Oleh : Gerrit J Knaap
- Kata Pengantar
Surat terbuka yang
berisi kritik, keluhan, protes, curahan hati dan sebagainya dari rakyat kecil
kepada pemerintah, bukan sesuatu yang baru. Sikap “berani” itu, bisa dilacak
sampai jauh ke belakang, misalnya ke akhir abad ke-17. Artikel ini adalah suatu penjelasan dalam
bentuk pengantar yang dibuat oleh sejarahwan Gerrit J Knaap untuk memahami
suatu arsip VOC. Arsip VOC yang dimaksud adalah Surat Keluhan dari Penduduk
Hunut di Pulau Ambon, yang dikirim kepada Hoge Regering (Pemerintah Agung) di
Batavia pada tahun 1695.
Diketahui bahwa surat
keluhan itu ditulis pada 24 Juni 1695 dan tiba di Batavia serta diterima pada
tanggal 14 Juli 1695. Prosedur yang biasanya dilakukan oleh para pegawai VOC
setelah menerima surat-surat jenis itu, atau surat “diplomatik” dari Sultan,
Radja, pemimpin suatu komunitas, adalah menerjemahkannya ke Bahasa Melayu
(tingkat tinggi) dan Bahasa Belanda. Dokumen asli dan dokumen hasil terjemahan
itu kemudian disimpan dalam arsip-arsip milik VOC. Dokumen surat keluhan ini
berada dalam koleksi Hoge Regering 2514 folio 461 – 463 yang di masa kini
disimpan di ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) di Jakarta.
Seperti disebutkan
bahwa Knaap memberikan penjelasan dalam bentuk pengantar untuk memahami dokumen
ini. Knaap menyebut bahwa sekilas pandang, dokumen ini tidak terlampau
mengesankan karena cukup pendek. Namun jika membaca dengan cermat, dokumen itu
sarat dengan informasi tentang sejumlah rincian menarik perihal kehidupan
masyarakat umum di Amboyna pada abad ke-17, misalnya hak atas tanah,
pemanfaatan lahan pertanian, pelaksanaan hukum, perkembangan agama dan relasi
antara pihak penjajah dan masyarakat yang dijajah.
Pengantar yang dibuat
oleh Knaap ini dimuat dalam Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa
dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 8.
Ini merupakan proyek
pendigitalisasian arsip-arsip VOC dalam rangka merawat dan melindungi
arsip-arsip yang dikoleksi oleh ANRI. Proyek digitalisasi ini kemudian
dipublikasikan dalam website mereka : www.sejarah-nusantara.anri.go.id
Pengantar oleh Knaap
ini sudah dalam versi bahasa Indonesia dan bisa diunduh pada alamat itu.
Mempertimbangkan pentingnya kita untuk melihat, mengamati dan membaca
arsip-arsip, sebagai langkah awal untuk memahami sejarah, kami menyajikan
artikel itu untuk dinikmati di blog ini.
Kami hanya
menambahkan catatan tambahan pada artikel dalam bentuk pengantar ini. Itu
dilakukan untuk memperjelas sesuatu, yang mungkin banyak dari kita belum
mengetahuinya.
Akhir kata, selamat
membaca... semoga pengetahuan sejarah kita semakin bertambah.
- Terjemahan
“ Terjemahan
permohonan dalam bahasa Melayu yang ditulis sejumlah penduduk di Ambon
kepada Pemerintah
Agunga Hindia Belanda, diterima di Batavia pada tanggal 14 Juli
1695”1, merupakan sebuah dokumen cukup pendek dan sekilas pandang
tidak terlampau mengesankan. Namun, membaca naskah itu dengan cermat dan
menempatkannya pada situasi ketika itu, maka diperoleh sejumlah rincian menarik
perihal kehidupan masyarakat umum di Amboina di abad ke-17, ketika pulau
tersebut di kuasai oleh Kompeni (VOC).
Ringkasan dokumen sebagai
berikut :
Dengan mengatas-namakan semua penduduk di permukiman
“Houmit”, dua atau 3 orang yang menyebut dirinya sebagai “pelayan rendah dan
kawula jelata”, “dengan berlinang air mata” dan “dengan segala kerendahan hati”
menyempatkan diri untuk menyampaikan perihal keadaan mereka yang menyedihkan
“di telapak kaki” para anggota Pemerintah Agung di Batavia. Seluruh lahan
mereka, bahkan seluruh kawasan mereka, telah diambil oleh orang-orang dari 6
desa lain, sehingga membuat mereka susah mencari nafkah. Para penyerang telah
menduduki lahan-lahan mereka, membabat pohon-pohon cengkeh dan kelapa yang tua
serta menggantinya dengan tanaman baru; mereka juga memanen sagu dan
buah-buahan lain. Pada zaman kepemerintahan para gubernur VOC di Ambon
sebelumnya, penduduk “Houmit” telah menyeret para penyerang ke meja hijau,
tetapi mereka dikalahkan akibat “permainan busuk” dan “para saksi palsu” dari
lawan mereka. Para terdakwa dari 6 desa menyatakan bahwa mereka adalah pemilik
sah lahan-lahan tersebut yang mereka peroleh sebagai warisan. Namun, mereka
yang dari “Houmit” menyatakan tidak tahu-menahu bahwa orang-orang tersebut
“berasal” dari “Houmit”, sebab semenjak VOC mengusir orang Portugis dari
Amboina yaitu di tahun 1605, tak seorang anak perempuan mereka yang telah
beralih menganut agama Kristen atau menikah resmi dengan orang dari kelompok
terdakwa.
Dari
pernyataan itu, kita menjadi maklum bahwa orang-orang “Houmit” beragama Islam
sementara yang berasal dari 6 desa itu beragama Kristen. Nampaknya, selama masa
Portugis penduduk “Houmit” tidak memanfaatkan kawasan mereka karena mereka
bersama penduduk Hitu dan lainnya berperang melawan orang Portugis. Sesudah
orang Portugis dikalahkan, maka mereka yang bergabung dengan penduduk Hitu
kembali ke kawasan mereka masing-masing dan kembali bercocok tanam di lahannya.
Dalam masa kekuasaan Gubernur Arnold de Vlaming van Oudshoorn yang memerintah
Amboina sejak 1647 hingga 1665b, para pengacau dari 6 desa itu mulai
menduduki dan menanami lahan-lahan “Houmit”. Selama masa kepemerintahan
Gubernur Dirk de Haas dari 1687 hingga 1691, penduduk “Houmit” membawa perkara
mereka ke pengadilan. Akan tetapi, sesudah De Haas pergi, perkara itu
dikeluarkan dari pengadilan dan berakhir dengan keputusan yang sudah disebutkan
di atas, yang merugikan penduduk “Houmit”.
Dengan demikian maka untuk
bertahan hidup mereka tetap tergantung pada kerelaan hati penduduk Hitu berbagi
sumber kehidupan. Naskah itu berakhir dengan permohonan kepada Pemerintah Agung
agar memberi keadilan kepada penduduk “Houmit”. Dengan demikian maka dokumen
ini, kendati cukup pendek, menyentuh perihal hak atas tanah, pemanfaatan lahan
pertanian, pelaksanaan hukum, perkembangan agama dan hubungan antara penjajah
dan yang dijajah. Sebuah naskah yang sarat dengan informasi. Namun, marilah
kita tambahkan informasi dan menempatkannya dalam segi pandang perspektif sejarah
serta keterkaitannya dengan keadaan setempat.
Nampaknya, lahan bersangkutan
adalah Hunut yang termasuk kawasan Hitu, di pesisir timur laut pulau Amboina. Dalam
abad ke-16 hingga paruh pertama abad ke-17, Hitu merupakan negara yang secara
politis merdeka, yang penduduknya telah turun temurun berperang melawan para
penjajah yaitu mula pertama orang Portugis dan kemudian orang Belanda yang
diwakili oleh VOC. Penjajah berkantor pusat di sebuah kastel di Amboina yang
terletak di Kota Ambon sekarang. Kastel itu merupakan bangunan terpenting di
bagian selatan pulau Amboina, tepatnya di jazirah Leitimor dan kawasan pesisir
Teluk Amboina. Pengantar paling baik untuk mengenal Hunut di abad ke-17, sejak
dahulu adalah Generale Lantbeschrijving
of Amboyna karangan pegawai VOC terkenal, ahli tanaman dan ilmuwan,
Georgius Everhardus Rumphius (1627 – 1702)2. Menurut Rumphius, dari
segi sejarah, nama Hunut merujuk pada nama sebuah kumpulan 5 negeri, dan juga
nama desa utamanya. 3 dari 5 desa itu sudah punah, antara lain akibat
peperangan antar-desa di abad ke-16. Di paruh kedua abad ke-17, apa yang masih
tersisa dari kelompok desa itu dibagi dua. Penduduk di bagian terbesar,
termasuk Hunut itu sendiri, bermukim di Hitulama di pantai timur laut; bagian
yang lebih kecil adalah Hukunalo yang juga disebut Rumahtiga, terletak di
pesisir utara Teluk Amboina. Penduduk Hunut memeluk agama Islam; penduduk yang
lain yang berintegrasi dengan penduduk Hukunalo, dan memeluk agama Kristen.
Almarhum ahli antropologi Indonesia, Joost Manusama, menggabungkan informasi
Rumphius dengan sejumlah bukti etnologi lain3. Terkait dengan
kumpulan desa itu, Hunut merupakan bagian dari federasi desa-desa yang lebih
besar, yang dikenal dengan nama Uli dan
bernama Uli Helawan, atau “Uli Emas”
dan merupakan inti negara Hitu dengan pusat asal di Hitulama. Tidaklah
mengherankan bahwa penduduk yang disebut dalam dokumen ini berbagi hidup dengan
orang-orang dari Hunut yang miskin yang sebenarnya berasal dari Hitulama.
Ketika itu, Hunut merupakan bagian integral dari Hitulama, dan ketika kemudian
Hitulama terbagi menjadi Hitulama dan Hitumesen, maka Hunut menjadi bagian dari
Hitumesen.
Kelanjutan sejarah dokumen ini
adalah sebagai berikut4. Selama peperangan antara Hitu di satu sisi
dan Portugis serta VOC di sisi lain di paruh kedua abad ke-16 dan paruh pertama
abad ke-17, kawasan pesisir utara Teluk Amboina merupakan kawasan peperangan
dan menjadi daerah tak bertuan. Para pemukim Hunut mundur ke Hitulama,
sementara yang lain seperti penduduk Hatiwe dan Tawiri pindah ke sekitar kastel
penjajah di Leitimor. Ketika peperangan usai, penduduk tetap tinggal di
tempat-tempat baru mereka, oleh karena VOC ingin mengawasinya. Sejauh para
penduduk desa hendak mengerjakan lahan-lahan mereka terdahulu, mereka
diperbolehkan pergi ke lahan-lahan itu untuk melakukan kegiatan pertanian,
tetapi tidak diperbolehkan menghuninya secara tetap. Kesudahannya adalah bahwa
daerah tak bertuan itu menjadi kosong, dan menjadi sasaran empauk bagi penduduk
lain yang tidak memiliki lahan, utamanya penduduk desa Leitimor dan penduduk
Kota Ambon yang sudah mulai sesak. Orang-orang Hunut menyaksikan betapa
lahan-lahan mereka diduduki oleh orang-orang dari Halong, Soya, Mardika dan
tempat-tempat lain. Mereka bahkan mendirikan hunian yang sebenarnya dilarang
VOC sejak 1658. Orang-orang Hunut mendapat kesempatan di tahun 1678c
ketika gubernur Dirk de Haas berkuasa; yang bersangkutan adalah seorang yang
dikenal oleh sahabat dan musuhnya sebagai “tuan yang liberal”. Tahun 1687
merupakan tahun ketika De Haas kembali menerapkan kebiasaan lama yaitu bahwa
semua dokumen di pengadilan harus dibuat dalam bahasa Belanda dan Melayu
sehingga memudahkan orang Hunut untuk mengajukan perkara. Semua itu disebabkan
karena para pendahulu De Haas melakukan kampanye pengrusakan pada “rumah-sumah
kebun” dibarengi dengan serangkaian tindak kekerasan lain sehingga menimbulkan
penentangan dari penduduk Pulau Amboyna. De Haas diutus untuk mengembalikan
perdamaian di antara penduduk, yang dilakukannya dengan melakukan penyelidikan
yang cermat, dan memberikan sedikit konsesi serta menerapkan peraturan dengan
tidak terlalu ketat.
Malangnya,
seperti yang diutarakan dalam keluhan mereka, orang-orang Hunut tidak berhasil
dalam proses hukum mereka. Bagaimana nasib mereka dapat dibaca dalam Memorie van Overgave, yaitu memorandum
serah-tugas dari Balthasar Coyettd di tahun 17065.
Seperti yang tertulis dalam dokumen ini maka tidak lama sesudah De Haas
meninggalkan kawasan tersebut di tahun 1691e, perkara pengadilan
antara penduduk Hunut yang diwakili oleh Timolohalat dan desa-desa lain dengan
Halong di barisan depan, telah diputus dengan menguntungkan bagi Halong. Bahkan
penduduk Halong menerima dokumen kepemilikan lahan yang tercatat di sekretariat
VOC. Bertahun-tahun kemudian, persoalan itu masih dibicarakan secara teratur
dalam surat-menyurat VOC. Di bulan Desember 1705, keturunan kedua pihak
bersangkutan bertemu lagi di pengadilan. Coyett menyarankan agar permintaan penduduk
Hunut di tolak karena Timolohalat dan keturunannya dianggap sebagai orang-orang
yang “bergejolak dan gemar bertengkar”. Kita dapat menduga bahwa Hunut kembali
kalah.
===
selesai ===
Catatan Kaki :
1.
ANRI VOC, Archief Hoge Regering, 2514, fol. 461-463.
2.
Terbitan paling bagus dari Rumphius’s Lantbeschrijving adalah
W. Buijze (ed), De Generale Lant-beschrijvinge van het Ambonse Gouvernement
ofwel De Ambonsche Lant-beschrijvinge door G.E. Rumphius. Den Haag, 2001.
Saya merujuk pada 17, 45-46.
3.
I am referring here to the posthumously published part of
Manusama’s dissertation, edited by Chris F. van Fraassen: Z.J. Manusama, Historie
en sociale structuur van Hitu tot het midden der zeventiende eeuw. Utrecht:
2004, 38-39, 65, 81.
4.
Didasarkan pada cetakan kedua yang diperbaiki dari Gerrit Knaap,
Kruidnagelen en Christenen; De Verenigde Oost-Indische Compagnie en de
bevolking van Ambon 1656-1696. Leiden: 2004, 42, 51, 58-60, 153.
5.
Baca G. J. Knaap (ed.), Memories van Overgave van gouverneurs
van Ambon in de zeventiende en achttiende eeuw. ’s-Gravenhage: 1987, 304
Catatan Tambahan :
a.
Pemerintah Agung adalah terjemahan Indonesia dari kata berbahasa
Belanda yaitu Hoge Regering. Hoge
Regering adalah sebuah institusi / lembaga tertinggi yang mengendalikan semua
operasi VOC di East –Indie atau Hindia Timur dan bermarkas di Batavia (Jakarta).
Institusi ini terdiri dari 2 lembaga yaitu Gubernur Jenderal (Gouverneur
Generaal) dan Dewan Hindia (Raad van Indie). Raad van Indie beranggotakan 9
orang (sejak tahun 1617) yang sebelumnya itu beranggotakan 5 orang (1610 –
1617).
b.
Masa pemerintahan Gubernur Amboina Arnold de Vlaming van
Oudshoorn yang ditulis 1647 – 1665, mungkin adalah kekeliruan teknis pada
penulisan tahun 1665, yang benar adalah 1647 – 1656. Kalimat yang ditulis Knaap
di atas sebaiknya tidak dipahami secara literal bahwa van Oudshoorn menjadi
Gubernur Amboina selama 9 tahun (1647 – 1656). Faktanya sebagai berikut :
Arnold de Vlaming van Oudshoorn menjadi Gubernur Amboina pada periode 1647 –
1650. Pada Agustus 165o, van Oudshoorn menuju ke Batavia, Simon Cos yang di masa
gubernur van Oudshoorn ditunjuk menjadi pejabat sementara. Pada Desember 1650,
van Oudshoorn kembali lagi dengan tugas menjadi komisioner untuk 3 gubernemen yaitu
Ambon, Ternate, dan Banda, yang tugasnya pasti mengunjungi wilayah-wilayah 3
gubernemen itu. Pengertian komisioner dalam masalah ini, mungkin bisa
“disamakan” dengan Menko..Menteri Koordinator yang mengkoordinir 3 gubernemen
itu, meskipun di lapangan, 3 gubernemen itu memiliki pejabat/gubernur sendiri.
Van Oudshoorn menjadi komisioner itu hingga tahun 1656, maka dalam konteks itu,
maka tidak salah dikatakan van Oudshoorn juga adalah “gubernur” Amboyna.
c.
Tahun 1678 ini, kemungkinan kekeliruan dalam penulisan tahun,
dimana yang benar adalah 1687.
d.
Balthasar Coyett menjadi Gubernur Amboyna sejak Juni 1701 – Mei
1706. Ia digantikan oleh Adriaan van der Stel (Juni 1706 – Oktober 1720).
e.
Dirk de Haas mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 14 Mei 1691
sesuai tanggal Memori van Overgave atau Memorandum serah terima jabatan. Proses
serah terima jabatan dilakukan tanggal 19 Mei 1691 dengan Gubernur baru yaitu
Nicolaas Schaghen. Dirk de Haas kembali ke Batavia dan tiba pada 21 Juli 1691.
LAMPIRAN
: Terjemahan Bahasa Indonesia Surat Keluhan itu
Terjemahan dalam bahasa Melayu dari surat keluhan yang disampaikan beberapa penduduk Ambon dan disampaikan kepada Pemerintah Agung Hindia Belanda di Batavia, diterima pada tanggal 14 Juli 1695.
Demikianlah, maka kami, Moulo
Halut dan Malita Hoemit bersama semua penduduk Homit, yaitu para
pembantu/bawahan dan para warga miskin yang patut dilindungi, bersama ini
memberitahukan serta menyampaikan dengan segala hormat dan disertai cucuran air
mata, ke hadapan Yang Mulia tentang keadaan kami yang menyedihkan, betapa
lahan, dusun dan kebun kami dirampas oleh beberapa rakyat dari dusun Haloen
Sawo Marduka, Nousa Nywa, Hylaliva dan Alan, sehingga kami sekarang menjadi sangat tidak berdaya karena kami
sekarang tidak dapat menikmati sedikit pun hasil dari ladang-ladang tersebut
untuk menunjang hidup kami oleh karena orang-orang tersebut sudah menguasai
lahan-lahan kami, dan langkah pertama mereka yang merupakan kekejaman dan
ketidakadilan terhadap kami, ialah bahwa mereka menebang pohon-pohon cengkeh
dan kelapa kami yang tua dan menanam pohon-pohon baru di tempat yang sama, dan
bahkan mereka juga mengambil tanaman sagu dan beberapa buah lain seperti
durian, cempedak, leci dan aren serta juga pohon-pohon lain milik kami yang
tumbuh di ladang-ladang kami, semuanya mereka ambil dengan akal bulus. Ketika
masa jabatan para gubernur Ambon yang lalu, kami sudah sering menyeret mereka,
orang per seorang ke hadapan pengadilan, akan tetapi oleh karena mereka
berbohong dan memakai jasa para saksi palsu maka kami telah kalah karena mereka
mengatakan bahwa yang mereka lakukan hanyalah memanfaatkan milik mereka sendiri
yaitu kebun-kebun milik penduduk Houmit, sementara kami penduduk Houmit sama
sekali tidak mengetahui bahwa mereka berasal dari kelompok kami, karena
semenjak Yang Mulia Kompeni mengusir orang Portugis dari tanah Ambon hingga
hari ini, kami penduduk Houmit tidak pernah menyuruh anak-anak perempuan kami
menganut agama Kristen atau menikahkan mereka dengan orang-orang beragama
demikian.
Lalu bagaimana mereka sekarang bisa berkata
bahwa mereka memiliki lahan-lahan mereka sendiri sementara mereka jelas-jelas
memanfaatkannya berdasarkan kebohongan serta ketidakadilan, bahkan kami
dikatakan telah mengatakan yang tidak benar sehingga dengan demikian kami tidak
berhak apa-apa atas ladang dan kebun tersebut. Apabila sekarang mereka
mengatakan bahwa mereka berasal dari suku kami, semenjak bangsa Portugis ada di
Ambon, mereka pun tidak mengatakan yang sebenarnya, karena ketika itu mereka
bersama-sama dengan orang Portugis memerangi penduduk Kytoewa
dan Noysa Nywa di siang dan malam hari. Siapa yang mengatakan bahwa mereka
berasal-usul dari kami?; dan hal ini juga merupakan kebohongan, dan ketika
orang-orang Hittou pergi untuk minta bantuan Yang Mulia Kompeni dan kemudian
mereka datang dan mengalahkan orang-orang Portugis di Ambon, maka kami telah
mengambil kembali ladang serta lahan kami, dan orang-orang Noysa Nywa dan mereka dari [Myome?] juga kembali melakukan hal yang sama hingga
sekarang. Dan apabila Tuan Gubernur dan Laksamana De Vlaming [van Oudsthoorn]
yang memerintah Ambon atas nama Kompeni, maka mereka pun pergi, dan mereka
berkebun dan menanam pohon pisang serta singkongserta kentang dan juga
tanaman-tanaman pangan lain, akan tetapi sesudah itu mereka menebang
tanamana-tanaman kami yang sudah tua dan menanam di tempat itu pohon-pohon muda
dan dengan demikian merampas dengan kekerasan lahan serta kebun-kebun kami.
Ketika yang
Mulia de Haes mengambil alih pimpinan Kompeni di Ambon [463] maka kami penduduk
Houmiter secara bersama-sama telah mengadakan rapat dan telah menghadirkan
rakyat tersebut di muka ke meja hijau dan perkara kami berlangsung hingga Yang
Mulia Tuan de Haas pergi. Sesudah itu maka perkara tersebut sudah dihentikan
dan kami sudah dinyatakan kalah dan semua lahan, ladang dan kini kami tidak
memiliki apa-apa lagu untuk menghidupi akan tetapi Latoukoukus
dan Talawawa masih mengambil sesuatu atau beberapa lahan dari kawasan yang disebut
di depan tadi, karena mereka telah berbaur dengan orang-orang tersebut. Namun,
kami tidak mendapatkan apa-apa dari lahan-lahan kami, dan dewasa ini kami tidak
mempunyai bahan pangan apa-apa lagi kecuali dengan memohon dan minta-minta sagu
dan hasil pohon-pohon buah lain dari raja Hytowea, orang kaya Booy Giegier dan orang-orang lain, dan mereka menanggung sebagian
biaya operasional kebun, dan kami menanggung sebagian lagi karena kami harus
memelihara dan memberi makan anak-anak kami.
Dengan
demikian maka sekarang kami menghadap dengan bercucuran air mata dan memohon
kepada Yang Mulia dan Yang Terhormat sekiranya berkenan melindungi budak dan
hamba mereka dengan keadilan serta kepatutan, sehingga kami hamba-hamab Tuan
akan mengikuti Yang Mulia dengan segala kerendahan hati.
Ditulis di Mabon pada tanggal 24 Juni 1695
Ditandatangani di Moulo Halut, Malita Humit dan Lato
Tidak ada komentar:
Posting Komentar