Oleh Chr van Fraasen
III
Mungkin
penyebutan Ambon dan Hoamoal di Nagara-Kertagama dapat memberi petunjuk baru
tentang sejarah perdagangan awal kepulauan Ambon.
Kepulauan Banda dan Maluku dikenal sebagai pusat
perdagangan lama. Cengkih awalnya hanya tumbuh di Maluku, sedangkan Pala hanya
ditemukan di kepulauan Banda. Cengkih dan Pala adalah rempah-rempah yang
dicari, yang muncul pada masa-masa awal di pasar dunia dalam jumlah terbatas.
Ketika Portugis tiba pada awal abad ke-16, Maluku dan
khususnya kepulauan Banda adalah pusat perdagangan. Para pedagang dari wilayah
barat, terutama orang Jawa dan Melayu datang dengan junk-junk mereka untuk
membeli produk-produk lokal untuk ditukar dengan barang-barang seperti kain,
tembikar cina dan lain-lain.
Tidak hanya pala dan bunga pala yang tersedia di
pasar-pasar orang Banda, tetapi juga cengkih dari Maluku. Oleh karena itu,
banyak junk dari wilayah barat tidak melakukan transit dari Banda menuju ke
Maluku (lihat Pires, hlm 207; Baros oleh Barbosa, hlm 197; Castanheda oleh
Barbosa, hlm 198). Tetapi kapal-kapal itu, yang melakukan transit ke
Maluku, menambatkan sebagian besar kapal mereka di Makian, yang menurut Pires,
memiliki pelabuhan yang baik. Perdagangan Maluku berkonsentrasi di Makian
dengan junk-junk dari Banda (lihat Pires, hal 218, Jacobs, hlm 81).
Meilink-Roelofsz
percaya bahwa cengkih yang datang ke pasar Banda, dibawa dari Maluku oleh
orang-orang Banda sendiri, dan bahwa Maluku sendiri tidak memiliki lalu lintas
komersial di Banda (Meilink Roelofsz, hlm 97, 161). Dia mendasarkan pendapatnya
terutama pada pernyataan Castanheda (oleh Barbosa, hlm 198), bahwa orang
Maluku sendiri tidak memiliki kapal-kapal junk bersisi tinggi, dan karena itu
mereka tidak bisa membawa cengkih ke Banda. Orang-orang Banda di sisi lain
memiliki para pedagang muda.
Meilink-Roelofsz
mengakui bahwa Barros dan Couto melaporkan bahwa orang Maluku membawa sendiri
cengkih mereka ke Banda, namun menganggap pernyataan ini tidak benar (Meilink
Roelofsz, hlm 370, cat kaki no 225). Namun, saya percaya bahwa pernyataan
yang dibuat oleh Barros dan Couto adalah benar. Memang benar, bahwa jenis
kapal-kapal Maluku, umumnya dibuat terutama untuk tujuan perang. Tetapi jika
ada banyak serdadu, dimana para pendayung tidak dihitung, dan jumlah barang
barang jarahan serta budak yang bisa diangkut oleh kapal-kapal itu (lihat
misalnya Jacobs, halaman 161-163; Rumphius, hal 236), mengapa kapal-kapal
tersebut tidak bisa membawa kargo komersial yang terbatas, misalnya ke Banda?.
Pires juga melaporkan bahwa orang-orang Maluku datang untuk membeli pakaian di
Banda (Pires, hlm 208). Ini tidak diragukan lagi terjadi pada cengkih juga.
Selain
itu, pernyataan Castanheda bahwa orang-orang Maluku tidak memiliki kapal dengan
ujung yang mengapung adalah keliru. Mereka memiliki sampan, yang tidak sebesar
junk-junk, tetapi bisa berfungsi terutama untuk angkutan barang (Jacobs, hlm 157, 163).
Meskipun
orang-orang Maluku juga akan berdagang di Banda, ini tidak mengubah fakta,
bahwa pada awal abad ke-16, orang-orang Banda memiliki kapasitas transportasi
yang lebih banyak dengan kapal-kapal junk mereka daripada orang-orang Maluku.
Sampai sekarang, diyakini bahwa kepulauan Ambon tidak memainkan peranan penting dalam perdagangan antara kepulauan Banda dan Maluku sampai awal abad ke-16, ketika penanaman cengkih diperkenalkan di Hitu dan Hoamoal.
Pulau Ambon (1630an) |
Bagaimanapun, Rumphius menulis (hlm 4) :
“Amboina dengan tempat-tempat persinggahannya tidaklah
dikenal oleh bangsa-bangsa barat hingga tahun 1500, karena memiliki penduduk
yang liar dan ganas, juga tidak memiliki keistimewaan dalam hal bekerjasama.
Mungkin saja perubahan terjadi secara bertahap karena pengaruh orang-orang Jawa
dari wilayah barat, dan juga oleh orang-orang Maluku."
Pada tahun 1512, Serrao adalah orang Portugis pertama
yang tiba di Ambon. Hanya setelah itu, menurut Rumphius (hlm 5), penanaman
cengkih dimulai di Hoamoal, dan dari Hoamoal, penanaman cengkih meluas ke Hitu.
Bahkan sebelum kedatangan Portugis, salah satu pemimpin Hitu, Pati
Tuban, telah pergi ke Jawa untuk belajar agama. Di Jawa, ia bertemu
dengan Sultan Ternate, Djainal Abidin (memerintah 1486 – 1500). Putra sekaligus
penggantinya, Sultan Bayan Ullah (memerintah 1500 – 1522) mengirim Samarau1 ke
kepulauan Ambon (Rumphius, hlm 16), dan sejak saat itu, Ternate menegaskan
dirinya sebagai “penguasa” di kepulauan Ambon.
Keuning menuliskan berdasarkan data ini:
“Jadi, pada abad ke-15, Ambon sudah mempunyai hubungan
dengan dunia luar, meskipun cengkih – produk tanaman komersial Maluku pada masa
itu – masih belum atau belum lama berselang dipindahkan kesana. Dari pulau
Jawa, dari Malaka, Cina, mungkin juga dari India dan Persia, kapal-kapal dagang
datang di Ternate, Tidore dan Banda setiap tahunnya. Ambon mungkin tempat
persinggahan dalam rute perdagangan ini” (Keuning, hlm 136)
Meilink-Roelofsz juga memberikan pandangan seperti
ini, meskipun berdasarkan pada sumber lain. Dia menulis:
Pada awal abad ke-16, Ceram dan Amboina tidak begitu
penting sejauh menyangkut perdagangan di wilayah Indonesia. Sedikit cengkih
(mungkin yang masih belum dibudidayakan) dibawa dari pulau-pulau ini ke
kepulauan Banda. Pires, bagaimanapun, tahu, penduduknya hanya sebagai “gente de
cabello revolto bestial” yang tidak melakukan perdagangan atau bercocok tanam.
(Meilink-Roelofsz, hal 100)
Pires juga menambahkan bahwa kapal-kapal dalam
perjalanan ke Maluku, biasanya juga mengunjungi Ambon, karena pelayaran pribumi
belum cukup berkembang, sehingga pelayaran melalui laut terbuka dari Banda ke
Maluku dapat mereka lakukan (Pires, hlm 212)
Meilink-Roelofsz juga mengutip Barbosa sebagai sumber. Barbosa menulis bahwa Ambon memiliki penduduk yang agak “liar”, dan banyak perang terjadi di antara mereka sendiri. Namun, ia menambahkan bahwa pakaian India sangat populer di Ambon (Barbosa, hlm 199).
Pernyataan Rumphius bahwa budidaya cengkih di Hoamoal
dan Hitu baru diperkenalkan pada awal abad ke-16 adalah benar. Karena
itulah menjelaskan mengapa ketika Belanda tiba pada awal abad ke-17,
penanaman cengkih hampir tidak menembus/ tidak ada di Leitimor (semenanjung
timur Ambon) dan pulau-pulau Haruku, Saparua dan Nusalaut (lihat
Meilink-Roelofsz, hlm 159). Asumsi Meilink-Roelofsz (hal 100), bahwa
pada awalnya cengkih di kepulauan Ambon adalah merupakan cengkih yang liar
adalah keliru. Kepulauan Ambon, awalnya tidak memiliki pohon-pohon cengkih
liar, tanaman tersebut hanya tumbuh di Maluku. Urdaneta, yang mengunjungi Ambon
pada tahun 1535, juga melaporkan bahwa beberapa pohon cengkih di Ambon, telah
dibawa ke sana dari Maluku (Urdaneta dalam Navarrete,hlm 248).
Pengenalan budidaya cengkih di Hoamoal dan Hitu di
awal abad ke-16, kemungkinan besar terkait dengan peningkatan permintaan
cengkih. Pada saat itu, mungkin ada pergeseran dari bentuk eceran ke grosir,
terutama sejak Portugis berkuasa di Malaka (tahun 1511). Portugis membeli
rempah-rempah dalam jumlah besar. Pires melaporkan bahwa 8 junk dari Malaka dan
Gresik berlayar ke Banda dan Maluku dalam setahun untuk membeli rempah-rempah
(Pires, hlm 214). Ekspedisi perdagangan lengkap semacam itu, tampaknya
merupakan perkembangan baru, sebagai respon terhadap meningkatnya permintaan
rempah-rempah di Malaka. Melengkapi ekspedisi semacam itu dilakukan oleh
beberapa pedagang kaya yang “menyimpang” dari perdagangan eceran tradisional
(lihat Pires, hlm 220).
Pires, Barbosa dan Rumphius, karenanya tidak mempertimbangkan pentingnya pulau Ambon untuk perdagangan sebelum budidaya cengkih dimulai. Tetapi laporan Urdaneta tentang Ambon, lebih bisa dipercaya/diandalkan. Orang Spanyol ini, yang tinggal di Maluku sejak 1526 hingga 1535, singgah di Ambon dan Banda dalam perjalanan pulang. Dari perjalanannya, dapat disimpulkan bahwa kepulauan Banda adalah pusat perdagangan yang jauh lebih penting daripada pulau Ambon. Dia melaporkan dari kepulauan Ambon, bahwa ada banyak ketentuan yang harus dimiliki, tetapi juga bahwa pohon cengkih, meskipun tidak banyak, telah dibawa ke sana dari Maluku. Dia menambahkan bahwa ada banyak junk (Urdaneta dalam Navarrete, hal 248; lihat Tiele, 1879, hlm 22-23). Dia menyarankan suatu ide, bahwa seseorang dapat berdagang dari Maluku dengan Raja Demak, yang memiliki banyak lada. Perdagangan itu kemudian dapat dilakukan melalui orang-orang Banda, karena mereka berlayar ke Jawa, dan kemudian melalui orang-orang Ambon karena mereka memiliki banyak junk, yang dengan itu, mereka dapat membawa/mengangkut lada ke Maluku (Urdaneta dalam Navarrete, hlm249-250).
Jadi ada indikasi positif bahwa pengiriman dan
perdagangan dilakukan dari kepulauan Ambon pada awal abad ke-16. Kita tidak
boleh melupakan, bahwa selaman kunjungan Urdaneta ke Ambon, penanaman pohon
cengkih sudah terjadi di sana, meskipun belum dalam skala besar. Namun, di sisi
lain, ada fakta bahwa Islam mendapatkan pijakan di Hitu dalam keterkaitannya
dengan pengenalan budidaya cengkih. Ini menunjukan bahwa perdagangan di
kepulauan Ambon telah ada, sebelum pengenalan budidaya cengkih.
Pertanyaannya adalah apakah perdagangan dan pengiriman
ini, ada di tangan penduduk pribumi atau di tangan orang asing. Mungkin yang
terakhir (di tangan orang asing) adalah masalahnya. Kami memiliki
deskripsi perdagangan dan pengiriman yang dilakukan oleh orang Ambon, dari awal
abad ke-17 oleh Artus Gijsels. Dia mulai dengan mengamati : “Negosiasinya
masih kecil/sedikit” (Gijsels, hlm 414). Harus diingat bahwa pada waktu itu, VOC praktis telah memiliki semua
kemungkinan untuk perdagangan bebas melalui monopoli cengkih. Gijsels kemudian
menjelaskan bagaimana mereka berlayar dengan perahu besar atau kora-kora
menggunakan angin muson timur ke Banggai, Buton, Salaier dan Tukang Besi,
dimana mereka mendapatkan budak, parang besi, pedang dan sagu. Untuk perjalanan
seperti itu, mereka “ditemani” orang-orang Jawa, juga dikenal sebagai kru Jawa
“yang sebagian besar menyembelih domba dan memotong babi”. Hitu, Luhu, Kambelo
dan Lesidi, masing-masing tidak dapat membawa 2 sampan yang“ bahkan
lebih kecil dari junk” berlayar di laut (Gijsels, hlm 415; lihat Meilink-Roelofsz, hal 220).
Meskipun tidak mungkin untuk membawa armada dagang
berskala besar berlayar ke Hitu dan Hoamoal pada awal abad ke-17, mereka tentu
melayani perdagangan kecil (ritel). Dan ritel ini sebagian besar dikendalikan
oleh orang asing.
Kita tahu dari deskripsi Galvao, bahwa pada awal abad
ke-16, orang Maluku memiliki jenis kapal komersial yang sama, seperti yang
dijelaskan oleh Gijsels tentang orang Ambon (Jacobs, hlm 157, 163).
Karena itu di kepulauan Ambon, juga di Maluku, orang-orang
diperlengkapi untuk melakukan perdagangan eceran dalam jarak terbatas, tidak
untuk melakukan perdagangan grosir dengan junk-junk pribumi. Perdagangan bentuk
eceran ini, relatif menjadi lebih penting sebelum abad ke-16, karena sangat
mungkin tidak ada perdagangan oleh armada junk yang dikirim dari Jawa dan
Malaka, untuk membeli rempah-rempah secara langsung di kepulauan Banda dan
Maluku.
Perdagangan bentuk ritel ini di kepulauan Ambon, pasti
sebagian dimiliki oleh orang asing, terutama orang Jawa. Itu pada
awal abad ke-17, dan itu pasti juga di abad ke-16.
Meskipun pada akhir abad ke-15, tidak ada cengkih yang
mungkin tumbuh di kepulauan Ambon, Islam telah mendapatkan pijakan di Hitu
(lihat Meilink-Roelofsz, hlm 160). Ini
menunjukan bahwa perdagangan yang dilakukan di sana, bukan pada cengkih yang
diproduksi secara lokal, tetapi pada cengkih kering yang dipasok dari Maluku.
Dari Hitu dan Hoamoal menjadi perantara antara Maluku dan Banda, mungkin
terjadi pada abad ke-15.
Kami (penulis) tidak bisa berbicara banyak tentang
ukuran perdagangan itu. Tetapi fakta bahwa Ambon dan Hoamoal telah disebutkan
dalam (kakawin) Nagara-Kertagama, menunjukan perantara ini telah terjadi di
masa lalu, tentunya ke abad ke-14. Para pelaut dan pedagang-pedagang Jawa,
pastilah sadar akan keberadaan Ambon dan Hoamoal, setidaknya di abad ke-14.
Perdagangan di Ambon dan Hoamoal, sebagian besar
merupakan milik orang asing, juga dapat menjelaskan tradisi imigrasi dari
pulau-pulau lain ke Hitu dan Hoamoal. Menurut Hikajat Tanah Hitu dari
Ridjali, kelompok-kelompok orang asing dari Jawa, Jailolo dan Goram, tiba dan
akan menetap di pesisir Hitu, dimana mereka akan menjumpai penduduk yang lebih
asli dan lebih “primitif” (lihat Valentijn, hlm 377-381, lihat Adatrechtbundel XXXVI, 1933, hlm 441).
Luhu, sebuah tempat di Hoamoal, memiliki tradisi
imigrasi orang-orang Banda (Valentijn, hal 49). Omong-omong, Luhu, atau dengan
ekstensi seluruh Hoamol, disebutkan oleh orang Portugis dan juga oleh orang
Belanda, sebagai Warnula atau Veranula (Jacobs,
hal 275, 303). Kata ini adalah “korupsi” dari kata Waran-ela, atau
Waran besar (Schurhammer, hlm 689).
Dan Waran berarti Banda (Valentijn, halaman 49; lihat Bastian,
hlm 165). Pires (hlm 210) menyeb hlm 33)
Kita dapat berasumsi bahwa imigrasi yang disebutkan
oleh tradisi pribumi, berhubungan langsung dengan perdagangan di kepulauan Ambon,
terutama di Hitu dan Hoamoal, dan mungkin juga di Manipa, Kelang dan Boano.
Kelompok-kelompok imigran ini kemudian bertanggungjawab atas terciptanya
perantara antara Banda dan Maluku. Dan mungkin saja, pada awal abad ke-14, ada
perdagangan oleh kelompok imigran ini di Hitu dan Hoamoal. Dalam tradisi
pribumi, penduduk asli digambarkan sebagai “primitif”, dan tidak memiliki
hubungan/kontak dengan dunia luar.
Dalam konteks ini, juga luar biasa bahwa orang Ambon
disebutkan di Maluku sebagai Jaba. Urdaneta juga telah
menyampaikan ini (dalam Navarrete, halaman 248). Tetapi juga oleh Fortgens
dalam glosariumnya tentang bahasa Ternate, menjelaskan tentang arti Jaba
: “Nama ini ditujukan kepada orang-orang Ambon”. Kata Jaba adalah
bentuk “korupsi” dari kata Jawa, dimana Urdaneta saat menulis tentang Jawa, ia
juga menyebutnya Jaba (lihat Navarrete, hlm 225, 249). Rupanya, pada masa-masa awal, penduduk Maluku
mengenal orang-orang Ambon yang berhubungan dengan mereka – mungkin para
pedagang – hanya dengan sebutan/sebagai orang Jawa.
IV
Saya telah melakukan sejumlah hipotesis berdasarkan
data-data yang langka/terbatas. Sejauh mana hipotesis ini berarti dan dapat
dipertahankan, harus ditunjukan oleh penelitian lebih lanjut, terutama dari
sumber-sumber Portugis dan Spanyol. Tetapi mungkin juga ada sumber-sumber asli
– Jawa dan yang lainnya – yang mungkin mengandung petunjuk penting tentang
ekspansi awal perdagangan Jawa di Indonesia bagian timur
=== selesai ===
Catatan Tambahan
- Samarau adalah salah satu putra dari Kibuba, pemimpin pertama klan
Tomagola yang merupakan salah satu klan dari 4 klan yang disebut Fala
Raha. Selain Samarau, putra-putra dari Kibuba adalah Dudu dan Molicanga.
- Rumphius atau Georg Everhard Rumphius tiba di Ambon pada akhir tahun
1653 atau awal tahun 1654
BIBLIOGRAFIE
T.N.A.G : Tijdschrift van het
Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap.
B.K.I : Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde.
- Adatrechtbundel, XXXVI. 1933 Borneo,
Zuid-Celebes, Ambon, enz.
- Barbosa, D. 1518 The Book of Duarte
Barbosa. An account of the countries bordering on the Indian
Ocean and their inhabitants, written by Duarte Barbosa
and completed about the year 1518 A.D. Translated from the Portuguese text
bij Mansel Longworth Dames. Vol. II. Works issued by the
Hakluyt Society, second series, Vol. XLIX, 1921.
- Barnes, R. H. 1974 Kedang. A study of the
collective thought of an Eastern Indonesian people.
- Bastian, A. 1884 Die Molukken.
- Eerde, J. G. Van 1911a
De Madjapahitsche Onderhoorigheden Goeroen en Seran. T.N.A.G.,
2e serie, XXVIII, p. 219-233. 1911b De Madjapahitsche Onderhoorigheden
Udamakatraya en Kunir. T.N.A.G., 2e serie, XXVIII, p. 475-476.
- Fortgens, J. 1917 Kitab arti logat
Ternate. Woordenlijst van het Ternatesch.
- Gijsels, Artus 1621 Grondig Verhaal van
Amboyna. Kroniek van het Historisch Genootschap gevestigd te Utrecht, 6e
serie, II, 1871, p. 348-496.
- Jacobs, T. Th. Th. M. 1971 A treatise on
the Moluccas (c. 1544). Probably the preliminary version of Antonio
Galvao's lost Historia das Molucas.
- Keuning, J. 1956 Ambonnezen,
Portugezen en Nederlanders. Ambon's geschiedenis tot het einde van de
zeventiende eeuw. Indonesie IX, p. 135-196.
- Kuperus, G. 1942 De Madjapahitsche
Onderhoorigheid Seran. T.N.A.G., 2e serie, LIX, p. 771-774.
- Lekkerkerker, G. 1926 Balische
plaatsnamen in de Nagarakrtagama. In: Gedenkschrift uit gegeven ter
gelegenheid van het 75-jarig bestaan van het Kon. Inst, van Taal-
Land- en Volkenkunde.
- Le Roux, C. C. F. M. 1942 De Madjapahitsche
Onderhoorigheden Hutan Kadali en Gurun en de oude naam voor het
eiland Flores. T.N.A.G., 2e serie, LIX, p. 915-927.
- Meilink-Roelofsz, M. A. P. 1962 Asian trade
and European influence in the Indonesian archipelago between 1500 and about 1630.
- Navarrete D. Martin Fernandez de 1955 Obras de
D. Martin Fernandez de Navarrette. Biblioteca de Autores Espanolesj Tomo
LXXVII.
- Pigeaud, Th. G. Th. 1960-1963 Java in the 14th
century. A study in cultural history. The Nagara Kertagama by Rakawi
Prapanca of Majapahit, 1365 A.D. 5 vols.
- Pires, Tome 1512-1515 The Suma Oriental of
Tome Pires. An account of the East, from the Red Sea to Japan, written in
Malacca and India in 1512-1515. Translated from the Portuguese and edited
by Armando Gortesao. Vol. I. Works issued by the Hakluyt Society, second
series, Vol. LXXXIX, 1944.
- Rouffaer, G. P. 1905 Tochten (oudste
ontdekkings-) tot 1497. In: Encyclopaedic van Nederlandsch Indie, le dr.,
dl. IV, p. 363-395. 1908 De Javaansche naam "Seran" van
Z.W. Nieuw Guinea voor 1545; en een rapport van Rumphius over die kust van
1684. T.N.A.G., 2e serie, XXV, p. 308-347. 1915 Oudjavaansche eilandnamen in de Groote Oost: Sergili, Seran,
Boeroe (Hoetan Radali). T.N.A.G., 2e serie, XXXII, p. 642-649.
- Rumphius, G. E. 1910 De Ambonse Histori?.
B.K.I., LXIV.
- Schurhammer, G. 1963 Franz Xaver, sein Leben
und seine Zeit. Zweiter Band, erster Halbband, Indien und Indonesien,
1541-1547.
- Teeuw, A. 1958 Lombok, een
dialect-geografische studie.
- Tiele, P. A. 1877 De Europeers in den
Maleischen Archipel. Dl. I, 1509-1529. B.K.I., XXV, p. 321-420. 1879 idem, Dl. II, 1529-1540. B.K.I., XXVI, p. 1-69. 1886 Bouwstoffen voor de geschiedenis der Nederlanders in den
Maleischen Archipel, Dl. I.
- Valentijn F. 1862 Oud en Nieuw Oost-Indie. Uitgave Mr. S. Keijzer, Dl. II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar