Perang
dan Pemberontakan di Kepulauan Ambon, 1636-1637
(bag 1)
Oleh
Gerrit.
J. Knaap
Gerrit. J. Knaap |
- Pengantar :
Saat
pertama kali membaca artikel yang ditulis oleh Gerrit J. Knaap ini, kami
tertarik karena isinya tentang “situasi Ambon – Lease dan sekitarnya” pada
paruh pertama abad 17. Artikel yang ditulis dalam Bahasa Inggris dengan judul “
Crisis and Fairlure : War and Revolt in Ambon Islands, 1636 – 1637” ini dimuat
pada Jurnal Cakalele, volume 3 tahun 1992. Pergolakan dan peperangan ditahun 1636
– 1637 ini, disebut Ambonsche Oorlog (Perang Ambon) jilid 31.
Peristiwa
ini, juga bisa dianggap sebagai “pengantar” untuk kita memahami perang di tahun
1652-1656 (jilid 5), dimana Pulau Saparua hancur total, dan kerajaan Iha
(Amaihal Ulupahu) runtuh.
Berdasarkan
pada alasan itu, kami memberanikan menerjemahkan artikel ini, dan membaginya
menjadi beberapa bagian karena naskahnya lumayan panjang (28 halaman kertas
ukuran A4)
Artikel
itu kami terjemahkan secara “bebas” berdasarkan pemahaman dan pengetahuan kami
yang terbatas dalam bahasa Inggris dan terkhususnya pada “historiografi”
sejarah kawasan Ambon - Lease dimasa-masa awal.
Faktor
kedua adalah terbatasnya kajian-kajian sejarah berdimensi sosial, yang membahas
sejarah sosial Maluku Tengah pada periode ini, sangat terbatas khususnya dalam
Bahasa Indonesia. Lebih banyak ditulis dalam Bahasa Asing (Belanda dan
Inggris).
Pada
proses penerjemahan ini, kami juga memasukan catatan kaki, dimana pada naskah
aslinya, tidak terdapat catatan kaki. Hal ini dimaksudkan, agar pembaca bisa
mendapat gambaran yang lebih baik, lebih luas dan mendalam. Kami juga menambah
beberapa gambar, yang bertujuan agar lebih “berwarna” dan menjadi bahasa
tersendiri yang dapat membantu pembaca lebih bisa “mencerna” isi artikel yang
agak berat ini.
Kiranya
terjemahan artikel ini bisa dibaca dan dinikmati, jikapun tidak, tidak
apa-apa...anggap saja ini upaya minimal dalam penciptaan budaya literasi,
budaya baca berdasarkan pada sumber, referensi, tidak melulu hanya “setia” pada
budaya tradisi lisan......
Selamat membaca.........
14
Januari 1637, Kimelaha/Kimilaha Leliato1, Wakil Kesultanan Ternate
yang berkedudukan di Maluku Tengah, secara mendadak kembali pulang ke markas
besarnya di Lusiela, daratan Hoamoal dari ekspedisi ke Saparua dengan armada
hongi yang berkekuatan 30 kora-kora. Ia terburu-buru kembali pulang karena
mendapat pesan dari Buru,jika armada berkekuatan besar VOC telah “mendekat”.
Armada VOC itu di komandani oleh Gubernur Jenderal VOC, Antonio Diemen (1636 –
1645). Alasan kedatangan armada Van Diemen ke kawasan itu karena terjadinya
krisis yang melawan penguasa VOC di daerah itu. Saat VOC menguasai sepenuhnya
kawasan itu dari tangan Portugis tahun 1605, tercipta suasana damai dengan
wilayah-wilayah kekuasaan Ternate di lokasi yang sama. Beberapa tahun
sebelumnya, pihak VOC selalu terlibat konflik dengan penguasa-penguasa wilayah
yang berada di antara wilayah Ternate dan “wilayah” VOC. Akhirnya, ditahun 1636
pemberontakan pecah di antara penduduk yang berada di dalam “wilayah” VOC yang
uniknya lagi, sering mendukung VOC dalam pelayaran Hongi.
Bisa
dikatakan jika peristiwa 1636-1673 itu adalah konflik paling “krusial” yang
dialami VOC hingga saat itu. Itu terjadi 200 tahun sebelum terjadinya peristiwa
“mirip” yang memiliki “goncangan serupa” yaitu Pemberontakan Pattimura di tahun
1817. Pengiriman armada besar, serta yang dikomandai oleh penguasa tertinggi
VOC bisa mencerminkan betapa gentingnya situasi itu. Kita akan melihat
bagaimana krisis itu berkembang dan bagaimana Van Diemen berhasil menetramkan
para penduduk Kristen di wilayah itu dan pada saat yang bersamaan, dapat
“menyingkirkan” musuh mereka yaitu wakil penguasa kesultanan Ternate, Kimelaha
Leliato. Kita juga akan menganalisa
faktor-faktor yang membuat sikap anti VOC itu mengalami kegagalan. Rekonstruksi
tentang peristiwa dan perkembangannya pada artikel ini bersumber dari manuskrip
catatan harian selama ekspedisi Van Diemen itu.
A. VOC dalam perspektif politik Ambon di
tahun 1636
Saat VOC
(Belanda) tiba di Maluku dalam tahun 1600, mereka diterima dengan baik oleh
pihak kesultanan Ternate yang berpusat di “Maluku Utara”, begitu juga dengan
daerah2 lain seperti Hoamoal dan daerah-daerah lain yang terletak di bagian
barat. Alasan “sikap hangat” kesultanan Ternate karena Portugis yang merupakan
saingan Ternate terus berperang dengan mereka sejak tahun 1570. Belanda yang merupakan musuh utama Portugis
dan Spanyol di jazirah Iberia secara “otomatis” akan membantu Ternate. Ternate
ingin agar Belanda turut berperang melawan Portugis. Cara yang ditempuh adalah
pemberian hak eksklusif pembelian semua cengkih yang ada di kawasan itu. Di
tahun 1605, Belanda (VOC) mengalahkan Portugis di pulau Ambon dan menghancurkan
seluruh gudang-gudang mereka di “Maluku Utara”. Setahun kemudian, ditahun 1606,
Spanyol turut membantu Portugis “menduduki” beberapa tempat di pulau Ternate.
Hal ini menyebabkan Mudafar2, Sultan Ternate memperbaharui hubungan dengan
VOC di tahun 1607, dimana Sultan kembali menjanjikan hak eksklusif pembelian
cengkih kepada VOC. Atas “perintah” Sultan Mudafar di tahun 1609, perjanjian
antara Hoamoal dan VOC ditandatangani, dimana hak pembelian cengkih di kawasan
Hoamol dan sekitarnya diakui dan dilaksanakan.
Namun............suasana
“damai” itu tidak berlangsung lama. Sultan Ternate merasa terancam oleh Spanyol
yang tak “jauh dari depan hidungnya”, yang selama ini selalu setia pada
perjanjian seperti layaknya VOC. Pada
sisi yang lain, daerah “pinggiran” dari wilayah kekuasaan kesultanan Ternate,
terkhususnya Hoamoal, yang berkembang menjadi pusat produksi cengkih,
“bergerak” ke arah yang “berbeda”. Dari waktu ke waktu, muncul “jurang“
pemahaman yang kian melebar, VOC dengan kebutuhan akan permintaan cengkih di
satu sisi serta tuntutan dari para petani cengkih akan harga yang lebih tinggi.
Beberapa petani cengkih di Hoamoal, secara diam-diam menjual sebagian panennya
kepada para pedagang Jawa dan pedagang dari daerah lain, yang memberikan
penawaran harga lebih tinggi dibandingkan VOC. Akibat hal ini, VOC bereaksi, dengan
menghancurkan perahu-perahu dagang milik pedagang Jawa dan yang lain sebagai
upaya untuk mencegah “ penyelundupan” cengkih3.
Peristiwa itu
menciptakan ancaman terhadap keberlangsungan kedudukan dan “jabatan” Kimelaha,
yang notabene bukan orang asli Hoamoal, tapi berasal dari keluarga kesultanan
yaitu keluarga Tomagola. Kedudukan dan jabatan para Kimelaha di Hoamoal itu,
tergantung pada seberapa besar mereka setia pada kesultanan dan ada tidaknya
dukungan pihak kesultanan kepada mereka. Akibat faktor inilah, dimasa
pemerintahan Kimilaha Sabadin (1611-1619), muncul rasa antipati dari sebagian
penduduk Hoamoal dengan cara “mengurangi jatah” cengkih milik kesultanan yang
sering diangkut oleh kapal dagang milik Sultan. Pada sisi yang lain, Kimilaha
juga terancam oleh VOC, yang memaksakan untuk menerapkan hak yang diberikan
oleh pihak kesultanan kepada mereka, yaitu “mengontrol” sebagian besar pulau
Ambon dalam upaya “memutus” jejaring para pedagang pribumi dalam perdagangan
cengkih. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh VOC adalah menghalangi
usaha-usaha Kimilaha dalam kegiatan penyebaran agama Islam terkhususnya di
daratan pulau Seram.
Pada masa
kekuasaan Kimilaha Hidayat (1619-16234), ia lebih condong memihak
VOC, sehingga pasukan Kimilaha jarang terlibat “kontak fisik” dengan VOC.
Situasi segera berubah setelah Leliato menggantikan Hidayat sebagai Kimelaha
pada tahun 16235. Setahun setelah muncul insiden kecil, VOC mulai
berupaya “mengoyang” posisi Leliato di tahun 1625. Pasukan lokal VOC dan armada
hongi milik orang-orang Kristen Ambon mulai diperkuat dengan kapal “perang”
yang bernama Nassau. Pusat pertahanan terkuat Kimelaha, Gamasongi segera di
serang VOC, menghancurkan lebih kurang 10.000 pohon cengkih, banyak
perkampungan dan perahu-perahu dagang. Leliato dan pasukannya memilih mundur
dan menunggu waktu yang baik untuk membalas. Setahun kemudian, Leliato Kimelaha
dan VOC mengadakan genjatan senjata, di tahun yang sama Leliato mulai membangun
markas yang baru di Lusiela. Di tahun 1628, dengan bantuan Kaicili Ali dari
Ternate, untuk sementara waktu perdamaian tercipta, dimana VOC kembali
diberikan jaminan untuk membeli semua panen cengkih. Luhu6, salah
satu anggota keluarga Tomagola di calonkan menjadi pengganti Leliato, namun
Leliato menolak memberikan jabatan kepada Luhu, dan tetap tinggal di Hoamoal.
Tahun 1630, Kimelaha Luhu dan Leliato setuju, untuk memerintah Hoamoal dan
sekitarnya secara bersama-sama. Akibatnya hubungan perdagangan dengan para
pedagang “pribumi” yang dirusak VOC, kembali berlangsung karena mendapat
dukungan. Dua tahun kemudian, di akhir tahun 1632, VOC kembali menerapkan
kebijakan untuk menghancurkan hubungan perdagangan yang merugikan mereka,
perang kembali terjadi, kedua pihak saling menyerang dengan armada hongi
masing-masing. Terkecuali sebagian negeri Luhu, seluruh daerah Hoamoal berada
dalam “kontrol” Leliato. Tahun 1635, VOC menyerang Lusiela dengan kekuatan
penuh, tetapi serangan ini gagal. Pemimpin armada VOC beralasan, jika pemilihan
jalur penyerangan yang buruk, menyebabkan kegagalan ini, sehingga lebih kurang
400 orang Makasar dalam pasukan VOC, tewas dalam serangan ini. Dalam tahun yang
sama, Kimelaha Luhu, untuk sementara waktu kembali ke Ternate, meninggalkan
Leliato sendiri untuk mengatasi situasi rumit yang berkembang menuju “situasi
dramatis”.
Wilayah-wilayah
muslim diantara wilayah VOC dan wilayah kekuasaan Kimelaha yaitu Hitu, Hatuhaha dan Ihamahu/Ihamao7. – dimana Hitulah yang paling penting
karena merupakan negeri “bebas”. Menurut perjanjian sebelumnya antara Hitu dan
VOC, Hitu dianggap sebagai “vasal” atau wilayah “satelit”. Hitu juga memberikan
hak khusus kepada VOC dalam pembelian panen cengkih dan berkewajiban “melayani”
VOC. Hitu juga berjanji akan setia pada Pangeran Oranye, DPR Republik Belanda
dan Gubernur VOC Ambon. Dalam masalah-masalah administrasi, kekuasaan untuk
mengadili dan keagamaan, Hitu diberikan hak bebas untuk mengatur sendiri.
Seperti
Ternate, Hitu juga sangat “ramah” saat menerima VOC karena dilandasi oleh sikap
anti Portugis. Pada masa kekuasaan
Kapitan Hitu yang bernama Tepil (1602-1633), hubungan Hitu-VOC sangat
“harmonis” yang dilandasi oleh sikap “kagum” Kapitan Tepil pada “hebatnya”
kekuatan militer orang-orang Eropa yang bisa menghancurkan siapa saja yang
bermusuhan dengan mereka.
Kapitan Hitu,
Tepil, pernah mengalami hal itu sendiri di tahun 1602, saat Hitu terdesak
karena di serang oleh armada Portugis yang dipimpin oleh Andrea Furtado de
Mendonca (Mendoza). Bagi VOC, Kapitan Tepil, dianggap orang yang berwibawa,
yang bisa diajak bekerjasama dan dibutuhkan untuk menjaga stabilitas di
“kawasan” itu. Hubungan mereka umumnya harmonis, meskipun ada banyak hal yang
bisa menyebabkan terjadinya konflik terbuka diantara mereka, seperti soal harga
cengkih, bebasnya para pedagang “pribumi” dalam pembelian cengkih, serta
pengawasan atas beberapa negeri di wilayah barat pulau Ambon, seperti Larike,
Wakasihu, Tapi, Uring dan Asilulu.
Sepanjang
tahun 1630, kebijakan Kapitan Tepil, dipertanyakan orang-orang Hitu, khususnya
negeri-negeri yang berada di sebelah timur daerah itu, yang “berpusat” di
Kapahaha dan “dipimpin” oleh Samusamu, salah satu anggota keluarga berpengaruh
asal Hitu.
Karena
pertimbangan strategis dan kebutuhan ekonomi, VOC tetap “mengawasi’ Hitu,
menggunakan setiap kesempatan untuk mendapatkan pengaruh, khususnya
masalah-masalah “dalam negeri” Hitu. Kesempatan itu dalam hal “suksesi” jabatan
Kapitan Hitu, saat Kapitan Hitu meninggal dan pencalonan penggantinya.
Kesempatan itu akhirnya tiba, saat Kapitan Tepil meninggal pada April 1633.
Menurut Rumphius, Kapitan Tepil, lebih “menyukai” adik bungsunya, Latu Lisalaik
sebagai penggantinya.
Untuk
“mencegah penyelewengan” kekuasaan yang hanya dipegang satu orang, VOC berusaha
memecah belah, dengan cara membagi tugas-tugas Kapitan Hitu kepada 3 nominator
terkuat pengganti Kapitan Tepil. Latu Lisalaik, ditunjuk sebagai “raja” Hila,
sedangkan Barus, adik Kapitan Tepil yang lain, diangkat sebagai pemimpin klan
Nusatapi, yang secara otomatis, membuat Barus menjadi salah satu dari keempat “perdana
menteri”, yang secara tradisi/adat istiadat pula, memerintah seluruh Hitu.
Calon tersisa, Kakiali8, yang merupakan anak tertua Kapitan Tepil,
akhirnya menjadi Kapitan Hitu. Posisi Kapitan Hitu adalah salah satu posisi
bergengsi dan berpengaruh di Hitu.
Kakiali yang
tidak suka pada VOC, mulai menunjukan sikap anti VOC, bekerjasama dengan
Kimelaha Leliato, dan berharap banyak pada “koalisi” itu, agar bekerjasama dengan kesultanan
Makasar yang sedang “naik daun”.
Untuk
menghentikan perkembangan yang tidak baik ini, Gubernur VOC Ambon, Antonij van de Heuvel (Mei 1634-Apr 1635), pada Mei
1634, menangkap 12 pemimpin “elit” Hitu termasuk Kakiali. Kakiali dituduh
terlibat dalam konspirasi anti VOC. Beberapa hari kemudian, semua pemimpin elit
Hitu itu di bebaskan, terkecuali Kakiali dan “raja” Wakal, Tamalesi. Kakiali
dan Tamalesi tetap ditahan. Dalam tahun 1636 (menurut Rumphius, ini terjadi
mendekati akhir tahun 1635, hal ini menurut Knaap, Rumphius agak “keliru”),
mereka “dibuang” ke Batavia. Akibat peristiwa ini, seluruh Hitu mulai antipati
pada VOC.
Hatuhaha, yang
berada di pulau Haruku, adalah wilayah terkecil diantara ke-3 wilayah itu –
wilayah muslim diantara wilayah kekuasaan Kimelaha dan VOC (Hitu, Hatuhaha dan Iha /Ihamao) - .
Seperti Hitu,
Hatuhaha pada awal abad itu (abad 17) juga terikat perjanjian dengan VOC untuk
menjual semua panen cengkih pada VOC. Pada umumnya, hubungan Hatuhaha dan VOC
baik, terkecuali tahun 1619-1621, dimana Hatuhaha memihak pada Kimelaha. Tahun
1630, hubungan itu “memanas” kembali.
Tahun 1632, Hatuhaha memutuskan untuk tidak membantu VOC dalam pembangunan
kembali benteng di pulau Haruku, tidak mengirim panen cengkih seperti biasanya,
serta tidak menyediakan orang-orang dalam kegiatan pelayaran hongi.
Wilayah
ketiga, Iha (Ihamahu – menurut Knaap) pada awal abad itu, bukanlah wilayah
penghasil cengkih. Iha (Ihamahu) adalah negeri yang penduduknya lebih banyak
bergerak di bidang “kerajinan” dan nelayan yang umumnya menghuni daerah
pegunungan yang sulit “ditembus”.
Konflik serius
antara VOC dan Iha pertama kali terjadi pada tahun 1610, saat Iha “menyerang”
Rutong, negeri di jazirah Leitimor yang berada dalam juridiksi VOC. Seperti
Hatuhaha, Iha kembali berdamai dengan VOC di tahun 1621, saat Gubernur Jendral
VOC, Jan Pieterszoon Coen (1619-1623) berkunjung ke Ambon. beberapa tahun
kemudian, Iha menolak ikut terlibat dalam pelayaran hongi yang dilakukan oleh
VOC, dan puncaknya di tahun 1630, hubungan itu tegang lagi.
Iha, menjadi
tempat pelarian bagi orang-orang dari negeri -negeri lain di pulau Saparua,
yang berkonflik dengan “raja-raja” mereka. Tahun 1631, Iha bersikap agresif
dengan menyerang dan menghancurkan
Itawaka. Setahun kemudian, tahun 1632, kegiatan pelayaran hongi milik orang-orang
Ambon dibawah komando VOC, memblokade Iha dan menghancurkan wilayah-wilayah
sekitarnya. Akibat peristiwa ini, Iha memutuskan mengadakan gencatan senjata
dengan VOC untuk sementara waktu..........................
Saat Portugis
merebut benteng Nossa Senhora de Anunciada (nama benteng Victoria dimasa
Portugis) di kota Ambon pada 23 Feb 1605, seluruh negeri di Pulau Ambon dan
Lease yang beragama Katholik bersumpah akan setia pada Pangeran Belanda
(Oranye), Staten Genaraal (DPR Belanda) dan VOC. Dalam tahun-tahun awal itu,
hubungan negeri-negeri itu dengan “Penguasa Baru” berjalan “normal” dimana :
orang-orang Katholik “bersalin rupa” menjadi Protestan sebagaimana agama
orang-orang Belanda (VOC), dan di tahun 1607, pelayaran hongi untuk pertama
kalinya di lakukan dibawah komando VOC. Pada dekade pertama di abad 17 itu,
cengkih tidak di produksi dalam skala besar. Di negeri-negeri Kristen pada
kawasan Lease, cengkih tidak diproduksi hingga tahun 1630, ini menyebabkan
muncul sedikit kesulitan antara VOC dan orang-orang Kristen Ambon soal harga
cengkih, hingga timbul konflik baru. Pertama, muncul konflik dengan negeri
Hutumuri di jazirah Leitimor, dimana VOC menuduh orang Hutumuri terlibat dalam
kegiatan “perompakan/bajak laut”. Pada tahun 1618, akhirnya VOC menyerang dan
menaklukan Hutumuri ke dalam juridiksi VOC. Kedua, pada tahun 1617 – 1618,
terjadi konflik antara VOC dengan negeri Soya, Kilang, Ema dan negeri-negeri
disekitarnya. Alasan dari munculnya konflik ini adalah permintaan kebutuhan VOC
akan para pekerja dari negeri-negeri itu yang dianggap terlalu “menuntut”,
serta fakta dimana Soya, Kilang dan Ema tidak diberikan “jatah kursi” pada
dewan Laandrad yang baru.
Laandrad
adalah dewan yang berisikan para raja-raja pulau Ambon yang berfungsi sebagai
lembaga pengadilan dalam masalah-masalah hukum orang pribumi, sekaligus dewan
pertimbangan bagi para pengambil kebijakan VOC terhadap masalah-masalah
“politik orang lokal”.
Konflik itu
dipulihkan pada tahun 1617, saat permintaan para pekerja untuk VOC dikurangi
serta pemberian “kursi” pada dewan Landraad untuk semua raja-raja di Jazirah
Leitimor dan negeri-negeri kristen di bagian selatan, orang-orang Kristen serta
negeri Hitu.
Dari kawasan
Lease, tuntutan yang sama juga dilakukan oleh negeri-negeri pulau Nusalaut,
yang pada periode 1619-1621, sangat anti VOC dan lebih condong “merapat” ke
kubu Iha, Hatuhaha dan Kimelaha. Pada 1620an, hubungan VOC dengan orang-orang
Kristen Ambon kembali harmonis.
Sepanjang
tahun 1630, kegiatan pelayaran hongi sedikit “macet”, ini yang menyebabkan
datangnya sejumlah besar kapal-kapal dagang orang Makasar untuk mencari dan
membeli cengkih. VOC benar-benar butuh “project pelayaran hongi” di giatkan
lagi dalam upaya untuk memutus kegiatan perdagangan itu, sementara permusuhan
VOC dengan Kimelaha dan Iha masih “membara”. Ini menyebabkan sepanjang tahun
1630-1635, pelayaran hongi hanya
dilakukan oleh orang-orang Kristen Ambon dan mengadakan pelayaran 2-3 kali
setahun, bahkan hanya 1 kali dalam “skop” yang lebih kecil. Dari hari ke hari,
sikap para penduduk makin “menjengkelkan” dalam pandangan VOC terhadap situasi
yang merugikan VOC ini.
Akhirnya, pada
Feb 1636, VOC terlibat konflik terbuka dengan para penduduk pulau Ambon dan
Lease. Rumphius menyebut konflik ini adalah awal dari “perang ambon jilid
3” dimana VOC berperang melawan seluruh
negeri di Pulau Ambon – Lease.
B. VOC “dibawah” tekanan
Pada Juli
1636, Secunde Gubernemen VOC Ambon, Arend/Arent Stevenz Gardenijs (Feb-Agus
1636)9 membuat “analisis” sebab musabab pecahnya pemberontakan
terhadap VOC.
Alasan-alasan
yang menyebabkan pecahnya pemberontakan, menurut “analisis” dari Gardenijs
adalah sebagian besar raja-raja menyatakan jika masalah utamanya adalah masalah
pelayaran hongi, yang “macet” beberapa tahun sebelumnya. Masyarakat yang selama
ini diikutsertakan dalam pelayaran hongi, tidak memiliki waktu lagi untuk
mengurus pertanian yang merupakan sumber utama penghidupan mereka. Bahkan waktu
yang tersita itu pun diperburuk lagi dengan tindakan salah urus dari serdadu
dan pegawai VOC diatas kapal dalam pelayaran hongi itu yang menimpa para
penduduk dan beberapa raja. Para penduduk sering dipaksa berbaris hanya untuk
mendapat cacian, dengan kata-kata kasar seperti babi, anjing, setan dan sering
kali mengalami kekerasan fisik. Diatas kapal, para penduduk sering dicambuk
dengan rotan, dilempari dengan sepatu, jika jatah makanan buat serdadu /pegawai
VOC itu kedapatan basi.
Raja Waai10
dan Baguala11 terkadang dirantai, hanya gara-gara kora-kora asal
kedua negeri ini “tertinggal” dalam barisan pelayaran hongi. Pada pelayaran
hongi terakhir di akhir tahun 1635 itu, beberapa pemimpin orang-orang Ambon
bergabung dalam konspirasi dan membunuh serdadu/pegawai VOC yang sering
menyiksa mereka. Tapi pembunuhan ini, tidak menimbulkan efek apa-apa bagi VOC.
Menjelang akhir tahun, para raja-raja negeri Kristen Ambon-Lease, bersepakat
dengan raja-raja negeri Muslim dari Larike, Tapi, Wakasihu dan beberapa
pemimpin asal Hitu. Pihak Kimelaha juga turut “bermain” dalam situasi yang kian
memanas. Kimelaha mengirim utusan untuk terus memprovakasi “bara” yang mulai
terbakar, sementara Gub VOC Ambon, Jochum Roelofs van Deutocom yang berwatak
“lemah” tidak terlalu peduli dengan keadaan yang smakin genting.
Akhirnya,
banyak penduduk yang semula “dekat” dengan VOC memutuskan untuk melakukan
“matakau” sumpah adat untuk melawan VOC.
Menurut
Gardenijs, bahkan setelah para penduduk melakukan “MATAKAU”, orang-orang Ambon
masih juga mencari “motivasi tambahan” agar semakin membenci Belanda (VOC).
Pada pertengahan Januari 1636, Pendeta Jacob Vertrecht12 yang
“murni” karena tugas pelayanan, mulai melakukan sensus pada penduduk Kristen di
negeri-negeri Jazirah Leitimor. Gubernur VOC Ambon, Jochum Roelofs van Deutocom yang mendapat keberatan dari raja
Kilang dan Ema atas kegiatan itu, segera memerintahkan Vertrecht agar kegiatan
itu dihentikan. Akhir Januari tahun itu, tiba kapal VOC yang bernama “Buyren”
di Ambon. Segera saja, gosip menyebar bahwa kapal yang baru tiba itu datang
membawa banyak rantai, tali dan borgol yang akan dipergunakan untuk membawa dan
“mendeportasi” orang-orang Ambon ke Batavia. Para penduduk sangat ketakutan dan
membayangkan nasib mereka akan sama seperti yang pernah menimpa para penduduk
Pulau Lontor di Banda 15 tahun sebelumnya13.
Bahkan sensus
yang dilakukan oleh Pendeta Vertrecht dicurigai sebagai “persiapan awal” dari
deportasi itu. Para penduduk menganggap sensus yang dilakukan itu sebagai cara
untuk mencatat dan membuat daftar yang akan digunakan oleh VOC untuk
membawa/mendeportasi para penduduk
Ambon. Gosip yang terdengar “kencang” adalah gosip tentang penguasa Kesultanan
Mataram14 dan Buton akan menyerang Belanda (VOC) dibantu oleh
orang-orang Buton, orang-orang Iberia (Portugis + Spanyol), Inggris dan
Denmark. Mereka merencanakan akan menyerang dan menghancurkan “Maluku Tengah”
dimana jika diserang dengan kekuatan “besar” ini, VOC akan takluk.
Pada 23
Februari tahun itu, Gubernur VOC Ambon mengundang raja-raja untuk hadir dalam
perayaan peringatan penaklukan Belanda dilaksanakan di Gereja15.
penduduk yang
berdiam disekitar benteng Victoria memutuskan untuk mengungsi ke wilayah
pegunungan. Awal April tahun itu, para penduduk secara terbuka menolak untuk
dilibatkan dalam kegiatan pelayaran hongi. Seluruh jalan dan lorong di banyak
negeri ditutup dan dijaga. Hanya negeri
Nusaniwe, Latuhalat, Hatiwe, Tawiri dan Mardika, serta beberapa negeri lainnya
yang masih setia pada VOC, sedangkan negeri Kilang, Ema, Urimesing (awalnya
sedkit ragu), Soya, dan Halong mulai memberontak. Di tempat lain di pulau Ambon, situasinya
tidak berbeda jauh, penduduk Baguala (Passo) masih masih tetap berdiam di
negerinya, sedangkan Hutumuri, Waai dan Suli, penduduknya telah mengungsi ke
gunung (hutan), meski raja-raja mereka (Hutumuri, Waai dan Suli) masih tetap
berhubungan dengan pihak VOC. Hal yang sama juga akhirnya dilakukan oleh Raja
Halong. Awal Mei, negeri Alang dan Lilibooi menolak mengakui kekuasaan VOC atas
negeri mereka, dan bergabung dengan negeri-negeri Muslim seperti Wakasihu,
Tapi, Uring dan Asilulu yang anti pada VOC. Akibatnya, pada bagian barat pulau
Ambon, hanya negeri Larike yang masih setia pada VOC. Pada awal Juli,
negeri-negeri yang anti VOC menyerang Larike dan benteng kecil milik VOC di
situ. Dalam penyerangan ini, mereka dibantu oleh armada dari daerah Hoamoal dan
sekitarnya yang dipimpin oleh Latukoli dari Lesidi (Lasidi). Gardenijs menyebut
Latukoli ini dari Kambelo (yang menurut Knaap, Gardenijs sedikit keliru).
Setelah beberapa minggu, akhirnya penyerangan ini bisa ditumpas. Pada bulan
Agustus, negeri Alang dan Lilibooi mulai “mendekati” VOC untuk berdamai, pada
bulan yang sama, negeri Waai, Suli dan Baguala melakukan upacara adat untuk
“membatalkan” sumpah adat mereka yaitu sumpah “MATAKAU”.
Di Pulau
Haruku, sejak akhir Februari tahun itu, negeri-negeri Kristen “menarik diri”
dan tidak mau berhubungan lagi dengan VOC. Beberapa bulan selanjutnya, mereka
menyerang benteng VOC di negeri Oma yang dibantu oleh pihak Kimelaha, dan
semakin membuat situasi semakin “kacau”, meskipun benteng VOC tidak jatuh ke
tangan para “pemberontak”.
Di Pulau
Saparua, banyak negeri-negeri Kristen masih berhubungan dengan VOC hingga
kira-kira pertengahan tahun itu, hingga akhirnya hanya tinggal negeri Ullath,
Tuhaha, Haria dan Porto yang masih setia pada VOC.
“undangan”
untuk bergabung dengan pihak Kimelaha, paling banyak datang dari negeri-negeri
Kristen Pulau Nusalaut, terkhususnya negeri Ameth dan negeri-negeri yang
“dipimpinnya16”.
Negeri Ameth
dan negeri2 yang dipimpinnya, membantu pihak Kimelaha, menjadi “mata-mata”
dalam penyerangan terhadap pasukan berkekuatan “mini” yang bertugas di
Hatumeten, Seram Selatan. Selanjutnya orang-orang Kristen Nusalaut bergabung
dengan orang-orang Muslim. orang-orang Kristen Nusalaut menghancurkan seluruh
gereja dan segala hal yang “berbau” Belanda yang membuat mereka sangat anti
pada VOC. Bahkan pada bulan Agustus, mereka menangkap pendeta Jan Pricerius17
yang perahunya tanpa “sengaja” berlabuh di pantai Nusalaut. Pendeta itu baru
dibebaskan 1 bulan kemudian dan “diantar” ke pantai negeri Saparua, setelah
semua barang-barang miliknya dirampas.
Lantas, apa
yang terjadi di Hitu pada saat bersamaan??? Di saat masa-masa gawat ini ????
---- bersambung ---
Catatan
Kaki
- Rumphuis menyebut Perang pada tahun 1636 ini, sebagai 3de Ambonschen Oorlog (Perang Ambon) ketiga. Kami menerjemahkannya sebagai Perang Ambon jilid 3
§ Rumphuijs, G.E. De
Ambonsche Historie, Eerste deel ............hal 126
- Kimilaha Leilato adalah putra dari Basaib, yang merupakan putra ke-5 Rubohongi yang berasal dari clan Tomagola. Clan Tomagola adalah salah satu dari 4 clan asal Ternate yang disebut Fala Raha selain Clan Tomaitu, Marsaoli dan Limatahu. Keempat clan ini adalah “eksekutor” project ekspansi kerajaan Ternate ke luar. Clan Tomagola melakukan ekspansi ke wilayah Buru, Ambon dan akhirnya Seram. Clan Tomagola ini menurut sejarahnya pertama kali dipimpin oleh Kibuba. Kibuba memiliki 3 anak yaitu Dudu, Samarau dan Molicanga. Setelah Kibuba meninggal, clan ini dipimpin oleh Dudu. Setelah Dudu meninggal, clan ini terbagi menjadi 2 sub clan yang dipimpin oleh Samarau dan Molicanga. Sub clan Tomagola pimpinan Samarau adalah yang paling menonjol sehingga dipilih oleh Sultan Ternate, Hairun (1535 – 1570) sebagai perwakilan kesultanan di wilayah Buru, Ambon dan Seram. Samarau memiliki 2 orang putra yaitu Rubohongi dan Saptiron. Rubohongilah yang paling menonjol, sehingga dipilih oleh Sultan Baabulan (1570 – 1583) pada tahun 1570 untuk menggantikan ayah mereka Samarau. Rubohongi memiliki 5 anak, yaitu Jumali, Angsara, Kasigu, Dayan dan Basaib. Jumali memiliki seorang putra, bernama Sabadin yang menjadi Kimilaha (1609 – 1619). Sabadin kemudian digantikan oleh Kimilaha Hidayat (1619 – 1623) dan digantikan oleh Kimilaha Leliato (1623 – 1636), yang merupakan putra dari Basaib. Kimilaha Luhu adalah putra dari Dayan, sedangkan Kimilaha Madjira adalah putra dari Kimilaha Sabadin.
§ Amal, M. Adnan.
Kepulauan Rempah-rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara, 1250 – 1950,
Universitas kairun, Ternate, 2002, Hal 33 - 34
- Sultan Mudaffar menjadi Sultan Ternate sejak 1610 – 1627
§ Valentyn, Francois,
Oud en Nieuw Oost Indie, eerste deel, tweede boek, Joannes van Braam en Gerard
onder deLinden, Dordrecht en Amsterdam,1724 .... Hal 369
§ de Clerk, F.S.A.
Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate, B.J. Brill, Leiden, 1890.
(edisi terjemahan Inggris, oleh Paul Michael Taylor : Ternate, The Residency
and It,s Sultanate, Smithsonian Institution Libraries Digital Edition,
Washington DC, 1999, Halaman 112
§ Amal, M. Adnan.
Kepulauan Rempah-rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara, 1250 – 1950,
Universitas kairun, Ternate, 2002, Lampiran I, Hal 325
§ Widjojo, Muridan
Satrio. Cross-cultural Alliance-making and local resistance in Maluku during
the revolt of Prince Nuku, c.1780-1810, 2007 apendiks 2, halaman 262,(disertasi
doktor di universitas Leiden)
4. Knaap menggunakan kata smuggling dalam tanda kutip untuk
menggambarkan penjualan dan pembelian cengkih yang dilakukan oleh para pedagang
Jawa itu, sebagai kegiatan penyelundupan. Perspektif itu berasal dari sudut
pandang VOC karena melanggar perjanjian tahun 1609 itu, tentang hak eksklusif
pembelian yang hanya bisa dilakukan oleh VOC – catatan tambahan dari penerjemah.
- Menurut Knaap, Kimilaha Hidayat berkuasa pada 1619 – 1623, namun menurut de Clerk, Hidayat ditunjuk sebagai Kimilaha pada tahun 1620, sehingga Hidayat berkuasa pada 1620 - 1624
§ de Clerk, F.S.A.
Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate, B.J. Brill, Leiden, 1890.
(edisi terjemahan Inggris, oleh Paul Michael Taylor : Ternate, The Residency
and It,s Sultanate, Smithsonian Institution Libraries Digital Edition,
Washington DC, 1999, Halaman 112
- Menurut Knaap, Kimilaha Leliato menggantikan Kimilaha Hidayat pada tahun 1623, namun menurut de Clerk, Leliato menggantikan Hidayat pada tahun 1624.
§ de Clerk, F.S.A.
Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate, B.J. Brill, Leiden, 1890.
(edisi terjemahan Inggris, oleh Paul Michael Taylor : Ternate, The Residency
and It,s Sultanate, Smithsonian Institution Libraries Digital Edition,
Washington DC, 1999, Halaman 112
- Luhu adalah putra dari Dayan, yang berarti sepupu dari Leliato. Lihat catatan kaki no 1 untuk memahami hubungan keluarga mereka. Kimilaha Luhu ditunjuk oleh Sultan Hamzah (1627 – 1648) sebagai pengganti Kimilaha Leliato pada tahun 1629, namun Leliato menolak memberikan jabatan itu kepada Luhu.
- Knaap “keliru” saat secara eksplisit dalam artikel itu menulis kata Ihamahu, bukan Iha, padahal tahun itu, Ihamahu belum “ada” meski faktanya, didalam Iha terdapat “ihamahu” karena terdapat komunitas Kristen, akibat misi Katholik dan Protestan. Knaap membuat kesimpulan itu, karena pembacaannya terhadap arsip VOC yang selalu menyebut “ihamao” saat VOC merujuk pada negeri atau kerajaan Iha. Penyebutan kata “ihamao” dalam arsip VOC harus dimengerti dengan menarik jauh kebelakang 1 abad sebelumnya, dalam tahun 1538, saat Portugis melakukan misi Katholik di Saparua, akibat misi penyebaran ini, didalam kerajaan Iha, sebagian kecil masyarakat mulai memeluk Katholik dan memiliki pemimpin “informal” pada komunitas itu. VOC lebih banyak “berhubungan” dengan pemimpin informal ini, dibandingkan pemimpin sah kerajaan “induk”, sehingga masuk akal jika arsip VOC lebih banyak menyebut “ihamao” meski ada juga yang menyebut Iha secara eksplisit
- Kapitan Hitu, Kakiali adalah ipar dari Kimilaha Luhu, karena adik perempuannya menikah dengan Kimilaha Luhu.
10.
Knaap secara
eksplisit menulis Gardenijs sebagai a high ranking official of the VOC, yang jika diterjemahkan secara literal
berarti pemimpin tertinggi VOC (dalam konteks di wilayah itu yaitu Gubernur VOC
Ambon), namun kami lebih “memilih”
menerjemahkannya sebagai Secunde atau “Amboina 2” . pertimbangannya bisa
dijelaskan begini, dari beberapa sumber yang kami baca, pada umumnya, kata
Gouverneur dalam bahasa Belanda saat diterjemahkan atau diberi penjelasan ke
dalam bahasa Inggris menjadi a high ranking official, sedangkan Secunde di
terjemahkan menjadi second person high ranking official. Hal ini dilakukan
untuk “membedakan” 2 jabatan ini yang juga dianggap sebagai “pejabat tinggi”.
Jadi kata a high ranking official secara “khusus” di tujukan pada jabatan
Gubernur, bukan pejabat lain. Permasalahannya jika kata itu diterjemahkan
menjadi Gubernur, maka kontradiktif dengan Knaap sendiri. Pada bukunya Memorie
Overgave Gouverneur Ambon (terbit 1987), dalam salah satu lampirannya, terdapat
Daftar Gubernur Ambon. pada daftar itu,
tidak ada nama Arend Gardenijs sebagai Gub pada periode itu, yang menjadi Gub
VOC Ambon adalah Jochum Roelofs van Deutocom yang berkuasa tahun 1635-1637.
Knaap menyusun daftar ini berdasarkan sumber dari E.A.W Ludeking : Lijst de
Gouverneurs van Ambon......... (terbit tahun 1864) dan Francois Valentyn : Oud
en Nieuw Oost Indien (vol 2) yang terbit tahun 1724. Sumber yang sama juga
digunakan oleh Hendrik E Niemeijer dan Th. Van den End dalam : Bronnen
Betreffende Kerk, en School in de gouvernementen Ambon, Ternate en Banda......
pada lampiran daftar Gubernur VOC Ambon...... (terbit tahun 2015).
Jadi siapa sebenarnya Gardenijs ini yang disebut oleh
Knaap sebagai a high ranking official?
Ludeking dalam bukunya, tidak menyinggung sama sekali
tentang orang ini, begitu juga dengan Valentyn. Valentyn yang sedikit
“terperinci” saat menyusun para official VOC dari tahun 1605 – 1725 juga
meninggalkan “misteri” tentang orang ini. Pada daftar itu, Valentyn menulis
tahun 1635 Gubernur VOC Ambon adalah Anthoni van de Heuvel dan Secundenya Evert
Hulst, pada bulan Mei 1635, Anthoni van de Heuvel ditarik kembali ke Batavia,
dan sementara waktu digantikan oleh Aert/Artus Gijsels yang saat itu menjadi
Komisaris urusan “Maluku”, yang datang bersama gubernur definitif Jochum
Roelofs van Deutocom pada bulan Februari tahun itu. Akhirnya van Deutocom
secara resmi menjadi Gub dan Evert Hulst tetap sebagai Secunde dalam tahun itu
hingga 1636. Dalam tahun 1636 (entah bulan apa), Evert Hulst kembali ke
Batavia, namun meninggal dalam perjalanan di selat Buton. Valentyn kemudian
“meloncat” ke tahun 1637, dimana Gubernurnya tetap dan Secundenya adalah Johan
Ottens. Pada bulan juni 1637, Johan Ottens kemudian menjadi Gub menggantikan
van Deutecom yang kembali bersama Antonio van Diemen yang telah berhasil
memadamkan pemberontakan (nanti dibaca pada akhir artikel Knaap ini).
Posisi Johan Ottens sebagai Secunde digantikan oleh Simon
Jacobszoon Dompkens (Ludeking menulis namanya Simon Jacobsz Dowkeus).
Jika melihat kronologis yang disusun Valentyn ini, maka
dengan mudah kita bisa bilang Johan Ottens lah yang menggantikan Evert Hulst
sebagai Secunde saat Evert Hulst meninggal dalam tahun 1636. Jika begitu, lalu
bagaimana dengan Gardenijs??? Pada rentang mana, ia harus “disisipkan” agar
semua referensi ini tidak “bertabrakan” sehingga Gardenijs yang disebut Knaap
sbagai a high ranking official bisa diterima???
Satu-satunya sumber (yang kami punyai sampai saat ini),
yang menyebut tentang Arent Stevensz Gardenijs adalah W.Ph Coolhas dalam
bukunya : Generale Missiven van Geuverneurs Generaal en Raden aan Heeren XVII
VOC, volume 1 yang mencakup rentang antara tahun 1610 – 1638, dan terbit tahun
1960. Pada hal 307 pada buku ini, Coolhas memberikan catatan kaki tentang
Gardenijs, sedangkan Ottens pada hal 308. Berdasarkan “biografi singkat” yang
diberikan oleh Coolhas, kami mencoba menyusun “jalan ceritanya” agar semua
kepingan-kepingan informasi ini “menyatu”.
Kronologisnya bisa diikuti seperti ini : pada Desmber
1635, Gardenijs diangkat sebagai Direktur dan Secunde Gubernemen Ambon yang
akan menggantikan Evert Hulst, Februari 1636, Gardenijs tiba di Ambon, Evert
Hulst kembali ke Batavia dan meninggal dalm perjalanan. Gardenijs menjadi
Secunde hingga Agustus 1636, dan pada Juli 1636 itulah, Gardenijs membuat
“analisa/kajian” seperti yang ditulis oleh Knaap dan menyebutnya sebagai a high
ranking official VOC. Agustus 1636, Gardenijs ditugaskan sebagai Visitatur yang
mengunjungi Persia,Surate dan Coromandel.
Jadi, sejak Sept-Des 1636 itu, posisi Secunde “kosong”,
pada Des 1636 armada Van Diemen mulai meluncur dari Batavia menuju Ambon dan
tiba pada Januari 1637 (lihat awal artikel ini, saat Kimelaha terburu-buru
kembali ke Lusiela, saat menerima informasi tentang kedatangan Van Diemen).
Bersama armada Van Diemen itu, turut serta Jan Ottens, yang kemudian menjadi
Secunde menggantikan Gardenijs. Jan Ottens pada Mei – Des 1632, pernah menjadi
Opperhoofd Hitu, Januari 1633- Mar 1635 menjadi Gubernur Maluku (Ternate), dan
ditarik kembali ke Batavia, pada Mar 1636 bertugas sebagai Komandan armada di
Surate. Juni 1636 menjadi Wakil Presiden Dewan Pengadilan Batavia, dan Oktober
menjadi anggota Luar Biasa Raad van Indie.
Saat van Diemen kembali
ke Batavia pada Juni 1637 itu, Jan Ottens ditunjuk menjadi Gub VOC Ambon
menggantikan Jochum Roelofs van Deutocom yang kembali ke Batavia bersama Van
Diemen.)
- Johan Bakarbesij
§ Valentyn, Francois.
Oud en Nieuw Oost Indie (twede deel) Beschyving van Amboina Vervattende.......,
Joannes van Braam, Dordrecht, 1724 bag 2, tweede boek, tweede hoofdstuk (hal
107)
- Simao/Simau Baguala
§ Valentyn, Francois.
Oud en Nieuw Oost Indie (twede deel) Beschyving van Amboina Vervattende.......,
Joannes van Braam, Dordrecht, 1724 bag 2, tweede boek, tweede hoofdstuk (hal
107)
- Predikant Jacobus Vertrecht mulai bertugas di Gubernemen Ambon sejak 3 Mei 1634 – medio 1636
§ Niemeijer, Hendrik.E,
End, Th van den, Schutte, G.J. Bronnen Betreffende Kerk en School in de
gouvernementen Ambon, Ternate en Banda ten tijde van de VOC (1605-1791), vierde
deel HUYGENS ING (KNAW), Den Haag, 2015, Alfabetische lijst van Predikanten in
Ambon, Ternare, Banda, hal 58)
§ Valentyn, Francois
Oud en Nieuw Oost Indie (deerde deel), bag 1 ..Omstandig verhaal van de
Geschiedenissen en zaaken tot het Kerkelyke of tot den Godsdienst behoorende zo
in Amboina, tweede boek, vyfde
hoofdstuk, Joannes van Braam en Gerard onder de Linden, Dordrecht en Amsterdam,
1724, Halaman 140
14. Kejadian 15 tahun yang lalu itu, terjadi pada tahun 1621,
saat Gub Jend VOC Jan Pieterszoon Coen membantai habis penduduk Pulau Banda.
Peristiwa ini kemudian “merembet” ke Ambon, di tahun 1623, saat para official
Inggris di hukum dengan sadis di benteng Victoria. Peristiwa ini yang kemudian
dikenal sebagai Ambonsche Moord atau Pembantaian Ambon di masa Gub VOC Ambon,
Herman de Speult (1618-1625) - catatan
tambahan dari kami).
15.
Uniknya lagi, “gosip”
ini berulang kembali hampir 200 tahun kemudian ditahun 1817, Belanda mencurigai
para penguasa Mataram terlibat bahkan sebagai “otak” dari Perang Pattimura.
Orang yang dituduh Belanda adalah Pangeran Mangkudiningrat, putra dari Sultan
Hamengku Buwono II, yang turut dibuang bersama ayahnya ke Ambon pada Fbruari
1817. Mereka tiba di Ambon pada akhir Maret, dan ditempatkan di Batu Merah.
Menurut sejarahwan, Djoko Marihandono, Belanda mencurigai Pangeran
Mangkudiningrat terlibat dalam Perang Pattimura, pada akhir Mei 1817, ia
diperiksa dan kemudian dibebaskan karena tidak cukup bukti. Informasi ini bisa
dibaca pada artikel Djoko Marihandono yang berjudul : Sultan Hamengku Buwono II
: Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa, yang dimuat pada majalah digital
Humaniora Vol 12 No 1 terbitan Juli 2008, halaman 27-38)
- Maksud Knaap tentang perayaan ini, adalah perayaan penaklukan benteng Victoria yang dilakukan oleh Steven van der Haghen pada 23 februari 1605, jadi tahun itu adalah peringatan ke-31 tahun, VOC berkuasa di Ambon.
17.
Menurut Rumphuis dan
Valentyn, dimasa itu, Pulau Nusalaut dipimpin oleh dua pimpinan utama yaitu
Titawai dan Ameth. Titawai “menguasai” bagian utara Nusalaut, dan “memimpin”
negeri Nalahia, Sila dan Leinitu, sedangkan Ameth “menguasai” bagian selatan
Nusalaut dan “memimpin” negeri Akoon dan
Abubu.
- Predikant Jan Janszoon Priserius bertugas sejak 1636 – 1637 dan 1639 – 1641
§ Valentyn, Francois Oud
en Nieuw Oost Indie (deerde deel), bag 1 ..Omstandig verhaal van de
Geschiedenissen en zaaken tot het Kerkelyke of tot den Godsdienst behoorende zo
in Amboina, tweede boek, vyfde
hoofdstuk, Joannes van Braam en Gerard onder de Linden, Dordrecht en Amsterdam,
1724, Halaman 140
§ Niemeijer, Hendrik.E,
End, Th van den, Schutte, G.J. Bronnen Betreffende Kerk en School in de
gouvernementen Ambon, Ternate en Banda ten tijde van de VOC (1605-1791), vierde
deel HUYGENS ING (KNAW), Den Haag, 2015, Alfabetische lijst van Predikanten in
Ambon, Ternare, Banda, hal 55)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar