Perang
dan Pemberontakan di Kepulauan Ambon, 1636-1637
(bag 2)
Oleh
Gerrit.
J. Knaap
Sementara
itu, Kimelaha Kakiali dan Raja Wakal, Tamalesi masih tetap ditahan di Batavia.
Kayoan, saingan “berat” Kakiali dan Perdana Tanahitumesing yang juga calon
pejabat sementara pengganti Kakiali, menuju Batavia bersama beberapa orang
penting Hitu dalam upaya membebaskan Kakiali. Kayoan melakukan hal itu, karena
ia menyadari bahwa pembebasan Kakiali adalah satu-satunya cara agar keutuhan
dan “kedamaian” di Hitu bisa tercipta kembali. Saat ia kembali ke Ambon pada
awal tahun 1636 itu, ia kembali dicalonkan sebagai Kapitan Hitu, dan kali ini
didukung oleh Gubernur Jend VOC di Batavia. Kejutan yang lain adalah pencalonan
Latu Lisalaik, yang merupakan orang kaija Bulang menjadi Perdana Nusatapi,
menggantikan Barus yang adalah saudaranya sendiri. Latu Lisalaik sendiri tidak
senang dengan pencalonan ini dan secara tegas menolaknya. Dalam kesempatan
pembicaraan dengan “otoritas lokal” VOC di daerah itu, ia menyatakan bahwa Gub
Jend VOC tidak punya hak berbuat seperti itu atau “mencampuri” urusan
pemerintahan negeri Hitu, sama seperti ia sendiri, tidak punya hak mencalonkan
Gub VOC Ambon untuk menjadi Raja Hitu.
Menjelang
akhir tahun 1636, Latu Lisalaik memimpin delegasi yang kedua kembali menuju
Batavia, untuk membebaskan Kakiali.
Clan Nusatapi (sumber gambar: Http//: Mamala-Amalatu.blogspot) |
Paruh
kedua tahun itu, nampak VOC dan negeri-negeri pendukungnya yang hanya sedikit,
menahan diri untuk tidak menyerang balik. Sikap “diam” mereka ini, diwujudkan
dalam bentuk “perburuan dan penculikan”. Serangan balik yang “frontal” sulit
untuk dilakukan oleh VOC saat itu. Di Hitu dan Jazirah Leitimor, situasi tidak
berubah. Mereka berdua ingin menjadi penyedia bubuk mesiu dan menerima bantuan
dari Kimelaha, tapi disaat yang sama, berusaha tampil menjadi pihak “netral”.
Raja-raja negeri Leitimor mengunjungi markas besar Kimelaha di Lusiela, namun
tidak “menjanjikan” apa-apa pada pihak Kimelaha. Kimelaha Leliato memahami
“dilema” ini, karena itu dalam suratnya kepada orang-orang Kristen, ia
menyerukan agar mereka memutuskan “hubungan” dengan VOC, jangan lagi menjadi
“budak” dari siapapun, dan menjadi orang bebas yang bisa melakukan apa saja
sesuai keinginan hati. Meskipun begitu, orang-orang Leitimor dan sebagian besar
orang Hitu menolak untuk mengirim cengkih pada pihak Kimelaha. Mereka tetap
menyimpan panen cengkih dengan pertimbangan, ada harapan terjadinya “perubahan”
jika situasinya kembali normal.
Akhir
tahun itu, pihak Kimelaha melakukan kegiatan pelayaran Hongi dan memberi
“tekanan” pada negeri-negeri pendukung VOC di kawasan Lease. Ia menyerang
negeri Tuhaha dan Ullat, namun gagal mengalahkan mereka.
Pada
Juli 1636, Secunde Gubernemen VOC Ambon, Arend Stevensz Gardenijs, memberikan
pertimbangan kepada “pemerintah pusat” VOC di Batavia. Ia menyebut solusi
terbaik untuk mengatasi situasi adalah lewat intervensi langsung oleh Gub Jend
VOC sendiri. Antonio van Diemen selaku
Gub Jend VOC menerima usul ini. Pada awal 1637, armada Van Diemen muncul di
perairan Ambon dengan kekuatan “raksasa” yaitu 17 kapal perang yang mengangkut
2000 ABK dan serdadu. Kakiali dan Raja Wakal, Tamalesi turut serta dalam
rombongan itu....................
A.
Van
Dieman di Ambon
Armada
van Diemen tiba di “Maluku Tengah” lebih tepatnya di Buru, pada tanggal 13
Januari 1637, setelah 2 minggu berlayar. 5 hari kemudian, armada itu mendekati
tanjung Sial, titik paling selatan dari Hoamol. Van Diemen segera memutuskan
untuk menyerang Lusiela. Para serdadu yang telah dipersiapkan untuk perang
melawan pihak Kimelaha, sekali lagi diperintahkan untuk taat dan mengikuti
perintah para komandan mereka, dilarang meninggalkan pasukan dan segera bersiap
di pinggir pantai untuk berperang. Perampasan, pembakaran, pembunuhan atau
pelecehan seksual tidak boleh dilakukan, dan akan dihukum jika kedapatan
melakukan hal itu, terkecuali ada izin untuk melakukan hal itu. Pada sore hari,
tanggal 19 Januari 1637, armada van Diemen membuang jangkar di perairan
Lusiela, dari jauh terlihat begitu banyak kubu pertahanan dan menyulitkan
armada van Diemen untuk merapat ke pantai. Pasukan pengintai diluncurkan untuk
mencari jalan agar armada itu bisa merapat, usaha ini dibantu oleh Kayoan,
calon kuat Kimelaha yang didukung VOC serta Abdul Rahman, Raja Luhu yang pro
VOC. Luhu adalah salah satu negeri utama
di jazirah Hoamoal.
Dari
atas kapal, orang-orang Belanda menyaksikan, para penduduk berusaha untuk
menyelamatkan diri.
Keesokan
harinya, 20 Jan 1637, setelah sarapan pagi, dan doa bersama yang dipimpin oleh
pendeta, pasukan besar yang berisikan 1525 orang turun ke darat, langsung
menuju titik target yaitu Lusiela yang kira-kira sekitar setengah jam
perjalanan. Pasukan Kimelaha, yang jumlahnya sedikit, kurang lebih 100 orang
segera merespon balik serangan ini, mereka menembakan meriam, memanah, melempar
menggunakan batu dan tombak, namun balasan ini tak mampu menahan gerak laju
pasukan VOC. Pasukan VOC akhirnya bisa memanjat tembok-tembok kubu pertahanan
dengan menggunakan potongan bambu yang disandarkan di dinding. Pasukan Kimelaha
akhirnya menyerah, dan dibawah keluar dari dalam kubu pertahanan itu. Pasukan
VOC segera menurunkan bendera kebesaran Kimelaha dan menempatkan pasukan mereka
di kubu pertahanan itu. Hanya dalam waktu 5 jam, Lusiela “jatuh”. Di dalam kubu
itu, pasukan VOC hanya menemukan 2 jenazah dan 20 potong alat penembak “kode”
serta 3000 pound bubuk mesiu1, menawan seorang perempuan, serta 125
perahu, yang semuanya disita di tepi
pantai. 1 perahu kemudian dijadikan sebagai kayu bakar untuk alat penerangan
dan penghangat badan. Di pihak VOC sendiri, 10 orang tewas, 38 luka berat,
beberapa orang akhirnya meninggal karena luka luka itu. Setelah hari
“kemenangan” itu, pasukan VOC sibuk membongkar bagian-bagian lain dari kubu
pertahanan serta menghancurkan area sekeliling kubu itu, khususnya memusnahkan
seluruh tanaman cengkih. 27 Januari, armada van Diemen meninggalkan Lusiela dan
menempatkan pasukan berkekuatan 400 serdadu serta 5 kapal besar untuk
berpatroli disekitar perairan itu.
3
hari kemudian, armada van Diemen berlabuh di pantai depan Benteng Victoria. setelah dijamu oleh para pejabat tinggi
Gubernemen VOC Ambon, serta menginspeksi pasukan dan milisi, Van Diemen
memutuskan untuk “berkantor” disitu. Pada kesempatan itu, Van Diemen juga
menemui beberapa raja Leitimor, dan raja-raja dari bagian tenggara Hitu.
Seminggu sebelumnya, Gub VOC Ambon memerintahkan agar negeri-negeri Kristen
yang terlibat dalam pemberontakan melawan VOC agar menyerah dan memohon
pengampunan dari Gub Jend VOC, namun tak direspon. Sebelum tanggal 6 Februari
itu, datang surat dari para pemberontak asal Leitimor. Dalam suratnya, mereka
menyatakan jika Raja Soya2, Kilang, Ema3 dan Urimesing4
telah berunding di Soya dan
Bersepakat
untuk berdamai, namun mereka butuh waktu. Di hari yang bersamaan datang juga
surat dari Hatiwe, diikuti Alang dan Lilibooi.
VOC
memutuskan “target” berikutnya, yaitu sisi barat semenanjung Hitu. Sesaat
setelah Van Diemen tiba di Benteng Victoria, Imam Larike meminta “keadilan”
agar menghukum orang-orang Wakasihu5, Tapi, Uring dan Alang6 yang
pada bulan Oktober tahun 1636, telah membunuh para penduduk Larike dan
membumihanguskan negeri Larike. 6 Februari, Gub VOC Ambon menuju ke Larike
dengan pasukan yang berkekuatan 10 kapal perang dan 700 serdadu. Serangan ini
ditujukan untuk menaklukan kubu pertahanan Wakasihu dan Tapi, namun gagal
karena para penduduk telah diungsikan oleh para pemberontak. 4 hari kemudian,
pasukan Gub VOC Ambon kembali ke Benteng Victoria. Negeri Alang yang takut diserang akhirnya mengirim utusan
untuk memohon pengampunan dari VOC. Begitu juga yang dilakukan negeri-negeri
yang berada di bagian timur laut, seperti Baguala, Suli dan Waai. Pada tanggal
17 dan 18 Februari tahun itu, Gub Jend VOC, Antonio van Diemen, para pejabat
tinggi Gubernemen VOC Ambon dan keluarga bahkan berkunjung dan “berlibur” di
Baguala.
Sepanjang
Februari, banyak energi “terkuras” untuk melakukan rekonsiliasi dengan
negeri-negeri di jazirah Leitimor. Van Diemen sangat berperan dalam hal ini. Ia
menjanjikan pengampunan kepada semua orang serta sekutu mereka yang selama ini
melawan VOC. Beberapa delegasi terlihat “keluar masuk” benteng Victoria dalam
rangka rekonsiliasi ini. Orang Kaija Mardika, yang bernama Louis Gomes bertindak
sebagai “mediator” utama dalam masalah ini.
Soya,
Ema, Kilang, Urimesing, dan Hutumuri7 menyampaikan bahwa mereka ingin berdamai,
namun sesuai dengan “adat” orang Ambon, mereka butuh waktu, untuk berdiskusi
dengan negeri-negeri lain di Pulau Ambon dan Lease, mengenai masalah sumpah “
MATAKAU” yang telah mereka lakukan.
Pada
tanggal 14 Februari, Van Diemen mengirim surat kepada Raja Soya dan sekutunya,
yang isinya ia mendesak agar Raja Soya bertemu dengan dirinya sebelum tanggal
21 di bulan itu. Soya dan negeri-negeri sekutunya, berusaha untuk menunda
pertemuan itu. Mereka mengajukan “syarat” agar raja-raja dari negeri pendukung
VOC agar bertemu dengan mereka di bawah pohon beringin yang jaraknya setengah
perjalanan dan bersama-sama menemui Gub Jend VOC
Van
Diemen menolak penundaan tanggal pertemuan, namun menerima usulan “ proposal
pohon beringin”. Pertemuan itu akhirnya batal karena hujan deras di tanggal
itu, pertemuan kedua yang direncanakan tanggal 22 Februari juga batal, karena
masing-masing pihak tidak saling percaya.
Setelah
beberapa kali ultimatum, akhirnya raja-raja negeri Leitimor “menyerah” dan
datang menemui Gub Jend. Mereka memohon pengampunan, setelah panjang lebar
menyampaikan alasan kenapa mereka mengungsi ke pegunungan setahun sebelumnya.
Pengampunan diberikan oleh Gub Jend, yang dalam kesempatan itu menyampaikan
jika, semua yang telah terjadi biarlah dilupakan saja8.
Tuduhan
atas sumpah “MATAKAU” dengan pihak Kimelaha serta pengiriman cengkih ke mereka
di sangkal oleh para raja Leitimor. Masalah ini akhirnya diselesaikan sebelum
Van Diemen bertolak ke Haruku pada 27 Februari. Keberangkatannya kali ini
didukung oleh 10 kapal perang dan 3 kora-kora, 2 minggu kemudian 5 kora-kora
dari Leitimor menyusul. Akibat laut yang dangkal, armada Van Diemen mengalami
kesulitan untuk berlabuh di perairan pulau Haruku. Itu terjadi sebelum tanggal
5 Maret. Pada sore hari 5 Maret, armada itu akhirnya membuang sauh di perairan
Hatuhaha. Di hari yang sama pula, datang serombongan “kapitan9” Alifuru dari Sumit dan Sahulau berjumlah 170
orang turut bergabung.
Armada
VOC segera turun ke darat, dengan kekuatan lebih dari 1000 orang. Setelah
mengalami kesulitan karena mendaki jalan menanjak ke arah pegunungan, akhirnya
mereka merebut kubu pertahanan pertama Hatuhah yang telah kosong di negeri
Kabau. Mereka kemudian melanjutkan penyerangan ke negeri Kailolo, dan
menghadapi perlawanan sengit, namun akhirnya mereka bisa mengalahkan para
pemberontak. Mereka menghabiskan malam itu di Kabau, dan keesokan harinya
mereka mendekati ALAKA, kubu pertahanan yang sangat tangguh dan di “jaga” oleh
1000 orang kapitan. Setelah kontak pertama berlangsung, para komndan pasukan
VOC, menyimpulkan bahwa sangat sulit merebut ALAKA tanpa banyak korban, dan
jika diteruskan, akan memakan banyak korban dari pihak mereka. Mereka
memutuskan kembali mundur ke Kabau. Hujan yang lebat semakin mempersulit
serangan. Hari itu, 14 serdadu VOC tewas, dan 50 orang terluka. Dengan bantuan
para Kapitan Alifuru yang telah bertambah menjadi 200 orang, VOC melancarkan
strategi perang gerilya, dengan menghancurkan semua pohon cengkih, dan
pohon-pohon di sekitarnya. Dalam 1 minggu, Pasukan Alifuru bertambah lagi
menjadi lebih 400 orang. Pada 15 Maret, VOC menghancurkan “perkemahan” mereka
di Kabau dan kembali ke atas kapal dan tetap berlabuh diperairan Hatuhaha. 3 hari
kemudian, pasukan Alifuru dizinkan kembali ke Seram setelah membunuh 16 orang
dari pihak “musuh”.
(kita mundur sebentar beberapa hari di
saat armada Van Diemen dalam perjalanan menuju Haruku)
Dalam
perjalanan menuju Haruku itu, Van Diemen telah mengirim “nota diplomatik” agar
pihak pemberontak menyerah dan memohon pengampunan. Dalam bulan Februari, 5
negeri Kristen di Haruku telah mengadakan dengan para pemberontak dari
Leitimor, bisa atau tidakkah mereka berdamai dengan VOC. Setelah armada van
Diemen buang jangkar di perairan Hatuhaha, beberapa negeri mengirim utusan ke
kubu pertahanan VOC dekat negeri Oma, untuk berdamai dengan VOC. Para utusan
itu diterima oleh Manuel Quelju, raja negeri Kilang yang bertindak sebagai
mediator.
(kita kembali lagi ke waktu setelah,
para pasukan Alifuru kembali ke Seram )
Manuel
Quelju dibantu beberapa raja negeri Leitimor lainnya, memulai negoasiasi untuk
melakukan rekonsiliasi pada tanggal 21 Maret. 4 hari kemudian, beberapa orang
Kristen pulau Haruku menemui van Diemen diatas kapal perang dan memohon
pengampunan. Di kesempatan itu juga, mereka menjanjikan akan berusaha untuk
“menghentikan” pemberontakan yang dilakukan oleh Hatuhaha. Pada tanggal 27
Maret, pihak Hatuhaha mengirim surat yang disampaikan oleh Raja Aboru, Laurens
Ririasa, dimana mereka ingin berdamai, karena mereka tahu, pada akhirnya mereka
tak bisa terus berperang dengan VOC. Keesokan harinya, utusan dari Hatuhaha
datang dan diberikan jaminan untuk didengarkan semua keberatan dan diberikan
pengampunan. Pada kesempatan itu, mereka juga menyampaikan pada Van Diemen,
jika sebenarnya, mereka hampir menyerah saat pasukan van Diemen menyerang
mereka pada tanggal 6 Maret itu, namun hanya karena hujanlah, yang untuk
sementara waktu menyelamatkan mereka dari “kekalahan”....
Sehari
kemudian, pada 29 Maret armada van Diemen meninggalkan pulau Haruku dan
bertolak ke pulau Saparua..................................
Bagaimana “aksi” Van
Diemen di Saparua??? Juga di Nusalaut.....?
Sehari
kemudian, pada 29 Maret armada van Diemen meninggalkan pulau Haruku dan
bertolak ke pulau Saparua. 5 hari kemudian, 4 April, Van Diemen tiba di redout
Hollandia,Honimoa, Siri Sori. Saat masih diatas, kapal perangnya, Van Diemen
“mengamati” dan “memahami” hubungan antara Saparua dan Nusalaut.
Pada
Desember 1636, Kimelaha Leliato menyerang Tuhaha dan Ulat dengan pasukan Hongi
mereka. Raja Tuhaha, Pedro Mahubesi meletakan bangkai babi dan anjing pada
“sungai/kali” kecil yang dipergunakan oleh pasukan Kimelaha sebagai air minum.
Berperang menghadapi srategi “cerdas dan licik” ini membuat pasukan Kimelaha
kalah dan kembali pulang ke Lusiela.
Saat
Van Diemen masih berada di Ambon, raja-raja negeri Kristen yang lain asal
Saparua datang menemui van Diemen, dan bersumpah untuk kembali berhubungan
dengan VOC. Berdasar hal itulah, orang-orang Kristen Saparua lebih diperhatikan
VOC, terkhusus negeri Tuhaha, dimana rajanya diberikan “hadiah” dan “pujian”,
oleh van Diemen serta sekaligus menjadi
“orang tua saksi” bagi “pertobatan” seorang penduduk Tuhaha yang bernama Labo
atau Lobo10.
Saat
armada Van Diemen dalam perjalanan menuju Haruku, beberapa penduduk negeri Iha
ke Ambon, untuk menyampaikan tujuan kedatangan mereka. Akibat berperang dengan
Ullat, negeri Iha kehilangan seorang pendukungnya yaitu Patih Nolloth.
Menyadari kuatnya militer VOC, negeri Iha memutuskan untuk berdamai dengan VOC.
Di saat armada Van Diemen berlayar menuju Saparua dari Hatuhaha,
kapitan-kapitan negeri Paperu menyergap dan membantai beberapa pemimpin
rombongan penduduk negeri Iha yang kembali ke negerinya dari Hatuhaha.
Rombongan itu menyatakan jika tujuan mereka ke Hatuhaha adalah ingin menemui
van Diemen dan memohon pengampunan (mungkin, setelah mendengar kabar jika Van
Diemen tidak berada di Ambon, tapi telah menuju ke Hatuhaha/Haruku). Saat
rombongan itu tahu, Van Diemen telah menuju ke Saparua, mereka memutuskan untuk
kembali ke negerinya. Saat rombongan itu berada disekitar negeri Hulaliu,
mereka diserang secara tiba-tiba dan dibunuh.
Sesaat
setelah tiba di Saparua (Siri Sori), van Diemen mengeluarkan ultimatum kepada
negeri Iha, untuk sebaiknya menyerah dan berdamai dalam jangka waktu 5-6 hari
kedepan. Tanggal 7 April, dengan “ditemani” oleh patih Siri Sori yang bernama
Herman11, utusan dari negeri Iha menemui Gub Jend VOC dan berdamai
dengan VOC.
Kedua
pihak sepakat, akan diadakan rekonsiliasi terhadap para “pejabat/pemimpin”
negeri, yang semuanya akan dihadapkan pada “sidang landag”, sebuah “pengadilan”
bagi semua negeri Ambon-Lease12, yang akan diadakan bulan depan di
benteng Victoria.
Selama
krisis itu, Nusalaut benar-benar sangat anti pada VOC, khususnya negeri-negeri
yang tergabung dalam Uli Inalohu yang dipimpin oleh negeri Ameth. Pada awalnya,
telah terjadi kontak yang berlangsung hanya sekali, antara orang-orang Nusalaut
dengan negeri-negeri Leitimor. Pada
tanggal 1 april, negeri-negeri yang tergabung dalam Uli Inahaha yang dipimpin
oleh raja negeri Titawai datang menemui Van Diemen diatas kapal perang dan
memohon pengampunan. Mereka diampuni oleh van Diemen, setelah “diomeli” tentang
ketidaksetiaan mereka terhadap VOC dan agama Kristen. 3 hari kemudian, utusan
dari negeri-negeri yang tergabung dalam Uli Inalohu yang dipimpin oleh raja
negeri Ameth, datang menemui van Diemen di tepi pantai Honimoa Siri sori, jatuh
bersimpuh dikaki Van Diemen dan memohon pengampunan. Van Diemen kemudian
mengampuni mereka.
Pada
11 April, armada van Diemen meninggalkan Saparua dan menuju Lusiela. Dalam
perjalanan kembali ini, armada van Diemen menyusuri perairan diantara Saparua dan
Nusalaut
11
April 1637, armada Van Diemen meninggalkan Saparua menuju Lusiela dan tiba 2
hari kemudian. Tiba juga, utusan “khusus” dari Sultan Ternate Sultan Hamzah
yang bernama Kaicili Sibori. Ia ditugaskan membantu usaha rekonsiliasi di
“dalam” wilayah kekuasaan kesultanan Ternate. Pada 17 April, pasukan VOC mulai
menghancurkan sisa-sisa kubu pertahanan milik Kimelaha, selama 3 hari. Pada
tanggal 24 April, armada VOC bersama pasukan VOC (yang ditempatkan sebelumnya)
di Lusiela, berlayar menuju Hitu. Di saat bersamaan, Kaicili Sibori berusaha
membujuk Kimelaha Leliato, yang “bermarkas” di Kambelo untuk ke Luhu dan
menerima “ surat dinas” dari “atasannya” yaitu Sultan Hamzah. Namun Leliato
takut terjebak oleh undangan Sibori, yang datang ke Luhu “dikawal” oleh kapal
perang VOC. Leliato meminta “surat dinas” itu dikirim ke Gamasongi, daerah yang
tak jauh dari Luhu. Meskipun Sibori menganggap permintaan itu adalah tindakan
tidak patuh pada Sultan, namun ia menyetujui permintaan Leliato. Setelah
menerima surat itu, Leliato buru-buru kembali ke Kambelo, sebelum Sibori tiba
di Gamasongi. Akibatnya, Sibori hanya bisa “membuat” Luhu dan wilayah-wilayah
dibawah “kekuasannya” untuk kembali
setia kepada kesultanan Ternate, melalui sumpah sakral “MATAKAU”.
Armada
Van Diemen tiba di Hila pada tanggal 25 bulan itu. Di daerah Hitu, kubu
pertahanan pihak anti VOC berada di dua tempat yaitu Wawani dan Kapahaha. Yang
sangat anti VOC adalah yang berada di Wawani, dan mereka terdiri dari
uli/kelompok Nau-Binau, Leala, dan Hatunuku serta sebagian dari Sawani.
Sedangkan yang di Kapahaha, lebih banyak berasal dari uli/kelompok Saylesi yang
ingin berdamai dengan VOC dibandingkan “saudara” mereka yang di Wawani. Sejak
awal krisis itu, kelompok Wawani menuntut pembebasan Kakiali dan Tamalesy,
sebagai syarat atau “prakondisi” untuk negosiasi lebih lanjut. VOC
“memanfaatkan” syarat ini. Sehari sebelum armada van Diemen tiba, Kakiali
“diizinkan” kembali ke Hitu bersama Tamalesy, setelah sebelumnya, mereka diajak
kerjasama untuk “menenangkan” orang-orang Hitu. Melalui Latu Lisalaik, pemimpin
kelompok Wawani mengirim pesan kepada VOC, jika mereka siap untuk bertemu
dengan Van Diemen. Kakiali dan Tamlesy menuju dan segera tiba di Wawani, dimana
seluruh raja-raja berkumpul dan berunding menentukan delegasi yang akan bertemu
dengan Gub Jend VOC. Tamalesy juga membantu dalam usaha “melibatkan” kelompok
Kapahaha pada proses rekonsiliasi itu. Akhirnya, pada tanggal 3 Mei, kelompok
Wawani yang dipimpin oleh Barus, pejabat Perdana Nusatapi, hadir dan bertemu
dengan Van Diemen di Hila. Dalam pertemuan itu, diputuskan jika kedua kelompok
itu akan “hadir” dalam sidang Landaag yang akan dilaksanakan di benteng
Victoria pada bulan Juni. Hari
berikutnya, armada van Diemen meninggalkan Hila bersama Kakiali yang secara
“resmi” akan di bebaskan setelah sidang Landaag.
Armada
Van Diemen sempat singgah sebentar di Larike, dan tiba di Benteng Victoria pada
tanggal 5 Mei.
Pada
tanggal 16 Mei, Gub Jend VOC Antonio van Diemen mulai membuka persidangan Landaag.
Seluruh raja-raja negeri di Pulau Ambon-Lease berkumpul di benteng Victoria.
Pada hari pertama persidangan, berisikan agenda penyelesaian masalah terhadap
seluruh negeri-negeri Kristen di Pulau Ambon,
terkecuali negeri Alang yang masih tidak ingin berdamai.
Persidangan
hari kedua berlangsung pada tanggal 18 Mei, berisikan agenda penyelesaian
terhadap negeri negeri Lease dan pantai selatan Seram. Dalam persidangan itu,
para penduduk di 2 wilayah itu dijanjikan jika kegiatan pelayaran hongi akan
dibatasi paling banyak hanya 5 minggu dalam setahun, dan jika diperlukan untuk
bekerja lebih dari waktu itu, akan dibayar. Di hari yang sama, Kaicili Sibori
tiba dari Hoamoal dan langsung mengikuti persidangan. Ia dihadapkan pada
pertanyaan : apakah negeri-negeri Muslim seperti Iha, Hatuhaha, Latu dan Hualoy
itu, “tunduk” pada VOC dalam hal monopoli cengkih dan penyediaan tenaga bagi
pelayaran Hongi ataukah tidak. Pertanyaan ini ditanyakan oleh van Diemen,
karena negeri-negeri itu “bingung” apakah mereka “mengabdi” pada Sultan Ternate
atau VOC. “ Menghindari” pertanyaan menjebak tentang “kekuasaan” Sultan, Sibori
menjawab pendek, jika itu merupakan keinginan Sultan agar negeri-negeri patuh
pada Gub VOC Ambon dan bukan pada Kimelaha.
Pada
persidangan hari ketiga tanggal 19 Mei, penduduk Kristen Ambon menyampaikan
“petisi” kepada Gub Jend VOC, dimana mereka meminta pembayaran terhadap
pembelian kora-kora mereka, pengurangan permintaan tenaga kerja hongi, dan
memperbaiki manajemen dalam pelayaran Hongi, serta ditambah dengan pemberian
jaminan akan hak tanah dan hak melaut di sekitar perairan pulau Ambon. Van
Diemen bersikeras menolak kompensasi pembayaran pembelian kora-kora, namun
membatasi waktu pelayaran Hongi seperti yang ia putuskan pada negeri-negeri
Lease. Ia juga berjanji akan melarang perbuatan-perbuatan “salah urus” dalam
kegiatan pelayaran hongi, dan menyarankan kepada para raja agar protes dan
menyampaikan keberatan jika perbuatan itu terjadi lagi. Van Diemen juga
berjanji akan “merevisi” aturan agar lebih “memperhatikan” hak tanah dan hak
melaut seperti yang diminta oleh penduduk Kristen Ambon. disamping merespon
petisi ini, ia juga memerintahkan penutupan sekolah-sekolah Kristen yang ada di
tiap negeri. Semua penduduk jazirah Leitimor yang ingin anaknya mendapatkan
pelajaran agama, harus mengirim mereka bersekolah di kota Ambon, aturan yang
sama juga berlaku untuk negeri-negeri di Lease. 3 hari kemudian, semua
raja-raja pulau Ambon-Lease, terkecuali negeri Hitu yang tidak hadir, bersumpah
dengan khidmat untuk “bersahabat” kembali dengan VOC. Raja-raja negeri Kristen
bersumpah di bawah kitab suci Alkitab, sedangkan yang muslim di bawah kitab
suci Al-quran.
Di
saat bersamaan, tak ada perkembangan “signifikan” dalam hubungan Hitu dengan
VOC. Para pemimpin Hitu menunjukan sikap tidak ingin menemui Gub Jend VOC di benteng Victoria. Meski
begitu, Van Diemen membebaskan Kakiali secara “resmi” pada tanggal 20 Mei.
Kakiali di terima dengan hangat oleh pendukungnya saat kembali ke Wawani, dan
akhirnya para pemimpin Hitu memutuskan resolusi “terakhir” untuk menghadiri
persidangan Landaag. Kakiali sendiri datang menghadiri persidangan pada tanggal
31 Mei 1637 dan memimpin delegasi sebanyak 100 orang, bukan hanya dari Hitu
saja, tapi juga dari Uring, Asilulu, Wakasihu, Tapi, Alang dan Lilibooi. Kedua
belah pihak setuju untuk “mengembalikan” perdamaian dan membuat perjanjian
baru. VOC dijanjikan untuk mendapatkan hak monopoli atas pembelian cengkih,
yang berarti Hitu “melarang” para pedagang “luar/pribumi” untuk berdagang di
daerahnya. Sebaliknya, Van Diemen tidak akan mencampuri urusan “dalam negeri”
Hitu dan “mengijinkan” negeri Hitu untuk memulihkan sistim pemerintahan “lokal”
mereka sendiri. Kakiali akhirnya diangkat lagi menjadi Kapitan Hitu, Kayoan
Perdana Tanahitumesing, “melepaskan” jabatan Kapitan Hitu, dan diberikan
jabatan “kehormatan” yaitu Orang Kaija. Barus, di kembalikan ke posisi lama
yaitu Perdana Nusatapi dan menggantikan Latu Lisalaik, yang mulai sakit-sakitan
dan sejak awal tidak menginginkan jabatan itu. Soulisa menjadi Perdana Totohatu
dan Beraim-ela menjadi Perdana pati Tuban. Orang-orang Hitu juga menyatakan
jika VOC adalah sahabat dan mereka bukan “anak buah” Sultan Ternate, serta
tidak pernah mengklaim Uring, Asilulu, Wakasihu, Larike, Tapi, Alang dan
Lilibooi sebagai negeri “bawahan” mereka. Tanggal 1 Juni, Hitu dan
negeri-negeri sekutu mereka yang lain bersumpah untuk “bersahabat” lagi dengan
VOC. Gubernur VOC Ambon yang baru13, Johan Ottens juga bersumpah
untuk selalu melindungi dan mengakui jika Hitu serta negeri-negeri yang lain
adalah “sahabat sejati” VOC.
Saat
armada van Diemen meninggalkan Hoamoal menuju Ambon pada 29 April, Kaicili
Sibori berusaha keras “menjinakan” Kimelaha Leliato. Seminggu kemudian, ia
melaporkan jika telah mengirim “surat dinas” kepada Leliato dan para
pengikutnya. Sepanjang minggu pertama di bulan Mei itu, Sibori terus “merayu”
Leliato agar datang ke persidangan Landaag di benteng Victoria. Ia juga gagal
“melarang” para pedagang “pribumi” berdagang di wilayah kekuasaan
Ternate.akhirnya Sibori mulai “mengakui” satu-satunya cara untuk menghadapi
sikap “keras kepala” Leliato adalah dengan aksi militer. Leliato sendiri
menunjukan sikap tidak peduli lagi, karena mulai berdatangan ratusan “serdadu
pribumi” yang terus berdatangan sejak beberapa bulan terakhir dan akan membantu
Lelaiato. Satu-satunya kesuksesan yang diperoleh Sibori adalah membuat para
pemimpin Luhu dan beberapa negeri “bawahannya” bersahabat kembali dengan VOC
pada tanggal 2 Juni.
Di
hari yang sama pula, persidangan Laandag memasuki persidangan hari ke-9, dan
secara resmi ditutup. Pada penutupan persidangan itu, dihadirkan pihak-pihak
yang selama ini telah turut “membantu” VOC dalam “mengatasi” konflik selama
itu. Pujian dan penghargaan paling banyak diterima oleh Louis Gomes, orang
Kaija Mardika, yang “sukses” menjadi mediator dan membantu VOC selama krisis
itu.
Akhirnya,
tanggal 4 Juni 1637, Gub Jend VOC Antonio van Diemen meninggalkan benteng
Victoria, kembali ke markas besarnya di Batavia14................
Selesai............
Catatan tambahan
Sebenarnya, artikel ini masih berlanjut, namun kami
memutuskan untuk tidak menerjemahkannya, karena bagian lanjutan itu adalah
bagian penutup dan kesimpulan yang berisikan “analisis” dari penulis tentang
faktor yang membuat Van Diemen berhasil “meredam” konflik itu.
Namun di bagian penutup itu ada beberapa info yang
penting yang perlu disampaikan:
1.
Setahun
kemudian, 1638 Van Diemen di undang lagi ke Ambon oleh Sultan Ternate Hamzah
2.
5
Tahun kemudian (1642) pecah lagi konflik besar, yang disebut sebagai perang
Ambon jilid IV
3.
Dalam
perang ini, Iha “tidak campur tangan” hingga tahun 1650, saat Iha bergabung
dengan Kimelaha Majira, pengganti Kimelaha Luhu yang sebelumnya menggantikan
Kimelaha Leliato
4. Tahun 1651 – 1656
terjadi perang Ambon jilid V, dan tahun 1652 itulah kerajaan Iha runtuh. Tahun
1653, sebagian besar penduduk kerajaan Iha dipaksa meninggalkan negerinya dan
berdiam di Seram Selatan, tepatnya tidak jauh dari negeri Latu.
5.
Beberapa
Regent di Pulau Saparua pada periode ini (dalam tahun1636-1637)
a) Orang Kaija van
Itawaka : Patij Naij (Patinaya?)
b) Pattij van Siri Sori
: Herman
c) Radja van Tuhaha :
Pedro Mahubesij
d) Pattij van Haria :
Anthoni
Catatan Kaki
1.
kira-kira 1360 Kg, 1
Pound sama dengan 0,45359237 kilogram
2.
Radja Soya pada
masa ini adalah Laurens da Silva
3.
“regent” negeri
Ema pada tahun ini adalah Simau Ema
4.
Orang kaija Urimesing
pada saat ini Jan Tampesij/Tambesij
5.
Orang Kaija
Wakasihu pada tahun ini adalah Naucolia
6.
Orang Kaija Alang
pada tahun ini adalah Pedro
7.
Orang Kaija Hutumuri
Don Pedro kemudian digantikan oleh Laurens Patiusen
8. Knaap menggunakan kalimat puitis dalam
teks inggrisnya : was “buried in the darkness of the sea” dikuburkan/terkubur
dalam gelapnya samudera.
9. Kami memberanikan diri menerjemahkan kata “warriors” yang
dipergunakan oleh Knaap pada artikelnya. Ia menulis : a group of 170 Alifuru
warriors......kami melakukannya dengan pertimbangan, mungkin kata “kapitan”
lebih “cocok” dibandingkan dengan misalnya kata “ prajurit/pejuang”. Kata
kapitan menurut kami lebih “familiar” dengan konteks orang Maluku, khususnya
Ambon –Lease yang merujuk pada atau dikaitkan dengan Alifuru)
10.
secara
jujur, sampai saat ini, kami tidak mengetahui banyak tentang penduduk Tuhaha
yang bernama Labo atau Lobo yang dimaksud oleh Knaap ini. Namun sumber dari
Justus Heurnius, menulis namanya sebagai Pati Lobo. Ia disebut sebagai twede
hooft Touhaha, yang kami artikan sebagai pemimpin kedua Tuhaha atau mungkin,
sekali lagi ini mungkin, dugaan kami, ia seperti tokoh “oposisi”. Dugaan kami
berdasarkan pembacaan terhadap surat Heurnius yang menyebut Pati Lobo, beberapa
tahun sebelumnya berpindah keyakinan menjadi seorang muslim dan lebih condong
atau bergabung dengan kelompok “pemberontak” negeri Iha. Konteksnya kemudian
berujung pada “pertobatan” Pati Lobo setelah Iha memutuskan berdamai dengan
VOC. Konteks ini yang menjadi background dari “pertobatan” seperti yang disebut
Knaap. Ia menulis seperti ini : As far as
the Christians on Saparua were concerned, Van Diemen's only task was to give presents
and compliments to the chief of Tuhaha and to witness the return to
Christianity of the most prominent dissident of Tuhaha, a certain Labo or Lobo.
11.
Izinkan kami
menjelaskan sedikit, tidak bermaksud sok tahu atau “mencampuri” sejarah negeri
lain, hanya menjelaskan berdasarkan pembacaan terhadap arsip dan sumber........
jika dilihat nama Patih Siri Sori yang bernama Herman, kita secara langsung
mengetahui itu nama seorang Kristen, ya memang benar... Pendeta Justus Heurnius
yang bertugas di Saparua dalam tahun2 itu (markasnya di Ullath) menyampaikan
dalam suratnya dan mendeskripsikan bahwa di negeri Siri Sori, setengah
penduduknya beragama Muslim. Heurnius menulis seperti ini : Op Sirisory sijn de
helft van outs Mahometisten, ende hebben een Moorse Priester ende tempel, doch
leven vresamelic met de christenen........dst. kira-kira terjemahannya : di
negeri Siri Sori, setengah penduduknya beragama Muslim, di situ juga (maksudnya
pada komunitas Muslim) ada seorang pendeta agama (maksudnya ustad/ulama) dan
sebuah masjid. Mereka hidup berdampingan dengan orang-orang Kristen.
Dari sumber ini, maka kita bisa berasumsi, jika Patih
Herman, adalah pemimpin dari komunitas Kristen di Sirisori itu. Mungkin karena
pertimbangan “agama” yang sama, maka tentunya VOC lebih banyak berhubungan
dengan komunitas Kristen. Jadi wajar jika dalam arsip VOC, Herman disebut Patih
Sirisori.
12.
Joan (Jan) Pays
menjadi Secretary van Laandrad dimasa ini
13.
(Knaap didalam
artikel ini, tidak eksplisit menyebut kapan Johan Ottens dilantik menjadi Gub
VOC Ambon menggantikan van Deutecom. Menurut sumber dari Rumphuijs, Johan
Ottens secara resmi menjadi Gub pada tanggal 17 Mei 1637)
14.
turut pula dalam
rombongan itu, Gub VOC Ambon yang lama,
Jochum Roelofs van Deutocom.Menurut W.Ph Colhaas dalam GM vol 1 pada
catatan kaki tentang Jochum Roelofs van Deutocom, 8 bulan kemudian, bulan Februari hingga
Agustus 1638 ia dipercayakan menjadi komisaris yang bertugas di Aceh. Tahun
1646 ia menjadi anggota Raad van Indie, tahun 1648 ia menjadi Presiden Weesmester
(Lembaga/DewanPenguru Yatim Piatu yang bertugas mengurus anak-anak yatim piatu
asal Belanda), setahun kemudian, pada
bulan Juli 1649 ia meninggal di Batavia.
Johan Ottens sendiri bertugas hingga meninggal di Ambon
tahun 1641 dan dimakamkan di Ambon
Pada artikel ini Gerrit J Knaap menggunakan referensi :
1)
Bartels, D. 1977. Guarding the invisible mountain.
Intervillage alliances, religious syncretism and ethnic identity among Ambonese
Christians and Moslems in the Moluccas. Ph.D. dissertation, Cornell University.
2)
Colenbrander, H. T., ed. 1899a. Daghregister
gehouden int Casteel Batavia
vant passeerende daer ter plaatse als over geheel Nederlandts-Jndien Anno
1636. 's-Gravenhage.
---. 1899b. Daghregister gehouden int Casteel Batavia vant passeerende daer ter plaatse als over geheel Nederlandts-lndien Anno 1637. 's-Gravenhage.
vant passeerende daer ter plaatse als over geheel Nederlandts-Jndien Anno
1636. 's-Gravenhage.
---. 1899b. Daghregister gehouden int Casteel Batavia vant passeerende daer ter plaatse als over geheel Nederlandts-lndien Anno 1637. 's-Gravenhage.
3)
Enkhuizen 399. "Journael" of
Governor-General Anthonie van Diemen's expedition to Amboina in 1637. Oud
Archief Enkhuizen 399. Ms., West Friesland Regional Archives, Hoorn.
4)
Fraassen, Ch. F. van. 1987. Temate, de Molukken en
de lndonesische archipel.
Van soa-organisatie en vierdeling: een studie van traditionele samenleving
en cultuur in Indonesie, 2 vols. Ph.D. dissertation, Universiteit te Leiden.
Van soa-organisatie en vierdeling: een studie van traditionele samenleving
en cultuur in Indonesie, 2 vols. Ph.D. dissertation, Universiteit te Leiden.
5)
Heeres, J. E. 1907. Corpus Diplomaticum
Neerlando-Indicum, vol. 1 (1596-
1650). Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie 57
1650). Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie 57
6)
Karlsruhe 480. Report of the Landdag 1637.
Karlsruher Handschriften
480: l69r-189v. Ms., Badische Landesbibliothek, Karlsmhe.
480: l69r-189v. Ms., Badische Landesbibliothek, Karlsmhe.
7)
Knaap, G. J. 1987a. Kruidnagelen en Christenen.
De Verenigde Oost-Indische
Compagnie en de bevolking van Ambon 1656-1696. Verhandelingen van
het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 125. Dordrecht.
---. 1987b. Memories van overgave van gouverneurs 1•an Ambon in de
zeventiende en achttiende eeuw. Rijks Geschiedkundige Publicatien, Kleine
Serie 62. 's-Gravenhage.
Compagnie en de bevolking van Ambon 1656-1696. Verhandelingen van
het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde 125. Dordrecht.
---. 1987b. Memories van overgave van gouverneurs 1•an Ambon in de
zeventiende en achttiende eeuw. Rijks Geschiedkundige Publicatien, Kleine
Serie 62. 's-Gravenhage.
8)
Manusama, Z. J. 1977. Hikayat Tanah Hitu. Ph.D.
dissertation, Universiteit te
Leiden.
---. 1983. G. E. Rumphius. Ambonsche Land beschrijving. Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah, no. 15. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
Leiden.
---. 1983. G. E. Rumphius. Ambonsche Land beschrijving. Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah, no. 15. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
9)
Rumphius, G. E. 1910. De Ambonsche Historie behelsende
een kort verhaal der gedenkwaardigste geschiedenissen.... Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-lndiii 64.
10) Tiele, P.
A., ed. 1886. Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in den
Maleischen Archipel, vol. 1. 's-Gravenhage.
11)
Tiele, P. A., & Heeres, J. E., eds. 1890. Bouwstoflen
voor de geschiedenis der Nederlanders in den
Maleischen
Archipel, vol. 2. 's-Gravenhage.
12)
VOC 1114. Resolutions of the High Government in
Batavia, from 5 December 1634 to 29 December 1635.
13)
Verenigde Oost-Indische Compagnie 1114: 96r-191v. Ms.,
General State Archives, The Hague.
VOC 1124. "Dagregister" of Jochum Roelofsz.
van Deutecom, from 4 Decem ber 1634 to 31 January 1637. Verenigde Oost-lndische
Compagnie 1124: 100r-240v. Ms., General State Archives, The Hague
Sekedar Masukan.
BalasHapusKakiali bukan Kimelaha. Yang memangku jabatan kimelaha di Hoamoal itu berasal dari keluarga Tomagola: Hidayat, Leliato, Luhu dst. Kakiali memangku jabatan Kapitan Hitu, menggantikan ayahnya, Kapitan Tepil (1602-1633).