[J.H.F. Sollewijn Gelpke]
A. Kata Pengantar
Tulisan yang diterjemahkan ini berjudul Afonso de Albuquerque pre-Portuguese Javanese map, partially reconstructed from Francisco Rodrigues book. Artikel ini ditulis oleh J. Sollewijn Gelpke, seorang pensiunan “PNS” yang kuliah dan lulus dari Universitas Leiden. Tulisan ini dimuat di jurnal Bijdragen tot de Taal,- Land en Volkenkunde, volume 151, nomor 1, halaman 76-99, Leiden, 1995. Tulisan ini 6 lukisan/gambar peta, dan 34 catatan kaki.
Sepintas jika kita membaca judul dari tulisan ini, sepertinya “tidak ada” kaitan dengan sesuatu mengenai wilayah Maluku, yang selama ini menjadi perhatian kami dalam menerjemahkan tulisan-tulisan tentang kesejarahan Maluku. Namun, jika kita mau membacanya dengan sabar dan teliti, ada informasi dan pemahaman yang nantinya bisa membentuk wawasan kesejarahan kita mengenai Maluku itu sendiri. Disebutkan bahwa sebelum Portugis mengunjungi wilayah Maluku pada awal tahun 1512 dan kemudian menggambar wilayah-wilayah kepulauan rempah-rempah, ternyata sudah ada peta-peta yang digambar oleh “orang Jawa”. Ini menjadi fakta bahwa bukan hal yang aneh, ketika wilayah-wilayah timur Nusantara ditulis oleh Mpu Prapanca dalam Negarakrtagama di masa Kerajaan Madjapahit. Selain itu, kita juga bisa mengetahui dan memahami bahwa kartografi dunia barat dalam hal ini Portugis mulai diterapkan untuk wilayah timur Nusantara, sehingga menghasilkan peta-peta, meskipun masih dalam bentuk sederhana dan “aneh”.
Kami hanya menerjemahkan tulisan ini, menambahkan sedikit lukisan peta, catatan tambahan, sehingga bisa dibaca dan menjadi pengetahuan kita dalam memahami kesejarahan kita sendiri. Semoga bisa bermanfaat.
B. Terjemahan
1. Pendahuluan
Keberadaan peta-peta pra-Portugis telah dibuktikan dengan baik. Ludovico de Varthema, seorang Bologna yang melakukan perjalanan ke Asia Tenggara beberapa tahun sebelum kedatangan Portugis, menyebutkan sekilas bahwa nakhoda kapal yang membawanya dari Brunei ke Jawa sekitar tahun 1505 menggunakan kompas atau batu penunjuk arah1 dan peta navigasi besar yang di atasnya terdapat banyak garis yang menunjukkan arah angina. Ramusio menggambarkan peta ini memiliki “garis-garis di seluruh bagian, tegas lurus dan melintang” (Wieder 1918: 229). Afonso de Albuquerque, Gubernur India kedua, dalam suratnya kepada Raja Manuel dari Portugis tertanggal 1 April 1512 memberikan deskripsi terperinci tentang peta Jawa2, dengan menambahkan hum pedaço de padram (sepotong peta) yang disalin dari aslinya oleh Francisco Rodrigues. Sekitar tahun 1514, Tomé Pires menyebutkan peta-peta asli3 sebagai sumber informasi penting untuk bukunya, Suma Oriental, meskipun kurang penting untuk keperluan kartografi dan navigasi karena peta-peta tersebut tidak memiliki garis-garis rhumbb.
Dengan kemajuan survei dan kartografi Portugis, banyak peta-peta lama seperti itu menghilang karena kelalaian belaka. Peta-peta lainnya mungkin sengaja dihancurkan setelah Dom Manuel menjaga kerahasiaan melalui Keputusan Kerajaan tanggal 13 November 1504 berkenaan dengan semua peta, peta laut dan buku catatan yang berhubungan dengan navigasi di selatan khatulistiwa. Tidak ada satu pun spesimen asli yang diketahui diawetkan, yang mungkin menjelaskan mengapa kartografi Indonesia pra-Portugis tidak pernah menjadi subjek kajian khusus apa pun.
Dalam artikel ini, pertama-tama saya akan mencari jejak peta semacam itu di tempat-tempat yang paling mungkin ditemukan : di peta Portugis tertua yang masih ada, terutama yang ada di buku Francisco Rodrigues, peta Reinel, dan folio 3 dari “atlas Miller”4.
Rodrigues adalah kartografer pada pelayaran Portugis pertama ke Kepulauan Rempah-rempah pada tahun 1512 dibawah komando Antonio de Abreu. Dari karya Rodrigues, hanya buku tulisan tangannya, yang sekarang disimpan di Bibliothèque de l'Assemblée Nationale di Paris, yang masih ada. Secara umum diterima bahwa Rodrigues menggambar peta Indonesia bagian timur dalam buku ini berdasarkan pengamatan yang dilakukannya selama ekspedisi ini, menandai rencana perjalanan ekspedisi pada peta-peta ini, dan menambahkan beberapa detail dari peta-peta asli.
Saya akan menunjukkan bahwa peta Kepulauan Indonesia karya Rodrigues tidak menunjukkan rute Abreu, dan selanjutnya bahwa peta-peta ini secara bersama-sama merupakan salinan yang tidak lengkap dan tidak sempurna dari peta Jawa milik Albuquerque yang tidak dimaksudkan untuk digunakan lebih lanjut. Saya akan menunjukkan sebagai tambahan bahwa di Portugal, keluarga Reinel menggabungkan hasil survei Rodrigues di pesisir selatan Seram dengan beberapa detail peta asli lainnya, dan bahwa prototipe peta asli ketiga digunakan dalam persiapan dari folio 3 atlas Miller.
2. Buku Rodrigues (I)
Tidak lama setelah penaklukan Malaka pada bulan Agustus 1511, Albuquerque memperoleh ua gramde carta (peta besar) dari seorang nakhoda Jawa, yang mungkin salah satu dari banyak yang kapalnya hancur selama pertempuran sengit. Ia menulis kepada Raja Manuel bahwa peta itu menunjukkan
“Tanjung Harapan, Portugal, dataran Brasil, Laut Merah dan Teluk Persia, Kepulauan Cengkih, rute pelayaran orang Cina dan Gores5, dengan jalur laut mereka dan rute langsung yang diambil kapal-kapal mereka [……..] Bagi saya, itu adalah hal terbaik yang pernah saya lihat, Yang Mulia. [………..] nama-namanya ditulis dalam huruf Jawa, tetapi saya meminta orang Jawa yang bisa membaca dan menulis untuk menjelaskannya”.
Keberadaan “dataran Brasil” pada peta ini mengingatkan kita pada peta Piri Re’is tahun 1513. Kedua peta tersebut mengilhami beberapa teori liar yang -sejauh menyangkut peta Jawa – dibantah oleh Cortesäo (1935, II: 126-128). Penyertaan informasi tentang Brasil ini menjadi bukti efisensi dari intelijen komersial dan ilmiah orang Arab, dan penyebaran informasi baru yang cepat di wilayah maritim Asia. Di sisi lain, penyertaan jalur laut Tiongkok mungkin merupakan hasil dari “adaptasi dokumen Tiongkok yang sebanding dengan Wou pei tche, yang mungkin ditinggalkan di Jawa atau Malaka oleh Tcheng-ho pada abad ke-15” (Manguin 1972 : 52).
Peta asli hilang bersama dengan banyak harta karun lainnya, yang nilainya saat ini diperkirakan antara 1 dan 9 miliar dolar -jika ditemukan-, dalam bangkai kapal Froll de la Mar (Time Magazine 43 (1993): 45). Untuk memberi Dom Manuel setidaknya gambaran tentang kualitasnya, Albuquerque melalui suratnya menyertakan hum pedaço de padram (sepotong peta), yang disalin dari aslinya oleh Rodrigues. Akan tetapi, pedaço ini hanya menunjukkan apa yang di Timur Jauh penting secara praktis, seperti :
“dari mana orang Cina dan Korea berasal, dan rute apa yang diambil kapal-kapal Yang Mulia ke kepulauan cengkih, dan lokasi tambang emas, dan pulau Jawa [,], dan Banda yang memiliki pala dan fuli, dan kerajaan Siam, dan juga titik terjauh navigasi Cina. [...........] Saya mendiskusikan keandalan peta ini dengan nakhoda dan Pero d’Alpoem sehingga mereka dapat memberi tahu Yang Mulia secara lengkap; Yang Mulia dapat menerima pedaço de padram ini apa adanya dan sebagai informasi yang benar, karena peta ini menunjukkan rute asli yang mereka ikuti dalam perjalanan berangkat dan pulang; [namun] gugusan pulau yang disebut Çelate6, yang terletak di antara Jawa dan Malaka, tidak ada” (Alguns Documentos 1892: 261)
Fakta bahwa bahkan Raja harus puas dengan reproduksi sebagian menyiratkan bahwa Rodrigues tidak membuat salinan lengkap apa pun. Untuk wilayah sebelah barat Ceylon, Portugis telah memiliki peta mereka sendiri, dan peta Jawa tampaknya tidak memberikan informasi baru mengenai wilayah tersebut. Ketika Albuquerque mengirimkan pedaço de padram kepada Dom Manuel dari Cochin pada bulan April 1512, Rodrigues sudah dalam perjalanan menuju Kepulauan Rempah-rempah, sehingga salinan ini pasti dibuat di Malaka antara bulan Agustus dan Desember 1511, sebelum Froll de la Mar hilang. Rodrigues tidak menggambar pedaço ini untuk Raja, yang akan diberikan salinan aslinya, tetapi mempersiapkannya untuk digunakan di Timur Jauh. Tidak diragukan lagi beberapa salinan telah dibuat dan masuk akal bahwa Abreu dan Rodrigues membawa beberapa salinan ini bersama mereka dalam ekspedisi yang sangat penting ke Kepulauan Rempah-rempah.
Buku Rodrigues berisi 26 peta (PMC I, lempeng 34-36), sejumlah gambar, sejumlah aturan bahari, dan 2 jejak perjalanan. Beberapa peta dan gambar belum selesai, sementara 4 folio berisi tanda arah angin dan/atau skala liga tetapi sebenarnya belum digunakan. Semua huruf dalam gambar dan peta tampaknya ditulis tangan oleh Rodrigues7. 26 peta tersebut dapat dibagi menjadi 2 kelompok, masing-masing disajikan dalam gaya gambar kontur yang berbeda. Kedua kelompok tersebut tumpang tindih di area dari Ceylon hingga Selat Sunda.
a. Peta pada folio 18-30 dan 114-116 digambar dengan gaya Portugis yang biasa dan sedikit bersudut; nomor 18-30 membentang dari Skotlandia hingga pantai barat laut Jawa, dan nomor 114-116 difokuskan pada wilayah Mediterania dan Laut Hitam
b. Peta pada folio 33-43 digambar dengan gaya yang sama sekali berbeda; tidak seperti peta kelompok pertama, tidak ada satu pun diantaranya yang menyertakan skala lintang dan/atau skala liga. Nomor 33-37 menunjukkan wilayah dari Ceylon hingga Seram, dan nomor 38-42 menunjukkan bagian pantai dari Malaka hingga Cina utara dan mungkin beberapa pulau di Filipina. Pada gambar 1, saya telah menggabungkan folio 33-39 secara tentative menjadi 1 peta.
Dalam kelompok (b), sekali lagi, 2, atau mungkin 3, gaya yang berbeda dapat dibedakan. Pulau-pulau besar dan pantai benua digambar dengan garis-garis indah dan lancar yang hanya memperlihatkan sedikit detail; sepengetahuan saya, tidak ada contoh lain dari gaya ini yang masih ada. Pulau-pulau lain, terutama yang lebih kecil, digambar dalam profil, “yang mengingatkan pada cara pembuatan peta-peta laut oleh orang Arab” (Winter 1949: 21) -gaya yang hampir tidak pernah digunakan oleh Portugis. Terakhir, Banka, Bali, Lombok, dan Sumbawa digambar dengan gaya yang samar-samar menandakan gaya yang digunakan pada folio 3 dari atlas Miller.
Perhatian kesarjanaan di masa lalu khususnya terfokus pada folio 36 dan 37, yang memperlihatkan Kepulauan Indonesia dari Jawa hingga ke timur sejauh Seram dan Halmahera. Hanya 5 nama tempat yang tertera di peta tersebut yang dapat dipastikan terkait dengan rencana perjalanan Abreu, yaitu Agreçii (Gresik, Jawa Timur), pude homde sse perdeo a ssabaia (Sapudi, di tempat Sabaia karam), Gulli-gully (desa/negeri di Seram tempat kapal-kapal menunggu hingga musim barat berakhir), Bamda, dan Cabo das ffroless (tanjung Flores8). Yang terakhir ini juga muncul dalam gambar panorama yang dibuat Rodrigues dalam perjalanan pulang. Di sisi lain, gambar-gambar ini menunjukkan beberapa tempat yang tidak ada di peta.
Sudah pasti bahwa baik Abreu maupun Rodrigues tidak melihat Brunei, Udama (Sollwijn Gelpke 1992), Maluku9, Halmahera, atau tempat-tempat lain di bagian utara Seram yang ditunjukkan pada folio 36 dan 37. Karena mereka adalah orang Eropa pertama yang berlayar di luar Jawa, kedua pulau ini dan nama-namanya pasti berasal dari peta Jawa atau dari peta non-Portugis lainnya, misalnya, peta milik nakhoda pribumi di armada Abreu.
Ketika Winter mencoba “untuk melihat bagaimana Rodrigues menggunakan materi-materi yang dapat diaksesnya untuk kartografi Eropa, [dia] segera menghadapi kesulitan yang cukup besar”, dan dengan demikian “berhasil menyimpulkan bahwa [peta-peta Rodrigues] kemungkinan besar merupakan salinan yang dibuat dari peta nakhoda-nakhoda Jawa” (Winter 1949: 21, 23). Namun, dalam analisa Cortesáo, peta-peta Indonesia bagian timur karya Rodrigues dibuat “mungkin dengan bantuan sketsa dan catatan yang dikumpulkan selama pelayaran tahun 1512 dan informasi yang diperoleh dari para nakhoda-nakhoda timur”. “Tidak diragukan lagi [pulau-pulau yang tidak terlihat oleh Rodrigues] disalin dari beberapa peta Jawa atau [satu] yang mirip dengan yang disebutkan oleh Afonso de Albuquerque” (Cortesäo 1944:xciv; 1975:58-9). Cortesäo menyimpulkan bahwa “peta-peta kepulauan timur dan timur jauh, yang paling penting dari semuanya, dapat diberi penanggalan sekitar tahun 1513”, dan “buku Rodrigues tiba-tiba dikirim ke Lisbon, mungkin untuk memenuhi beberapa permintaan mendesak, tak lama setelah ia menggambar peta-peta kepulauan timur dan Cina yaitu sekitar tahun 1514” (Cortesäo 1944:xcv).
Dalam pandangan ini, Rodrigues :
a. tidak memiliki salinan peta Jawa yang dimilikinya
b. menggambar sendiri peta wilayah timur miliknya pada tahun 1513, setelah kembali ke Malaka (Cortesäo 1975: 58), berdasarkan pengamatan dan sumber-sumber lain; dan
c. menandai rute yang diikuti Abreu pada peta-peta ini.
Oleh karena itu, pertama-tama saya akan mencoba menentukan sejauh mana peta-peta ini mencerminkan rencana perjalanan Abreu dan pengamatan Rodrigues.
3. Rencana perjalanan Abreu ke Banda
Begitu Afonso de Albuquerque menaklukan Malaka dengan sekelompok kecil fidalgos yang tak kenal takut pada bulan Agustus 1511, ia segera mengirim pesan “urusan seperti biasa” ke segala arah, dan menyiapkan 3 kapal untuk mempelajari rute ke Banda dan Maluku, tujuan akhir ekspansi Portugis. Komando ekspedisi dipercayakan kepada Antonio de Abreu, dengan Francisco Rodrigues sebagai kartografer dan salah satu dari nakhoda Eropa. 2 nakhoda pribumi melengkapi kru armada ini.
Abreu memiliki perintah ketat untuk menjaga pengendalian diri dan kebijaksanaan di mana pun, tidak mengizinkan apa pun kecuali feitor dengan 3 atau 4 penjaga untuk pergi ke darat di mana pun, untuk mematuhi praktik perdagangan yang berlaku, untuk memperoleh pengetahuan tentang rute, dan membuat peta. Dia diberi hadiah dan tekstil untuk diberikan kepada raja-raja dan para pangeran di sepanjang rute di kepulauan rempah-rempah (Albuquerque 1774, III: 183), jadi kunjungan ke Bali, Sumbawa dan kepulauan Timor mungkin dimaksudkan/direncanakan. Dia harus pergi ke Banda terlebih dahulu, dan kemudian membawa kapal-kapalnya ke darat di Tanjung Ambam, yang terletak di sebuah pulau besar 4 hari pelayaran dari kepulauan cengkih, untuk perbaikan yang diperlukan (Sá 1956, I: 36)10
Kapal-kapal itu meninggalkan Malaka pada bulan November 1511. Mereka harus mengikuti di belakang jung-jung nakhoda (pemilik kapal dagang) Ismael, yang harus mengumumkan situasi politik terbaru di Malaka di semua pelabuhan persinggahan dan untuk membiasakan orang Portugis dengan praktik perdagangan di sepanjang rute (lihat gambar 2).
3 nakhoda lagi disewa di Gresik, yang saat itu merupakan pelabuhan utama di timur Jawa. [kapal] Sabaia, dibawah komando Francisco Serräo, hancur dalam badai di pulau Sapudi, sebelah timur Madura. 2 kapal yang lainnya menunggu hingga musim barat berakhir di Guliguli, sebuah desa di pantai selatan Seram, dekat ujung timurnya.
Tidak sampai 3 bulan kemudian Abreu dapat berlayar ke Banda, dimana sebuah kapal junk diperoleh untuk menggantikan Sabaia. Ia membeli 1 kapal penuh rempah-rempah, dan ketiga kapal itu, alih-alih berlayar ke Maluku, kembali ke Malaka. Serráo kehilangan kapal keduanya di kepulauan Lucipara, di sebelah barat daya Banda; ia bersama 9 orang berhasil untuk melakukan perjalanan ke Ternate, dimana ia tinggal sampai tahun 1521.
Abreu dan Rodrigues kembali ke Malaka melalui Flores dan Jawa, tiba di sana pada bulan Desember 1512 dan berlayar ke India pada bulan Januari atau Februari 1513. Rodrigues ditugaskan ke daerah Laut Merah, dan Abreu pulang dengan rempah-rempah bersama peta dan laporan penjelajahannya, tetapi meninggal di Azores dalam perjalanan.
Tidak ada catatan langsung yang masih ada tentang rute Abreu dalam perjalanan ke bagian timur. Tidak ada perdebatan tentang bagian pertama perjalanan ini, yaitu dari Malaka sepanjang rute perdagangan ke Gresik (Agreçii pada folio 36), atau tentang seluruh pelayaran dari Banda kembali ke Malaka, yang dari Solor ke Krawang (Jawa Barat) didokumentasikan melalui gambar-gambar panaroma Rodrigues. Namun, bagian perjalanan dari Gresik ke Guliguli telah menjadi subjek perdebatan, yang memunculkan berbagai rekonstruksi yang sangat berbeda. Kita hanya akan mempertimbangkan pendapat yang berwibawa dari Cortesáo (1944: lxxx-lxxxiii dan 1975:58), yang menunjukkan bahwa Hakluyt, Bethune dan Hamy, sebagai akibat dari kesalahan penerjemahan 1 kata dalam Descobrimentos karya Galváo, diyakini bahwa Abreu mengambil rute kabotasec yang panjang melalui Kepulauan Aru.
Cortesáo beralasan rencana perjalanan Abreu terutama dari catatan tahun 1555/1563 oleh António Galváo, yang menurutnya kapal-kapal tersebut mengikuti “jalur ke utara sebuah pulau kecil bernama Gunong Api (Gumuapè) [...........]. Dari sana mereka menuju ke pulau Buru (Burro) dan Amboina (Damboino), dan berlayar di sepanjang [pulau] itu, yang disebut Ceram (Muar Damboino), dan berlabuh di sebuah pelabuhan bernama Guli Guli”.
Dia melihat konfirmasi tidak langsung dari deskripsi Galväo dalam sebuah jejak perjalanan di Livro de Marinharia tahun 1560 yang merekomendasikan rute ke Banda melalui Tanjung Flores dan Batutara, kemudian ke arah timur laut menuju Gilimäo11 (Lucipara), dan kemudan ke arah utara-timur laut menuju Buru dan tenggar menuju Banda12. Dalam praktiknya ada beberapa rute ke Banda, pilihan di antaranya bergantung pada jenis perdagangan yang dilakukan kapal-kapal terkait (perdagangan massal jarak jauh atau perdagangan eceran pesisir) dan ditentukan oleh perubahan musim hujan.
Cortesáo mengutip sebuah bagian dari Suma Oriental karya Pires yang menyatakan bahwa setelah Batutara “rutenya lurus ke depan menuju Banda dan Amboina”. Dia menyimpulkan bahwa “tidak diragukan lagi ini adalah rute yang diikuti oleh Abreu, dan karenanya Rodrigues mencatatnya di petanya (folio 37), [yang] hanya memiliki 13 nama tempat dan inkripsi, 7 diantaranya merujuk pada rute tersebut : Tanjung Flores-Batu Tara-Buru-Amboina-Seram-Gule Gule-Banda”. Dengan menggabungkan semua elemen ini, ia menelusuri rencana perjalanan Abreu secara lengkap, dengan menyatakan bahwa setelah Sapudi “mereka melihat Batu Tara dan kemudian Gunong Api, berlabuh di Buru dan Amboina, berlayar di sepanjang pantai selatan Seram, berlabuh di Gule Gule [........]” (Cortesáo 1944:lxxxiii, juga 204 catatan kaki nomor 1).
Kelemahan argumen Cortesäo adalah bahwa ia menggabungkan semua tempat yang disebutkan oleh Rodrigues, Galväo dan Livro de Marinharia menjadi 1 jalur, dengan menganggap bahwa catatan Galväo dapat dipercaya dan bahwa peta Rodrigues merupakan cerminan rencana perjalanan Abreu. Faktanya, tidak satu pun premis tersebut benar.
Catatan Galväo tidak sepenuhnya dapat diandalkan, jika boleh dikatakan demikian. Faktor-faktor yang mendorong kesimpulan ini adalah :
§ Catatan itu “melompat” dari Madura ke Gunung Api (istilah Melayu untuk “volcano”), kira-kira di tengah-tengah antara Flores dan Banda, menggambarkan aliran lava yang mengalir dari puncaknya ke laut. Rodrigues, dalam perjalanan pulang, membuat gambar gunung berapi yang berbeda, Sangeang dekat Sumbawa (Ylha de ffogo, folio 83-84), tetapi tidak menandainya di folio 36 dan 37. Pires menyebut Sangeang sebagai Foguo, dan muncul di peta Reinel tahun 1517 sebagai Ilha do fugo13
§ Galväo menyatakan bahwa kapal Serrao dibakar di Guliguli karena “kapal itu sudah tua dan rusak”. Kita tahu pasti dari folio 36 dan 43 milik Rodrigues bahwa Sabaia hilang di Sapudi
§ Galväo menyatakan posisi Banda sebagai “oito graos da parte do sul” (80 lintang selatan), yang sebenarnya 3030’ terlalu jauh ke selatan
§ Mengenai pernyataan Galväo bahwa Abreu menuju ke Buru dan Amboina dan berlayar di sepanjang Muar Damboino (Seram), akan ditunjukkan lebih lanjut bahwa pada abad ke-17 nama Amboina digunakan untuk menunjukkan Amboina modern dan semenanjung Hoamoal; dimana semenanjung Hoamoal sering diyakini sebagai pulau yang terletak di sebelah Seram. Barros, yang sering berkonsultasi dengan sumber-sumber Galväo mengenai masalah-masalah Maluku, mungkin menulis atas dasar otoritasnya bahwa Abreu berlayar dari Jawa ke pulau Amboina; walaupun dalam paragraf berikutnya ia menyatakan dengan kata-kata yang persis sama bahwa Abreu berangkat dari Sapudi ke pulau Banda (Barros 1946, Déc III: 265-266).
§ Catatan Galväo tampaknya sebagian besar didasarkan pada kabar angin. Atau mungkin ia hanya menggambarkan perjalanan yang ia tempuh dalam perjalanan pulangnya pada tahun 154014.
Untuk menunjukkan bahwa peta-peta Rodrigues tidak mencerminkan rencana perjalanan Abreu, kita harus kembali ke Gresik, tempat Abreu menyewa 3 nakhoda itu, yang dalam pemilihannya kita dapat menduga bahwa Rodrigues terlibat. Karena Portugis percaya bahwa Ismael dan 2 nakhoda yang mereka pekerjakan di Malaka adalah ahli dalam rute jalur rempah-rempah, 3 nakhoda tambahan itu mungkin disewa karena pengalaman mereka dan peta-peta laut mereka tentang perairan antara pulau-pulau dalam rute ke Sumbawa dan mungkin Timor. Dari Gresik, kapal-kapal itu mengikuti jalur antara Jawa dan Madura.
Saya berpendapat bahwa setelah hilangnya Sabaia, Abreu memutuskan untuk menghentikan kunjungan sekunder di Nusa Tenggara agar tidak membahayakan tujuan utama perjalanan mereka : penjelajahan rute ke Banda dan Maluku serta pembelian rempah-rempah. Dia meminta nakhoda Ismael mengambil rute langsung yang aman ke Banda dan menghindari semua rintangan; jadi mereka berlayar ke arah timur melalui Laut Flores, mengubah jalur ke timur -timur laut setelah Kalaotoa.
Kedua kapal itu hanya bisa berlayar mengikuti arah angin. Ketika mendekati Banda, mereka tidak dapat mencapainya karena “cuaca buruk”15, dan “bergeser” melewati Banda ke Tenggara Seram. Fakta bahwa Abreu berakhir sejauh timur Guliguli menunjukkan bahwa ia mengikuti jalur timur-timur laut dari kepulauan Lucipara ke Banda, jauh di Selatan Buru dan Amboina16.
Abreu diperintahkan untuk mengunjungi Banda terlebih dahulu, dan kemudian menambatkan kapalnya untuk perbaikan yang diperlukan di Tanjung Ambam, di sebuah pulau besar yang berjarak 4 hari pelayaran dari Kepulauan Cengkih (Sá 1956, I:36). Albuquerque pasti mendasarkan instruksi yang tidak ambigu ini pada informasi dari orang-orang yang dipercayainya dan yang mengenal daerah itu, mungkin dari Ismael dan kedua nakhoda.
Instruksi ini menyiratkan bahwa Abreu berharap memiliki waktu sekitar 3 bulan untuk mengunjungi Banda dan kemudian melanjutkan perjalanan ke arah timur ke daerah Seram Laut dan Gorong. Di sana ia harus menunggu angin muson timur untuk membawanya ke Maluku melalui rute yang biasa melalui utara Seram. Oleh karena itu, kita harus mencari Tanjung Ambam di sisi utara Seram. Pada folio 37 nama Ambon memang muncul di titik barat laut Seram17, semenanjung Hoamoal.
Tidak ada tempat Ambam di Hoamoal dalam catatan-catatan18, tetapi menurut Suma Oriental, “Kepulauan Amboina adalah sebagai berikut : Amboina, Hitu, Haruku [dst]” dan “Amboina adalah satu pulau dan di sebelahnya adalah Hitu (Yta) [dst]” (Cortesáo 1944 : 210-211). Hitu adalah endonimd lama untuk Ambon modern, dan jelas Pires juga merujuk ke pulau lain dengan “Amboina”.
Jurnal Antonio Pigafetta tahun 1521 menyebut dengan pasti bahwa semenanjung Hoamoal disebut sebagai pulau “ Ambon”. Dikatakan : “sepuluh liga [leguas] di sebelah timur [Buru] adalah sebuah pulau besar yang dibatasi oleh Jiaalolo [Halmahera]. [........] Itu disebut Ambon. Antara Buru19 dan Ambon ditemukan 3 pulau yang dikelilingi oleh terumbu karang, bernama Vudia, Cailaruri, dan Benaia (Pigafetta 1906: 149 dan 153).
Ketiga pulau tersebut, yang mungkin saja adalah Manipa, Kelang, dan Boano modern, dan kedekatan Halmahera mengarah ke Seram bagian utara, bukan ke Ambon modern. Ambon modern muncul sebagai Leytimor (separuh timur Ambon) diantara sejumlah pulau (dan wilayah) yang dihuni oleh kanibal yang tidak diamati sendiri oleh Pigafetta; dari pulau-pulau yang dapat diidentifikasi, beberapa terletak di dalam dan di lepas pantai selatan Seram, yaitu Selan (Seram), Noselao (Nusalaut), Biga (Bega di Sanana atau Piru di Seram?), dan (yang kedua) Benaia (Benuar). Dalam banyak sumber Portugis, Spanyol, dan Belanda, pulau Seram dan semenanjung Hoamoal disebut sebagai Ambon, Amboina, dan Muar d’Amboina hingga akhir abad ke-1620.
Rodrigues tidak mencantumkan nama apa pun, bahkan pulau apa pun, di tempat pada petanya dimana seharusnya pulau Amboina modern berada -kelalaian yang tidak mungkin terjadi jika Abreu benar-benar mengunjunginya. Setelah 3 bulan gelisah, Abreu akhirnya dapat meninggalkan Guliguli menuju Banda tepat sebelum atau pada awal musim timur tahun 1512, yang di Indonesia bagian timur bertiup dari tenggara dan karenanya disebut “(angin) selatan”. Di sana ia dapat membeli sebuah kapal dan muatan rempah-rempah. Akan tetapi, untuk mematuhi instruksinya untuk mengunjungi Ambam dan Maluku, ia harus menunggu di Ambon atau Buru hingga musim barat berikutnya atau tinggal hampir setahun di daerah Banda-Gorong sambil menunggu musim timur tahun 151321; dalam kedua kasus tersebut ia baru akan kembali ke Malaka pada paruh kedua tahun 1514. Ia tampaknya menilai bahwa informasi lebih lanjut tentang rute rempah-rempah tidak sepadan dengan waktu yang terbuang, atau resiko yang menyertainya terhadap kargonya, dan memutuskan untuk kembali ke Malaka pada tahun 1512.
Bangkai kapal kedua Serrao adalah bukti bahwa kali ini kapal-kapal tersebut mengikuti jalur di selatan Kepulauan Lucipara. Serrao akan aman jika mereka mengambil rute utara, tetapi dalam kasus-kasus tersebut kapal-kapal tersebut mungkin telah terjebak di timur Sulawesi selama berbulan-bulan. Berlayar dari Lucipara ke Solor22 dan Flores, seperti yang terlihat dari gambar-gambar Rodrigues (folio 43-44), mereka mungkin telah melihat Gunung Api. Namun Rodrigues tidak menandai gunung berapi ini di petanya, dan pada gambarnya tentang Solor/Alor ia mencatat bahwa ini adalah daratan pertama yang mereka lihat sejak Banda. Jika ia melihat Gunung Api, ia tidak memperhatikannya, jadi mungkin gunung itu tidak aktif pada tahun 1512.
Mengenai Batutara, Tomé Pires mengetahui dari informan pribumi dan peta mereka bahwa dari pulau di seberang Solor23 ini orang mengambil “rute sebelum angin bertiup ke Banda dan ke Ambon” (a rrota abatida pera bamdan & pera ambon). Dengan menyebut Banda terlebih dahulu dan menggunakan kata “pera” sebanyak 2 kali, Pires tampaknya berbicara tentang 2 rute yang berbeda, keduanya dengan Batutara sebagai titik awal, yaitu rute utara-timur laut langsung ke Buru dan Amboina (atau Hoamoal), dari sana orang dapat berlayar ke kepulauan cengkih atau Banda, dan rute timur-timur laut, yang menempuh garis lurus melalui Gunung Api dan Kepulauan Lucipara ke Banda24. Begitu Abreu tiba di daerah Solor/Alor dalam perjalanan pulang, puncak Komba pasti terlihat di lihat cakrawala utara. Jika telah menandai Batutara di peta ini dari pengamatan pribadi, dia pasti tidak akan menggambarnya dari samping, atau seperti yang terlihat dari utara. Jadi, gambar Batutara di folio 37 bukanlah hasil pengamatan pribadi Rodrigues, tetapi disalin dari peta asli atau peta milik orang pribumi.
Peta-peta Indonesia bagian timur karya Rodrigues mencakup beberapa kekhasan lainnya, seperti yang ditetapkan di bawah ini :
a. Folio 37 memperlihatkan distorsi aneh dimana separuh bagian timur Seram melengkung ke utara dan pulau Kai dan Watubela telah dipadatkan ke arah barat laut seolah-olah pembuatnya telah salah menilai ruang yang dibutuhkan untuk wilayah itu. Separuh bagian barat Seram tergambar dengan benar dalam garis timur-barat, tetapi separuh bagian timurnya salah dalam garis hampir utara-selatan, dengan “Gulli-gully” ditandai di sudut yang – jika ada – mewakili Tanjung Seitu, sebelah barat teluk Teluti. Karena Seram tidak pernah lagi tergambar dalam bentuk ini, Rodrigues mungkin telah mengamati secara pribadi bahwa tonjolan utara Seram seperti yang terlihat pada folio 37 tidak ada, sebagaimana yang telah dipelajarinya dari para nakhoda pribumi dan penduduk setempat. Dia mungkin melakukan perjalanan singkat melalui Kedda Creek, yang menghubungkan Guliguli dengan Arnanan di pantai timur
b. Tidak seperti pulau-pulau besar lainnya pada folio 36 dan 37, Seram tidak memiliki nama (kecuali Ambom di ujung barat laut), tetapi memiliki kata-kata “çeiram tem houro” (Seram memiliki emas) yang tertulis di sebelah Guliguli. Ini tidak boleh dibaca sebagai referensi (yang tidak tepat) ke tambang-tambang penting emas di Seram, tetapi sebagai informasi khusus tentang Seram Laut, yang saat itu merupakan emporium regional yang sangat kaya untuk produk-produk dari Nuigini, dengan perdagangan budak dan emas yang ramai (Sollewijn Gelpke 1994: 131-133).
c. Pada folio 36 serangkaian pulau-pulau kecil yang ditunjukkan dalam profil di sebelah timur Madura mewakili pulau-pulau kecil dari Kangean hingga Kalaotoa. Pada folio 37 sejumlah tanda atau simbol bergelombang aneh, masing-masing dikelilingi oleh titik-titik kecil, membentang dari Kalaotoa hingga Buru. Mereka secara aneh mengingatkan kita pada aliran ombak di musim hujan, dan mungkin menunjukkan rute musim hujan, seperti garis-garis yang dicatat oleh Varthema. Tanda-tanda serupa pada folio 38 mungkin menunjukkan jalur pelayaran di antara pulau-pulau kecil.
Untuk meringkas, ciri-ciri khusus peta-peta Rodrigues di Indonesia bagian timur berikut ini relevan dengan argumen kami :
§ Rodrigues membuat gambar gunung berapi Sangeang, tetapi tidak menandainya di folio 36;
§ tidak mungkin bahwa pada perjalanan berangkat Rodrigues mengamati Batutara dari utara, dan jika dia melihatnya, dia akan menggambarnya di prodil; jika dia melihatnya dalam perjalanan pulang, dia tidak akan menggambarnya di profil seperti yang terlihat dari utara;
§ dia mungkin melihat Gunung Api pada perjalanan berangkat dan pulang, tetapi tidak menandainya di folio 37;
§ tidak mungkin bahwa dia melihat Buru; jika dia melihatnya, dia tidak akan menggambarnya di profil seperti yang terlihat dari utara
§ tidak mungkin Rodrigues mengunjungi pulau Ambon; jika ia mengunjungi, ia akan menandainya di peta ini;
§ ia tidak memperbaiki bentuk pulau Seram dengan hasil surveinya25;
§ Rodrigues dalam perjalanan pulang membuat gambar Tuban, Jawa, dan daerah Krawang (dengan menambahkan catatan “dan kami menemukan Pulau Jawa sampai di sini”) tetapi gagal menandai tidak hanya tempat-tempat ini tetapi juga garis pantai Jawa yang sesuai di folio 36.
Oleh karena itu, kesimpulan kami adalah bahwa folio 36 dan 37 jelas bukan merupakan catatan perjalanan Abreu ke kepulauan rempah-rempah.
4. Buku Francisco Rodrigues (II)
Pertanyaan utama tentang bukur Rodrigues adalah mengapa penulisnya tidak menyelesaikan dan memperbarui peta Indonesia bagian timur selama, atau segera setelah, ekspedisi ke Banda. Cortesäo berargumentasi bahwa ia berhenti mengerjakannya pada tahun 1513 karena peta tersebut harus diteruskan ke Lisbon, mungkin atas permintaan resmi yang mendesak. Ini bukanlah penjelasan yang memadai untuk tidak adanya banyak rincian, karena Rodrigues pasti dapat menambahkan beberapa nama tempat dan informasi lainnya – jika hanya kota Malaka – bahkan dalam waktu singkat. Kita tahu dari Suma Oriental, yang ditulis segera setelah itu, bahwa data tersebut tersedia secara luas. Dalam analisis akhir, Rodrigues hanya menambahkan nama beberapa tempat dimana ia sendiri mendarat : Sapudi, dimana ia mungkin ikut serta dalam penyelamatan Serräo dan anak buahnya, Guliguli, dan (mungkin) Gresik, dimana ia membantu memilih nakhoda.
Sejak tahun 1512, aliran informasi baru dan peta yang diperbaharui mulai mengalir ke Lisbon, dan pada tahun 1513 Abreu tentu saja membawa beberapa peta baru bersamanya ke Portugal, mungkin termasuk salinan terbaru dari pedaço de padram. Karena setidaknya satu, dan mungkin dua, salinan pedaço telah diteruskan ke Portugal, kita bertanya-tanya apa pada tahun 1514 atau 1515 yang menjadi arti penting khusus dari buku Rodrigues, dan khususnya peta-peta yang sudah ketinggalan zaman. Akan tetapi, seperti yang akan kita lihat, buku Rodrigues tidak dimaksudkan untuk digunakan oleh siapa pun.
5. Peta Jawa
Berbeda dengan pujian Albuquerque, kesimpulan Tibbets bahwa peta “hanya bisa sangat samar, karena [dalam peta Rodrigues tahun 1513] pantai-pantai yang belum dilayari oleh Portugis ditunjukkan dengan cara yang sangat tidak sempurna” (Tibbets 1992: 256). Faktanya, folio 33-42 karya Rodrigues adalah salinan yang buruk dari peta yang bagus. Peta pada folio 33 sangat buruk. Tepi sungai turun ke laut dan kemudian pantai itu sendiri menjadi tepi sungai lain. Setidaknya 3 garis pantai yang berbeda di daerah tersebut dari Madras hingga yang tampaknya merupakan Sungai Brahmaputra bercampur dan tumpang tindih di muara Sungai Gangga (Rio de Bemgalla), yang mengakibatkan hilangnya bentangan antara 30 dan 60 garis bujur. Saya tidak dapat mengurai kekusutan itu dengan memuaskan. Namun, setelah koreksi kasar, folio 33 tampaknya digambar pada skala yang hampir sama dengan folio 35-3726. Namun kemudian anomali dan perbedaan lain antara peta kelompok kedua mulai menonjol.
Peta pada folio 34 dan 38 tampaknya mengalami cacat yang sama. Teluk Thailand di sini terlalu kecil, Teluk Tongking terlalu besar, dan kota Malaka hilang. Jadi tampak seolah-olah daerah perdagangan kuno dan terkenal ini telah berpindah tempat. Setelah diletakkan di tempat yang benar (lihat gambar 3), mereka cocok dengan cukup baik, dan skala peta terlihat mendekati skala folio 35-37. Kota besar dipantai Vietnam yang sejauh ini tetap tidak teridentifikasi (Cortesao 1944: 523; Manguin 1972: 156) terlihat sebagai Malaka, meskipun lokasinya telah bergeser beberapa jarak ke timur laut. Peta-peta pada folio 35 dan 36 belum selesai dan tampak seperti sketsa awal. Rodrigues hanya mengidentifikasi ujung-ujung Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa di sini. Tampaknya agak tidak mungkin bahwa pengingat ini ada dalam aslinya. Kehadiran mereka di sini membuktikan, bagaimanapun, bahwa Rodrigues menyadari bahwa Sumatera dan Jawa masing-masing merupakan pulau tunggal yang tidak terbagi – sesuatu yang belum diketahui Reinel pada tahun 1517. Pada folio 36, pantai utara Kalimantan berhenti di Brunei, dan Kepulauan Sunda Kecil di Sumbawa Timur.
Folio 37 tampaknya merupakan salinan yang benar, dengan hanya pantai selatan Timor yang hilang. Bentuk Sulawesi saat ini baru ditemukan oleh Portugis pada abad ke-16, tetapi mungkin telah dikenal di Majapahit pada abad ke-14 (Sollewijn Gelpke 1992: 245). Pantai-pantai Cina pada folio 39-41 kurang lebih bergabung dengan folio 38. “Ilhas Allegados” pada folio 39 tampaknya mewakili Kepulauan Spratly, dengan Palawan di sebelah timur. Pulau yang diberi label “Lequeoller” dan digambar dalam profil saat itu akan menjadi Mindoro dan/atau Luzon jika dilihat dari barat laut.
Semua ini menegaskan bahwa peta Jawa merupakan satu item tunggal, seperti yang tersirat dalam kata-lata Albuquerque, dan membuktikan bahwa peta tersebut telah dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam lembaran kertas yang dimiliki Rodrigues. Ketika Rodrigues menutup tempat kerjanya di Malaka pada November 1511, dan sekali lagi ketika ia kembali dari Banda, ia harus menyerahkan salinan peta-peta yang cukup bagus ke Albuquerque dan Abreu untuk penggunaan resmi. Ia menyimpan sendiri folio 33-42 dari sisa-sisa peta-peta awal dan yang ditolak . Nama “Emmanuel” yang ditulis dengan huruf-huruf sangat rumit di bagian atas halaman pertama bukunya tidak serta-merta menunjukkan bahwa ia mendedikasinnya kepada Raja Manuel (Cortesáo 1944:lxxxviii). Kemungkinan besar, halaman ini adalah draft atau salinan dari dedikasi yang menyertai peta asli Jawa dalam perjalanannya yang bernasib buruk ke Lisbon. Rodrigues senang menyimpan potongan-potongan ini sebagai kenang-kenangan dari pelayarannya dan keajaiban kartografi yang hilang bersama Froll de la Mar. Seperti gambar-gambarnya, yang merupakan mahakarya artistik tersendiri, peta-peta dan salinan Suma Oriental tahun 1515-1516 miliknya mendapat tempat dalam koleksi pribadinya.
Penafsiran di atas menjelaskan mengapa peta-peta Rodrigues tidak selesai dan mengapa peta-peta itu tidak menjadi peta yang berkesinambungan. Hal ini juga memberikan jawaban atas pernyataan Cortesao bahwa “kita hampir tidak dapat memahami mengapa [Rodrigues] tidak menyertakan dalam bukunya sebuah catatan perjalanan ke Banda. Mungkin dia tidak dapat menyelesaikannya tepat waktu, sebelum buku itu tiba-tiba dikirim ke Lisbon” (Cortesäo 1944:xcvi). Catatan perjalanan ini mungkin agak tidak menarik, dalam hal ini : setelah bencana di Sapudi, armada itu kembali berlayar, sebagian besar perjalanan dalam cuaca buruk. Jadi sebagian besar waktu Rodrigues berada di laut. Mengingat banyaknya catatan tentang daerah Ceylon pada folio 33, diragukan bahwa sedikitnya nama tempat dalam salinan Rodrigues lainnya mencerminkan peta Jawa yang asli.
Meskipun ada kekurangan, peta Rodrigues dari kelompok b (lihat bagian 2 di atas) masih sesuai dengan deskripsi Albuquerque tentang pedaço de padram. Kedua peta menunjukkan :
§ Daerah yang sama, dari Ceylon (folio 33) ke Seram (folio 37) ke Cina utara dan Korea (folio 41, dengan label “are aqui tem desscuberto os chims” (Orang Cina telah menemukan sampai di sini));
§ Jalur laut dari Korea dan Cina (folio 38-42);
§ Kerajaan Siam (“amssiam”, pada folio 34);
§ Rute ke kepulauan cengkih (gelombang-gelombang pada folio 36-37);
§ Lokasi “tambang emas” (“çeiram tem houro”, pada folio 37);
§ Pulau Jawa dan Banda (folio 35-36 dan 37), “dan keduanya kepulauan Riouw dan Lingga hilang antara Samgepura” (folio 34) dan “Ilha de Bamca” (folio 33)27.
Karena alasan yang sama mengapa peta-peta ini ditolak, garis besar dan sebagian besar label (yang diterjemahkan) pada folio 33-42 buku Rodrigues menunjukkan bahwa peta-peta tersebut merupakan salinan asli peta Jawa milik Albuquerque -kecuali untuk kesalahan-kesalahan yang menyebabkan peta-peta tersebut ditolak. Karena Brasil ditemukan oleh Portugis pada tahun 1501, peta jawa pasti telah diperbarui tidak lama sebelum Albuquerque memperolehnya. Hal ini membuatnya hampir sezaman dengan peta Piri Re’is, yang bagian meliputi bagian timurnya telah hilang. Mengingat cakupannya, kedua peta tersebut mungkin merupakan dokumen ilmiah dan bukan alat bagi para pedagang dan nakhoda28. Mungkin bagian yang menyertai setiap peta memberikan gambaran umum tentang bagian yang hilang dari peta lainnya29.
Tampaknya tidak diragukan lagi bahwa kartografi Arab dan Cina berkontribusi pada hal peta “Jawa” ini. Representasinya terhadap wilayah dari Ceylon hingga Seram sangat akurat, kecuali untuk bagian paling timur kepulauan Indonesia. Jika kita menerima salinan Rodrigues sebagai salinan asli, gayanya unik. Meskipun demikian, masih ada pertanyaan terbuka sejauh mana peta ini dan 2 prototipe yang akan dibahas dalam bagian 6 dan 7 di bawah ini membuktikan keberadaan ilmu kartografi pra-Portugis, yang jelas merupakan kartografi Jawa dan/atau Melayu30. Penulis saat ini tidak memenuhi syarat untuk menilai asal-usul dan usia teknik survei dan kartografi yang mendasarinya.
6. Rodrigues and the peta asli Reinel 1517
Mengenai penggunaan karya Rodrigues oleh para kartografer di Portugal, berbagai perkiraan berkisar dari penyangkalan tegas bahwa ia memiliki pengaruh apa pun, yaitu “tampaknya Rodrigues tidak mempengaruhi kartografi Portugis, karena pada peta [Reinel] dari Samudera Hindia [..........] pulau-pulau besar sama sekali tidak ada, sementara Jawa digambarkan sebagai 2 pulau” (Winter 1949: 26), hingga pengakuan hati-hati bahwa ia mungkin memiliki beberapa, yaitu “jelas para kartografer [Portugis] mengambil petunjuk mereka sebagian dari peta yang mirip dengan peta Rodrigues, jika tidak dari [peta-peta Rodrigues sendiri] ini” (Cortesao 1975: 60). Kedua penulis ini mengabaikan aspek tertentu dari peta Reinel. Peta anonim sekitar tahun 1517 (lihat gambar 4) yang umumnya dikaitkan dengan Pedro Reinel di Armeebibliothek di Munich dihancurkan menjelang akhir perang dunia kedua. Salinan peta tahun 1519 yang dikaitkan dengan putra Pedro, yaitu Jorge, juga hilang; salinan kedua yang bertanggal sekitar tahun 1522 disimpan di British Library (PMC I, est. 10,12, 11).
Jika peta Reinel 1517 dibandingkan dengan peta Rodrigues, terlihat jelas bahwa peta tersebut berasal dari prototipe yang berbeda. Peta tersebut kurang akurat karena tidak ada Borneo dan Sumatera31 digambarkan sebagai 2 pulau. Selain itu, Jawa dan Kepulauan Sunda Kecil sangat memanjang ke arah selatan. Di sisi lian, peta Reinel 1517 menunjukkan Kepulauan Riouw dan Lingga dan, jauh di sebelah barat “Solitarya” (korupsi dari Batutara), “ilha de fogo”, gunung berapi di Sangeang. Peta Reinel 1517 tidak memuat jejak temuan kartografi perjalanan Abreu. Di sebelah timur “Ilha de Jaava” terdapat label yang mirip dengan, tetapi tidak identik dengan, label folio 36 dan 37 karya Rodrigues, yaitu “cabo da ffloresta”, “solitarya” (yang oleh Rodrigues disebut dengan tepat sebagai Batutara). “ilhas de babäy aquy nas maisis” (Kepulauan Banda, di sini tumbuh fuli), dan “ilhas de maluco domde a o clavo” (Maluku, tempat cengkih berada). Prototipe aslinya diterjemahkan dengan kurang ahli dibandingkan pedaço de padram.
Perbedaan paling signifikan dengan Peta Rodrigues adalah bahwa peta Reinel 1517 menunjukkan Seram dengan pantai selatan baru dan tidak ada pantai utara. Garis pantai baru ini hanya dapat diperoleh dari pengamatan Rodrugues, karena, sesuai dengan instruksinya, ia akan memanfaatkan masa tinggal 3 bulan di Guliguli untuk memetakan pantai-pantai didekatnya. Sekilas, garis pantai ini tampak agak samar, bahkan meragukan. Akan tetapi, ketika peta itu dibandingkan dengan peta Seram modern, peta itu tampak digambar terbalik32. Jika peta itu diputar pada sumbu utara-selatan (lihat gambar 5), kita akan memperoleh garis besar Seram selatan yang sangat akurat dari Amahai ke Arnanan, desa di pantai timur yang menurut saya menjadi tujuan Rodrigues dari Guliguli. Tentunya Rodrigues akan mengoreksi penggambaran terbalik garis pantai ini dan juga nama yang keliru “solitarya” jika ia melihatnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ia tidak ada hubungannya dengan prototipe Reinel 1517 atau dengan pemindahan hasil surveinya ke peta Reinel.
Prototipe (asli atau terjemahan) ini menunjukkan rute musim hujan dari suatu titik di utara Sumbawa ke Butung yang mirip dengan “gelombang” pada peta Rodrigues pada folio 36 dan 37. Selain itu, peta ini menggambarkan rute perdagangan kedua dari Sumbawa ke Seram timur di sepanjang lengkungan besar pulau-pulau di antara keduanya, dan rute ketiga dari Seram timur ke sebuah pulau yang, dari hubungannya dengan Maluku, tampaknya adalah Halmahera33. Reinel 1518 (umumnya dikenal sebagai Kunstmann IV) dan 1519 agak kurang rinci, tetapi sebaliknya identik. Namun, karena suatu alasan, hasil survei Rodrigues tidak dipindahkan ke Reinel 1522. Peta ini masih menunjukkan informasi yang terdapat pada prototipe, yaitu akhir rute pulau selatan di wilayah Gorong, Seram Laut, dan Seram timur. Indikasi awal jalur muson dari Jawa ke wilayah Buru-Seram-Gorong ini bertahan dalam bentuk pulau-pulau kecil dan terumbu karang yang sebagian besar tidak ada di beberapa peta Portugis dan Spanyol hingga akhir abad ke-1634.
7. Jejak peta pribumi ketiga
Seperti Reine1 1517, folio 3 Atlas Miller menggambarkan
Seram secara terbalik, serta dua rute perdagangan di Laut Banda. Dari fakta
bahwa Sapudi dan Guliguli tertera di peta tersebut dan Ternate memiliki standar
Portugis yang tertera di dalamnya, kita dapat menyimpulkan bahwa peta ini
diselesaikan setelah Reinel 1519. Hal baru yang luar biasa tentang peta yang
agak kacau ini adalah peta tersebut menggambarkan Seram dengan pantai utara
yang benar. Karena yang terakhir tampaknya terlalu bagus untuk menjadi khayalan
yang diilhami, peta tersebut mungkin disalin dari peta pribumi lain. Karena
Rodrigues berharap untuk berlayar ke Maluku melalui Seram utara, ia pasti telah
membeli atau menyalin peta wilayah tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa Abreu
membawa peta-peta ini ke Portugal bersama dengan hasil survei Rodrigues.
======== selesai ======
Catatan Kaki
1. Penggunaan jarum magnet dalam navigasi Tiongkok tercatat sejak abad ke-11, dan disebut dalam sumber-sumber Arab sejak 1282 (Teixeira da Mota 1963:60-62).
2. Peta ini akan disebut dalam artikel ini sebagai 'Jawa' tanpa alasan lain selain bahwa Albuquerque memperolehnya dari seorang pilot Jawa, bahwa labelnya menggunakan huruf Jawa, dan bahwa ia telah meminta penjelasan ini dari seorang (kedua?) Jawa.
3. Istilah '(Muslim) pribumi' di sini adalah terjemahan saya dari Port. 'mouro'. Teixeira da Mota (1963:89) menyiratkan bahwa Pires mengacu pada peta Arab.
4. Cortesäo (Cortesäo dan Teixeira da Mota 1960, I:61) mengusulkan penggantian nama ini dengan 'The Lopo Homem - Reinels Atlas of 1519'.
5. "Tidak ada konsensus tentang siapa Gore ini; Pires menyatakan bahwa nama Gores dan Lequíos (Ryukyuans) adalah sinonim, tetapi deskripsinya tentang negara orang-orang yang bersangkutan lebih menunjukkan Korea daripada sekelompok pulau kecil.
6. 'Salites' in the Descobrimentos; from Malay 'selatan', 'straits, south', denoting the Riouw and Lingga islands.
7. Cortesäo (Cortesäo dan Teixeira da Mota 1960, I:82) menolak pendapat sebaliknya dari Winter.
8. 'Tanjung Flores' adalah terjemahan dari bahasa Melayu Tanjung Bungah, yang dalam Livro de Marinharia disebut sebagai Tanjambäo; padanannya dalam bahasa Jawa adalah Ujung Kembang. Untuk memperumit masalah, kernbang tanjung dalam bahasa Jawa berarti bunga tanjung yang harum.
9. Kecuali dinyatakan sebaliknya, nama 'Maluku' dalam artikel ini digunakan dalam pengertian Portugis kuno yaitu 'Kepulauan Cengkeh', sehingga merujuk pada Ternate, Tidore, Motil, Makyan dan Bachan.
10. Komentar menyatakan tujuannya adalah Maluku dan 'semua pulau lain di kepulauan itu'.
11. Gilimäo mungkin merupakan singkatan dari Kili Mai. Kata 'kili' ('kuartal', terkadang 'pulau kecil') muncul dalam banyak toponim di Seram Timur. Mai adalah nama salah satu Kepulauan Penyu. Nama Indonesia untuk Kepulauan Lucipara adalah Maisel (tempat berlabuh Mai?).
12. Sebenarnya, Buru terletak di NNW Lucipara, bukan di NNE. Agar masuk akal, bagian ini harus dibaca sebagai: 'Tanjung Flores, Batutara, dan NE ke Lucipara; dari Lucipara baik NE langsung ke Banda atau NNW ke Buru dan dari sana ke SE ke Banda'.
13. Villiers mengacaukan gunung berapi Gunung Api di kelompok Banda dengan Sangeang dan Gunung Api di utara Solor, mungkin karena ia mengira bahwa Galväo adalah teman perjalanan Abreu (Villiers 198 1 :742-3).
14. Pada tahun 1536 ia berlayar ke Temate melalui Kalimantan Utara, tetapi tidak ada catatan mengenai rute yang ia lalui dalam perjalanan pulang.
15. Pernyataan oleh Diogo Brandäo dalam 'Proses Maluku' (Cortesao 1944:lxxxii).
16. Rumphius yang teliti menyatakan dalam Deskripsi Amboina bahwa Abreu berlayar dari Jawa ke Banda, tetapi tidak menyebutnya sebagai pengunjung Portugis pertama ke Ambon atau BUN (Rumphius 1983:206). Klaim bahwa Abreu mendirikan sebuah tiang di Amboina 60 (sic) mil dari Gresik didasarkan pada pernyataan yang membingungkan oleh Maffei pada tahun 1614, dikutip oleh Rumphius dalam History of Amboina-nya.
17. Nama Seram berasal dari Seran, yang menunjukkan sebuah wilayah di tenggara Seram.
18. Nama ini muncul sebagai Buoino pada peta yang dibuat oleh Lázaro Luis (1563), yang tidak menyebutkan nama Seram (PMC 11, est. 217), dan Bartolomeu Velho (c. 1560), yang menunjukkan 'ceiram' dan 'amboino' (PMC 11, est. 234).
19. Pada peta dalam naskah Prancis (Pigafetta 1969), Buru secara keliru diberi label 'Tenetum'. Peta dalam naskah Italia (Pigafetta 1906) memberi label Sanana modern sebagai 'Tenetum'.
20. Sebagai 'I. de Amboina' oleh Gaspar Viegas pada tahun 1537 (PMC I, 52); sebagai 'batachina de ambo' oleh Diego Homem pada tahun 1568 (PMC I, 139); dan sebagai 'Ambon' pada Mercator 1569, Ortelius 1570, dan Langren dan De Houtman 1600. Galväo menyatakan dalam catatannya mengenai rencana perjalanan Abreu bahwa yang terakhir 'melayari 'Muar Damboino' hingga Guliguli (Descobrimentos), tetapi dalam Trearise tentang Maluku, yang dikaitkan dengan Galväo, 'Muar' mengacu pada Hoamoal (Jacobs 1971:303); nama Ceram tidak muncul di keduanya. Velasco (1894578) menyebutkan sebuah 'Isla de Ambon', sepanjang 60 atau 70 legas, pada 3 30' S.
21. Menurut pernyataan Rui de Brito Patalim di Moluccas Process, 'dua kapal [yang tersisa] berangkat [dari Guliguli] ke Banda karena cuaca tidak mendukung untuk berangkat ke Maluku' (dikutip oleh Cortesäo 1944:lxxxii).
22. Mungkin yang dimaksud di sini adalah Alor, seperti yang dikemukakan oleh Cortesäo 1944:526.
23. Batutara tidak diragukan lagi adalah pulau kecil Komba yang tingginya 818 m, 40 km di sebelah utara Kepulauan Solor. Pires menggambarkannya sebagai 'pulau kafir dengan banyak bahan makanan', yang tampaknya sama sekali tidak cocok untuk Komba. Seperti yang ia katakan tentang Solor di paragraf sebelumnya, mungkin kita harus sekali lagi menyalahkan seorang penyalin yang kurang pengetahuan atas ketidakkonsistenan tersebut.
24. Hal ini sesuai dengan bacaan yang disarankan dalam catatan 12 sehubungan dengan kursus yang direkomendasikan dalam Livro de Marinharia.
25. Survei ini dibahas di bawah pada bagian 6
26. Cortesáo (1944522-3) menghitung skala perkiraan peta pada folio 33 pada 1:6.000.000, folio 34 pada 1:4.500.000, dan folio 35-37 pada 1:7.000.000.
27. Kepulauan Lingga terdapat pada peta gaya Portugis pada folio 30.
28. Bdk. Teixeira da Mota 1963:73.
29. Bdk. Tibbetts 1992:257, dan 262, paragraf terakhir.
30. Lih. Teixeira da Mota 1963:73, 80-1, 89.
31. Alih-alih Jawa, seperti yang diyakini Winter.
32. Pembalikan seperti itu tidak terkecuali dalam karya Reinels. Pada folio 3 Atlas Miller, Jawa dan Madura dengan pulau pude dibalik (lihat Wieder 1918:231), seperti juga pulau 'ambonyo' dan 'buyo'.
33. Hamy (1891:18) menganggap pulau ini mewakili Semenanjung Onin dan Kepulauan Papua, yang 'samar-samar terlihat' oleh Portugis (tampaknya Abreu).
34. Lihat i.a. Bartolomeu Lasso 1590, peta XII, dari Madura ke Bataimbar (Tanimbar). Nuño Garcia de Toreno 1522 hanya menunjukkan rute pulau, tetapi melakukannya pada skala yang berbeda dari Kepulauan Rempah (Skelton 1958: gbr. 87).
Catatan Tambahan
a. Itinerario de Ludouico de Varthema Bolognese, dipublikasi di Roma dalam tahun 1510.
§ Itinerary of Ludovico Di Varthema of Bologna from 1502 to 1508
b. Rhumb atau garis khayal di permukaan bumi yang memotong semua meridian pada sudut yang sama, digunakan sebagai metode standar untuk memetakan jalur kapal pada peta. 2 salah satu dari 32 titik kompas.
c. Kabotase adalah hak untuk mengoperasikan layanan transportasi laut, udara, atau layanan transportasi lainnya di wilayah tertentu.
Endonim adalah nama atau sebutan yang digunakan oleh orang-orang di dalam lingkungan tempat tersebut untuk menyebut tempat tersebut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar