(bag 1)
[Michael Prager]
- Pendahuluan
Artikel sepanjang 22 halaman yang diterjemahkan ini berjudul Half-Men, Tricksters and Dismembered Maidens : The Cosmological Transformation of Body and Society in Wemale Mythology, ditulis oleh Michael Prager, dan dimuat dalam jurnal antropologi L’Homme : Revue Français d’anthropologie, volume 174, tahun 2005, halaman 103 – 124.
Pada tulisan ini, sang penulis mengkaji tentang berbagai mitos yang dikumpulkan oleh Adolf Jenssen dan G. de Vries di suku Wemale di Seram bagian barat. Ia mengkaji 2 mitos utama, yaitu mitos Setengah-Manusia atau Half-Men yang kaitannya dengan asal usul makanan yaitu padi atau beras, serta mitos Hainuwele seorang gadis muda yang lahir dari pohon kelapa yang bagian tubuhnya berubah menjadi umbi-umbian.
Seperti disebutkan sebelumnya tulisan ini sepanjang 22 halaman, ditambah dengan 8 catatan kaki dan halaman bibliografi. Kami membagi tulisan ini menjadi 2 bagian dan hanya menambahkan sedikit catatan tambahan dan beberapa ilustrasi dalam terjemahan ini, yang pada naskah aslinya tidak ada lukisan/gambar ilustrasi. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita dalam memahami mitos-mitos yang kita percayai sebagai orang Maluku, meski mungkin saja kita menolak atau tidak menyetujui apa yang ditawarkan atau apa yang dianalisis oleh Michael Prager, tetapi minimal kita mendapati perspektif baru dalam konteks antropologis terhadap mitos-mitos tersebut.
- Terjemahan
Pada tahun 1937, Antropolog Jerman, Adolf E. Jensen (1899 – 1965) melakukan kerja lapangan etnografis di Pulau Seram, Indonesia bagian timur, sebagai anggota Ekspedisi Frobenius yang disebut ke Maluku dan Dutch New-Guinea (1937-1938). Penelitian Jensen berfokus terutama pada kelompok etnis Wemale, sebuah masyarakat berbahasa Austronesia, yang tinggal di bagian barat Pulau Seram (Maluku Tengah, Indonesia Timur). Meskipun pekerjaan lapangannya di etnis Wemale tidak lama, hasil penelitiannya komprehensif dan mengejutkan. Salah satu hasilnya adalah upayanya pada deskripsi lengkap etnografi Wemale (Jensen, 1948a). Kontribusi lain yang bahkan lebih penting adalah penerbitan koleksi besar, yang terdiri dari 433 mitos dari Seram bagian barat dan bagian tengah, yang muncul pada tahun 1939 dengan judul “Heinuwele” (Jensen, 1939).
Dalam karya selanjutnya, Adolf Jensen secara eksplisit telah memilih 2 narasi dari koleksi ini, yang tampaknya telah menarik perhatiannya : pertama, mitos Hainuwele yang menceritakan tentang kelahiran seorang gadis muda dari pohon kelapa, yang dibunuh secara ritual sepanjang tari maro-maro dan tubuhnya berubah menjadi tanaman yang bisa dimakan; kedua, mitos Taunala, setengah manusia yang melakukan perjalanan ke dunia atas untuk mencari bagian setengah tubuhnya, dan dengan demikian membawa padi jagung pertama ke bumi. Adolf Jensen berulangkali menunjukan bahwa ada hubungan yang erat antara kedua mitos tersebut. Namun, hubungan ini umumnya ia anggap sebagai historis, karena kedua mitos tersebut akan merepresentasikan periode sejarah-budaya yang berbeda. Mitos Hainuwele, ia klasifikasikan sebagai varian motif seluruh dunia “dewa yang dibunuh” yang tubuhnya diubah menjadi tanaman atau benda bernilai budaya lainnya (Jensen, 1948b), sedangkan mitos setengah manusia, ia meyakini untuk menemukan pada topik yang lebih umum dari “mitologem Prometheus”a. Jenis narasi yang terakhir, biasanya berkaitan dengan jenis pahlawan budaya yang melakukan perjalanan ke dunia atas, membohongi para dewa dan merampas benda-benda atau jenis pengetahuan dari mereka, yang sebelumnya tidak dimiliki oleh manusia (Jensen 1950; 1963a).
Karena Adolf Jensen pada dasarnya peduli dengan masalah budaya-sejarah, dia tidak berani melakukan perbandingan sistematis dari 2 motif mitos yang bersangkutan. Alih-alih, ia berusaha keras untuk menentukan motif mana yang lebih tua, atau yang lebih “kuno”. Dalam sebuah artikel yang secara eksplisit berkaitan dengan motif Setengah Manusia, Adolf Jensen (1950) menekankan distribusi luas tema dalam mitologi masyarakat Asia, Pasifik, Afrika dan Amerika. Dalam mempertimbangkan kembali mitos Setengah Manusia dari Seram Barat, yang berkaitan dengan pencurian beras, ia berpendapat bahwa motif ini harus dianggap sebagai “ budaya asing”, karena bukan beras yang merupakan sumber makanan utama bagi orang Seram Barat, tetapi umbi-umbian. Namun, mitos Hainuwele akan dengan jelas menunjukan, bahwa asal mula mitos yang sangat berbeda dikaitkan dengan umbi-umbian ini (ibid : 27). Karena itu, Adolf Jensen yakin bahwa mitos Hainuwele mewakili inti pandangan dunia dari lapisan budaya “petani-petani Melayu”, sedangkan mitos Setengah Manusia dengan motif pencurian beras telah dibawa ke wilayah itu oleh imigrasi orang-orang dari lapisan “Melayu muda pertengahan”, yang telah memperkenalkan penanaman padi/beras (ibid : 28).
Adolf Jensen sendiri dengan agak enggan membantah teori defusionis ini dalam konteks upayanya untuk menjelaskan distribusi motif mistis Setengah Manusia. Dia menekankan bahwa mitos cenderung menggambarkan kondisi umat manusia saat ini sebagai hasil dari proses kreatif yang berevolusi secara bertahap. Karena itu tindakan-tindakan di masa lalu yang mistis, sering dianggap mewakili pembalikan tatanan yang dialami pada masa kini (ibid: 31). Ketika umat manusia menyadari bentuk simetris dari tubuh manusia, ini secara otomatis akan mengarah pada ide mitos makhluk asimetris atau tidak simetris yang kontras dengan makhluk hidup masa kini (ibid: 31). Apa yang dasarnya Adolf Jensen kemukakan dalam konteks ini adalah bahwa citra setengah tubuh hampir secara alami berevolusi dari sifat pemikiran mistis seperti itu. Argumen ini, bagaimanapun, memberikan hipotesis difusionis – menurut motif yang telah diperkenalkan oleh kaum imigran kemudian – berlebihan.
Terlepas dari kontradiksi semacam itu, rekonstruksi budaya historis-nya Adolf Jensen menjadi banyak dibantah oleh para antropolog Jerman dari akhir tahun 1950-an dan seterusnya (Schmitz 1960; Mühlmann 1962). Penolakan keseluruhan atas pendekatan budaya-historisnya Jensen oleh komunitas antropologis internasional akhirnya terbukti ketika karyanya diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Myth and Cult among Primitive Peoples (Jensen : 1963b), dimana dia telah mengulangi banyak dari teorinya yang terdahulu, menerima kritik yang menghancurkan dalam bagian ulasan panjang di salah satu jurnal antropologis terkemuka (CA Book Review 1965).
Metode Adolf Jensen menggunakan mitos untuk merekonstruksi migrasi budaya dan pandangan dunia prasejarah “kuno” secara pasti, jujur, dan milik masa lalu. Namun, apa yang masih belum terpecahkan, dan apa yang tidak pernah diulas lagi, adalah hipotesis Adolf Jensen tentang keberadaan “relasi intim” antara 2 motif mitos yang agaknya secara umum dia beri label “pembunuhan dewa” dan “prometheus” dan yang telah menemukan asal usul mereka dalam mito-mitos Wemale, yaitu Hainuwele dan Taunala atau “Setengah Manusia”. Dalam analisis berikut, saya akan menunjukan bahwa ia dengan benar menekankan hubungan erat antara 2 mitos, tapi ia benar karena alasan yang salah. “Hubungan” yang akan saya bahas, bukanlah hubungan historis tetapi hubungan struktural. Sebagaimana akan menjadi jelas, kedua mitos dapat dianggap sebagai gambar cermin yang sempurna, yaitu sebagai pembalikan sistematis satu sama lain, sehingga hanya dengan berfokus pada logika transformasi (perubahan) mereka, dapat kita sampai pada pemahaman tentang makna mereka.
Dalam mempertimbangkan kembali dan membandingkan mitos-mitos ini, saya akan menahan diri dari prosedur komparatif globalnya Adolf Jensen untuk melacak keberadaan motif mitos dalam gaya Frazerian melalui ruang dan waktu. Saya tidak akan membandingkan mitos-mitos Seram dengan berbagai varian yang dikumpulkan di wilayah Maluku lain (apalagi Indonesia barat). Untuk saat ini, mitos-mitos Seram ini mengajukan pertanyaan yang cukup untuk menjamin fokus semata perbandingan intra-budaya.
Karena keterbatasan pekerjaan lapangan Adolf Jensen dan kurangnya data, saya hanya bisa secara singkat menyinggung hubungan yang berkaitan antara mitos-mitos dan ritual-ritual Wemale, dan terutama pada pertanyaan apakah dalam ritual tatanan mitos diulang kembali atau pembalikan. Namun demikian, saya yakin bahwa dengan memfokuskan pada mitos-mitos yang sebenarnya kita miliki dilengkapi dengan serangkaian gagasan dasar yang memberi kita wawasan tentang kerangka kerja konseptual ideologi lokal. Ini harus dicapai pertama dengan membandingkan mitos “Setengah Manusia” dengan mitos penciptaan, serta yang kedua dengan membandingkan yang pertama dengan serangkaian mitos-mitos padi, dan akhirnya dengan membandingkan mitos “Setengah Manusia” dengan mitos Hainuwele.
Citra/Gambar Tubuh Satu Sisi
Pertanyaan apakah manusia harus satu atau dua sisi adalah ringkasan dalam mitos-mitos asal usul suku Wemale sejak awal. Mitos ini dapat diringkas sebagai berikut :
Ketika Duniai telah menciptakan dunia, belum diputuskan seperti apa bentuk tubuh umat manusia. Pohon pisang dan batu bertengkar tentang isu ini. Batu mengatakan bahwa manusia harus terlihat seperti dan memiliki kekuatan yang sama seperti dirinya [seperti batu], yaitu hanya terdiri bagian kanan dengan 1 tangan, 1 kaki, 1 mata, dan 1 telinga. Akibatnya manusia tidak akan mati. Pohon pisang, bagaimanapun, berpendapat bahwa manusia harus mengambil bentuknya [seperti pohon pisang], yaitu memiliki 2 lengan, 2 kaki, dan lain-lain, dan bahwa mereka akan melahirkan anak-anak seperti dirinya sendiri. Perdebatan dan akhirnya pertarungan menjadi sengit, sampai-sampai batu melompat ke pohon pisang dan menghancurkannya. Namun, keesokan harinya, anak-anak dari pohon pisang berdiri di sana. Lagi-lagi batu berhasil menghancurkan pohon pisang, tetapi tidak lama kemudian muncul pohon baru, dan begitulah seterusnya sampai batu menyerah dan setuju bahwa manusia harus mengambil bentuk pohon pisang, dengan syarat bahwa manusia harus mengalami kematian.
Mitos selanjutnya menggambarkan bagaimana Tuwale (atau Duniai), makhluk spiritual tertinggi, menciptakan 9 keluarga pertama (9 pasang laki-laki dan perempuan) di gunung Nunusaku dari 9 “kelompok” dari pohon pisang. Dari 10 pisang mentah/belum matang, ia menciptakan seorang perempuan, Mulua Satene, yang ditugaskan dengan tugas untuk menjadi penguasa umat manusia (Jensen 1939: 39-41).
Dalam mitos asli Wemale2 pertanyaan apakah manusia harus terdiri dari 1 inti 2 sisi tampaknya dihubungkan dengan 2 kemungkinan bentuk eksistensinya/keberadaannya. Batu dikaitkan dengan prinsip keabadian yang tidak mengalami proses kehidupan dan kematian, kelahiran dan pembusukan, dan yang diekspresikan secara visual oleh citra/gambar manusia yang hanya terdiri dari sisi sebelah kanan. Namun, seperti yang disebutkan dalam mitos, jika manusia akan mengambil bentuk dari pohon pisang, mereka akan terdiri dari 2 sisi, tetapi sebagai akibatnya, mereka akan mati. Akhirnya pohon pisang yang menunjukkan kelebihan/keunggulan dari batu, dengan menunjukkan kapasitas untuk berkembang biak. Manifestasi individu dari pohon itu mudah rusak, namun sebagai suatu spesies, pohon jelas menggantikan batu, karena ia dapat berkembang biak. Itu terdiri dari sisi kiri dan sisi kanan secara bersamaan, pohon pisang, abadi sebagai spesies namun fana sebagai spesimen, tampaknya mencakup prinsip yang diwujudkan oleh batu. Kontras ini dapat dipahami dalam set awal oposisi dasar :
Batu Pohon Pisang
Undifferentiated
Singularity Plural (Prokreasi)
Abadi Hidup dan mati
Sisi Kanan Sisi kiri (dan sisi kanan)
Seperangkat oposisi yang sebanding muncul dari mitos Wemale tentang Setengah Manusia :
Seorang wanita yang belum menikah mengutuk hujan saat bekerja di
ladang/kebun. Segera ia melahirkan seorang anak laki-laki yang ia beri nama
Taunala. Dia hanya terdiri dari sisi kanan dengan 1 telinga, 1 mata, 1 kaki,
dan lain-lain. Dalam pekerjaan sehari-hari taunala sangat terhambat karena
hanya bisa berjalan dengan sangat lambat. Suatu hari Taunala memberi tahu
ibunya bahwa dia akan mencari separuh [tubuh] lainnya. Setelah berkeliling,
Taunala akhirnya bertemu dengan Duniai (dewa tertinggi) di dunia
atas. Duniai menunjukkan kepadanya separuh [tubuh] lainnya (sisi kiri) yang tergantung
di rak. Duniai memasukan Taunala dan sisi kirinya yang hilang ke dalam panci
dan menyiapkan rebusan dengan memasak bahan-bahan di atas api. Dari rebusan
itu, Taunala dibentuk lagi dan Duniai menghembuskan ke hidung Taunala sampai
dia hidup kembali. Dengan demikian Taunala selesai. Dunia memberi tahu Taunala
bahwa dia harus memberi tahu ibunya bahwa dia tidak boleh mengutuk hujan. Setelah
kembali ke ibunya, Taunala melakukan perjalanan kedua ke dunia atas dimana ia
disambut kembali oleh Duniai. Taunala ditawari makanan dan Duniai bertanya
kepadanya apakah dia lebih suka makanan hewan atau makanan manusia. Taunala
memilih makanan manusia lalu ditawari kaki manusia. Setelah menolak kaki
manusia, Taunala menerima makanan hewan. Ketika Taunala akhirnya meninggalkan
dunia atas, dia menyembunyikan padi jagung di luka di bagian bawah kakinya.
Padi jagung ini ia tanam di rumahnya hingga tanaman padi tersebut berkembang
dengan cepat. Setelah mengetahui bahwa Taunala mencuri padi, Duniai menjadi
sangat marah sehingga dia mengirim tikus ke bumi dengan tali karang. Namun
Taunala yang melihat tikus-tikus itu datang, memotong talinya dan tikus-tikus
itu berhamburan ke segala arah. Inilah nenek moyang tikus (Jensen 1939: 83-84).
Versi yang hampir serupa dikumpulkan 2 dekade sebelumnya oleh perwira kolonial G. De Vriesb (1927: 182-183). Dalam mitos versi De Vries, sang pahlawan disebut Haumala :
Setelah mengutuk matahari, seorang perempuan bernama Tunsewa melahirkan Haumala, yang terlahir [dengan] separuh tubuh. Karena Haumala dianiaya oleh orang-orang karena bentuk tubuhnya, ia memutuskan untuk melakukan perjalanan ke dunia atas dimana ia bertemu Tuwale, dewa matahari. Tuwale menunjukkan kepadanya sebuah pohon dimana bagian lagi dari tubuhnya tergantung. Setelah merekatkan kedua bagian tersebut, Tuwale menunjukkan kepadanya kebun-kebun yang ditanami tulang dan rambut manusia. Duniai [Tuwale] juga menunjukkan kepadanya banyak kalong (kelelawar) yang tergantung di pohon dan menjelaskan bahwa kalong-kalong tersebut mewakili “jiwa” manusia. Setiap kali Tuwale lapar dia memakan salah satu kalong ini, dan akibatnya, seorang manusia mati di bumi. Haumala akhirnya dikirim kembali ke bumi dengan tugas untuk memberi tahu orang-orang bahwa mereka tidak boleh mempertanyakan keputusan dan perbuatan Tuwale.
Apa yang muncul dari mitos Setengah-Manusia yang dikumpulkan oleh Adolf Jensen adalah gagasan tentang perlunya transformasi dasar, tentang suatu proses dimana manusia yang setengah tubuh harus dilengkapi terlebih dahulu sebelum beras, yang berasal dari dunia atas, dapat diperkenalkan dan ditanam di bumi [setengah tubuh manusia (sisi kanan) -------> tubuh lengkap (tipu daya, pencurian) ---à asal usul beras]. Selain itu, versi Adolf Jensen menghasilkan 2 motif penting lainnya, yaitu “makanan yang salah” yang ditawarkan dan ditolak oleh sang pahlawan, dan, sebagaimana ditunjukkan dalam proses transformasi di atas, “penipuan” dan “pencurian” oleh yang membawa beras ke bumi. Namun, dalam versi yang dikumpulkan oleh G. De Vries, motif pencurian beras dan persembahan makanan yang “salah” sama sekali tidak ada. Di sisi lain, mitos menekankan fakta bahwa makhluk spiritual tertinggi tampaknya mengkonsumsi “jiwa” manusia.
Fragment Mitos Haumala, dari G. de Vries, 1927 |
Cara motif-motif ini secara struktural terkait dalam kerangka tatanan sosio-kosmik secara keseluruhan menjadi lebih jelas jika kita membandingkan kedua versi mitos Setengah-Manusia dengan serangkaian mitos beras dari Seram bagian barat lainnya, dimana tema tubuh satu sisi tidak ada. Adolf Jensen mengumpulkan 2 versi mitos beras semacam itu (1939: 76-77, 82). Dalam kedua mitos beras, sang pahlawan ditemani oleh makhluk spiritual ke dunia atas. Di versi pertama, setelah mencapai dunia atas, pahlawan ditawari “makanan yang salah” yang langsung dia tolak. Jadi dia diberi makanan “binatang”. Setelah makan, pahlawan tertidur dan kentut. Mencium bau busuk, orang-orang dari dunia atas mengatakan “bahwa manusia ini pasti sudah mati, karena baunya”. Suatu hari seorang perempuan dari keluarga pahlawan itu meninggal di bumi. Sang pahlawan mendengar orang-orang dari dunia atas berkata : “kami merindukan daging babi; mari kita berburu babi”. Tidak lama kemudian dia melihat mereka kembali dengan mayat perempuan itu.
Di hari lain dia melihat orang-orang makan nasi. Karena dia secara eksplisit dilarang untuk menurunkan beras [padi] ke bumi, dia memikirkan kemungkinan cara untuk mencurinya. Pertama dia mencoba menelan jagung beras, dan setelah kembali ke bumi, dia mengeluarkan jagung dari kotorannya, dan mencoba menanamnya. Namun, padi tidak tumbuh. Akhirnya dia kembali ke dunia atas, menyembunyikan satu jagung beras di penisnya, dan menanamnya. Sekarang padi mulai tumbuh dengan sangat cepat. Akibatnya, pahlawan tidak lagi diizinkan untuk melakukan perjalanan ke dunia atas. Tak lama kemudian dia meninggal karena racun ular saat mencoba menanam padi di sawah.
Dalam versi kedua disebutkan bahwa sementara kotoran manusia memiliki bau yang sangat menyengat bagi orang-orang di dunia atas, kotoran mereka sendiri terdiri dari piring-piring yang indah. Setelah pahlawan mencuri dan menanam padi di kebunnya, orang-orang dari dunia atas membalas dendam dengan mengirim burung-burung dengan tali. Akan tetapi, sang pahlawan memotong tali dan burung-burung beterbangan kemana-mana (Jensen 1939: 82).
Arti Makanan
Jika kita membandingkan mitos beras dengan 2 versi mitos Setengah-Manusia yang dikumpulkan oleh Adolf Jensen dan G. De Vries, jelaslah bahwa mereka memiliki banyak kesamaan. Salah satu tema menyangkut motif berulang dari makanan “benar” dan “salah” dalam konteks dunia atas. Ketika pahlawan telah memasuki dunia atas, dia ditawari makanan yang dia anggap “salah”, sedangkan orang-orang di dunia atas menganggap makanan itu sebagai “manusia”. Dalam mitos Setengah-Manusia yang dikumpulkan oleh Adolf Jensen, Taunala ditawari kaki manusia setelah memilih “makanan manusia”. Ketika dia menolak makanan itu, dia ditawari makanan yang “layak” yaitu “makanan hewan”. Dalam versi pertama dari mitos beras, pahlawanan menerima “makanan anjing” setelah menolak makanan yang biasanya dikonsumsi orang-orang dari dunia atas. Dalam mitos Setengah-Manusia versi G.De Vries akhirnua dinyatakan bahwa makanan makhluk spiritual tertinggi dari dari “jiwa” manusia.
Kontras antara “makanan manusia” dan “makanan hewan” menjadi lebih jelas jika seseorang mengkonseptualisasikan hubungan antara makhluk spiritual dari dunia atas dan orang-orang yang tinggal di bumi sebagai satu antara pemburu dan mangsa. Dalam salah satu mitos beras yang disebutkan di atas, kematian seorang manusia di bumi dikualifikasikan sebagai akibat dari nafsu makan manusia atas daging “babi”. Dalam mitos Setengah-Manusia versi Adolf Jensen, juga jelas bahwa orang-orang di dunia atas mengkonsumsi daging manusia (Taunala ditawari kaki manusia), dan dalam versi yang dikumpulkan oleh De Vries, Haumala diinformasikan oleh makhluk tertinggi bahwa setiap kali dia lapar dia memakan “jiwa” manusia (kalong). Apalagi ladangnya ditanami tulang dan rambut manusia.
Jelas bahwa dalam konteks dunia atas, penduduk lokal harus dianggap mewakili “manusia” yang sebenarnya, sedangkan manusia duniawi diklasifikasikan sebagai “hewan”, Yang terakhir adalah “babi para dewa” sebagaimana diungkapkan informan Adolf Jensen dalam konteks lain (Jensen 1950: 30). Ini menjelaskan mengapa tamu dari bumi pertama-tama ditawari makanan yang “salah”, misalnya makanan yang dikonsumsi oleh orang-orang dari dunia atas, dan kemudian disediakan dengan makanan “hewan”. Pahlawan pertama kali diklasifikasikan oleh orang-orang dari dunia atas sebagai mewakili salah satu dari diri mereka sendiri sampai mereka menyadari dengan mencium bau kotorannya bahwa dia adalah manusia dari bumi.
Dalam konteks ini orang menemukan kesejajaran antara praksis Wemale sebelumnya tentang perburuan kepala dan hubungan hierarkis yang berkaitan antara orang-orang di dunia atas dan manusia di bumi. Seperti yang ditunjukkan oleh mitos beras versi pertama, orang-orang dari dunia atas mengklasifikasikan manusia dengan cara yang sama, seperti Wemale yang secara metaforis menunjukkan korban mereka. Perburuan kepala biasanya dibuka dengan kata-kata bahwa para pemburu memiliki “nafsu makan babi atau kelapa” (Jensen 1948a: 178). Hal ini tercermin dalam mitos beras, ketika kematian perempuan kerabat dari sang pahlawan dinyatakan sebagai akibat dari “nafsu makan daging babi” orang-orang dunia atas. Jadi dalam tatanan sosial-kosmik Wemale, hewan dan kepala manusia berhubungan dengan manusia sebagaimana manusia berhubungan dengan makhluk spiritual dari dunia atas.
Mitos Setengah-Manusia versi Adolf Jensen dan mitos beras versi kedua diakhiri dengan motif bahwa pencurian beras dihukum dengan menurunkan tikus dan burung, yaitu hewan yang kemudian memakan tanaman padi. Apa yang menjadi bukti dari perbandingan mitos-mitos ini, adalah gagasan tentang rantai konsumsi kosmologis dimana makhluk spiritual, manusia, tumbuhan, dan hewan terkait erat. Makhluk spiritual dari dunia atas memakan manusia, manusia memakan beras – yang pernah dimiliki oleh makhluk spiritual – dan tikus serta burung memakan berasnya manusia. Dalam “rantai makhluk besar” ini, meminjam istilah dari Lovejoy, tikus atau burung dan manusia mirip satu sama lain sejauh hubungannya dengan beras dikaitkan dengan gagasan pencurian dan tipu daya.
===== bersambung ====
Catatan Kaki
1. Kerja lapangan Jensen hanya berlangsung selama empat bulan, dari 1 April sampai 31 Juli 1937 (Jensen 1939 : VII).
2. Sepanjang teks ini saya menggunakan ethnographic masa kini untuk menggambarkan berbagai aspek pandangan dunia Wemale. B. Grzimek (1991) dalam studinya tentang perubahan sosial di Seram Barat, bagaimanapun, telah menunjukkan bahwa Wemale telah meninggalkan hampir semua ritual dan representasi tradisional mereka karena pengaruh Kristen Ambon. Meskipun pernyataan seperti itu mungkin tampak agak prematur, dilihat dari informasi pribadi yang saya peroleh dari mendiang antropolog Indonesia Urbanus Tongli yang melakukan penelitian etnografi di kalangan Wemale pada paruh kedua tahun 1980-an, orang harus menyadari fakta bahwa beberapa institusi sosial, ritual dan representasi kosmologis yang dijelaskan oleh Jensen telah mengalami perubahan dan transformasi yang luas. Sayangnya, B. Grzimek tidak menganalisis bagaimana ritual dan representasi tradisional digantikan – dan dengan demikian diubah – oleh kerangka ideologis Kristen yang lebih baru (Platenkamp 1993).
Catatan Tambahan
a. Kajian Hainuwele yang dihubungkan dengan mitologem Prometheus dari Adolf Jensen kemudian dikritik oleh Carl A. Schmid dalam tulisannya, yang juga kemudian ditanggapi balik oleh Adolf Jensen sendiri, lihat
§ Carl. A. Schmid, 1960 Die Problematik der Mythologem ”Hainuwele” und “Prometheus”, dimuat dalam jurnal Anthropos 55 : 215-238.
§ Adolf Jensen, 1963a, Prometheus- und Hainuwele Mythologem. Ein Apologie, dimuat dalam jurnal Anthropos 58 : 145-186
b. G.de Vries memiliki nama lengkap Gijsbert de Vries, lahir di Gombong pada 5 September 1888, putra dari Bram de Vries dan Rosalia Adolfia Brouwer. Menikah dengan Johanna Cornelia de Hamer pada tahun 1916 saat masih berpangkat Letnan 2 infantri di KNIL. Saat pensiun, ia memulai karir di bidang etnografi. Gijsbert de Vries meninggal pada tahun 1970. Beberapa kajian etnografi mengenai Pulau Seram, Maluku adalah
§ Bij de Berg-Alfoeren op West-Seran : zeden, gewoonten en mythologie van een oervolk (1927)
Masora: de geschiedenis van een Alfoersen jongen (1939)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar