Bugis-Makasar
di Ambon
Kota Ambon berkembang di sekitar kastil/benteng
yang dibangun oleh Portugis selama kuartal terakhir abad ke-16. Kastil itu
ditaklukan oleh VOC, dan berganti nama menjadi Victoria, kemudian menjadi Nieuw
Victoria (Jacobs, 1975a). Orang Bugis-Makasar dan Cina, yang tinggal
di dalam dan sekitar benteng, tampaknya telah menjadi bagian dari kota, sejak
pencatatan paling awal (Knaap, 1987: 166b). Pada tahun 1667, wilayah kota dibagi menjadi 8
“lingkungan” atau “distrik” (wijken). Lingkungan elit adalah Urimeseng dan
Batugajah, tempat para pejabat senor bertempat tinggal. Wilayah pantai di
sebelah selatan benteng, yang berbatasan dengan Batugajh menjadi “distrik”
tempat tinggal orang Cina. Banyak orang Bugis-Makasar juga tinggal di “distrik”
yang berdekatan dengan orang Cina. Pembagian wilayah kota tidak banyak berubah
pada tahun-tahun selanjutnya. Tetapi, ketika P. Bleekerc mengunjungi
kota itu pada tahun 1854d, wilayahnya telah berkembang pesat. Kondisi
geografis setempat membatasi wilayah kota ke dataran aluvial segitiga dengan
sudut terlebar di sisi pantai. Perbatasan timurnya adalah sungai Batumerah,
sedangkan sungai Batugantung merupakan perbatasan baratnya. Tempat tinggal
orang Cina masih terletak di pantai selatan benteng, sementara “distrik” kaum
Eropa, juga masih di barat daya benteng. Perubahan utamanya adalah di daerah
yang ditempati oleh semakin banyaknya inlandsche burgers di perbatasan
“distrik” kaum Cina dan Eropa (Bleeker 1856, 1: 89,99).
Angka-angka yang diambil dari
laporan tahunan pejabat Hindia Belanda membantu menggambarkan kondisi
demografis di Ambon (tabel 2).
Tabel
2
Populasi
Ambon
1856
|
1858
|
1860
|
|
European
|
695
|
742
|
778
|
Burgers
|
7415
|
7659
|
7793
|
Chinese
|
20
|
217
|
301
|
Arab
|
19
|
48
|
69
|
Orang Islam lainnya (Bugis-Makasar,
Jawa, Melayu, dan lain-lain
|
-
|
473
|
645
|
Berbeda
dengan situasi di Ternate, komunitas Bugis-Makasar ditambah dengan orang Jawa,
Melayu dan orang-orang Islam lainnya dari tempat lain, jumlahnya melebihi orang
Cina. Tambahan penting pada tabel demografis dalam laporan ini adalah data yang
diberikan untuk orang-orang Arab. Pada tahun 1826, hanya ada 2 keluarga Arab,
yang kepala keluarganya bernama Syech Ali dan Syech Djoban (De Bruijn Kops,
1859: 29), di tahun-tahun selanjutnya jumlah mereka meningkat pesat.
Meskipun jumlah orang Cina,
kebanyakan dari mereka keturunan campuran, lebih kecil daripada orang-orang
Islam, data arsip menunjukan volume bisnis yang lebih besar dilakukan oleh
burger Cina dan Belanda3. Memang, sejak zaman VOC, sebagian besar
orang Makasar di kota Ambon adalah pekerja manual atau para budak, sedangkan
burger Cina dan Belanda selalu berfungsi sebagai pedagang antar pulau dan antar
wilayah (Knaap, 1987: 101,128,133,266), seperti yang terjadi di Ternate. Tetapi
pada tingkatan yang lebih besar dari Ternate, aktivitas orang Cina di Ambon
meningkat selama abad ke-19, karena kemunculan Singapura sebagai pelabuhan
bebas di Asia Tenggara pada tahun-tahun awal abad itu. Peningkatan ini, juga
difasilitasi oleh pembukaan kota-kota pelabuhan Ambon, Ternate, Kayeli dan
Banda pada tahun 1854. Selain itu, orang-orang Arab juga mulai memainkan peran
dominan dalam aspek-aspek tertentu dari ekonomi lokal pada periode ini.
Sebaliknya, setelah reorganisasi administrasi pada tahun 1866, jumlah burger
Belanda mulai menurun, karena banyak dari mereka meninggalkan Ambon.
Berbeda dengan situasi di
Ternate, masyarakat Bugis-Makasar di Ambon juga harus menghadapi ketiadaan
lingkungan budaya dan politik yang mayoritas beragama Islam. Semua faktor ini
menunjuk pada situasi ekonomi yang relatif lebih lemah dari komunitas ini di
Ambon, seperti yang ditunjukan oleh penyebaran pekerjaan mereka. Faktanya,
situasinya tidak jauh berbeda pada awal abad ke-19. Selama reorganisasi di
tahun 1817, para pemimpin mereka tidak diberi hak untuk menggunakan gelar
bergengsi kapitein, yang
dianugerahkan kepada para pemimpin komunitas burger Cina dan Eropa, atau kepada
pemimpin komunitas mereka sendiri di Ternate. Malahan, seorang figur penting
orang Makasar di Ambon, yang bernama Syafiuddin yang dikenal oleh Belanda
sebagai Guru Primo, diangkat menjadi Hoofd
der Maccassaren (A 173,226). Guru Primo mempertahankan posisi ini hingga
tahun 1838, saat seorang Makasar bernama Haji Umar diangkat untuk
menggantikannya, dan melanjutkan jabatan ini sampai sekitar tahun 1845. Setelah
kematian Haji Umar, jabatan itu tampaknya telah dihentikan. Pada pertengahan
abad itu, komunitas itu ditata ulang menjadi “lingkungan” yang terpisah, sesuai
dengan pola untuk penduduk kota lainnya, dibawah kepala “lingkungan” orang
Makasar atau wijkmeester der Maccassaren
(A 1190, 1271).
Memiliki
pengetahuan yang lebih komprehensif tentang hukum dan peraturan Islam, daripada
rekan seasalnya, Guru Primo (dan kemudian penggantinya) juga ditunjuk sebagai
mediator dan penerjemah di Raad van Justitie di Ambon. Di lembaga pengadilan
ini, burger-burger Muslim diadili dalam kasus-kasus perdata, seperti halnya
Belanda, Cina dan Arab. Pos ini dilabeli Arabische
schrijver (Arabic Secretary), dan kemudian sebagai Malaische schrijver, yang dalam hierarki birokrasi Ambon, merupakan
salah satu pekerjaan klerikal yang paling banyak dibayar/digaji (ƒ 25) (A
28,29,30,184). Pengalaman dalam posisi ini, pasti telah meningkatkan kapasitas
bisnis dan relasi dengan pedagang Cina dan Arab di kota. Tidak mengherankan,
arsip pengadilan hukum di Ambon juga memasukan sejumlah kasus perdata atas nama
Guru Primo (A 61,68,71). Setelah jabatan Hoofd
der Maccassaren tidak diaktifkan, posisi mediator dan penerjemah di
pengadilan hukum diberikan kepada Haji Hatala, otoritas lokal hukum Islam yang
juga anggota keluarga penguasa di Batumerah, sebuah desa Muslim di dekat kota
Ambon4. Pekerjaan bergaji lainnya yang diberikan kepada orang
Bugis-Makasar di Ambon adalah Ceramsche
Bode, yang akan dijelaskan lebih jauh selanjutnya.
Rupanya, hanya 2 atau 3 laki-laki di komunitas
Bugis-Makasar yang memanifestasikan kapasitas untuk berdagang. Partisipasi
minimal masyarakat Bugis-Makasar dalam kegiatan sosial kota pelabuhan, juga
ditunjukan oleh posisi marjinal mereka di schutterij,
pasukan penjaga kota yang didirikan pada awal abad ke-19.
Tugas membantu pemerintah menjaga perdamaian di kota
pelabuhan dan sekitarnya, selalu menjadi salah satu tugas para burger Eropa. Tugas
ini, juga diberikan kepada para mardijkers,
yang terdiri dari budak-budak yang telah dimerdekakan, yang sebelumnya
dipelihara oleh Portugis, dan keturunan para bekas budak ini, serta para
pensiunan serdadu Portugis dan keturunan mereka, yang telah tinggal di kota
Ambon sejak abad ke-165. Kedua kategori penduduk kota ini dipisahkan
pada awalnya, dengan masing-masing dipimpin oleh kapitein-nya sendiri, tetapi mereka bergabung bersama dalam 1 unit
sejak abad ke-18 (Encyclopaedia, 1917-1939, II: 422). Setelah Pemberontakan
Pattimura tahun 1817, dimana para burger dan mardijkers berpartisipasi dalam
operasi militer, Gubernur P. Merkus (1822 – 1827) memprakarsai serangkaian
langkah-langkah untuk mengatur penduduk kota menjadi unit-unit yang lebih
efektif. 6 seksi/kompi dibentuk, dimana 2 seksi pertama terdiri dari burger
Belanda, burger pribumi serta para mardijker. Kedua kompi ini merupakan elit
penjaga kota, dan diberi senjata api dan seragam putih. Setiap anggota seksi/kompi
harus menyumbang ƒ 6,12 ke dana penduduk
kota (burgerkas) yang digunakan untuk
pembiayaan. Satuan penjaga kota tersebut dipimpin oleh resident-magistraat
dengan pangkat kehormatan luitenant-colonel,
sementara sejumlah pejabat pemerintah sipil yang memiliki jabatan tinggi
berfungsi sebagai stafnya. Tetapi, sejak awal para pejabat pemerintah
dibebaskan dari tugas penjagaan, demikian juga para burger kaya, yang membayar
kontribusi lebih tinggi daripada melakukan pekerjaan itu (De Bruijn Kops 1895 :
19-31). Belakangan, organisasi serupa dibentuk di kota Ternate dan Banda,
sementara di Maluku Tengah, unit-unit lain dipimpin oleh seorang sersan atau
kopral, didirikan di sekitar benteng yang lebih kecil di Hila dan Larike (keduanya
di Ambon), Kayeli (Buru), Loki (Seram), Haruku, Saparua dan Nusalaut (Bleeker
1856, II: 7).
Hanya kaum burger yang bisa menjadi anggota penjaga
kota; penduduk desa/negeri tidak dilibatkan. Karena komunitas Bugis-Makasar
yang bebas (yaitu bukan budak) di Ambon, telah dianggap sebagai burger Muslim
sejak masa VOC, mereka juga termasuk dalam organisasi ini. Namun, seperti yang
dinyatakan sebelumnya, orang Bugis-Makasar di Ambon, tidak seperti yang di
Ternate, tidak pernah dianggap penting dalam organisasi ini.
Chinese Temple (1898) |
Orang Bugis-Makasar di Ambon dimasukan dalam unit
kecil di kompi/seksi kelima, yang dikenal sebagai kompi Moorsche burgerij. Anggota-anggota kompi ini, sebagian besar adalah
orang Cina keturunan Muslim, dan dari kelompok inilah, para perwiranya juga
dipilih. Sejak tahun 1828, orang Arab juga termasuk dalam kompi ini (A 226).
Dalam korps perwira, para pemimpin kompi ini diberi gelar kapitein der Moorsche burgerij dan luitenant der Moorsche burgerij. Selama tahun 1820an, pangkat kapitein sering diberikan kepada anggota
keluarga Kyat, salah satu Muslim terkemuka dari keluarga Cina keturunan
campuran di Ambon. Yang pertama diberi kehormatan ini adalah Muskin Kyat, sementara
Tjie Kariem bertindak sebagai luitenant
der Moorsche burgerij. Belakangan, Abdurachman Kyat berhasil menjabat
sebagai kapitein (A 108, 223, 226,
233). Djin Sukur dari keluarga Sukur yang terkenal, juga diberikan gelar ini di
kemudian hari. Namun, sejak pertengahan abad ini, orang Cina Muslim keturunan
campuran, sebagai suatu komunitas agama mereka sendiri, membentuk unit terpisah
dengan pemimpinnya sendiri, disebut kepala
djemaat der Islamische peranakan Chinezen. Salah satu dari kepala itu adalah Tan Husein. Bahkan,
dimulai pada tahun 1828 ketika peraturan baru dikeluarkan, terkhususnya
serangkaian persyaratan pendaftaran dari semua anggota schutterij (A 226),
perbedaan yang jelas muncul antara schutterij sebagai organisasi paramiliter
dengan keanggotaan tetap dan burgerij sebagai kategori umum penghuni kota
tempat anggota schutterij direkrut.
Banyaknya data arsip jelas menunjukan diferensiasi
internal masyarakat kota Ambon. Namun, data mengenai aktivitas orang
Bugis-Makasar di kota ini sangat langka6. Pekerjaan yang berbeda
dalam komunitas burger termasuk pedagang, kapten kapal, pedagang kecil, penjaja
keliling, tukang batu, pelaut dan lain-lain. Sejumlah burger melakukan semua
jenis pekerjaan manual di pelabuhan atau untuk institusi pemerintah. Salah satu
kriteria paling penting dari diferensiasi internal adalah kepemilikan berbagai
jenis kapal dagang. Keluarga-keluarga Cina keturunan campuran di Ambon,
termasuk keluarga The, keluarga Ong, dan lainnya, termasuk dalam kategori
pedagang kaya yang memiliki kapal dagang yang berkualitas tinggi, dan dengan
demikian mempertahankan hubungan dagang yang luas secara geografis. Kemudian,
terkhususnya selama paruh kedua abad ke-19, orang-orang Arab, termasuk keluarga
Atamimi, keluarga Bahasoan, keluarga Basalama, dan keluarga Lapary juga menjadi
terkenal sebagai pedagang di Ambon (A 40,43,48,50,62,66,70,72,113,114,117,126,127,129).
Sepanjang paruh pertama abad ke-19, sejumlah keluarga burger Belanda yang
terkenal, termasuk keluarga van Aalte dan keluarga Ostrauwski, juga
memiliki kapal sendiri, berdagang tidak hanya di Maluku, tetapi juga di Makasar
dan Jawa. Namun, karena reorganisasi administrasi tahun 1866 di Maluku, yang
menghapuskan pemerintah pusat Maluku di Ambon yang telah didirikan sejak tahun
1817, banyak keluarga Belanda terkemuka meninggalkan kota. Tempat mereka dalam
bisnis, diambil alih oleh generasi baru keluarga Cina dan Arab. Hampir semua
kapten laut yang dipekerjakan oleh keluarga semacam itu, memiliki kategori
etnis yang sama dengan pemilik kapal, meskipun anggota kru lainnya diambil dari
semua asl etnis, termasuk Bugis-Makasar.
Seperti yang terjadi di Ternate, pada paruh kedua abad
ke-19, komunitas Bugis-Makasar di Ambon, mulai menurun. Jumlah mereka menurun
cepat pada dekade terakhir abad ini. Penurunan ini adalah salah satu alasan
utama mereka dikeluarkan dari schutterij, setelah reorganisasi pada tahun 1886
(Staatsblad 1886, no 136).
Penurunan orang Bugis-Makasar sebagai burger di Ambon
pasti terkait erat dengan proses urbanisasi di kota Ambon, khususnya di paruh
kedua abad ke-19. Proses ini mengambil bentuk khusus di kota-kota di Maluku
Tengah, yang sepenuhnya tidak ada di Ternate.
Hotel Banda di Ambon (1890) |
Dari
masa interregnum Inggris (1811 – 1817), sejumlah penduduk desa di kepulauan
Maluku Tengah, diberi status burgers.
Penduduk yang memperoleh status ini, tidak lagi diizinkan untuk mengklaim tanah
kebun keluarga di desa-desa, tetapi dibebaskan dari pekerjaan korvee dimana
penduduk desa menjadi sasaran, hingga penghapusan monopoli cengkih di Ambon
pada tahun 1864. Praktik pemberian status burger ke penduduk desa dilanjutkan
oleh pemerintah Hindia Belanda di Ambon setelah masa peralihan (interregnum).
Segera setelah, seorang penduduk desa dapat membuktikan bahwa ia mempraktikkan
pekerjaan tertentu di kota, ia diberikan izin (vrijbrief) yang memberinya status burger (Encyclopaedia, 1917-1939, I: 423). Penduduk
desa-desa Kristen dan Muslim datang untuk memilih posisi ini, meskipun
kebanyakan dari mereka tetap tinggal di desa mereka. Maka, muncullah kategori
baru penduduk kota yang dikenal sebagai Inlandsche
burgers. Selama periode kontrol VOC, kategori ini tidak ada sama sekali;
kategori Moorsche burgers hanya
mencakup Bugis-Makasar, Melayu, Jawa, dan Cina Muslim keturunan campuran.
Tetapi pada abad ke-19, inlandsche
burgers Ambon mendominasi (Bleeker 1856, II: 74-80). Sementara sebagian
besar tenaga kerja kasar selama periode VOC, telah dilakukan oleh para burger
dan budak moorsche, termasuk yang berasal dari keturunan Bugis-Makasar (Knaap
1987: 133 – 136), yang pada abad ke-19, sebagian besar tenaga kerja kasar dan
hampir semua pekerjaan, termasuk pelaut, tukang kayu, tukang batu, dan
lain-lain, dilakukan oleh inlandsche
burgers, meskipun ada juga laporan dari anggota kategori ini yang memilih
untuk tetap menganggur (dan tetap angkuh!). (Bleeker 1856, II: 114-115). Inlandsche burgers juga dilengkapi dengan
sarana untuk meningkatkan kondisi mereka sendiri, dengan pembentukan sistem
pendidikan mereka sendiri – Ambonsche
Burgerschool – dengan keputusan Gubernur Jenderal pada tanggal 6 Januari
1869 (Leirissa 1984; A 392)7. Sistem pendidikan dasar ini juga diberikan
hak untuk menguji para calon untuk pekerjaan pemerintah tingkat bawah – lembaga kleinambtenaarexamen yang terkenal –
yang juga diperkenalkan 5 tahun sebelumnya dalam sistem sekolah dasar di Jawa (Staatsblad 1864, no 194). Namun
demikian, pengangguran di antara inlandsche
burgers menjadi karakteristik paling menonjol dari komunitas ini, pada
dekade-dekade terakhir abad ke-19. Untuk mengatasi gangguan sosial di antara
penduduk kota, praktik pemberian status burger kepada penduduk desa dihentikan
pada tahun 1892 (Staatsblad 1892, no
82).
Data demografis dari
laporan tahunan pejabat Belanda setempat di Ambon, menggambarkan peningkatan
populasi di Ambon (A 582). Kategori burger pada tabel 2 (sekitar 80% dari total
populasi) di Leitimor (bagian timur Ambon) merujuk terutama pada inlandsche burgers, sebagian besar
tinggal di desa mereka sendiri di sekitar kota Ambon.
Pulau-pulau penghubung (schakeleilanden)
Orang
Makasar dan Bugis tidak pernah dibatasi sebagai burger di distrik “orang asing” di Ambon dan Ternate. Sejak abad
ke-18, banyak dari mereka dapat ditemui di desa-desa gugusan pulau Gorong dan
pulau Ceram Laut, serta kepulauan Kei dan Aru, yang pada laporan-laporan awal abad ke-19 dikenal sebagai schakeleilanden atau “pulau-pulau
penghubung”. Pulau-pulau ini memang menghubungkan pemerintah-pemerintah di
Ambon dan Banda dengan wilayah pesisir Papua, tidak hanya secara ekonomi,
tetapi juga – dan mungkin yang lebih
penting – secara budaya. Kepulauan Gorong dan Ceram Laut, yang pada
kenyataannya adalah atol kecil, telah tercakup dalam Gouvernment van Banda sejak pertengahan abad ke-17 (Knaap 1987:
53-58). Komposisi komunitas lokal adalah campuran “unik” dari penduduk pribumi,
yang merupakan mayoritas, orang-orang dari Papua, Ambon, Banda, Bali dan Bugis-Makasar
(Riedel 1886: 148-169f; Bosscher 1855g; Van der Crab 1864h;
Kolff 1828: 310 – 336i). Desa-desa di kepulauan ini, sangat berbeda
dari yang ada di kepulauan Ambon, karena semua dikelilingi oleh dinding karang
dan batu. Sebagian besar keluarga terkemuka di desa-desa ini, yang pemimpinnya
telah diberi gelar seperti Majoor dan
Kapitein oleh VOC, memiliki kapal
dagang (jungku ceram), yang dengan
itu, mereka berlayar (dan berdagang) ke Sulawesi Selatan, serta ke pulau-pulau
Sumba, Sumbawa, Lombok dan Bali. Sebagian besar dari mereka menyertai dan
memimpin kapal mereka sendiri, yang diawaki oleh kapten dan pelaut setempat (A
177,730,751).
Suku
Bugis-Makasar, seperti kelompok etnis non-pribumi lainnya yang tinggal di
pulau-pulau itu, sepenuhnya terintegrasi dengan penduduk pribumi melalui
perkawinan. Dengan demikian, mereka tidak membentuk komunitas yang terpisah,
seperti di Ambon atau Ternate. Para pemukim ini, adalah agen perdagangan untuk
rekan mereka yang ditempatkan sebagai pedagang-pedagang, yang membentuk
destinasi bagian barat untuk kapal-kapal ini. Dengan angin muson barat tahunan,
para pedagang mengirim padewakang mereka ke schakeleilanden
pinggiran ini, dan kembali ke pelabuhan asal mereka dengan angin muson timur8.
Sebelum
ditaklukan oleh VOC, kepulauan ini telah menjadi bagian dari kerajaan Tidore.
Hingga tahun 1768, VOC mengendalikan kepulauan ini secara tidak langsung
melalui Sultan, yang dianggap sebagai
vasal VOC. Seperti di Maluku bagian utara, penduduk kepulauan ini,
sangat dilarang tidak hanya untuk berdagang cengkih dan pala, tetapi juga
menanam tanaman ini. Berangsur-angsur, kelompok-kelompok terkemuka di kepulauan
itu, yang sering terhubung dengan pernikahan dengan penduduk desa-desa Muslim
penghasil rempah-rempah di Ambon dan Haruku, dikenal sebagai penyelundup
cengkih dan pala yang paling penting. Tentu saja, orang Bugis dan Makasar juga
berpartisipasi aktif dalam perdagangan terlarang ini. Perdagangan klandestin
ini, sering menyebabkan konflik antara para pejabat pemerintah di Ternate dan
Sultan Tidore. Sepanjang salah satu konflik tersebut pada tahun 1768, Sultan
Tidore memutuskan untuk mengakhiri / melepaskan wilayah vasalnya itu, sebuah
langkah yang melibatkan pengembalian kepulauan ini ke VOC (Acte van Cessie, 20 Juni 1768, T 140).
Ambon 1898 |
Dalam
percobaan membangun sistem pemerintahan langsung di kepulauan ini, VOC menunjuk
sebagai wakilnya di wilayah tersebut di wilayah “pribumi” kepulauan ini, dengan
nama Hamba, yang tampaknya, bagaimanapun juga, merupakan keturunan sebagian
orang Makasar. Mengikuti tradisi penganugerahan pangkat militer sebagai gelar
bagi para pemimpin desa di kepulauan itu, Hamba dianugerahi gelar Comandant van Ceram. Tetapi Hamba, yang
juga seorang pengusaha dengan koneksi luas di kepulauan rempah-rempah, kemudian
dituduh berpartisipasi dalam perdagangan rempah-rempah klandestin, dan dengan
demikian ditahan bersama sejumlah pemimpin desa lainnya (A 730). Tidak ada
pengganti Hamba yang disebutkan dalam dokumen VOC.
Selama reorganisasi
administrasi Maluku pada tahun 1817, kepulauan ini diberi status khusus.
Meskipun wilayah itu selalu menjadi tanggung jawab para pejabat yang
ditempatkan di Banda, diantara mereka ada orang-orang yang memiliki pengetahuan
tentang kondisi sosialnya (Leirissa 1982), Gubernur di Ambon, bagaimanapun,
memutuskan untuk menciptakan “perantara” sendiri. Dengan demikian, posisi Ceramsche Bode (secara harfiah berarti “
seorang pembawa pesan ke Seram) diciptakan. Pekerjaan yang digaji ini,
diberikan kepada orang Makasar yang tinggal di Ambon dengan nama Abdul Kadir, yang
memegang pekerjaan itu dari tahun 1817 hingga 1830. Seperti halnya “utusan”
lain untuk orang-orang Kristen dan pagan di Seram, khususnya Seram bagian
barat, yang biasanya dikenal sebagai portero,
Ceramsche Bode tidak ditempatkan di Seram tetapi tetap di Ambon.
Kadang-kadang, ia akan mengunjungi pulau-pulau itu dengan kapal pemerintah
untuk menyelidiki masalah-masalah lokal tertentu, seperti yang diperintahkan
oleh Gubernur. Abdul Kadir juga tampaknya diizinkan untuk melakukan bisnis
pribadi di kepulauan itu. Namun, kemudian kepentingan pribadinya bertentangan
dengan tugas resminya. Sekembalinya dari perjalanan resmi pada tahun 1830, ia
dituduh melakukan pelanggaran, ditahan, dan kemudian dibebaskan dari jabatannya
(A 244). Pos Ceramsche Bode juga
tampaknya dihentikan kemudian, karena tidak disebutkan tentang hal itu, dapat
ditemui dalam dokumen-dokumen periode itu. Selanjutnya, seorang pejabat senior
secara teratur dikirim ke pulau-pulau tersebut, untuk menyelidiki hal-hal
seperti konflik antar desa. Beberapa pejabat ini menyiapkan laporan terperinci
tentang perjalanan inspeksi mereka (Bosscher 1855; Van der Crab 1864).
Selanjutnya kemudian, setelah reorganisasi tahun 18669, sejumlah
pejabat diistilah sebagai gecommitterde
voor Ceram diangkat untuk wilayah-wilayah di pulau Seram. Para pejabat ini,
sebagian besar direkrut dari keluarga baik-baik kaum inlandsche burgers.
Pada pertengahan abad
ke-19, selama persiapan reorganisasi administrasi tahun 1866, pemerintah pusat
di Ambon, juga mulai tertarik pada kelompok kepulauan Kei-Aru. Orang
Bugis-Makasar telah mengunjungi pulau-pulau ini selama berabad-abad. Orang
Bugis-Makasar ini menjadi perantara yang mengekspor produk-produk laut, baik
yang tersedia secara lokal maupun yang diperoleh dari Papua oleh penduduk
pulau-pulau itu, kepada rekan-rekan mereka di Sulawesi Selatan, Bali, Lombok,
Sumbawa dan di tempat lain. Ketika Singapura menjadi penting sebagai emporium,
para pedagang ini juga yang pertama menghubungkan pulau-pulau ini dengan pelabuhan
internasional baru. Perkembangan baru ini, bahkan meningkatkan aktivitas mereka
di kepulauan itu. Akibatnya, pemukiman yang berisi terutama orang-orang Bugis muncul
di sejumlah desa10. Karena pemerintah pada waktu itu, tidak memiliki
sarana untuk mengendalikan pemukiman ini, pemerintah mengeluarkan keputusan
pada awal tahun 1880-an, untuk menunjuk para pemimpin di pemukiman ini, yang
akan diberi gelar kapitein der
Boegineezen. Perkembangan yang serupa juga dilaporkan pada saat yang sama
untuk kelompok pulau-pulau “penghubung” lainnya, seperti kepulauan
Tanimbar-Babar.11 Para pemimpin komunitas yang ditunjuk oleh otoritas di wilayah itu, haruslah
memiliki pengaruh diantara penduduk, yang dalam banyak kasus adalah pemimpin
tradisional mereka. Dengan demikian, praktik yang kemudian dianggap usang di
Ambon dan Ternate, muncul kembali secara fungsional di bagian-bagian lain dari
Maluku.
Kesimpulan
Sistem sosial Maluku Utara dan Tengah yang berbeda,
membutuhkan pola kepemimpinan yang berbeda antara orang Bugis-Makasar di
Ternate dan Ambon. Di komunitas Muslim Ternate, kapitein der Maccassaren dari kampung
makasar, jelas merupakan pemimpin komunitasnya, tetapi di Ambon, para
pemimpin komunitas Bugis-Makasar terlibat dalam sistem peran yang lebih
kompleks. Selain sebagai pemimpin komunitasnya, pemimpin komunitas
Bugis-Makasar di Ambon, juga merupakan mediator untuk pemerintah Belanda,
khususnya dalam jabatan birokrasi sebagai Maleische
schrijver di pengadilan (Raad van Justitie), dimana Moorsche burgers diadili dalam kasus-kasus perdata. Selain itu,
orang-orang Makasar terkemuka lainnya di Ambon, juga berfungsi sebagai mediator
antara pemerintah dan desa-desa Muslim di pulau-pulau lain di sebelah timur
Seram, pada saat administrasi pulau-pulau ini masih belum sempurna. Peran
tambahan ini, hanya dihentikan setelah pemerintah dapat menggantikannya dengan
cara lain yang timbul dari organisasi internal masyarakat di Ambon sendiri.
Sebaliknya, sistem pemerintahan tidak langsung di
Maluku bagian utara, tidak mendorong perlunya mediator terpisah antara
pemerintah dan masyarakat Muslim di Ternate. Dalam situasi ini, masyarakat Bugis-Makasar
di Ternate lebih mudah diintegrasikan ke dalam masyarakat pribumi yang lebih
luas.
Perkembangan yang terjadi pada paruh kedua abad ke-19
di Ambon, dimana para pemimpin Bugis-Makasar kehilangan peran mediasi formal
mereka, adalah bagian dari proses umum diferensiasi sosial yang menyebabkan munculnya
kategori baru penduduk kota: inlandsche
burgers. Selain melakukan banyak pekerjaan yang dikerjakan orang Bugis
sejak masa VOC, inlandsche burgers ini
juga menjadi bagian dari aparat pemerintahan di kepulauan tersebut.
==== selesai ====
Catatan Kaki
- Perbedaan ini terutama diilustrasikan dengan baik oleh dokumen-dokumen tentang berbagai kasus perdata yang diajukan di Pengadilan Hukum (Raad van Justitie). Dokumen tentang penjualan tanah di arsip Ambon juga penting dalam hal ini.
- Batumerah adalah sebuah desa yang didirikan oleh VOC pada 1656 tidak jauh dari Kampung Mardika di Teluk Ambon. Wilayah itu pertama kali dimaksudkan sebagai tempat penahanan para sandera yang diambil dari pulau Manipa, yang, bersama dengan pulau-pulau lain, telah berjuang melawan sistem monopoli VOC selama paruh pertama abad ke-17. Kemudian, sejumlah orang dari desa-desa di Hoamoal di Seram barat juga bermigrasi ke Batumerah, ketika mereka diusir dari desa mereka selama konflik yang sama. Dibangun di lereng bukit berbatu, desa tidak memiliki lahan untuk bercocok tanam. Jadi penduduk menjadi pedagang lokal, memelihara hubungan bisnis dan keluarga dengan desa-desa perdagangan lainnya di kelompok pulau Gorong dan Ceram Laut (Knaap 1987: 32, 49, 214). Hingga pertengahan abad ke-19 desa itu berada di bawah kendali Kampung Mardika, tetapi setelah itu desa tersebut memilih pemimpin desa sendiri.
- Para mardijkers sebagian besar adalah budak Portugis yang telah dimerdekakan. Istilah ini berasal dari bahasa Sanskerta (mardhaheka), yang berarti 'orang bebas' atau 'orang bebas'. Mardijkers dapat ditemukan di Ambon dan di seluruh bagian Maluku yang dipengaruhi oleh Portugis pada abad keenam belas, termasuk Ternate dan Bacan. Beberapa dari mereka berasal dari pantai selatan India, yang lain dari Angola (Encyclopaedie 1917-39,11: 675). VOC membebaskan para budak ini dan memungkinkan mereka untuk menetap di bangsal mereka sendiri, seperti kampung Mardika di Ternate dan Ambon (Bakhuizen van den Brink 1915: 598-9).
- Sebagian besar data mengenai komunitas Bugis-Makassar tersebar dalam laporan atau surat yang sebagian besar membahas masalah lain atau berfokus pada kelompok lain seperti burger Belanda atau Cina. Data tertentu tentang komunitas ini terbatas pada pemberitahuan seperti pengangkatan atau pengunduran diri kapitein der Maccassaren di Ternate dan hoofd der Maccassaren di Ambon. Saya belum menemukan laporan, catatan, atau bahkan seluruh surat yang khusus berhubungan dengan komunitas ini di arsip bertempat di Jakarta.
- Pada tahun 1911, sebuah lembaga serupa didirikan di Saparua di pulau dengan nama yang sama. Lembaga itu dikenal sebagai Saparoeasche School
- Gubernur P. Merkus menunjuk seorang pedagang dari pulau Bangka bernama Juragan Jusuf, yang jelas mengenal schakeleilanden dengan baik, untuk menyusun laporan tentang kegiatan orang Bugis dan Makassar di pantai utara Seram dan pulau-pulau ini. Laporan tersebut mencatat keberadaan sejumlah pedagang di Bali dan Lombok yang memberikan kredit kepada pedagang lokal dan Bugis di daerah tersebut.
- Pemerintah Hindia Belanda di Maluku yang didirikan pada tahun 1817 menyatukan bekas gubernurnemen VOC - Ternate (atau Maluku), Ambon, dan Banda - menjadi satu kesatuan dengan pusatnya di Ambon. Pada tahun 1866, setelah penghapusan monopoli rempah-rempah, pemerintahan kembali ditata kembali menjadi tiga unit atau residen yang terpisah. Unit-unit yang dihasilkan tidak jauh berbeda dari yang awalnya didirikan oleh VOC: Maluku Utara, Maluku Tengah, dan kepulauan Banda masing-masing menjadi residentie terpisah (Raedt van Oldenbarnevelt 1916)
- Laporan komunitas tersebut dapat ditemukan di Algemeen Verslag tahun 1880.181, dan 1882. Lihat juga dekrit (besluiten) dari gubernur Maluku pada 3 Oktober 1835 (no. 2), 13 April 1839 (no. 4) , 11 Februari 1839 (no. 2), dan 10 September 1839, serta surat gubernur Maluku untuk Batavia tanggal 30 September 1825, (no. 27).
- Lihat laporan tahunan umum tahun 1880, 1881, dan 1882 (A 582).
Catatan Tambahan :
- Hubert Jacobs, Wanneer werd de staat Ambon gesticht? Bij een vierde eeuwfeest (dimuat pada jurnal Bijdragen tot de Taal,- Land,- en Volkenkunde, volume 131 (1975), no 4. hal 427 – 460
- Gerrit J Knaap, Kruidnagelen en Christenen. De VOC en de bevolking van Amboina 1756 – 1696, Dordrecht, 1987
- P. Bleeker yang dimaksud penulis adalah Pieter Bleeker, seorang officier van gezondheid kelas 3 di KNIL (1841 – 1863). Ia menemani Gubernur Jend Hindia Belanda, Mr A.J. Duymaer van Twist yang melakukan kunjungan kerja di kepulauan Maluku tahun 1855 (Oktober 1855)
- Leirissa mungkin sedikit keliru atau tahun 1854 ini adalah kesalahan teknis semata. Pieter Bleeker yang mengunjungi Maluku (Ambon) bersama dengan kunjungan Gub Jend Hindia Belanda, terjadi pada Oktober 1855
- Mungkin yang dimaksud adalah keluarga van Aart, bukan van Aalt
- J.G.F. Riedel, De sluik – en kroesharige rassen tusschen Selebes en Papua, s, Gravenhage, 1886
- C.F. Bosscher, Bijdrage tot de kennis van het oostelijk gedeelte van Ceram en omliggende eilanden (dimuat pada Tijdschrift voor Indische Taal,- Land,- en Volkenkunde, volume 4 (1855) hal 34 – 42)
- P. van der Crab, , De Moluksche eilanden. Reis van Z.E. den Gouverneur-Generaal Charles Ferdinand Pahud door den Molukschen Archipel (Batavia 1862).
- Kolff, D.H., Reize door den weinig bekenden zuidelijken Molukschen Archipel en langs de geheel onbekende zuidwest kust van Nieuw-Guinea, gedaan in de jaren 1825 en 1826 (Amsterdam 1828).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar