaran para pemimpin Ambon lainnya untuk menjadi perantara perdamaian. 

Kemudian, tiba-tiba, rasa frustasi muncul. Hamzah, Sultan Ternate (memerintah 1627-1648) masih dipandang sebagai tokoh sentral yang dihormati, yang mewujudkan harapan bahwa segala sesuatunya dapat diatur kembali. Namun tangannya terikat oleh orang-orang Eropa. Para pemberontak mengirim pesan kepada penguasa : “Apa yang akan terjadi pada kita? Karena semua pemukiman di tanah Ambon berada di pihak Belanda, kita adalah satu-satunya pemukiman yang melawan Belanda. Apakah Yang Mulia ingin kita berperang atau berdamai? Beritahu kami apa keingin kerajaan Yang Mulia”19. Sultan tidak peduli untuk mengirim balasan, tetapi ketika utusan para pemberontak bertemu dengan gubernur kerajaan (perdana kimelaha ) di wilayah Ambon, gubernur dengan kasar memerintahkan eksekusinya. “Ketika para pemimpin di pemukiman Kapahaha mendengar ini, mereka sangat heran dan terkejut dengan tindakan perdana kimelaha. Para pemimpin berkata : “harapan kami terletak pada perjanjian dengan Baginda Sultan yang telah disahkan melalui firman Tuhan di pemukiman Hitu. Apa yang harus kami harpkan ketika tidak ada pernyataan? Apa yang harus kami harpkan ketika sebuah pernyataan benar-benar datang”?. Kemudian sebagai ujian dari Tuhan, penyakit dan kekurang bahan makanan menimpa pemukiman tersebut”20. Akhir yang menyedihkan dari kemerdekaan Ambon terungkap pada bulan Juli 1646 dan digambarkan dengan jelas oleh Rijali, yang secara fatalistik menganggapnya sebagai kehendak Yang Maha Kuasa :

[Seorang] asing melompat ke arah Belanda. Ia menunjukkan jalan bagi Belanda. Di tengah malam, mereka memanjat, dan pemukiman itu dikalahkan sesuai dengan kehendak Tuhan yang maha kuasa. Penduduk melarikan diri ke segala arah, semua orang berusaha mencari tempat yang aman. Beberapa meninggal dalam perjalanan; beberapa meninggal di bawah pohon, tidak dapat berlari jauh karena mereka kelaparan. Beberapa mencari perlindungan di hutan, yang lain di gua-gua; dimanapun mereka berakhir, mereka mati di tempat itu. Sebagian melarikan diri ke pemukiman Mamala, sebagian lagi ke pemukiman Hitulama, dan sebagian lagi ke Hila. Sebagian lagi ke pemukiman Tial, dan Patih Tuban ke pemukiman Wai. Semuanya diserahkan kepada gubernur21.

Telukabesi yang heroik bernasib sama. Ia berhasil menyelinap keluar dan berlayar dengan perahu kecil ke pulau Haruku di dekatnya, tempat ia mencoba meminta bantuan penduduk setempat, tetapi mereka berbalik melawannya dan mencoba menangkapnya. Telukabesi melarikan diri kembali ke Hitu, tempat beberapa penduduk lokal menyerahkannya kepada penguasa Belanda, yang tidak berbelas kasihan. Ia dieksekusi, sementara sejumlah orang Hitu yang ditangkap dikirim ke pengasingan. Tradisi kemerdekaan orang Hitu yang membanggakan berubah menjadi keputusasaan, tempat orang-orang dengan keyakinandan etnis yang sama saling mengkhianati karena takut kepada penjajah baru. Hanya beberapa orang yang menolak untuk menyerah, termasuk Rijali sendiri, yang di sini disebut Sifarijali, yang menggambarkan pelariannya sebagai orang ketiga :

Sekarang saya ceritakan tentang Sifarijali. Saya tidak akan menceritakan penderitaannya atau kesalahan yang telah dilakukannya, tetapi saya hanya akan menceritakan bagaimana dia berlari melalui hutan dan ladang, menanjak, menurun,..............saat matahari terbenam, dia pergi ke pantai untuk bersembunyi, karena orang-orang mencari di hutan pada siang hari. Oleh karena itu, dia bersembunyi di dekat pantai. Saat matahari terbenam, dia keluar dan berjalan melalui hutan dan ladang. Dia bertemu dengan seorang pelayan Patih Tuban, Sarasara Tahakehena, dan mereka berjalan bersama di sepanjang jalan. Sedikit lebih jauh ke atas bukit, mereka mendengar seekor anjing mengonggong di hutan. Sesaat kemudian anjing itu berlari bersama tuannya yang berkebangsaan Belanda. Karena jam terakhir Sifarijali dan Sarasara Tahakehena belum tiba, anjing itu tidak memperhatikan dan orang Belanda itu juga tidak mengatakan sepatah kata pun. Mereka saling memandang dan menjauh. Beberap jarak lebih jauh, mereka sekali lagi melihat musuh, tetapi mereka bersembunyi, dan musuh tidak menangkap mereka22.  

Kedua lelaki itu terus berjuang dan akhirnya mencapai desa Hila. Di sana Rijali diberi makan oleh Imam setempat dan bertemu dengan beberapa pengungsi lainnya. Bersama-sama mereka memperoleh sebuah perahu kecil dan menuju Kelang, sebuah pulau di sebelah barat Ambon. Salah satu dari mereka lebih memilih untuk kembali ke Ambon, meninggalkan hanya 3 orang :”karena alasan itu, keadaan menjadi sangat keterlaluan bagi Sifarijali. Saya tidak dapat menggambarkan kesedihannya, hanya saja dia menaruh kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa”23. Secara kebetulan, dia dibawa ke atas sebuah kapal yang membawanya ke tempat yang relatif aman di Pulau Buru di dekatnya. Dua kenalannya tiba di Buru juga dan memberi tahu Rijali tentang keadaan Ambon yang menyedihkan. “[S]aat Sifarijali mendengar ini, kesedihannya semakin bertambah. Semua berkata : “Apa yang bisa dilakukan, itu adalah kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Lebih baik kita mengasingkan diri di negeri lain, sehingga kita tidak perlu melihat atau mendengar tentang negeri kita sendiri”. Mereka kemudian berpamitan dengan orangkaya kimelaha dan kipati [tuan tanah setempat]”24.

Rombongan kecil itu melintasi Laut Banda dalam 3 hari dan akhirnya mencapai pantai Sulawesi, sebuah pulau yang sebagian penduduknya beragama Islam yang masih bebas dari kekuasaan Belanda. Namun, kesengsaraan mereka belum berakhir. Para penganut yang sama di kerajaan pesisir, Bone, jauh dari kata yang dapat dipercaya :

Orang-orang dari Bone datang untuk bertanya kepada mereka : “Kalian ini orang apa?”. Mereka menjawab : “Kami orang Ambon”. “Kalian mau kemana”? “ Kami sedang dalam perjalanan ke Makassar tetapi kekurangan air dan perbekalan. Jika kalian punya makanan, kami akan membayarnya”. Orang-orang itu berkata : “Tunggu di sini, besok kami akan bawa makanan ke sini, dan kemudian akan dijual”. Jadi, Sifarijali menunggu, tetapi keesokan paginya orang-orang bersenjata datang. Karena itu mereka bersembunyi di hutan dan mengirim beberapa orang untuk memanggil orang-orang [Bone] di perahu. Mereka berkata : “datanglah ke darat, karena kami ingin membeli makanan”. Karena takut, mereka tidak berani naik ke kapal. Yang lainnya tidak mau turun ke darat dan berlayar menjauh. Hal ini terjadi karena belum ada kehendak Yang Maha Esa [bahwa mereka akan dibunuh]. Selama perjalanan, mereka tidak memiliki makanan apa pun selain kerang dan daun genemu25.

 

Perhentian mereka berikutnya adalah Buton, sebuah kerajaan pulau dekat Sulawesi yang merupakan vassal Makassar. Akhirnya, mereka merasakan sedikit kebaikan dan kemurahan hati. Penerimaan di sana jauh lebih ramah daripada di tempat sebelumnya; mereka diberi makanan dan pakaian dan para elit setempat bahkan menawarkan Rijali dan rombongan kecilnya untuk tinggal di pulau mereka. Namun, Rijali dengan sopan menjawab bahwa perjalanannya belum berakhir. Perwakilan penguasa Makassar kemudian menaikan mereka ke sebuah kapal yang menuju Makassar. Hikayat Tanah Hitu diakhiri dengan sebuah catatan harapan saat penulisnya dibawa ke hadapan kedua penguasa Makassar26.

Pada saat itu, Sultan Pattingalloang memerintah negeri Makassar, dan Sultan Muhammad Said diangkat ke jenjang kesultan sebagai Sultan Islam, bayang-bayang Nabi di wilayah orang-orang beriman. Sifarijali memberi hormat di hadapan mereka dan menceritakan penderitaannya kepada Sultan. Kemudian, Sultan Pattingalloang berkata : “Jika aku tidak peduli dengan nasib kalian, tidak akan seperti yang dikatakan Nabi kepada kita, umatnya : kaum muslimin adalah saudara”. Kemudian syahbandar memberinya tempat tinggal yang membuatnya merasa betah.

Dengan cara demikian, ia meninggalkan pemukimannya untuk mencari kedamaian karena takut kepada Belanda. Ia menjelajahi hutan-hutan, tanah lapang, pesisir, dan laut, hingga tiba di tanah Makassar. Dengan demikian, seseorang menemukan kedamaian untuk dirinya sendiri. Di sinilah kisah berakhir27.

 

Sebagai seorang imam, Rijali melukiskan gambaran penuh harapan tentang solidaritas agama setelah semua pengalaman mengerikan dari serangan kolonial dan pengkhianatan internal di tanah airnya. Solidaritas yang ditunjukkan oleh kedua penguasa, yang baru-baru ini mengirim armada dan pasukan untuk melawan orang Eropa di Ambon, agak sederhana : pada dasarnya, sang imam diberi tempat tinggal dan tampaknya berjuang sendiri di kota perdagangan yang ramai, Makassar. Pattingalloan yang terpelajar juga memerintahkan Rijali untuk menulis Hikayat Tanah Hitu, yang kebetulan dapat berfungsi sebagai instrumen ambisi kekuasaan Makassar dengan menunjukkan kekuatan Islam lama, [yaitu] ternate, sebagai vassal VOC, dan orang Makassar sebagai penolong yang jujur dari perjuangan orang Ambon, suatu teks tersebut pada dasarnya merupakan argumen dalam permainan kekuasaan di perairan Indonesia bagian tiur. Faktanya, kisah Rijali tidak berakhir di sini, dan kariernya di masa depan sama dramatisnya. Ketika perlawanan baru terhadap VOC meletus di Maluka pada tahun 1650-an, ia berlayar ke Seram, di utara Ambon, tempat para pejuang Makassar membantu penduduk lokal melawan Belanda. Sebagai semacam piagam kebebasan orang Ambon, ia membawa Hikayat Tanah Hitu yang kini telah rampung28. Naskah-naskah Indonesia seringkali memperoleh prestise lokal sebagai pusaka yang dihormati. Ketika para pemberontak dikalahkan pada tahun 1656-1658 setelah pembantaian dan penghancuran yang parah, Rijali sekali lagi melarikan diri ke Makassar. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1667, giliran Makassar menjadi korban ekspansi VOC, yang menandai puncak kejayaan kekaisaran Belanda di luar negerinya29. Setidaknya, tampaknya Rijali terhindar dari pemandangan ini karena ia tampaknya telah meninggal. Namun, sebagimana dinyatakan oleh penulis Belanda, W.L. Ritter, “sejarah tidak mencatat nasibnya di kemudian hari, dan tidak diketahui di mana jenazah imam Rijali yang tak bernyawa itu disemayamkan di bumi”30.

 

Penutup

Penulis kita adalah tokoh terkemuka di Ambon dan tentu saja bukan “tipikal” dari para pengungsi yang tak terhitung jumlahnya yang melarikan diri dari perang dan kesulitan di era kolonialisme awal yang tidak terkendali di Indonesia. Namun, sebagai saksi mata yang saleh atas ekspansi Eropa, kisahnya menarik sebagai wacana perbandingan. Pandangan dunia Hikayat Tanah Hitu bersifat dualistik : perang kolonial diidentifikasi sebagai pertikaian antara orang Eropa Kristen dan non-Eropa Muslim. Antagonisme ekonomi, politik, dan agama saling memperkuat, dengan konsekuensi yang parah hingga saat ini31.  Namun, dualisme yang dijelaskan Rijali hanyalah sebagian dari gambaran yang lebih luas, karena masyarakat Ambon sangat terfragmentasi dan didasarkan pada kelompok-kelompok genealogis; harapannya tentang apa yang pada dasarnya akan menjadi front anti-kolonial karena itu tidak didukung oleh kenyataan pahit dari aliansi dan loyalitas yang berubah-ubah. Beberapa aspek diredam dalam Hikayat : sangat sedikit yang dikatakan dalam teks tentang agama lokal, meskipun agama itu ada di Maluku hingga zaman modern. Meskipun bagian awal teksnya bersifat legenda, hampir tidaka da kisah tentang hal-hal gaib. Hal ini tidak seperti kronik Muslim Indonesia, dimana unsur-unsur tersebut sering tertanam dalam kausalitas berbagai peristiwa. Sebalinya, kehendak Tuhan dalam arti umum terus menerus membawa sejarah pada jalurnya. Bahkan kemenangan Belanda dan kematian para pahlawan perlawanan adalah kehendak Tuhan karena alasan-alasan yang tidak dapat ditoleransi oleh manusia fana. Pada saat yang sama, kisah Rijali sendiri semakin mengungkap keretakan dalam dualisme tersebut. Desa-desa Muslim ditekan untuk mengekstradisi para pemberontak ke nasib yang sulit – eksekusi atau pembuangan – dan Sultan Ternate dan kaki tangannya dengan memalukan mengkhianati tujuan para penganut agama yang sama. Trauma mendalam penulis ketika dihadapkan dengan kondisi tanah airnya membawanya ke pelarian yang berbahaya sehingga ia tidak dapat “melihat atau mendengar” tentang kampung halamannya. Secara mental,tempat berlindung yang ditemukan Rijali di Makassar, betapa pun sederhannya, berfungsi sebagai kompensasi atas kesulitan fisiknya. Solidaritas yang diyakininya telah tercapai membawa penghiburan dan secercah harapan untuk masa mendatang.

 

=== selesai ===

 

Catatan Kaki

1.         Lihat  Andaya and Andaya, A History of Early Modern Southeast Asia, 1400-1830 , 4, 27-8, 240-1, 286.

2.        Ridjali, Historie van Hitu, dengan teks Melayu dan terjemahan Belanda paralel. Karya ini tersedia dalam dua manuskrip (Cod. Or. 5448 and Cod. Or. 8756) in Leiden University Library. Manusama, Hikayat Tanah Hitu, 4-9. Rangkumannya bisa ditemukan di Valentijn, Oud en nieuw oost-Indien, Vol. II, part 2, 1-14.

3.        Bandingkan pandangan merendahkan yang dikutip di Manusama, Hikayat Tanah Hitu, 2.

4.        Keuning, Ambonese, Portuguese and Dutchmen, 365; Knaap, Kruidnagelen en Christenen, 9-11.

5.        Lieberman, Strange Parallels, Volume 2, 800-2, 809, 815.

6.        Andaya, The world of Maluku.

7.        Ridjali, Historie van Hitu, 105.

8.        Aritonang and Steenbrink, A History of Christianity in Indonesia, 35-49.

9.        Emmer and Gommans, The Dutch Overseas Empire, 1600-1800, 17-22.

10.      Ridjali, Historie van Hitu, 155-61.

11.        Ridjali, Historie van Hitu, 161. Semua terjemahan dari teks Rijali adalah karya penulis saat ini.

12.       Dari sumber-sumber Belanda, tampaknya penuduhnya adalah Kayoan, perdana menteri dari garis keturunan Tanihitumesen; see Rumphius, De Ambonsche historie, 107.

13.       Ridjali, Historie van Hitu, 171.

14.       Knaap, Kora-kora en kruitdamp, 269-72.

15.       Knaap, Kruidnagelen en Christenen, 30.

16.      Ridjali, Historie van Hitu, 185.

17.       Sumber-sumber Belanda menyebutkan tentang satu pengkhianat; see Rumphius, De Ambonsche historie, 220-1.

18.       Ridjali, Historie van Hitu, 197.

19.      Ridjali, Historie van Hitu, 203.

20.     Ibid.

21.       Ridjali, Historie van Hitu, 203-5. Kisah yang sama, yang diceritakan dari sudut pandang heroik Belanda, ditemukan dalam Rumphius, De Ambonsche historie, 254-5. Sebuah kisah romantis dan sebagian fiksional tentang peristiwa-peristiwa ini ditulis oleh W.L. Ritter, Toeloecabesie: Amboina in 1644 (1844). Di sini, istri Telukibesi ternyata adalah putri Eurasia yang telah lama hilang dari komandan Belanda yang menyerang, Jacob Verheijden. Terlambat, Verheijden menyadari bahwa ia telah melukai anaknya sendiri hingga tewas dalam serangan terakhir.Ridjali, Historie van Hitu, 205.

22.      Ridjali, Historie van Hitu, 207.

23.      Ibid.

24.      Ridjali, Historie van Hitu, 209.

25.      Genemu or belinjo is a pohon yang daun mudanya dan bijinya dapat dimakan

26.     Makassar merupakan kerajaan kembar yang diperintah oleh dua penguasa yaitu Gowa dan Tallo’. Penguasa Tallo’ yaitu Pattingalloang dikenal sebagai pemimpin yang berpandangan jauh ke depan dan tegas.; see Andaya, The Heritage of Arung Palakka, 39 44.

27.      Ridjali, Historie van Hitu, 211.

28.      Rumphius, De Ambonsche historie, 257-8.

29.     Andaya, The Heritage of Arung Palakka, 73-99.

30.     Ritter, Toeloecabesi”, 369.

31.       Untuk warisan modern kolonialisme dan perpecahan agama di Ambon; see Braithwaite, Braithwaite, Cookson and Dunn, Anomie and Violence, 147-242.

 

References

§  Andaya, Barbara Watson and Andaya, Leonard Y. A History of Early Modern Southeast Asia, 1400-1830. Cambridge: Cambridge University Press, 2015.

§  Andaya, Leonard Y. The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century. The Hague: M. Nijhoff, 1981.

§  Andaya, Leonard Y. The world of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. Honolulu: University of Hawai’I Press, 1993.

§  Aritonang, Jan Sihar and Steenbrink, Karel. A History of Christianity in Indonesia. Lei- den & Boston: Brill, 2008.

§  Braithwaite, John, Braithwaite, Valerie, Cookson, Michael and Dunn, Leah. Anomie and Violence: Non-truth and Reconciliation in Indonesian Peacebuilding. Canberra: ANU Press, 2010.

§  Emmer, Pieter C. and Gommans, Jos J.L. The Dutch Overseas Empire, 1600-1800. Cam- bridge: Cambridge University Press, 2021.

§  Keuning, J. Ambonese, Portuguese and Dutchmen: The History of Ambon to the End of the Seventeenth Century. In Dutch Authors on Asian History, M.A.P. Meilink Ro- elofsz, M.E. van Opstall, and G.J. Schutte (Eds), 362-97. Dordrecht: Foris, 1988.

§  Knaap, Gerrit. Kora-kora en kruitdamp: De Verenigde Oost-Indische Compagnie in oorlog en vrede in Ambon. In De Verenigde Oost-Indische Compagnie tussen oorlog en diplomatie, Gerrit Knaap & Ger Teitler (Eds), 257-82. Leiden: KITLV Press, 2002.

§  Knaap, Gerrit. Kruidnagelen en Christenen: De VOC en de bevolking van Ambon 1656- 1696. Leiden: KITLV Press, 2004.

§  Lieberman, Victor. Strange Parallels: Southeast Asia in Global Contexts, c. 800-1830, Volume 2. Cambridge: Cambridge University Press, 2009.

§  Manusama, Z.J. Hikayat Tanah Hitu: Historie en social struktuur van de Ambonse eilan- den in het algemeen en van Uli Hitu in het bijzonder tot het midden der zeventiende eeuw. PhD thesis, University of Leiden, 1977.

§  Ridjali. Historie van Hitu: Een Ambonse geschiedenis uit de zeventiende eeuw. Utrecht: Landelijk Steunpunt Educatie Molukkers, 2004.

§  Ritter, W.L. Toeloecabesie: Amboina in 1644. Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië. Vol. 6, 1844, no. II: 265-319, 382-435, no. III: 62-96, 166-97, 289-319, no. IV: 59-94, 180-254, 312-79.

§  Rumphius, G.E., De Ambonsche historie [former part]. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Vol. 64, no. 1, 1910: 1-327.

§  Valentijn, François. Oud en nieuw oost-Indien, Vol. II, part 2. Dordrecht: Van Braam, 1724.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar