Kamis, 12 Desember 2024

Informasi tentang Islam di Ambon dan Haroekoe

(bag 1)

[Dr. Hendrik KRAEMER]

A.      Kata Pengantar

Pada September 1926, Hendrik Kraemer, seorang teolog, dan tokoh eukumenis hervormd Belanda, melakukan kunjungan ke Ambon. Di Ambon, ia “tinggal” selama 1 bulan, dan berkunjung ke negeri-negeri Muslim di Ambon. Hasil kunjungan termasuk pengamatannya ini, ia tulis dalam artikelnya yang berjudul Mededeelingen over den Islam op Ambon en Haroekoe. Tulisan ini dimuat dalam jurnal Djawa, Tijdschrift van het Java Instituut, zevegende jaargang [tahun ke-7], tahun 1927, halaman 77 – 88.

Tulisan sepanjang 12 halaman yang berisikan 14 catatan kaki ini mengungkapkan sisi-sisi kehidupan Islam Ambon pada dekade-dekade awal abad ke-20. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Kraemer mengunjungi dan mengamati. Ada beberapa hal yang menarik yang diamati dan dicatat oleh Kraemer, misalnya saja seperti penduduk Islam Ambon di Leihitu, saat berpuasa hanya berpuasa pada 3 hari pertama saja, dan mereka menghembuskan nafas mereka ke dalam tabung bambu dan menyumbatnya, lain lagi di Kailolo, mereka berpuasa hanya 3 hari pertama bulan puasa, itu pun hanya sampai jam 12.00 siang, dan tidak sampai jam 18.00 sore. Tergambar juga bahwa pada masa itu, Islam Ambon hanya “memprioritaskan” ibadah atau shalat jumat dan “mengabaikan” shalat di hari-hari yang lain, serta banyak cerita-cerita kehidupan masyarakat Islam Ambon. Tentu saja pengamatan dan perspektif dari Kraemer adalah cara pandang seorang Kristen terkhususnya seorang “pendeta” terhadap cara hidup pemeluk agama lain. Yang pasti bahwa hal demikian yang ia lihat dan amati selama kunjungannya ke pulau Ambon dan pulau Haruku.

Kami menerjemahkan tulisan ini, membaginya menjadi 2 bagian, menambahkan sedikit catatan tambahan dan beberapa ilustrasi yang pada naskah aslinya tidak ada. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan kesejarahan kita.

 

B.      Terjemahan

Seorang guru yang hebat mencapai arti penting dirinya bagi murid-muridnya bukan berdasarkan tingkat pengetahuan yang dikajinya, namun berdasarkan sifat dan struktur kepribadian ilmiahnya. Jika ada sesuatu yang menjadi ciri kepribadian ilmiah Profesor Snouck Hurgronje, maka itu adalah hasratnya terhadap kehidupan manusia seutuhnya sebagai bengkel yang benar dan paling menarik bagi para peneliti di bidang kehidupan beragama. Kecenderungan yang nyata ini membuat para pelajar dengan penuh tekad beralih ke studi Islam, karena Islam adalah agama yang masih hidup dan berpengaruh pada masa kini dan karena Islam mempunyai tugas praktis yang besar dalam kompeksnya permasalahan dunia saat ini. Mereka mendorong lulusan tersebut untuk melakukan penjelajahan berani terhadap Mekah sebagai pusat Islam dan sebagai salah satu dari sedikit tempat dimana kehidupan umat Islam yang sesungguhnya masih dapat dilihat, tidak berubah oleh pengaruh modern. Ia membimbing cendekiawan-penasehat di Hindia Belanda selama perjalanannya ke Sumatera dan Jawa. Sebagai sejarahwan agama, ia tidak hanya menelusuri literatur tentang dan dari orang-orang yang menjadi objek kajiannya. Dia lebih suka mencari orang-orangnya sendiri. Di antara sekian banyak pembagian yang boleh dilakukan dalam jenis keilmuan, maka pembagian ulama yang bidang studi utamanya adalah kajian atau bersentuhan langsung dengan umat itu sendiri tentu diperbolehkan. Tipe kedua adalah tipe ulama di bidangnya. Profesor Snouck Hurgronje adalah seorang sarjana dalam bidang yang sangat maju. Mengingat karakteristik ini, saya boleh menceritakan sejumlah pengamatan yang dilakukan selama perjalanan singkat 8 hari di kalangan umat Islam di Ambon dan Haroekoe [Haruku]a

sebuah mesjid di Ambon, ca.1895

Di seluruh Hindia, orang Ambon yang beragama Kristen menempati posisi penting di jabatan-jabatan penting di tingkat sipil dan militer yang lebih rendah. Hal ini tanpa sadar menciptakan fiksi bahwa Ambon adalah negara yang murni Kristen. Setidaknya hal ini telah memberikan kontribusi yang besar terhadap hampir sepenuhnya hilangnya perhatian terhadap kelompok Islam di Ambon. Namun penduduk [pulau] Ambon terdiri dari 18.000 penduduk Muslim berbanding 25.000 penduduk Kristenb. Wilayah yang sangat penting di Ambon bagian utara, semenanjung Hitoe, menganut agama Islam, sedangkan di kota Ambon sendiri, desa Batumerah menganut agama tersebut.

Setibanya mereka di Maluku, Portugis telah menemukan pusat agama Islam yang kuat di desa Hitoe, yang merupakan fokus penyebaran Islam karena hubungan perdagangan dengan pesisir utara Jawa dan kekuasaan politik dengan Ternate. Walaupun pernyataan-pernyataan Valentijn tentang Islam dan penganutnya di volume ketiga tulisannya, yang membahas tentang agama, sangat jarang, namun jelas dapat disimpulkan bahwa perbedaan politik alami antara orang Hitu dan Portugis tentu saja juga menjadi perbedaan agama, karena hal ini penting bagi kesadaran politik dan agama kedua belah pihak sepenuhnya bertepatan. Maju atau mundurnya upaya Portugis dalam Kristenisasi di semenanjung Hitu juga mencerminkan tren dalam pelaksanaan kekuasaan politik. Kita membaca1 tentang penganiayaan orang Kristen yang dilakukan oleh orang Hitu dan desa-desa Kristen yang menjadi penganut agama Islam. Pada tahun 1565, orang Jawa, yang kondisi ekonominya sangat terancam oleh upaya penaklukan Portugis, merupakan pemicu utama terjadinya hal ini. Pada kenyataannya, perang “agama” ini adalah perjuangan melawan kekuasaan Portugis, karena agama Kristen terjadi setelah penaklukan Portugis, atau sebaliknya. Kristenisasi merupakan tanda meningkatnya pengaruh politik Portugis. Jika kutipan dari Valentijn yang baru saja dikutip dan digabungkan dengan laporan-laporan Portugis dalam buku B.J.J. Visser, Onder Portugeesch-Spaansche Vlag2, tampak bahwa pembunuhan pada bulan September 1580 oleh orang Jawa di wilayah perairan Djapara terhadap 2 pendeta, [yaitu] Jorge Fernandez dan Gomez de Amazalc  yang diturunkan untuk pelayanan spiritual umat Katolik di Maluku, terkait dengan peristiwa di Hitoe. Dorongan antagonisme agama terhadap perlawanan orang Hitoe akhirnya memaksa Portugis pindah dari pemukiman mereka di Mamala, dekat Hitoe, ke Hative, yang saat itu masih terletak di pantai utara teluk Ambon. Leitimor, semenanjung selatan, masih bersifat pagan dan oleh karena itu menawarkan pertemuan yang lebih menguntungkan, terutama karena miniatur imperialisme Hitoe yang muncul saat itu menciptakan kontras politik dengan penduduk pagan di Ambon. 

Negeri Batumerah, ca. 1925

Ketika leluhur kita [maksudnya orang Belanda] menggantikan Portugis sejak tahun 1605, pertempuran melawan Hitoe juga menjadi salah satu momen seru dalam perebutan kekuasaan. Hancurnya kekuasaan Hitoe terutama terkait dengan nama-nama Vlaming van Outshoorn dan Van Diemend. Dalam kunjungan saya ke Hitoe, menarik untuk dicermati dalam perbincangan dengan para tetua kampung bagaimana realisasi mimpi kecil tentang kekuasaan yang diimpikan Hitoe pada abad ke-16 dan ke-17 masih membara. Bantuan luar biasa dari Assisten-Resident H.J. Jansene memungkinkan saya menentukan hal ini dengan begitu cepat.

Salah satu hal yang mencolok dari hubungan antara orang Ambon Kristen dan Islam saat ini adalah bahwa hubungan tersebut sangat statis. Tidak ada transisi atau konversi bolak-balik. Hal ini tidak selalu terjadi. Bahkan setelah konsolidasi hubungan politik, masih terdapat kontak keagamaan yang aktif pada abad ke-17. Di [sumber] Valentijn3 kita membaca tentang saudara laki-laki kapten Jonker yang terkenal, [yang] bernama David Bintang, dan merupakan pejabat agama [atau kasisi] di Manipa, yang memeluk Kristen di Ambon pada tahun 1672f.

Pada tahun 1656 De Vlaming bertindak sebagai ayah baptis/orang tua rohani bagi 38 orang Makassar, dimana penduduk Seram berulang kali melemahkan kekuasaan kompeni. Menurut kebiasaan pada masa itu, setiap orang yang dibaptis menerima 2 rix dolar sebulan dan 40 pon beras. Pengumuman bahwa pendeta Spiljardusg dari Ambon mengirimkan buklet berbahasa Latin terjemahan bahasa Belanda dan Melayu ke Dewan Gereja Batavia : Confusio Sectae Mohammedanaeh, agar bisa dicetak di sana, menunjukkan bahwa Islam sebagai isu keagamaan paling tidak menyita pikiran sebagian orang.

Velentijn4 menceritakan sedikit tentang negara Islam dan tentang pelaksanaan tugas terpentingnya. Ia menyebut pengetahuannya tentang Islam terbatas. Kegembiraannya yang tulus dan bertele-tele terhadap kesederhanaan dan kekhidmatan yang menjadi ciri khas pengamalan agama di mesjid, dimana tidak ada perbedaan status, sungguh menyenangkan. Ia juga memberikan5 daftar buku-buku agama Melayu yang beredar di kalangan umat Islam pada saat itu. Termasuk khususnya “Saribu Masa’il”6 dan “Kitab Ma’rifat al-Islam” yang juga sangat terkenal dan dicintai di daerah lain. 

sebuah jalan di Ambon, ca. 1900

Kami baru saja menunjukkan hubungan statis antara Kristen dan Islam. Namun, hal ini tidak menjelaskan segalanya. Kelompok Islam di Ambon sudah mulai terlupakan. Intervensi administratif hanya sebatas pada hal yang benar-benar diperlukan. Penyediaan pendidikan, yang dengan tekun diusahakan oleh orang-orang Ambon yang beragama Kristen, sepenuhnya diserahkan kepada orang-orang Islam, karena mereka sendiri tidak menunjukkan kebutuhan atau keinginan akan hal itu. Dibantu oleh lokasinya yang terpencil dan kecenderungan alami Islam untuk menarik diri dari lingkaran kedaulatannya sendiri di hadapan kekuatan agama yang berbeda, komunitas ini diam-diam telah berkembang pesat dalam beberapa abad terakhir. Islam telah “menguasai” mereka, tapi seperti biasa di wilayah Islam dimana tidak ada pengaruh aktif dari luar, tidak ada Islamisasi kehidupan yang sistematis, namun Islam mengawinkan tradisi populer lama dan kepercayaan populer, tentu saja berbeda-beda secara lokal. Struktur sosial asli masyarakat Ambon bahkan lebih terlihat jelas di kalangan umat Islam dibandingkan umat Kristen. Begitu pula di kalangan umat Islam, dialek mereka sendiri, yaitu bahasa tanah, masih digunakan secara umum, sedangkan di kalangan umat Kristen, dialek itu hanya benar-benar hidup dan ada di 2 negeri, yaitu Alang dan Lilibooi, dan selebihnya praktis sudah mati/hilang. Di sisi lain, di kalangan umat Kristen, walaupun kecenderungan mereka untuk menyimpan rahasia memberikan kesan yang lebih kuat mengenai lenyapnya masyarakat lama dibandingkan dengan fakta yang ada, masyarakat Ambon lama sudah sangat memudar akibat upaya-upaya drastis dan tidak bijaksananya dari pemerintah leluhur kita. Mr F. Holemani memberikan analisis dan apresiasi terhadap pengaruh dan signifikansi kedua agama tersebut bagi masyarakat Ambon dalam tulisannya : ”Het grondenrecht op Ambon en de Oeliassersj”. Ia sampai pada kesimpulan bahwa Islam mempunyai dampak destruktif terhadap masyarakat Ambon, baik konservatif maupun Kristen. Bagi saya, rumusan ini, betapapun jelasnya, menyesatkan karena singkatnya. Dia terlalu banyak bergaul di luar. Fakta bahwa di wilayah Islam, penduduk asli Ambon lebih hidup dan tidak terdampak dibandingkan di wilayah Kristen, tidak dapat disangkal. Namun, dampak buruk yang lebih besar di satu sisi, maupun penindasan yang lebih besar di sisi lain, bukanlah konsekuensi dari kecenderungan konservatif atau destruktif yang melakat pada agama-agama tersebut. Jika kita melihat kedua agama tersebut berdasarkan esensinya, maka Islam mempunyai sifat yang lebih keras terhadap penindasan dan penolakan terhadap kepemilikan negara asing. Pertama karena monoteismenya yang kuat dan eksklusif, dan kedua karena ia ingin memiliki peraturan yang komphrensif dan rincian kehidupan. Islam mempunyai kecenderungan menyamakan kedudukan yang kuat dan sebagainya. Kecenderungan ini dapat dilihat di seluruh dunia di negara-negara Islam dalam keseragaman yang mencolok yang menjadi ciri kehidupan sosial masyarakat Islam meskipun ada perbedaan etnis. Namun, fisiognomi khusus yang ditunjukkan oleh setiap negara Muslim dan yang telah ditekankan oleh ilmu pengetahuan Islam selama 40 tahun terakhir, tetap ada meski bertentangan dengan Islam dan bukan menentangnya. Ini adalah konsekuensi dari pantangan yang pasif dan bukan pantangan yang aktif dan berprinsip. 

Mushaf Alquran dari Hila

Dalam kaitannya dengan masalah sosial, agama Kristen dengan tegas mengemukakan norma dan tuntutan moral yang kuat, termasuk melawan atau mengubah hubungan sosial dan moral yang lama. Namun pada hakikatnya, ia ingin mentransformasikan bukannya menghancurkan, terutama karena ia bukanlah pengusung sistem kehidupan yang detail. Penelusuran sejarah dan negara-negara Kristen mengungapkan betapa detail yang kuat ini sangat kontras dengan desakan untuk kesetaraan dalam Islam, yang diakibatkan oleh fakta bahwa negara tersebut secara tidak sadar telah mendapatkan pengakuan yang lebih berprinsip. Penawanan leluhur kita menyebabkan penyangkalan buta terhadap kehidupan masyarakat Ambon yang asing bagi mereka. Pembebasan spiritual di Eropa telah memungkinkan adanya pemahaman bahwa agama Kristen, justru karena agama Kristen, tidak seperti Islam, bukanlah pembawa keteraturan kehidupan yang rinci, tidak perlu mengidentifikasi struktur kehidupan sekelompok pemeluk biasa yang bertindak sebagai pembawa kekristenan.

Bagi saya, rumusan yang lebih murni mengenai fenomena di Ambon adalah : pelestarian di Hitoe adalah akibat dari kurangnya tindakan, fenomena pengrusakan di Leitimor adalah akibat dari tindakan yang disalahpahami. 

Hubungan timbal balik antara masyarakat Ambon yang beragama Islam dan Kristen pada umumnya sangat baik, bahkan seringkali cukup baik. Ada toleransi yang sangat menyenangkan. Menurut pendapat saya, hal ini tidak bermula dari suatu kesimpulan yang prinsipil dari masing-masing pihak keyakinan agama. Dengan harapan agar tidak disalahartikan dengan mengatakan bahwa saya tidak terlalu menghargai toleransi ini, jika kita ingin menemukan sisi keagamaannya, dilihat dari sudut pandang ilmiah murni tetapi diungkapkan secara paradoks, itu sebagian merupakan atavisme. Toleransi terhadap animisme, dipadukan dengan eksklusifisme animisme, yang dilanjutkan sebagai sikap hidup dalam konteks keagamaan baru, menurut saya perlu diperhitungkan. Namun, menurut saya, alasan utamanya adalah hubungan keluarga dan suku lama yang masih terjalin. Banyak orang Kristen dan Islam menganggap diri mereka berasal dari nenek moyang/leluhur yang sama (oepoe/upu). Ada hubungan pela yang terkenal antara komunitas Islam dan Kristen, yang mungkin dapat kita gambarkan sebagai perjanjian timbal-balik ekonomi atau perjanjian jaminan terhadap berbagai jenis kesulitan. Komunitas Kristen dan Islam tergabung dalam komunitas yang sama, dan merasakan ikatan silsilah tersebut, yang mempunyai arti penting bagi organisasi sosial Ambon lama dan yang jauh lebih hidup dalam kesadaran, juga di kalangan umat Kristen, daripada yang diperkirakan. Misalnya, di Hitoe, Oeli Solemate terdiri dari [negeri/desa] Tolehoe (Islam) yang dipimpin seorang Raja, Waai (Kristen) dan Soeli (Kristen) yang dipimpin seorang Pattih, Tial (Islam) dan Tengah-tengah (Islam) yang dipimpin seorang Orangkaijak. Pemerintah kita telah mengacaukan perpecahan ini dengan cara memindahkan dan menaikan tingkatan para pemimpin, namun perpecahan ini masih membandel di kalangan orang-orang lama. Ingatan ini mencerminkan kekuatan mistik 5 dari Ulilima yang sakral dan masih melekat pada 5 bagian kekuasaan tertinggi kerajaan Hitoe dalam pribadi Raja, pusat yang tidak “aktif” namun sangat diperlukan, dan 4 perdana, penguasa yang sebenarnya, yang warnanya merah, kuning, hijau (atau putih) dan biru kehitaman, dilambangkan dengan burung raja atau kasturi.

Mengingat pengaruh Jawa pada masa Islamisasi, maka dalam mistisme, warna-warna ini mungkin kita akan merasakan ke arah mistisme warna Hindu-Bali dan Jawa yang terkenal dalam kaitannya dengan panteon7, yang kemudian mistisme warna memainkan peran penting dalam tulisan-tulisan mistik Islam Jawa. Seperti halnya penganut agama Jawa, Islam Ambon juga suka melihat representasi baru melalui kategori angka keramat yang familiar, sehingga ia mengasosiasikan raja dengan 4 perdananya dengan Nabi dan 4 sahabatnya, 4 khalifah yang mendapat petunjuk yang benar.

Dalam analoginya, izinkan saya menunjukkan bahwa sebagaimana orang Jawa memandang keratonnya di bawah gambaran tubuh manusia, maka orang Ambon, yang masih mengetahui hal-hal tersebut, memandang Oelilima sebagai tubuh yang kepalanya adalah Radja, kedua lengannya adalah Pattih, dan kedua kakinya adalah Orangkaija.

Uli Hatoehaha di Haroekoe meliputi [negeri] Pelaoe (Islam) yang dipimpin seorang Radja, Rohomoni (Islam) dan Hulalioe (Kristen) yang dipimpin seorang Pattih, serta Kabaoe (Islam) dan Kailolo (Islam) yang dipimpin seorang Orangkaijal. Setidaknya, ini adalah proporsi aslinya. Betapa besarnya ikatan yang masih terasa meski berbeda agama terlihat dari hal berikut ini. Di Rohomoni, kita melihat mesjid yang lebih kecil di belakang mesjid yang lebih besar. Mesjid kecil ini tidak digunakan, konon merupakan milik Hulalioe, negeri Kristen. Setiap tahun, Regent Hulalioe datang ditemani beberapa masyarakatnya yang merawat mesjid secara virtual dengan memasang atau atau membersihkannya dengan [acara] selamatan kecil-kecilan. 

Umat Islam dan Kristen saling mengunjungi pada perayaan keluarga seperti khitanan dan adopsi (angkat sidi). Karena sekolah di negeri Islam belum menjadi barang umum, maka umat Islam memang memberikan anak-anaknya sebagai anak pijara di rumah orang Kristen agar mereka bisa bersekolah di negeri Kristen. Anak-anak ini kemudian dibesarkan dengan cara Islam tanpa ragu-ragu oleh pengasuh mereka yang beragama Kristen dan secara khusus dilarang menyentuh dan memakan babi, seekor binatang pandangan dunia bagi umat Kristen dan Islam akan sangat tidak memuaskan. Omong-omong, babi juga sering menjadi alasan mengapa umat Islam tidak bisa mentolerir berada dekat dengan kawasan-kawasan Kristen, karena hewan yang sama adalah salah satu tempat paling mengerikan dalam pandangan dunia mereka. Di negeri Kristen Waai, seorang tetua menjelaskan kepada saya tentang hubungan dekat dan menyenangkan antara orang Waai dan orang Tolehoe, tetangga mereka yang beragama Islam : “Penduduk Tolehoe sering mengatakan kepada kami : “Kami sangat baik kepada kalian sehingga kami berharap kita bisa menikah satu sama lain”.

Dalam hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari, rasa hormat terhadap satu sama lain selalu ditunjukkan. Seringkali sekelompok umat Islam berjalan dengan tentang melalui lorong atau gang-gang umat Kristen pada hari Minggu, sementara umat Kristen menghindari membawa babi melalui Rumah Potong Hewan. Saya menghadiri kebaktian keagamaan di Latuhalat pada suatu Minggu pagi. Gereja tempatnya berada masih baru. Perhatian saya tertuju pada kotak persembahan tembaga (peti derma) yang merupakan atribut permanen di setiap gereja di Ambon. Kotak persembahan itu adalah pengasihan dan tanda persahabatan dari seorang Islam.  

sebuah tarian di negeri Pelauw, ca 1974

Di sisi lain, fakta bahwa perbedaan agama berkontribusi terhadap keputusan terpisahnya warga kampung/negeri asli terlihat dari keberadaan negeri Tial Slam dan Tial Seranim, serta Seri Sori Slam dan Seri Sori Serani di Saparoean.

Tanda-tanda zaman menunjukkan bahwa hubungan yang menyenangkan dan indah ini akan berubah. Desakan zaman baru akhirnya juga mempengaruhi umat Islam. Meskipun mereka selalu sadar akan kedudukan istimewa umat Kristiani di segala bidang, mereka baru sekarang mulai mengungkapkan hal ini dengan cara yang lebih jelas. Lembaga seperti Ambonraado menciptakan tanda kebangkitan politik, yang membuat mereka lebih sadar dan bertanggung jawab secara publik atas keterbelakangan mereka. Mereka mulai bertanya tentang pendidikan. Kontak yang lebih besar dengan dunia luar umat Islam, dampak tak kasat mata dari kesadaran yang lebih besar yang meliputi seluruh dunia umat Islam, membawa Islam di pantai Hitoe yang tenang menuju masa depan yang lebih sensitif. 

Mesjid di negeri Pelauw, ca. 1974

Standar Islam masih sangat bervariasi antar kampung/negeri, tergantung pada besar atau kecilnya semangat masyarakat dalam menaati peraturan hukum. Mengingat hubungannya, negeri Hitoe mungkin dianggap cukup baik. [Negeri] Wakal, yang berada di dekatnya jauh lebih berada dibawah kekuasaan adat lama. Dibandingkan dengan Haroekoe, negeri-negeri di semenanjung ini mempunyai kesadaran lebih Islami. Di Haroekoe, Kailolo adalah negeri yang lebih Islami, sedangkan negeri Kabaoe, Rohomoni, dan Pelaoe dan negeri-negeri lain di pesisir Ambon dibicarakan dengan cemoohan karena masih tenggelam dalam kegelapan paganisme lama. Titah [atau perintah] para guru berpengaruh di sana, sama seperti di kalangan nenek mojang umat kristen dan peraturan mereka seringkali memiliki kekuatan yang membimbing dan berpengaruh. Kenyataannya adalah bahwa titah guru mempunyai kesaktian yang besar, namun hanya pada satu bagian yang lebih banyak dipatahkan pengakuan dasar Islam dibandingkan pada bagian yang lain. Namun, ketiga negeri yang disebutkan di Haroekoe tidak diragukan lagi memiliki adat-istiadat konservatif yang luar biasa. Mesjid ini hanya buka pada saat ibadah Jumat. Seperti yang saya alami selama kunjungan saya, tempat ini tutup di waktu lain. Hanya pada bulan Puasa, mesjid dibuka sepanjang waktu, karena ini adalah bulan keagamaan. Selain itu, di komunitas-komunitas tersebut, perhatian hanya diberikan untuk bunyi beduk ibadah Jumat saja, tidak diberikan untuk ibadah 5 harian biasa, karena diabaikan. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang berpikir untuk menunaikan shalat. Namun, era baru terus berlanjut. Sekarang terdapat kelompok adat dan kelompok oegama atau kaoem moeda di komunitas tersebut. Kelompok adat tidak dapat dimasuki oleh alasan apapun. Buta dan kaku, mereka mematuhi aturan orang toea-toea. Di Kabaoe, kelompok oegama mencoba membuka mesjid. Sejauh ini tanpa hasil atau tidak berhasil. Oleh karena itu, mereka mendirikan sebuah langgar, tempat rutin berkumpul untuk melaksanakan shalat dan ibadah. Saat malam tiba saya melawati bangunan kecil ini dan para pionir situasi baru ini sedang mengambil bagian dalam shalat yang tidak diperbolehkan bagi mereka di mesjid. Rohomoni juga sedang bersemangat saat ini. Berada dibawah kepemimpinan Regent baru yang sudah lama menjabat di berbagai jabatan di luar Maluku. Berdasarkan pengetahuannya yang luar biasa tentang dunia, ia memulai perjuangan melawan sikap konservatif yang masif dan ingin mengedepankan aturan-aturan normal dalam Islam. Untuk saat ini, ia masih merasakan bahwa semangat reformasi yang tinggi dapat membuat seorang Regent merasa ada kekuatan yang lebih kuat di dalam desa/negeri dibandingkan dirinya sendiri. Konflik mencapai proporsi sedemikian rupa sehingga ia dituduh dan mereka ingin mengusirnya. Di Pelaoe, saya mengobrol dengan seorang Imam. Ia merupakan seorang figur tercerahkan dalam situasi Pelaoe. Berbeda dengan apa yang dikatakan rekan-rekannya, biasanya pejabat agama yang biasa disebut kasisi. Kasisi8 merupakan bagian dari kelompok adat, begitu pula dengan genus mereka dimana pun di Hindia. Namun, Imam tersebut mendukung pembukaan mesjid dan pemukulan beduk atau tifa sebanyak 5 kali; namun dia tidak berani shalat di mesjid karena takut orang-orang pasti memukulinya, seperti yang dia yakinkan kepada saya. Bukti lain dari kemajuannya adalah ia merasa enggan melihat bahwa di bulan Maulud, perayaan arohap dirayakan untuk menghormati Nabi dan tidak termasuk pengajian Bardjanji. Percakapan tersebut juga menunjukkan bahwa ia tidak menyetujui pemujaan Kramat secara teori. Patut disebutkan bagaimana dalam pikiran orang tersebut pandangannya tentang dunia tercermin dalam rencana yang, menurut pendapatnya, dapat mewujudkan reformasi yang diinginkan dengan sebaik-baiknya. Gereja Hindia rupanya menjadi contoh baginya. Ia meminta Ambonraad mengangkat Kapala Agama di setiap negeri agar mereka bisa memastikan Islam diatur dimana-mana sesuai aturan Al-Quran. Mereka harus mendapat pengangkatan dan gaji dari pemerintah. Dijelaskan kepadanya bahwa tjampoer agamaq ini tidak mungkin dilakukan pemerintah. Beliau mengatakan kepada saya bahwa ini adalah bukti bahwa Pemerintah tidak akan sajang agama Islam, karena Pemerintah harus menjamin ketaatan terhadap Islam dengan kekerasan, bahkan sampai memotong tangan seorang pencuri. 

Regent van Morela, M.J. Sialana bersama istri, ca. 1928

Relasi antara Pemerintah dan Islam tampaknya dipikirkan secara berbeda di pulau-pulau yang sunyi ini dibandingkan di pulau Jawa yang sedang bergejolak.

Kami telah mengatakan bahwa pemukiman lain menunjukkan rasa superioritas yang tercerahkan dibandingkan dengan 3 “benteng” konservatif ini. Sebagaimana layaknya pencerahan seperti itu, ia memanifestasikan dirinya dalam ejekan, yang suka memprovokasi. Di Hitoe dikatakan bahwa di ketiga komunitas tersebut khitanan tidak dilakukan secara khitanan melainkan dengan cara tikam djaroem saja yang ceritanya tentu saja mengundang gelak tawa, namun memberikan wawasan menarik mengenai keterkaitan bagi si penanya yang berkepentingan. Tak kalah menghibur, namun juga mendidik, adalah apa yang dikatakan orang-orang Hitoe tentang menjalankan puasa. Penduduk ketiga desa tersebut berpuasanya hanya 3 hari, kemudian mereka meniupkan nafas ke dalam tabung bambu yang berlubang, memasang sumbat di atasnya dan kemudian membiarkan diri mereka mengabaikan puasa sama sekali, karena “Aku” (nafas digunakan bernafas dan pribadi) ada dalam tabung dan berpuasa. Di awal lebaran mereka kembali bernafas dan berhasil menyelesaikan “akomodasi dengan langit” mereka. Ketika saya sengaja menceritakan kisah berharga ini di Kailolo, kisah ini menyusut menjadi lebih alami namun tidak kalah menariknya. Puasa dilaksanakan pada 3 hari pertama, tetapi hanya sampai jam 12 [siang]. Masyarakt tidak mau meninggu hingga pukul 18.00 (jam 6 sore), karena pada saat itulah setan masoek negari. Hari-hari sisa puasa madanr di kapala roemah taoe, yang disebut juga Kapala Poesaka, yaitu kepala keturunan, sebagai wakil. Kepala Poesaka ini berperan penting dalam banyak upacara. Sehubungan dengan puasa, juga pada waktu sahur, makan sebelum dimulainya puasa, dibawakan kepadanya sebuah bejana bambu berisi air, dia disuruh menggumamkan doa di atasnya, setelah itu dia meminumnya9.

==== bersambung ====

 

Catatan Kaki

1.       Francois Valentijn, Oud en Nieuw Oost-Indien, deel III, halaman 31

2.      Halaman 232 – 236

3.      Francois Valentijn, Oud en Nieuw Oost-Indien, deel III, halaman 57,59,67

4.     Idem, halaman 19. v.v

5.      Idem, halaman 17

6.     Kutipan dari Dr. G.F. Pijper, Het Boek de Duizen Vragen, halaman 19

7.      Lihat artikel terbaru dari B.M. Goslings : Een Nawasanga op Lombok, in Gedenkschrift bij het 75 jarig bestaan van het Koninjklik Instituut voor de Taal,- Land en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, halaman 200. V.v

8.     Francis Xavier sudah menulis tentang Cacizes yang datang dari Mekah.Cf. B.J.J. Visser : Onder Portugueesch-Spaansche Vlag, halaman 55

9.     Apresiasi terhadap positifnya kapala poesaka dalam hubungannya dengan Islam tentu saja membawa pemikiran pada agama waktoe teloe yang luar biasa di Lombok, dimana masyarakat awam juga menghilangkan sembahjang, namun kjai melakukannya untuknya. Saya tidak memikirkan pengaruh sama sekali, tapi analogi proses asimilasi Islam. Lihat Tijdschrift Bat. Gen, 1925, hal 38.v.v en 1926, hal 549 v.v

 

Catatan Tambahan

a.       Hendrik Kraemer “tinggal” di Ambon selama 1 bulan. Ia mulai mengunjungi Ambon sejak tanggal 2 September 1926.

b.       Sebagai perbandingannya, pada tahun 1930, penduduk pulau Ambon [dalam konteks orang Ambon] diketahui berjumlah 38.715 jiwa, dengan perincian kaum Muslim 17.923 jiwa, dan Kristen 20.961 jiwa

§  Richard Chauvel, Nationalists, Soldier and Separatists : The Ambonese Islands from Colonialism to Revolt, 1880 – 1950, KITLV Press, Leiden, 1990, halaman 3 dan catatan kaki nomor 4

c.       Menurut sumber dari B.J.J. Visser yang dikutip oleh penulis sendiri, Namanya Jorge Fernandez dan Gomez de Amaral [mungkin penulisan kata Amasal, ada kekeliruan semata). Mereka meninggal pada 24 September 1580, Jorge Fernandez pada usia 33 tahun dan Gomez de Amaral pada usia 37 tahun.

d.       Arnold de Vlaming van Oudsthoorn dan Antonio van Diemen

e.       H.J. Jansen atau Hermen Jan Jansen. Pada periode kunjungan Hendrik Kraemer ini, ia menjadi Asisten Resident onderafdeeling van Ambon (1926 – 1928).

f.        Menurut sumber gereja, David Bintang dibaptis pada tahun 1671

g.       Pdt Josias Spiljardus bertugas di Ambon pada 1 Desember 1658 – Juni 1663

h.       Confusio Sectae Mohammedanae atau Confusio Sectae Mahometanae, dikarang oleh Juan (Johannes) Andres dan diterbitkan pada tahun 1656

i.         Mr. Frederik David Holleman (11 Mei 1887 – 22 Januari 1958)

j.         Buku ini diterbitkan oleh W.D. Meinema, Molukken Instituut, Delft, 1923

k.       Pada periode 1926 ini, Raja van Tolehoe bernama Ibrahim Ohorela, Pattij van Waai bernama Hein Izaak Diederik Bakarbessij (mungkin sejak tahun 1920an), Pattij van Soeli (Penjabat) bernama Carolus Willem de Queljoe (Regent van Kilang), Orangkaija van Islam bernama [mungkin] Abdul Djabbar Rolobessij  dan Orangkaija van Tengah-tengah bernama Pattiraja.R. Toeharea (sejak 7 September 1921)

l.         Pada periode 1926 ini, Raja van Pelaoe bernama Achmade.B. Latuconsina (mungkin sejak 1924), Pattij van Rohomoni bernama Abdullah Sangadji, Pattij van Hulaliu [mungkin] bernama Sim Laisina [yang meninggal pada Juli 1939], Orangkaija van Kabaoe bernama Ismail Latuconsina [pada tahun ini Regent van Kabaoe bergelar Gezaghebber sejak tahun 1917],Orangkaija van Kailolo bernama [mungkin] M. Ohorela

m.     Negeri Tial terbagi menjadi negeri Tial Islam dan Tial Kristen terjadi mungkin sebelum tahun 1767. Faktanya pada tahun 1801, negeri ini telah masing-masing memiliki pemimpinnya sendiri.

n.       Negeri Siri Sori di Saparua terbagi secara resmi menjadi negeri/desa independen dan memiliki pemerintahan sendiri yaitu Siri Sori Islam dan Siri Sori Serani terjadi setelah tahun 1820an (mungkin pada tahun 1830).

o.       Ambonraad atau Dewan Ambon dibentuk pada tahun 1921, dan pada tahun ini anggotanya [dalam hal mewakili kelompok Islam] yaitu Sech Hadi Bin Salim Basalama [Kapten Kaum Arab Ambon], Abdullah Mewar [Regent van Laha], Mohamadin Lating [Kepala Soa van Hila], M.S. Latuconsina [Regent van Pelau], H. Djailudin Lestaluhu [Kepala Soa van Tulehu], Hadji Tan Hamid [Kadli/Hakim Islam van Ambon]

p.       Aroha adalah upacara keluarga (soa) untuk memperingati roh-roh leluhur dan dilakukan bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad. Menurut Dieter Bartels, Aroha di Hatuhaha disebut juga “manian” atau “penrayaan gaharu”

§  Dieter Bartels, The Evolution of God in the Spice Islands : The Converging and Diverging of Protestant Christianity and Islam in the Colonial and Post-Colonial Periods, catatan kaki nomor 17.

q.       Tjampoer agama, maksudnya adalah mencampuri urusan agama atau mengintervensi persoalan agama

r.        Kata Madan, mungkin maksudnya adalah Ramadhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar